Tumgik
setelahnonton · 1 year
Text
Sri Asih (2022)
Tumblr media
Film yang digadang-gadang menjadi standar baru perfilman superhero Indonesia nyatanya masih hadir dengan performa yang serba nanggung. Sri Asih, alih-alih menjadi penebusan dosa Joko Anwar terhadap film Gundala, justru masih aja membawa penyakit lamanya; dialog dengan bahasa baku yang di-mix dengan bahasa sehari-hari, menjadikan hal itu justru terasa aneh ketika masuk telinga.
Mbak Upi, yang duduk di kursi sutradara jelas udah bekerja keras dengan menghadirkan pengambilan gambar yang keren dan sinematografi yang ciamik. Namun itu nggak menutup semua kekurangan yang ada di film ini. Dengan set up karakter yang begitu terburu-buru, membuat chemistry antara tiap karakternya nggak dibangun dengan cukup baik.
Momen Alana dengan Tangguh, relationship mereka waktu kecil, pertemuan mereka kembali, Alana dengan ibunya, semuanya serba lack of chemistry. Apalagi chemistry antara Alana dengan audiens. Transformasi Alana menjadi Sri Asih pun terasa terjadi begitu aja dengan momen emosional yang nggak bisa dirasakan oleh gue sebagai penonton.
VFX-nya mengalami peningkatan, meski masih belum terlihat mumpuni. Terutama ketika fight scene berlangsung. Koreografi pertarungannya masih terlihat kaku di beberapa bagian, akan tetapi hal ini hanyalah sebuah minor aspek. Yang jadi perhatian gue adalah bagaimana sosok Sri Asih ini justru terlihat mencoba menjadi Wonder Woman, dibuktikan dengan beberapa scene yang menunjukkan hal itu; scoring ketika Sri Asih muncul, bagaimana dia menggunakan selendangnya (yang justru fungsinya menyerupai Lasso of Truth milik Diana), dan final scene yang nerbener copycat dari film ZSJL.
CGI yang dipakai patut diapresiasi dan diacungi jempol, terutama ketika memunculkan sosok beberapa entitas tertentu. Walau ketika harus dipadukan dengan fight scene justru terlihat masih sangat mentah.
But overall, Sri Asih emang patut dirayakan sebagai bangkitnya perfilman superhero Indonesia. Walau serba nanggung, film ini jelas masih bisa dinikmati, terutama bagi rangorang yang mengikuti CBM. Cameo yang dihadirkan juga bikin gue bersorak. Terutama kehadiran sosok di post credit scene yang membantu men-set up film-film BumiLangit ke depannya.
Well ...
7,3 out of 10
2 notes · View notes
setelahnonton · 2 years
Text
Black Adam (2022)
Tumblr media
Black Adam ... Benar-benar membawa lagi "harapan" ke franchise DCEU. Setelah sekian lama, penantian The Rock dan juga para fans akhirnya terbayarkan. Walau kata-kata mengenai "hirarki di DC universe akan berubah" terlalu terdengar berlebihan menurut gue.
The Batman, yang merupakan film adaptasi komik DC dengan penekanan di aspek naratif dan dirilis pada tahun ini juga, bisa dikatakan berbanding terbalik dengan Black Adam yang menghadirkan action sequence secara jor-joran.
Iya, jor-joran ... dan melupakan latar belakang serta pendalaman masing-masing karakter. Alurnya yang ngebut serta pacing yang cepat, menjadikan gue sebagai audiens kurang bisa terhubung dan mendapat chemistry dari tiap jajaran cast-nya.
Selain itu, naskah film ini bisa dibilang terlalu dangkal, kurang pengembangan, dan "terjadi begitu aja", yang menjadikan performa acting para pemain terlihat redup. Terutama Dwayne Johnson yang mencoba membuktikan kualitasnya, yang turns out tetap dibayang-bayangi sosok The Rock.
Scoring pada paruh awal kadang kurang masuk pada scene tertentu, yang membuat beberapa adegan terasa aneh. Namun, di babak setelahnya, scoring sangat membantu mem-bulid up suasana action sequence yang nggak ada henti-hentinya.
Harus gue acungi jempol emang, karena Jaume Collet-Serra sebagai sutradara, lumayan berhasil menghadirkan pertarungan epik ala Zack Snyder. VFX-nya pun sangat bagus dan terlihat digarap dengan matang.
Pun sinematografinya yang megah. Shot yang diambil keren, penggambaran landscape Kahndaq dulu dan kini, bahkan selama sesi pertarungan, walau beberapa terkesan patah.
Film ini jadi tontonan segar buat kalian yang haus akan sesi pertarungan tiada henti ala Dragon Ball atau Man Of Steel, tanpa ingin terlalu pusing memikirkan jalan cerita.
Sementara bagi gue, naskah Black Adam harus lebih matang, memperlambat pacing, dan membiarkan gue serta audiens lain dapat ikut bersimpati dan merasakan chemistry dengan tiap karakternya.
Well ...
7,2 out of 10
2 notes · View notes
setelahnonton · 2 years
Text
The Batman (2022)
Tumblr media
Noir, thriller, dan horror tersaji lengkap dalam film ini. The Batman, yang awal kemunculannya diragukan dan mendapat kenggakpercayaan orang-orang karena menggandeng seorang Robert Pattinson yang terkenal karena Twilight Saga, kini berhasil membungkam mereka semua.
Matt Reeves berhasil membuktikan kalau Batman garapannya ini akan sangat berbeda dengan para pendahulunya. Menjadikan sosok ini sebagai mitos kota Gotham yang depresif dan sebagai peringatan, bersembunyi dalam bayangan dengan sebuah teror.
Acting Robert pun dapat membuktikan kepada orang-orang yang sering menghinanya dengan film yang dia mainkan beberapa tahun silam tanpa melihat film-film yang dia mainkan setelahnya. Kini, dengan sosok yang sama populernya, Robert dapat melepas sosok-sosok lain yang sebelumnya pernah juga mengenakan mantel The Caped Crusader.
Performa acting Zoë Kravitz, Jeffrey Wright, dan juga sosok Paul Dano sebagai main villain sangat luar biasa. Pemilihan cast yang sesuai walau juga sempat diperdebatkan. Chemistry para karakternya sangat pas, terutama antara Batman dan Catwoman, juga Jim Gordon. Walau Alfred Pennyworth sebagai sosok ayah bagi Bruce Wayne harus istirahat sejenak karena screen time yang nggak lebih banyak dari karakter lain.
Sinematografi dan scoring yang menjadi banyak pujian orang-orang setelah menonton film ini pun emang nggak terelakkan. Tata artistik yang megah dan mahal terutama landscape kota Gotham dan bagaimana pengaturan pencahayaan untuk shot tertentu, merupakan sebuah sajian yang luar biasa. Music scoring yang diputar selama film berlangsung pun membuat setiap menit ketika menontonnya menjadi sesuatu yang mendebarkan, terngiang-ngiang, dan memorable.
Namun, sangat disayangkan sosok Bruce Wayne dalam film ini nggak mendapatkan screen time yang banyak dan seakan terlupakan karena terfokus kepada sosok The Dark Knight dan teka-teki yang harus ia pecahkan.
The Batman emang sepertinya dikhususkan untuk para fans Batman sejak dulu kala, yang mana beberapa back story dari beberapa karakter dan hubungan di antara mereka, motif, dan event-event yang terjadi sebelumnya seperti tenggelam dan kurang penjelasan.
Dengan semua hal di atas, film The Batman ini merupakan film yang sangat layak dan wajib ditonton. Menyajikan sosok Batman dengan interpretasi yang jarang disorot oleh sutradara lain. Dengan catatan bahwa film ini menekankan unsur naratif, bukan seperti film laga dan memiliki banyak sekali action sequence dengan visual effect yang bombardir.
9 out of 10
3 notes · View notes
setelahnonton · 2 years
Text
Spider-Man: No Way Home (2021)
Tumblr media
Spider-Man: No Way Home adalah film MCU pertama yang gue lihat di bioskop. Jujur, awalnya pun gue tertarik karena mendengar rumor mengenai kemunculan 2 Spider-Man pendahulu yang akan ikut beraksi di film ini.
Filmnya bagus, tapi sangat jelas masih dalam batas standar MCU. Harus gue katakan bahwa selama menontonnya, gue ngerasa banyak banget referensi dari film-film sebelumnya dan membuat gue sangat nostalgic, haru, dan senang karena bisa kembali melihat 2 Spider-Man pendahulu yang menemani masa kecil gue.
Banyak yang memberi rating tinggi di film ini. Gue pun awalnya akan melakukan hal yang sama (dan tetap akan begitu). Film besutan John Watts kali ini jauh lebih berkembang dari dua film pendahulunya. Pengambilan gambar dan juga sinematografi nggak perlu diragukan lagi jika membahas film-film blockbuster.
Kecuali saat fight scene yang menurut gue serasa terlalu cepat dan terpotong-potong. Banyak adegan yang jadinya terkesan nanggung.
Juga, pace film ini terlalu cepat. Gue sebagai penonton seakan nggak diperbolehkan untuk bernapas barang sebentar. Dari paruh pertama hingga ending, penurunan pace pun hanya terjadi ketika Peter mengunjungi MJ di kedainya.
Pace yang cepat itu membuat gue ngerasa kalau chemistry dari masing-masing karakternya kurang terbangun. Terutama bagi karakter-karakter yang baru muncul di kehidupan Peter Parker, seperti dua varian Spider-Man Tobey dan juga Andrew.
Dari segi plot pun sebenarnya agak memiliki kejanggalan. Seakan film ini dibuat hanya sebagai jembatan agar tokoh Spider-Man dapat beralih kembali ke tangan Sony setelah dipinjam Disney dengan mengusung tema multiverse.
Seperti misalnya permasalahan mengenai kasus kematian Mysterio yang selesai gitu aja, menyebabkan kemunculan Matt Murdock terkesan sebagai fan service tanpa peran yang berarti. Purpose dari masing-masing villian-nya pun lemah. Motifnya seakan nggak ada. Kehadiran 2 Spider-Man tambahan pun kesannya hanya sebagai penyemarak.
Ditambah, jokes MCU yang jor-joran dan terasa nggak cocok ketika disandingkan dengan Tobey dan Andrew yang memilki ciri khas jokes tersendiri di film mereka masing-masing.
Favorite thing gue dari film ini adalah chemistry antara Peter dan May. Hubungan bibi dan keponakan yang saling memilki jauh lebih terbangun dibanding 2 film Spider-Man garapan Sam Raimi maupun Marc Webb. Scene kematiannya sangat menyentuh walau gue masih merasa nanggung.
Kemunculan karakter-karakter dari film garapan Sam Raimi dan Marc Webb menjadi poin plus dari Spider-Man: No Way Home. After all, film ini masih menjadi film yang luar biasa untuk ditonton di penghujung tahun 2021.
8,7 out of 10
1 note · View note
setelahnonton · 3 years
Text
The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021)
Tumblr media
Setelah penantian lima tahun, keinginan gue untuk menyaksikan duo Warren ini beraksi kembali terwujud dengan adanya The Conjuring: The Devil Made Me Do It, walaupun pada Annabelle: Comes Home mereka berdua sempat menjadi cameo yang dapat mengobati rasa rindu gue akan duo demonologi ini.
Menurut gue pribadi, The Conjuring: The Devil Made Me Do It ini bukanlah film yang sehebat dua film pendahulunya. Mungkin karena absennya Wan sebagai sutradara dan digantikan oleh Michael Chaves, yang juga merupakan sutradara The Curse of La Llorona, salah satu film dari Conjuring Universe.
Jujur, dengan durasi hampir 2 jam, film ketiga ini justru terasa begitu terburu-buru dan nanggung. Yang mana banyak sekali aspek potensial di film ini yang seharusnya lebih bisa dikembangkan, seperti drama persidangan, misteri, dan elemen horor yang seharusnya disuntikan lebih banyak porsinya.
Pendalaman karakter keluarga Glatzel dan Arne Johnson pun terasa sangat-sangat kurang. Chemistry antara satu karakter lainnya nggak terbentuk dengan baik. Nggak seperti dua film pendahulunya yang membuat penonton dapat bersimpati dengan keluarga Perron dan Hodgson.
Jumpscare-nya acak-acakan walau di beberapa bagian dapat tersampaikan dengan baik. Dengan mengangkat tema yang berbeda dari kedua film sebelumnya, Eugenie Bondurant yang memerankan Isla pun motifnya kurang dapat dipahami dan sosoknya nggak se-memorable Bathsheba maupun Valak.
Walaupun demikian, gue masih sangat enjoy menikmati film ini. Sinematografinya jempolan dan kelihatan banget kalau ini merupakan film mahal. Namun, di beberapa bagian memang masih dapat dillihat kekurangannya walau nggak sejelek scene final di Cruella.
Chemistry antara Farmiga dan Wilson yang merupakan hati dari film ini sangat-sangat patut gue apresiasi. Kemampuan mereka masih sama seperti dua film sebelumnya dan gue masih menantikan kembali performa keduanya di film-film selanjutnya walau dikabarkan bahwa The Conjuring 3 menjadi penutup trilogi untuk sementara.
Dengan beberapa kekurangan di aspek-aspek yang cukup mayor, The Conjuring: The Devil Made Me Do It masih sangat dapat dinikmati. Justru film ketiga ini menjadi penyegar kala di dua film sebelumnya duo Warren hanya terkurung dalam rumah dan berfokus pada pengusiran setan.
7,2 out of 10
0 notes
setelahnonton · 3 years
Text
Cruella (2021)
Tumblr media
Awlanya gue bahkan nggak berharap besar dari film yang dianggap mirip Joker dan juga karakter yang disamakan dengan Harley Quinn. Bahkan Cruella nggak pernah masuk list untuk film yang harus gue tonton tahun ini.
Namun nyatanya gue harus menjilat ludah gue sendiri karena apa yang baru aja gue saksikan adalah karya terkelam dan juga terbaik Disney menurut gue pribadi.
Karena gue pikir Cruella akan hadir menjadi film live action Disney yang hanya bertujuan mengeruk pundi-pundi rupiah seperti Mulan dan juga Maleficent yang nggak dibarengi dengan set up naskah yang mumpuni.
Dibuka dengan prolog yang panjang dan hampir agak membosankan seperti film Disney kebanyakan, Cruella kecil berhasil mengingatkan gue akan penyanyi ikonik yang juga sama-sama agak gila, Sia.
Adegan demi adegan yang terjadi setelahnya dan juga tone yang agak gelap menjadikan Emma Stone terlihat sangat mengagumkan dan seksi dalam perannya.
Walau ini film Disney, harus gue akui mereka kini mulai berani menampilkan film yang dari segi naratif agak dewasa walau tetap masih dalam ranah semua umur dan nggak sedepresif Joker.
Sajian heist dan juga fashion menjadi daya tarik tersendiri bagi gue selama menonton. Porsinya disajikan pas dan nggak berlebihan membuat gue harus mengacungi jempol terhadap departemen naskah film ini dibandingkan dengan A Quiet Place Part II yang juga rilis di tanggal yang sama.
Akting Emma Stone yang agak goyah pada pertengahan pun dapat termaafkan manakala transformasinya menjadi sosok ikonik di universe Disney ini emang butuh usaha yang ekstra.
Berbeda dengan Emma Thompson yang juga memerankan The Baroness, sosok satu ini begitu tampil mempesona dan powerfull, menjadikannya sosok yang tepat berhadapan dengan Stone dalam transformasi menjadi Cruella.
Scoring-nya pas banget di telinga. Mengambil latar 70-an, set up tempat dan juga sinematografinya mengagumkan. Walau di paruh akhir efek visual sekelas Disney harus terlihat sangat murah dan juga CGI yang buruk.
Dengan aspek minor yang sangat-sangat sedikit, Cruella berhasil menyajikan origin story karakter Disney terbaik sejauh ini menurut gue dan menjadi tontonan yang harus gue rekomendasiin ke kalian semua daripada A Quiet Place Part II di minggu ini.
8 out of 10
3 notes · View notes
setelahnonton · 3 years
Text
Zack Snyder's Justice League (2021)
Tumblr media
The best DCEU's movie, sih ini. Gila. 4 jam dan nggak berasa apa-apa. Semuanya terasa pas dan justru logis dibandingkan dengan JL 2017 lalu. Bahkan jauh. Sangat jauh.
Tanpa ada pemangkasan, cerita yang disajikan benar-benar kompleks dan padat. Nggak ada yang disia-siakan. Setiap scene terasa begitu penting, sampai-sampai membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam untuk dinikmati.
Sinematografinya gue acungi jempol. Pengambilan gambarnya sangat khas Om Zack. Walau memang harus gue akui, efek CGI-nya di beberapa bagian masih terlihat sangat kasar dan belum sempurna. Dan gue dapat memaklumi karena beberapa hal yang sudah banyak fans DC--terutama yang menginginkan film ini dirilis kembali dengan visi asli Zack Snyder--ketahui.
Acting para pemainnya pun luar biasa. Nggak kayak versi Joss Whedon yang sangat-sangat cringe dan character development-nya ancur-ancuran, versi Zack Snyder jauh lebih baik. Yang paling gue sorot adalah karakter dari Barry Allen dan Victor Stone. Mereka berdua sangat berbeda 180° dengan apa yang sudah gue saksikan dulu. In a good way, ofc.
Dan ... Yang paling gue suka adalah scoring-nya. Banyak yang meragukan dengan absennya Hans Zimmer pada ZSJL ini, scoring-nya akan buruk. Well, they're wrong. Bahkan scoring ZSJL ini salah satu yang terbaik. Dan ditangani oleh salah satu murid dari Zimmer sendiri.
Gue nggak tau harus bilang apa lagi. Penantian panjang akhirnya terwujud. Dan walaupun ZSJL ini masih memiliki banyak kekurangan, gue sangat-sangat senang karena film ini akhirnya dirilis.
9,5 out of 10.
1 note · View note
setelahnonton · 3 years
Text
Maleficent: Mistress of Evil (2019)
Tumblr media
Maleficent is magnificent. Seriusan, deh. For kids, tapinya. Karena apa, ya, semua scene-nya beneran kentang. Gue kagak meragukan mengenai visual effect dan sounds-nya, kok. Disney beneran pro kalau soal hal itu. Hanya aja jalan ceritanya emang terlalu lemah dan untuk anak kecil.
Gue tau, sih emang pasarannya Disney itu untuk semua usia. Cuma, untuk ide semenarik Maleficent ini bener-bener sia-sia kalau cuma dibuat hanya untuk menyenangkan anak-anak aja. Apalagi mengenai kawanan Fey. Gila, sih itu. Sayangnya nggak di-explore lebih jauh.
Padahal kalau dibikin lebih dark dan dengan ending Sang Ratu tewas, itu bakalan jadi pembalasan setimpal untuk apa yang telah dia lakukan kepala semua penduduk Moors. Dan... Jangan lupakan juga plot hole yang nggak diperhatiin. Beuh, bejibun sangad! Gue bahkan cringe di beberapa bagian. Khususnya untuk Sang Raja yang bukannya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan kerajaan berikut istrinya, justu langsung bisa bergembira dengan pernikahan langsung yang diadakan setelah peperangan. Gue bener-bener can't relate.
Tapi walaupun begitu, ada jokes receh yang yahh... it's good enuff lah. Masih bisa bikin gue mendengus karena lucu, bukannya garing dan bikin rolleyes. Visualnya juga. Apalagi ketika Sang Phoenix muncul. Itu keren, sih.
Overall, gue puas akan visual berikut CGI-nya. Tapi jangan tanyakan soal alur berikut ending-nya yang bikin gue speechless karena saking anak-anaknya. Euh... Pardon me, Disney. It's my fault. Please, don't be offended. Cuma, sayang banget rasanya kisah Maleficent yang epik ini harus berakhir gitu.
7,1/10
1 note · View note
setelahnonton · 3 years
Text
Joker (2019)
Tumblr media
Joker adalah film yang bener-bener gila. Yang bahkan, kalau lo nggak gila, atau belum pernah gila, lo mungkin nggak bakalan bener-bener paham mengenai apa yang ingin disampaikan Todd Philips di film ini.
Di mulai langsung dengan penderitaan Arthur yang dipukuli oleh sekelompok remaja kota Gotham yang udah porak poranda, dilanjut dengan penderitaan-penderitaan memuakkan pada scene-scene berikutnya, juga mengenai kelainan pada bagian otak yang membuat Arthur kagak bisa ngontrol kewata, menjadikannya sosok yang dipandang aneh dan membawanya ke berbagai mala petaka.
Bagi sebagian orang yang nonton, yang hidupnya biasa-biasa aja, yang kagak pernah merasakan di-bully, ditindas, diremehkan, mungkin nggak bakalan ngerti. Tapi bagi mereka yang begitu, semoga lo semua kagak berencana untuk bunuh diri atau membunuh orang lain.
Film ini bagus. Bagus banget. Gue bahkan selalu takjub akan tiap scene-nya. Yang mengharapkan film action dengan pertarungan Joker dan Batman, lo pasti kagak baca asal-usul dari film Joker yang satu ini. Typical Indonesian people. Apalagi kalau nonton film ini karena hype. Kasian dah lo. Kalau yang setelah keluar dari theater dan koar-koar di sosmed atau cerita ke orang-orang kalau film Joker itu boring dan kagak seru karena ceritanya kagak ada CGI sama sekali, poor you. Yoe're humiliating yourself.
Salah satu scene yang paling gue suka adalah ketika Arthur diundang ke acara Murray Show. Di sana gue bener-bener bisa ngeliat sosok dari Joker yang melegenda. Phoenix bener-bener cast yang tepat, dan nggak dibayang-bayangi oleh sosok Ledger sebagai Joker.
Fun fact, gue bahkan tersenyum ketika Arthur sedang menembaki Murray dan membuat orang-orang di studio takut. Such a terrible and beautiful scene.
Sayangnya, masih aja ada orang tua yang membawa anaknya untuk nonton film ini padahal udah ada rating dan batasan usia. Such an ignorant person. Gross! Padahal gue berharap dengan adanya pemberitaan di mana-mana, para orang tua ini sadar kalau anaknya nggak layak dikasih tontonan kayak gitu.
But, yahhh, udahlah ya. Biarkan mereka berkoar-koar. Now, I really don't fuckin' care. Mereka bukannya bodoh, cuma abai aja sama aturan. Tolol. Giliran ada apa-apa malah nyalahin orang. Ugh, human.
9,4 out of 10
Ps. Walaupun di awal gue udah tau kalau film ini stand alone dan kagak akan masuk ke ranah DCEU. Tapi ngeliat scene terakhir saat orang tua dari Bruce ditembak, itu sama persis dengan scene di Batman VS Superman dan gue sangat berharap. Yahhh, let's see aja dah.
Pss. Gue suka universe yang Philips buat, wkwk. Butuh dikembangkan. Gotham bakalan nambah epik kalau semakin dikacaukan. Haha!
Psss. Satu lagi. Gue benci saat orang-orang bikin quote, "orang jahat terlahir dari orang baik yang disakiti." padahal nggak ada sangkut pautnya sama sekali.
0 notes
setelahnonton · 3 years
Text
Scary Stories to Tell in the Dark (2019)
Tumblr media
So, walaupun Scary Stories to Tell in the Dark dimulai dengan narasi yang cukup lemah, tapi seiring berjalannya adegan demi adegan, film ini perlahan-lahan mulai membangun tiap karakter dan juga membangun plot-plotnya. Walaupun lagi, pengenalan tiap karakternya terlalu buru-buru dan kayaknya Øvredal takut banget kalau film ini nggak nakut-nakutin kayak bukunya. Yang malah, justru bikin ngeganggu. I mean, sounding-nya itu, lho, pas creature-nya Sarah muncul, suaranya nggak nanggung-nanggung. Hamdalahnya jump scare nggak terlalu dijor karena ... gosh, coba kalau begitu, keluar studio bisa botak pala gue. Ini aja migrain.
Gue gatau ya André Øvredal ini mau ngebikin film ini jadi horor yang "wah" kayak IT atau cuma kisah buat nakut-nakutin anak-anak doang kayak Goosebumps. Tapi selama gue nonton, film ini ada di tengah-tengah di antara dua kemungkinan itu, sih. Jadi, ya ... nanggung. But, overall okay kok.
Di paruh kedua, cerita ini udah bisa berdiri kokoh dan juga berjalan semestinya sesuai jalan cerita dengan (ya, Tuhan) sinematografi yang super-duper eye-catching banget! Dari awal sih, dari paruh pertama. I really love that. Penggambaran Mill Valley (wkwk. Gue mau ngebangun kota yang namanya hampir mirip juga, LOL), kota kecil tempat tinggal Stella dan juga temen-temennya, tentang apa yang terjadi di 1968, tentang (kayakanya) Serangan Tet yang terjadi antara Vietnam sama AS. Walaupun nggak ngaruh ke cerita tapi itu salah satu poin yang penting sih menurut gue.
Salah satu yang gue apresiasi dari film ini adalah gimana narasi itu dibangun. Tentang legenda Sarah, keluarganya, tiap-tiap karakternya (walaupun ini such a American story, and regular American teenagers, but it's really fine. I can handle it) yang kurang adalah waktu. Mungkin film ini akan berlanjut jadi sekuel atau mungkin prekuel (idk, but I can saw how big the plot hole is), tapi apa salahnya sih nambahin waktu buat nguatin karakter? Padahal kalau dikasih tambahan waktu mungkin karakter Stella dan kawan-kawan bakalan sempurna. Apalagi back story tentang Ramon yang imigran. Butuh dijelasin sih.
Tentang creatures-nya Sarah (I don't know how to say it, jadi anggap aja makhluk itu miliknya Sarah ya) yang dibuat sama Om del Toro (even gue belum ngeliat dua film sebelumnya. Hampura, Om) bener-bener bagus dan nyantol di kepala. Apalagi si Pale Lady! Gosh! Perasaan horor yang dibawanya sama aja kayak pas gue liat Kayako! Apalagi bentuk badan dan gimana tatapannya. I just can't imagine that. Dan juga scene yang gue suka salah satunya adalah pas si Auggie makan jempol kaki. Wokwokwok, it's really gross 🤣
So, kesimpulannya adalah, film ini bagus, ceritanya dapet, sinematografinya juga catchy banget. Cuma alurnya terlalu cepet dan emang banyak lubang yang masih berserakan. Nggak masalah sih bagi gue kalau emang bakalan ada sekuelnya (atau mungkin prekuel, we'll see) cuma kalau mau nandingin film IT yang bener-bener amazing dan bakalan ada sekuelnya bulan depan, keknya enggak deh. Masih tiga tingkat di bawahnya. Cuma kalau dibanding sama Annabelle kemaren, film ini jelas dua tingkat di atasnya.
8,3/10
0 notes
setelahnonton · 3 years
Text
Annabelle: Comes Home (2019)
Tumblr media
I've waited this movie almost a year, i guess. Like I'm waiting for IT : Chapter 2 and The Conjuring 3. Walaupun gue nggak terlalu berekspektasi dan berharap lebih sama film ini karena it's not my priority.
But, when I saw this, I was so glad and I was pissed off too. Film terbaik Annabelle masih dipegang oleh Creation. Kengerian dan juga teror yang dikasih nggak nanggung-nanggung dan lepas. Nunjukin keeksistensian iblis yang sesungguhnya. Sementara, Comes Home hanya menambah daftar panjang turunnya kengerian dan dosa-dosa dari para pendahulunya.
Paruh awal, kita disuguhkan oleh scene dari The Conjuring yang memulai semua teror mengerikan dan penuh dosa ini. Comes Home memulai semuanya dengan begitu rapih dan apik. Juga dengan narasi yang padat dan cukup baik serta kejelasan yang cukup ngeyakinin bahwa Annabelle seei ke-3 ini layak untuk ditonton. Konflik dimulai ketika isu keluarga Warren yang diragukan kemampuannya dan menjadi olok-olokan yang juga ngebawa dampak ke putri mereka, Judy.
Tonggak sebenernya dari cerita ini adalah ketiga pemain utama, yaitu Judy, Mary Ellen dan juga Daniela. Jangan berharap menyaksikan kehebatan Ed dan Lorraine merukyah orang karena di film ini mereka hanya berperan seagai cameo di awal dan akhir film. Salah satu yang buat gue kecewa, walaupun hal itu cukup mengobati rasa rindu gue akan kedua demonologi itu.
Karena tindakan stupid as usual film horror kebanyakan dari salah satu dari ketiga gadis di atas, teror si boneka berwajah seram ini dimulai.
Tapi sayangnya, Gary Dauberman, yang secara perdana nyutradarain film ini dan sosok di balik naskah semesta The Conjuring, seperti The Nun dan film Annabelle lainnya, terkesan terlalu berhati-hati dan kurang berani. Padahal, banyak banget hal yang bisa dieksplor dari film ini. Kayak krisis sosialnya Judy atas laporan jelek orang tuanya, bakat cenayang yang turun dari ibunya, latar belakang Daniela, juga "iblis dan monster" yang terlepas.
Paruh kedua dan ketiga begitu berantakan dan nanggung. Seolah Dauberman ingin nunjukin keeksistensian semua monster ini dan malah berujung kurangnya kesempatan semua monster untuk show up dan terkesan setengah-setengah. Padahal Ferryman, Hell Hound, dan Iblis dalam Annabelle sendiri adalah para makluk kematian dan berasal dari neraka sama kayak Valak. Yang di sini justru terkesan cuma dapet peran menakut-nakuti yang nggak sama sekali bikin takut.
Satu hal yang patut diacungi jempol adalah sinematografinya. Permainan kamera di sepanjang lorong dan ruang artefak keluarga Warren justru jadi hal yang ngebuat film ini seram ketimbang kemunculan para hantu--yang sekali lagi--hanya untuk menakut-nakuti dengan jumpscare abis itu hilang. Klimaksnya pun nggak terkesan wah dan keliatan kayak main-main doang. Jauh kalau dibandingin sama The Conjuring atau Annabelle : Creation yang brutal dan berdarah-darah.
Bagi gue film ini justru cuma berperan sebagai selingan atas The Conjuring 3 nanti. Bahkan gue nggak dapet kesimpulan apapun setelah nonton ini selain mengetahui kalau Judy bisa negliat jurig juga kek Lorraine yang padahal sebenernya udah ditunjukin secara nggak langsung di The Conjuring 2.
Banyak orang yang mengharapkan teror yang mencekam dan menghantui dari film ini karena kehadiran beberapa makhluk di atas, begitu juga gue (a little bit). Tapi sayangnya gue nggak mendapatkan hal itu. Mungkin kalau ini adalah film yang berdiri sendiri, gue masih bisa maklum. Tapi Comes Home adalah bagian dari universe The Conjuring yang melegenda. Dengan menghadirkan film yang nanggung dan setengah-setengah ini sebagai selingan dan fan service justru ngebuat para pecinta duo Warren ini kecewa.
Skor dari gue buat film yang setengah-setengah adalah 5 out of 10. Sorry but it's true.
2 notes · View notes
setelahnonton · 3 years
Text
Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020)
Tumblr media
NKCTHI menurut gue bener-bener relatable sama kehidupan sebagian orang, khususnya di Indonesia. Tentang bagaimana buruknya parenting banyak orang tua di sini, masalah mengenai keputusan anak yang selalu dicampurtangani orang tua, pemberian beban kepada anak yang lebih tua yang sejak awal pun nggak dia harapkan, tentang orang tua yang terlalu mem-push anaknya, dan tentang ayah yang strict dan merasa setiap keputusannya adalah hal yang benar dan terbaik untuk anaknya, dan masih banyak lagi.
Aspek naratif yang dibangun sejak paruh pertama film terasa begitu dekat dan kayak obrolan sehari-hari. Bahasanya yang nyaman dan tiap dialog antar tokoh yang nggak kaku ngebuat akting para tokoh bener-bener menonjol.
Gue pribadi sangat-sangat-sangat enjoy nonton ini film. Baik dari segi visual maupun cerita sangat memanjakan. Sinematografinya emang harus diacungi jempol. Yang mungkin untuk ke depannya bisa dicontoh oleh filmmaker lain agar kualitaslah yang ditonjolkan. Bukan sekadar hype dari para jajaran pemainnya aja.
Sangat disayangkan sih gue melewatkan me-review film ini di awal perilisannya dan justru memulai menulis ketika kembali menonton saat versi blu-ray udah nangkring di Netflix.
Seperti yang banyak orang agung-angungkan, NKCTHI membawa sajian yang baru, yang kurang dilirik oleh sineas Indonesia, mengenai keluarga dan kompleksitas yang ada di dalamnya. Bukan tentang rahasia yang disembunyikan, tapi perlakuan yang selama ini disebabkan oleh rahasia itu.
Tiap-tiap pemeran dapet porsi yang bener-bener pas, bahkan di saat gue ngira kalau sang Ibu hanya sebagai pemeran pelengkap, keeksistensiannya muncul di paruh akhir penayangan. Walaupun gue harus jujur, dialog yang dia lantunkan berasa kayak pembawa berita.
Untuk karakternya bisa berasa banget. Begitu dekat dan sangat nyata. Bagi gue sendiri pun dari apa yang dihadapi oleh ketiga saudara itu, pernah atau bahkan sedang gue alamin. Terutama sisi Aurora. Gue bisa ngerasain gimana berdiri di sepatu dia.
Dan karakter Kale pun sangat rasional. Gue pun tau gimana sangsinya harus menanggung kebahagian orang lain. Entah kenapa dia dicap oleh banyak orang sebagai "lo tau apa". Karakter ayah yang sangat gue benci di awal pun menjadi termaafkan di paruh akhir. Narasinya begitu padat, dan terasa begitu pas. Walaupun masih terdapat keteteran di beberapa bagian.
Tapi kesahalan itu menjadi termaafkan. Karena pada akhirnya, kita semua hanya manusia. Dan kita semua ... punya luka.
8,5/10
1 note · View note
setelahnonton · 3 years
Text
Tenki no Ko (2019)
Tumblr media
Tenki no Ko. Film anime pertama yang membuat gue takjub dan juga sumringah di saat pertama kali ngeliat trailernya. Film yang dikemas dengan apik dan mengguncang, membuat emosi gue naik-turun, antara bahagia dan terharu.
Sinematografinya luar biasa ciamik, yang di beberapa bagian sampai gue merinding dan bergeming kala tiap adegan yang memperlihatkan penampakan kota Tokyo dan saat-saat hujan maupun matahari yang bersinar terang datang. Apalagi gambar yang dibuat detil, membuat gue beneran terperangah hanya dengan sebuah tetesan hujan dan rintik gerimis.
Beberapa adegan mungkin terkesan kentang karena di saat seharusnya membuncahkan emosi penonton, justu dihentikan. Tapi semua itu terbayar ketika adegan klimaksnya membuat gue takjub dan speechless di saat yang bersamaan. Benar-benar film yang mendekati sempurna dan luar biasa.
Buat kalian yang bingung akan sajian tontonan Minggu ini, gue benar-benar menyarankan Weathering With You. Bisa ditonton semua usia dan gue jamin, bagi yang benar-benar memerhatikan dari awal dan mengerti alurnya, kalian bakalan tersentuh juga terguncang akan film ini.
9,5 out of 10
0 notes
setelahnonton · 3 years
Text
IT: Chapter II (2019)
Tumblr media
Pelipur rasa rindu. Itu kata yang cocok buat chapter 2 ini. Seolah memang gue menunggu selama 27 tahun hanya untuk ngeliat loser club beraksi kembali.
Dibuka dengan sangat apik, merinding, dan jenius, ngebuat gue ngerasa yakin kalau kisah ini nggak akan kalah bagus dari kisah pertamanya.
Tapi sayangnya gue harus menelan kekecewaan bulat-bulat karena unsur-unsur yang disajikan di chapter 2 ini membuat gue mengernyit. Terlalu banyak jokes, dan makhluk-makhluk lainnya ... terkesan seperti mau menyaingi Scary Stories to Tell in the Dark bulan lalu. Unsur gore dan berdarah-darah justru seperti lenyap di film keduanya.
Yang gue patut acungi jempol adalah CGI dan sinematografinya. Bener-bener apik dan waw. Begitu mulus dan memanjakan mata.
Tapi maaf Pennywise, teror lo nggak gue rasakan di film lo yang kedua ini.
7,3 /10
1 note · View note
setelahnonton · 3 years
Text
A Quiet Place Part II (2021)
Tumblr media
Setelah diundur beberapa kali karena pandemi, akhirnya film yang ditunggu-tunggu kehadirannya sekarang udah gue tonton. Jujur, gue sangat penasaran bagaimana kelanjutan kisah keluarga satu ini setelah kepergian sang suami dan juga ayah di film pertamanya.
Ekspektasi gue bahkan di atas rata-rata. Dilihat dari film pertamanya yang sukses besar, Krasinski berhasil menyuguhkan sajian action survival yang mengagumkan. Terutama dalam segi aspek visual yang memukau.
Namun, sepertinya gue harus agak menurunkan ekspektasi gue tersebut. Terutama setelah gue keluar dari pintu bioskop.
Karena apa yang baru aja gue lihat ... adalah sesuatu yang sangat-sangat membuat gue terheran-heran. Bahkan film dengan durasi sepanjang 1 jam 37 menit itu nggak memberikan gue kenangan apa-apa.
Sinematografinya harus gue acungi jempol. Sejak film pertamanya yang sangat sukses besar, Krasinski nggak menurunkan performa tersebut.
Bahkan efek visual dan CGI-nya sangat smooth, sesuatu yang nggak gue temukan di film-film blockbuster belakangan ini, dan menyatu dengan sempurna dengan color grading serta tone warna yang nyaman di mata.
Menurut gue, paruh pertama merupakan hal terbaik dari keseluruhan film. Kehadiran Krasinski sendiri menjadikan pembuka A Quiet Place 2 ini menjadi memorable dan mengharukan.
Sayangnya, dengan opening yang "wah" itu, aspek naratif pada adegan-adegan berikutnya menurun drastis. Bahkan banyak sekali hal yang membuat gue sebagai penonton bertanya-tanya, untuk apa hal ini, perlukah adegan itu, dan masih banyak lagi.
Dengan Krasinski yang menjanjikan adanya film ketiga setelah ini, menjadikan A Quiet Place sebuah trilogi, harusnya departemen naskah lebih menjelaskan tujuan dibuatnya sequel ini.
Walau beberapa jumpscare terkesan dipaksakan, overall Krasinski berhasil menghadirkan ketegangan yang cukup, walau pada bagian tertentu tensi tersebut menurun.
Padahal performa Emily Blunt, Noah Jupe, Millicent Simmonds jauh lebih baik dari film pertamanya. Walau beberapa karakter pendukung seperti Djimon Hounsou terkesan disia-siakan.
Kendati demikian, A Quiet Place 2 masih layak untuk ditonton bahkan lebih dari sekali demi melihat sajian visual yang ciamik dari hasil buah penyutradaraan Krasinski.
7,2 out of 10.
0 notes