Tumgik
#murid
jejaringbiru · 5 months
Text
Tumblr media
Seringkali kita belajar pada hal-hal yang sebenarnya kita sudah mengetahuinya. Tanpa belajar dari seorang gurupun ilmu itu tersebar dimana-dimana. Bahkan terkadang kita meremehkan. Mengapa saya harus memperhatikan saat pembelajaran dikelas sedangkan di internet pengetahuan tersebut dapat dengan mudah ditemukan.
Sebenarnya bukan itu esensi dari belajar. Jika belajar hanya untuk menumbuhkan pengetahuan saja, tak perlu ada sentuhan seorang guru. Belajar saja kita di dunia maya karna pengetahuan ada dimana-mana. Esensi dari ilmu adalah adab. Menghargai mereka yang menyampaikan meskipun mungkin saja membosankan. Tulus mencurahkan waktu untuk belajar, mengalahkan ego sendiri bahwa diri lebih baik dari yang lain. Juga upaya mencintai orang yang berilmu.
Guru adalah pelita. Seburuk apapun mereka pasti ada cahaya yang dibawa. Darinya kita belajar ketulusan meskipun seringkali kita acuhkan. Kadang kita hanya menyerap pengetahuan bukan kebaikan. Seringkali pula kita hanya fokus mengasah isi kepala bukan merawat hati agar tetap tumbuh baiknya. Bagaimana mungkin ilmu itu menyerap ke hati seorang pembelajar sedangkan pada gurunya saja "kurang ajar".
Ketahuilah bahwa ilmu itu melahirkan adab yang baik, bukan kata yang menghardik. Ketahuilah pula keridhoan seorang guru ialah menghasilkan keberkahan ilmu. Tandanya apa? Ia berguna bagi orang disekelilingnya, tutur katanya terjaga dan ia menghargai sesama dengan tindakan bukan sekedar perkataan. Bahkan seringkali tanda keberkahan ilmu adalah ketenangan hati dan jiwa bukan pada riuhnya isi kepala. Keberkahan ilmu itu bukan pada besaran nilai IPK, bukan pula pada luasnya pengetahuan, atau prestasi yang membanggakan. Jikapun itu ada pada diri kita, anggap saja itu bonus. Jangan jumawa apalagi sampai melupakan jasa-jasa mereka. Barangkali sukses yang kita nikmati hari ini adalah bagian dari doa-doa panjang mereka.
✍🏻 : @yurikoprastiyo 🎨 : @padangboelan
191 notes · View notes
b0vidine · 25 days
Text
Tumblr media Tumblr media
New CCCC AU! This is the Heart Murid! This AU is shared with my friends Alex and Nova!
99 notes · View notes
dougdimmadodo · 11 months
Photo
Tumblr media
Brown Rat (Rattus norvegicus)
Family: Typical Mouse Family (Muridae)
IUCN Conservation Status: Least Concern
Fossil evidence and historical records suggest that the Brown Rat plausibly originates from somewhere in northern China and southern Mongolia, but after centuries of stowing away on ships and exploiting the resources available in human-altered habitats it is now among the most abundant and widely distributed mammals on earth, being found in large numbers almost anywhere where permanent human settlements exist. Relatively large for a member of its family, it owes its success to its extraordinary adaptability; intelligent and opportunistic, members of this species are able to endure a huge range of different climates by constructing elaborate burrows in which they can regulate the temperature, and (owing to their strong, continually growing teeth and unspecialised digestive system) can feed on almost any form of organic matter - while coarse plant matter, carrion, bird’s eggs and small vertebrates are preferred, the diets of different populations vary enormously depending on what resources are available. Brown Rats are also remarkably fast learners, and seem to teach one another - it has been observed that once a single Brown Rat living in an area has learned a specific skill needed to exploit a specific resource (such as learning to dive for fish,) others within its social group will quickly develop the same skill. Brown Rats live in loosely-structured social groups with a linear dominance hierarchy in which body size determines rank (with larger rats ranking higher,) but when resources are scarce these groups will become smaller or break apart entirely. Like most rodents, Brown Rats breed frequently and mature rapidly - after mating (usually during periods of warm weather, and often with numerous different males in a single breeding period,) females produce litters of up to 14 pups and gather in all-female social groups, with all of the mothers in a group sharing a communal burrow and cooperating to feed and protect their young until they become independent at around 4 weeks old. Although they can benefit ecosystems (serving as seed distributers, sustaining populations of rodent-eating predators and providing soil-dwelling organisms with oxygen by breaking up compacted soil when burrowing), invasive populations of Brown Rats have had devastating effects on many species, destroying the nests of birds, competing with indigenous mammals and transferring diseases between species. While humans generally regard members of this species as pests, a domesticated subspecies of Brown Rat (the Domestic Rat, Rattus norvegicus domesticus) is widely kept in captivity, both for use in research (where they are known as Lab Rats) and as pets (where they are called Fancy Rats.)
--------------------------------------------------------------------------
Image Source: https://www.inaturalist.org/taxa/44576-Rattus-norvegicus
88 notes · View notes
ranah-upaya · 8 months
Text
Krisisnya Nalar Kritis
Pergolakan dalam hal kurikulum pendidikan di negeri kita, menjadi hal lazim bagi seluruh lintas generasi. Bukan hanya bagi pendidik dan peserta didik, tetapi keresahan dan permasalahan ini juga sangat mendominasi para orang tua, yang sangat berharap akan keberhasilan anaknya di masa depan. Terhitung, hampir 11 kali mengalami pergantian kurikulum pendidikan sejak tahun 1947 hingga kini. Adapun kurikulum yang sedang diterapkan saat ini adalah Kurikulum Merdeka Belajar yang diusung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem.
Tumblr media
Banyak kritik dan saran, kesan dan pesan terkait kebijakan mendikbud ini. Belum lagi, permasalahan yang menjamur di setiap lini lapisan masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini tidak merata, saling tumpang tindih, ketimpangan. Belum selesai memahami, memaknai, mengimplementasi, dan mengaplikasikan kurikulum pendidikan yang diusung sebelumnya, lalu dipaksa untuk menerima dengan legowo kebijakan selanjutnya. Baiklah, mungkin terbilang mudah bagi sekolah yang notabene sesuai dengan kualifikasi yang diperkirakan Mas Menteri; fasilitas tercukupi, SDM yang memadai, lingkungan yang mendukung, para orang tua yang mampu dan suportif dan masih banyak lainnya. Lalu, bagaimana dengan kami yang harus beradaptasi dengan hal tidak serupa? Tentu jomplang, berat sebelah dan tidak seimbang.
Hadirnya teknologi, memang tidak bisa terus disalahkan. Teknologi memang hadir untuk memudahkan segala pekerjaan manusia. Mereka menciptakan, mereka yang mengatur, mereka yang memfungsikan. Hadirnya teknologi, memang sudah tidak asing seharusnya. Apalagi semenjak pandemi merebak, teknologi dan kecerdasan buatan sudah menjadi sahabat. Sayangnya, tidak semua memahami dan kemudian memfungsikan dengan bijak. Misal, hadirnya Chat GPT sebagai alat untuk mempermudah diskusi dan menuangkan ide untuk ranah kehidupan. Faktanya, kita semua sudah terlalu percaya bahwa AI (Artificial Intelligent) bisa menggantikan tugas guru di sekolah. Anak-anak sudah tidak perlu membaca dan sibuk mencari referensi sumber, sibuk mendengarkan penjelasan guru yang membosankan, tidak menarik. Belum lagi harus berhadapan dengan karakter dan pribadi guru pengajar yang menakutkan, menyeramkan, pemarah, suka mem-bully para siswa yang tidak mengerjakan tugas atau melanggar. Ini bukan hanya sekali dua kali saja. Sejujurnya, para siswa tidak pernah berfikir dan merindukan gurunya saat mengajar di sekolah. Mereka hanya ingin bertemu sahabatnya di sekolah, karena juga malas dan tidak betah di rumah.
Problematika seperti ini, memang tidak pernah disadari oleh individu pendidik sendiri. Padahal, komponen utama dalam kegiatan mendidik itu sendiri adalah kesamaan resonansi antara pendidik dan peserta didik. Tetapi, pada realitanya. Pendidik hanya berfokus pada tujuan utama dirinya sendiri; hanya mengajar dan menyampaikan ilmu di buku. Urusan pembentukan karakter, kematangan mental, nalar yang kritis untuk bisa menghadapi permasalahan yang lebih kompleks, menjadi nomor sekian. Ya, pada akhirnya mengajar yang juga sebagai kegiatan mulia seorang guru, dimonetisasi dan hanya dijadikan ladang penghidupan bukan menjadi ladang amal.
Nalar kritis yang selalu digaungkan sebagai harapan pelajar pancasila itu, hanya berwujud sebagai jawaban hitam putih saat ujian. Walau tugas-tugas dalam lembar kerja siswa tertanda sebagai soal HOTS. Apakah kualitas nalar berfikir kritis juga serupa? Rasanya tidak. Mengapa? Karena penyampaian materi di kelas, jarang bahkan tidak pernah sama sekali mengajak para siswa berfikir kritis, menggunakan kemampuan berfikir yang luar biasa, memfungsikan logika yang sudah Allah karuniai pada setiap hamba. Ketakutan para siswa dengan jawaban yang salah, sangat mempengaruhi kemampuan berfikir mereka yang bebas. Mereka memikirkan jawaban yang umum, jawaban yang tertulis di bukunya, dan juga jawaban tepat pada pilihan ganda.
Belum lama ini, Maudy Ayunda sempat ditanya oleh konten kreator, tentang kebijakannya bila dinobatkan sebagai menteri pendidikan. Maudy menjawab, bahwa ia akan menghapuskan asesmen pilihan ganda, dan menggantinya dengan soal esai berbasis critical thinking, ia juga menyampaikan bahwa ingin mengajak anak bangsa untuk punya hobi belajar dan mencintai ilmu seperti dirinya. Lalu, apa kabar hari ini? Bila memang hal itu terjadi setelah kebijakan Mas Menteri yang telah lama menghapuskan UN, meniadakan skripsi bagi mahasiswa dengan mengganti tugas yang sepadan, kemudian disusul dengan kebijakan-kebijakan yang hampir serupa di masa yang akan datang. Bagaimana dengan kondisi lapangan hari ini yang masih sangat lemah dalam hal bernalar kritis? Semoga pendidikan anak bangsa, kebijakan pemerintah dan urusan mengenai masa depan sebuah peradaban semakin membaik dan juga bermanfaat untuk agama, nusa dan bangsa.
11 notes · View notes
meissasarr · 10 months
Text
He who seeks the matter by other than its path will not achieve its realization.
Ibn Arabi
16 notes · View notes
sazzadiyatan · 1 year
Text
ANAK ANAK YG KUKIRA SUDAH DEWASA
Tumblr media
menjadi seorang pendidik yang masih single di sebuah lembaga pendidikan tingkat Sekolah Menegah atas membuatku sedikit banyak berpikir. Apalagi di tengah tugasku menjadi pendamping asrama untuk mereka yang tentu membersamai mereka selama dua puluh empat jam.
Aku belum memiliki anak, jangankan anak pasangan saja belum terlihat hilalnya, semoga tahun ini disegerakan oleh-Nya, eh kok malah curhat, tapi keseharianku disibukkan mengurus anak orang lain, mencurahkan delapan puluh persen pikiranku untuk mereka, dan memastikan mereka baik baik saja.
Ku kira mereka sudah dewasa....
Namun nyatanya aku tertawa geli saat melihat mereka menangis tersebab bajunya hilang, alergi salah minum obat, belum sanggup menghafal, dan masalah sepele lainya.
Ku kira mereka sudah dewasa...
Saat melihat mereka sudah tahu bagaimana fitrah tertarik dengan lawan jenis, berani menyampaikan pendapat serta mampu aku beri tanggungjawab
Namun di balik itu sebenarnya mereka adalah anak anak yg masih perlu perhatian, pelukan, telinga untuk mendengar keluh kesah, serta nasihat nasihat penguat kehidupan mereka.
Nak, kami tidak pernah membenci kalian apapun kesalahan yang kalian perbuat, apapun perkataan menyakitkan yg tidak sengaja kalian ucapkan bahkan perasaan bersalah menyelimuti hati saat kalian berurusan dengan pimpinan.
Anak anak kami adalah anak anak hebat dengan segala keterbatasan, anak anak kami adalah anak kuat di tengah gempuran realita zaman yang semakin parah. Anak anak kami adalah anak anak baik dengan segala problematikanya.
Bantu kami ya nak untuk mewujudkan mimpi mimpimu, doa kami selalu untukmu :)
Gresik, 16 Januari 2023
Orangtua keduamu
SAZZADIYATAN
8 notes · View notes
rest-in-being · 6 months
Text
Tumblr media
1 note · View note
haus-tier · 1 year
Photo
Tumblr media
something i made for a friend
3 notes · View notes
aibaihaqy · 2 years
Text
Followers Bukan Murid, Murid Bukan Followers
Influencer, adalah hal yang akan kita temukan di media sosial mana pun. Mereka orang yang memiliki banyak followers, cukup sering melakukan publikasi, atau bahkan berbagi materi dan non-materi. Beberapa dari mereka pernah terlibat dalam pola yang sama: membuat publikasi, kontroversi, akhirnya membuat klarifikasi.
Mungkin mereka lupa, berapa pun jumlah followers, eksposur, dan sanjungannya bukan berarti mereka akan selalu benar, bukan berarti mereka jadi si paling tahu, dan bukan berarti mereka telah menjadi maha guru.
Ini berlaku juga untuk “micro influencer”, bisa jadi kita juga termasuk dalam sebutan itu walau followers kita masih dibawah sepuluh ribu. Tapi yang jelas, jangan merasa sudah menjadi guru, ustadz, atau ‘alim dengan jumlah followers dan eksposur yang terbilang lumayan.
Jangan mudah juga lupakan mereka yang sebenarnya memang murid kita (jika punya), boleh jadi ada saja guru, ustadz, atau ‘alim yang lebih peduli pada followers-nya, sedangkan muridnya diserahkan pada pengasuh atau pesuruhnya. Sedangkan gurunya lebih suka hadir di dunia maya.
Belajar dari Imam al-Ghazali di Nizhamiyah
Di Madrasah Nizhamiyah, sebagai seorang guru besar, Imam al-Ghazali memiliki banyak sekali pengikut. Setiap ceramahnya selalu dihadiri banyak orang. Imam al-Ghazali justru mencurigai niatnya sendiri ketika mengajar orang sebanyak itu.
Setelah melakukan uzlah selama sekitar 11 tahun, hidup dalam pensucian hati, beliau lebih memilih mendidik beberapa orang yang berkomitmen menjadi murid. Bahkan beliau memanggil mereka semua dengan sebutan walad (anak), sebagaimana beliau menulis kitabnya, Ayyuhal Walad (Wahai Anak-anakku).
Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani membuktikan dalam bukunya, bahwa dengan murid-murid yang terbatas jumlahnya inilah yang sangat berpengaruh kepada ishlah (reformasi) pendidikan, pemikiran, dan peradaban Islam. Yang pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Qadi Abu Bakar dari Maghrib (Maroko), Syaikh Abdul Qadir Jailani dari Baghdad, serta para penakluk al-Quds, Imaduddin Zanki, Nuruddin Zanki, sampai Salahuddin al-Ayyubi.
Mengingat memang membangun peradaban dan generasi sebelumnya bukan perkara singkat, dan tradisi rantai keilmuan (sanad) dalam Islam begitu terjaga maka jalannya akan sangat panjang. Tapi di sisi lain, Allah juga menjanjikan surga untuk para pencarinya. 
Semoga Allah mempertemukan kita pada guru, ustadz, atau ‘alim yang bijaksana. Allahumma aamiin. Wallahu a’lam
11 notes · View notes
faizahsblog · 2 years
Text
Tentang Hasil
Tumblr media Tumblr media
Semua orang paham bahwa hasil bukan ranahnya manusia. Namun, ada rahasia kecil yang ingin aku bagikan ; percayalah, bahwa angka-angka yang tercantum didalamnya bukan sekadar seberapa tinggi nilai dalam pelajaran. Ada poin tentang etika, karakter dan wujud kasih sayang.
Sepanjang perjalanan dalam menempuh profesi ini, tak terbilang selalu ada oleh-oleh pelajaran yang diberikan. Teramat berharga dan selalu berbeda.
Bahwa faktanya, yang bertumbuh bukan mereka saja. Tapi aku juga ; sebagai subjek yang menyampaikan pelajaran, punya kewajiban untuk memberikan nilai. Aku justru yang paling banyak belajar!
Maka yaa Rabb, barangkali Kau minta aku disini karena diri ini masih banyak yang harus dibenahi. Masih banyak yang harus dilihat lebih dalam. Diamati lebih dekat. Karena menjadi guru berarti menjadi orang yang cukup banyak ikut campur sama kehidupan orang lain; murid.
Bertanya ketika ada yang ngga hadir, memberi ucapan semoga lekas sehat-- jika mereka sakit. Memberikan motivasi, menyampaikan maaf juga terima kasih. Nantinya semua proses belajar ini disampaikan kepada para madrasah pertama dan utama mereka ; orang tua.
Apapun yang sedang dijalani saat ini dan kedepan, semoga nak kalian bisa menjadi lebih baik dari hari kemarin. Itu sudah cukup. :)
Dari wali kelas yang masih banyak becandanya hehe
18 notes · View notes
tanganterbukamedia · 1 month
Text
Di Kamis Putih Itu
Marilah kita layangkan mata hati kita pada peristiwa di Kamis Putih itu! Apakah makna di balik peristiwa itu? Cara sederhana untuk melihat makna di balik peristiwa adalah melihat konteks peristiwa itu. Penulis Injil Yohanes mencatat: ”Sementara itu sebelum Hari Raya Paskah mulai, Yesus telah tahu bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Ia mengasihi orang-orang…
Tumblr media
View On WordPress
1 note · View note
hargo-news · 3 months
Text
Dugaan Kasus Pelecehan Siswa di Kota Gorontalo, DPPKBP3A Gerak Cepat Dampingi Korban
Hargo.co.id, GORONTALO – Dugaan kasus pelecehan terhadap empat orang siswa yang diduga dilakukan oleh seorang oknum guru honorer di salah satu Kota Gorontalo langsung mendapat perhatian dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A). Dinas yang dinkahodai Eladona Oktamina Sidiki itu, langsung bergerak cepat memberikan perlindungan…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
baliportalnews · 5 months
Text
Dorong Keberlanjutan Transformasi Digital Pendidikan Indonesia, Acer Hadirkan Acer Edu Summit 2023
Tumblr media
BALIPORTALNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai partner teknologi dunia pendidikan yang memiliki komitmen tinggi dan peduli terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia, Acer Indonesia pada Selasa (12/12/2023) kembali menyelenggarakan Acer Edu Summit 2023. Mengangkat tema ‘Education Outlook 2024: Keberlanjutan Transformasi Digital pada Lanskap Pendidikan Indonesia’, Acer mendorong peran sekolah dan guru dalam menghadapi tantangan transformasi global dengan langkah keberlanjutan yang proaktif terhadap dinamika perubahan. Upaya mendorong keberlanjutan transformasi ditengarai oleh disrupsi teknologi selama beberapa tahun terakhir yang mengubah banyak cara manusia beraktivitas serta memengaruhi berbagai sektor, terutama pendidikan. Acer memfasilitasi dialog antara pemangku kepentingan utama, termasuk pemerintah, sekolah, lembaga pendidikan, guna mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam menghadapi keberlanjutan transformasi digital di masa mendatang. Leny Ng selaku Chief Operating Officer Acer Indonesia, mengatakan, sebagai partner dalam mewujudkan transformasi teknologi di dunia pendidikan, Acer memahami bahwa masa depan pendidikan dimulai sejak dini, dan peran transformasi digital sangat krusial untuk membentuk Indonesia yang lebih maju. Melalui Acer Edu Summit, pihaknya berkomitmen untuk menjadi penggerak utama dalam mendorong perubahan positif di dunia pendidikan Indonesia. "Acer Edu Summit merupakan bukti komitmen perusahaan terhadap dunia pendidikan di Indonesia dengan menghadirkan narasumber serta praktisi pendidikan untuk berbagi pengetahuan yang diperlukan dan menawarkan beragam solusi inovatif dalam menghadapi tantangan global. Untuk mencapai transformasi yang berkelanjutan, kami menyadari pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak. Untuk itu Acer berharap, wawasan yang disampaikan oleh para narasumber yang terlibat dalam Acer Edu Summit 2023 dapat memberikan keterampilan praktis kepada guru, kepala sekolah, badan pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan di dalamnya,” tambah Leny Ng. Sejumlah narasumber yang hadir pada Acer Edu Summit 2023 adalah Muchamad Sidik Sidiyanto, S. Ag., selaku Plt. Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama; Dr. Iwan Syahril, S.IP., M.A., Ed.M., Ph.D., selaku Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi; dan Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., selaku Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia dan Pendiri Rumah Perubahan. Di samping itu, juga hadir Prof. Tian Belawati, M.Ed., Ph.D., President, International Council for Open and Distance Education (ICDE), Former Chancellor of Indonesia Open University (Universitas Terbuka) yang membahas mengenai revitalisasi pendidikan di era digital, khususnya strategi sekolah dan guru dalam menghadapi tantangan Artificial Intelligence (AI), serta Dr. Ir. Charles Lim, selaku Senior Technical Advisor, Acer Cyber Security Inc., yang membahas mengenai keamanan cyber dalam pendidikan, khususnya dalam menjaga intellectual property sekolah dan data privasi siswa. Muchamad Sidik Sidiyanto, S.Ag., selaku Plt. Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama mengakui bahwa transformasi digital merupakan kunci dalam memajukan pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan madrasah di bawah Kementerian Agama. “Kami memberikan dukungan penuh karena madrasah perlu secara aktif mengadopsi inovasi teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengelolaan lembaga. Madrasah tidak hanya dapat memainkan peran sentral dalam melahirkan generasi yang tidak hanya kuat dalam nilai-nilai keagamaan, tetapi juga terampil dalam menghadapi tantangan dunia digital,” katanya. Sementara itu, Dr. Iwan Syahril, S.IP., M.A., Ed.M., Ph.D., selaku Direktur Jenderal Pendidikan Anak usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Ristek, mengatakan, sebagai negara dengan sistem pendidikan terbesar keempat di dunia, kita tidak akan mampu melakukan eskalasi percepatan perubahan seperti ini tanpa teknologi. “Di sinilah peran penting teknologi dan Kemendikbud Ristek juga telah melakukan perubahan model perancangan, serta penerapan teknologi pendidikan, mulai dari menghadirkan produk-produk yang diperlukan oleh ekosistem kita dalam memberikan solusi yang benar dibutuhkan oleh guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dan juga murid-murid,” tuturnya. Dalam transformasi digital, Kementerian Agama dan Kemendikbud Ristek memiliki peran sentral dalam memajukan pendidikan nasional. Kolaborasi antar semua pihak, yang terdiri dari pemangku kebijakan, para ahli dan pakar pendidikan, ekosistem sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, kepala yayasan, guru dan pegiat pendidikan terus berkomitmen dalam meningkatkan kualitas guru melalui pembangunan infrastruktur teknologi serta penyediaan sumber belajar digital. Dengan demikian sinergi antara Acer dan berbagai pihak tersebut dapat menciptakan ekosistem yang mendukung pembelajaran era digital dalam menghadapi tantangan zaman. Acara yang diselenggarakan secara hybrid ini dihadiri oleh peserta yang terdiri dari pemangku kepentingan pendidikan seperti pimpinan sekolah, kepala kurikulum, pemerintah, yayasan sekolah dengan jenjang sekolah dasar sampai menengah. Kegiatan ini dihadiri lebih dari dua ribu peserta daring dan lebih dari tiga ratus peserta luring. Agenda ini didukung oleh Kementerian Agama, Kemendikbud Ristek, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yayasan pendidikan yang terdiri dari Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia, Badan Musyawarah Perguruan Swasta, Jelajah Ilmu, Intel Indonesia, PT Intan Pariwara, Pusat Kajian Pendidikan dan Budaya Dewantara, HiLo, Biznet, dan berbagai pihak lainnya. Saksikan rekaman selengkapnya kegiatan Acer Edu Summit 2023 melalui akun YouTube Acer Indonesia. (*/bpn) Read the full article
0 notes
muhammadmahfudznasir · 5 months
Text
0 notes
ranah-upaya · 1 year
Text
Ujian Untuk Belajar, Bukan Belajar Untuk Ujian
Ujian semester, adalah minggu-minggu yang dinantikan oleh setiap guru dan murid sebelum liburan tiba. Setelah beberapa bulan menuntaskan setiap materi pelajaran yang ditentukan. Maka, dengan ujianlah mereka dapat mengukur kemampuannya. Baik itu kemampuan seorang guru dalam menyampaikan materi, ataupun murid yang menangkap dan mengimplementasikan dalam keseharian. Ujian adalah saat-saat yang paling ditunggu. Tanpa melewati ujian, maka setiap dari mereka tidak akan pernah mengetahui, seberapa cukup mereka untuk bisa naik ke jenjang yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Dengan ujian, seseorang dapat dimuliakan atau bahkan dihinakan. Dewasanya, tak semua pandai dapat memahami. Banyak yang menganggap, ujian semata-mata untuk mengukur kemampuan seseorang, ujian hanya sebagai tolok ukur dan pembanding, ujian hanya sebatas mengerjakan soal, menjawab pertanyaan, beranalogi dengan pemikiran, berkutat dengan pernyataan, melewati rintangan, lalu setelah usai maka tak ada nilai yang didapat selain hitam di atas putih. Banyak yang berpendapat, setelah nilai didapat, tanda kelulusan tersemat, hilanglah sudah rasa semangat. Barangkali, itulah yang menjadikan seseorang kehilangan kalibernya, kehilangan pelurunya, untuk tetap memacu dirinya. Memang tetap berambisi, tapi sepertinya hilang, rasa keingintahuan yang tinggi dengan apa yang dipelajari.
Tumblr media
Memaknai ujian di masa seperti saat ini, sepertinya sangatlah singkat pengertiannya. Ujian hanyalah sebuah fase, dimana sesungguhnya setiap hari kita melewatinya. Ujian ada di setiap harinya. Tanpa ujian, seseorang tidak akan pernah bergairah untuk meraih semangat hidup setiap hari. Sangat sempit, bila ujian hanya dimaknai untuk mendapat nilai terbaik di atas kertas raport kelulusan, dan angka tak selamanya menjadi standar keberhasilan setiap orang kelak. Perihnya, sepertinya anak-anak kita, bahkan kita sendiri. Bilamana ditanya, apakah motivasi terbesar dalam ujian hari ini. Tak sedikit yang menjawab untuk bisa mendapatkan rangking, atau untuk mendapatkan nilai maksimal. Tentu, tidak semena-mena mengatakan demikian. “Mengapa begitu, Nak?” Sebagian besar dari mereka menjawab, bahwa alasan utama bagi mereka adalah orang tua atau guru yang menaruh harapan besar. Jadi tak jarang, untuk mendapatkan pemahaman maksimal, tidak terlalu penting. Nilai sembilan atau sepuluh-lah yang paling utama.
“Tapi, bagaimana lantas kita mengetahui standar kemampuan mereka. Kalau bukan dengan nilai kriteria ketuntasan minimal? Seharusnya, kita semua bisa objektif untuk menilai itu.”
Iya, memang tidak salah. Teknik ini tetap dilakukan, standar ini tetap digaungkan. Tetapi, tidak untuk menitikberatkan, bahkan memaksa setiap anak untuk mendapatkan maksimal. Tidak dari kita semua mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi, seperti ulama dan ilmuwan. Jangan-jangan, dahulu kita adalah korban motivasi demikian? Baiklah, coba kita ingat kembali. Untuk apa kita datang ke sekolah? Untuk apa kita belajar? Untuk apa kita menemui bahkan mencari guru? Apakah tujuan dari itu semua, agar kita bisa memperbaiki nilai di raport? Agar kita bisa mendapat nilai yang tinggi di sekolah? Atau hanya mempermudah cara untuk belajar? Coba, kita renungkan dan pikirkan. Bila memaknai demikian, pantas saja tradisi ini turun temurun, dan tidak heran bila anak cucu kita melestarikannya.
Tujuan belajar, pergi ke sekolah, mencari dan menemui guru adalah untuk mendapatkan ilmu. Tidak kurang atau lebih, untuk mendapatkan ilmu. Untuk apa ilmu didapatkan? Hidup tidak akan terjadi keberlangsungan hanya dengan kebodohan. Untuk apa ilmu didapatkan? Juga bukan untuk membodohi atau melakukan pembodohan kepada orang. Banyak yang kita kira dulunya adalah orang yang cerdas, tapi untuk bisa peduli dengan diri dan sekitarnya saja, berat. Banyak yang nilai raportnya tertinggi di kelas, tapi untuk bisa kembali bermanfaat saja harus banyak yang memintanya melas. Ironi memang, tapi itulah yang terjadi, bila ilmu hanya didapat dengan kemudahan, tumpul sudah potensi dan kemampuan. Untuk mendapat nilai sempurna itu mudah, sangatlah mudah. Banyak sekali, anak-anak yang mencontek, tidak percaya diri dengan jawaban di atas lembar jawaban, hanya karena takut nilainya terjun, bahkan dikira tidak faham pelajaran. Bukankah sebenarnya kita sering kali menemukan rekayasa dan manipulasi nilai hanya karena bertumpu pada rasa iba?
Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian.
Hanya membalik kata saja. Tapi, cobalah fahami makna yang tercipta. Tentulah beda, kita semua tahu, nilai tidak dibawa mati. Kita semua pelaku, bahwa pastilah kita belajar sebelum ujian. Tapi, sedikit berpaling dari makna itu, cobalah kita mengerti maksud dari kalimat ujian untuk belajar. Belajar, tidaklah satu atau dua kali. Belajar, adalah hal yang kita lakukan setiap hari. Membaca, bukan hanya sekadar menatap huruf di setiap paragraf dan baris. Membaca, adalah kegiatan untuk melihat, memperhatikan, lalu memahami apa yang terjadi. Sangatlah mudah mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang luas, jika bersungguh-sungguh maka akan dapatkan. Panorama-panorama saat ujian seperti ini, menyenangkan. Senang sekali, di minggu-minggu ujian anak-anak kembali membuka lembaran setiap lembaran. Bahagia rasanya, bila anak-anak kembali menghampiri gurunya yang ketika di kelas terasa diasingkan dan cuek tak tertahan. Terasa menyejukkan, bilamana guru-guru juga ikut serta mendoakan. Tapi, apakah kita hanya mempertahankan ini saat momen-momen ujian? Sayang sekali rasanya. Alangkah indahnya, bila setiap hari terjadi bukan?
Maka, terlalu sayang. Bila belajar, meminta penjelasan, saling mendoakan hanya dirasakan saat momen ujian. Belajar bukan hanya untuk ujian. Setiap hari, setiap saat, peristiwa dan kejadian, adalah ujian. Dengan ujian, akan semakin mengerti dan menambah pengetahuan. Pelajaran-pelajaran setiap harinya, tak membutuhkan nilai setelah ujian. Meski begitu, sebagai pendidik, janganlah segan untuk selalu mengajarkan dan mendoakan. Andai, setiap guru dan murid mengerti demikian. Maudy Ayunda, Jerome Polin, ataupun anak bangsa yang membanggakan tidak hanya satu dua. Akan terlahir setiap dari murid kita selanjutnya. Maka, memperbaiki langkah yang sudah kita rancang, bukanlah sulit dilakukan. Kuncinya, adalah kecintaan pada murid. Kalau sudah sadar, mengerti, peduli dengan apa yang dicintai. Segalanya akan diupayakan. Nilai yang minim, bukanlah menjadi satu-satunya hal yang harus disalahkan. Barangkali, kita yang salah menyampaikan atau mengajarkan. Sekali lagi, tujuan sekolah dan belajar untuk mendapatkan ilmu, bukan untuk mendapat rangking dan nilai tinggi saat ujian. Semoga kita senantiasa memaknai itu.
7 notes · View notes
meissasarr · 11 months
Text
It is enough for me that
You know my ignorance.
You are as I know, and beyond
What I know to a degree that
I do not know.
Ibn Arabi
8 notes · View notes