RESOLUSI BULAN SYAWAL
Lebaran baru saja berlalu. Dua hari setelah hari raya, setelah usai semua pesta dan agenda silaturahmi, kami kembali ke rumah dengan tubuh yang lelah.
Malam ini, saya dan Rizqa duduk berdua di ruang tengah. Kami menyadarkan punggung di sofa yang menghadap ke layar televisi yang mati. Kalky dan Kemi sudah tidur sejak sejam lalu.
“Pi, lebaran itu capek, ya?” Tanya Rizqa.
Saya membetulkan posisi duduk saya, lebih mendekat pada Rizqa, “Iya, perut nggak enak banget. Kayaknya semua jenis makanan masuk dan bikin kekacauan di sistem pencernaan.” Jawab saya sambil menepuk-nepuk perut yang kembung.
Rizqa tersenyum. “Aku punya permintaan,” katanya kemudian, “Boleh?”
Saya memerhatikan wajahnya yang jadi tampak serius. Kemudian menganggukkan kepala.
“Kayaknya kita perlu bikin semacam resolusi bulan syawal, deh.” Ujarnya.
Saya terdiam beberapa saat, “Buat apa?” Saya merasa perlu memperjelas semuanya. Penasaran aja.
Rizqa menggelengkan kepala. “Nggak buat apa-apa, sih,” ia mengangkat punggungnya dari sandaran sofa, “Biar tahun ini lebih baik aja,” sambungnya, “Tahun depan, setelah lebaran, kita periksa lagi apakah kita bisa mencapai semua yang kita rencanakan?”
Saya suka idenya. Meski sebenarnya saya tidak terlalu suka resolusi awal tahun, karena lebih sering cuma jadi basa-basi… Tapi rasanya kali ini menarik juga buat dicoba. Paling tidak, jika memang tidak kami jalankan secara sungguh-sungguh, obrolan tentang resolusi ini akan jadi obrolan yang menarik. Kenapa? Ya, menarik aja jadi punya “us time” suami-istri setelah lebaran, ngobrol berdua tentang masa depan, meski cuma di sofa ruang tengah—di depan layar TV yang mati.
“Oke, aku setuju,” ujar saya.
“Oke,” sahut Rizqa. “Kita buat daftar aja, gimana?”
“Tulis di HP aja, ya?” Tanya saya. Rizqa mengangguk. “Nanti aku kirim lewat e-mail biar kita simpen sama-sama,” lanjut saya.
“Nomor satu…” Rizqa memulai daftarnya. Saya mulai mengetik angka satu di aplikasi pembuat catatan.
“Bahagia itu sederhana, tapi mahal. Kita perlu lebih banyak menabung.” Ujar Rizqa.
Saya mencatatnya sambil tersenyum. “Keren kalimatnya,” ujar saya.
Rizqa nyengir. “Perlu penjelasan?” Tanyanya.
Saya mengangguk.
“Oke,” katanya, “Bahagia itu kita yang nentuin. Kita yang rasain. Tergantung seberapa bersyukur kita pada apa-apa yang sudah kita miliki dan apa yang kita dapatkan. Tapi untuk memiliki sesuatu dan untuk mendapatkan sesuatu, lebih sering kita perlu membayarnya. Dan itu harganya mahal.”
Saya mengerutkan dahi, memberi isyarat tidak setuju. “Mahal bukan cuma soal uang,” sambung Rizqa, “Mahal adalah soal seberapa besar yang kita korbankan. Bisa waktu, misalnya. Kamu ngorbanin waktu untuk kerja, dikurangi, agar bisa lebih banyak main sama anak-anak… Itu sederhana, tapi mahal. Kita perlu lebih sering punya waktu berdua. Itu sederhana. Tapi mahal karena harus mengorbankan ego masing-masing untuk saling ngerti dan saling memahami.” katanya.
Saya tersenyum. “Setuju,” jawab saya. “Tapi apa yang harus kita tabung?”
“Nomor dua,” sahut Rizqa. Saya kembali mencatat. “Kita perlu lebih banyak menabung pahala, kesabaran, kebahagiaan, rasa saling percaya, rasa saling mengerti, dan hal-hal baik lainnya.”
Saya mengangguk-angguk.
“Langsung aja ke nomor tiga, yang tadi nggak perlu penjelasan, kan?” sahut Rizqa.
Saya mengiyakan.
“Nomor tiga…” Rizqa tampak berpikir sejenak. “Lebih banyak berbagi sama orang lain.” Katanya kemudian.
“Berbagi kebaikan dan kebahagiaan?” Saya ingin memastikan.
“Iya,” jawab Rizqa, “Tapi juga berbagi dalam arti yang sebenarnya. Kita banyakin sedekah, jangan lupa zakat, dan nggak ragu buat berbagi apapun yang Allah karuniakan lebih buat kita. Setuju?”
Saya hanya melongo. “Oke,” ujar saya. “Yang ini, aku harus lebih banyak diingetin. Ingetin kalo lagi pelit, ya?”
Rizqa mengangguk. “Ingetin aku juga,” Pintanya.
Saya mengangkat jempol saya.
“Kita bikin berapa nomor?” Tanya saya.
“Jangan banyak-banyak,” jawab Rizqa, “Lima aja, deh…”
“Oke, lima,” saya mencatat nomor empat dan lima, “Apa nomor empat dan lima?” Saya sudah siap mencatat poin-poinnya.
“Kamu aja yang bikin poin empat dan lima,” Rizqa tersenyum lebar, kemudian duduk mendekat pada saya, mengintip catatan di handphone saya.
Saya menarik nafas. Berpikir tentang apa saja. Menyipitkan mata dari cahaya layar handphone yang agak menyilaukan.
“Nomor empat,” ujar saya sambil mencatat, “Keluarga selalu jadi pertanyaan nomor satu setiap kali akan membuat keputusan tentang segala sesuatu.”
“Setuju,” kata Rizqa, “Di situ kita bisa saling ngingetin dan saling jaga perasaan semua anggota keluarga.”
Saya mengangguk.
“Nomor lima?” Tanya Rizqa.
Saya tersenyum nakal. “Ini yang paling penting,” jawab saya. Rizqa tampak penasaran. “Hal-hal yang belum termasuk dalam poin 1-4 akan didiskusikan dengan prinsip saling memahami dan menghargai. Jika terjadi ketidaksepahaman, kembali ke poin nomor satu.” Saya baru mengucapkannya. Belum menuliskannya.
Rizqa tertawa. Saya tertawa. “Oke, tulis itu,” sahut Rizqa.
“Oke,” saya kemudian menuliskannya di catatan.
“Selesai.” Saya menunjukkan layar handphone saya pada Rizqa. Kini ia duduk dekat sekali di samping saya.
Rizqa tampak membacanya satu per satu. Ia mengangguk-angguk. “Kirim ke e-mail-ku ya?” Pintanya.
“Siap!” Jawab saya.
Demikianlah. Malam itu kami membuat semacam resolusi bulan Syawal. Lima hal sederhana yang kami sepakati bersama. Mudah-mudahan kami bisa melakukan dan mencapai semuanya dengan baik. Jika pun tidak, atau jika karena satu dan lain alasan kami melupakannya, percakapan ini telah menjadi salah satu percakapan berharga buat kami.
Jadi, apa resolusi Syawal Anda tahun ini?
Melbourne, 3 Syawal 1436 H
FAHD PAHDEPIE
– Penulis buku Rumah Tangga (PandaMedia, Juli 2015)
125 notes
·
View notes