Tumgik
#mentalita
instintoecoscienza · 7 months
Text
Una persona forte
Una persona forte Parla poco e fa tanto Non e manipolabile e sa dire di no Sa stare bene da solo/a Si fa domande intelligenti per trovare risposte intelligenti Potresti trovarla a parlare da sola Non smette mai di imparare cose nuove Sa controllare le sue emozioni non parte in quinta ogni volta che le cose non vanno Ha paure come tutti ma non vive nella paura Rispetta le persone non alza…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
buscandoelparaiso · 2 years
Text
(albertone dice cose buone e giuste in ogni caso)
2 notes · View notes
stifindignity · 4 months
Text
Manusia memiliki 4 dimensi kecerdasan. Setiap dimensi memiliki tantangan dan hambatan yang tak mudah untuk dilewati. Tapi sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini, mau tidak mau keempatnya harus dilewati dengan tuntas dan sempurna menuju insan Kamil sebagai manusia yang sempurna. Apa saja 4 dimensi yang dimaksud? Simak penjelasannya...
0 notes
ordinarymanjournal · 6 months
Text
Putih itu unik,.
Pict: Kompasiana Kami pernah mendengar perihal beberapa hal yang takn disukai pelancong asing apabila datang ke republik ini. Diantaranya, seingat kami, yaitu suka ingin tahu (kepo) perihal hal-hal pribadi. Tak hanya nama namun juga tempat tinggal. Bagi masyarakat di negeri ini, terutama orang Melayu di Minangkabau merupakan hal yang lazim bertanya perihal letak rumah di kampungnya karena yang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
Text
Helyjegy, polgártársak. Faszt nem lehet érteni rajta.
0 notes
Text
IL SEGRETO X SALUTE E SUCCESSO?
IL SEGRETO X SALUTE E SUCCESSO?
SALUTE E SUCCESSO: SOLUZIONI IPNOTICHE… SALUTE E IPNOSI? SOLO SE NON SOPPORTI LA SFIGA E NON SAI COSA FARE… COME NON FARSI ROVINARE DALLA SFORTUNA SENZA GIRARE CAPPELLE? SUCCESSO E SALUTE E POTERE DELLA MENTE? MENTE CONTRO INSUCCESSO SENZA FARE QUASI NULLA? VUOI MA NON PUOI FARE NULLA CONTRO LA MALATTIA FISICA E MENTALE? SMETTI DI SOFFRIRE PER CAUSA DEL FALLIMENTO SENZA QUASI FARE…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
edgarhamas · 10 months
Text
Di Balik Keshalihan Pemuda Ismail, ada Ayah dan Bunda yang Tangguh
(Poin-poin Khutbah Idul Adha yang disampaikan @edgarhamas di Masjid Al Jihad Kranggan, Kota Bekasi 10 Dzulhijjah 1444 H)
Ibrahim, nama mulia itu terulang 69 kali dalam lembar suci Al Qur'an. Beliau, kisahnya menjadi inspirasi bagi milyaran umat manusia. Namun kali ini aku akan mengajakmu lebih dekat dengan sosok istimewa yang tak kalah hebatnya: sang putra, Ismail alaihissalam. Tadabbur tentang beliau akan ku mulai dengan sebuah pertanyaan: di usia berapakah Ismail kecil saat beliau ditinggal di lembah Bakkah bersama ibunya?
Tumblr media
Dalam Kitab Umdatul Qari karya Al Ainiy, kala itu usia Nabi Ismail baru 2 tahun; sedang banyak butuh bonding dengan ayah dan ibunya, sedang saat itu sang ayah pergi ke medan juang di Palestina. Namun lihatlah; sang Ismail bertumbuh menjadi manusia hebat yang lurus pembawaannya, santun akhlaqnya dan lembut budi pakertinya. "Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar..." (QS Ash Shaffat 101)
Betapa takjubnya kalau kita peka, ada fakta penting ketika Ismail mendengarkan perintah Allah lewat lisan ayahnya untuk menyembelihnya. Ayat 102 surat Ash Shaffat mengabadikan momen itu, ketika Nabi Ibrahim berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”
Apa jawaban Ismail? Apakah beliau berkilah? Kabur? Lari tunggang-langgang? Menganggap orangtuanya sebagai toxic?
Ternyata jawaban Ismail begitu tulus sekaligus berhati besar menyambut perintah Allah itu, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Jawaban yang hanya datang dari lisan manusia yang keyakinannya utuh dan murni, akidahnya kokoh tanpa banyak basa-basi. Aku semakin bergetar ketika membaca tafsiran ulama, berapa usia nabi Ismail saat ada di momen berat itu?
Ya, para mufassir mengatakan bahwa kala itu usia nabi Ismail sekitar 13-16 tahun!
Muda, tapi cara pandangnya bijaksana, bahkan melebihi orang-orang yang lebih tua dari beliau. Itulah yang membuatku ingin mengajakmu untuk mentadabburi: apa faktor-faktor yang mampu menciptakan mentalitas seperti yang dimiliki oleh Nabi Ismail muda?
1. Kemurnian Akidah jadi faktor penentu lingkungan sebelum yang lain.
Simak apa yang didoakan oleh Nabi Ibrahim ketika pertama kali menempatkan istri dan anaknya di lembah Makkah, "Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat..." (QS Ibrahim 37)
Tumblr media
Yang jadi faktor utama yang membuat Nabi Ibrahim tenang menempatkan keluarga di lembah Makkah, bukan karena fasilitas, bukan karena resource melimpah; tapi karena di situ ada Baitullah! Dan visi Nabi Ibrahim begitu murni: agar anak keturunannya melaksanakan shalat. Barulah kemudian Nabi Ibrahim melanjutkan doanya sebagai pelengkap, "maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur..." (QS Ibrahim 37)
2. Ayah dan Ibu yang Shalih Shalihah
Ismail muda mendapat contoh terbaik tentang keyakinan total pada Allah sekaligus mentalitas ikhtiar yang terbaik dari ibunya: Ibunda Hajar. Kala Nabi Ibrahim meninggalkan keduanya di lembah Makkah yang tandus tak bertanaman itu, Ibunda Hajar bertanya pada suaminya, "apakah yang engkau lakukan ini adalah perintah Allah?"
Ketika Nabi Ibrahim menjawab, "ya", respon Ibunda Hajar begitu dahsyat, "jika memang begitu, maka Allah sekali-kali tak akan meninggalkan kami!"
3. Kedekatan emosional antara orangtua dan sang anak.
Jika kita memerhatikan, saat Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih Ismail, beliau tidak langsung melakukannya dengan tergesa dan kasar. Tidak. Justru, Nabi Ibrahim dengan bijaknya mengabarkan lebih dulu pada anaknya dengan panggilan yang sangat baik, "yaa bunayya!" Wahai anakku sayang. Dan setelah Nabi Ibrahim selesai menyampaikan perintah Allah itu, beliau mengakhirinya dengan sebuah kalimat dialogis, "Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu..." (QS Ash Shaffat 102)
Seorang anak akan tumbuh mencintai model hidup orangtuanya jika memang terjadi dialog yang hangat dan kedekatan yang baik. Moga kita bisa mengambil inspirasinya!
295 notes · View notes
maitsafatharani · 9 months
Text
Embracing My Self
Kalau mendengar kata 'perjuangan', rasanya perjuangan terbesarku adalah perjuangan berdamai dengan diriku sendiri.
Dulu, aku pernah menjadi seseorang yang sangat sedih bila melakukan kesalahan. Rasanya malu sekali, dan berujung pasrah bila akhirnya aku disalah-salahkan. Kalau saat ini, kita mengenalnya dengan istilah inferior. Aku sering merasa rendah diri.
Padahal, aku bukannya tanpa prestasi. Sepanjang TK hingga SMA, beberapa penghargaan atas prestasi akademik bisa kuraih. Tapi, hal-hal itu tidak menghilangkan kerendah dirianku. Terlebih jika ada kesalahan atas kecerobohan yang kuperbuat. Sekejap, rasa percaya diriku akan merosot, kebaikan-kebaikan yang kupunya terlupakan sama sekali. Dan aku akan bermuram durja karenanya.
Mentalitas inferior ini cukup berpengaruh di kehidupan sosialku. Sewaktu SD, saat bermain dengan teman-teman, aku sering dijadikan 'anak bawang'. Karena dianggap selalu 'kalahan'. Akhirnya teman-teman 'berbaik hati' mengajakku bermain, tapi tidak dilibatkan dengan sebenar-benarnya dalam permainan.
Mungkin ada yang bingung dengan istilah anak bawang?
Misal, main petak umpet nih. Sebetulnya persembunyianku sudah ketahuan. Harusnya jika ketahuan, kan, aku otomatis kalah. Tapi karena aku 'anak bawang', aku akan dianggap tidak ketahuan. Agak menyebalkan, bukan? Rasanya powerless.
Berbeda untuk urusan akademik. Seusai pelajaran selesai, teman-teman yang belum paham dengan materi seringkali menghampiri mejaku untuk minta dijelaskan kembali.
Tapi, kelebihan akademikku tidak pernah bisa menghapuskan kabut hitam inferioritas yang menggelayut di benakku. Aku masih merasa gagal, dan bukan siapa-siapa.
Bersyukur, semakin bertambah usia, rasa inferioritasku mulai berkurang perlahan. Aku semakin berani show up dan berargumentasi. Tapi tentu saja tidak se-powerful itu. Aku masih selalu sedih jika melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan yang berulang.
Qadarullah, di bangku kuliah aku menemukan lingkungan yang amat suportif. Rasa inferioritas mulai tertepis jauh. Kalau pun berbuat salah, aku lebih legowo untuk meminta maaf dan mau belajar. Aku lebih percaya, diriku mampu di lingkungan sosialku.
Sampai suatu ketika, aku pernah mengikuti sebuah peer group untuk belajar bersama meningkatkan speaking. Temanku yang menjadi mentorku memberikan apresiasi padaku di sesi one on one. Lalu bertanya.
"Yang aku lihat, kamu begitu tenang saat belajar. Kamu juga berani untuk berbicara saat grup mulai terasa hening dan awkward. Kamu bisa memicu yang lain untuk berani speak up juga. Darimana kepercayaan dirimu itu kamu dapat?"
Ditanya demikian, aku jadi berpikir. Butuh waktu untukku menjawab.
"Sepertinya.. karena aku tahu kalau aku tidak sempurna."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku tidak sempurna, aku tahu aku selalu bisa melakukan kesalahan. Maka jalan saja dulu, nanti aku akan tahu letak kesalahanku dimana, dan membenahinya. Practice makes perfect."
Namun, ada kalanya kondisi tertentu membuat penyakit lamaku hadir. Saat aku hendak menikah, rasa inferiorku kembali mencuat. Aku sering mempertanyakan kenapa ada seseorang yang mau memilihku. Aku merasa tidak punya kelebihan yang bisa diandalkan. Aku merasa seringkali berbuat ceroboh. Dan seterusnya.
Beruntung, saat aku mencurahkan kegundahanku pada seorang kakak, beliau menghiburku dengan sebuah kalimat yang membesarkan hati.
"Atas kekurangan pasanganmu, bersyukurlah. Atas kelebihannya, bersabarlah."
Kalimat itu, masih tertanam kuat padaku hingga sekarang. Benar, apa salahnya jika pasanganku lebih baik dalam banyak hal dibanding aku? Aku cukup perlu banyak bersabar untuk belajar mengimbanginya. Dan jika pasanganku melakukan kesalahan, bukankah itu baik untukku, karena ada alasan bagiku untuk membantunya?
"Jangan terlalu dini merasa bersalah. Nanti kalau sudah jadi istri dan ibu, rasa bersalah akan muncul semakin banyak." Canda kakakku itu. Benar juga, aku harus menata emosiku sebaik mungkin.
Dan lagipula, apa salahnya berbuat salah? Bukankah, manusia adalah tempatnya salah dan lupa?
Akhir-akhir ini aku menonton sebuah youtube dari dr. Aisah Dahlan. Beliau tengah memberikan webinar tentang watak. Disitu ada sebuah kalimat beliau yang mengena buatku. Kalimatnya tidak persis, tapi kira-kira seperti ini yang kutangkap.
"Ketika melakukan sesuatu yang salah, cukup ketahui bahwa itu perbuatan yang salah. Tapi jangan pernah merasa bersalah." Ungkap beliau. "Ketika kita sadar kita salah, kita akan maju untuk berbenah. Namun perasaan bersalah hanya akan menahan kita tetap di tempat dan efeknya kita akan sulit untuk berubah."
Rasa-rasanya perkataan beliau menjadi sesuatu yang mencerahkan perjalanan hidupku sejak lampau hingga kini.
Dulu, perasaan bersalah yang membuatku merasa frustasi, dan cenderung sukar untuk berbenah. Justru, kesadaran bahwa diri ini bisa salah, dengan diimbangi kemauan untuk berubah akan membawa dampak yang lebih baik. Baik secara dzahir maupun batin.
Apalagi, posisiku saat ini sebagai seorang istri dan ibu. Semoga Allah bantu untuk melalui segalanya dengan hati yang tenang. Karena, bukankah sakinah di rumah itu bergantung pada ketenangan setiap anggotanya? :)
112 notes · View notes
yunusaziz · 9 months
Note
Assalamualaikum
Saya Mau tanya pendapat jenengan, kenapa sekarang banyak orang yang menikah beberapa bulan sudah memutuskan untuk bercerai?
Padahal orang dulu sekuat tenaga mempertahankan rumah tangga dan menganggap perceraian adalah hal yang tabu. Apa saat ini kesakralan pernikahan sudah pudar?
Ada beberapa tetangga saya yang menikah kemudian belum genap 1 tahun sudah bercerai. Bahkan ada yang hanya 2/3 bulan. Banyak berita sliweran tentang perceraian jadi membuat saya berfikir bahwa menikah itu menyeramkan.
Terimakasih
Wa'alaikumsalam Wr. Wb.
Baru-baru ini saya baca buku Ust. Cahyadi Takariawan tentang 8 Pilar Ketahanan Keluarga yang menjadi inspirasi tulisan saya semalam. Ada bagian yang menurut saya bisa menjawab pertanyaan diatas, isinya seperti ini :
Tumblr media
Seolah mengaminkan isi tulisan diatas dengan realitas di lapangan, menurut laporan Statistik Indonesia tahun 2023, terdapat 516.334 kasus perceraian pada tahun 2022. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 15 persen dibandingkan dengan tahun 2021 yang mencatat 447.743 kasus. Tingginya angka perceraian ini mencatat rekor sebagai angka perceraian tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Lantas apa faktor utama penyebabnya? Let's see..
Tumblr media
Perselisihan dan pertengkaran, menjadi faktor tertinggi sekaligus terpaut jauh dibandingkan faktor lainnya. Perselisihan biasanya terjadi karena ketidakmampuan seseorang dalam menerima perbedaan dari orang lain. Kesiapan mentalitas dan moralitas memainkan peranan utama dalam mencegahnya.
Sebab hanya dengan kedewasaan sikap yang didasari mentalitas dan moralitas yang matang, yang mampu mengubah persepsi "beda" adalah renak-renik kehidupan, artinya hal yang wajar, dan selalu ada celah untuk dikompromikan.
Maka, lagi dan lagi, hal itu memang butuh dipersiapkan dengan bekal ilmu yang matang dan penerapan-penerapan harian yang terus berkesinambungan. Maka, siapapun yang mau menikah, penting untuk mempersiapkan bekal ilmu sebaik-baiknya, ikut seminar kah, diskusi dengan praktisi, atau at least baca buku.
54 notes · View notes
instintoecoscienza · 2 years
Text
Il troppo “stroppia“
Non ho mai conosciuto nella mia vita un TROPPO CHE STROPPI Ecco troppo amore ,troppa palestra,troppa autostima,troppa bontà ,troppa bellezza ,troppa cattiveria,troppa disponibilità,troppa insistenza ,troppi soldi ,troppa povertà ,troppo menefreghismo troppo benessere o troppo malessere, qualunque troppo stroppia.. E per i grandi saggi si anche troppi soldi fanno male infatti se notate ad un…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
deehwang · 4 months
Text
Jadi gini.
Kalau mau bahagia, mentalitas miskinnya ditinggalkan; berhenti playing victim, berhenti berpikiran negatif--apalagi berlainan faktanya dan sekedar duga-duga gak berbukti--tentang orang lain, dan jangan ambil secara personal apa-apa yang, kalau dipikir-pikir ternyata sepele dan bisa dibicarakan. Kan, situasi orang beda-beda. Kalau cukup bijak, bakal sadar dunia ini gak cuma hitam putih. Gak cuma tentang siapa salah siapa benar.
Yang tahu dan sayang kamu, akan membantu kamu tumbuh. Yang terintimidasi dan benci kamu, bakal selalu lihat kejelekanmu (apa pun kebijaksanaan di kemudian hari yang kamu peroleh). Berupaya mengubah penilaian mereka ke kamu juga gak usah. Mereka gak akan mau lihat hal baikmu saat ini. Waktu yang buat mereka takzim ke kamu, nanti.
Untuk saat ini, paling logis memaklumi ketidakmengertian mereka, yang adalah karena mereka ada di situasi tidak menyenangkan. Tapi kesialan mereka bukan tanggungjawab kamu. Sudah waktunya prioritaskan yang penting. Kamu fokus sama orang-orang di kategori pertama, ya, yang selalu ada dan kehadirannya laik diperhitungkan.
Semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan dan hal-hal positif di sekitarmu. Kalau kamu sedang dalam proses pencapaian diri, fokus disitu. Jangan banyak paradekan diri sendiri--terlalu banyak self-confidence juga buruk. Intinya bahagia itu cuma butuh dialog ke diri sendiri dulu, banyak-banyak memaafkan, tahu mana yang membangunmu mana yang enggak.
Fokus happy, ya, biar bisa nular ke banyak orang.
24 notes · View notes
kurniawangunadi · 6 months
Text
Tumblr media Tumblr media
Akhirnya bisa bercerita tentang sebuah proses ini. Di tahun 2022 lalu, ditantang sama @careerclass buat bikin Workshop kepenulisan tapi dengan benchmarking yang sangat berbeda. Kebetulan pernah rajin ikut workshop di beberapa tempat sebelumnya dan belajar kalau proses bikin workshop ini nggak mungkin kulakukan sendiri.
Gayung bersambut sama Bentang Pustaka, rumah yang menjadi tempat terbitnya 4 bukuku di lima tahun terakhir. Ngobrol soal tujuannya, breakdown tujuan menjadi small goals, dst sampai akhirnya tersusun kurikulum workshop yang sampai saat ini aku bisa katakan, belum ada yang sejauh ini workshopnya. Terharu.
Dari mulai materi hingga bukunya bisa diterbitkan, langsung di bawah label Bentang Pustaka. Dan setotalitas itu para stakeholders di workshop ini mau mewujudkannya jadi nyata. Workshop ini memakan waktu 10 bulan, sebuah waktu yang wajar mengingat proses sebenarnya untuk bisa sampai di tahap tsb bisa bertahun-tahun. Peringkasan waktu menjadi beberapa bulan aja ini sudah luar biasa menurutku.
Semacam simulasi menjadi penulis sesungguhnya itu seperti apa. Dinamika, kendala, bahkan sampai ke bagaimana penulis bisa memarketingkan bukunya. Karena mau gak mau, kita akan belajar dari sudut pandang industri, buku ini harus bisa terjual dan memberi untung. Ada banyak sekali orang yang terlibat dalam buku ini tidak hanya penulis, editor, tapi ada orang percetakan, kurir, bagian gudang, karyawan-karyawan lain yang rezekinya melewati buku ini.
Menjadi penulis profesional dan menulis sebagai sebuah aktivitas itu beda banget. Ada risiko tulisanmu tidak disukai, di rate bintang 1 di goodreads, dan lain-lain. Ada proses yang akan membangun mentalitas dan sudut pandang yang baru.
Alhamdulillah akhirnya workshop ini selesai. Dan besok buku ini akan diluncurkan di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Aku mengucapkan terima kasih kepada Career Class yang memberi tantangan, Bentang Pustaka dan timnya yang luar biasa berdedikasi, dan juga kepada para penulis yang bisa bertahan hingga titik ini. Nggak mudah bukan berarti nggak mungkin :) Tahun depan, ada stakeholders baru yang akan masuk insyaAllah dalam workshop kepenulisan itu. Dan bakal makin "seru". Buat yang bertanya-tanya mungkin ada di mana workshopnya, ada di dalam programnya Career Class ya :)
24 notes · View notes
ordinarymanjournal · 2 years
Text
Pict: dreamstime Diri-rendah suka pujian. Tak henti-hentinya ia mendorong seseorang untuk berpura-pura, sehingga orang banyak akan memujinya. Sesungguhnya, ada banyak ahli ibadah dan asketis[1] yang dikuasai oleh diri rendah (Qushayri.23) Salah satu kejahatan laten dan penyakit tersembunyi diri-rendah adalah kesukaannya akan pujian. Barangsiapa meneguk sifat itu setetes saja, maka ia akan rela…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
herricahyadi · 1 year
Note
Bang bulan Syawal ini berjalan begitu berat dengan berita2 bahagia. Nikahan gebetan dan sahabat datang silih berganti. Sementara saya di perantauan yg jauh dsini bingung dengan keberadaan jodoh dan makin bingung kalo ditanya kapan.
Tolong bantu penguatan untuk bisa selesai dari rasa galau ini bang
Syukurin!
Tidak, saya tidak akan menguatkanmu dengan kalimat-kalimat bijak atau motivasi fafifu. Saya justru akan menyalahkanmu; kenapa kamu harus bingung dan galau? Buang-buang energi. Kamu harus bergerak, mencari dan berhenti untuk meromantisasi perjodohan. Dia tidak datang kepadamu dengan kuda dan sinar di wajahnya. Tidak demikian adanya. Dia dicari; dia diusahakan. Kamu, mau perempuan mau laki-laki, harus sama-sama berupaya. Karena upaya itu adalah proses, bukan sekadar memandangi langit dan berharap bungkusan kado turun untukmu. Buka sirkel baru; cari teman baru; atau ikuti komunitas baru. Terlalu banyak orang di luar sana yang belum kita temui. Namun, sayangnya, terkadang kita yang sengaja menutup diri. Galaumu itu adalah mentalitas yang muncul karena drama-drama tanpa pilihan. Sementara drama hanyalah plot yang diciptakan.
Sudahlah, jangan lagi tekanan sosial memengaruhi mental kita. Kita tidak sedang berkompetisi. Kita tidak sedang balapan soal kehidupan. Kita punya gelas waktu masing-masing. Yang penting itu adalah bagaimana kita mengaktualisasi diri di atmosfer yang baru—yang memberikan peluang untuk kita punya banyak pilihan.
52 notes · View notes
Text
SALUTE SUCCESSO E MENTE?
SALUTE SUCCESSO E MENTE?
COME SI OTTIENE SALUTE RICCHEZZA E SUCCESSO? HAI PROVATO TUTTO PER LA SALUTE IL SUCCESSO LA RICCHEZZA? LIBERTA’ MENTALE E FISICA? COME AIUTARE IL TUO CARO CHE NON VUOLE ESSERE AIUTATO… FAI SPARIRE LA SFORTUNA ANCHE DA SOLO… PROBLEMI AL SUCCESSO MENTALE E FISICO E  SOLUZIONI MENTALI… IL SEGRETO DEI SEGRETI PER DIMENTICARE LA SFIGA SOTTO OGNI NOME… SOLO SE SOFFRI PER NON REALIZZARTI E …
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
rumelihisari · 5 months
Text
STRAWBERRY PARENT
Sebagai generasi Z yang identik dengan generasi rapuh dan memiliki mentalitas yang kurang tangguh, saat tengah menyelami peran sebagai orangtua baru ini, kami cukup sadar kalo dalam mengasuh dan mendidik anak hanya mengandalkan ikhtiar ilmu dan mental yang kami miliki, maka rasanya cukup mustahil kalau generasi Shalahudin Al-ayubi mampu lahir dari generasi kami. Sebab terlalu banyak bias informasi dan distraksi saat beraksi. Entah dari luar atau dalam diri kami sendiri yang menjadi penyebabnya. Rebahan, gadget, scrolling media sosial, baper saat mendapati komentar, mudah menyerah, dikit dikit butuh me time, healing, dll. Itu semua rasanya menjadi tantangan berat untuk kami. 
Hidup dalam derasnya arus informasi parenting saat ini, membuat kami bersyukur sekaligus  tetap mengukur sebab ada banyak hal yang harus tetap kami filterisasi karena taksemua hal selaras dengan apa yang menjadi prinsip dan keyakinan kami sebagai orangtua muslim dalam mengasuh dan mendidik anak.
Banyak konten bertebaran hanya sekadar memvalidasi perasaan dan emosi kami sebagai orangtua baru yang merasa mudah lelah dan merasa tak pernah dimengerti, seolah tak ada solusi pasti terkait hal ini. Sehingga seringkali itu yang menjadi pembenaran untuk kami larut dalam ketidakmampuan. 
Larut menjadi orangtua yang mudah baper saat menerima komentar orang dalam proses mengasuh  hingga lupa fokus memaksimalkan peran. Yang padahal kami sadar kalau konsepnya, “kita tidak bisa mengendalikan omongan orang lain kepada kita, melainkan tentang bagaimana respon kita”. Sering merasa paling capek mengasuh padahal para sahabat dan shahabiyah dulu ujiannya lebih berat, namun mereka tetap tangguh tanpa gaduh seperti kami hari ini yang baru diuji anak GTM saja ngereog sana sini.
Kami sadar buku yang kami baca belum banyak, Apemahaman dan ilmu kami masih minim, bacaan alquran kami terbata-bata, hafalan kami bahkan mungkin tak ada, hari-hari kami lebih banyak potensi maksiatnya.
Lingkungan yang sudah degradasi moral serta peran negara yang abai, membuat kami sadar bahwa dalam proses mengasuh dan mendidik ini, tak ada yang menjamin anak yang tengah diamanahi kepada kami ini akan jadi seseorang yang shalih dan terlindungi.  Maka kami sadar hanya pertolongan Allah lah yang akan mewujudkannya—anak yang shalih. Allah yang melengkapi kekurangan kami dalam mengasuh dan mendidik
Pun begitu kami tetap optimis dan berupaya melayakkan diri menjadi orangtua yang taat dengan cara mengkaji ilmu dan tsaqofah islam. Bekerja sama memaksimalkan peran dan tak lupa bahwa teori parenting itu hanya 1 %, sisanya pertolongan Allah.
13 notes · View notes