Tumgik
Text
Mencintai Buku, Sejak Kapan?
Tumblr media
Biasanya, pertanyaan yang sering didapatkan oleh pecinta buku adalah "Buku apa yang pertama kali membuatmu jatuh cinta pada dunia perbukuan?"
Sejujurnya, jika pertanyaan itu ditujukan padaku, aku dengan sangat yakin menjawab, "Aku tidak tahu." Aku bahkan tidak ingat buku pertama yang bisa aku baca itu buku apa. Aku juga tidak ingat bagaimana awal mula aku bisa jatuh di dunia perbukuan yang bagiku tidak ada jalan keluarnya ini.
Bagiku, sejak aku bisa mengingat, hal yang aku tahu hanya aku suka buku, aku suka menghabiskan waktu bermainku di dalam rumah sambil membaca atau dibacakan buku oleh ibuku. Berbicara tentang ibu, tentunya dia sosok yang sangat berperan besar dalam hobiku ini. Dengan kondisi geografis tempat itnggal kami yang kurang mendukung, ibuku benar-benar berhasil membuatku mencintai buku.
Aku tinggal dan tumbuh di desa daerah pesisir Jawa Timur paling utara. Benar-benar daerah paling ujung. Hence, the name of the village itself. Alhasil, akses buku waktu itu sangat terbatas. Ada pun, hanya buku pelajaran. Atau kalau sedikit beruntung, akan ada bazar buku di sekolah dengan deretan buku mulai dari Sari Kata, Pepak, atau buku tentang siksa neraka.
Aku ingat kalau ayah dan ibu ke kota sebab ada urusan satu dan lain hal, mereka pasti menyempatkan mengajakku mampir ke toko buku. Salemba, nama toko bukunya. Gerai toko buku yang ada di salah satu mal di kota. Jangan harap ada Periplus atau Gramedia, Togamas yang cabangnya di mana-mana saja tidak ada.
Selain kondisi geografis domisili yang tidak mendukung, keadaan ekonomi keluarga kami pun pas-pasan. Alhasil, jatah jajan bukuku juga amat terbatas. Dalam sekali beli, aku hanya boleh membawa pulang maksimal 2 buku. Itu juga ayah dan ibu belum tentu sebulan sekali pergi ke kawasan kota. Dari dulu sampai sekarang pun, rupanya buku masih menjadi sebuah barang yang dimiliki oleh orang-orang yang punya privilese.
Alasan lain aku bisa menyukai buku sebegininya adalah sifat ayahku yang cenderung protektif saat aku masih kecil. I rarely went outside playing with my friends. Jadi, kompensasi darinya adalah mengenalkan hobi baru yang bisa aku nikmati di dalam rumah.
Selain buku yang dibelikan ayah dan ibu itu, aku juga mengoleksi buku cerita seukuran buku saku yang aku dapat dari susu kemasan yang rajin aku minum. Forget Majalah Bobo, forget KKPK, I didn't have any idea about those things.
Saat beranjak remaja, aku mulai bisa memahami bacaan dari majalah islami yang ayah koleksi. Meskipun yang kucari hanya bagian cerpen di dalamnya, aku selalu rajin membaca satu persatu majalah berjudul Mimbar itu.
Di masa remajaku ini, aku juga mulai rajin membaca kisah-kisah inspiratif sufi. Lalu meluas ke genre nonfiksi terkait biografi, sejarah, dan keislaman. Aku masih ingat, saat aku duduk di bangku MTs itu, ada satu buku yang membekas sampai sekarang. Buku itu satu dari sekian buku yang dibawa oleh salah satu siswa ayah yang sudah bekerja di luar kota. Judulnya Gus Dur: Perjalanan Hidup Sang Guru Bangsa.
Saat itu, tidak hanya buku ayahku yang bertambah, koleksi buku dari om dan mas sepupuku pun bertambah. Mereka sering pulang membawa buku kisah sufi dan novel islami. Aku ingat karena saking aku kehabisan bahan bacaan, aku nekad membaca Ketika Cinta Bertasbih milik omku. Setelah kubawa ke mana-mana, khatam juga 2 buku itu meskipun dalam waktu yang tidak singkat.
Bertambah usia, akses buku mulai lebih mudah saat aku di bangku SMA. Aku bisa meminjam buku dari para teman di ma'hadku. Bahkan aku juga pernah pergi ke Salemba dengan beberapa temanku, lalu sengaja membeli buku yang berbeda agar kami bisa saling meminjam.
Masa kuliah, tentunya akses buku semakin lebar dan mudah. Hidup di perkotaan sangat mendukung hobiku ini. Genre bacaanku pun mulai meluas. Yang mulanya hanya kenal Teen-lit dan romansa, aku pun mulai merambah ke fiksi sejarah, puisi, dan roman (yang satu ini akibat tuntutan mata kuliah).
Hobiku ini mulai terfasilitasi lebih baik lagi saat aku sudah bekerja. Meskipun budget buku masih tetap harus dibatasi, setidaknya sekarang aku bisa mengakses buku lewat beberapa platform digital berkat sekitar tiga tahun lalu aku mulai mengenal dunia booktwt. Aku juga mulai aktif mengikuti komunitas perbukuan baik secara daring maupun luring.
Sampai aku menulis unggahan ini, rasanya aku masih tidak bisa menaksir sejak kapan aku mencintai buku. Aku sudah lama berteman dengannya, dan kekhawatiranku setiap harinya adalah "Apakah pertemanan kami ada tanggal kedaluwarsanya?"
6 notes · View notes
Text
Rise and Shine, The Old Me
I just got home and I have to rest, but the thing is, I need to get this off my chest lest it will haunt me.
These past weeks, I feel like I'm being unlikeable person to be with. And to put it frankly, I don't like this version of me. Being snappish, grumpy, too emotional, too sensitive, gloomy, and those blue and foul moods. Saya sendiri aja males dengan saya yang begini, apalagi orang lain?
This is so exhausting and draining my energy day by day. Setiap pagi saya bangun tidur, saya selalu menyugesti diri kalau saya akan bisa melalui hari ini dengan baik. Bukan sempurna, tapi baik. Dan dalam standar saya, melalui hari dengan baik adalah dengan minimnya emosi negatif yang datang. Atau, paling tidak jika ada emosi negatif yang datang, saya tidak bertindak reaktif dan impulsif.
Nyatanya? That's a horseshit. Saya selalu mengakhiri hari dengan mengantongi banyak penyesalan. Kenapa saya seperti ini? Kenapa saya bereaksi seperti itu? Kenapa saya hari ini bego sekali? Kemudian, saya berharap bisa memperbaiki keesokan harinya. Tapi sialnya, esok hari adalah cerita yang sama dengan hari kemarin.
Kalau ditilik kembali, saya rasa ini adalah efek dari jenuh, lelah, merasa tertekan, dan tidak bisa berbagi dengan orang-orang terdekat sehingga saya bereaksi demikian. Tentunya saya memaklumi hal itu, awalnya. Tapi, semakin ke sini, saya kok merasa diri saya seenaknya sendiri? Egois, manja, lemah, bodoh, bahkan jahat. I feel like I'm a bad person. And this is the worst feeling ever.
Menguap ke langit mana berbagai ajaran filsuf Stoa yang saya baca? Tenggelam ke laut mana berbagai buku self-development yang saya lahap? Bego sekali memang! Buat apa baca dan tahu banyak isi buku, tapi tidak menerapkan itu di hari-hari yang dilalui?
I won't say, "Everyone has their own fair share of burden" anymore because I won't compare my struggle with theirs. I don't compete with others, I compete with my old self. Yang saya bandingkan hanya saya yang sekarang dengan saya yang dulu. Kalau dulu saya bisa menjalani hari dengan baik, kenapa sekarang sulit sekali?
Bukan berarti pula saya mengatakan saya sekarang tidak lagi mengalami kesulitan dan merasa tertekan. No, people, I was struggling and I still am. The hardships, the negative feelings, I welcome you, but you ain't my driver. Saya harus benar-benar menolak untuk diperbudak dengan emosi tidak menyenangkan ini agar reaksi saya dalam beberapa hal tidak melahirkan banyak penyesalan.
I think this is enough for me to coddle myself, I don't need to hear "It is okay to be like that, that's normal" anymore from myself. It is that time I have to slap the weak me. I need the old me to come back. The one who can practice the STAR (stop - think - assess - respond). The one who put her logic first. And the one who can say, "I don't give a penny" to the things she can't control.
Sudah waktunya saya berhenti bermanja-manja dan bermenye-menye ria. Sudah cukup lama saya di fase itu. Waktunya beranjak. Waktunya berjalan dengan kepala tegak meskipun banyak yang dibawa di atas pundak. Semua yang terjadi di dunia ini netral, yang menjadikannya baik dan buruk adalah persepsi saya sendiri. Pola pikir yang sudah susah payah saya bangun, mungkin beberapa minggu ini tengah rapuh atau bahkan retak, tapi saya masih bisa merekatkan dan mengokohkannya kembali. And I just need to remember what Stoics said,
"Your mind is your own citadel. No one can touch it."
So, let's rise and shine, the old me. I'm looking forward to spend my time with you 🌹
Malang, 14 Oktober 2021
25 notes · View notes
Text
Forgiven but Not Forgotten
Beberapa minggu lalu, saya menemukan foto ini di literarybase, base yang penghuninya adalah para bookish. Foto ini otomatis membuat saya teringat kembali pada sebuah insiden yang beberapa bulan lalu benar-benar membuat saya diliputi berbagai emosi negatif.
Tumblr media
Waktu itu, saya juga bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari forgiven but not forgotten? Is it grudge in disguise? Karena sejujurnya, saya memiliki banyak hal yang bisa dikategorikan sebagai forgiven but not forgotten. And I wonder, does that mean I don’t fully forgive them who wronged me? Or I failed to control my own thoughts and emotions?
Kay, so let’s go back to the time I feel wronged and disappointed. Beberapa bulan lalu, saya mengalami kesulitan mengontrol emosi saya. Berawal dari kesalahpahaman yang terjadi antara saya dan orang terdekat, hal ini ternyata berkelanjutan sampai beberapa bulan berikutnya.
Awalnya, saya mengatakan saya baik-baik saja. This person even asked me whether I'm angry or not, and I said "Why should I be angry? You didn't do something wrong."
Later on, I knew what I did is wrong. Saya denial dengan emosi-emosi yang mampir di dalam diri saya. I felt wronged, used, betrayed, and being lied to. I was angry. I was disappointed. Saya lebih mendengarkan sisi diri saya yang mengatakan, "Hal kayak gini nggak seharusnya bikin kamu marah. Toh kalau dilihat dari perspektif lain, yang dia lakukan juga nggak salah," dan tidak menghiraukan suara saya yang lain yang berteriak, "You have the right to feel what you feel. Your emotions are valid, sekalipun itu adalah emosi negatif." That's why, eventho we talked about it I didn't feel good. There's this heavy feeling in my chest that need to get off.
Hal ini murni keluputan saya sendiri. I didn't treat myself well back then. I suppressed my emotions thinking it was the right thing to do. Dan rasanya amat sangat mengganggu. Mood saya mudah berubah, lethargic, bahkan focus span saya juga menurun. Akhirnya, saya pun kembali merefleksi keputusan yang telah saya ambil.
Sudah benar kah?
Sudah baik kah?
Dalam jangka waktu selama melakukan refleksi itu, saya berpikir dan berkontemplasi terkait banyak hal. Berdialog dengan diri sendiri agar saya kembali mengenali dan tidak sampai kehilangannya. Mengingat hal-hal yang pernah saya baca di beberapa buku self-healing, terutama tentang dikotomi kendali dan penerimaan emosi. Menulis rantai pikiran saya agar tidak terlalu kusut dan membusuk di kepala. Sampai akhirnya, saya pun mengambil keputusan untuk mengutarakan apa yang sebenarnya saya rasakan kepada orang ini; dengan runtut, tenang, dan sebisa mungkin tidak menyalahkan karena saya meletakkan fokus ujaran saya pada apa yang saya rasakan.
Apakah saya lega? Iya, sangat.
Apakah saya memaafkan? Tentu.
Apakah saya akan melupakan hal itu? Sepertinya tidak. Setidaknya sampai di detik saya menulis ini, saya tidak lupa. Ditambah saya punya tendensi mengingat hal-hal yang bahkan tergolong trivial, yang mana hal ini sempat membuat saya ingin menjadi seseorang yang pelupa.
Tapi entah di masa mendatang. Mungkin ingatan ini akan mengabur karena saya dipenuhi oleh ingatan-ingatan yang menyenangkan. Mungkin juga ingatan ini akan selamanya meninggalkan jejak, seperti lembaran-lembaran buku yang terkena air. Kering, tapi tetap berbekas.
Beberapa bulan saya berhasil hidup berdampingan dengan baik bersama bekas itu. Meskipun setiap saya membaca, mendengar, atau bahkan ngobrol tentang memaafkan atau kebohongan, otak saya otomatis memutar ingatan tentang hal itu bak film layar lebar. And I was okay. Yang berkelebat di pikiran saya hanya, "Oh, saya pernah mengalami ini. Tapi ya yasudah."
Sampai pada titik di mana obrolan saya dengan salah satu teman memantik kembali emosi negatif yang datang bersama ingatan itu. I cried back then, and my friend patted me in the back while saying, "It must be hard, right? 's okay. Someday you'll get better." Even I, was surprised about my reaction that day. It felt like I can't hold my tears at bay. Right then and there, I realised I have a wound that I didn't heal yet. And it was a deep cut.
Hal ini membuat kami lagi-lagi mengomunikasikan insiden itu. Sejujurnya, saya juga merasa sangat bersalah karena membuat orang ini merasa bersalah. Karena saya tidak mengontrol emosi saya, akhirnya orang ini juga secara tidak langsung saya paksa untuk mengilas balik lagi. Orang ini pun lagi-lagi meminta maaf kepada saya di saat tidak ada hal lagi yang peru dimaafkan. Saya pun berulang kali mengatakan bahwa ini adalah urusan saya sendiri: ketidakmampuan saya mengontrol dengan baik emosi-emosi saya.
And I was glad this person didn’t invalidate my emotions. Dia bilang, “Tapi kan emang kita nggak bisa setiap saat ngontrol emosi kita dengan baik. Ada kalanya kita bisa nerima itu, ada saatnya juga kita nggak bisa.” Yes, it’s completely true. We can’t be mentally stable all the time. Saya pun menyadari kalau kondisi psikis dan mental saya yang saat itu sedang lelah memiliki andil besar dengan reaksi saya yang mengejutkan itu.
Momen itulah yang akhirnya membuat saya mulai bertanya-tanya lagi. Apakah saya masih menyimpan kemarahan? Apakah saya sudah benar-benar memaafkan? Jawabannya tetap sama. Mau saya bertanya sejuta kali pun, jawabannya adalah sudah.
Then, why did I react like that eventho I already gave my forgiveness? Apakah saya harus benar-benar menghapus ingatan saya tentang hal itu? Bagaimana caranya? Saya tidak bisa menemukan jawaban yang tepat dan membuat saya tercerahkan.
Until lately, I read a book that gives me the answer.
What causes us such distress is not the memory itself but the emotions that surround it, like regret, disappointment, anger, and frustration. This might seem subtle, but it is important to distinguish the memory from its emotion.
...
The memory itself is not the problem, it’s still there: it’s the emotions connected to the memory that are the problem. And so there’s no need to suppress the memory or try to get rid of it, which is nearly impossible anyway.
And I was like, “Oh, iya juga ya? Ingatan dan emosi itu kan dua hal yang berbeda. Toh buktinya saya juga memiliki banyak hal tidak menyenangkan yang saya ingat, tetapi tidak ada emosi negatif yang bertamu saat mengingatnya.”
Proses kontemplasi sampai akhirnya saya benar-benar bisa memilah dan meletakkan ingatan dan emosi ke dalam loker otak yang berbeda membutuhkan waktu yang tidak singkat. Berbulan-bulan saya mencoba berdamai dengan hal ini. Mencoba mencerabut kekuasaan yang dipegang oleh insiden itu agar mereka tidak semena-mena mengendalikan emosi saya. Karena sayalah empunya si otak dan yang memiliki kendali penuh atasnya.
So, what do I feel right now?
Do I succeed?
Do I already make a peace with it?
I can proudly say, “I do. I did it.”
Saya menyadari bahwa ingatan itu masih mendiami pikiran saya, masih belum terhapuskan. Tetapi, sampai detik ini, meskipun beberapa waktu lalu saya ingat kembali dengan hal itu dalam keadaan burnout, saya tidak diguyur oleh emosi negatif. It doesn’t have any effect on me anymore. Mungkin, ini adalah buah dari penerimaan saya terhadap emosi-emosi tersebut sampai saya bisa mencapai garis finish bernama damai.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, ingatan itu bak lembaran buku yang basah terkena air. Tapi, bagaimanapun kondisi buku itu, bukankah saya tetap menyimpannya dan bahkan mencintainya? Bekas basah di kertas itu akan tetap di sana, tapi dia juga berperan sebagai pengingat bahwa di hari-hari mendatang saya harus berhati-hati dalam merawat buku-buku saya.
Last but not least, lemme say these affirmations to my own self,
“Thank you for finding the peace we need. Your courage brings us to freedom. You’re clean, now. You win. We win.”
Malang, 22 September 2021
8 notes · View notes
Text
What's Our Common Ground about Freedom of Speech?
Tumblr media
Saya tertarik dengan istilah yang dipakai Mbak Alissa, yakni kemerdekaan berpendapat, bukan kebebasan berpendapat. Memang makna leksikonnya sama, tapi seperti yang sudah Mbak Alissa tuliskan, makna kontekstualnya akan berbeda.
Kebebasan cenderung mengacu kepada hal yang tidak ada batasan, sedangkan kemerdekaan menitikberatkan pada kebebasan atas represi.
We have the same right to voice out our opinion. Apapun opininya, kita semua punya hak untuk menyuarakannya meskipun opini-opini itu akan bertentangan. Like what Evelyn Beatrice Hall said, "I disapprove of what you say, but I will defend to death your right to say it."
Kasarannya, apapun yang orang lain katakan, mau kamu suka atau enggak, kamu nggak bisa membungkam mereka. Mereka punya hak untuk menyuarakan itu. Termasuk ujaran kebencian.
Di sini, muncullah masalah baru. Seberapa sering kita menemui kasus kekerasan fisik yang dipicu oleh ujaran kebencian? Yang dipicu oleh perbedaan pendapat? Bagaimana cara mengatasinya? Apakah kebebasan berpendapat terlalu berbahaya untuk diterapkan? Haruskah yang demikian itu dibungkam? Haruskah kita dibungkam?
Hal seperti ini sudah jelas masuk ke ranah manajemen emosi. Seberapa cermat kita bisa menganggap angin lalu opini yang tidak membangun. Kalau kita bisa memilah antara opini yang layak atau tidak layak untuk dijadikan bahan debat atau diskusi, I don't think it will come down to violence.
Seperti yang pernah dikatakan Memed, salah satu teman saya, "Offense is taken, not given." Sadly, tidak semua orang bisa cermat memilah dan memilih mana hal yang harus dianggap angin lalu, mana yang harus dijadikan asupan untuk mengonstruksi pola pikir kita.
But then, ada masalah lagi. Hal seperti ini sering dihubungkan dengan norma atau nilai sosial. Saya menyebut nilai sosial saja karena menurut saya lebih universal. Kalau sudah seperti ini, muncul pertanyaan retoris yang sudah ditulis oleh Mbak Alissa ini.
Tumblr media
Common ground-nya ada pada respecting the thoughts of others. Kebebasan berpendapat kita dibatasi oleh penghormatan kita terhadap orang lain. Apa ini salah? Menurut saya tidak.
Tapi, penghormatan kita terhadap orang lain ini juga masih abstrak batasannya. Sampai garis mana kita menunjukkan penghormatan kita? Dengan menyaring opini kita kah? Kalau kita saring, apakah tidak memengaruhi pesan yang ingin kita sampaikan?
Freedom of speech yang saya bahas di awal lebih ditujukan kepada si penerima opini, how it allows us to dismiss their argument as nonsense. Kalau yang kedua lebih fokus ke pemberi opini, voice out your opinion with respect.
Mana yang benar? Atau mana yang lebih benar? Saya juga nggak tahu. Kadang merenung juga, di garis mana benar dan salah dipisahkan? Di batas mana baik dan buruk didistingsikan?
Malang, 8 November 2020
4 notes · View notes
Text
Is Our School System Failing Us?
Some times ago, a friend of mine showed me a research about Indonesian's education, he said "How badly the school system failing them," then asked me, "Sistem sekolah sing bagus itu sing kayak gimana menurutmu?" And I answered, "Tbrh, I don't even know."
Punya profesi di bidang pendidikan nggak otomatis membuat saya jadi kritis dan ahli dalam memikirkan sistem pendidikan yang tepat untuk anak didik kita. Tapi, untuk langkah awal yang diambil oleh Pak Menteri trntang pentingnya literasi dan numerasi menurut saya sudah tepat.
Saya juga sadar kalau sekolah-sekolah berlomba-lomba untuk memberikan nilai yang tinggi kepada anak didiknya. Kenapa? Untuk memperbesar peluang mereka masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Karena hal itulah otomatis para guru enggan memberikan nilai pas-pasan apalagi di bawah KKM. Well, mungkin bisalah diolah dari hasil observasi guru terhadap sikap siswa selama guru mengajar. Entah yang seperti itu apakah sudah tidak lagi dinamakan objektif?
Akhirnya, saya jadi berpikir, kenapa harus ada pengujian reliabilitas instrumen asesmen kalau ujung-ujungnya nanti penilaiannya tidak berdasarkan hasil belajar siswa? Tidak berdasarkan ketercapaian indikator-indikator pembelajaran?
Malang, 16 Juni 2020
Harus bagaimana memperbaiki sistem yang sudah diterapkan dari jenjang terdasar pendidikan ini? Pihak yang mengeksekusi sistem pendidikan juga harus diberdayakan sseperti apa? Bagaimana?
0 notes
Text
Dear, Parents. Let Your Children Greet Their Failure(s) Gracefully
Orang tua yang selalu disuguhi prestasi-prestasi gemilang anaknya juga harus mempersiakan hati, mental, dan diri bahwa suatu saat anaknya mungkin saja akan tersandung dan jatuh. Entah karena anaknya yang kurang berhati-hati atau ada faktor eksternal.
Tidak hanya di situ, orang tua juga harus bisa membimbing anaknya bukan hanya bagaimana cara bangkit, tetapi bagaimana mengurangi probabilitas terjatuh lagi. Saya tidak mengatakan tidak terjatuh lagi karena pada dasarnya, manusia akan selalu menemui kekeliruan.
Tapi, saat salah satu dari mereka ada yang melakukan pelanggaran sampai orang tuanya dipanggil menghadap bidang ketertiban, yang saya lakukan adalah diam dan mencekoki pikiran saya bahwa manusia memang selalu menemui kekeliruan. Saya tidak peduli dengan reputasi kelas saya, hal itu bukan prioritas.
Saya memang bukan orang tua, tetapi saya belajar dari pengalaman saya yang saat ini sedang berusaha menjadi figur orang tua di sekolah, terutama di kelas saya.
Saya terbiasa menerima persembahan bahwa anak-anak kelas saya ada yang nilainya tertinggi tingkat paralel, juara nasional, pandai menyanyi, public speaker, native in english, dan persembahan lainnya.
Yang paling penting untuk saya adalah saya berkomunikasi dengan mereka, memastikan kalau mereka tahu mereka berbuat salah, menjadikan ini sebagai pelajaran untuk hari-hari selanjutnya, dan mereka bisa menilai mana yang baik-buruk dan benar-salah untuk diri mereka sendiri.
Sebenarnya tidak hanya pengalaman saya di sekolah, ini juga kritik saya terhadap orang tua saya. Mereka terbiasa melihat saya mampu, saya bisa. Meskipun prestasi saya tidak semenyilaukan itu, saya selalu dalam kategori mampu.
Karena itu, saat saya menemui banyak kekeliruan yang membuat saya tersandung lalu jatuh, yang celakanya saya juga memilih untuk diam di tempat jatuh itu, orang tua saya merasa kecewa dan yang paling parah adalah tertekan. Iya, bukan saya saja yang tertekan, melainkan ayah dan ibu saya juga.
Malang, 17 Oktober 2019
Mestinya, hal itu bisa dicegah dengan komunikasi yang baik, sama-sama berargumen dan mendengar. And we lack of that back then. Kausalitasnya adalah satu hal, yakni komunikasi. Sebabnya adalah komunikasi yang buruk. Akibatnya, komunikasi semakin memburuk.
1 note · View note
Text
Perjalanan Panjang Sistem Pendidikan Kita
This will be a long journey. Bukannya saya nggak setuju, ini malah kebijakan yang bagus karena literasi dan numerasi itu memang aspek fundamental dalam pendidikan.
Karena fundamental, seharusnya diterapkan sejak dini, sejak anak anak menerima pendidikan utama. Nah, karena harus diterima sejak dini itulah, problema yang akan muncul nggak hanya dari kalangan siswa, tapi dari kalangan guru. Admit it, nggak semua guru juga paham konsep literasi dan numerasi. Saya termasuk salah satu yang masih belum sepenuhnya paham tentang numerasi.
Selain itu, anak anak yang sudah berada di jenjang sekolah atas, mereka harus adaptasi lagi dengan kurikulum yang berubah. Mengedepankan literasi dan numerasi. Tidak hanya sekadar membaca, tetapi memahami, menuliskan ulang dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari.
Pengeksekusi sistem yang saya maksud ini ya semua kalangan manusia. Tapi, kalau itu dirasa terlalu berat, ya saya persempit antarkalangan instansi pendidikan.
Memperbaiki sistem itu memang susah dan butuh waktu yang lama. Karena sistemlah yang akan membentuk kebiasaan, dan pembiasaan itu adalah hal yang susah. Perubahannya pun nggak bisa dilihat setahun dua tahun kemudian, tapi butuh beberapa tahun ke depan. Belum lagi kalau yang mengeksekusi sistem ini nggak kooperatif, beuh yo mbulet ae terus.
Menurut saya, langkah kedua setelah membenahi sistem dan kurikulum pendidikan ialah pemberdayaan guru. Mau itu pemberdayaannya lewat seminar, MGMP, atau lokakarya. Guru harus paham dan benar-benar mampu untuk menerapkannya. Yang terpenting adalah kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan dengan sebenar-benarnya agar efektif. Karena selama ini kegiatan-kegiatan seperti itu dihadiri dengan landasan yang penting ikut.
Setelah guru, baru eksekusinya ke siswa. Ya memang mau nggak mau siswa harus beradaptasi lagi dengan kurikulum yang berbeda. Tugas guru selain membimbing siswa adalah menumbuhkan semangat dan kesadaran diri siswa dalam belajar.
Malang, 15 Desember 2019
Orang tua juga faktor penting sebenarnya. Kalau di sekolah sudah ditanamkan value yang demikian, tetapi di rumah malah ditanamkan value yang sebaliknya, kasihan anaknya.
0 notes
Text
Tidak Ada Profesi yang Superior atau Inferor
🌸 Mbak e te ngelesi a?
🌹Iya mbak. Jan, padahal malam minggu 😆
🌸 Mantap wes, malam minggu panggah kerjo 😆
Small talk saya dengan salah satu temen kos waktu kemarin maghrib jadi membuat saya memikirkan beberapa hal tentang sebuah pekerjaan.
Teman saya memakai kata kerja meskipun saya kerjanya mengajar. Which is okay for me. It really is (Saya mengatakan seperti ini karena ada sebagian orang yang berpikir bahwa mengajar itu tujuannya bukan kerja). Karena ya memang niat saya kerja sih, untuk bayar kos dan beli makanan. Saya ngajar di instansi atau enggak ya memang tujuannya adalah nyari duit.
Nggak jarang juga mendengar kalimat seperti ini, "Diniati ibadah. Jadi guru itu nanti pahalanya banyak."
Kan mencari nafkah juga salah satu bentuk ibadah, saudara. Kalau urusan pahala mah siapa saya kok berani-beraninya ikut ngitung? Dapat pahala atau enggak, itu urusannya Tuhan.
"Guru itu pekerjaan paling mulia," they said. I beg to differ. Semua, saya ulangi, semua pekerjaan itu mulia, asal membawa kebaikan untuk orang lain ataupun dirinya sendiri. Mau kamu menjadi pengusaha, dokter, polisi, guru, sopir, petugas kebersihan, ataupun penjual cilok, semuanya mulia.
Hal ini juga mebgingatkan saya pada tanggal 30 bulan lalu. Saya kembali dari Gresik ke Malang pakai motor. Waktu sampai di daerah Surabaya, ada suara sirine. Nggak lama, ada beberapa petugas damkar lewat, pakai motor dan unit mobil. Nggak tahu kenapa waktu itu saya refleks menangis karena berpikir, "Gila ya, pengorbanan mereka demi nyelametin orang lain seluar biasa itu."
Nggak sekali itu aja sebenarnya. Saya beberapa kali dibuat menangis waktu motoran di jalan cuma karena papasan dengan mobil ambulans berkecepatan tinggi dilengkapi sirinenya, atau bapak-bapak di pertigaan yang membantu menyeberangkan pengendara, atau bapak-bapak pasukan oranye yang membersihkan jalan.
Seringkali saya juga merasa kalau pengabdian saya ke manusia lain nggak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Tapi, ya memang kita punya porsi masing-masing, pengabdian kita ke manusia lain bentuknya berbeda-beda. Tugas kita adalah memaksimalkan apa yang dipercayakan kepada kita.
Jadi, mau bekerja apapun, asal membaikkan orang lain dan diri kita sendiri, saya rasa itu adalah hal yang mulia. Nggak ada pekerjaan yang superior. Dengan kita bekerja dan menghasilkan uang untuk kelangsungan hidup kita (dan sebagian orang juga untuk menghidupi keluarga) itu juga sudah bentuk ibadah.
Last but not least, kalau kita bekerja sesuai dengan passion, hobby, atau jurusan kita, itu adalah sebuah privilese. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan privilese itu sebaik mungkin untuk membaikkan sesama.
Malang, 19 Januari 2020
6 notes · View notes
Text
"LDR is a Horseshit," They Said. I Beg to Differ
Decided to write this down karena beberapa kali nemu tweet orang-orang yang kesannya memomokkan LDR. Okay, so... these are my thoughts about LDR. Entah valid atau enggak karena saya nggak bisa berbicara dari sudut pandang orang yang sedang LDR-an, tapi cuma dari sudut pandang observer aja 😂
LDR tidak akan berakhir tragis kalau kedua pihak sudah benar-benar berkomitmen untuk menjaga relasyensyip mereka. Klasik? Memang. Tapi, komitmen yang sungguh-sungguh adalah usaha preventif dari kedua pihak.
Selain itu, sebelum berkomitmen mereka juga harus melakukan kompromi dalam berbagai hal. Salah satunya, membahas mengenai love language masing-masing, yakni words of affirmation, act of service, quality time, physical touch, receiving gift. Kenapa itu penting? Because when you said you love someone, that doesn't mean they feel loved by you. So, this what love language for. Dan, 1 dari 5 love language adalah physical touch, yang berarti kalau dalam keadaan LDR nggak bisa terealisasikan.
Kalau 4 love language yang lain, saya kira masih bisa diatasi dengan tindakan-tindakan lain yang tidak menuntut pasangan harus ada di sebelah kita.
Seems like trivial thing, but I believe this is important. Misal, saya punya partner, udah klop banget sama si doi, lah kok tiba-tiba dia dipindahtugaskan ke luar Jawa. Mau nggak mau LDR-an kan? Nah, masalahnya, salah satu love language saya adalah physical touch. Gimana?
Itu yang harus kami komunikasikan dan kompromikan. Berarti partner saya harus usaha buat mempraktikkan love language saya yang lain. Kalau love language saya yang lain adalah quality time, ya berarti dia juga usaha buat semaksimal mungkin untuk merealisasikan that quality time.
Quality time nggak perlu tatap muka secara langsung, kan lagi LDR-an ya. Jadi ya sekadar ngobrol panjang lebar tentang topik yang kami sukai via telepon juga sudah termasuk quality time.
Nah, dengan begitu, saya tetap merasa dicintai. Kalau saya sudah merasa dicintai dan berkomitmen, berarti nggak ada alasan untuk membuka peluang bagi cowo lain. Begitupun sebaliknya. Yang namanya kompromi, berarti kesepakatan kami berdua. Saya juga harus berusaha buat melakukan love language-nya doi.
Kolega saya ada beberapa yang LDR, malah sejak mereka masih kuliah, ending-nya juga sekarang nikah dan punya anak. Tetap LDR. Hubungan pernikahan mereka sehat.
Jadi, saya kurang setuju sih kalau ada yang terlalu memomokkan LDR. LDR bukan alasan untuk selingkuh. Saya nggak mengatakan hubungan LDR akan mulus-mulus aja, that's naïve. Tapi, kalau ada orang lain yang punya hubungan sehat dalam LDR, kenapa kita nggak bisa?
Dont give me that, "Yang istimewa akan selalu kalah dengan yg selalu ada." shit . Orang yang selingkuh akan merasa dirinya nggak salah karena kalimat itu. Sedangkan, orang yang diselingkuhi merasa dirinya salah karena kalimat itu. That's a big no-no, a complete nonsense for me.
Malang, 4 Oktober 2019
1 note · View note
Text
Goodbye, Glorification! Welcome, Priority
"Khurin nggak pengin S2?" Yes, my friend, I want to. I really do. Melihat teman-teman saya yang lanjut studi lagi bikin saya iri. Jelas banget itu. Apalagi saya dan segala kenaifan dulu sudah menyusun rencana kalau sehabis lulus S1 langsung S2.
Ingat banget kok dulu waktu saya lagi di awal-awal mau mengisolasi diri, saya sempat ditelepon salah satu teman karena dia mau ngasih info tentang S2 di UM. Boro-boro daftar S2, lah wong waktu itu saya belum selesai skripsi dan sedang di fase jatuh.
Dulu, duluuu banget, motivasi saya pengin lanjut S2 ini masih kena embel-embel prestise dan gengsi. Apalagi kalau saya lulus S1 tepat waktu, saya masih usia 21. Kan keren tuh ya kalau usia 23 sudah dapat gelar magister?
But boi I was such a fool. Iya, saya bego banget sumpah. Ngapain juga ngejar prestise dan gengsi yang banyak dipengaruhi sama standar masyarakat? Nggak bakal ada abisnya sistur.
Nah, terus gimana? Saya lurusin otak saya dulu. Bener-bener harus berdialog dan memahami kemauan diri saya sendiri, tanpa jadi budak standar masyarakat. Kenapa? Ya saya mau-mau aja mengikuti standar mereka, tapi juga harus ada batasnya.
Waktu saya mengisolasi diri itu, saya gunakan untuk berdialog dengan diri saya sendiri sih. Banyak mikir. Banyak merenung. Banyak menggalau. Banyak sumpek. Tapi, apa saya menyesal? Iya dan enggak.
Iya, karena saya lalai dengan tugas dan tanggung jawab saya untuk nyelesaiin skripsi, juga karena menarik diri dari orang-orang terdekat saya. Enggak, karena dari masa itu saya banyak belajar tentang diri saya sendiri, saya belajar mengubah self-hatred jadi self-love.
And, apa hubungannya dengan keinginan untuk lanjut studi? Hubungannya adalah karena saya tahu apa yang saya mau, jadi saya bisa menjawab dengan yakin kenapa saya mau S2. Saya juga baru menyadari kalau saya sudah punya jawaban yang tepat itu baru beberapa bulan lalu karena ada teman saya yang sedang menempuh S2 tanya saya, "Sekarang kamu tak tanya, niatmu pengin S2 sebenere apa?"
Waktu itu sudah nggak terlintas lagi kata prestise, gengsi, atau bahkan profesi. Jawaban saya waktu itu cuma satu kalimat, "Soale aku suka sama apa sing aku pelajari dan aku pengin tahu lebih banyak soal hal itu."
Sejak saat itu, bagi saya S2 sudah hilang keistimewaannya. Nggak ada glorifikasi sama sekali tentang S2. Tapi, apa karena saya tidak mengglorifikasikan S2 artinya saya nggak mau S2? Ya enggak lah ya, sistur. Tetap pengin dong.
Cuma ya... Ya sudah. Seperti yang saya bilang tadi, nggak ada glorifikasi untuk S2. Lagipula, saya sekarang juga sudah punya tanggung jawab dan prioritas lain yang tentunya sudah menggeser opsi untuk S2.
Prioritas saya sekarang adalah bertanggung jawab atas pilihan saya, yakni mengajar. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah soal biaya. Bagi saya, biaya S2 nggak sedikit. Saya juga memilih untuk nggak membebani ayah ibu saya meskipun saya yakin mereka tidak akan merasa demikian.
Adik saya ada dua, yang satu MA dan satunya MTs. Okay, yang MTs biayanya memang nggak banyak, tapi biaya adik saya yang MA sudah kelihatan. Belum lagi mereka berdua besok juga kuliah. Saya lebih memilih ayah ibu saya menabung uangnya untuk kuliah S1-nya mereka daripada S2 saya.
"Lah kalo masalah biaya kan bisa cari beasiswa."
Iya zheyenk, bisa. Jelas bisa nyari beasiswa dan mempersiapkan diri dari sekarang. Tapi kembali lagi ke prioritas. Saya sudah punya skala prioritas saya sendiri yang membuat opsi S2 nggak berada di urutan teratas.
"Ya soale kamu udah tau rasanya kerja. Enak dapet uang sendiri."
Hmmm, malah saya pengin PPG dulu kalau bisa. Kenapa? Karena sekarang saya punya tugas, tanggung jawab, dan kewajiban untuk mengajar anak orang.
Apa yang saya dapatkan di S1 kemarin saya rasa kurang. Cara yang lebih efektif untuk memperbaiki ini itu menurut saya PPG, bukan S2. Tapi, PPG dalam jabatan pun sekarang susah, harus mengabdi 2 tahun dulu baru bisa daftar dan masih harus menunggu panggilan untuk tes.
Jadi, yang bisa saya lakukan skrg adalah makan apa yang ada di piring saya. Dijalani, disyukuri, ditingkatkan usahanya untuk memberi yang terbaik. Lagi pula, ijazah S2 bisa saya dapatkan kapan-kapan, kalau belajar mah bisa saya lakukan kapanpun dan di manapun.
Malang, 8 Agustus 2019
1 note · View note
Text
Tugas Manusia dan Guru
Siang tadi berasa diingetin banyak hal dengan hanya duduk 4 jam di dalam ruangan. Bukan hanya duduk sih sebenarnya, tadi kami juga berdiri pas games dan presentasi. Ada beberapa pengingat yang paling membekas buat saya.
Berbahagialah di atas kebahagiaan orang lain
Let's be honest, kalau kita lihat ada teman yang dapat suatu hal bagus dan besar, a great achievement, nggak jarang kok yang kita duluin adalah perasaan iri. Untung kalo irinya nggak pake dibarengi ke-bitter-an.
Ini pengingat yang paling penting sih buat saya. Daripada ngeduluin "Kok nggak saya aja ya?" Lebih baik bener-bener ngerasa seneng karena teman kita dapat hal baik itu. Ikutan bersyukur buat teman kita. Nggak ada ruginya juga kan ya ikutan seneng waktu teman kita seneng?
Love yourself first. How? Be grateful
Cliché, I know. Tapi seklise apapun kalimat ini, nggak bisa diingkari kalau memang benar. Banyak orang yang cuma sekadar ngerti aja dengan konsep ini, tapi implementasinya masih separuh atau malah nol putul, termasuk saya
Kalau kita nggak bersyukur dengan apa yang kita miliki, gimana mau sayang sama diri sendiri? Bersyukur itu simple kan ya sebenarnya, salah satu caranya ya fokus dengan apa yang kita miliki daripada apa yang nggak kita miliki. Nah, sayang sama diri sendiri juga tugas yang nggak berkesudahan.Nggak ada habisnya. Kenapa nggak ada? Karena dalam proses menyayangi diri sendiri, kita juga selalu mengasah diri kita menjadi kita yang versi lebih baik. Be a better you, bcs 'be you' is not enough, and will never be.
Tugas guru bukan untuk membuat siswa pintar, tapi membangkitkan semangat mereka untuk belajar
Nah, ini!!! Entah kok kebetulan banget beberapa waktu lalu ngobrol dengan teman se-offering yang juga seorang guru. Dia bilang kalau siswa itu sebenarnya masih banyak yang menganggap belajar itu sebuah kewajiban. Padahal seharusnya belajar itu sebuah kebutuhan. Tapi, itu sudah hal lumrah ya, karena dulu waktu kecil saya juga mikirnya seperti itu. Baru pas sudah gedhe aja nyadar ternyata belajar itu kebutuhan yang emang tiap hari harus kita lakukan.
Tugas guru yang paling berat menurut saya, ya ini, bukan membantu mereka dapat nilai sempurna saat UN, tapi membantu mereka agar sadar atas kebutuhan untuk belajar, membantu mereka buat semangat dan senang dalam belajar.
Oleh karena itu,
Kita harus mencintai apa yang kita lakukan
Kalau mereka senang belajar, ilmu sesulit apapun pasti akan mereka pahami. Ini nggak cuma teoretis sih, saya sudah ada dalam tahap empiris waktu kuliah dulu. Linguistics is hard af, tapi karena saya suka, sesulit apapun ya saya pantengin.
Yang terakhir,
Jangan merasa kamu sendiri yang berkorban, semua orang lain juga pasti berkorban.
Nampar banget nggak lau? Sering kan ya kita merasa kalau kita sendiri yang sudah all out dan sudah mengorbankan banyak hal. Padahal di sekitar kita juga banyak orang yang berkorban tanpa sepengetahuan kita. Bisa jadi pengorbanannya lebih besar daripada kita. Bisa jadi karena pengorbanannya yang tidak kita ketahui itulah kita teruntungkan tanpa kita tahu, tanpa kita bilang terima kasih, tanpa kita dituntut untuk membalas.
Dari event sederhana hari ini, saya bersyukur karena Tuhan tidak pernah absen mengingatkan saya kalau selalu ada alasan untuk bersyukur setiap hari. Dan hari ini, alasannya adalah orang-orang hebat dan baik yang Tuhan pertemukan dengan saya. 
Malang, 26 Juni 2019
6 notes · View notes
Text
Lingkungan Membentuk Pola Pikir Manusia
Obrolan saya dengan salah satu teman membuat saya lagi-lagi merenung, betapa letak geografis sangat berpengaruh pada pola pikir homo sapiens.
Kok bisa? Ya bisa, karena letak geografis (lingkungan) pasti punya kebiasaan dan budaya tertentu di antara masyarakatnya, yang secara tidak langsung menanamkan sebuah doktrin pada diri manusia.
Skalanya bisa dimulai dari yang terkecil, yakni dalam lingkup keluarga. Orang tua membesarkan dan mendidik anaknya sedemikian rupa dengan ajaran tentang nilai dan moral, mulai dari A sampai Z sehingga membentuk pribadi yang memiliki pola pikir tertentu.
Nantinya, si anak pasti akan mendapat sebuah didikan lagi dari lingkungan sekitarnya, yang mana bisa jadi didikan itu adalah sebuah validasi atau bahkan bantahan atas didikan dari keluarganya.
Nah, kalau sudah sampai sini, tugas si anak sebagai manusia yang tumbuh dan berkembang adalah berpikir dan menyaring hal-hal yang menurut dia patut diikuti dan tidak. Prosesnya tentu panjang karena menyaring itu butuh banyak waktu dan pengalaman.
Dari menyaring itu, diharapkan si manusya ini akan punya prinsip yang akan dia pegang teguh sebagai life-guide. Yang tidak sesuai dengan prinsipnya, ditinggalkan. Yang sesuai, dipakai.
Masalahnya, terkadang kita lupa untuk meneguhkan prinsip kita. Dalam hal ini adalah prinsip yang bersifat fundamental, prinsip yang sifatnya absolut. Kalau kita gagal meneguhkan itu, pasti akan mudah terbawa arus. Gampang manut dengan apa yang didengar di sana atau di sini.
Kenapa jadi membahas ini? Padahal tadi saya dengan teman saya sedang mengobrol terkait komentar orang-orang yang salah fokus? Ya karena mereka yang salah fokus itu menurut kami sumber masalahnya adalah di pengendalian diri, sedangkan pengendalian diri itu juga dipengaruhi oleh pola pikir yang saya sebutkan tadi.
Pengendalian diri ini memang tugas yang sangat besar dan berat untuk semua homo sapiens sih. Lah saya nulis hal ini juga butuh pengendalian diri, sistur. Pengendalian diri untuk tidak menghujat, tapi meberikan tanggapan dari perspektif saya pribadi.
Malang, 10 Agustus 2019
1 note · View note
Text
Biarkan Kami Berpejar dengan Cara Kami
"Setiap orang punya jalan dan pilihannya masing-masing."
Kalimat itu sering digembor-gemborkan tetapi dalam praktiknya masih tidak sepenuhnya terealisasikan. Salah satu contohnya yang dialami adik saya.
Adik perempuan saya akan resmi menjadi siswi SMA bulan depan. Alhamdulillah dia tahu apa yang dia inginkan dan dengan senang hati menyetujui usul orang tua dan saya mengenai sekolah dan jurusan yang dia pilih. Alhamdulillah juga dia lolos tes di salah satu madrasah negeri di Malang.
Mulanya, guru-guru di MTs-nya memberikan ucapan selamat untuknya. Tentu saja dia merasa senang, bukan? Dia bersyukur mendapat apresiasi demikian. Namun, tingkat percaya dirinya jatuh saat ada beberapa pihak yang dengan teganya 'menyepelekan' pilihan adik saya.
Memang adik saya tidak memilih jurusan eksakta yang sampai sekarang masih dipandang superior oleh mayoritas masyarakat lingkungan saya. Dia memilih jurusan agama, dia merasa mampu di jurusan agama, dan dia senang belajar agama.
Saya masih ingat perkataannya pada satu waktu, "Mbak, Ninda tuh kayaknya ga bisa deh masuk IPA atau IPS. Ga suka. Mending belajar Bahasa Arab atau Nahwu Shorof deh."
Saya juga masih ingat saat dia keluar dari ruang tes, dia menggandeng tangan saya sambil berbisik, "Sumpah ya Mbak, tadi gampang bangeeeeeet. Masa Ninda selesai duluan tadiiiii?? Ohya ayat ini bener kan lanjutannya begini?"
Mengingat sumringahnya adik saya waktu itu, membuat saya semakin jengkel dengan beberapa pihak yang menjatuhkan kepercayaan diri dia.
"Loh? Ninda kok ambil jurusan agama sih? Gampang dong? Kenapa ga IPA aja? Sayang banget loh!" Kiranya seperti itu kalimat yang membuat adik saya minder sampai dia bercerita kepada ibu saya.
Seringkali kita terlalu terbawa oleh stereotip hingga mengerdilkan pencapaian orang lain. Padahal tidak semua individu memiliki minat, kemampuan, dan situasi yang sama. Apa salah jika memberikan sedikit apresiasi? Atau jika keberatan, ada baiknya memilih diam. Because words matter. They can break or build someone's last hope.
Malang, 7 Juni 2018
6 notes · View notes
Text
Stigma pada Cerita Wattpad
Sekadar mau cerita pengalaman saya saat minggu lalu di salah satu toko buku. Waktu itu saya sedang melihat-lihat novel di rak sesi khusus untuk novel dari wattpad. Kebetulan di sana ada beberapa cerita yang sudah pernah saya baca di wattpad. Iya, saya penggemar wattpad.
Rasanya seperti ada perasaan senang saat tahu karya dari beberapa penulis wattpad yang saya kagumi berhasil menerbitkan anak-anaknya. Ada kekaguman tersendiri bagi saya pada mereka. Kemudian, ada seorang perempuan, mungkin seusia saya, atau mungkin lebih muda dari saya melihat-lihat buku di rak tersebut juga.
Awalnya dia mengambil salah satu novel di sana. Membaca sinopsis di belakang bukunya, tapi kemudian dia berdecak dan berkata, "Duh, dari wattpad. Ga suka aku." Refleks, saya menoleh ke arah dia dengan wajah merengut (yang untungnya si mbak udah berlalu dr sana).
Saat itu saya berpikir, ah tidak, sebenarnya hal ini sudah terlintas lama di otak saya. Kenapa orang-orang seolah memandang sebelah mata penulis cerita online? Memangnya apa bedanya penulis online dengan penulis novel yang memang langsung diterbitkan? Bukankah semua karya tulis itu sama?
Mereka sama-sama menulis sebuah plot, menulis sebuah cerita yang kemudian diapresiasi oleh pembacanya. Yang membedakan kan hanya medianya. Banyak cerita online yg tidak kalah bagus dengan novel-novel yang sudah terbit. Saya sendiri berkali-kali jatuh dan kagum dengan beberapa penulis online dan anak-anaknya.
Dulu kita belajar apa saja unsur intrinsik novel atau cerpen, kan? Karya-karya online juga punya unsur itu. Punya semuanya. Punya amanat. Punya nilai moral juga. Rasanya jahat sekali kalau mendiskriminasi penulis online hanya karena media membacanya.
Saya jadi teringat perkataan teman saya, "Kita sekarang sudah hidup di era modern. HP kita sudah punya fitur lengkap. Orang-orang berkata minat baca orang zaman sekarang itu lebih rendah karena mereka sibuk dengan ponselnya. Loh, kenapa buku cetak harus menjadi patokan kalau sekarang sudah ada e-book?"
Bisa saja kan orang-orang itu sibuk dengan HP-nya karena dia sedang membaca? Membaca berita, membaca artikel, membaca jurnal, membaca buku, atau membaca cerita fiksi.
Lantas, masihkah buku cetak menjadi satu-satunya patokan mengukur minat membaca? Lantas, masihkah penulis novel terkenal menjadi satu-satunya patokan penulis berbakat? Saya hanya berharap orang-orang akan lebih mengapresiasi penulis dan pembaca buku online.
Malang, 23 Februari 2018
0 notes
Text
Ambivalensi Malang
Malang hampir selalu disebut namanya ketika seseorang menyebutkan kota-kota romantis di Indonesia. Romantis...
Sepertinya romantis dan aku tidak begitu cocok. Aku tidak bisa menggambarkan hal yang disebut romantis. Mungkin, konsep romantis dalam kamus otakku berbeda dengan orang lain. Atau mungkin, romantis memiliki arti yang terlalu dangkal untukku. Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin karena itu, aku kurang rela jika aku harus menyematkan adjektiva itu di belakang kata Malang. Malangku tidak se-cethek itu. Bagiku, Malang lebih cocok dilabeli adjektiva ambivalen. Iya, Malang itu ambivalen. Sangat ambivalen. Setidaknya menurutku. Baru empat tahun lalu aku menjadi bagian dari Malang. Dengan semua asap kendaraannya, dengan semua suhu dinginnya, dengan semua logat kerasnya. Harus kuakui aku tidak jatuh cinta pada pandangan pertama. Malang tidak seatraktif itu untuk membuatku langsung terpesona. Tapi, afeksiku pada Malang tumbuh berbanding lurus dengan bergantinya malam menuju siang. Malang terlalu sering menyimak ceritaku, terlalu sering memperhatikan perubahan pola pikirku, terlalu sering menertawakan kebodohanku, dan terlalu sering menangkap potret demi potret fabulaku. Malang memang bukan sebuah tempatku untuk pulang. Dia hanya tempatku singgah, belajar, beristirahat, bersosialisasi, mengisolasi diri, mengutuk diri, bermetamorfosis, berlari dari kata rumah, dan menuangkan rindu untuk kata pulang. Malang hanya singgahan sementara yang kebetulan menjalin emosi batin denganku. Akan lain cerita jika esok dia bisa mengubah posisinya sebagai tempat kata pulang. Sial, Malang memang seistimewa itu.
Malang, 26 Maret 2019
0 notes
Text
Senja Bertemu Hujan
Senja duduk setiap hari di pojok sebuah kafe yang berada di sebelah barat kota. Dia berdiam di sana tidak lama. Sendirian, dan hanya dengan segelas air putih di mejanya.
Sebenarnya dia tidak menunggu siapapun. Tidak ada harapan kalau akan ada yang menghampirinya juga. Senja tidak pernah berharap. Dia hanya akan melakukan sesuatu yang ingin dia lakukan. Tanpa alasan, tanpa harapan. Sesederhana kata ingin yang hanya terdiri dari lima abjad. Tapi, hari ini ada yang suka rela duduk di depannya dengan segelas air putih pula, sama dengan gelas milik Senja, hanya saja ada balok-balok kecil es di dalam gelas milik si pendatang. Si pendatang mengaku bernama Hujan. Dia meneguk air esnya, kemudian memberi senyum tipis pada Senja. "Kalau kamu duduk di sini karena berpikir kalau aku sedang kesepian, kamu salah." Intonasi datar yang keluar dari mulut Senja tidak membuat Hujan terkejut. Dia justru semakin melebarkan senyum. "Alasanku duduk di sini sama dengan alasanmu." Mereka sama-sama diam. Hingga tegukan terakhir air es Hujan, Senja memfokuskan netranya pada Hujan. Dia melihat Hujan berdiri, tersenyum singkat padanya, kemudian berbalik dan keluar dari kafe itu.
Malang, 24 Maret 2019
0 notes
Text
Selamat Malam, Malamku
"Selamat malam, Malamku." Sebaris kalimat itu sebagai larik pembuka salah satu puisi yang kutulis beberapa bulan lalu. Beberapa minggu ini, aku lagi-lagi terlalu menyukai Malam sampai mataku tidak rela menutup sedikitpun dan memilih untuk menemani Malam mengobrol. Kami berteman sudah lama, tapi tidak bisa dikatakan teman dekat, sampai beberapa minggu terakhir. Dulu, saat aku kecil, kami hanya bertemu sejenak. Dia menegurku, tapi aku terlalu muda untuk berinteraksi dengannya. Jadi, teguran itu hanya sepihak sampai bertahun-tahun.
Kami mulai bertegur sapa saat aku memasuki masa remaja. Tidak sering, bahkan dalam satu tahun bisa dihitung dengan jari. Itupun kami hanya bertegur sapa. Dia menyapaku, aku membalas, lalu aku beralih bercengkerama dengan temanku. Dia terabaikan, tapi masih di sana. Intensitas interaksi kami meningkat saat aku mulai meninggalkan setelan pakaian yang orang sebut seragam. Terkadang aku mengajaknya bicara, terkadang dia menemaniku menekuri keyboard laptop kesayanganku, dan terkadang dia mulai bercerita tentang potongan kejadian kecil yang disuguhkan oleh semesta. Kami mulai berteman dekat waktu itu. Kedekatan kami semakin erat sejak beberapa minggu terakhir. Kami bertemu dengan dikelilingi banyak suara dan pijar lampu yang dinyalakan orang-orang. Sebenarnya dia pernah bilang padaku kalau dia tidak begitu suka dengan sorotan cahaya berwarna putih itu. "Aku tidak bisa memamerkan bintang-bintangku dengan jelas," alasannya ketika aku bertanya mengapa. Saat jarum pendek jam mulai meninggi, kami semakin dekat dan intim. Bersamaan dengan meredanya suara-suara penghuni bumi dan lampu-lampu yang sebagian mulai dimatikan, kami mulai berbagi rahasia satu sama lain. Seringkali rahasia yang dia bagi membuatku tergelak hingga membuatku mati-matian menahan suara tawaku agar tidak memecah keintiman kami. Sedangkan rahasia yang kubagi dengannya seringkali membuatnya menangis tersedu sampai aku harus memberinya berlembar-lembar tisu. Suatu kali, saat aku mengulurkan sekotak tisu untuknya yang sedang menutup muka karena air matanya sudah merembes ke wajah, dia mengambil satu lembar dan menggunakannya untuk mengusap pelan pipiku yang ternyata juga basah. Tidak berbeda dengan keadaannya, ternyata. Aku masih bergeming saat dia menarik lembar tisu kedua dan kembali mengusapnya di pipiku yang satu. Tiga detik setelahnya, giliran tanganku yang mengambil tisu untuk membersit hidungnya. Aku tidak ingin ingusnya masuk ke dalam mulut dan tertelan. Kami memutuskan untuk menyudahi membuat pipi kami basah karena persediaan tisuku tinggal sedikit. Kami harus menyisakannya untuk pertemuan kami selanjutnya yang entah kapan. Aku dan Malam. Kami berteman baik, tapi kami bertolak belakang. Kami berbagi rahasia, tapi kami sangat berbeda. Kuputuskan kalau kami adalah antinomi yang sepakat untuk saling menawarkan pengertian.
Malang, 23 Maret 2019
1 note · View note