Tumgik
#qur'an review
journal-rasa · 20 days
Text
Validasi Terbaik dari Allah
Pernah dengar lagu Yura Yunita yang Tutur Batin?
Kadang kalau dipikir, lucu juga, ya.
Kita ke sana kemari hanya demi sebuah validasi. Haus mencari perhatian hanya demi sebuah pengakuan.
Padahal, Allah sudah kasih kita satu surat yang luar biasa, yang sanggup memvalidasi semua perasaan kita. Semua kesedihan kita. Semua kegalauan kita.
That's, Al-Kautsar.
Surat ke 108 di dalam Al-Qur'an. Isinya hanya tiga ayat, tapi maknanya luar biasa.
Menurut asbabun nuzulnya, ayat-ayat ini diturunkan ketika ada pemuka kaum Quraisy yang merasa lebih baik dari nabi Muhammad (shalallahu 'alaihi wa salam), mereka mengatakan bahwa nabi (shalallahu 'alaihi wa salam) adalah 'abtar', atau bisa dibilang terputus keturunannya karena nabi (shalallahu 'alaihi wa salam) tidak memiliki anak laki-laki yang akan menjadi penerusnya.
Diceritakan bahwa nabi (shalallahu 'alaihi wa salam) seketika tersenyum setelah menerima wahyu yang hanya berisi 3 ayat ini.
Tentu, karena surat ini menjadi validasi yang luar biasa bagi siapa pun yang beriman pada Allah.
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. [1]
Hey, kenapa kamu sibuk dengerin apa kata orang? Apa omongan orang tentangmu, yang bahkan mereka tidak tahu apa-apa tentangmu?!
Tidakkah kamu menyadari bahwa Allah telah mengkaruniakan begitu banyak nikmat-Nya padamu? Pernahkah kamu menghitung nikmat-Nya? Sudahkah kamu mensyukurinya?
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah. [2]
Hey, jika kamu sudah sadar akan nikmat Tuhanmu, maka dirikanlah shalat itu untuk Tuhanmu.
Coba, selama ini kau shalat karena apa? Karena hendak mengikuti ujian? Karena akan ada interview kerja? Karena harus presentasi project? Atau sederhananya, hanya karena itu kewajiban?
Kapan terakhir kali kau benar-benar memaknai bacaan Al-Fatihah di dalam shalatmu? Kapan terakhir kali kau benar-benar meminta untuk ditunjukkan pada jalan yang lurus, sebagaimana jalan orang-orang yang telah Allah anugrahi nikmat pada mereka? Bukan jalan orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang disesatkan? (Itulah makna 2 ayat terakhir surat Al-Fatihah)
See, ini nyambung sama ayat pertama.
Ketika kamu sadar bahwa kamu sudah dikaruniai nikmat yang banyak, maka kamu bingung 'kan bagaimana cara menggunakan nikmat itu, agar nikmat itu tidak sia-sia? Agar nikmat itu kelak tidak mencelakakanmu atau orang-orang disekitarmu?
Maka dari itu kamu diperintahkan untuk melaksanakan shalat karena Tuhanmu. Di dalamnya kamu akan meminta untuk ditunjukkan pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah dianugrahi nikmat. Iya, seperti kamu. Agar kamu tidak terjatuh pada 2 golongan berikutnya, yaitu golongan orang yang dimurkai dan golongan orang yang disesatkan.
Setelah kamu mendirikan shalat karena Tuhanmu, maka selanjutnya kamu diperintah untuk berkorban untuk Tuhanmu.
Sebagaimana pengorbanan nabi Muhammad (shalallahu 'alaihi wa salam) yang harus rela tidak memiliki penerus laki-laki karena statusnya sebagai Khatamul Anbiya. Jika Nabi (shalallahu 'alaihi wa salam) memiliki penerus laki-laki, dikhawatirkan anak itu akan memiliki sifat-sifat kenabian.
Atau pengorbanan seperti yang terjadi pada Maryam binti Imran, yang senantiasa menjaga kesuciannya. Namun, Allah meniupkan ruh ke dalam rahimnya yang membuatnya mengandung tanpa pernah disentuh. Hal itu menjadikannya harus menerima berbagai cacian dan hinaan dari kaum Bani Israil yang tidak mengerti.
Atau pengorbanan sebagaimana yang dilakukan Khidr. Ia seorang yang paham ilmu agama, tapi Allah memakai tubuhnya untuk melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama. Yang mana semua memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Ketika kita sudah menyadari bahwa kita dikaruniai nikmat yang banyak, lalu kita pun menyerahkan semuanya pada Allah dengan meminta ditunjukkan pada jalan yang lurus. Maka kita akan menyadari bahwa setiap apa pun yang terjadi pada kita adalah sebentuk dari pengorbanan kita kepada Allah, termasuk saat dulu kita pernah melakukan suatu kesalahan yang dilarang agama. Tidak ada yang salah dengan kesalahan, karena di dalamnya terdapat pelajaran, dan Tuhan adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang bertaubat.
Setelah kita memahami 2 ayat pertama, maka kita akan sampai pada ayat ke-3. Sebuah validasi terbaik yang diberikan Allah untuk kita.
اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. [3]
Siapa yang membenci kamu ketika kamu bahkan bersama dengan Tuhanmu?
Siapa yang berani membenci kamu ketika bahkan kamu tengah berkorban untuk Tuhanmu?
Serius, kamu masih memperdulikan mereka yang membenci kamu padahal Tuhan sudah kasih kamu nikmat yang banyak banget?
Sebenernya merekalah orang-orang yang terputus dari rahmat Tuhan mereka, kenapa kamu memperdulikan mereka?
Kalau kata Mbak Yura, mungkin:
"Silakan pergi, ku tak rasa kalah."
17 notes · View notes
notetaeker · 10 months
Text
Please have your kids memorize longer surahs in a fun way when they're little. That way those surahs will always be filled with a distinct comfort and nostalgia like nothing else when they get older. It doesn't even have to be a whole surah. The satisfaction of reciting qur'an and reaching an ayah you know is so amazing. It's like arriving at a place that's packed and recognizing your friend in the crowd ;_;
If you make it fun then it'll be such a powerful thing in their lives. It's a different kind of comfort subhanallah.
This also works on yourself by the way- you are the youngest you'll ever be so might as well start today... Who knows? Some years down the road you might read the ayah or happen to hear it and recognize it like you would an old friend 💓💓
45 notes · View notes
gizantara · 3 months
Text
Compassionate Servant
Habis sholat melamun di depan aquarium, langsung mikirin berbagai aktivitas yang mau dilakuin. Tiba-tiba "tasks in my head" ke-close lagi dengan satu kalimat:
"Allah punya hak surat-Nya dibaca oleh kita. Gak usah buru-buru menunaikan tanggung jawab ke makhluk lain dulu, kalau belum jadi penerima surat yang bertanggung jawab."
Di tengah dunia yang serba cepat, baca Qur'an ngasih dampak untuk menormalkan kembali kecepatan default dalam hidupku dan menahan diriku dari ketergesaan. Istilah Sundanya mah, "rek kamana atuh, sakirana rurusuhan mah mangkat we ti kamari" hahaha.
Tapi sebenarnya mah emang dodol juga, numpuk banyak tasks buat dikerjain tapi eksekusinya cuma satset saat mendekati deadline (sanes ti kamari).
Ya udah lah, itu mah hal lain. Tapi mau review perkara baca Qur'an dulu deh, yang kayanya selama kuliah tuh aku ngerasa rurusuhan mulu, pasti karena baca Qur'annya masih nggak konsisten. Minggu kemarin pisan, ditanya sama temen:
"Za, testimoni tentang baca Qur'an dong!"
"Pokoknya jangan lepas interaksi seharipun. Even cuma dengerin murroral. Tapi jangan merasa cukup. Coba baca dikit aja asal konsisten. Aku juga lagi terus biasain ngaji biarpun cuma satu ain sehari."
"Kenapa ain? Nggak halaman?"
"Kaya ngajinya nenek-nenek ya? Hahaha. Tapi sebagai orang yang gak suka teratur, ngaji pakai sistem ain tuh seru. Kadang sekali ngaji bisa cuma setengah halaman, kadang bisa sehalaman lebih, hampir dua halaman. Terus jadi ga kepikiran ngitung-ngitung halaman untuk nyari tau kapan ganti juz."
"Terus rasanya gimana?"
"Hmm.. mungkin kaya, pulang. Dari semua hiruk pikuk dunia, ketika hati dan pikiran udah kesana kemari ngurusin banyak hal, rasanya kaya balik ke home base buat nutup semua tasks dan recharge dulu. Stabil dan menenangkan. Aku mulai percaya Qur'an itu obat. Tadinya kukira cuma istilah klise doang."
Sampai di sana, aku juga merasa sayang banget euy udah bertahun-tahun kenal Allah tapi keliatan gak banyak effort untuk memahami Allah dan nyari tau lebih dalam tentang maunya Allah gimana. Gak ada empatinya pisan sebagai hamba (kenapa empati, pokoknya nanti mau bahas tentang empati di tulisan lain kalo mood). Celakanya lagi, oke nih seringkali tau mau-Nya apa tapi ngga melakukannya. Nggak compassionate gitu.
Padahal compassionate-nya seorang hamba, bisa jadi standar untuk menilai seberapa cinta dia ke Allah. Sama kaya apa yang Allah jelasin juga:
"Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
QS Ali Imran (3) : 31
So, be compassionate! Kata Pak Anies juga, cinta itu kata kerja, bukan kata benda. But before becoming compassionate person, we must improve our understanding skills.
How do we understand God? Baca suratnya. Gini deh simpelnya. Aku sebagai penulis, akan merasakan effort seseorang memahamiku kalau orang tersebut mau baca tulisanku. Mungkin awalnya orang itu gak paham. Tapi dengan usaha dia atas ketidakpahamannya saja, aku bisa tersentuh loh.
Nah, mungkin berlaku juga ke Allah sebagai penulis Al-Qur'an. Allah senang sama hamba yang baca pesannya. Udah gitu, gak cuma baca, tapi di-review. Allah akan sangat menghargai usaha kita, sesedikit apapun, sesusah apapun kita belajar Al-Qur'an. Oh iya, btw, perlu diingat kalo Al-Qur'an susah masuk kalo kondisi hati lagi ada yang dicintai selain Allah. Berdasarkan pengalaman pribadi sih sebenarnya mah, hahaha.
Jadi, untuk menyambut Ramadhan kali ini, aku mau kasih ruang untuk Al-Qur'an masuk ke hatiku dengan leluasa. Mengizinkannya membersihkan setiap sudut yang bernoda, memulihkan setiap fitur yang terluka, menutup celah bocor yang terbuka, dan menghilangkan karat yang ada sebab air mata dari menangisi manusia.
Di dalam hati, aku juga udah taruh memori-memori nostalgia aku sama Al-Qur'an yang indah dan seru. Contohnya kaya, momen excited waktu dengerin kajian guru di sekolah, momen ramadhan tahun-tahun sebelumnya, maupun momen murojaah. Pokoknya semacam mempersonifikasi Al-Qur'an supaya kerasa interaksinya.
Btw, ini sebuah temuan baru juga (full-nya nanti deh pas bahas empati). Di bahasan tentang empati, compassionate itu nunjukin kebijaksanaan seseorang karena ngebahas tentang how human act, apakah dia ngikutin pengetahuan dia tentang itu, atau sengaja nggak ngikutin (mengingkari) pengetahuannya. Dan dari sana aku sadar, banyak orang berbuat hal yang nggak ngenakin hati itu bukan karena kurangnya empati, tapi kurangnya compassion. Menolak peka.
Makanya Allah pakai istilah "fasik" di dalam Al-Qur'an buat ngedeskripsiin tindakan uncompassionate.
"Dan sungguh, Kami telah menurunkan ayat-ayat yang jelas kepadamu (Muhammad) dan tidaklah ada yang mengingkarinya selain orang-orang fasik." (Al-Baqarah : 99)
Idenya, orang fasik itu bukan orang bodoh yang gak tau apa-apa. Banyak ayat tentang orang fasik yang melanggar perjanjian dengan Allah. Artinya apa? Mereka udah dikasih petunjuk, mereka berangkat dari orang yang berpengetahuan mengenai benar dan salah, mereka memahami dan telah melakukan perjanjian tertentu.
Mereka berempati secara kognitif untuk mengetahui "how" dan "why" Allah berbuat sesuatu. Tapi, mereka nggak compassionate. Sebel kan? (Ya maksudnya mah sebel ke diri sendiri juga kadang, yang secara sadar ga sadar menanam bibit kefasikan)
Tapi serius deh, kita sering kan sebel ke manusia yang "ngahajakeun"? Udah tau kita pengen A, eh malah ngelakuin B. Udah tau kita gak suka C, eh malah dikasih C. Mau dibilang bodoh, kayanya mereka tau kok. Tapi berarti lebih dari bodoh dong? Apa dong? Nggak becus? Atau apa ya? Gak ada umpatan yang tepat untuk orang fasik sih kayanya. (Eh eh kenapa jadi ngumpat ya? Wkwk) Oh ada, mungkin ini, kata Bung Rocky Gerung mah, "dungu" wkwkwk.
Soalnya, kita sebagai manusia, akan lebih mudah mewajarkan dan memaafkan kesalahan yang diperbuat karena ketidaktahuan kan, daripada kesalahan yang disengaja karena pengingkaran. Makanya di Qur'an, orang fasik tuh levelnya lebih parah daripada orang bodoh. Dan kalau mereka meneruskan kefasikannya akan berganti level jadi orang dzalim.
Bahkan ya, kaum-kaum rebel yang bikin Nabi Musa banyak ngebatin ke Allah tuh bukan orang bodoh, melainkan kumpulan orang-orang fasik. Aku kalo jadi Nabi Musa mah mungkin udah greget banget, bakal aku teriakin tuh di depan muka mereka, "dasar dungu!" gitu, hahaha, enggak lah bercanda. Aku gak punya nyali besar untuk itu.
Dan emang, kata Allah juga kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Ya emang sih, keliatan kok. Manusia sekarang mah nggak bodoh, justru pinter, tapi sayang, uncompassionate.
Bagian paling ngena tentang pembahasan fasik, adalah di surat Al-Hadid ayat 16:
Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka) dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima Kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.
Kebayang gak, ditanya "belum tibakah waktunya?" di posisi sebenarnya kita justru sudah melewatkan waktunya (terlambat) tapi masih dikasih kesempatan. Kerasa banget dungunya. Semacam ditanya, "mau sampai kapan menyesatkan diri terus?"
Relate-nya lagi, surat Al-Hadid itu turun di masa-masa kaum muslimin sudah melewati perang Badar, Uhud, Khandaq, dan sebelum fase Fathu Makkah. Asbabun nuzulnya adalah karena posisi kaum muslimin saat itu persis banget kaya sekarang, lagi loyo-loyonya cuy! Males berdakwah dan ngerasa gak akan ada perang dalam waktu dekat. Sebagian besar surat Al-Hadid sebenarnya ngejelasin "bagaimana bisa seorang muslim menjadi munafik?"
Ringkasnya:
Muslim → malas → tidak disiplin → fasik → zalim → munafik.
Nah aku kan jadi penasaran mau nyari tau apa penyebab-penyebab orang jadi uncompassionate? Nanti deh coba dicari. Kemungkinan relevan dengan alur di atas. Makanya setelah tau ini, harusnya sih aku makin hati-hati. Katakan "hayu" pada keinginan Allah. Dan katakan "sorry ye!" pada murka Allah.
Seru! Jadi punya kesadaran baru dan program baru untuk terus menerus memperbarui pemahaman aku terhadap Allah serta menindaklanjutinya sebagai bentuk compassionate sebagai hamba. Feel deeply (hayati kasih sayang-Nya), think accurately (jangan salah paham ke Allah), dan act wisely (lakuin yang seharusnya).
Hi, Allah. I'm ready to welcome Your great guest; Ramadhan 🫡
— Giza, lagi suka-sukanya belajar konsep empati
(anw, tulisan ini temuan spontan yang diperoleh tiba-tiba bahkan saat lagi ngetik, gokil ternyata nemu persamaan fasik = uncompassionate, hahaha maaf katrok sama ilmu baru jadi langsung nyerocos dan connecting dot by dot langsung di sini tanpa ngotret mentahan dulu di notes. Akan disunting kalau ada yang keliru)
27 notes · View notes
fluffy-appa · 3 months
Text
Increase Reading The Qur'an In Ramadan
Shaykh Muḥammad Salih al-'Uthaymeen
رحمه الله said: "Completing the Qur'an in Ramadan for the person who fasts is not obligatory.
However, it is incumbent for the individual to increase his reading of the Qur'an in Ramadan consistent with the Sunnah of the Prophet ﷺ as Jibril would review the Qur'an with him ﷺ every Ramadan.
‎● [مجموع فتاوى ابن عثيمين ٥١٦/٢٠]
17 notes · View notes
l-edelweis · 8 months
Text
Tentang Tanah Haram
Salah satu rombonganku kemarin cerita, umroh yang kemarin itu adalah umrohnya yang ke-12. Lalu katanya, yang paling berkesan adalah umroh yang pertama.
Jadi bismillah, aku mau mengabadikan perjalanan pertama ke Haramain kemarin di sini. Supaya kesannya abadi. Untuk kubaca lagi nanti-nanti.
Selain bersyukur sekali karena bisa hadir ke dekat Ka'bah langsung, aku senang dan bersyukur karena bisa mengunjungi tempat-tempat bersejarah umat Islam. Perjalanan kemarin buat aku, selain perjalanan spiritual juga jadi perjalanan intelektual. Jadi review beberapa materi pelajaran di Mu'allimaat: Tarikh, Fiqih, Tafsir, dan sedikit Nahwu Shorof (so sad karena sering ditanya muthawwif tentang bahasa arab tapi aku sudah banyak lupa. Haha pressure emang kalo ketahuan mantan anak pondok) (tapi jadi terinspirasi juga buat terus review catetan-catetan (nggak cuma bahasa arab)).
Aku banyak amaze-nya waktu berkunjung, melihat, dan menyaksikan langsung hal-hal yang selama ini hanya kutahu dari buku, dari Al-Qur'an, dari cerita-cerita, atau dari pelajaran-pelajaran sejarah. Rasanya kayak, segala yang ada di khayalanku saat itu, kemarin jadi 'berwujud', jadi 'nyata', jadi 'eksis' sebenar-benarnya eksis secara inderawi.
Di Madinah dan di Mekkah, dua kota suci ini punya tempat-tempat tersendiri yang menarik buat aku. Salah satunya di Madinah adalah Taman Tsaqifah Bani Saidah. Sebuah tempat dekat Masjid Nabawi yang masih dijaga keasliannya sampai sekarang. Di tempat inilah, dulu menjadi tempat pengangkatan Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai khalifah pertama. Sebagai pemimpin setelah Rasulullah meninggal. Waktu itu, yang dipikirkan umat islam pertama kali setelah Rasulullah wafat adalah siapa pemimpin kita? Masyaallah. Sepenting itu peran pemimpin, sepenting itu peran Rasulullah sebagai pemimpin mereka, hingga saat beliau wafat yang dipikirkan pertama adalah memilih pemimpin, baru kemudian mengurus jenazah Rasulullah. Bisa dibayangkan bagaimana gerceupnya orang-orang yang terlibat dalam pemilihan khalifah waktu itu, karena tidak mungkin juga membiarkan jenazah Rasulullah berlama-lama tidak segera diproses untuk dikuburkan.
Di antara hotel-hotel yang berdiri, perluasan Masjid Nabawi, dan bangunan-bangunan lainnya, Taman Tsaqifah ini tidak berubah. Masih asli; sebuah perkebunan kecil yang ditumbuhi beberapa pohon kurma, dan dibuat pagar di sekelilingnya untuk menjaga keasliannya.
Rombongan kami juga diajak untuk ziarah ke Makam Syuhada Uhud di salah satu sisi Gunung Uhud, yang menjadi saksi Perang Uhud dan wafatnya sekitar 70 khalifah muslim. Mereka yang wafat dikuburkan di sini. Masyaallah. Allahummaghfirlahum.
Ustadz Hasmar sebagai muthawwif rombongan kami, bercerita tentang tempat ini. Suatu hari pernah ada hujan besar yang menyebabkan air dari pegunungan turun deras dan membuat makam para khalifah itu hanyut terbawa air. Maka tampaklah jenazah-jenazah para khalifah. Salah satunya adalah jenazah Hamzah, paman Rasulullah, yang masih utuh sempurna. Saat itu pemerintah Arab Saudi mudah sekali mengenali Hamzah dan mereka percaya bahwa itu jenazah Hamzah berdasarkan ciri-ciri yang ditulis sejarah. Hamzah yang hatinya dimakan oleh Hindun dengan keji. Masyaallah. Sudah ribuan tahun berlalu tapi jenazah pejuang fisabilillah ini masih utuh sempurna:"
Yang selain itu tentu saja masjid-masjid para khalifah yang berdiri tidak jauh dari Masjid Nabawi, Masjid Quba, lalu Masjid Nabawi itu sendiri dan makam Rasulullah. Dan Raudhah, yang kenangan saat berada di dalamnya masyaallah sulit dijelaskan.
Secara kuantitas, di Mekkah memang lebih banyak tempat-tempat menarik yang dikunjungi. Aku sangat takjub sekali saat berkunjung ke Padang Arafah dan membayangkan pertemuan Adam dan Hawa di sana.
Lalu saat melewati Mina, tempat jamaah haji berkumpul untuk bermalam di sana pada tanggal 12 Dzulhijjah, di antara Mina dan Muzdalifah ada tempat namanya Wadi Muhassir. Di antara tenda-tenda yang berdiri untuk bernaung para jamaah haji, di Wadi Muhassir ini tidak diperbolehkan berdiri tenda oleh pemerintah Arab Saudi. Karena tempat ini adalah tempat bersejarah.
Di tempat inilah Raja Abrahah dan pasukan gajahnya disiksa Allah dengan batu panas dari neraka yang dibawa oleh burung ababil. Kisah yang diabadikan di Al-Qur'an dalam surat Al-Fiil.
Masyaallah. Waktu lewat di tempat itu aku speechless, karena jadi mikir, Ya Allah, betapa kuasanya Engkau, menurunkan burung-burung dari neraka (yang kita tidak tau darimana asal-mula terbangnya), yang tiba-tiba muncul begitu saja, untuk memberi azab pada pasukan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka'bah. Masyaallah. Semua benar-benar tampak nyata.
Kami juga diajak untuk melewati Bukit Tsur, tempat Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi dari kejaran kafir Quraisy saat akan berhijrah ke Madinah. Kisah di Gua Tsur inilah asal-mula laba-laba dikisahkan di dalam Al-Qur'an. Abu Bakar saat itu panik sekali karena takut kaum kafir Quraisy mengetahui persembunyian mereka. Tapi Allah dengan kuasaNya memerintah laba-laba untuk membuat jaring di mulut gua, supaya Abu Bakar dan Rasulullah aman. Normalnya, jaring laba-laba membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menutup seluruh mulut gua. Tapi pada waktu itu, laba-laba penyelamat hanya membutuhkan waktu sebentar saja untuk membuat sarang yang menutup mulut gua. Sehingga kaum Quraisy mengira, tidak mungkin ada orang yang bersembunyi di gua itu karena ada sarang laba-laba di mulutnya.
Ada juga riwayat yang menceritakan kalau ada sarang merpati di mulut gua. Ini semakin menguatkan bahwa tidak mungkin ada orang bersembunyi di dalam gua itu. Saat ini ada banyak sekali burung merpati berterbangan di sekitar Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, dan kisah inilah yang membuat merpati memiliki makna tersendiri untuk penduduk setempat.
Tentu saja tidak ketinggalan, melihat langsung Jabal Nur, tempat Rasulullah menerima wahyu pertama. Iqra'! Iqra'! Begitu kata malaikat Jibril waktu itu. Aku benar-benar membayangkan, bagaimana Rasulullah berlari ketakutan menuruni gunung itu, menuju rumahnya, kemudian sesampainya di rumah diselimuti oleh istrinya, Khadijah. Pengalaman menerima wahyu pertama kali yang tampaknya tidak mudah bagi Rasulullah. Tapi masyaallah, wahyu-wahyu setelahnya turun berangsur-angsur hingga bisa disatukan menjadi Al-Qur'an yang saat ini sangat mudah kita dapatkan.
Rombongan kami juga melewati salah satu bukit yang menurut penduduk Mekkah, di salah satu sisinya merupakan tempat di mana Nabi Ibrahim akan menyembelih Nabi Ismail. Saat kemudian datang setan berwujud manusia menghasut Nabi Ibrahim untuk 'jangan kau bunuh anakmu. Tidakkah kau sangat menyayangi dan menantikan kehadirannya begitu lama?'. Tapi Sungguh Nabi Ibrahim sangat percaya dengan mimpinya bahwa itu adalah perintah Allah. Lalu Nabi Ibrahim melempar setan berwujud manusia itu dengan batu. Peristiwa inilah menjadi asal mula salah satu rukun haji, yakni lempar jumroh.
Di tempat itu dibangun sebuah menara kecil berbentuk kubah sebagai penanda peristiwa bersejarah tersebut. Di situ juga aku super takjub. Senang dan bersyukur bisa menyaksikan langsung tempat bersejarah, yang kisahnya selama ini hanya ada di benakku saja. Waktu menyaksikan langsung lokasinya, semua jadi betul-betul nyata. Bukan berarti aku menafikkan kisah(-kisah) itu. Tapi beda aja rasanya, waktu menyaksikan secara langsung semua saksi bisu peristiwa bersejarah. Apalagi kisah-kisah sejarah islam yang banyak mukjizatnya, banyak kuasa Allah di dalamnya yang itu membuat kisah-kisahnya tidak biasa.
Lalu, selepas rombongan kami menyelesaikan umroh, dengan sisa-sisa sedikit tenaga kami pergi ke salah satu sisi Masjidil Haram. Karena ada salah satu jamaah yang penasaran dengan rumah tempat kelahiran Rasulullah. Lalu ustadz Hasmar mengantar kami. Waktu itu kami melaksanakan umroh tengah malam, jadi baru selesai sekitar jam 1 dini hari. Udah agak ngantuk-ngantuk tapi masih semangat untuk sebentar mengitari Masjidil Haram.
Rumah itu sudah berubah jadi perpustakaan. Karena dulu waktu masih belum jadi perpustakaan, di situ sering dijadikan praktik hal-hal yang menjerumus ke kemusyrikan. Tapi waktu udah jadi perpustakaan, ternyata nggak mengurangi praktik-praktik tersebut. Jadilah sekarang tempat ini ditutup dan disekelilingnya diberi pagar pembatas. Nah di belakang bangunan ini, ada bukit yang nggak terlalu tinggi. Di bukit inilah Rasulullah dulu menerima tantangan dari kafir Quraisy untuk menunjukkan mukjizatnya. Di Bukit inilah beliau membelah bulan menjadi dua. Masyaallah.
Alhamdulillah wa syukurillah. Maha Kuasa Allah yang memberi segalanya. Senang dan bersyukur sekali hingga dua kata ini tidak bisa diungkapkan kecuali lewat air mata. Aku juga bersyukur dapet rombongan yang seru dan asyik. Yang kompak sekali meskipun secara usia kami sangat beragam.
Selepas menunaikan thawaf wada', aku jadi paham mengapa umat Muslim merasa begitu sedih saat itu, saat menunaikan haji wada' bersama Rasulullah. Ya Allah Ya Allah,
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
10 notes · View notes
wisdomrays · 3 months
Text
REFLECTIONS ON THE QUR'AN: Sūratu’l-An‘ām (Cattle): Part 1
God knows best upon whom (and where, when and in what language) to place His Message. (Al-An‘ām 6:124)
There are many instances of wisdom in the rise of Islam in Makkah and its spread through the world from this blessed city. The verse above, “God knows best upon whom to place His Message,” may be understood from the perspective of Divine appointment of the Messengers as well as with respect to the geological, anthropological, historical, human, spatial and linguistic dimensions of Divine Messengership. Indeed, God Almighty knows best upon whom to place His Message and in which community the Messenger will appear. It is also He Who knows best at what point during religious conflicts and clashes among nations the new religion will emerge. Let us review these points:
1. Human aspect or dimension of Divine Messengership
According to this aspect, the verse means: God the Almighty knows best on whom to bestow the Divine Message or whom to appoint as His Messenger. Many Makkan polytheists regarded those like Walid ibn Mughīrah and Urwa ibn Mas‘ūd ath-Thaqafī as more appropriate for the mission of Messengership. According to their standards of importance, they did not perceive of Prophet Muhammad, peace and blessings be upon him, as being equal to them in wealth or status and claimed:
If only this Qur’ān had been sent down on a man of leading position of the two cities (of Makkah and Tā’if—the major cities of the region)! (Az-Zukhruf 43:31)
The Qur’ān responds to their considerations as follows:
Is it they who distribute the mercy of your Lord (so that they may appoint whom they wish as Messenger to receive the Book)? (Moreover, how do they presume to value some above others only because of their wealth or status, when) it is also We Who distribute their means of livelihood among them in the life of this world, and raise some of them above others in degree, so that they may avail themselves of one another’s help? (Az-Zukhruf 43:32)
If everything in human life including the means of livelihood is dependent on the Divine distribution, Divine Messengership, which is the most important matter of human existence, cannot surely be dependent on the opinion of human beings. Since it is God Who wills the spiritual and intellectual revival of human beings and knows with what means they will be revived, He definitely knows who can bear His Message to them in the best way. Therefore, whoever God has appointed for His Messengership, surely he is the one most appropriate for this mission. Those who, like Walid ibn Mughīrah, gossiped about Divine Messengership, had committed the biggest crime intentionally as they belittled our Prophet Muhammad, upon him be peace and blessings. Since their crime meant insulting and disparaging the Prophet, they were condemned to be humiliated the most in God’s sight. Thus, the rest of the verse under discussion refers to their evil end, saying:
Soon will an abasement from God’s Presence befall these criminals and a severe punishment for their scheming. (Al-An‘ām 6:124)
This is so because the selection of Prophets belongs to God Almighty exclusively:
God chooses Messengers from among the angels as well as from among human beings. (Al-Hajj 22:75)
If it is God Who chooses and appoints, then what falls upon us is to respect and obey this preference. Otherwise, even a slight dissatisfaction at God’s preference reduces human beings to a despicable level. Also, such people are deprived of the blessings coming through the Prophets; saints; saintly, purified scholars; the godly; and those near-stationed to God. Whoever disrespects God’s choice degrades himself into a position of indignity and becomes deaf and blind to all Divine messages.
The matchless greatness and competence of Prophet Muhammad, upon him be peace and blessings, have been admitted through ages. Even all the Makkans admitted his superiority and exceptional moral excellencies before his Prophethood. Moreover, there were many indications and good news about his advent. Indeed, despite all kinds of alterations, according to the study and research of many Islamic scholars, such as Allāmah al-Hindī and Hussayn al-Jisrī, there were as many as 114 signs and glad tidings about Prophet Muhammad, upon him be peace and blessings, in the earlier Divine Scriptures or Books. All of the Prophets from David, Solomon, Moses, John the Baptist, Zachariah to Jesus, peace be upon them all, unanimously gave the good news of the coming of Prophet Muhammad, peace and blessings be upon him, as the Last Prophet and told their communities that he would encompass all the excellencies they possessed. With respect to this supreme position of God’s Messenger over all the Prophets, Prophet Muhammad, upon him be peace and blessings, received “the station of full possession of all excellencies.”
Indeed, each of God’s Messengers before Prophet Muhammad had superiority over others in one or some respects. Being the Last Messenger and due to the universality of his Message and Messengership, Prophet Muhammad, upon him be peace and blessings, had all these superiorities in his person and mission in the highest degree. There were many aspects in his mission. He was an establisher as he established whatever had to be established in the name of Divine Messengership. He was a corrector as he explained the truth of whatever had been distorted in the Religion. And he became a complete renovator or reviver who revived whatever of the Religion had been lost. No Messenger will come after Prophet Muhammad, upon him be peace and blessings. For once the Divine Religion and Messengership was completed and perfected in universal dimensions, whoever would come after him would only disunite and destroy. Hence, Prophet Muhammad was the final Messenger. Through him, humanity attained the basic points for all aspects of life in thought, feelings, creed, practice, and ways of living. There is no longer a need for a new Messenger and Messengership. Henceforth, all humankind would design and carry out all their vital affairs according to the final standards laid out by this last Messengership.
Another dimension of the matter is as follows: Originally, Prophet Muhammad, upon him be peace and blessings, was both Prophet and Messenger before all the other Prophets and Messengers. He says, “The first thing that God created was my Light.” In another hadīth, he declares, “I was a Prophet while Adam was between clay and water.” Therefore, in respect to the essence of Prophethood and Messengership from the perspective of Divine Will and Destiny, he existed before anyone in the universe. The Sufi scholars have dealt with this subject under the title of the Haqīqah Ahmadiyah (The Truth of Muhammad as Ahmad) as his name before his coming into the world was Ahmad, and it has been elaborated on at length. The Sufis have also considered this Truth as the truth of the universe, and they have meant by this the exceptional greatness of our Prophet and his being favored with the greatest Messengership.
The following issue is also worth discussing: Nobody has ever been and will ever be able to reach the point that the Beloved Prophet reached in respect to the quality and quantity of the light he has ceaselessly spread, and we have received the Message of the Prophet without the slightest change. This is the most manifest sign of his and his Message’s exceptional greatness. For there are many religions throughout the globe, and in all of these religions, the Divine Message has been distorted and altered to certain extents in the course of time. It is only in Islam that the Divine Message preserves itself with all its truth and with all its dimensions.
3 notes · View notes
huraayrah · 2 years
Photo
Tumblr media
virtues of memorizing the Qur’an 🤍 📖 It is Sunnah, as the Prophet ﷺ memorized it and would review it with Jibreel عليه السلام 📖 Raises your rank in Jannah the Prophet ﷺ said: « يقال لصاحب القرآن‏:‏ “The one who was devoted to the Qur'an will be told on the Day of Resurrection: اقرأ وارتقِ ورتل كما كنت ترتل في الدنيا، Recite and ascend in ranks as you used to recite when you were in the world. فإن منزلتك عند آخر آية تقرؤها » Your rank will be at the last Ayah you recite.” [رواه أبو داود والترمذي] 📖 Elevates your status in the Dunya & Akhirah the Prophet ﷺ said: « إن الله يرفع بهذا الكتاب أقوامًا ويضع به آخرين‏ » “Verily, Allah elevates some people with this Qur'an and abases others.” [رواه مسلم] 📖 They are the people of Allah and closest to Him the Prophet ﷺ said: « إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ “Allah has His own people among mankind. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ؟ They said: O Messenger of Allah, who are they? قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ » He said: The people of the Qur'an, the people of Allah and those who are closest to Him.” [سنن ابن ماجه 215] 📖 It is one of the only permissible reasons for jealousy the Prophet ﷺ said: « لَا حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ: “There is no envy but in two cases: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ هَذَا الْكِتَابَ فَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ a man whom Allah has given this Book and he stands to recite it by night and day, وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَتَصَدَّقَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ » and a man whom Allah has given wealth and he spends it in charity by night and day.” [سنن ابن ماجه 215] (at Medina, Saudi Arabia) https://www.instagram.com/p/Chsg6z6u481/?igshid=NGJjMDIxMWI=
1 note · View note
guratinta · 2 months
Text
Tumblr media Tumblr media
Bagus banget bukunya Qur'an Review 🥹
0 notes
journal-rasa · 8 months
Text
Qur'an Review #2
Kisah "cegil" yang mendapat rahmat Allah dalam surah Al-Kahfi
Baru sadar kalau kepribadian ala "perempuan gila" -biasa disingkat 'cegil'- yang sempat diangkat jadi lagu sama Nadin Amizah ternyata udah digambarkan dalam Al-Qur'an.
Disclaimer, yang dibahas di sini adalah tentang kepribadiannya, yang mana ini bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Dan ini pure pemahaman pribadi, jadi masih mungkin jika ada kekeliruan.
Kisah ini adalah tentang Nabiyullah Musa shalallahu'alaihi wassalam dengan seorang Hamba Allah yang tidak disebutkan namanya, tapi beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Khidr 'alaihissalam, jadi kita sebut saja demikian.
Ok, kita bedah versi lagunya dulu.
Lagu ini bercerita tentang keraguan seorang perempuan untuk menerima kehadiran orang baru di hidupnya.
Dia orang baik dan selalu berusaha menjadi orang baik, tapi dia juga paham betul bahwa suatu hari nanti orang lain mungkin akan kecewa padanya karena ia tak sebaik yang semestinya mereka kira.
Akan ada masa-masa di mana ia kesulitan mengendalikan dirinya sendiri, baik itu dari sisi pikiran, perasaan, bahkan tubuhnya sendiri. Dan ketika masa itu tiba, semua orang yang pada awalnya menyukainya tiba-tiba menjadi takut padanya. Maka dari itu, tak ada orang yang bisa menjalin hubungan dalam jangka waktu yang lama dengannya. Hubungan di sini bukan hanya tentang romansa, tapi bisa juga pertemanan, persahabatan, pekerjaan, atau bahkan di dalam keluarganya sendiri sekali pun.
Memang tidak mudah mencintai dirinya, apalagi jika kamu yang menjadi dirinya. Sekali pun ia telah mereda, sekelumit penyesalan, rasa bersalah dan bingung masih akan melanda dirinya. Diam-diam dia pun berusaha membuat dirinya agar lebih mudah diterima, namun kadang ia gagal dan gagal lagi. Beragam caci maki pun kembali ia terima, yang menganggapnya tak pernah berusaha untuk berubah. Namun demi Tuhan, ia telah berusaha sekeras yang ia bisa. Meski pada akhirnya, ia tahu bahwa ia akan ditinggalkan.
Itu tentang perempuan "gila" di lagu Nadin Amizah.
Bisa diambil kesimpulan kalau "gila" yang dimaksud di sini bukan yang gila permanen yang menyebabkan mereka berkeliaran di jalanan dengan kondisi badan yang tak terurus.
Tapi "gila" di sini lebih ke disabilitas mental yang membuat seseorang bisa kehilangan kendali atas dirinya sendiri untuk sementara waktu, namun mereka tetap akan mereda seperti semestinya.
Sekarang kita bahas versi surah Al-Kahfi.
Ketika Nabiyullah Musa shalallahu'alaihi wassalam meminta untuk mengikuti Khidr, maka di ayat 67, Khidr 'alaihissalam berkata "innaka lang tastathi'a ma 'iya shabra." (Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar ketika bersama dengan aku.)
Ini menyiratkan keraguan Khidr 'alaihissalam kepada Nabiyullah Musa shalallahu'alaihi wassalam yang merupakan "orang normal" yang mungkin tidak akan tahan dengan berbagai "kegilaan" yang nanti akan dilakukan oleh Khidr. Seperti perbuatan Khidr melubangi perahu, di ayat 71. Atau membunuh seorang anak yang tak berdosa, di ayat 74. Dua perbuatan yang menurut Nabiyullah Musa shalallahu'alaihi wassalam, bahkan menurut kita sekali pun, yang akalnya "waras", pasti tahu kalau itu perbuatan tercela dan terlarang.
Nah, sekarang yang ketiga ini agak beda, ada di ayat 77. Ketika mereka sampai di tengah penduduk di suatu negeri, mereka minta dijamu, tapi penduduk negeri itu gak ada yang mau jamu mereka. Jadi yaudahlah gapapa. Tapi pas mereka lihat sebuah rumah yang udah mau roboh, Khidr 'alaihissalam malah menegakkannya, membantu memperbaiki kembali rumah itu. Dan di situ, lagi-lagi, Nabiyullah Musa gak terima dan berkata "lau syi'ta lattakhadzta 'alaihi ajra" (Kalau kamu mau, kamu bisa mengambil upah untuk itu). Ini sih sebenernya cenderung ngasih saran daripada bertanya (seperti yang sebelum-sebelumnya), karena kan mereka tadi minta dijamu tapi gak dijamu sama penduduknya, tapi kok tiba-tiba Khidr ini "sok baik" banget bantu memperbaiki rumah orang gak dikenal yang hampir roboh tanpa minta upah apa pun, (padahal dia tadi udah merusak perahu sama ngebunuh orang).
Ini menarik sih, karena rata-rata "co/cegil" yang pernah kukenal juga mereka rata-rata memiliki ketulusan hati yang luar biasa banget sebenernya, hanya ketika mereka menampakkan kebaikan itu, mereka malah dianggapnya "sok baik / sok alim" oleh orang-orang yang terlalu berfokus pada keburukannya, bahkan tak jarang kebaikan mereka dianggap lebay.
Sayangnya saran Nabi Musa itu tetap dianggap "menyelisih" urusan Khidr 'alahissalam, sehingga perjalanan mereka berdua harus cukup sampai di situ.
Seenggaknya ada beberapa poin yang membuatku berpendapat kenapa Khidr 'alaihissalam itu relate banget sama penggambaran kepribadian "cegil" di lagu Nadin Amizah, dan ini sebenernya bisa jadi pedoman yang lebih baik sih untuk para "co/cegil" di luar sana yang masih kebingungan dengan jati dirinya. Juga untuk orang-orang yang diberi kenikmatan dengan jalan pikiran "normal" untuk dapat lebih memahami para "co/cegil" ini.
1.
Di ayat terakhir kisahnya (ayat 82), Khidr 'alaihissalam sempat berkata "wamaa fa'altuhuu 'an amri" (dan aku melakukannya bukan atas kehendak dan kemauanku sendiri). Artinya, semua perbuatan itu dilakukan bukan atas dasar kehendak Khidr 'alaihissalam.
Di sini gak dikatakan di luar kesadaran, tapi lebih ke di luar "kehendak". Artinya dia masih sadar saat melakukan semua itu. Hanya saja itu terjadi di luar kehendaknya.
Bayangin, kalau semua ada di dalam kehendak Khidr, artinya Khidr masih memiliki pilihan, masih diberi kesempatan untuk memikirkan semua tindakannya. Mungkin Khidr 'alahissalam akan mencari cara lain selain dengan merusak perahu, atau minimal dia bakalan izin dulu sama yang punya perahunya. Atau dia akan mencari cara lain yang lebih baik selain dengan membunuh anak itu. Karena bahkan Nabi Ibrahim shalallahu'alaihi wassalam ketika dapet perintah untuk membunuh anaknya, Nabi Ismail shalallahu'alaihi wassalam, masih mikir-mikir dulu selama beberapa hari, masih sempet diskusi dulu sama anak yang mau disembelihnya. Ini Khidr 'alaihissalam, begitu ketemu itu anak langsung aja dibunuh, ya gimana gak shock itu Nabi Musa liatnya? Masalahnya ini kan manusia gitu yang dibunuh, bukan onta atau kuda.
Maka aku pribadi berasumsi bahwa yang dimaksud dengan "wamaa fa'altuhuu an amri" itu sama dengan "gila".
🗣: tapi kan di ayat 65, disebutin bahwa Khidr dapet ilmu langsung dari Allah, jadi bukan karena dia gila? Oke. Bentar, bentar. Aku jelasin di poin no 2.
2.
Di ayat 70 Khidr 'alahissalam sempat memberikan aturan kepada Nabiyullah Musa shalallahu 'alahi wassalam yang bersikukuh hendak mengikutinya, "jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang suatu apa pun sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu."
See, Nabiyullah Musa disuruh nungguin penjelasan dari Khidr yang entah kapan datangnya. Ini mengindikasi bahwa "pengetahuan" tentang tindakan yang dilakukan Khidr 'alaihissalam itu justru datangnya setelah ia melakukan perbuatan-perbuatan yang diluar kehendaknya itu.
Karena, misal ni ya, kalau Khidr 'alaihissalam itu dapet perintah langsung dari Allah seumpama "Lubangilah perahu itu, karena di depan sana ada raja dzalim yang akan merampas tiap-tiap perahu bagus." Pasti Khidr langsung bilang dong ke Nabi Musa tentang penyebab kenapa dia melubangi perahu itu. Atau minimal kalau itu merupakan "wahyu", minimal mereka bisa berdiskusi dululah, apalagi yang disebelahnya itu Nabi loh, bukan orang sembarangan. Tapi ini engga, Khidr langsung satset satset gerak sendiri, sementara Nabi Musa di suruh nunggu dulu sampai Khidr 'alahissalam sendiri punya penjelasan yang logis dari Allah atas semua tindakan yang ia lakukan di luar kehendaknya itu.
Makanya di ayat 68 Khidr sempat "curhat" ke Nabi Musa, "dan bagaimana kamu bisa sabar atas sesuatu yang kamu sendiri belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal itu."
Pasti di suatu masa Khidr 'alaihissalam pun pernah ada di fase kayak kita yang gak ngerti kenapa bisa kita buat kesalahan yang sebegitu parahnya. Yang kalau dipikir-pikir secara normal rasanya gak mungkin kita bisa kepikiran buat melakukan hal itu dan ngapain juga kita melakukan hal itu.
Pasti ada suatu masa di mana Khidr pun tidak dapat bersabar dengan dirinya sendiri, sebelum akhirnya ia pasrah dan menyerahkan segala urusan tentang dirinya kepada Allah.
3.
Yang menarik, deskripsi Allah tentang Khidr 'alaihissalam sendiri adalah, "seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami." (ayat 65)
Di sini gak dikatakan bahwa Khidr 'alaihissalam itu seorang nabi, gak dikatakan juga bahwa beliau diberi hikmah kenabian (seperti para nabi pada umumnya). Allah menyebutkan bahwa Khidr hanya seorang hamba di antara hamba-hambaNya, artinya beliau sama manusia biasa seperti kita. Tapi yang menarik adalah Khidr 'alahissalam bisa menjadi orang "gila" sekaligus menjadi hamba yang dirahmati Allah dan diajarkan ilmu pengetahuan langsung dari sisi Allah. Mungkin sebelum itu dulu ada guru-guru yang telah menyerah dalam mengajarinya. Ada orang-orang yang telah lelah menegurnya. Mungkin dulu beliau pun pernah berusaha sekeras yang ia bisa agar lebih mampu mengendalikan dirinya, sayangnya beliau selalu gagal dan akhirnya lebih memilih untuk memasrahkan semuanya pada Allah. Dan di situlah Allah menurunkan rahmat padanya.
🪷🪷🪷
Pelajaran untuk para "co/cegil" dari kisah ini,
Jangan berputus asa dengan rahmat dan ampunan Allah, sekacau apa pun dirimu.
Orang lain mungkin gak akan ngerti kamu, tapi Allah yang menciptakan kamu pasti sangat mengerti kondisi kamu, maka serahkan urusan tentang dirimu pada Allah.
Perbanyak istighfar untuk semua kesalahan yang dilakukan meski pun itu diluar kehendakmu.
Tetap terus berusaha menjadi lebih baik. Tapi kalau kamu sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan dirimu, tapi masih aja gak bisa, ya gapapa. Mungkin perbuatan kamu adalah perantara Allah untuk memeberikan hikmah kepada orang-orang di sekitarmu termasuk juga dirimu.
Perbanyak membaca dan menambah wawasan. Karena kayak yang dibilang di ayat 68, "bagaimana kamu bisa sabar atas sesuatu yang kamu sendiri belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Di sini, pengetahuan dan kesabaran itu berbanding lurus. Semakin banyak kamu tahu, semakin banyak pula stok sabar kamu. Minimal di sini kamu bisa lebih bersabar sama diri kamu sendiri, dan tidak terlalu menyalahkan diri kamu saat kamu melakukan hal-hal yang memang itu berada di luar kendalimu.
Usahakan selalu aware dengan tanda-tanda kekuasaan Allah di sekitar dan di diri kamu sendiri. Perbanyak baca Al-Qur'an dan terjemahnya juga, siapa tahu Allah mau ngasih petunjuk sama kamu lewat itu.
It's okay kalo kamu ditinggalkan sama semua orang, tenang Allah gak akan ninggalin kamu.
Yang penting kamu jangan ninggalin Allah hanya demi bisa diterima semua orang.
🪷🪷🪷
Untuk para orang "normal" di luar sana yang mungkin pernah berinteraksi dengan "co/cegil",
Gak perlu merasa diri lebih baik hanya karena kamu dikasih akal pikiran yang normal dan diberi kemudahan dalam mengendalikan dirimu. Lihatlah Khidr 'alahissalam, beliau "gila" di mata kita, tapi di sisi Allah ternyata beliau adalah orang yang dirahmati dan karuniakan ilmu yang bahkan tidak diajarkan kepada Nabiyullah Musa shalallahu'alahi wassalam.
Jika kamu keluarganya, dan meminta seorang "co/cegil" untuk berubah, dan kamu merasa jengah karena mendapati dia "tidak mau" berubah juga, mungkin sebenarnya kamu yang harus berubah. Mungkin sebenarnya Allah sedang menggunakan dirinya dan semua perbuatannya untuk merubah kamu, untuk menegur kamu.
Malaikat mengangkat penanya dari orang gila sampai ia mendapatkan akalnya kembali. Artinya, malaikat gak mencatat perbuatannya dia. Sementara perbuatan kamu mencaci, memaki, menggibah kesalahan yang dilakukan para orang "gila" yang di luar kendali mereka, tetap akan dicatat.
🪷🪷🪷
Catatan: Itu pendapatku pribadi tentang Khidr 'alaihissalam (atau Hamba Allah yang diceritakan dalam surah Al-Kahfi ayat 60-82).
Kenapa gak ada ulama yang menyebutkan kalau Khidr 'alahissalam itu "gila"?
Kalau Khidr 'alaihissalam dilabeli "gila" oleh para ulama, takutnya ini juga akan dijadikan pembenaran untuk tindakan-tindakan gila yang dilakukan oleh orang-orang yang hanya dikendalikan oleh hawa nafsunya belaka. (Kalau kamu pernah punya riwayat bordeline, skizofrenia, bipolar, skizotipal atau gangguan mental lain, dan sekarang sudah agak membaik, pasti bisa bedain mana perbuatan yang dipengaruhi sifat "gila"nya kamu, dan mana yang cuma hawa nafsu belaka)
Mungkin karena kurang etis juga sih, melabeli seseorang yang disebutkan dalam Al-Qur'an dengan sebutan "gila", sementara pandangan masyarakat awam tentang sifat "gila" sendiri masih kurang bijak.
Mungkin juga karena para ulama itu gak ada yang "gila". Jadi mereka gak tau gimana rasanya jadi orang "gila". Karena mau se-ber-empati bagaimana pun mereka terhadap orang gila, mereka tidak akan mampu membayangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang gila sebelum mereka sendiri mengalami jadi gila. Sama seperti orang yang buta warna sejak lahir, pasti akan kesulitan membayangkan seperti apa warna pelangi.
Wallahu a'lam bishawwab. (Hanya Allah yang mengetahui kebenaran sesungguhnya)
"Fama nihtadaa fali nafsih" (siapa yang mendapat petunjuk maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri)
30 notes · View notes
notetaeker · 2 months
Text
Tumblr media
March 27, 2024 - Sunday  | Ramadan Challenge 17/30
📖Favorite time to read qur'an: In Ramadan? After fajr, during Taraweeh. For other than Ramadan: In the morning before starting my day. It makes my day already feel productive and worth it whenever I do that- no matter what else happens that day. I really need to do it regularly inshallah.
🌙Ramadan Routine: honestly this year I don't have one. The only thing I have is tutoring so I just try to read qur'an in the morning, read my islamic book, review my memorization, watch my islamic lectures and help out my mom throughout the day whenever I can. The only thing I'm being strict on myself for is to pray sunnah/taraweeh everyday.
12 notes · View notes
nafidzatulilmi · 3 months
Text
RAMADHAN DAY 2
12-13 Maret 2024
Bismillahirrahmanirrahiim...
Hari kedua masa Ramadhan. Dimulai dari masa berbuka puasa bersama keluarga. Alhamdulillah bersyukur kita lengkap berempat, di ruang tamu, berbuka puasa pertana bulan Ramadhan tahun ini. Tapi sayangnya pakai gorengan tempe, hahah 😭 Tapi tak hanya itu kok. Salah satu habbits saya pasti sediakan kurma. Dan kalau di rumah, mamah selalu menyajikan rebusan rempah-rempah khusus buat saya, bukan teh manis. Hanya saya. MasyaAllah, benar-benar sosok ibu yang aware terhadap pola hidup sehat. Well, berbuka dengan tempe mendoan ditangkal dengan kurma juga saya oelajari di buku La Taias Syifa'uka Ghariib karya Abdurrahman Dani. Pedoman kesehatan yang mengeksplor konsep panas-dingin pada makanan di bidang medis, kalau dalam konsep China, adalah Yin-Yang. Kesetimbangan nutrisi dan pola makan yang masuk ke tubuh. Ada makanan-makanan tertentu yang diajarkan Rasulullah SAW harus seimbang ketika dikonsumsi, dan itu berdasarkan pola hidup sehat Rasulullah SAW.
Seperti Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, saya bukanlah tipe yang suka makan berat sebelum Isya dan setelah tarawih, kalaupun makan berat paling hanya setengah porsi, untuk menjaga keseimbangan pemanfaatan energi dalam tubuh yang ketika shaum melakukan detoksifikasi. Jadi, kalau yang lain makan, saya hanya menyimak. Heheh... Tapi rendang buatan mamah menggoda banget 😭 akhirnya makan sepulang dari masjid untuk tarawih. Oh iya, tarawih kedua kali ini masih di masjid tercinra penuh kenangan masa kecil, Masjid Al I'tishom. Setiap berangkat atau pulang shalat jama'ah, seperti biasa, pikiran seolah berkomunikasi sama diri sendiri. Ibarat kata, banyak hal yang dipikirkan, tapi ditanyakan ke diri sendiri. Apalagi dengan banyaknya takdir yang terjadi akhir-akhir ini.
Yap, setelah makan rendang super lezat mamah, melanjutkan untuk tadabbur Qur'an. Ya, qadarullah malam hari Bangun Habbits ada sesi tadabbur. Kali ini yang kamu tadabbur adalah Surat Al-Mulk ayat 1 sampai 12. Oh iya, tentang Bangun Habbits. Ini adalah wadah bagi siapapun yang mau membiasakan diri untuk baca Qur'an tiap hari supaya istiqomah. Wadah ini adalah ide sahabat saya, Rauf, sekaligus jadi jembatan kebaikan bagi saya dan beberapa rekan-rekan AnNaml yang kami percayakan amanah di Bangun Habbits ini. Kelak ini jadi sidejob kita, iya sehingga kita ada pemasukan finansial sampingan. Rauf memiliki mimpi untuk bisa umrohin kita bareng-bareng sekaligus menghidupi sedikit tambahan finansial untuk kita. Masih bayi loh ya wadah kita ini, baru dibentuk. Mohon doanya yaa supaya kita bisa istiqomah. Aamiiin 😊
Sahur... sahur... ujar suara dari luar yang bisa kudahului karena bangun lebih awal demi quality time sama Qur'an disaat yg lain masih tidur. Wkwkwk...
Well, setelah shalat Subuh, kemudian tilawah di mushola namun hanya sebentar karena ada agenda tadabbur Qur'an lagi. Di teras mushola Al-Ishlah tepi danau, sang kucing yang biasa nongkrong tak terlihat. Mungkin memang si kucing tahu ya kalau saya disana tidak selama kemarin. Namun waktu syuruk tersebut begitu banyak burung yang berkicau menemani matahari terbit seolah berzikir akan pagi yang indah, memberi harapan baru. 😭
Pagi ini ada dua agenda tadabbur Qur'an diwaktu yang sama, yaitu bersama Ahlan Ramadhan dan bersama Resting Time Quran Review. Karena Ahlan Ramadhan tidak tiap hari, maka saya prioritaskan kali ini. Terlihat tim AR dengan wajah-wajah baru dan sebagian wajah-wajah lama kini menjadi pesertanya. Banyak yang bercerita kesan dan rasa syukur setelah mengikuti Ahlan School diwaktu-waktu yang lalu, termasuk bunda Atus, seorang ibu 4 anak yang konsisten jadi teman bercerita dan memaknai 3 value Ahlan kita. Ya, terkadang masih menerka-nerka bolak balik Zoom & Telegram karena dua wadah ini berbarengan. Seolah ditampar dengan tadabbur hari ini, silahkan bisa dilihat yaaa insightnya.
Agenda hari ini akan difokuskan pada menyelesaikan penilaian peserta didik yang masyaAllah besok deadlinenya untuk diinput di sistem. Seharian nulis dan checking satu persatu. Qadarullah satu pesan masuk tiba. Dan amanah baru muncul. Menjadi panitia Yaumul Ma'al Qur'an. MasyaAllah, mewadahi para pegawai Ummu'l Quro Depok untuk bisa lebih dekat dengan Qur'an. :') Padahal diri ini masih sangat butuh kedekatan dengan Qur'an. Dan yak, ditunjuk jadi sekretaris lagi lagi dan lagi. Kenapa ya PIC akhir-akhir ini sering banget nunjuk di posisi yang sama setelah sebelumnya jadi sekretaris Sumatif Akhir Semester ganjil dan sekretaris Akreditasi Sekolah. Padahal diri ini ingin lepas sejenak dari urusan peradministrasian. Baiklah, i'll take it, sebab agenda YMQ juga diketuai Ustadz Ade Sunarya yang juga jadi rekan seBanten saya di kantor, hehehe... Ya, begitulah hari kedua Ramadhan kali ini. MasyaAllah dipenuhi perihal peradministrasian hingga sore hari bahkan mungkin esok hari. Sambil sesekali mendengarkan podcast dan video youtube highlight sepakbola.
Well, ada apa di hari ketiga? Hari ketiga adalah hari dimana saya kembali ke Tangsel mengingat Jum'at sudah kembali beraktivitas di Depok. Banyak amanah yang mrnanti untuk dituntaskan. Semoga bisa istiqomah dan fokus sehingga Ramadhan kali ini bisa menjaga kekhusyukan. Aamiiin.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
amaliarizky · 5 months
Text
Kala Islam Datang Membawa Kesetaraan
Islam datang saat bangsa Arab mengalami dekendasi moral dan kemerosotan akhlak. Zaman jahiliyah kebodohan yang dimaksud adalah kebodohan Moral. salah satunya adalah perlakuan dan pandangan mereka terhadap kedudukan dan fungsi "Kaum Wanita"
Allah menurunkan syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw yang diantara salah satu ajaranya memberantas tinggi kedudukan mereka ditengah-tengah masyarakat. Namun datangnya ISLAM martabat kaum wanita diangkat dan dimuliakan
penghapus diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap kaum wanita oleh Islam setidaknya dapat dilihat dari ajaran-ajaran yang diserukan oleh Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan bahwa islam benar-benar memuliakan Wanita.
Dalam Al-Qur'an Surah An-Nahl ayat 97 yang artinya "Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." dalam ayat. Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dan Allah menjamin bahwa pria dan wanita mendapatkan Pahala yang Sama apabila mereka melakukan perbuatan baik:) dalam hadist Nabi Muhammad menjelaskan bahwa kedudukan Wanita lebih mulia. Muliakan IBUMU-IBUMU-IBUMU dan yang terakhir BAPAKMU.
Islam benar-benar ingin menghilangkan diskriminasi terhadap kaum wanita, dan sekaligus ingin mengangkat derajat kaum hawa pada level sama dengan derajat kaum lelaki.
review buku "menjadi muslimah hebat" karya Asrifin An Nakhrawie S.Ag.
next bukti-bukti Islam ingin menghilangkan diskriminasi dan mengangkat derajat wanita
0 notes
l-edelweis · 3 months
Text
Wishes for my quarter of century
Tahun ini aku akan menginjak angka 25. Tahun dimana saat ibuku menginjaknya, anak pertamanya sudah berusia satu tahun. Tapi saat anak pertamanya itu di angka yang sama dengan masa ibunya, masih suka beli balon dan permen karet.
But, as many people said, don't compare your life. Even comparing it with your mom, your family, your soul buddy.
Aku mau menuliskan doa dan cita-cita, yang aku harap bisa aku raih-aku dapatkan-aku capai-aku gapai-di usia 25 (dan seterusnya);
Aku pengen banget bisa baca buku rutin setiap hari. Kembali seperti dulu, saat terhanyut ke dalam tulisan-tulisan di buku itu. Sampai lupa makan, kadang lupa mandi. Kangeenn banget bisa baca buku mindfull. Aku harap aku bisa membaca buku dengan tenang, dengan nyaman, dengan menyenangkan. Suka sedih kalau melihat buku-buku yang menjadi kawan baikku itu teronggok di rak buku, dan mereka seperti memanggil-manggil minta dibaca.
Menyambung mimpi pertamaku, di usia ini aku juga berharap bisa menuliskan hasil membacaku dengan maksimal. Merefleksikan apa yang aku peroleh dari tulisan-tulisan yang aku baca. Mengabadikannya dalam sebuah ulasan alias review buku yang rajin yuk! Biar nggak lupa sama apa yang dibaca, tapi yang terutama biar bisa mengabadikan perasaan dan pikiran yang muncul saat membaca buku itu.
Aku berdoa semoga di usia ini aku dimampukan untuk ikut kelas-kelas yang aku sukai. Kelas-kelas yang dari situ aku bisa nambah temen, nambah sumber kebahagiaan, nambah aktivitas seru, dan tentu saja, nambah ilmu. Aku pengen bisa mindfull ikut kelasnya, dan menghindari mendengarkan rekaman kelas! Alias aku hadir betul di waktu yang dijadwalkan, dengan pikiran utuh dan diri yang siap mencatat, siap berdiskusi, siap menyerap segala yang disampaikan guru dan pemateri. Aku ingin bisa betul-betul menghargai orang yang menularkan ilmu itu lewat kelas yang diselenggarakan.
Ya Allah bismillah, everyday bisa rutin Qur'an journaling dan menyelami ayat-ayatMu lebih dalam. Memaknai tiap-tiap ayat yang aku baca dan merefleksikannya pada tiap-tiap hari yang aku lewati. Pun meresapi setiap ayatnya, lalu 'menghidupkannya' dalam tingkah laku sehari-hari. Mengikat segala yang aku baca-aku rasa-aku resapi-dalam huruf-huruf yang menari-nari di bukuku. Qur'an journaling dengan mindfull, damai, dan sepenuh hati.
Ini rencana yang selalu aku doakan setiap saat setiap waktu: nulis sesuka hati! Di manapun, kapanpun. Mengeluarkan apa yang aku pikirkan, merefleksikan apa yang aku rasakan. Semoga waktu dan keadaan selalu mengamini mimpiku ini.
Semoga punya waktu untuk mencoba resep-resep baru yang kutemukan di instagram maupun twitter. Pengen banget bisa bikin makanan yang menarik, enak, tapi yang utama adalah sehat dan penuh gizi. Ini hashtagnya #seperempatabadbisamasak
Bismillah, mewujudkan mimpiku dari zaman purba; Menerbitkan novel! Pengennya yang genre romance walaupun kayaknya pasaran, yak. Tapi kupastikan meskipun genre romance tapi tidak menye-menye seperti kisahku (ngga lah, canda hahahhaah). Yuk bisa yuk #seperempatabadnovelterbit
Ini mimpi yang baru kepikiran beberapa tahun belakangan. Terdengar tidak mungkin, tapi mari kita berdoa supaya di seperempat abad ini ada sutradara dan produser yang mau ngajakin aku jadi aktris, alias ngajak main film! Nggapapa deh ngga jadi main character. Yah minimal sahabatnya si main character. Kayaknya terlibat di industri per-filman tuh seru banget. Syuting kesana-sini, berperan jadi individu lain, sampai adu akting sama orang yang 'bukan dia' alias karena dia juga lagi jadi individu lain. Belum nanti kalau pas gala premier di bioskop, gimana ya rasanya 'melihat diri kita yang lain di layar bioskop'?
The last (in this post). Aku harap aku bisa membeli waktu, untuk melakukan hal-hal di atas.
Bismillah semoga yang membaca berkenan ikut mengaminkan :D
3 notes · View notes
wisdomrays · 2 years
Text
THE ORIGIN OF SUFISM: Part 2
After these great compilers came Hujjat al-Islam Imam al-Ghazzali, author of Ihya' al-'Ulum al-Din (Reviving the Religious Sciences), his most celebrated work. He reviewed all of Sufism's terms, principles, and rules, and, establishing those agreed upon by all Sufi masters and criticizing others, united the outer (Shari'a and jurisprudence) and inner (Sufi) dimensions of Islam. Sufi masters who came after him presented Sufism as one of the religious sciences or a dimension thereof, promoting unity or agreement among themselves and the so-called "scholars of ceremonies." In addition, the Sufi masters made several Sufi subjects, such as the states of the spirit, certainty or conviction, sincerity and morality, part of the curriculum of madrassas (institutes for the study of religious sciences).
Although Sufism mostly concentrates on the individual's inner world and deals with the meaning and effect of religious commandments on one's spirit and heart and is therefore abstract, it does not contradict any of the Islamic ways based on the Qur'an and the Sunna. In fact, as is the case with other religious sciences, its source is the Qur'an and the Sunna, as well as the conclusions drawn from the Qur'an and the Sunna via ijtihad (deduction) by the purified scholars of the early period of Islam. It dwells on knowledge, knowledge of God, certainty, sincerity, perfect goodness, and other similar, fundamental virtues.
Defining Sufism as the "science of esoteric truths or mysteries," or the "science of humanity's spiritual states and stations," or the "science of initiation" does not mean that it is completely different from other religious sciences. Such definitions have resulted from the Shari'a-rooted experiences of various individuals, all of whom have had different temperaments and dispositions, and who lived at different times.
It is a distortion to present the viewpoints of Sufis and the thoughts and conclusions of Shari'a scholars as essentially different from each other. Although some Sufis were fanatic adherents of their own ways, and some religious scholars (i.e., legal scholars, Traditionists, and interpreters of the Qur'an) did restrict themselves to the outer dimension of religion, those who follow and represent the middle, straight path have always formed the majority. Therefore it is wrong to conclude that there is a serious disagreement (which most likely began with some unbecoming thoughts and words uttered by some legal scholars and Sufis against each other) between the two groups.
When compared with those who spoke for tolerance and consensus, those who have started or participated in such conflicts are very few indeed. This is natural, for both groups have always depended on the Qur'an and the Sunna, the two main sources of Islam.
In addition, the priorities of Sufism have never been different from those of jurisprudence. Both disciplines stress the importance of belief and of engaging in good deeds and good conduct. The only difference is that Sufis emphasize self-purification, deepening the meaning of good deeds and multiplying them, and attaining higher standards of good morals so that one's conscience can awaken to the knowledge of God and thus embark upon a path leading to the required sincerity in living Islam and obtaining God's pleasure.
By means of these virtues, men and women can acquire another nature, "another heart" (a spiritual intellect within the heart), a deeper knowledge of God, and another "tongue" with which to mention God. All of these will help them to observe the Shari'a commandments based on a deeper awareness of, and with a disposition for, devotion to God.
An individual practitioner of Sufism can use it to deepen his or her spirituality. Through the struggle with one's self, solitude or retreat, invocation, self-control and self-criticism, the veils covering the inner dimension of existence are torn apart, enabling the individual to acquire a strong conviction of the truth of all of Islam's major and minor principles.
4 notes · View notes
americanmysticom · 6 months
Text
Tumblr media
IT'S NOT ABOUT THE DEVOUT
TO DECLARE THERE IS NO G-D BUT ONE - ALLAHA
HAS NO ERROR,
"No serious scholarly work has been done on them"
"These Mushafs date from the early -mid 8th c."
"They are not Uthmanic, nor sent by him"
Early Quranic Manuscripts Confirm Qur'an is FALSE - Creating the Qur’an with Dr. Jay - Episode 31
CIRA International https://www.youtube.com/watch?v=WbT_eYXVBLQ
Today Al Fadi and Dr. Jay continue their historical analysis surrounding the origins of the Qur’an, focusing on the early manuscripts. There is not a single Quranic manuscript dated back to the 7th century. Even the very few that claim to be 7th century through carbon dating cast serious doubt and cannot be used as irrefutable evidence. Over the next several episodes, they will review each of the six earliest completed manuscripts of the Qur’an and the facts surrounding each.
[They say that all people are Muslims. If by that they mean that all people are connected to One G-d, created by Him, and sustained by Him alone. Then we can agree. The vision that all people recognize G-d and are One within G-d almighty is good and correct.
What do the Islamist Muslims value most? Their fighters and their weapons for Holy War. The most valuable weapon of all, a clear and astute mind.]
-
BREAK THRU THE PSYOP! - INFORMATION CONTROL IS MIND CONTROL! - LEARN ABOUT CRIMINAL HYPNOSIS!
https://www.secretdonttell.com/shop pdf&mp3 available
0 notes
linguistlist-blog · 7 months
Text
Qs: Seeking a specialist in Arabic Phonetics to Review a Chapter in a manuscript on the Qur'an
Dear colleagues, I am writing a book of Qur'anic recitation and I would like a specialist in Arabic phonetics to review one chapter that relates to Linguistics. I am willing to compensate for the time spent in the review. I will also include the reviewer's name within the published monograph as a reviewer of the chapter. All the best, Yasir S. Ibrahim, PhD Associate Professor Department of Religion Montclair State University Email: [email protected] http://dlvr.it/SyshQY
0 notes