Dulu, kukira tingkatan tertinggi dari mencintai seseorang adalah membersamai, tanpa memiliki. Tapi ternyata, masih ada yang lebih tinggi dari itu. Yaitu membebaskan, memerdekakan. Aku mencintaimu sepaket dengan membebaskan dan memerdekakanmu. Kamu bebas hidup seperti apapun yang kamu mau. Kamu bebas mencintaiku dengan cara apapun itu. Kamu bebas enggak mencintaiku atas pilihanmu. Aku tetap mencintaimu. Kamu bebas. Kamu merdeka.
Bu, maaf jika bujangmu ini lebih jarang pulang kerumah dibanding dulu yang seminggu sekali menengokmu ke rumah, maaf juga tatkala kembali ke rumah tidak bisa terlalu banyak mendengar keluh-kesahmu. Diam yang kutunjukkan, berekspresi pun seadanya.
Bu, cerita tentang mimpi-mimpi besarku juga tak bisa kau dengar sementara dulu, terpaksa harus terjeda...
Aku sudah bilang kan bu, aku akan kembali berkelana setelah memutuskan resign dari pekerjaanku? Minggu lalu aku di baduy dalam, hari ini aku berada di pedalaman gunung kidul, di pinggir pantai selatan yang tak bernama, sendiri. kugunakan separuh tabunganku untuk menghilang tanpa khawatir ada yang mencariku, berjalan tanpa tujuan demi menemukan tujuan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa rencana. Apa itu rencana?
Kau tau bu? Seseorang yang menjadi penyebabku berkelana sejauh ini pernah berkata, "Aku hidup untuk hari ini dan besok saja." Terdengar klise namun sepertinya bagus untuk kujalani seperti itu. Setelah kecewa dengan rencanaku, kubiarkan diri ini berjalan mengikuti rencana Tuhan yang entah bagaimana.
Bu, memang benar katamu, ada beberapa orang di hidup kita; yang ketika ia pergi, ia juga membawa sepotong hati kita.
Seseorang datang bu, kau kenal, dia adalah yang paling banyak kutulis di catatan harianku, yang paling bangga pula kuceritakan padamu. Dia adalah pertimbangan dalam setiap keputusan dan rencanaku. Ah, khayalanku sudah sejauh itu, bu. Tapi sayang bu, dia tidak bisa hidup dalam rencanaku, hidupnya sudah terpatri pada rencana keluarganya. Bagi mereka, orang sepertiku tak ada dalam rancangan untuk putri/saudari tercintanya itu.
Bu, terkadang hidup memang sialan, aku dipaksa harus menjadi orang baik, tak boleh marah dan harus selalu sabar. Hal itu pula yang membuat dunia semena-mena terhadap kita, bu.
diriku, 'bak pasar malam, dunia datang dan pergi mencari hiburan, wahana usai aku kembali sendirian, dengan sepi dan sisa kubangan tanah becek serta lumpur di badan.
Bu, badai kali ini kencang sekali, hanya gigil ringkih yang kau dengar jika sekarang aku kembali kepadamu, remuk jiwaku, tulangku sedang tidak membara.
Lagi-lagi memang benar katamu, ada beberapa orang di hidup kita; yang ketika ia pergi, ia juga membawa sepotong hati kita....
Hari ini aku menyadari bahwa ternyata kuasa tuhan begitu indahnya, sedari kecil aku begitu akrab dengan banyaknya kehilangan, mengalah walaupun dalam hati meraung sebab teramat menginginkan.
Deruan ombak ini adalah saksi begitu banyak cerita-cerita itu juga kini tentangmu, hangat dan manisnya pertemuan-pertemuan ini, namun mencintai sosok sepertimu, tidak perna ada dalam rencanaku, bagaimana al-waddud menempatkanmu menjadi bagian terbaik di hati dan pikiranku.
Tulisan ini tentangmu bagaimana sikap dan ikhtiar, yang bisa aku lakukan untuk menghargai dan mencintaimu, abadilah disini sebab aku terlalu jauh dari belajar untuk kehilangan-kehilangan lainnya, setidaknya kamu abadi disini, tidak ada yang mampu mengambilmu dalam tulisan-tulisan ini.
Untukmu, semoga Rabbi tautkan kita dalam pertemuan yang indah, kamu dan aku dalam ikatan yang penuh keberkahan didalamnya.
Kamu bukan takut menjalin hubungan baru dengan seseorang,
Tapi karena itu aku,
Kamu gak mau.
Kamu bukan belum siap menjalin hubungan asmara dengan seseorang,
Tapi karena itu aku,
Kamu gak mau.
Kamu bukan gak mau melawan segala takut dan cemasmu soal masa depan,
Tapi karena itu aku,
Kamu gak mau.
Kamu bukan gak bisa mengusahakan seseorang untuk dapat bersamamu,
Tapi karena itu aku,
Kamu gak mau.
Intinya, bukan aku yang kamu mau, kan?
Rumi pernah berkata, "Jangan lari, terlukalah sampai kau benar-benar sembuh". Hanya dalam hati aku berujar, sudah berhitung tahun. Aku tak lari kemana-mana demi menjaga kenangan, tapi mengapa aku tak sembuh-sembuh jua?
Ingin sekali rasanya menuangkan segala yang ada dalam wadah bernama kepala. Bertukar isi dengan makhluk Tuhan lainnya dari jenis manusia yang sedikit berbeda. Namun apa daya. Wadah dengan corak serupa, sulit sekali menemukannya. Sedang corak berbeda, sulit sekali menerimanya.
Besok sudah jadi kemarin dan kamu masih aku ingin.
Masih terus jadi kaki-kaki yang menggerakkan tubuhku mengindahkan apa-apa yang sudah dan telah lalu, tangan-tangan yang merangkul dan menjabat hangat kepulangan, dan bibir yang tak jemu meramu dan merapal doa.
Namamu tak kenal padam dan masih padan dengan mimpi-mimpiku akan kehidupan. Namun, kamu tak pernah maju dan memimpin jalan yang panjang sebab kamu telanjur hilang dan remang pada hendak yang terlewatkan.
Selamanya kamu adalah hingga yang tak pernah hinggap dan aku masih terus berdoa penuh niscaya.
Hanya karena tak bisa berenang, jangan memaksaku berhenti menyukai Lautan. Aku bisa melihatnya, aku bisa menyentuh lembut ia di pinggiran dengan liukan jemari, ia pun membalas sentuhan dengan lebih bingar.
Kakiku bisa mencium pasir-pasir yang lembut. Jauh dari lautan dalam, aku sudah tenggelam oleh kerinduan di rengkuh alam. Tanpa harus berenang aku bisa menikmati senja, melumat sinarnya yang jatuh di bibirku yang membeku.
Bagaimana aku tak jatuh dengan pesonanya, sedang ia merayu-rayu dengan aroma angin mendayu syahdu mencumbuku.