Tumgik
#reda gaudiamo
apsny-news · 1 year
Text
Pesan Hangat nan Jenaka Seorang Ibu
“DAN akhirnya, Nak. Aku tahu, aku telah menyebutkan ini berulang kali, mengingatkanmu lagi dan lagi, tapi akan kukatakan lagi di sini: jagalah selalu gembira di hatimu, Nak. Selalu” Pesan yang sederhana, tetapi menguatkan itu menjadi penutup. Bahwasanya bahagialah yang terpenting meski jalan kehidupan tak selalu mulus. Hai, Nak, buku terbaru dari penulis Reda Gaudiamo merangkum ragam persoalan…
Tumblr media
View On WordPress
2 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Baca Buku : Na Willa (1)
Tumblr media
Na Willa karya Ibu Reda Gaudiamo awalnya tayang di Facebook. Baru di tahun 2012 diterbitkan dengan crowdfunding system. Lima tahun setelahnya, diterbitkan kembali oleh POST Press.
Kisah Na Willa sebetulnya ditulis oleh Ibu Reda untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, dengan kata lain untuk teman-teman beliau. Memang sengaja menggunakan tokoh anak-anak supaya bapak ibu yang baca ingat saat dulu kecil seperti apa. Karena tokohnya anak kecil, jadi banyak orang menyebutnya ini buku anak-anak. Sejak itulah buku ini menjadi buku anak-anak.
Informasi di atas aku dapat saat menyaksikan live streaming gelaran Nyanyian Na Willa di Hari-hari Ramai yang diselenggarakan oleh Museum MACAN berkolaborasi dengan POST Press.
Oiya, dari acara tersebut aku juga baru tahu lho, kalau ternyata nama Na Willa itu dari wilayah Indonesia timur, Pulau Sabu, NTT. Di sana ada kebiasaan memberikan nama anak sama dengan orang tua. Nah, nama Na Willa itu adalah nama manis ibunya Ibu Reda. Karena namanya sama Ibu Reda pikir Na Willa itu juga nama manisnya. Eh, ternyata bukan.
Unik ternyata kisah di balik Na Willa ini.
Aku jatuh suka dengan Na Willa sejak pertama kali membacanya. Aku lupa hal apa persisnya yang membawaku membeli serial Na Willa ini. Begitu membacanya aku tidak menyesal sama sekali memiliki buku ini. Bahkan aku hadiahkan untuk sahabat kecilku.
Na Willa kecil yang polos dan banyak bertanya ini membawa kembali memori ke masa kanak-kanak. Satu fase kehidupan yang rasanya ingin kembali lagi ke sana.
Kisah di buku Na Willa jilid pertama ini berupa cerita-cerita pendek. Satu judul cerita bisa hanya satu halaman saja. Betul-betul singkat. Ada tawa, air mata, dan amarah juga.
Kita akan berkenalan dengan Farida, tetangga seberang rumah; Dul, si jago main layangan dan kelereng; Bud, ingusan setiap saat; Ayam Kuning Kecil Sekali, hadiah dari Mak; dan banyak lagi.
Salah satu peristiwa nahas yang harus diketahui Na Willa kecil adalah saat Dul, kawan bermainnya, kehilangan salah satu kakinya. Momen itu sungguh membuat ngilu. Mak dan Na Willa tak bicara apapun juga tidak makan selepas peristiwa itu.
Mak juga termasuk ibu yang keras. Terlihat dari rasa takut Na Willa jikalau alis Mak sudah menyambung. Cubitan di pangkal paha, ahh, itu membacanya saja terasa perihnya. Mungkin di antara kita pun mengalami hal itu, dicubit atau disentil telinganya ketika nakal atau susah diatur.
Ada satu peristiwa mendebarkan yang menunjukkan Mak tegas dan keras, ketika Na Willa diejek oleh Warno, anak yang memiliki cacat kaki, dia balas memukul. Setelahnya Na Willa berdebar-debar, apalagi ketika ibu Warno datang ke rumah. Melabrak. Habislah sudah. Mak marah besar. Na Willa siap-siap menerima ayunan sapu atau cubitan di paha. Mak tidak suka Na Willa memukul orang yang tidak bisa apa-apa atau cacat fisik, meskipun orang itu salah. Kalau membalas justru Na Willa juga salah.
Dari peristiwa itu Mak menekankan agar Na Willa bisa mengendalikan emosi, tidak meluap-luap amarahnya. Diam bukan berarti salah atau kalah. Dan hal ini Mak lakukan supaya tidak lagi terulang di kemudian hari.
Terlepas dari itu, Mak betul-betul mendidik Na Willa menjadi anak yang kritis, banyak bertanya dan menggali rasa penasarannya dengan tepat. Na Willa selain bermain-main dengan boneka, ia juga bermain dengan buku bacaan. Tidak heran jika dia sudah lancar membaca padahal belum sekolah. Ini pun karena Mak dan Pak sejak dini mengenalkan Na Willa dengan buku.
Salah satu momen lucu adalah ketika Na Willa penasaran dengan radio. Apakah di dalam radio ada orang yang bicara-bicara? Bagaimana ya cara masuknya? Radio kan kecil? Saat kita masih anak-anak tentu pertanyaan itu pernah singgah dan bukan sembarang pertanyaan. Sebab orang dewasa akan memutar otak untuk menjelaskan kepada anak kecil yang penasaran ini, tentunya dengan kalimat yang mudah dipahami. Dan sangat wajar sekali muncul pertanyaan seperti itu.
Na Willa kan selalu penasaran. Kalau sudah penasaran, ia akan coba lakukan, sampai terpuaskan rasa penasarannya. Radio Erres menjadi korban pembongkaran oleh Na Willa. Demi menemukan orang yang bicara-bicara. Yang ada dia mendapat tatapan tajam dari Mak. Kan sudah dibilang radio bukan mainan, Na Willa. Selesai menginterogasi Na Willa, Mak mulai memberikan penjelasan sejelas-jelas. Haha. Na Willa... Na Willa....
Gara-gara membongkar radio, Na Willa harus bertanggung jawab mengembalikan seperti semula. Memasang bagian penutup yang ia lepas. Meski kesusahan, Na Willa tidak mau dibantu Mak. Aku yang buka, aku yang harus pasang. Kecil-kecil sudah muncul tanggung jawabnya, hmm ataukah gengsi (?)
Saat Na Willa mulai bersekolah itu merupakan cerita yang menarik. Ia tidak langsung cocok dengan satu sekolah. Di sekolah pertama ia tidak cocok dengan ibu gurunya dan teman-temannya. Dari awal perkenalan saja mereka sudah menertawakan namanya. Memangnya ada yang lucu?
(Aku juga punya nama yang terbilang unik. Sepanjang ingatanku, tidak ada yang tertawa mendengar namaku, yang ada orang-orang kesulitan mengucapkan dengan benar. Hihi.)
Barulah di sekolah kedua, TK Juwita, Na Willa langsung cocok dengan Bu Guru Juwita dan teman-temannya. Tidak satu pun menertawakan namanya. Ah, syukurlah. Bu Guru juga punya koleksi buku satu lemari kaca. Tentunya membuat Na Willa semakin betah di sekolah baru.
Ahh, perjalanan Na Willa menghibur hati. Sudah lama sekali beranjak jauh dari masa-masa itu. Lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan dua puluh lima tahun. Sudah lama sekali, ya. Sekarang rasanya hari-hari ramai menjadi oranh dewasa.
Dulu, saat kecil ingin segera jadi anak gede. Begitu sudah gede, mau kembali jadi anak kecil saja. Hahaha...hidup oh hidup.
Duh, hampir kelupaan. Na Willa meski masih anak kecil, lagu-lagu yang ia dengarkan justru lagu orang gede lho. Soalnya ia dengar lagu yang didengarkan oleh Mak dari radio. Contohnya, Hesti...oh hesti yang dinyanyikan Lilis Suryani. Cobalah dengarkan lagu-lagu lawas itu. Merdu. Syahdu.
Sekian dulu baca buku edisi Na Willa jilid pertama. Nanti aku ceritakan lagi baca buku jilid duanya.
1 note · View note
hampirtengahmalam · 1 year
Text
Bucket List Unlocked
When I was in high school, I spent a lot of time surfing on internet. Searching for a lot of information to feed my brain. I also write a lot such as poems, short stories, a novel, and essays. One day I found an intriguing event for writers and readers called Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). I still remember it was 2012.
Basically, UWRF is an festival for emerging writers who writes essay, short story, and etc. Since I love writing essays at that time, I gave it a shot. With all resources that I have at that time, I submit my work, five essays and basically talking about role of young generation for this country. (Hmm such a nationalist kind of way)
In 2013, I got an email from UWRF committee. Yeah, as I guess that I wasn't selected to be emerging writers back then. However, I received a letter from the notable judges such as Sapardi Djoko Damono, Dee Lestari, and one of foreign writer which I don't exactly remember his name and probably he is from Australia.
Reading the letter was like reading a love letter from your biggest crush. I still remember my feeling when reading it back then. Since then, UWRF has became my dream. I write it down to my bucket lists "Attending UWRF".
Voila! I unlocked my dream last week. I flew to Bali, went to Ubud. It was my first time in Ubud and UWRF too. I was excited to join the event for 4 days and surrounded by foreigners from many different countries. The discussions are engaging and bring pressing issues to the table with all the expert in their field. Not to mention the music night event with indie singers like Rara Sekar, Frau, Reda Gaudiamo, and so on. They also have a poetry performances which I missed it. LOL. This event is really worth it not because it is held in magical land like Bali, but the program they offer is amazing with the theme of this year-Memayu Hayuning Bawana.
Memayu Hayuning Bawana is Javanese ancient philosophy, simply means unity humanity. The fact that this theme has a deep meaning because writing and reading is about how we become a human. It is how we feel about ourselves and others. Writing is touching someone's heart even you don't know them and where they live.
I will end this by quoting what Pramoedya Ananta Toer said "Write. Your voice will not be extinguished by the wind, it will be eternal, until far, far in the future."
So that's my story in unlocking one of my bucket lists.
.
.
.
.
October 31, 2022 / Jkt / 11.50pm
Tumblr media
1 note · View note
Photo
Tumblr media
Na Willa duduk sendiri di sekolah, membaca Wiro, sementara anak lain asyik bermain. Kini ia di Jakarta, jauh dari rumah di dalam gang, jauh dari teman masa kecilnya, dan hari-harinya dimulai dengan murung. Hingga suatu kali Na Willa berjumpa dengan anak yang menghitung jumlah kaki kursi, anjing kecil yang bisa berubah warna, bibi yang bicara dalam bahasa yang tak ia pahami, paman yang membawa koper kaleng, juga Rano Karno! Dan di antaranya, Mak dan Pak, membawa kabar yang membuat Na Willa semakin sebal pada kata sabar. Petualangan apa yang akan Na Willa jalani, di hari-harinya yang kini ramai? Reda Gaudiamo & Cecillia Hidayat, Na Willa dan Hari-hari Ramai, Jakarta, Post Santa, Juli 2022, 69.000 #RedaGaudiamo #CecilliaHidayat #NaWilla #NaWilladanHarihariRamai #Postsanta (di Jual Buku Sastra-JBS) https://www.instagram.com/p/Cjda0VKhRbB/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
3ciacath · 2 years
Text
Book Review: Na Willa oleh Reda Gaudiamo
Book Review: Na Willa oleh Reda Gaudiamo
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
akusukamakanmekdi · 5 years
Text
Tumblr media
Cing-coang.
0 notes
southeastasianists · 4 years
Link
While some Indonesian authors such as Pramoedya Ananta Toer and YB Mangunwijaya are relatively well known by global readers, many works by contemporary writers are just beginning to gain traction as they have just been translated in recent years. Here are several books by Indonesian authors that have been translated into English, for those who wish to enrich their reading palette.
1. Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash
Written by Eka Kurniawan, translated by Annie Tucker
Eka Kurniawan, of Beauty is a Wound fame, tackles the world of street fighting and petty criminals in this book. The story puts Ajo Kawir in the spotlight, along with his impotent genitals and his hopeless romance with female fighter Iteung. Following his break-up with Iteung, Ajo Kawir becomes a fearless fighter with nothing to lose.
The book is written in short, fast-paced chapters with poetic and witty lines that are characteristic of Eka Kurniawan. Through the story of Ajo Kawir, Eka presents hard-hitting jabs on the Indonesian government and society.
2. The Original Dream
Written by Nukila Amal, translated by Linda Owens
Originally published in Indonesian as Cala Ibi in 2003, the novel gained widespread attention after it was shortlisted for the Kusala Sastra Khatulistiwa Nominee that year. The book might put off some readers at first due to its nontraditional plot, which tells a story within a story. However, the lyrical writing and vivid imagery lend the book its strongest appeal.
The book tells the story of Maya/Maia and a dragon named Cala Ibi as they venture into the world of dreams, inviting the reader into a magical realism story.
3. The Adventures of Na Willa
Written by Reda Gaudiamo, illustrated by Cecillia Hidayat, translated by Ikhda Ayuning Maharsi Degoul and Kate Wakeling
Despite being marketed as a children's book, Na Willa also makes an amusing yet nostalgic read for all ages.
The book is told in short stories, as if it is written by Willa herself, portraying the day-to-day adventures of a child growing up in a suburb of Surabaya, East Java. Curious and strong-headed, Willa makes a perfect companion for both children and adults.
4. Paper Boats
Written by Dee Lestari, translated by Tiffany Tsao
Published in 2009, Perahu Kertas was adapted into a two-part movie in 2012 starring Maudy Ayunda, Adipati Dolken and Reza Rahadian. The story centers on a quirky girl named Kugy as she begins her university life in Bandung, where she meets Keenan, an aspiring painter. The book follows Kugy and Keenan's friendship as it takes a romantic turn, complicated by the presence of Remi and Luhde, as well as the diverging paths in their adult life.
5. The Birdwoman's Palate
Written by Laksmi Pamuntjak, translated by Tiffany Tsao
What better way to learn about Indonesia than reading a book about food from across the archipelago? Originally published in Indonesian as Aruna dan Lidahnya, the book was shortlisted for the 2015 Khatulistiwa Literary Award. In 2018, a movie adaptation starring Dian Sastrowardoyo and Nicholas Saputra brought the book to popular attention.
The book follows the story of Aruna, a reporter, as she travels the country for an investigative report. In every local cuisine in the cities that she visits, Aruna discovers so much more than just food.
6. Sergius Seeks Bacchus
Written by Norman Erikson Pasaribu, translated by Tiffany Tsao
The poetry book was the first winner of Jakarta Arts Council's Poetry Competition in 2015, and yet, this is not the most special thing about the collection. Consisting of 33 poems, the book tells the experience of being a minority in Indonesia, in terms of both sexuality and religion. The collection shows the range of Norman's references, from mythology to urban, pop-culture. Consider this poem titled "On a Pair of Young Men in the Underground Parking Garage at fX Sudirman Mall" for instance.
7. The Wandering
Written by Intan Paramaditha, translated by Stephen J. Epstein
In a Faustian story, the protagonist makes a pact with the devil: a pair of red shoes that can take her wherever she wants to go, in exchange for the feeling of belonging and the safety of a home. The novel takes the readers on a journey across the globe, from Jakarta to New York. The novel's original title Gentayangan represents the state of constantly being in-between, as in the book, the journey is more important than the destination.
The Wandering is not just another travelogue, as it allows the readers to make their own story, ala the classic Choose Your Own Adventure series.
8. There is No New York Today
Written by Aan Mansyur, translated by John McGlynn
The poetry anthology is launched near the premiere of hit-movie Ada Apa Dengan Cinta? 2 (What's up with love? 2), as some poems of the book were used in the movie.
The 80-page book also features photographs of the streets of New York, presented as if the pictures were taken by the movie's main character Rangga -- who lives in the Big Apple before going back to Indonesia.
9. Eyewitness
Written by Seno Gumira Ajidarma, translated by Jan Lingard and John H. McGlynn
A journalist cum novelist, Seno Gumira presents history and fiction with a clarity that is more effective than dry, and a somewhat murky story on what actually happened in Timor Leste (formerly Indonesia's province of East Timor).
The short stories focus on individuals that become victims of Indonesia's occupation in Timor Leste, fleshing out the human costs that are often shadowed by the big, nationalistic lens in politics.
48 notes · View notes
lizatrihandayani · 4 years
Text
Ketika berpuisi dikira galau. Hmmmm. Ndakpapa, setiap orang hanya melihat permukaannya dan berakhir menyimpulkan tanpa bertanya. Seseneng ini kemarin nemu di youtube musikalisasi puisi "Z" Karya Goenawan Mohamad oleh Alm. Ari Malibu & Reda Gaudiamo ❤
2 notes · View notes
huttson-blog · 4 years
Text
9 Indonesian book translations to read on World Book Day — The Jakarta Post
9 Indonesian book translations to read on World Book Day — The Jakarta Post
Read more at The Jakarta Post
— by Devina Heriyanto: In times when you literally cannot go anywhere beyond the confines of your house, reading has become a means of escapism for many people…
Image courtesy of Pushkin Press
View On WordPress
0 notes
menkybook · 7 years
Photo
Tumblr media
AKU, MEPS, DAN BEPS
Penulis: Soca Sobhita & Reda Gaudiamo
Ilustrasi: Cecillia Hidayat
Penerbit: POST Press
Halaman: 89 halaman
Cetakan: II
Tahun: 2017
ISBN: 978-6-02-603040-5
Sebuah karya yang manis yang pernah saya baca. Kolaborasi ibu dan anak yang unyu. Sederhana saja isinya. Dikemas dalam sudut pandang Soca kecil tentang Meps dan Beps nya.
Melihat bagaimana seorang anak mendeskripsikan ayah dan ibunya dengan begitu polos. Dan juga melihat betapa imajinasi anak-anak itu luar biasa ajaib. Gemas membayangkan perilaku Soca saat masih kanak-kanak.
Hal-hal di keseharian Soca yang ia tuliskan juga membuat saya kembali memainkan ulang rekaman masa kecil saya. Masa-masa sekolah, masa-masa bermain bersama teman, saat-saat orangtua sibuk, dan pengalaman bersama hewan peliharaan.
Dari kacamata Soca kecil terlihat pula bagaimana peran orangtua Soca dalam mengasuh anaknya. Bahwa seorang ibu tidak harus selalu tinggal di rumah dan merawat anak. Juga seorang ayah pun tidak harus pergi ke kantor untuk bekerja. Meps dan Beps punya caranya sendiri dalam menjalankan kehidupan rumah tanggan dan juga dalam mendidik anaknya.
Kalau menghendaki bacaan yang ringan, buku ini bisa jadi pilihan. Saya sendiri belakangan cenderung memilih buku bacaan yang ringan dan tipis. Lumayan buat melarikan diri dari ke-embuh-an kenyataan. Hehe. Paling tidak bisa cengar-cengir sendiri membaca kisah Soca kecil dalam buku ini.
Dan selalu, buku dengan ilustrasi unyu menjadi pilihan saya karena lebih memanjakan mata. Dalam buku ini gambar-gambar gemas bikinan Mbak Cecillia Hidayat menyita perhatian saya. Suka aja gitu dengan cara Mbak Cecillia memvisualisasikan kisah-kisah Soca. Kuku dan Ruyu jadi favorit saya setelah gambar Sawi ‘Aku suka kamu’.
....
Ya, begitulah istrimu, Beps.
....
Bagaimana sih suamimu ini, Meps?
0 notes
ciaokhou · 2 years
Text
Potret Keluarga, tentang Rumah Kita.
Tumblr media
Potret keluarga ini menurutku, benar-benar menceritakan semua persoalan dalam keluarga. Berisikan cerpen-cerpen dengan permasalahan yang berbeda. Yaa belum si, mungkin belum semua, tapi seperti sudah terangkum beberapa ceritanya. Tentang hangatnya, berantakannya, berisiknya, cekcoknya, tawa dan candanya, lengkap semua ada. Seperti makan indomie rebus ayam bawang pakai telur, bakso, sosis dan kornet, lengkap dengan cabe rawit serta bawang goreng diatasnya. Spesial.
Awalnya kupikir bahasan tentang keluarga bakal jadi cerita yang membosankan. Tapi ternyata, magic! Entah gimana Bu Reda dengan gaya bahasanya yang sederhana, berhasil membawa kita seakan pulang sejenak merasakan kehangatan rumah. Disambut salam Ibu Bapak, anak-anak yang berlarian, bau masakan dari dapur, atau hewan peliharaan yang berlari mendekati langkah kita. Iya, hangat:")
Beberapa cerpen di dalamnya, mungkin bisa dibilang related dengan apa yang pernah, atau sedang kita rasakan. Sebagian lain mungkin belum dirasakan, tapi tak berarti tak mungkin untuk nantinya dirasakan. Di tiap ceritanya, Bu Reda kenalkan pada kita persoalan-persoalan rumah tangga yang mungkin bagi beberapa orang seperti kita (re: aku niii), belum pernah kita tahu ada. Dan selaaaalu ada pelajaran, yang bisa diambil atas banyak keputusan-keputusan besar dalam cerita keluarga itu.
Favoritku nomer satu, tulisan di Kedai Tjikini 6 Desember 2015; Yang Kutau tentang Istriku. Sampai pernah kubuat versi audionya -jelas dengan suaraku sendiri, yang bisa kudengarkan kapan saja. Selalu hangat di pikiranku tentang Ma, yang dipeluk erat Tiara Tino, dan dinanti oleh Pa dengan segudang pertanyaan, hahaha. Favoritku kedua -ada dua! dengan tema yang sedikit kurang lebih sama; Mungkin Bib Benar dan Surat Wasiat. Mungkin judulnya agak menyeramkan, tapi di awal kita akan diajak banyak tertawa dan tersenyum lewat bahasa Bu Reda yang menyenangkan. Lihat, hal yang dipikir menyedihkan, oleh Ibu Reda Gaudiamo ini, bisa disulap menjadi sebuah cerita yang menyenangkan -yaaa walau klimaksnya sii...... tentunya rahasia! Dan ya, lagi-lagi aku rekam versi audioku sendiri dari 2 judul itu wkwkwk.
So here is some part untuk bisa kalian nikmati folks. Selebihnya, baca saja bukunya, lebih asik! Aku jamin. Hehe
Tumblr media Tumblr media
0 notes
wqwqwq · 2 years
Text
Teman saya bertanya, kenapa sekarang sering kali share di status WA.
pertama saya sedang menghindar dari Instagram dan twitter. Instagram masih sesekali saya buka, hanya melihat akun-akun tertentu saja, seperti kabar ringkas tentang corona disini, regulasi terkini, dan beberapa akun yang sering membagikan tentang hikmah kehidupan dan akun kak Reda Gaudiamo jika sedang live atau ingin memutar ulang siaran live nya. She is one of my fav singer.
Twitter biasanya tempat capruk saya. Tapi 1-2 tahun kebelakang ini banyak yang mulai aktif lagi sehingga ada keengganan untuk capruk disana lagi. Kadang juga merasa terlalu banyak informasi berseliweran disana. Irit-irit energi untuk hal lain ketika kapasitas energi terbatas.
Selain itu, Instagram punya banyak fitur untuk berinteraksi dan melihat berapa orang yang melihat story kita. Walaupun saya tidak peduli juga siapa yang lihat, tapi tak dapat dipungkiri sesekali saya ingin tahu siapa saja yang masih aktif di IG.
Seangkan WA, kontak handphone saya jauh lebih sedikit dibanding teman di medsos. Jika kami ada di grup yang sama, jarang saya simpan nomornya. hehehehe. Dan tidak ada fitur telah dilihat oleh, tidak ada reaction sehingga lebih menyenangkan karena lebih sering satu arah dan tidak semua yang ada di kontak saya menaruh perhatian pada WA story. Karena pada dasarnya WA adalah untuk komunikasi, bukan media sosial.
Alasan lainnya, saya sedang melatih untuk menerima penolakan dan memberanikan diri membagikan apa yang saya ingin bagikan. Kadang saya enggan untuk membagikan sesuatu karena..............jaim. Mungkin itu kata sesuai untuk yang mewakilkan.
0 notes
beritasumbarcom · 3 years
Text
Literasi Digital Kemkominfo Digelar di Sawahlunto
Literasi Digital Kemkominfo Digelar di Sawahlunto
Sawahlunto ,BeritaSumbar.com,— Literasi Digital yang digagas Kementerian Kominfo RI juga digelar di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Beragam pakar teknologi internet dihadirkan lewat sebuah webinar yang diikuti ratusan peserta pertengahan Agustus lalu. Salah satu narasumber dari kalangan pekerja seni, Reda Linda Gaudiamo menjelaskan konsep literasi digital sebagai upaya untuk memahami perangkat…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
descalibrary · 3 years
Photo
Tumblr media
Gris shipped me Potret Keluarga on 6 May 2021. For some reasons, I decided to keep the book and planned to read it during my 15n-quarantine in Bangkok. So I carried this book all along from the small city of Yogyakarta, to Jakarta, flew with me all the way to Singapore, Bangkok then now Koh Samui. And yes! Her books bring the fun to my plate esp during the quarantine. From the cheerful innocent Na Willa to Aku Meps dan Bebs and Potret Keluarga (the Family Portrait) is without exception. Potret Keluarga is a book consists of 16 shorts stories. As what the title says: they likely deal with family issues. Some are seen from the perspectives of mother who simply doesn't like her daughter's husband-to-be; a daughter whose mother is so dominant, a young lady whose mother-in-law is more likely a monster-in-law; a father who doesn't like the man that his daughter is now dating; and many more. These stories are sweet and delicate like cotton candy. Like I said: reading Reda Gaudiamo's is like listening to Cyndi Lauper or Culture Club's songs (Anyone of you know who Cyndi Lauper and Culture Club are?). They are so fun and entertaining, making me want to move my body and do the jiggling dance. I could relate myself to some of the stories as I feel so nostalgic yet I could not help myself but to spread some love for Cik Giok! I adore this short story and of course to Ayah, Dini and Dia! I want to hug Ayah by the end of the story! My only highlight is that some of these stories are somehow too easy to guess - as in plot. They may get a bit repetitive after the first ones even they are still charming in their own way. And yes! They're still beyond my expectation. Some make me giggling. Some warm my heart and my heart constrict when I read a small num of them. But there is one thing I know: they are sweet and delicate and unique like Reda Gaudiamo herself. Reda @reda.gaudiamo is celebrating her 17yo birthday today and I could not help myself to raise my glass 🥂 and to wish her a happy birthday from the hotty Bali-alike Koh Samui. Teriring ucapan selamat ulang tahun dan doa: selalu sehat, bregas, waras dan saras! (at Desca's Library) https://www.instagram.com/p/CSBxwvElBXL/?utm_medium=tumblr
0 notes
Photo
Tumblr media
Reda Gaudiamo, Na Willa dan Rumah dalam Gang, Novel, Jakarta, Post Press, 2018, 175 hlm, 65.000 Buku ini merupakan lanjutan dari seri Na Willa pada edisi sebelumnya. Meski sejumlah cerita berdiri sendiri-sendiri, secara keseluruhan tetap memiliki benang merah, tentang Na Willa gadis kecil dengan sejumlah hal yang di alaminya. Reda masih berkolaborasi dengan Cecelia Hidayat yang menggarap ilustrasi sederhana tapi ciamik. Hari-hari Na Willa masih dipenuhi kegembiraan: bermain bersama teman-temannya, membaca buku pinjaman dari Bu Juwita, bahkan menyanyi di RRI. Kegembiraannya semakin bertambah, karena kini Pak juga menyertai hari-harinya. Pak mengantar Na Willa ke sekolah, membelikannya es krim (tapi, Willa tidak boleh bilang kepada Mak!), mengajarinya ketak-ketik di kantor, serta bersama-sama menggambari dinding rumah. Barangkali hanya rumah Na Willa yang dindingnya dihiasi gambar bapak-bapak. Hingga suatu hari, Pak memberi kabar yang mengguncang dunia yang dikenal Na Willa. #RedaGaudiamo #NaWilladanRumahdalamGang #Novel #PostPress #KatlogJBS #NaWilla https://www.instagram.com/p/CRoSfQlHQwW/?utm_medium=tumblr
0 notes
dekgeh23 · 3 years
Photo
Tumblr media
#Repost @kultural.bergerak • • • • • • #Repost @titimangsafoundation • • • • • • Balai Pustaka dan Titimangsa Foundation mempersembahkan: Puisi Cinta untuk Indonesia. Sebuah program kolaborasi yang bertujuan untuk membangun solidaritas kepada para sastrawan Indonesia, seiring dengan kondisi saat ini karena adanya pandemi Covid-19. Mari kita saling menguatkan dengan rasa persaudaraan. Acara ini akan berlangsung pada Selasa, 10 November 2020 Pukul 19.00 WIB Live di YouTube Balai Pustaka Official Menampilkan: Asmara Abigail, Atiqah Hasiholan, Budi Gunadi*, Butet Kartaredjasa, Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Fajar Merah, Happy Salma, Isbedy Stiawan ZS, Iqbaal Ramadhan, Kartika Wirjoatmodjo*, Kurnia Effendi, M. Aan Mansyur, Marsha Timothy, Reda Gaudiamo, Reza Rahadian, Sha Ine Febriyanti, Slamet Rahardjo, Sri Krishna, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Umbu Landu Paranggi, Vino G. Bastian, Warih Wisatsana, dan Widi Mulia. *dalam konfirmasi Menampilkan puisi-puisi dari: Abdul Hadi W. M., Asrul Sani, Chairil Anwar, D. Zawawi Imron, Dorothea Rosa Herliany, Hasan Aspahani, Isbedy Stiawan ZS, Joko Pinurbo, Kurnia Effendi, KH. A. Mustofa Bisri, M. Aan Mansyur, Mutia Sukma, Sapardi Djoko Damono, Slamet Sukirnato, Subagio Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Umbu Landu Paranggi, Warih Wisatsana, Widji Tukul, dan WS. Rendra. Disponsori oleh: Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BTN, PT. Kereta Api Indonesia (Persero), ASKRINDO Insurance, PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero), dan Pelindo III. #PuisiCintaUntukIndonesia #SastraIndonesia #BalaiPustaka #TitimangsaFoundation https://www.instagram.com/p/CHVWS5ihMVZ/?igshid=pwwq4w42z4ny
0 notes