Tumgik
rinaam-sblog · 7 months
Text
Penguasa yang Menolak Dikritisi oleh Rakyatnya Adalah Ciri Penguasa Totaliter
HARAM MENGAWASI DAN MENCURIGAI MASJID! Buletin Kaffah No. 310 (29 Safar 1445 H/15 September 2023)
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza mengusulkan adanya mekanisme kontrol rumah ibadah. Tujuannya untuk mencegah penyebaran paham radikalisme. Usulan tersebut muncul saat menanggapi pernyataan anggota Komisi III DPR RI Irjen Pol (Purn) Drs. H. Safaruddin, M.I.Kom. Saat itu ia menyinggung adanya masjid di instansi Pemerintah di Kalimantan Timur yang menurut dia setiap hari isi ceramahnya mengkritik Pemerintah. Selanjutnya BNPT juga akan melibatkan masyarakat agar turut mengawasi ceramah-ceramah di masjid. Harapannya, tokoh agama dan warga yang akan mencegah dan menegur ujaran yang menyebarkan rasa kebencian, kekerasan dan permusuhan. Namun, rencana ini langsung menuai reaksi keras dari kalangan Muslim, bahkan juga dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI). Wakil Ketua MUI Anwar Abbas menyatakan bahwa cara berpikir dan bersikap BNPT ini menunjukkan corak kepemimpinan yang tiranic dan despotisme. Ketua Muhammadiyah Haedar Nashir menilai usulan BNPT ini akan menimbulkan konflik antar golongan di masyarakat. Tajassus Haram! Mengawasi masjid dan aktivitas kaum Muslim di dalamnya adalah bentuk tajassus yang secara jelas hukumnya haram. Allah SWT berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Janganlah kalian mencari-cari keburukan orang. Jangan pula kalian menggunjingkan satu sama lain (TQS al-Hujurat [49]: 12). Maknanya, kata Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahulLâh, “Janganlah sebagian dari kalian mencari-cari keburukan orang lain. Jangan pula menyelidiki rahasia-rahasianya untuk mencari keburukan-keburukannya. Hendaklah kalian menerima urusannya yang tampak bagi kalian. Dengan yang tampak itu hendaknya kalian memuji atau mencela, bukan dengan rahasia-rahasianya yang tidak kalian ketahui.” (Tafsîr ath-Thabari, 7/85). Larangan memata-matai sesama Muslim juga dipertegas oleh Nabi saw.: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا Jauhilah oleh kalian prasangka karena sungguh prasangka itu ujaran yang paling dusta. Jangan pula kalian melakukan tahassus, tajassus (mematai-matai), saling hasad, saling membelakangi dan saling membenci (HR al-Bukhari). Para ulama memasukkan perbuatan memata-matai orang lain ke dalam dosa besar. Hal ini karena kerasnya ancaman bagi para pelakunya. Rasulullah saw. bersabda: وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ، وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ، صُبَّ فِي أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ القِيَامَةِ Siapa saja yang berusaha mendengarkan pembicaraan orang-orang, sedangkan mereka tidak suka (didengarkan), atau mereka menjauh dari dirinya, maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari). Ibnu Hajar al-Haitami rahimahulLâh berkata, “Perbuatan tajassus dikategorikan dosa besar tampak jelas di dalam hadis ini walaupun aku tidak melihat ulama menyebutkan demikian. Pasalnya, dituangkan cairan tembaga pada dua telinga pada Hari Kiamat merupakan ancaman yang sangat keras.” (Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ-ir, 2/268. Maktabah Syamilah). Keharaman memata-matai orang lain juga dipertegas dalam hadis Nabi saw. berikut: لَوْ أَنَّ امْرَأً اطَّلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَخَذَفْتَهُ بِعَصَاةٍ فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ، لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ جُنَاحٌ Andai seseorang mengintip dirimu tanpa izin, lalu engkau melempar dia dengan kerikil hingga engkau mencongkel matanya, maka engkau tidak berdosa (HR al-Bukhari dan Muslim). Larangan memata-matai ini bersifat umum meliputi semua bentuk seperti: mengawasi dari kejauhan, menguping pembicaraan, memasang alat penyadap atau kamera; termasuk menyadap pembicaraan, email, whatsapp, atau meminta warga, untuk saling memata-matai tetangganya atau orang lain.
Keharaman tajassus juga berlaku baik atas individu rakyat, organisasi, perusahaan juga negara. Ini karena nas-nya bersifat umum. Obyek yang dimata-matai juga berlaku umum, baik terhadap warga Muslim maupun ahludz-dzimmah. Keharaman penguasa melakukan tindakan memata-matai warga disampaikan oleh Baginda Nabi saw.: إِنَّ ‌الْأَمِيرَ إِذَا ‌ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ Sungguh seorang penguasa itu, jika mencurigai rakyatnya, berarti ia telah merusak mereka (HR Ahmad). Jadi jelas sudah, haram hukumnya mengawasi atau memata-matai masjid dan aktivitas dakwah di dalamnya. Penguasa Wajib Dikoreksi Mengoreksi penguasa adalah salah satu bentuk amar makruf nahi mungkar yang diperintahkan agama. Baginda Nabi saw. bersabda: لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ ‌الْمُنْكَرِ ‌أَوْ ‌لَيُسَلِّطَنَّ ‌اللَّهُ ‌عَلَيْكُمْ ‌شِرَارَكُمْ فَيَدْعُو خِيَارُكُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi mungkar atau (jika tidak) Allah akan menjadikan orang yang berkuasa atas diri kalian adalah yang paling jahat di antara kalian, kemudian orang-orang terkemuka di antara kalian berdoa, tetapi doa mereka tidak dikabulkan (HR al-Bazzar). Demikian agungnya amal mengoreksi penguasa hingga Nabi saw. menyebut amal ini sebagai jihad yang paling utama. أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim (HR Abu Dawud). Karena itu mengoreksi penguasa bukanlah menjelek-jelekkan penguasa atau ujaran kebencian (hate speech). Ini adalah kewajiban setiap muslim yang menyaksikan kemungkaran di hadapannya, terutama yang dilakukan penguasa. Nabi saw. bersabda: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman (HR Muslim). Penguasa yang menolak dikritisi oleh rakyatnya adalah ciri penguasa totaliter. Lebih mengherankan lagi jika ada wakil rakyat yang tidak mengkritik penguasa, atau malah marah dan menolak kritik dari rakyatnya. Padahal mereka adalah wakil rakyat dan digaji oleh rakyat untuk membela kepentingan rakyat. Lebih tepat bila hari ini aparat keamanan mengawasi dan menindak setiap kebijakan pemerintah yang sudah banyak merugikan negara dan rakyat seperti sengketa lahan di kawasan Rempang, meninggalnya ratusan warga dalam Tragedi Kanjuruhan, penyelundupan jutaan ton nikel ke luar negeri, pengesahan UU Cipta Kerja, IKN, mangkrak dan tekornya banyak proyek yang dibangun pemerintah, seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, dsb. Bukan malah memata-matai dan menindak rakyat yang melakukan koreksi pada penguasa. Itu ibarat pepatah; buruk muka cermin dibelah. Padahal mencurigai apalagi menghalangi amar makruf nahi mungkar adalah tindakan kemungkaran. Apalagi sampai menghalang-halangi orang yang berdakwah menyampaikan kalimatullah di masjid. Allah SWT berfirman: أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ . الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang zalim, (yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Mereka itulah orang-orang yang mengingkari adanya Hari Akhirat (TQS Hud [11]: 18-19). Islamofobia Pengawasan masjid dengan dalih pencegahan radikalisme adalah bentuk islamofobia. Takut dan benci pada ajaran agama seperti mencurigai aktivitas dakwah di masjid. Sebagaimana takut dan benci pada penerapan syariat Islam yang sebenarnya itu adalah kewajiban kaum muslimin.
Label radikalisme sendiri produk dari Barat untuk menyudutkan dan menyerang Islam. Barat menggunakan istilah radikalisme pada kelompok-kelompok Islam yang menolak tunduk pada kepentingan mereka dan menolak ajaran sekularisme-liberalisme yang mereka propagandakan. Kepentingan Barat itu adalah melestarikan imperialisme gaya baru mereka berupa penjajahan ekonomi, politik, sosial, budaya juga militer. Lalu Barat memuji-muji kelompok Islam yang akomodatif terhadap kepentingan mereka dan menerima ajaran-ajaran mereka dengan nama Islam moderat. Padahal nilai-nilai sekularisme dan liberalisme yang dibungkus dengan demokrasi sudah terbukti mengandung mafsadat seperti: mengesahkan LGBT, melegalkan minuman keras, perzinaan dan pelacuran, muamalah ribawi, bahkan sekarang muncul wacana dari Pemerintah untuk memungut pajak dari judi online. Belum lagi penjarahan SDA dengan mengatasnamakan investasi yang hanya memberikan keuntungan pada para pengusaha asing dan aseng. Wahai umat Muslim, mereka yang mencintai agamanya dan negerinya pasti tidak akan mau melihat negeri ini terseret menuju kehancuran. Mereka akan berusaha keras menyelamatkan umat dan negeri ini agar menjadi negeri yang penuh berkah. Untuk itulah dakwah harus digiatkan agar kalamullah menjadi tinggi dan syariah Islam dalam naungan Khilafah tegak di muka bumi. ‌لَا ‌يَزَالُ مِنْ ‌أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ ‌بِأَمْرِ ‌اللَّهِ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ Selalu ada dari umatku senantiasa yang menegakkan perintah Allah. Tidak dapat mencelakai mereka orang yang menghina mereka dan menyelisihi mereka hingga datang pertolongan Allah kepada mereka, sedangkan mereka tetap dalam kondisi demikian (HR al-Bukhari). [] —*— Hikmah: Nabi saw. bersabda: اِذَا رَاَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوْا لَهُ باِلإِيْمَانِ “Apabila kamu sekalian melihat seseorang biasa ke masjid, maka saksikanlah bahwa ia benar-benar beriman.” (HR. Tirmidzi dari Abu Sa’id Al Khudri).[]
0 notes
rinaam-sblog · 8 months
Text
Mengharapkan Persoalan Umat Akan Selesai dengan Hanya Mengangkat Pemimpin Beragama Islam tanpa Penerapan Hukum Islam Adalah Ilusi.
TINGGALKAN KEZALIMAN MENUJU KEADILAN ISLAM
Buletin Kaffah No. 302 (03 Muharram 1445 H/21 Juli 2023)
Belakangan ini kata hijrah menjadi suatu istilah yang begitu digandrungi kaum Muslim. Kata hijrah menjadi lekat untuk pribadi-pribadi yang ingin berubah menuju kehidupan Islami. Ini merupakan pertanda positif. Tinggal bagaimana perubahan itu dilanjutkan dengan mengkaji Islam secara penuh. Tentu agar makna hijrah tidak sebatas perbaikan akhlak pribadi, ibadah atau muamalah. Hijrah tidak lain adalah perubahan total menuju kehidupan Islami yang utuh.
“Hijrah Hati”
Imam Ibnu Qayyim rahimahulLâh dalam kitabnya Risâlah At-Tâbûkiyah menguraikan ada dua jenis hijrah. Pertama, hijrah bi al-jismi (hijrah fisik), yakni berpindah dari satu negeri ke negeri lain, yakni dari negara kufur (dâr al-kufr) menuju Negara Islam (Dâr al-Islâm). Kedua, hijrah bi al-qalbi (hijrah hati) menuju Allah SWT dan Rasul-Nya.
Selanjutnya Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa hijrah mengandung kondisi ‘dari’ (min) dan ‘menuju’ (ilâ). Dengan demikian hijrah hati bermakna: dari cinta selain Allah menuju cinta kepada-Nya; dari ibadah kepada selain Allah menuju ibadah kepada-Nya; dari rasa takut, berharap dan tawakal kepada selain Allah menuju takut, berharap dan tawakal hanya kepada-Nya. Demikian sebagaimana perintah Allah kepada setiap Muslim untuk berlari sekuat tenaga menuju Diri-Nya:
فَفِرُّواْ إِلَى ٱللَّهِۖ
Berlarilah kalian menuju Allah! (TQS adz-Dzariyat [51]: 50).
Dalam bahasa Arab kata farra menunjukkan larinya seseorang dari sesuatu yang ditakuti, seperti melarikan diri dari kejaran singa. Karena itu seorang Muslim wajib berusaha keras meninggalkan kemungkaran dan bersungguh-sungguh menuju ketaatan kepada Allah SWT. Berpaling dari ayat-ayat Allah dengan tidak menaati aturan-aturan-Nya hanya akan membawa penderitaan di dunia dan siksaan di akhirat. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Pelaku hijrah hati yang utama harusnya adalah para penguasa. Ini karena kedudukan mereka menentukan baik-buruknya rakyat. Imam al-Ghazali menyatakan, “Rusaknya rakyat adalah karena rusaknya penguasa.” Oleh karena itu para penguasa harus berada di barisan paling terdepan dalam meninggalkan segala kemungkaran seperti: khianat terhadap rakyat dengan mengumbar janji palsu dan kebohongan, kongkalikong menguras harta rakyat, mengeluarkan berbagai kebijakan zalim terhadap rakyat, memperkaya diri dan keluarga dengan memanfaatkan jabatan, membiarkan agama dinista, dsb. Semuanya patut untuk ditinggalkan secepatnya dan sekuat tenaga karena penguasa macam itu akan mendapatkan tempat terburuk dan siksa yang paling keras pada Hari Kiamat. Nabi saw bersabda:
‌أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا: ‌إِمَامٌ ‌عَادِلٌ، وَإِنَّ أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا: إِمَامٌ جَائِرٌ
Manusia yang paling Allah ‘Azza wa Jalla cintai pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi-Nya adalah pemimpin yang adil. Sungguh manusia yang paling Allah benci pada Hari Kiamat dan paling keras mendapatkan siksa-Nya adalah pemimpin yang jahat (HR Ahmad).
Tinggalkan Sistem Zalim
Sesungguhnya pangkal kemungkaran hari ini bukanlah semata disebabkan oleh pribadi-pribadi yang bermaksiat pada Allah. Kemungkaran hari ini berasal dari sikap umat yang berpaling dari syariah Islam. Inilah induk dari segala kerusakan yang menyebabkan kerusakan terjadi secara luas. Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Akibat hukum pidana Islam tidak diterapkan, misalnya, berbagai kejahatan merajalela. Setiap hari nyaris tidak sepi dari berita pembunuhan dan penganiayaan. Polri mencatat selama empat tahun terakhir ada 3000 warga menjadi korban pembunuhan. Bahkan kekerasan hari ini lebih buruk dibandingkan dengan masa jahiliah. Saat ini banyak korban pembunuhan dimutilasi, misalnya. Bahkan ada yang dimasak seperti kasus terakhir di Sleman, Yogyakarta. Selain karena kian rusaknya nilai kemanusiaan, jelas juga karena hukum yang berlaku tidak memberi efek jera dan efektif memberikan pencegahan.
Hukum juga sering tidak berlaku adil bagi rakyat kecil. Tahun 2015 seorang nenek divonis 1 tahun penjara oleh pengadilan di Situbondo dengan tuduhan mencuri dua batang kayu jati. Namun, Pemerintah pada tahun ini malah membebaskan sejumlah korporasi pelaku pembabatan hutan seluas 3,3 juta hektar untuk dijadikan perkebunan sawit ilegal. Padahal Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, keberadaan 505 kebun kelapa sawit ilegal di sejumlah daerah merugikan negara senilai Rp 44 triliun!
Masa depan layanan kesehatan untuk rakyat juga semakin dipertanyakan. Pasalnya, DPR telah mengesahkan UU Kesehatan yang berpotensi merugikan rakyat. Layanan kesehatan diliberalisasi. Artinya, Negara semakin berlepas tangan dari tanggung jawabnya. Disebutkan, misalnya, dalam UU Kesehatan adanya penghapusan mandatory spending biaya kesehatan yang harusnya ditanggung APBN. Padahal Indonesia masih terbelit persoalan stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, bahkan kurangnya kualitas pelayanan kesehatan. Indonesia juga masih kekurangan 130 ribu dokter dan Puskesmas serta rumah sakit hingga pelosok daerah.
Adanya BPJS juga bukan solusi layanan kesehatan bagi masyarakat. Dilaporkan ada 16,6 juta warga yang tidak sanggup melanjutkan iuran BPJS. Ironinya, warga yang menunggak iuran dapat terancam denda Rp 30 juta. Sudah terjadi kasus warga yang bunuh diri karena tidak bisa lagi berobat akibat tidak sanggup membayar iuran BPJS.
Umat juga makin terancam akidahnya. Kasus penistaan agama oleh Panji Gumilang sampai hari ini belum diselesaikan secara hukum. Padahal MUI sudah mengeluarkan rekomendasi yang menyebutkan kesesatan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun tersebut. Publik pun bertanya: Mengapa Pemerintah begitu cepat dan sigap membubarkan FPI dan HTI tanpa alasan yang jelas, namun lamban menangani kasus Al-Zaitun yang telah dinyatakan sesat?
Selain itu, saat ini keberadaan ideologi Komunisme dan para pendukungnya seperti mendapat angin karena sejumlah peraturan telah dikeluarkan. Di antaranya Keppres Nomor 17 Tahun 2022 juga Inpres No 2/2023 yang menempatkan PKI sebagai korban pelanggaran HAM. Hal ini akan memutarbalikkan fakta sejarah PKI dengan ideologi Komunismenya sebagai pelaku kudeta dan kejahatan keji berupa pembunuhan ribuan santri dan kiai, juga aparat pemerintah dan para perwira militer.
Ada kekhawatiran peraturan tersebut akan menghidupkan kembali hak-hak politik para anggota dan pendukung ideologi Komunisme. Apakah Pemerintah pura-pura tidak tahu kalau ideologi Sosialisme-Komunisme yang menganut keyakinan materialisme-atheisme bertentangan dengan akidah Islam? Sejarah di berbagai negara memperlihatkan ideologi Sosialisme-Komunisme ini tidak segan-segan menumpahkan darah kaum Muslim karena menganggap Islam sebagai ancaman.
Anehnya, saat diingatkan bahwa penolakan penerapan syariah Islam dan pemberlakuan sistem sekuler saat ini adalah penyebab rusaknya kondisi umat dan negeri, mereka malah menolak dan bersikukuh apa yang mereka lakukan demi kebaikan. Ini persis seperti yang telah Allah SWT ingatkan dalam al-Quran (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 11-12).
Total Menuju Islam
Sudah saatnya umat menjadikan Islam sebagai dasar keyakinan dan aturan kehidupan dalam semua aspek; ekonomi, sosial, militer, politik dan kenegaraan. Ini karena Islam adalah ideologi yang benar dan sempurna. Syariahnya memberikan perlindungan terhadap jiwa, harta, akal, kelahiran dan nasab, kehormatan, akidah, keamanan dan negara.
Keadilan sistem Islam baru terwujud jika umat berislam secara total (kâffah). Tidak akan terwujud keadilan Islam jika ajaran Islam hanya diambil unsur spiritualnya dan moralnya saja. Sebaliknya, aturan ekonomi, pidana dan politik Islam dicampakkan. Yang diterapkan malah aturan demokrasi dan kapitalisme. Kalaupun sebagian hukum Islam diambil, itu karena semata memberikan keuntungan materi kepada pengelolanya seperti hukum haji, umrah, nikah, zakat, infak juga sedekah. Dengan cara seperti itu maka berbagai persoalan tidak akan pernah bisa diselesaikan. Beda hasilnya jika hukum-hukum Islam diterapkan secara kâffah dalam naungan Khilafah.
Mengharapkan persoalan umat akan selesai dengan hanya mengangkat pemimpin beragama Islam tanpa penerapan hukum Islam adalah ilusi. Terbukti, hari ini di Tanah Air mayoritas kepala daerah, anggota dewan dan pejabat beragama Islam. Namun, persoalan umat tak kunjung selesai. Sebabnya, syariah Islam tidak mereka terapkan. Malah tidak sedikit pejabat dan anggota dewan beragama Islam terperosok dalam kejahatan korupsi. Menurut catatan KPK ada 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil, serta 319 anggota dewan terjerat kasus korupsi.
Karena itu pada momen Tahun Baru Hijrah ini, saatnya kaum Muslim berjuang untuk hijrah secara total, dari sistem yang penuh kezaliman menuju keadilan Islam. Caranya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah.
WalLâhu a’lam. []
---*---
Hikmah:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٍ، وَ دَاءُ الْمُسْلِم كَوْنُهُ مُسْلِمًا كَمَا أَرَادَ، وَ دَوَاءُ الْمُسْلِم كَوْنُهُ مُسْلِمًا كَمَا أَرَادَ اللهُ…
Setiap sakit ada obatnya. Sakitnya Muslim karena ia menjadi Muslim sesuai yang ia inginkan. Obatnya adalah ia menjadi Muslim sesuai yang Allah inginkan. (Sayyid Muhammad Habib al-‘Ubaidi al-Mawshili, Habl al-I’tishâm wa Wujûb al-Khilâfah fî Dîn al-Islâm). []
1 note · View note
rinaam-sblog · 8 months
Text
Sistem apapun selain sistem Islam adalah sistem jahiliah. Termasuk sistem kehidupan sekuler yang diberlakukan di negeri ini.
BULETIN DAKWAH KAFFAH – 301 26 Dzulhijjah 1444 H/14 Juli 2023
HIJRAH DARI SISTEM JAHILIAH
Tak terasa, kita saat ini sudah ada di penghujung tahun 1444 H. Hanya beberapa hari lagi kita akan memasuki Tahun Baru Hijriyah, yakni 1445 H. Sebagian umat Islam menjadikan Tahun Baru Hijrah sebagai momentum untuk melakukan refleksi (perenungan), kontemplasi (muhâsabah), bahkan mungkin menetapkan sejumlah resolusi (tuntutan) baru untuk masa depan hidupnya agar lebih baik.
Hal yang sama sudah seharusnya dilakukan oleh kaum Muslim yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Bahkan saat ini, sudah saatnya kaum Muslim—secara kolektif—di negeri ini berani melakukan semacam koreksi terhadap sistem kehidupan sekuler yang dijalankan selama ini, yang terbukti bermasalah. Baik terkait sistem ekonomi, sistem hukum, sistem peradilan, sistem politik dan pemerintahan, sistem pendidikan maupun sistem sosial, dll. Selanjutnya, kaum Muslim harus berani berhijrah, yakni meninggalkan sistem kehidupan sekuler ini, menuju sistem kehidupan yang shahih, yakni sistem kehidupan Islam. Selama kaum Muslim tidak memiliki tekad dan keberanian untuk berhijrah, yakni meninggalkan sistem jahiliah ini, menuju sistem Islam, maka nasib mereka tidak akan pernah berubah. Bakal tetap terpuruk dan terjajah. Karena itu hiruk-pikuk Pilpres/Pemilu yang rutin digelar setiap lima tahun sekali pun tak akan pernah menghasilkan perubahan yang berarti. Pasalnya, pada faktanya Pilpres/Pemilu hanya menghasilkan rezim baru yang berganti wajah, tetapi tetap dengan menjalankan sistem yang sama, yakni sistem sekuler yang bermasalah, yang notabene adalah sistem jahiliah; bukan menerapkan syariah Islam secara kâffah.
Pentingnya Hijrah
Secara bahasa, al-hijrah merupakan isim dari fi'il ha-ja-ra. Maknanya adalah meninggalkan. Dalam Hadis Nabi Muhammad saw. dinyatakan, misalnya:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang (HR al-Bukhari).
Hijrah dalam pengertian ini tentu wajib dilakukan oleh setiap Muslim.
Adapun menurut istilah khusus, menurut Ar-Raghib al-Ashfahany (w. 502 H), hijrah berarti keluar dari dârul kufr (yakni wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur) menuju Dârul Îmân (yakni wilayah yang menerapkan seluruh hukum Islam) (Al-Ashfahâny, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, hlm. 833).
Makna hijrah seperti ini semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Al-Jurjâni (w. 471 H) dan al-Qurthubi (w. 671 H) yang menyatakan:
الهِجْرَةُ وَهِيَ الخُرُوْجُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إِلَى دَارِ الإِسْلاَمِ
Hijrah adalah keluar atau berpindah dari negara yang diperangi (negara kufur) ke Negara Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 5/349; Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, 1/83).
Hijrah semacam inilah yang dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. dari Makkah (yang saat itu merupakan Dârul Kufur [negeri kufur]) menuju Madinah (yang saat itu telah berubah menjadi Dârul Islam (Daulah Islam/Negara Islam). Hijrah dalam makna khusus inilah yang dijadikan awal penanggalan dalam Islam. Oleh karena itu tatkala mendiskusikan tentang penanggalan Islam, setelah mendengar berbagai usulan para Sahabat, Khalifah Umar bin Khaththab ra. menyatakan:
بَلْ نُؤَرِّخُ لِمُهاجَرَةِ رَسُوْلِ الله، فَإِنَّ مُهَاجَرَتَهُ فَرْقٌ بَيْنَ الْحَقِّ وَاْلبَاطِلِ
Akan tetapi, kita akan menghitung penanggalan berdasarkan hijrah Rasulullah, karena sesungguhnya hijrah beliau itu telah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan (Ibn Al-Atsîr, Al-Kâmil Fî at-Târîkh, 1/3).
Hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa penting yang mengubah wajah umat Islam saat itu. Umat yang awalnya tertindas dan teraniaya di Makkah selama 13 tahun, setelah hijrah ke Madinah dan menegakkan tatanan masyarakat yang islami dalam sebuah negara, berubah menjadi umat yang mulia, kuat dan disegani.
Pentingnya Eksistensi Negara Islam
Sebagaimana kita ketahui, sistem apapun selain sistem Islam adalah sistem jahiliah. Termasuk sistem kehidupan sekuler yang diberlakukan di negeri ini. Pasalnya, di negeri ini syariah Islam tidak diterapkan, kecuali hanya sebagian kecil, seperti dalam urusan nikah, talak, dan rujuk; dalam urusan haji dan zakat; dsb. Sebaliknya, dalam berbagai urusan lain yang lebih besar (ekonomi, politik, hukum, peradilan, sosial, pemerintahan, dll) syariah Islam tidak digunakan. Padahal Allah SWT telah mencela sikap manusia yang tidak mau memilih hukum-hukum Allah dan malah lebih memilih hukum jahiliah. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah sistem hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya dibandingkan dengan sistem hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Berkaitan dengan ayat di atas, setelah Nabi Muhammad saw. diutus, sifat jahiliah memang tidak disematkan pada suatu masa secara mutlak dan umum. Namun, sifat jahiliah bisa disematkan pada realitas apa saja yang bertentangan dengan ajaran Rasul (Islam) (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Shirâth al-Mustaqîm, 1/258); baik realitas itu berupa aqidah, sistem hukum dan perilaku, baik realitas itu individu, masyarakat ataupun negara. Negara (masyarakat) yang di dalamnya lebih dominan penentangannya terhadap hukum-hukum Allah, secara legal-formal menolak sistem Islam, lalu menerapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syariah Islam maka layak disebut dengan istilah jahiliah.
Karena itu hijrah, dalam pandangan Islam, tentu berkaitan dengan upaya kaum Muslim, khususnya di negeri ini, untuk segera meninggalkan sistem hukum jahiliah ini menuju sistem Islam. Hijrah semacam ini tentu berkaitan erat dengan upaya mewujudkan Dârul Islam (Negara Islam). Sebabnya, hijrah Rasulullah saw. pun, yakni dari Makkah ke Madinah, bukan hanya bersifat individual, sebagaimana hijrah pertama dan kedua yakni sebagian Muslim ke Habsyah. Hijrah Rasul saw. adalah dalam rangka meninggalkan Dârul Kufur menuju Dârul Islam, yakni meninggalkan sistem jahiliah menuju penegakan sistem Islam.
Hijrah Menuju Penerapan Syariah Secara Kâffah
Hijrah Nabi saw. ke Dârul Islam di Madinah adalah dalam rangka menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kâffah. Di Madinah Rasulullah saw. adalah pemimpin Negara Islam. Kekuasaan yang beliau terima di Madinah dari kaum Anshar bukanlah sekadar kekuasaan semata. Sebabnya, jika sekadar kekuasaan semata, hal itu bisa beliau dapatkan di Makkah. Kekuasaan beliau di Madinah tidak lain adalah kekuasaan yang menolong (shultân[an] nashîr[an]). Ini sebagaimana turunnya ayat yang memerintahkan beliau hijrah:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah, "Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan yang dengan itu syariah Islam diterapkan secara kâffah. Imam Ibnu Katsir, seraya mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frasa “kekuasaan yang menolong”, menyatakan:
نَصِيرًا لِكِتَابِ اللَّهِ، وَلِحُدُودِ اللَّهِ، وَلِفَرَائِضِ اللَّهِ، وَلِإِقَامَةِ دِينِ اللَّهِ
“… untuk membela Kitabullah, hudûd Allah, hal-hal yang difardukan Allah, dan untuk menegakkan agama Allah”. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, 5/111).
Relevansi Hijrah Saat ini
Hijrah tetaplah relevan hingga Hari Kiamat. Yang terputus hanyalah hijrah dari Makkah ke Madinah pasca Makkah ditaklukkan dan menjadi Dârul Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 3/350).
Dalam situasi sekarang, hijrah bisa kita lakukan dengan berpindah dari suatu tempat yang kita khawatirkan menggoyahkan keimanan kita, sementara kita tidak sanggup berupaya mengubahnya, menuju tempat yang dipenuhi suasana keimanan; meninggalkan pekerjaan yang banyak kemaksiatannya beralih ke pekerjaan yang halal; meninggalkan keadaan yang bisa membuat kita melanggar aturan Allah, menuju keadaan yang mempermudah kita mendekatkan diri kepada-Nya.
Yang lebih penting lagi, sekaligus inilah esensi dari hijrah Nabi saw, yang perlu diteladani, adalah hijrah meninggalkan sistem jahiliah saat ini, yakni sistem sekuler, menuju sistem Islam. Karena sistem Islam ini tidak bisa tegak tanpa kekuasaan, maka semestinya perjuangan umat bukan sekadar diarahkan untuk menjadikan sosok Muslim yang shalih sebagai penguasa. Lebih dari itu mestinya perjuangan umat Islam diarahkan memilih dan mengangkat penguasa Muslim yang shalih, yang kekuasaannya benar-benar digunakan untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah. Bukan malah sebaliknya, kekuasaan yang diraih itu digunakan justru untuk melanggengkan dan makin memperkokoh sistem sekuler yang notabene adalah sistem jahiliah. Jika itu yang terjadi, sebagaimana saat ini, maka seluruh kaum Muslim bertanggung jawab atas keterpilihan penguasa yang nyata-nyata enggan menerapkan syariah Islam secara kâffah, dan malah melanggengkan sistem sekuler jahiliah saat ini.
Alhasil, mari kita berhijrah secara total, yakni dengan meninggalkan sistem jahiliah saat ini menuju sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْهِجْرَةَ خَصْلَتَانِ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَهْجُرَ السَّيِّئَاتِ وَالأُخْرَى أَنْ تُهَاجِرَ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Sesungguhnya hijrah itu dua macam. Pertama, kamu meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa. Kedua, kamu berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. (HR Ahmad). []
1 note · View note
rinaam-sblog · 9 months
Text
Patutkah disebut sebagai haji mabrur?
HAJI MABRUR PENGGERAK PERUBAHAN
Buletin Kaffah No. 300 (19 Dzulhijjah 1444 H/7 Juli 2023 M)
Usai sudah rangkaian ibadah haji yang dilakukan oleh jamaah haji sedunia di Tanah Suci pada tahun 1444 H/2023 M ini. Sebagian jamaah haji pun secara bergelombang sudah mulai kembali ke negerinya masing-masing.
Pada tahun ini diperkirakan ada dua juta jamaah haji dari berbagai negara hadir di Tanah Suci. Tak ada harapan dan cita-cita para jamaah haji saat berangkat ke Tanah Suci selain ingin mendapatkan predikat haji mabrur. Balasan haji mabrur tidak lain adalah surga. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu haji adalah salah satu ibadah yang utama. Ibadah haji bahkan memiliki keutamaan besar yang sejajar dengan jihad fi sabilillah. Nabi saw. bersabda:
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji dan orang yang berumrah adalah tamu-tamu Allah. Allah mengundang mereka, mereka pun memenuhi undangan-Nya. Lalu mereka meminta kepada Allah, Allah pun memenuhi permintaan mereka (HR Ibnu Majah).
Rasulullah saw. pun pernah ditanya tentang amal yang paling utama. Beliau menjawab;
إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Mengimani Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” Beliau kembali menjawab,“Haji mabrur.” (HR al-Bukhari).
Hakikat Haji Mabrur
Menurut Imam al-Qurthubi, haji mabrur adalah orang yang berhaji tanpa bermaksiat kepada Allah, baik saat menunaikannya maupun setelahnya. Mengutip Imam Hasan al-Bashri, haji mabrur adalah yang pelakunya, setelah menunaikan ibadah haji, menjadi zuhud terhadap dunia dan menginginkan akhirat (surga) (Lihat: al-Qurthubi, Tafsîr al-Jāmi’ Li Ahkām al-Qur’ān, 2/408).
Secara garis besar para ulama menjelaskan bahwa orang yang berhak mendapatkan status haji mabrur adalah mereka yang tidak mencampur ibadah haji dengan kemaksiatan dan tidak melakukan lagi kemaksiatan usai berhaji. Karena itu tentu tidak pantas seseorang mendapatkan predikat haji mabrur jika selama menunaikan ibadah haji melakukan tindak kemungkaran; misalnya berangkat dengan uang haram seperti hasil riba, suap, korupsi, merampas aset milik rakyat, dll. Ia pun tidak patut mendapatkan status haji mabrur jika usai menunaikan ibadah haji justru kembali menceburkan diri dalam kemaksiatan seperti menelantarkan hukum-hukum Allah SWT, mengkriminalisasi ajaran Islam, menghalang-halangi dakwah penerapan syariah Islam, berkolusi dengan korporasi merampas aset milik umat seperti hutan, pertambangan, dsb.
Haji: Agenda Politik Akbar
Patut untuk dihayati oleh umat bahwa berhaji bukan saja memenuhi dimensi ruhiyah (spiritual). Ibadah haji juga memenuhi dimensi siyâsiyah (politik) dan perjuangan. Di antaranya, dalam ibadah haji tercermin keberhasilan Islam menjadi ideologi yang melebur umat manusia menjadi satu kesatuan tanpa perbedaan suku, ras, warna kulit maupun strata sosial. Tanah Suci menjadi tempat peleburan (melting point) raksasa untuk seluruh umat manusia. Demikian sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلحَجِّ يَأتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Serulah manusia untuk mengerjakan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh (TQS al-Hajj [22]: 27).
Saat Haji Wada’ kita mendapati Rasulullah saw. menyampaikan khutbah yang berisi pesan-pesan politik dan spiritual yang menggugah umat. Ada sejumlah poin penting dalam Khutbah Wada’ yang beliau sampaikan: Pertama, darah dan harta sesama Muslim terpelihara. Kedua, kewajiban menunaikan amanat, termasuk di dalamnya amanah kekuasaan untuk melayani dan melindungi umat. Ketiga, sistem ekonomi ribawi dihapuskan untuk selamanya. Keempat, menjaga aturan Islam dalam rumah tangga dan kewajiban mendidik istri. Kelima, kewajiban umat menjaga persatuan dan kesatuan. Keenam, kewajiban berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Nabi saw. jika tidak ingin tersesat dan sebaliknya umat akan tersesat jika berpaling pada ajaran dan sistem kehidupan selain Islam.
Pada momen Haji Wada’ juga turun firman Allah SWT berisi ketetapan-Nya tentang kesempurnaan Islam sebagai sistem kehidupan:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإْسْلاَمَ دِيْنًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan nikmat-Ku untuk kalian dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian (TQS al-Maidah [5]: 3).
Ayat ini seharusnya dijiwai oleh setiap Muslim, khususnya para jamaah haji, bahwa pada momen itulah Allah SWT telah menetapkan Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna dan menyeluruh. Bukan saja mengatur ritual ibadah haji, tetapi juga mengatur semua aspek kehidupan. Karena itu tak ada aturan hidup yang sepatutnya dijadikan pilihan oleh kaum Muslim selain aturan Islam. Bukan hanya untuk ritual ibadah, tetapi juga untuk kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan. Semua harus diatur oleh syariah Islam.
Haji: Inspirasi Perjuangan
Pada masa penjajahan mencengkeram Dunia Islam, ibadah haji menjadi salah satu stimulus yang menggerakkan semangat anti kolonialisme dan mendorong persatuan umat untuk melawan para penjajah. Di Tanah Air, salah satunya tercermin dalam peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 yang dipimpin sejumlah tokoh haji melawan penjajah Belanda. Mereka terinspirasi dari pengalaman para tokoh umat saat mereka berada di Makkah.
Sejak itu, pemerintah kolonial Belanda mulai waspada dan berinisiatif untuk menyelidiki alasan orang-orang di Nusantara secara tiba-tiba memiliki watak revolusioner setelah kembali dari ibadah haji. Bahkan seperti diakui Snouck Hurgronje, “Para haji adalah wabah masyarakat pribumi. Mereka mendorong penduduk asli untuk melawan, menabur fanatisme dan kebencian terhadap orang Eropa."
Snouck yang kemudian diutus ke Makkah untuk mengetahui apa yang terjadi dalam agenda haji menyaksikan orang-orang dari seluruh Nusantara membicarakan tentang perlawanan Aceh terhadap orang Belanda. Kisah legendaris tersebar bahwa salah satu pejuang Aceh telah membunuh sebanyak 17.000 tentara Belanda. Hal ini membangkitkan kesadaran untuk melawan kolonialisme di wilayah-wilayah Islam.
Snouck yang kemudian dideportasi dari Makkah, langsung menyarankan kepada pemerintah kolonial Belanda kebijakan pembatasan ibadah haji. Dia juga mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk memeriksa para jamaah yang baru pulang dari ibadah haji, khawatir mereka terjangkiti ideologi kemerdekaan dan berinisiatif melakukan pemberontakan. Ibadah haji dan pelaksanaannya diatur dalam Staatsblad 1903.
Pada tahun 1916, jamaah yang telah melaksanakan ibadah haji mendapatkan ‘ujian haji’. Ini sebenarnya adalah screening untuk jamaah yang ditakutkan membawa pikiran revolusi perjuangan melawan kolonial Belanda. Mereka yang lulus kemudian diberi gelar haji bahkan diberi pakaian khusus haji seperti peci dan jubah putih. Tujuannya agar kaum penjajah dapat mengawasi mereka. Snouck Hurgronje menyebut para haji sama seperti mesiu yang sewaktu-waktu berpotensi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Inspirasi perjuangan inilah yang diharapkan kembali muncul dalam setiap pelaksanaan ibadah haji. Ketika kaum Muslim dari segenap penjuru dunia berkumpul mereka dapat menceritakan kondisi negeri mereka masing-masing, bahwa akibat ketiadaan Khilafah Islamiyah sebagaimana saat ini, umat dicengkeram oleh neoimperialisme (penjajahan gaya baru). Politik, militer, ekonomi, sosial, budaya mereka dikendalikan oleh asing. Umat pun dapat berbagi kisah derita saudara seiman di India, Myanmar, Cina, Palestina, Suriah, dll. Demikian pula kondisi Irak atau Libya yang porak-poranda akibat agresi militer Amerika Serikat dan sekutunya.
Kaum Muslim bisa saling bertukar informasi bagaimana para penguasa kaum Muslim hari ini justru melayani asing dan aseng, membiarkan mereka menguasai kekayaan alam, serta menjadikan peradaban Barat sebagai budaya mereka. Pergaulan bebas, minuman keras, bahkan LGBT dibiarkan meruyak masuk ke tengah umat. Pada saat yang sama hukum-hukum Islam ditelantarkan.
Semua itu tidak lain karena selain mewajibkan ibadah haji, Allah SWT juga telah mewajibkan dakwah untuk memperjuangkan agama-Nya. Bahkan ketika Nabi saw. menyebutkan jihad sebagai amal yang utama di atas ibadah haji, kedudukan berdakwah di hadapan penguasa yang zalim justru disebut oleh Nabi saw. sebagai jihad yang paling utama. Beliau bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim (HR Abu Dawud).
Karena itu kaum Muslim yang berhaji harus merasa terpanggil pula untuk berdakwah memperjuangkan Islam. Ini karena, sebagaimana ibadah haji, dakwah memperjuangkan Islam juga memiliki keutamaan yang besar di sisi Allah. Karena itu pula janganlah umat berpuas diri usai menunaikan haji. Sebabnya, masih banyak kewajiban yang lebih utama yang harus ditunaikan kaum Muslim. Salah satunya adalah menyerukan kewajiban penerapan syariah Islam secara kâffah dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
---*---
Hikmah:
Imam Hasan al-Bashri rahimahulLâh berkata:
الْحَجُّ ‌الْمَبْرُورُ هُوَ أَنْ يَرْجِعَ صَاحِبُهُ زَاهِدًا فِي الدُّنْيَا رَاغِبًا فِي اْلآخِرَةِ
Haji mabrur itu adalah orang yang kembali dari berhaji menjadi zuhud terhadap dunia dan merindukan akhirat (surga). (Ibnu Rajab, Lathâ’if al-Ma’ârif, 1/62, Maktabah Syamilah). []
1 note · View note
rinaam-sblog · 10 months
Text
NEGARA WAJIB MENJAGA AKIDAH UMAT
Sekularisme Pangkal Kesesatan | NEGARA WAJIB MENJAGA AKIDAH UMAT
Sekularisme (aqidah yang memisahkan agama dan kehidupan) yang dianut dan diterapkan di negeri ini sesungguhnya adalah pangkal kesesatan. Dari aqidah ini lahir sistem demokrasi yang menjamin kebebasan (liberalisme). Di antaranya kebebasan beragama. Ini tidak ada masalah. Sebabnya, dalam Islam pun setiap orang bebas memeluk agama. Setiap orang tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Allah SWT berfirman:
لاَ إَكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ
Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Islam) (TQS al-Baqarah [2]: 256).
Masalahnya, dalam demokrasi, kebebasan beragama tak hanya dipahami sebagai kebebasan untuk memeluk agama tertentu. Namun faktanya, demokrasi juga menjamin kebebasan orang untuk gonta-ganti agama, termasuk murtad dari agama Islam. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah (HR al-Bukhari).
Demokrasi juga menjamin kebebasan bagi siapapun untuk menyelewengkan ajaran agamanya. Buktinya, munculnya ratusan aliran sesat, termasuk yang menistakan ajaran Islam, terkesan seolah dibiarkan. Belum lagi munculnya beragam pemikiran liberal yang juga sesat dan menyesatkan. Misalnya saja pemikiran tentang pluralisme agama, yang memandang semua agama sama. Juga pemikiran tentang toleransi beragama yang kebablasan, yang melahirkan sinkretisme (campur-aduk) agama seperti doa bersama lintas agama, dll. Semua seolah dibiarkan oleh negara atas nama demokrasi dan kebebasan.
Di sisi lain, sikap untuk berpegang teguh pada akidah Islam yang lurus, termasuk pada identitas Islam, keinginan untuk hidup diatur oleh syariah Islam secara kâffah, termasuk mengkaji dan mengajarkan ajaran Islam tentang Khilafah, acapkali dicap sebagai radikal, atau dikaitkan dengan radikalisme, bahkan dengan terorisme.
Alhasil, sekularisme yang melahirkan kebebasan (liberalisme) justru merupakan pangkal kesesatan. ========++++========
NEGARA WAJIB MENJAGA AKIDAH UMAT
Buletin Kaffah No. 299 (12 Dzulhijjah 1444 H/30 Juni 2023 M)
Akhir-akhir ini publik sedang dihebohkan oleh berita tentang Pondok Pesantren Al-Zaitun pimpinan Panji Gumilang yang berlokasi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Banyak pihak menilai Al-Zaytun dan Panji Gumilang telah menyimpang dari ajaran Islam. Berita heboh dimulai saat beredar video pelaksanaan Shalat Idul Fitri di Al-Zaytun yang memperlihatkan adanya sosok wanita di shaf paling depan yang sejajar dengan shaf laki-laki. Video lainnya memperlihatkan Panji Gumilang mengucapkan salam di hadapan jamaahnya dengan ucapan salam yang diduga khas Yahudi. Ada pula cuplikan video ceramah Panji Gumilang yang mengklaim bahwa al-Quran bukanlah firman Allah SWT, tetapi ucapan Nabi Muhammad saw. yang berasal dari wahyu Allah SWT. Klaim ini terkonfirmasi juga saat wawancara eksklusif Panji Gumilang dengan SCTV baru-baru ini. Selain itu, dari berita yang beredar, Al-Zaytun dan Panji Gumilang disinyalir terafilisasi dengan NII KW-9 yang juga dianggap gerakan yang menyimpang.
Aliran Sesat di Indonesia
Di Indonesia, aliran sesat memang cukup banyak bermunculan. Sebagian ada yang hilang, namun kemudian muncul lagi dengan nama baru. Berdasarkan catatan MUI pada tahun 2016 saja sudah ada lebih dari 300 aliran sesat di Indonesia (Cnnindonesia.com, 2/1/2016). Di antaranya yang sudah resmi difatwakan sesat oleh MUI adalah: Ahmadiyah yang mentahbiskan pendirinya (Mirza Ghulam Ahmad) sebagai nabi; Lia Eden atau Salamullah yang didirikan oleh Lia Aminuddin, yang mengaku pernah bertemu dengan Malaikat Jibril; Al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Moshaddeq yang mengaku sebagai nabi; Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dianggap meneruskan ajaran Al-Qiyadah al-Islamiyah; Kerajaan Ubur-ubur di Serang Banten; Puang Larang/Tarekat Tajul Khalwatiyah Syekh Yusuf Gowa. Adapun Al-Zaytun, meski sudah berdiri lebih dari 20 tahun, belum secara resmi dinyatakan sesat oleh MUI.
Pertanyaannya: apa kriterianya sebuah aliran dianggap sesat? Pada tahun 2007 MUI Pusat mengeluarkan rekomendasi/fatwa tentang 10 kriteria sebuah aliran dianggap sesat/menyimpang. Kesepuluh kriteria tersebut adalah: 1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6; 2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah; 3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; 4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran; 5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan Hadis Nabi saw. sebagai sumber ajaran Islam; 7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; 9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; 10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya (Republika.co.id, 26/10/2017).
Melindungi Aqidah Umat
Salah satu peran negara yang paling utama dalam pandangan Islam adalah menjaga dan melindungi aqidah/keyakinan umat Islam. Munculnya banyak aliran sesat di Indonesia jelas menunjukkan bahwa negara saat ini tidak hadir dalam menjaga dan melindungi aqidah umat Islam. Padahal aliran-aliran sesat itu telah memakan banyak korban dari kalangan umat Islam. Mereka banyak yang akhirnya tersesat/menyimpang dari aqidah Islam yang lurus, bahkan murtad dari Islam.
Mengapa negara terkesan tidak hadir untuk menjaga dan melindungi aqidah umat Islam? Tidak lain karena negara saat ini menganut dan menerapkan aqidah sekularisme. Sekularisme hakikatnya adalah aqidah sesat. Pasalnya, sekularisme adalah aqidah yang meyakini agama harus dipisahkan dari urusan negara. Dalam negara sekuler, negara tidak boleh campur-tangan dalam urusan keyakinan warga negaranya. Andai ada warga negara yang gonti-ganti agama/keyakinan, negara tak peduli. Negara pun tak akan peduli andai banyak Muslim yang murtad dari Islam, termasuk menganut aliran sesat.
Padahal dulu Rasulullah saw.—sebagai kepala negara—sangat tegas terhadap aliran yang menyimpang. Sebagaimana diketahui, dalam sejarah Islam, pernah muncul seorang yang mengklaim sebagai nabi (nabi palsu). Dia adalah Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah Sang Pendusta). Nama aslinya Musailamah bin Habib dari Bani Hanifah. Berbagai cara dilakukan Musailamah untuk mengukuhkan posisinya. Salah satunya mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad saw. Dalam surat itu, Musailamah meyakinkan bahwa dirinya adalah seorang nabi dan rasul Allah juga, sama seperti Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad saw. kemudian mengirimkan surat balasan untuk Musailamah. Sebagaimana dikutip dalam Sirah Ibnu Ishaq, berikut surat balasan Nabi Muhammad saw.: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah sang Pendusta. Keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk (QS Thaha: 47). Sungguh bumi ini adalah milik Allah. Allah mewariskan bumi ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, 2/601).
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada akhir tahun ke-10 Hijrah. Namun demikian, balasan surat Nabi Muhammad saw. itu sedikitpun tidak mengubah keyakinan dan semangat Musailamah untuk menyebarkan ajarannya. Bahkan ‘dakwah’ Musailamah semakin aktif setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Akibatnya, propaganda yang disebarluaskan Musailamah itu mempengaruhi stabilitas pemerintahan Islam pasca Rasulullah saw., yakni pemerintahan Islam di bawah Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra. Karena itu di bawah komando Khalifah Abu Bakar ra., pasukan kaum Muslim kemudian menumpas Musailamah dan pengikutnya dalam Perang Yamamah (12 H) (Al-Mubarakfuri, Ar-Rahîq al-Makhtûm, hlm. 416).
Sebetulnya, selain Musailamah, di era pemerintahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin dan era setelahnya, masih banyak orang yang menyebarkan aliran sesat/menyimpang. Rata-rata mengklaim sebagai nabi. Mereka sebelumnya adalah Muslim, lalu menyimpang dari ajaran Islam. Disebutkan dalam Nihâyat al-'Alam karya Muhammad al-'Arifi bahwa selain Musailamah, ada beberapa nabi palsu yang hidup pada zaman Rasulullah saw. dan para khalifah sepeninggal beliau. Semuanya diperangi oleh negara, tentu setelah sebelumnya mereka diminta untuk bertobat dan kembali ke dalam pangkuan Islam, tetapi mereka menolak.
Sekularisme Pangkal Kesesatan
Sekularisme (aqidah yang memisahkan agama dan kehidupan) yang dianut dan diterapkan di negeri ini sesungguhnya adalah pangkal kesesatan. Dari aqidah ini lahir sistem demokrasi yang menjamin kebebasan (liberalisme). Di antaranya kebebasan beragama. Ini tidak ada masalah. Sebabnya, dalam Islam pun setiap orang bebas memeluk agama. Setiap orang tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Allah SWT berfirman:
لاَ إَكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ
Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Islam) (TQS al-Baqarah [2]: 256).
Masalahnya, dalam demokrasi, kebebasan beragama tak hanya dipahami sebagai kebebasan untuk memeluk agama tertentu. Namun faktanya, demokrasi juga menjamin kebebasan orang untuk gonta-ganti agama, termasuk murtad dari agama Islam. Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah (HR al-Bukhari).
Demokrasi juga menjamin kebebasan bagi siapapun untuk menyelewengkan ajaran agamanya. Buktinya, munculnya ratusan aliran sesat, termasuk yang menistakan ajaran Islam, terkesan seolah dibiarkan. Belum lagi munculnya beragam pemikiran liberal yang juga sesat dan menyesatkan. Misalnya saja pemikiran tentang pluralisme agama, yang memandang semua agama sama. Juga pemikiran tentang toleransi beragama yang kebablasan, yang melahirkan sinkretisme (campur-aduk) agama seperti doa bersama lintas agama, dll. Semua seolah dibiarkan oleh negara atas nama demokrasi dan kebebasan.
Di sisi lain, sikap untuk berpegang teguh pada akidah Islam yang lurus, termasuk pada identitas Islam, keinginan untuk hidup diatur oleh syariah Islam secara kâffah, termasuk mengkaji dan mengajarkan ajaran Islam tentang Khilafah, acapkali dicap sebagai radikal, atau dikaitkan dengan radikalisme, bahkan dengan terorisme.
Alhasil, sekularisme yang melahirkan kebebasan (liberalisme) justru merupakan pangkal kesesatan.
Pentingnya Berpegang Teguh pada al-Quran dan as-Sunnah
Di antara dampak buruk sekularisme yang diterapkan di negeri ini adalah menjadikan banyak kaum Muslim tidak lagi berpegang teguh pada agamanya. Mereka tidak lagi berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah. Akibatnya, banyak kaum Muslim mudah tersesatkan dari agamanya. Padahal Rasulullah saw. telah menegaskan, saat berkhutbah pada Haji Wada’:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Wahai manusia, sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian suatu perkara yang jika kalian pegang teguh niscaya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Berpegang teguh pada al-Quran bermakna menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup. Sikap ini meniscayakan antara lain: Pertama, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59). Kedua, menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai standar halal-haram, benar-salah, dan baik-buruk. Artinya, yang wajib dijadikan tolok ukur adalah apa saja yang diputuskan dan dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunnah (Lihat: QS asy-Syura [42]: 10). Ketiga, mengamalkan seluruh kandungan al-Quran dan as-Sunnah dalam seluruh aspek kehidupan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
---*---
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. (TQS Ali ‘Imran [3]: 85). []
4 notes · View notes