Tumgik
izumachi · 2 years
Text
Itsuka Tsubomi ga Saku (Saat Kuncup Mekar)
Oleh Izumachi
“Setiap orang punya kuncup di dalam dirinya, dan kuncup itu memilih waktunya sendiri untuk mekar.”
Bab 3 - Dia
KRIIIING
Bel yang menandakan waktu istirahat telah berbunyi. Para siswa memberikan ucapan terima kasih kepada guru mereka. Tepat setelah Akagi-sensei meninggalkan ruang kelas, beberapa siswa menghampiri Senri. Mereka bertanya banyak hal tentangnya.
“Ne ne, Yoshida-san, bagaimana rasanya tinggal di Amerika?”
“Tidak jauh berbeda dengan di Jepang.”
“Apa kamu tinggal di New York?”
“Tidak. Kami tinggal di California, daerah pinggiran kota dekat pantai.”
“Apa kamu pernah bertemu artis Hollywood?”
“Aku pernah bertemu Justin Bieber, tapi hanya melihatnya dari jauh.”
“Maji de? Sugoi! ”
Mereka kompak berdecak kagum mendengar jawaban Senri, membuat bangku di sampingnya semakin ramai. Asahi lalu berniat untuk pergi, namun ia urungkan ketika mendengar salah satu mereka melontarkan pertanyaan pada Senri yang membuatnya penasaran.
“Oh iya, tadi kamu bilang sempat bersekolah di sini, kan? Kamu sekolah di mana?”
“Aku di sini hanya sampai kelas lima sekolah dasar. Aku bersekolah di SD Himawari.”
Asahi membelalakkan matanya mendengar jawaban Senri. Tak salah lagi, itu adalah SD yang sama tempat ia dan Reo menempuh pendidikan dasar. Ia semakin meyakinkan bahwa gadis ini adalah dia. Seingatnya anak itu juga menghilang saat mereka kelas lima. Dan tak ada yang tahu ke mana dia pergi.
Tanpa menunggu lagi, Asahi akhirnya keluar kelas untuk mencari Reo.
Bukan hal sulit untuk mencari Reo. Di koridor, dia melihat banyak gadis berkumpul. Mereka sangat berisik dengan suara melengking yang dibuat-buat. Dan yang menjadi pusat perhatian mereka tentu saja Sang Idola Sekolah, Reo Eguchi.
Asahi lantas menghampirinya, namun Reo tak langsung menyadari kehadiran Asahi. Dia masih sibuk membual di depan gadis-gadis itu.
“Oi, teme !”
Suara berat Asahi akhirnya berhasil mengalihkan perhatiannya. Namun tak hanya Reo, para gadis itu pun juga menyadari kehadiran Asahi. Spontan mereka menjauh darinya karena takut.
“Oh, Asahi! Aku tadi mau ke kelasmu, loh. Tapi gadis-gadis ini mengajakku berbicara sebentar,” Reo dengan santai menyapa temannya itu, “kau tidak perlu repot menyusul– UKH!”
“KYAAA! REO-KUN!”
Tiba-tiba tangan Asahi mencengkeram kerah baju Reo dan menariknya. Hal itu tentu saja membuat para pengikut Reo berteriak histeris, khawatir jika idola mereka tersakiti. Namun Reo mencoba menenangkan mereka dengan tersenyum, mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja.
Asahi tak memedulikan teriakan mereka justru menyeret Reo dengan kasar, “Ikut aku.”
Sedangkan gadis-gadis itu hanya bisa melepas kepergian Reo dengan wajah pucat.
Asahi lalu melepaskan tangannya dari kerah Reo saat mereka sampai di depan kelas 2-1. Namun mereka hanya berdiri di depan pintu kelas. Reo tak mengerti dengan maksud sahabatnya ini dan hendak menanyakannya. Namun Asahi lebih dulu membuka mulutnya.
“Dia kembali.”
“Eh?”
Masih tak paham dengan maksud Asahi, Reo kemudian mengikuti arah pandang Asahi. Pandangannya mengarah pada siswa yang duduk di bangku paling belakang. Dia dikelilingi oleh beberapa siswa lain. Gadis dengan rambut hitam panjang itu kemudian tertawa entah karena apa. Tiba-tiba ia merasa menemukan sesuatu yang telah hilang. Tawa yang begitu ia rindukan. Tawa yang tak pernah berubah.
“Murid baru itu. Dia baru pindah dari Amerika, tapi lahir dan sempat tinggal di Jepang. Dia dulu bersekolah di SD Himawari hingga kelas lima,” Asahi menjelaskan sambil memperhatikan raut wajah Reo yang tampak menahan napas, “namanya Senri Yoshida.”
Seketika bahu Reo melemas mendengar Asahi menyebut nama itu. Kepalanya mendadak kosong. Ia tak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Nama itu terus berputar dalam otaknya. Lalu bayangan seorang anak perempuan dengan pipi tembam dan rambut hitam berponi yang sedang tersenyum padanya kembali terlintas. Mata itu, hidung itu, hingga lengkungan bibirnya saat tersenyum sama persis.
“Se-Senri-... chan ?”
Reo yakin bahwa itu dia. Gadis yang sangat berarti dalam hidupnya namun tiba-tiba menghilang. Kini dia kembali dan berada dalam jangkauannya. Ya, Senri-nya telah kembali.
PUK
Pemuda itu merasakan tepukan di bahunya. Ia menoleh mendapati sahabatnya tengah memberinya tatapan meyakinkan. Asahi kemudian mendorong punggung Reo.
“Temui dia.”
Meski ragu, Reo tetap melangkah maju. Matanya tak lepas dari paras ayu gadis itu. Kali ini ia menyadari bahwa Senri sudah banyak berubah secara fisik. Rambutnya yang dulu pendek kini telah memanjang, wajahnya menjadi tirus, dan badanya lebih kurus. Namun sebanyak apa pun dia berubah, Reo akan tetap mengenalinya.
Karena baginya, Senri tetaplah Senri. Dia adalah gadis yang telah mencuri hatinya sejak enam tahun lalu. Cinta pertamanya hingga sekarang.
Tak ada yang menyadari kehadirannya hingga salah satu dari mereka menyapanya, “Reo-kun!”
Otomatis semua mata kini tertuju padanya, termasuk Senri. Mata mereka pun akhirnya bertemu. Jantungnya serasa berhenti berdetak selama beberapa detik. Awalnya Reo berharap Senri akan langsung mengenalinya, tapi sepertinya tidak begitu. Senri justru menatapnya dengan tatapan bertanya.
Berusaha mempertahankan ketenangannya, Reo melebarkan senyumnya seperti biasa. Ia berjalan dengan satai mendekati bangku Senri. Gadis-gadis itu kegirangan ketika Reo ikut berkumpul dengan mereka. Padahal Reo berharap hanya Senri yang menyambutnya seperti itu. Namun sayang, orang yang diharapkan hanya diam dan acuh.
“Yaaa~ aku penasaran dengan murid pindahan yang katanya dari luar negeri,” Reo kini berada tepat di hadapan Senri, “ternyata Senri-chan!”
Senri merasa tak nyaman dipanggil seperti itu oleh orang asing, terlebih seorang lelaki, “Maaf?!”
“Eh, kalian saling kenal?!” siswi lain ikut penasaran dengan hubungan mereka.
“Oh, jangan bilang kalau kamu lupa,” pemuda itu semakin mencondongkan tubuhnya, memperpendek jarak mereka “kamu dulu bersekolah di SD Himawari, ‘kan?”
Senri justru menjauhkan dirinya. Dengan raut wajah yang mulai tak nyaman, dia hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Aku juga sekolah di sana! Kamu ingat aku? Reo, Reo Eguchi. Kita dulu sering memberi makan kelinci bersama sepulang sekolah. Ingat?” mata Reo berbinar menatap Senri, berharap bahwa Senri akan mengingatnya. Namun jawaban Senri mematahkan harapannya.
“Ma-Maaf, aku tidak ingat. Aku tidak banyak memiliki kenangan saat di Jepang dulu,” Senri tersenyum canggung.
Reo sebenarnya masih ragu jika Senri benar-benar melupakannya. Dirinya bahkan tak pernah melupakan kenangan mereka. Setiap detik, setiap peristiwa terpatri dalam memorinya. Karena baginya kenangannya dengan Senri adalah sesuatu yang paling berharga yang pernah ia alami dalam hidupnya.
Atau Senri sejak awal tak pernah menganggapnya berharga? Sehingga dengan mudah ia melupakannya?
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam benak Reo. Hatinya terasa dihempas dari ketinggian. Kecewa, tentu saja. Tapi dia tak ingin berhenti berharap. Karena Senri sudah di sini. Ia tak perlu menunggu lagi, ataupun mencarinya hingga ke ujung dunia. Takdir membawanya kembali di hadapannya. Sekali lagi, dia ingin memastikan perasaan Senri.
Senyum kembali tersungging di wajah tampan itu. Reo berusaha menyembunyikan raut kecewanya. Dia tak ingin terlihat payah di depan Senri. Sebesar apa pun keinginan Reo agar Senri ingat dengannya, dia tak ingin membuat Senri merasa tidak nyaman. Atau bahkan melihatnya sebagai pria aneh yang suka memaksakan kehendak. Setidaknya Senri tidak membencinya karena itu.
“Tidak apa-apa. Aku akan berusaha membuat Senri-chan ingat padaku!”
Wajah Senri memucat melihat tatapan optimis Reo, “Ti-Tidak perlu seperti itu!”
“Hmm... Aku yakin itu hanya modus.”
“Benar. Sangat Reo-kun!”
“Hey, kalian! Jangan meledekku di depan Senri-chan!”
Mereka semua akhirnya tertawa tanpa mengetahui Senri tengah meremas kedua tangannya yang berkeringat dingin di bawah bangkunya.
つづく。。。
1 note · View note
izumachi · 2 years
Text
Itsuka Tsubomi ga Saku (Saat Kuncup Mekar)
Oleh Izumachi
“Setiap orang punya kuncup di dalam dirinya, dan kuncup itu memilih waktunya sendiri untuk mekar.”
Bab 2 – Si Murid Baru
Tahun ajaran baru biasanya dimulai pada awal bulan April. Upacara penerimaan siswa baru selesai dilaksanakan. Gedung aula hingga lapangan sekolah SMA Kirisaki dipenuhi oleh ratusan siswa-siswi, tidak hanya murid baru tetapi ada juga murid kelas dua dan tiga yang juga mengikuti upacara.
Suasana riuh mewarnai pagi ini. Para siswa itu seharusnya langsung kembali ke kelas masing-masing setelah upacara, tapi banyak dari mereka lebih memilih berkumpul di luar untuk sekedar saling bertegur sapa. Suara tawa dan canda mendominasi kebisingan. Mereka semua terlihat bahagia dalam menyambut jenjang baru.
Namun ada satu kerumunan yang berbeda, menarik perhatian sekitarnya. Seorang pemuda dengan berperawakan tinggi berjalan dengan percaya diri, sedangkan ada puluhan siswi yang mengikutinya. Wajah tampan dan senyum ramahnya seakan menjadi magnet misterius, khususnya bagi kaum hawa. Para siswi yang mengikutinya itu tak lain dan tak bukan adalah para penggemarnya. Bahkan para siswa baru langsung menatapnya dengan penuh kekaguman.
Siapa yang tak kenal Reo Eguchi? Selain sebagai kapten klub renang, Reo juga terkenal karena wajahnya yang rupawan, tubuh yang proporsional, prestasi cemerlang, serta sifatnya yang ramah (terutama kepada para wanita) dan pandai bergaul. Walau bukan seorang idol yang sering muncul di televisi, tak heran jika banyak siswi yang mengidolakannya.
“Reo-kun di kelas 2-3, kan?” tanya salah satu gadis yang tadi berada di belakang Reo, dia kemudian mempercepat langkahnya dan mencoba menyelaraskan langkahnya dengan pemuda itu.
Tak mau kalah, gadis lain pun berbondong-bondong melakukan hal yang sama. Mereka juga ingin berjalan di samping pujaan hati mereka.
“Aku juga di kelas 2-3, loh, Reo-kun. Yoroshiku nee!”
“Reo-kun, aku juga! Nanti aku duduk di dekat bangku Reo-kun ya?!”
“Enaknya bisa sekelas dengan Reo.”
“Yah... Sayang sekali tahun ini aku tidak sekelas lagi dengan Reo-kun.”
“Beruntung bagi kelas dua masih punya kesempatan untuk bertemu dengan Reo sampai tahun depan. Sedangkan siswa kelas tiga seperti kita akan segera lulus.”
“Benar.”
Reo hanya tertawa maklum mendengarnya. Hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Selagi para siswi ini sibuk mengobrol, diam-diam Reo menyusup keluar dari kerumunan. Berusaha agar mereka tak menyadarinya. Jika tidak, para gadis itu akan membuntutinya lagi.
Awalnya Reo berniat untuk langsung menuju ruang kelasnya, namun langkahnya berhenti ketika melihat seseorang yang begitu dikenalnya. Ia lalu menghampirinya, “Oi, Asahi! Kau di kelas mana?”
Pemuda yang disapa Asahi itu menoleh pada Reo dengan malas. Berbeda dengan Reo yang berpenampilan rapi, Asahi justru berpenampilan acak-acakan seperti tidak memakai dasi, atasan dikeluarkan, lengan baju digulung hingga siku, dan bajunya tidak dikancingkan dengan benar.
“Kelas 2-1,” jawab Asahi.
“Hwaaa! Lagi-lagi aku tidak sekelas dengan Asahi!”
“Syukurlah.”
“Hei!”
Selain digandrungi para kaum hawa, Reo juga memiliki banyak teman lelaki. Tetapi ada satu orang yang paling dekat dengannya sejak kecil, namanya Asahi Michieda. Berbanding terbalik dengan Reo, Asahi justru terkenal sebagai preman sekolah yang sering berbuat gaduh. Sifatnya yang kasar dan terkadang temperamental membuatnya dijauhi oleh siswa lainnya. Bahkan para guru sudah menyerah untuk memperbaiki sikapnya.
Banyak yang tidak menyangka jika seorang Reo bisa akrab dengan si preman itu. Padahal Asahi sering kali mengabaikannya saat mereka bertemu. Atau jika sikap Reo membuatnya kesal, dia tak sungkan untuk memukulnya. Tapi Reo tak peduli. Baginya, Asahi tetaplah satu-satunya sahabat yang ia percaya.
Sejak di bangku taman kanak-kanak, mereka selalu bersama. Namun sayangnya meski mereka satu sekolah, mereka tidak pernah sekelas. Tahun ini pun begitu.
Mereka lalu berjalan menuju kelas mereka yang terletak di lantai dua gedung sekolah. Kebetulan jarak kelas mereka berdekatan. Selama perjalanan, tak sedikit gadis yang menyapa Reo dan hendak mengikutinya. Namun niat itu langsung mereka urungkan begitu melihat Asahi yang berjalan di sampingnya. Dalam hari Reo berterima kasih pada sahabatnya itu. Berkat Asahi, dia bisa bernapas lega sebentar.
“Oh ya, Asahi. Tadi aku dengar dari para gadis, katanya ada murid pindahan di kelasmu. Dari luar negeri,” Reo memberitahu Asahi seolah-olah itu adalah informasi yang sangat menarik.
Namun sayangnya Asahi hanya menguap bosan, tak tertarik dengan informasi yang diberikan Reo.
“Kalau murid pindahannya gadis cantik, kenalkan padaku, ya?”
Yang dimintai hanya memutar bola matanya, “urus urusanmu sendiri.”
“Ayolah~!” Tanpa menyerah, dia masih mengikuti Asahi.
Mulai muak dengan tingkah laku Reo, Asahi mendorongnya agar menjauh. Namun Reo hanya tertawa dan kembali mengikutinya hingga di depan kelas.
BRAK
Asahi melampiaskan rasa kesalnya pada Reo dengan membuka pintu kelas secara kasar. Sontak beberapa siswa yang sudah berada di kelas itu terkejut dan mengalihkan perhatiannya pada si pelaku. Namun tak ada satu pun dari mereka yang berani protes ketika tahu siapa pelakunya. Suasana kelas sebelumnya tenteram, tiba-tiba jadi tegang saat Asahi memasuki kelas. Dia lalu mengambil tempat duduk paling belakang dekat jendela.
“Ohayou, minna !”
Namun ketegangan itu seketika mencair begitu Reo yang masih mengikuti Asahi memasuki kelas menyapa mereka.
“Ohayou!” jawab mereka kompak dengan wajah berseri.
Reo kemudian menghampiri salah satu dari mereka. Siswa berkepala hampir plontos yang duduk di baris kedua paling depan. Dia merupakan salah satu anggota klub renang, namanya Hiromi Sato, “Sato, mana anak pindahan itu?”
“Belum datang. Mungkin nanti datang bersama wali kelas,” jawab Sato.
“Hmm... Benar juga,” Reo sadar bahwa ini bukan waktu yang tepat, “nanti saja waktu istirahat aku ke sini lagi.”
“TIDAK PERLU!”
Kembali, seisi kelas dibuat terkejut oleh aksi Asahi. Kali ini dia berteriak marah pada Reo. Meskipun Reo yang menjadi sasaran kemarahannya, namun justru orang lain yang ketakutan.
“Terserahku. Bleh!” tanpa takut, Reo malah membalas Asahi dengan menjulurkan lidahnya. Hal itu justru membuat Asahi semakin naik pitam hingga dia berdiri dari kursinya.
Reo pun buru-buru pergi agar tidak dihajar oleh Asahi.
~°°°~
Suasana kelas semakin ramai sejak kepergian Reo. Siswa lain mulai memasuki kelas ini sehingga ruangan mulai penuh. Sambil menunggu wali kelas datang, mereka melakukan apa saja untuk mengisi kekosongan waktu. Ada yang saling berbincang, ada yang makan, ada bermain, ada pula yang tertidur pulas di bangkunya seperti Asahi ini.
Dia tertidur dalam posisi kepalanya mendongak dengan buku menutupi wajahnya, kedua tangannya dilipat di dada, dan kedua kakinya berada di atas meja. Walau pun kelas dalam keadaan ricuh, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekati Asahi. Mereka tak mau tanpa sengaja mengganggu tidurnya. Mereka masih sayang nyawa.
Tak berapa lama kemudian wali kelas mereka, Akagi-sensei masuk ke kelas bersama seorang gadis yang tak dikenal. Semua mata otomatis tertuju padanya. Gadis itu mengenakan seragam sekolah ini. Dia berdiri tegak di depan kelas dengan wajah tanpa ekspresi. Misterius dan jutek adalah kesan pertama mereka padanya.
Tanpa diperintah, mereka lalu duduk di posisi masing-masing, menunggu Akagi-sensei memperkenalkan anak baru itu.
“Ohayou. Saya Yotsuhiko Akagi, selama setahun ke depan akan bertugas sebagai wali kelas kalian. Douzo yoroshiku.”
Asahi mendengar suara sensei namun dia masih bergeming, bahkan saat siswa lain membalas salam dari wali kelas mereka. Begitu pula dengan Akagi-sensei yang sudah paham dengan kelakuan Asahi, dia kemudian melanjutkan berbicara.
“Lalu ini adalah siswa pindahan yang akan bergabung dalam kelas kita. Silakan perkenalkan diri Anda.”
“Hajimemashite, nama saya Senri Yoshida. Saya pindah dari Amerika. Tapi saya lahir dan sempat bersekolah di Saitama. Yoroshiku onegaishimasu,” Senri mengakhiri perkenalan singkatnya dengan ojigi .
“Hebat, beneran dari luar negeri.”
“Tapi bahasa jepangnya masih lancar, ya?”
“Uwaa... Meccha kawaii .”
Mendengar murid baru itu menyebutkan namanya, membuat Asahi membuka matanya. Ia merasa familier dengan nama itu. Ya, itu adalah nama yang sering di sebut oleh sahabatnya, seorang teman dari masa lalu. Sekali lagi Asahi memastikannya dengan melihat wajah gadis itu. Tapi percuma, Asahi sama sekali tak mengingatnya.
“Yoshida-san bisa duduk di bangku yang masih kosong.”
Asahi melirik bangku kosong di samping kanannya. Hanya tempat itu yang masih kosong, karena tak ada yang mau duduk berdekatan dengan si preman sekolah.
“Doumo. ”
Tanpa ragu, Senri menempati bangku itu dan menyapa Asahi yang duduk di sampingnya. Namun Asahi tak menanggapinya. Malah kembali menopang dagu, mengarahkan pandangannya ke arah jendela.
Reo harus tahu ini.
“Selanjutnya kita akan berdiskusi tentang kepengurusan kelas...”
Akagi-sensei pun melanjutkan homeroom untuk hari ini.
つづく。。。
note: this part 2 hope you like it :)
1 note · View note
izumachi · 2 years
Text
Itsuka Tsubomi ga Saku (Saat Kuncup Mekar)
Oleh Izumachi
“Setiap orang punya kuncup di dalam dirinya, dan kuncup itu memilih waktunya sendiri untuk mekar.”
Bab 1 – Kembali
Pohon sakura berjajar sepanjang jalan. Kelopak bunga merah jambu itu beterbangan dengan bebas terbawa angin, hingga akhirnya terjatuh di atas tanah dan terabaikan. Bulan April memang waktu sempurna bagi bunga kebanggaan Negeri Jepang ini untuk mekar.
Dengan mekarnya bunga sakura ini menandakan bahwa libur musim dingin sudah berakhir. Karena udara mulai menghangat, orang-orang menanggalkan mantel tebal dan syal mereka. Mereka berjalan dengan cepat, mengenakan pakaian yang rapi dan tampak berkelas. Walau kelihatannya acuh terhadap satu sama lain, tetapi mereka saling menghormati.
Seperti sekelompok anak dengan topi kuning ini, mereka menyeberang dengan tertib. Begitu pun dengan para pengendara yang dengan sabar menunggu mereka untuk sampai di seberang jalan. Tak lupa anak-anak itu membungkukkan badan sebagai ucapan terima kasih kepada para pengemudi yang telah memberi mereka kesempatan untuk menyeberang jalan dengan selamat. Walaupun masih duduk di sekolah dasar anak-anak itu sudah menerapkan tertib berlalu lintas dan tak lupa berterima kasih pada orang lain yang telah membantu mereka.
Senri tersenyum melihatnya dari balik jendela mobil. Sungguh pemandangan yang sangat ia rindukan dari tanah kelahirannya. Sebuah tradisi yang mungkin tak akan ia temukan di tempat lain. Adab yang paling sederhana, namun sering terlupa, atau bahkan tidak diajarkan sama sekali di jaman sekarang.
Mobil yang dikendarai oleh ibunya kini kembali melaju. Pandangan Senri tak pernah sedetik pun teralih dari jendela. Kepalanya kembali menguar memori lama yang sempat terpendam. Berusaha membandingkan pemandangan setiap sudut kota yang dulu dalam ingatannya dengan kondisi yang sekarang. Namun tak berhasil, banyak bangunan yang tak ia kenali. Tempat ini sudah banyak berubah.
Tidak ada lagi toko manisan 'Nishimura' di dekat pertigaan jalan. Gedung teater pertunjukan boneka yang biasa ia kunjungi bersama neneknya kini dijadikan sebuah restoran. Bahkan taman bermain tempat ia dulu bermain dengan teman-temannya sekarang dibangun area pertokoan di atasnya. Kota ini menjadi asing baginya.
Tak heran jika Senri sampai tak mengenali kampung halamannya sendiri. Karena sudah hampir enam tahun ia tinggal di luar negeri. Tahun ini ia dan ibunya harus pulang ke Jepang, lebih tepatnya di Prefektur Saitama, karena pekerjaan ibunya sebagai dokter. Mau tak mau Senri juga harus ikut pulang karena tak ingin tinggal sendirian di negeri orang.
Masih memandang ke arah luar, diam-diam gadis bersurai hitam itu menghela napas.
“Kamu marah?” ibunya tiba-tiba bertanya.
Tanpa menoleh, Senri menjawab, “Tidak. Aku hanya bosan mendengar daftar putar Mama. Aku sudah mendengarnya sejak aku lahir.”
Jawaban Senri membuat ibunya tertawa, “Oh maaf, sayang. Lagu-lagu ini selalu membuat Mama bersemangat, jadi Mama tak pernah lupa untuk memutarnya saat perjalanan ke mana pun.”
“Ya, terserah Mama.”
Senri memutuskan untuk mengalah dana kembali diam. Ia membiarkan ibunya untuk kembali fokus menyetir. Sedangkan dia sendiri kini beralih pada ponselnya. Namun tak lama kemudian, laju mobil yang ditumpanginya terasa melambat. Rupanya mereka telah sampai di tujuan, yaitu Sekolah Menengah Atas Kirisaki. Di sini lah Senri akan melanjutkan pendidikannya.
Melihat ibunya yang sudah keluar lebih dulu dari mobil, ia pun mengikutinya. Senri berdiri memandang halaman sekolah yang dipenuhi jutaan kelopak bunga sakura yang berguguran. Tidak ada seorang pun siswa yang berkeliaran di luar. Namun suara keramaian terdengar dari aula sekolah yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Upacara penerimaan murid baru pasti sedang berlangsung.
“Sini, Mama rapikan dasinya,” ibunya kini berdiri di hadapannya. Tangannya dengan lembut merapikan dasi dan seragam baru Senri yang sebenarnya sudah rapi.
Senri hanya diam. Matanya menatap kosong pada karangan bunga yang diletakkan di depan aula sebagai ucapan selamat datang untuk siswa baru. Seharusnya dia juga ikut menghadiri upacara, tapi ibunya tidak memperbolehkan. Dia tahu bahwa Senri tidak akan nyaman di sana.
“Ayo, kita ke ruang kepala sekolah.”
Mereka kemudian berjalan menyusuri lorong. Berdiri di tengah lorong yang panjang dan sepi ini membuat perasaan Senri cemas. Dia ingin cepat-cepat sampai di ujungnya. Tangannya sudah basah oleh keringat ketika mereka berhenti di depan pintu yang bertuliskan 'Ruang Kepala Sekolah'.
Ibunya mengetuk pintu beberapa kali sebelum terdengar suara dari dalam ruangan yang mempersilahkan mereka untuk masuk. Begitu memasuki ruangan, mereka disambut oleh seorang pria tua dengan rambut putih dan keriput di seluruh wajahnya namun memiliki senyum yang berwibawa.
“Selamat datang, Yoshida-san ,” pria itu lalu berjabat tangan dengan ibunya.
Dia lalu mempersilahkan Senri dan ibunya untuk duduk di sofa. Senri tak sepenuhnya memperhatikan percakapan antara kepala sekolah dan ibunya. Ia sibuk memperhatikan sekeliling ruangan, dan perhatiannya jatuh pada lemari kaca yang berisi banyak sekali trofi emas dan medali. Karena penasaran, Senri akhirnya berdiri dan menghampiri lemari kaca tersebut.
Dengan mengamati lebih dekat, dia bisa melihatnya lebih jelas. Ada berbagai bentuk dan ukuran trofi yang dipajang. Senri membaca satu persatu keterangan yang tertulis pada setiap trofi tersebut. Kepala Sekolah yang melihat Senri kemudian menghampirinya.
“Sekolah kami memiliki banyak prestasi terutama di bidang olahraga,” jelasnya, “yang paling menjadi kebanggaan adalah tim renang pria. Mereka hampir setiap tahun menjuarai pertandingan tingkat prefektur, mereka juga pernah sekali memenangkan kejuaraan nasional.”
Senri memperhatikan dengan saksama walaupun dia tidak begitu tertarik.
“Selain renang, di sekolah ini masih banyak kegiatan ekstra kurikuler lainnya. Jika Senri-san tertarik untuk bergabung di salah satunya, nanti bisa dikonsultasikan dengan wali kelas.”
“Senri selama di Amerika menekuni musik. Apa di sini ada klub musik juga, Kouchou-sensei ?” tanya ibu Senri yang tiba-tiba menyela.
“Tentu saja ada. Kebetulan klub musik baru dibentuk tahun lalu. Jadi anggotanya masih sangat sedikit. Mereka pasti akan sangat senang jika Senri-san bergabung dengan mereka.”
Saat di Amerika, Senri mulai belajar musik sebagai salah satu bentuk terapi. Namun dia belum pernah bermain musik di hadapan orang lain selain guru musik dan ibunya.
Tapi mungkin tidak buruk juga jika dia bergabung di klub musik. Dia masih ingin belajar lebih banyak. Lagi pula anggotanya masih sedikit, pasti akan baik-baik saja, pikirnya.
“Akan saya pikirkan lagi.”
Kepala sekolah tersenyum lalu mengangguk. Begitu juga dengan ibunya yang tampak lega. Mereka kemudian kembali melanjutkan obrolan, sebelum seseorang mengetuk pintu ruangan.
“Douzo,” ujar Kepala Sekolah mempersilahkan si tamu untuk memasuki ruangan.
Pintu itu kemudian terbuka, memperlihatkan seorang pria kisaran usia akhir dua puluhan dengan perawakan tinggi, mengenakan setelan hitam, rambut kecokelatannya ditata rapi, dan berkacamata. Dilihat dari penampilannya mungkin salah satu guru di sini.
“Permisi, Kouchou-sensei.”
Kepala sekolah kemudian berdiri dari duduknya, begitu pula dengan Senri dan ibunya.
“Nah, Yoshida-san, Senri-san, ini adalah Akagi-sensei . Beliau adalah guru matematika sekaligus wali kelas dari kelas 2-1 yang akan ditempati Senri-san,” Kouchou-sensei memperkenalkan pria itu pada mereka.
Senri kemudian memberi salam pada wali kelasnya dengan membungkukkan badan, “Hajimemashite, sensei. Yoshida Senri desu. Yoroshiku onegaishimasu.”
Akagi-sensei pun membalas salamnya, “Hajimemashite, Yoshida-san. Douzo yoroshiku.”
Walaupun ekspresinya datar, namun suaranya terdengar lembut. Hal itu membuat Senri sedikit lebih tenang. Setidaknya dia merasa bahwa Akagi-sensei adalah orang yang baik. Tidak seperti wali kelasnya yang dulu.
Kouchou-sensei kemudian menjelaskan bahwa setelah ini Senri akan diantar oleh Akagi-sensei menuju kelas untuk segera mengikuti kegiatan pembelajaran. Mereka lalu keluar dari ruang kepala sekolah. Namun ibu Senri mencegahnya.
Dia menggenggam kedua tangan Senri lalu menciumnya, tatapan matanya menggambarkan kekhawatiran, “Good luck, dear.”
Senri hanya mengangguk dan berusaha tersenyum untuk meyakinkan ibunya. Ini adalah senyum keduanya hari ini, walaupun kali ini dengan sedikit keterpaksaan. Dia hanya tak ingin ibunya terlalu khawatir. Senri sudah berjanji pada dirinya, bahwa mulai hari ini dia akan berusaha lebih keras demi ibunya dan demi dirinya sendiri. Perjuangannya selama delapan tahun tak lain agar dia bisa kembali ke sini.
つづく。。。
note: feel free to comment and like. Hope you like it :)
1 note · View note