Tumgik
ibnufir · 23 hours
Text
Sebab terbukanya pintu rezeki
Salah satu alasan terbukanya pintu rezeki, adalah saat kita mau mulai bergerak.
Rezeki sehat ya bergerak, rezeki pertemanan ya bergerak, pun rezeki keuangan ya dengan bergerak.
Satu langkah yang kita anggap kecil, bisa jadi langkah yang membawa kita semakin jauh.
Satu kepalan tangan yang kita anggap sedikit, bisa jadi ribuan gapaian yang menggunung.
Satu niatan yang berawal dari tangan kosong, bisa jadi membuka begitu banyak kesempatan di depan sana.
Bergerak....
Seorang yang lamban, bisa jadi pelari tangguh kalau mau terus bergerak.
Jangan lihat kecilnya dulu, bergerak aja.
Karena kita tidak pernah tau, rezeki dan kesempatan ada di langkah kita yang ke berapa.
Bisa jadi saat kita jatuh dan butuh pertolongan.
Bisa jadi saat kita tersesat dan tidak tau harus ke mana.
Pun bisa jadi saat kita kebingungan dan tak tahu jalan pulang.
Bergerak aja, siapa tau pertolongan datangnya memang bukan di rumah. Bukan saat kita berdiam diri.
Bergerak aja, sampai kita lupa sedang mengusahakan.
Sampai kita lupa lelahnya berjuang.
Sampai kita lupa begitu menyedihkannya berjalan tanpa tujuan.
Gpp gerak aja...
Sedikit atau banyak, ada hasil atau tidak ada hasil. Tugas kita hanya berusaha.
—ibnufir
87 notes · View notes
ibnufir · 2 months
Text
Menjadi cermin bagi sepasang spion
Punya sepasang anak laki-laki dan perempuan, ibarat punya dua kaca sepion di dalam kendaraan. Lengkap dalam arti pas untuk selalu melihat dua cermin sekaligus.
Jika kaca spion kanan anak laki-laki, dan spion kiri untuk anak perempuan.
Maka sesekali saat melihat kebelakang. Spion kanan anak laki-laki ini ibarat tanggung jawab. Seberapa besar tanggung jawab seorang bapak untuk kehidupan anak-anaknya.
Sedangkan spion kiri anak perempuan ibarat inisiatif. Seberapa besar inisiatif seorang bapak berbagi peran dengan ibuknya.
Meskipun semua ini berlaku untuk keduanya.
Suatu hari, mereka akan bercermin dari spion ini. Mereka akan melihat ke belakang dan meniru bagaimana kedua orang tuanya berprilaku di dalam rumah tangga.
Anak laki-laki akan melihat, bagaiamana seorang bapak mencukupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya.
Kebutuhan yang tidak hanya materi, tetapi juga kebutuhan kebahagiaan batin dan spiritual.
Anak perempuan akan melihat, bagaimana seorang bapak menyeimbangkan tugas dan tanggung jawab istrinya.
Melihat rumah yang berantakan, apakah akan tetap main hape. Melihat pakaian kotor apakah akan tetap tiduran nonton TV.
Ini nanti akan menjadi sebuah validasi kriteria pasangan seperti apa yang dia butuhkan bagi rumah tangganya.
Kedua spion ini akan dibawa sepanjang perjalanan hidup mereka.
Suatu hari mereka akan melihat bagaimana peran ibuknya. Suatu hari mereka akan melihat bagaimana peran bapaknya.
Kita semua pasti pernah mendengar pepatah "Buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya"
Tidak jauh, bukan berati perjalanan yang singkat. Tetapi serangkaian peristiwa panjang.
Seorang anak betul-betul mendikte dari A sampai Z bagaimana kehidupan kedua orangtuanya berjalan.
Maka menjadi bapak perlu berhati-hatilah dalam menyeimbangkan kehidupan, karena kedua spion telah terpasang.
Kedua spion ini merekam, kedua spion ini mencatat dan menyaksikan langsung cermin kehidupan kedua orang tua mereka.
Mereka tidak akan salah melihat.
—ibnufir
53 notes · View notes
ibnufir · 2 months
Text
Surat cinta untuk putriku
Awal tahun ini bikin email untuk anak pertama, saat usianya tiga tahun. Pake namanya sendiri.
Ternyata akun gmail untuk anak bisa dikelola orang tua sampai dengan 13 tahun. Itu artinya, saat usianya 13 tahun anak sudah dibolehkan mengakses emailnya sendiri.
Meskipun saya rasa, usia itu masih belum cukup untuk memahami pesan yang dikirimkan.
Mungkin saat usianya 17 tahun, atau ketika memasuki perguruan tinggi passwordnya akan saya berikan.
Alasan kenapa bikinin email, karena ada banyak sekali pesan dan peristiwa yang terlewat gitu aja.
Pas lihat-lihat kembali galeri foto "loh ini kapan yah, ini di mana, lagi ngapain kita?" Padahal sudah banyak banget fotonya dan bikin galeri penuh.
Ya, hanya sekumpulan foto tanpa cerita.
Ketika sudah besar nanti, disaat kk buka foto-fotonya, buka albumnya waktu kecil, barangkali disaat itu saya akan kebingungan menjelaskan peristiwa detailnya.
Bukan ingin menjadi orang tua yang dianggap perjuangannya.
Tapi lebih ke dia berhak tau aja cerita masa kecilnya, yang suatu saat kita akan lupa dan tidak bisa mengingat semuanya dengan jelas.
Meskipun sudah terlambat, tiga tahun terlewat yang rasanya baru kemarin. Tetapi teramat sulit untuk diceritakan kembali.
Entah akan mengirim berapa banyak surat nantinya. Dan entah dia bakal baca atau engga.
Entah apakah gmail ini dua puluh tahun mendatang apakah masih bisa dipakai.
Saya hanya ingin dia tau perasaan-perasaan yang kami rasakan sebagai orang tua ketika memilikinya.
Betapa berharganya dia dan betapa kami cintainya anugerah yang telah Tuhan titipkan kepada kami.
Sehingga ketika dewasa nanti dia merasa tidak dicintai seperti yang dia inginkan, dia pun tetap bisa melihat bagaimana orang tuannya memberikan kasih sayangnya.
Karena seringkali kita berbeda pandangan perihal bahasa cinta.
Ingin dicintai seperti apa, ingin mencintai dengan cara apa.
Ini baru cerita kakak, belum nanti cerita adek.
Saya hanya bisa membayangkan, saat dewasa nanti mereka bisa bertukar cerita ketika membuka emailnya masing-masing.
Cerita yang mungkin sering mereka jadikan pertimbangan kasih sayang kepada siapa yang lebih besar.
Tetapi ternyata sama berharganya dengan ceritanya sendiri-sendiri.
—ibnufir
78 notes · View notes
ibnufir · 2 months
Text
Memudahkan orang lain, memudahkan hidup kita juga
Pernah engga sih bantuin ceritain jualannya teman? Bukan kita ikut jualan. Tapi sekdar mengenalkan aja.
Cerita ke orang-orang, sekadar posting, rekomendasiin. Nunjukin jasanya sodara, jasanya teman ke orang lain.
Mungkin kita juga pernah sekadar nunjukin jalan ke orang yang lagi kebingungan, mengantar ke alamat tujuan.
Atau mungkin pernah menemukan dompet yang terjatuh, lalu mengembalikannya.
Mungkin juga meminjamkan payung kepada orang yang sedang kehujanan.
Dan barangkali memberikan minum kepada siapapun yang mampir di rumah kita.
Sederhana yah keliahatannya?
Kebaikan-kebaikan kecil yang memudahkan orang lain, sebetulnya sedang memudahkan hidup kita juga.
Meskipun balasannya tidak selalu langsung dari orang yang kita beri kebaikan.
Bisa jadi dalam bentuk bantuan disaat motor kita mogok, ban motor kita bocor. Atau saat kita kehabisan bensin di perjalanan.
Saat kita butuh pertolongan, tau-tau ada saja bantuannya entah dari mana.
Jika hidup ini memang seperti roda berputar. Maka jangan bikin rodanya macet.
Memudahkan orang lain, berati sedang membuat roda hidup kita berputar sebagaimana mestinya.
Kalau ada yang mandek di hidup kita, kalau ada yang bikin kita berhenti di situ-situ aja.
Bisa jadi memang ada sesuatu yang kita tahan-tahan.
Sesuatu yang semestinya kita mudahkan. Sesuatu yang semestinya kita percepat. Sesuatu yang semestinya kita segerakan.
Tetapi tidak pernah kita lakukan kebaikannya. Kebaikan yang selalu kita tunda-tunda.
—ibnufir
251 notes · View notes
ibnufir · 3 months
Text
Berumah tangga, bukan soal rumah yang selalu rapih
Sedang di fase penyesuaian baru dalam pernikahan. Bertambah keturunan, bertambah pula amanah yang diemban.
Ada begitu banyak penyesuaian yang saat ini betul-betul butuh menurunkan ego.
Berbagi peran satu sama lain, yang kadang bikin kepala lebih keras. "Harusnya aku engga gini, tugasku bukan ini"
Menjadi suami siaga yang bilang gpp kalau harus nyuci baju, yang mau bilang gpp kalau harus nyetrika, cuci piring dan harus masak.
Ketika adek kecil menangis, kakaknya juga ikut menangis. Sama-sama minta digendong, sama-sama minta didekap.
Kalau bukan karena kasih sayang, tidak mungkin semua bisa berjalan tenang.
Yang ada pasti saling menggantungkan. "Kamu aja"
Padahal pernikahan ini milik bersama, butuh hati yang saling menguatkan.
Ternyata pembagian peran di dalam rumah tangga yang menanangkan itu fleksibel.
Pembagiannya tidak harus selalu sama. Dan mungkin akan terus berubah, bergantian.
Jika hari ini istri mengerjakan tugasnya, maka esok hari mungkin tidak sempat lagi. Suami butuh menggantikan perannya.
Gpp jika suami harus bangun tengah malam buat gendong. Gpp jika suami menyuapi, dan memandikan.
Sebab berumah tangga, bukan soal rumah yang selalu rapih.
Berumah tangga bukan soal tidur yang selalu pulas.
Berumah tangga, bukan soal membangun atap yang paling kokoh.
Tetapi perihal menguatkan punggung dan meredakan tangis satu sama lain.
Tidak ada pondasi yang paling kuat di dalam pernikahan, selain kesediaan untuk memahami satu sama lain.
—ibnufir
226 notes · View notes
ibnufir · 3 months
Text
Bukan soal uang, tapi panggilan hati menjadi manusia
Menghadapi persalinan istri selalu menjadi hal yang paling mendebarkan.
Bapak paling tangguh sekalipun, pasti menangis ketika mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya.
Meski ini anak yang kedua, tapi rasa-rasanya tidak mengurangi rasa khawatir dari yang pertama.
Tetep aja dibikin melow.
Alhamdulillah terlahir normal, seperti kakaknya.
Dan barangkali memang betul bahwa kontrol setiap bulan ke dokter adalah salah satu ikhtiar untuk memudahkan persalinan.
Adalah seorang dokter kandungan perempuan, yang membuat kami yakin untuk melahirkan di rumah sakit prakteknya.
Waktu kami kontrol bulanan, beliau pernah bilang "Saya tidak mau menjadi dokter dengan tingkat prestasi lahiran caesar yang tinggi"
"Padahal ngapain kan, duitnya lebih sedikit"
"Kalau caesar saya jelas dapat lebih banyak. Tapi ini bukan hanya soal uang, tapi panggilan hati menjadi manusia."
"Sehari, dua hari, saya tungguin, saya pantau saya observasi terus. Lahiran caesar jalan pertolongan terakhir"
Ternyata betul-betul ditungguin. Hampir rata-rata pasien melahirkan hari ini di rumah sakit ini normal.
Masya Allah...
Padahal dulu waktu pertama kontrol saya sempat jengkel karena menunggu lama dari jadwal praktek.
"Pindahlah" saya bilang ke istri.
Tapi pas masuk "maaf ibu bapak" katanya. "Saya habis bantu pasien lahiran dan batalin puasa dulu" Puasa hari senin.
Orang tua mana yang tidak ingin mempercayakan kepada yang kuat keyakinannya.
Akhirnya kami kembali, rutin setiap bulan.
Dan yang paling saya ingat adalah kalimat-kalimat menenangkannya.
"Orang hamil itu jangan dibikin tegang. Engga usah terlalu jauh mikirnya. Dibawa santai aja, lha wong sudah ada yang ngatur kok"
"Pasrah nggih pak, buk"
Alhamdulillah Bu dokter Lisnur dan ibuk-ibuk bidan, kami menjadi saksi ketulusanmu memberi pertolongan.
Terima kasih, dari bayi laki-laki pelengkap keluarga kami.
Tegal, 26 Januari 2024. 20.00 WIB. Rumah Sakit Islam Harapan Anda.
—ibnufir
67 notes · View notes
ibnufir · 3 months
Text
Tanggung jawab ke diri sendiri dulu
Capek engga sih menjadi manusia yang penuh pertimbangan?
Mau apa-apa yang dipikirin orang lain dulu.
"Nanti gimana yah kata mereka. Kalau kesempatan ini aku ambil nanti mereka jadi beda".
Selalu dan selalu yang dipikirin pandangan orang lain tentang apa yang mau kita lakuin.
Padahal melakukan yang mau kita lakukan itu juga bentuk tanggung jawab ke diri sendiri.
Menerima kesempatan tanpa mempertimbangkan penilaian orang lain, juga bentuk ketegasan ke diri sendiri.
Kadang kita mikirnya terlalu baper, mikirin perasaan orang lain.
Punya hati katanya.
Lha gimana tau punya hati, kalau perasaan sendiri aja engga dipikirin?
Punya hati itu engga selalu untuk mengerti perasaan orang lain. Tapi mengerti perasaan sendiri juga perlu.
Berani mengambil dan menyelesaikan masalah kita sendiri, bukan berati ingin mengalahkan orang lain.
Bekerja keras pada apa yang kita kerjakan, bukan bermaksud untuk menyaingi orang lain.
Berlari sekencang yang kita mampu, bukan berarti untuk mendahului orang lain.
Itu hanya bentuk tanggung jawab ke diri sendiri.
Menyelesaiakan tanggung jawab, engga harus nunggu orang lain buat sepakat atau engga.
Penilaian orang lain, bukan kendalimu.
—ibnufir
200 notes · View notes
ibnufir · 4 months
Text
Menikah itu nambah masalah
Menuju lima tahun pernikahan, tau-tau sudah mau berempat. Begitu cepat sekali waktu berlalu.
Dulu sebelum menikah, ada begitu banyak sekali kekhawatiran sehingga bisa mikir beribu kali untuk memutuskan menikah.
Memang benar kata seorang kawan "menikah itu nambah masalah"
Tapi ketenangannya juga bertambah, keberkahannya bertambah, rasa syukurnya bertambah dan kebahagiaannya pun bertambah.
Kadang bingung, waktu masih sendiri keresahannya banyak banget. Kok setelah menikah engga tau mau meresahkan apa lagi.
Mikirnya makin sederhana; jalani, jalani, jalani. Udah cuma gitu aja.
Yang mencukupi Allah, kenapa jadi kita yang bingung.
Satu ditambah satu logika manusia jawabannya dua. Tapi matematikanya Allah, jawabannya tak terhingga.
Memang benar, banyak tidak masuk akalnya. Tau-tau ada, tau-tau cukup, tau-tau bisa, tau-tau mampu melewatinya.
Kalau ada yang bilang menikah itu melelahkan, iya memang engga salah. Betul melelahkan.
Tapi ketika sudah sampai di rumah, capeknya hilang dan lupa sama lelahnya.
Menikah itu menjalani kesadaran.
Sadar sama-sama saling membutuhkan. Sadar sama-sama punya kekurangan. Sadar sama-sama punya kesalahan.
Kuncinya, jangan keluar jalur.
Ibarat melakukan sebuah perjalanan. Jika suami itu sopir, fokus dan pegang kendali. Karena penumpang di belakang engga peduli ngantuknya kamu.
Mereka cuma mau tau sampai di tujuan. Melencengnya kamu sana sini, membahayakan mereka.
Kamu ke luar jalur, celaka mereka.
Begitupun penumpang, tetap tenang. Jangan melompat atau pindah kendaraan lain, karena ada kendaraan yang lebih bagus.
Karena percuma sopir sampai di tujuan sendiri.
Dan belum tentu juga dengan pindah kendaraan yang lebih bagus, bisa bikin kamu lebih cepat sampai di tujuanmu.
Iya kalau sampai, kalau malah tersesat?
Karena tujuannya dari menikah ya cuma satu, yaitu membawa pernikahanmu selamat.
—ibnufir
555 notes · View notes
ibnufir · 4 months
Text
Percaya bahwa rezeki tidak tertukar, adalah keimanan
Punya hati yang ikhlas untuk melihat pencapaiannya orang lain, adalah sebuah keistimewaan yang luar biasa.
Karena tertawa melihat penderitaan orang lain itu mudah.
Merasa baik-baik saja ketika orang lain di bawah, itu biasa.
Tapi turut mendoakan ketika orang lain sampai pada rezekinya, itu ilmu hati yang perlu dilatih berkali-kali.
Apalagi ketika kita merasa di bawahnya. Ketika kita merasa satu langkah tertinggal di belakangnya.
Percaya bahwa rezeki tidak tertukar, adalah keimanan.
Karena bisa jadi memang rezeki kita selalu berbeda satu dengan yang lainnya.
Pencapaian kita tidak akan pernah sama.
Mungkin kita hanya perlu membiasakan diri untuk memberi ucapan selamat. Turut mendoakan dan bertepuk tangan atas keberhasilannya orang lain.
Bukankah Allah sudah menakar sesuai kemampuan hambanya masing-masing?
Ketika jalan kita dirasa sulit dan orang lain begitu mudah. Percayalah bahwa garis finishnya berbeda, waktu kita tidak sekarang.
Tapi setidaknya yang bisa kita usahakan saat ini juga;
Tidak iri melihat pencapaian orang lain merupakan sebuah ketenangan hati yang tidak semua orang mampu meraihnya.
Semoga hati kita selalu berada dalam keridhoan dan keikhlasan.
—ibnufir
585 notes · View notes
ibnufir · 5 months
Text
Doa kita saling bertemu
Pernah engga sih merenungkan sebuah kebetulan? Kebetulan bertemu seseorang yang tidak disengaja.
Kebetulan membeli suatu barang. Kebetulan membeli suatu makanan ketika di perjalanan.
Dan masih banyak serangkaian kebetulan-kebetulan lainnya.
Bagaimana kalau ternyata kebetulan itu adalah doa-doa kita yang saling bertemu?
"Ya Allah berkahi daganganku"
"Ya Allah pertemukan aku dengan pedagang yang jujur"
"Ya Allah persatukan aku dengan orang-orang yang baik"
Doa yang entah kapan, doa yang diucapkan jauh sebelum serangkaian kebetulan itu terjadi.
Doa yang membuat kita saling bertemu, saling mendekatkan dan mempersatukan.
Lalu masihkah kita mau menamainya sebagai kebetulan?
Hari ini adalah kebetulan dari setiap doamu. Doa orang-orang yang selalu mendoakanmu.
—ibnufir
309 notes · View notes
ibnufir · 5 months
Text
Kalau nanti dilupain gimana?
Selepas ashar seorang kawan mengajak untuk naik ke sebuah pegunungan. Tidak terlalu tinggi memang dan masih bisa dijangkau oleh kendaraan.
Suasana di puncak cukup dingin dan hening.
Terdapat area hijau, yang membuat kami bisa bercengkrama dan membuka bungkusan makanan yang kami pesan sebelum berangkat.
Tak terasa mulai terdengar sayup-sayup kumandang adzan dari kejauhan. Kami pun bergeas untuk menunaikan sholat maghrib dengan perlengkapan seadanya.
Selepas maghrib, disaat langit sudah mulai gelap. Kami duduk termenung, hening dan benar-benar sunyi.
Terdengar lirih dari pemukiman, sepertinya dari speaker mushola. Suara lantunan ayat suci memecah keheningan.
"Kedengeran? " tanya kawanku.
"Iya mas"
"Coba deh bayangin di kuburan nanti kita tuh kaya gini"
"Maksudnya? " tanyaku penasaran
"Iya sepi seperti ini, sepi sekali. Bayangin sangkin sepinya di sini kita engga denger suara orang ngaji"
"Bayangin kalau suara sayup-sayup dari mushola itu, jika diibaratkan di kuburan, itu adalah doa orang-orang yang mendoakan kita"
"Kalau kita ternyata dilupain gimana? Engga ada yang doain?"
Tak terasa air mata mulai menggenang, jatuh dan menetes. Teringat orang-orang yang pernah begitu dekat.
Orang-orang tercinta yang telah berpulang lebih dulu.
Kalau bukan kita yang mendoakan, sehening apa tempat mereka sekarang?
—ibnufir
187 notes · View notes
ibnufir · 6 months
Text
Apa yang mau kita sombongin?
Kita itu kecil banget yah ternyata. Keliatannya aja hebat, serba bisa, dan punya segalanya.
Tapi baru dikasih sakit aja, udah tuh semua yang kita punya seakan engga ada apa-apanya.
Kelar udah semuanya....
Cuma bisa diem aja, gerak dibatasin, makanan dibatasin, semua dibatasin.
Karena ternyata rezeki itu memang luas banget. Dikasih keluasan mencari rezeki aja, itu udah rezeki.
Padahal belum tentu dapet uangnya, tapi itu udah rezeki.
Kita dikasih gerak bebas, itu udah rezeki.
Kecil, teramat kecil memang menjadi manusia ini.
Bayangin nih, ada berapa banyak orang yang sedang terbaring dan hanya bisa memohon kesembuhan?
Yang mungkin uangnya memang bisa membiayai biaya rumah sakit, tapi belum tentu bisa membeli kesembuhannya.
Kadang memang kita terlalu jauh yah, terlampau tinggi memandang hidup dan harapan-harapan kita.
Padahal semua sudah kita punya, nikmat yang begitu besar untuk melakukan segala sesuatunya dengan mudah.
Kecil, kita ini kecil banget dan tidak ada apa-apa diantara begitu besar dan luasanya semesta ini.
Engga ada yang bisa kita sombongin.
Apa yang membuat kita besar kepala begitu mudah untuk dihancurin. Terlalu mudah dihilangin dan dibikin pergi.
Satu-satunya yang bisa membuat kita terlihat, hanyalah kebesaran hati.
Berbesar hati buat memaafkan ketika dibikin kecewa. Berbesar hati untuk membantu ketika kita sendiripun sebetulnya dalam kesusahan.
Susah ya, menjadi manusia yang bersyukur ternyata.
Karena kita sudah terlalu merasa sombong dengan semua yang sudah kita punya.
Padahal semua yang kita punya ini, cuma numpang aja. Bahkan tubuh kita sendiri pun cuma numpang aja.
Sementara....
—ibnufir
160 notes · View notes
ibnufir · 6 months
Text
Keinginanku mengurangi keinginan
Belakangan lagi sering ngapus-ngapusin keinginan. Kalau biasanya masuk-masukin keranjang, ini justru kebalikannya.
Ada keranjang di marketplace, buang. Liat barang yang suka banget muncul di beranda, langsung cari opsi tidak tertarik.
Padahal suka banget. Tapi biar engga muncul lagi aja.
Karena algoritma sosial media, semakin kita ngasih perhatian terhadap sesuatu. Maka sesuatu itu akan sering muncul.
"Lho bukannya keinginan itu harus banyak?"
Iya memang boleh, boleh banget. Bahkan bermimpilah setinggi-tingginya. Toh tidak ada yang mustahil juga.
Tapi ini hanya berusaha menghindari Impulsif Buying aja.
Keinginan untuk membeli barang secara tiba-tiba tanpa melalui pertimbangan dan proses berpikir panjang.
Alhasil, udah beli nyesel. Kalau pun udah dibeli, engga kepake. Engga terlalu butuh-butuh banget.
Belibet banget yah, padahal bilang aja uangnya engga ada. Haha...
Ya justru itu, karena uangnya memang tidak ada. Makanya bikin capek. Kalau dibiarin mikirin berhari-hari lama-lama maksa.
Maksa minjem, maksa ngutang, pinjol, paylater.
"Lho ya gpp, jadi punya tanggungjawab biar semangat nyari duit"
Hiyaaa hiyaaa boleh, boleh banget.
Kembali lagi, tergantung orangnya cocok apa engga.
Tapi bagi aku pribadi sih, jauh lebih tenang. Dan semakin sedikit pula yang mesti dipikirkan.
Kalau di tiktok lagi rame banget yang bahas "Law Of Attraction" nulis serangkaian daftar keinginan-keinginan.
Ini justru, buang-buangin keinginan.
Ngapurane gusti, hambamu pasrah.
Izinkan untuk sedikit berusaha realistis bahwa di setiap mimpi besar itu, ada sebuah proses panjang yang mesti ditempuh.
Dan sekalipun ternyata prosesnya mudah dan tidak lama, semua keberuntungan itu karena KuasaMu.
—ibnufir
115 notes · View notes
ibnufir · 6 months
Text
Kita ini nyari apa sih sebenarnya?
Setelah ini apa? setelah waktu kita selesai dan batas waktu kita berakhir, kita ini mau ke mana?
Aku termenung oleh pertanyaan-pertanyaan selalu berulang-ulang memojokan diriku sendiri.
"Iya yah, habis ini bagaimana?"
Pergi nyari senang, berlibur kesana kemari, tapi ujung-ujungnya sama juga. Saat kembali pulang, resahnya masih, cemasnya juga masih.
Lalu apa sih sebetulnya yang bikin jiwa ini tenang? Aku harus nyari ke mana?
Mengapa setiap upaya mengejar kebahagiaan hanya membuatku lelah dan menderita.
Capek, capek sekali....
Berusaha mengendalikan semua hal sesuai inginnya kita.
Mungkinkah semua ini hanyalah sebuah peristiwa singkat?
Seperti seorang bayi yang tidak pernah bisa mengingat kehidupan di kandungan ibunya. Lalu tau-tau terlahir di dunia.
Jangan-jangan waktu kita di duniapun memang sama, sesingkat itu?
Kita ini nyari apa sih sebenarnya?
Kita ini ngejar apa?
—ibnufir
240 notes · View notes
ibnufir · 7 months
Text
Apa aku nyerah aja?
Ternyata kepala kita bising banget yah. Cuma dari luarnya aja kelihatan tenang. Padahal isinya berisik, rame banget.
Kadang sampe bikin lelah. Semenakutkan itu, menemui diri sendiri.
Mungkin kalau dibolehin berteriak dan engga bikin malu. Ingin sekali rasanya berteriak sekencang-kencangnya.
Sepertinya puas memaki diri sendiri. Rasanya lega nyalahin diri sendiri.
Salah siapa udah bikin sedih. Salah siapa engga ngambil tanggung jawab. Salah siapa ngelewatin banyak kesempatan gitu aja.
Salah diri sendiri bukan?
Jadi kalau sekarang khawatir, sekarang takut menjalani berikutnya. Itu salah siapa? Salah orang lain?
Gimana, udah capek kan?
Kita gak bisa apa-apa. Engga lantas selesai juga cesmasnya dengan mengutuk diri sendiri.
Iya.....tetep bakalan capek. Kita bakal kewalahan mengendalikan pikiran kita sendiri.
Karana kita sudah terlalu terbiasa menghindar. Kita sudah terbiasa pergi cari pengalihan di luar.
Padahal ujungnya sama. Kita balik lagi ke semula. Ke sebuah ruangan kotak, berhadapan tembok dengan tembok.
Di kamar kita, beserta isi kepala yang bising dan berantakan.
Kita memang terlalu sulit untuk mengurainya gitu aja.
Tapi setidaknya, kita tau kan pikiran yang ramai itu letaknya di mana aja?
Seperti isi kamar ini, yang berantakan.
Barangkali kita hanya perlu mengenalinya satu persatu.
Kecemasan, ketakutan, dan penyesalan-penyesalan itu ke mana seharusnya di kembalikan.
Engga usah dilawan yah, cukup kenali aja dulu.
Atau kalau emang rasanya udah engga kuat banget, boleh kok minta bantuan orang lain buat beresin.
—ibnufir
297 notes · View notes
ibnufir · 7 months
Text
Di mana ketenangan itu sebenarnya?
Pernah engga sih merasa begitu tenang, menjalani hidup tuh kaya pasrah aja gitu. Ga banyak minta, ga banyak berharap apa-apa.
Bener-bener tenang, tanpa beban.
Padahal sebenernya boleh-boleh aja berharap dalam doa. Bahkan mau minta apa aja, ya boleh.
Mungkinkah memang semenangkan ini di sepertiga malam?
Diantara begitu banyaknya kekhawatiran, ketakutan dan kecemasan. Dari begitu banyaknya hal yang rasanya ingin sekali diceritakan.
Seakan seperti badai yang kemudian mereda dengan sendirinya. Langit menjadi biru, udara menjadi sejuk dan matahari menghangat dalam dada.
Seperti seorang anak kecil yang menangis kencang lalu tiba-tiba tenang di pelukan ibunya.
Masya Allah....
Semakin dekat denganMu, kedamaian hati ini semakin nyata.
Apakah mungkin segala macam bentuk kekhawatiranku selama ini, adalah bentuk ketidakpasrahanku?
Apakah segala macam bentuk ketakutan dan kecamasanku, adalah bukti semakin jauhnya diri ini dariMu ya Rabb?
Sebab nyatanya, semua yang di hidupku sekarang cukup. Semua baik-baik saja dan aku mampu melewatinya.
Hanya bedanya, aku tidak pernah memiliki ketenangan seperti sekarang.
Ketenangan yang barangkali sebetulnya memang miliku.
Tetapi ketika Kau hadir, di malam-malamku. Aku tidak pernah berusaha untuk mengambilnya darimu.
Sebuah ketenangan milikku.
Ketenangan yang tidak lagi membuatku tergesa-gesa.
—ibnufir
342 notes · View notes
ibnufir · 10 months
Text
Jangan-jangan diri kita, memang tidak pantas?
Sekarang aku jadi tau kenapa dulu aku gampang nyerah, gampang kalah, dan mudah gagal. 
Ternyata jawabanya sederhana, karena aku memang banyak engga siapnya. Aku banyak engga pantasnya.
Salah satu alasan kenapa jadi punya tubuh yang lamban dan mudah tumbang alias sakit. 
Karena ya kurang gerak, engga pernah olahraga. Engga jaga dan pilih makanan yang pantas diterima oleh tubuh. 
Salah satu alasan juga kenapa malas ketika bangun pagi dan memulai hari. Karena buat bangun subuh aja emang susah. 
Apalagi buat bisa datang lebih awal menuju masjid sebelum adzan berkumandang. 
Dari situ aja udah engga pantas. Udah kalah duluan. Dan memang jauh dari kata pantas buat jadi pemenang. 
Gimana mau pantas punya duit banyak, kalau ngelolanya aja engga pernah belajar. Berapapun dapetnya, pasti habis. 
Gimana mau pantas jadi pemecah masalah, menjadi pemberi solusi. Kalau ilmunya aja engga punya. 
Nihil pengalaman, engga pernah baca buku.
Jadi ya wajar, kalau gampang kalah kan. Karena memang daya tahan buat berjuangnya engga ada. 
Udah daya tahan berjuangnya engga ada. Alat perang buat melawannyapun engga punya. 
Ya modyarrrr bosss
Ternyata memantaskan diri itu memang penting. 
Dan buat bisa menjadi pantas dalam segala hal, awalnya memang perlu banyak yang disiapin.
Banyak yang bikin engga nyamannya. 
Biasa makan enak, lalu tiba-tiba ngatur pola makan. Ngurangin konsumsi gula, ngurangin konsumsi minyak. Beuh...susah bro. 
Biasa rebahan, lalu tiba-tiba diajak lari. Ya jelas ngosngosan. 
Biasa tidur sampe siang, lalu tiba-tiba diajak bangun sepertiga malam. Ya merem melek. 
Tapi sebenarnya beratnya itu hanya ketika memulainya aja. Berat di langkah pertamanya. 
Berbulan-bulan berikutnya sudah menjadi kebiasaan yang kalau engga dikerjaain, seperti kaya ada yang kurang. 
Rebahan jadi aneh, makan junk food kok ya jadi eman-eman.  
Jadi kalau diri kitanya engga siap, mau sehebat dan sebanyak apapun kesempatan, ya percuma. 
Dan untuk bisa mengambil kesempatan, diri kitanya harus siap lebih dulu. 
Jangan nunggu sakit dulu baru mau olahraga. Jangan nunggu boncos dulu baru mau belajar mengelola uang. 
Jangan nunggu sulit jalan dulu, baru mikirin gimana caranya berangkat ke masjid. 
Atau jangan-jangan, diri kita memang tidak pernah pantas?
—ibnufir
408 notes · View notes