Tumgik
#kolegaku
dewisptyn · 1 year
Text
Aku benar-benar tidak tahu, apakah rutinitas yang aku jalani saat ini adalah benar-benar apa yang aku inginkan. Rasa-rasanya diriku selalu hampa tatkala aku duduk di kubikel sambil menatap laptop kerjaku. Ragaku mungkin ada di ruangan ini, tetapi jiwaku entah berada dimana. Ingin sekali aku keluar dari perangkap ini, lelah menyaksikan drama kolegaku yang tak ada habisnya. Belum lagi atasanku yang bermain belakang dengan rekan kerjaku, yang membuat rekanku jadi semena-mena dengan karyawan lain karena merasa dirinya superior, memiliki backingan yang kuat.
Aku ingin keluar, tapi tak tahu harus kumulai dari mana. Aku merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan dan menelan mentah-mentah rasa muak ini. Setiap hari ada saja hal yang membuatku melenguh kesal.
Saat aku kecil, aku memang ingin cepat dewasa, agar bisa menghasilkan uang dan membeli segala yang aku inginkan. Tetapi mengapa harus sebesar ini yang aku pertaruhkan saat aku beranjak dewasa dan ingin mewujudkan keinginan masa kecilku?
Segalanya sekarang nampak buram, aku tak tahu ujungnya ada dimana dan akan seperti apa...
8 notes · View notes
annisasarah · 1 year
Text
Kata "perjuangan" itu ada dimana-mana
Kamis, 4 Mei 2023 Pisa, Italia - Menunggu coding-an paper ke-3 ku di PhD
Saat manusia sudah selesai dengan kehidupannya, disitulah kita sampai ke peristirahatan terakhir. Sekarang, aku paham apa maksud dari "istirahat" itu.
Kita sering dengar, baca, dan lihat "si kaya" dan "si miskin". Atau, "si pintar" dan "si bodoh".
Dari kecil, aku terbiasa melihat betapa timpangnya ekonomi dan kehidupan keluarga ku dengan sekitar. Dengan sepupu, dengan teman sekolah. Mereka bisa liburan ke singapura, australia, atau bali. Foto jalan-jalan ke eropa, atau jepang, terpampang di ruang tamu. Aku merasa paling miskin.
Aku melihat teman-temanku yang ujian matematikanya selalu dapat 9, sedangkan aku hanya 4. Sampai aku kuliah, aku merasa tidak pintar, karena gagal masuk PTN. Sampai aku S2, aku selalu dapat nilai E dan D, bahkan F. Sedangkan temanku, dapat B saja sedih. Aku merasa paling bodoh.
Aku selalu iri dengan si kaya dan si pintar.
Nyatanya... bisa jadi, untuk orang lain, aku lah si kaya dan aku lah si pintar!
Aku suka lupa untuk bersyukur, bahwa hidupku lebih dari berkecukupan. Aku bisa beli apa saja yang aku mau. Aku bisa makan enak kapan saja. Hidupku sangat-sangat nyaman. Aku suka lupa untuk bersyukur, bahwa aku diberikan kecerdasan yang cukup oleh Tuhan. Aku bisa lulus S1, lulus S2, dan sekarang berjuang untuk S3 ku.
Aku tidak tahu, bahwa semua orang itu punya perjuangan masing-masing. Si kaya yang membuat aku iri itu, punya banyak perjuangan dan kesedihan yang kerap kali tidak nampak ke khalayak ramai. Si pintar yang membuat aku iri itu, berjuang mati-matian untuk belajar pagi sampai malam dan bekerja keras untuk mendapatkan semua yang dia harapkan.
Termasuk aku. Aku harus ingat, bahwa hidup adalah perjuangan. tanpa henti. Di setiap fase kehidupan kita, kita merasa fase itu lah yang paling berat. Saat aku S2, aku merasa S2 susah sekali. Saat aku bekerja menjadi dosen, punya anak, rasanya berat sekali. Sekarang, saat S3, rasanya seperti mission impossible. Capek? banget. Mau nyerah? sering. Tapi, aku selalu merasa, semua orang percaya denganku. Semua orang (supervisorku, kolegaku, suamiku, keluargaku) percaya bahwa aku bisa menyelesaikan S3 ini dengan baik.
Satu. tahun. lagi.
You've did a good job for the past two years!
don't push yourself too hard. Remember, hidup adalah perjuangan. so, nikmatin aja dan jangan nyerah!
PS: nyatanya, tidak ada si kaya dan si miskin. si pintar dan si bodoh. itu hanya pikiranmu dan akal pendek mu.
Tumblr media
photo by me, Pisa, Italy - April 2023 during PhD research-stay in University of Pisa
6 notes · View notes
careerclass · 1 month
Text
Your Growth Might Not Be Seen
Hallo, Kak Alia, Mas Gun, dan tim CC yang keren! Aku sangat bersyukur sekali bisa memilih CC sebagai wadah belajarku, bertemu dengan lingkungan positif, dan saling menguatkan untuk maju.
Sempat berpikir bahwa I've been left behind ketika melihat teman-teman yang lain sudah dapat impact positifnya, aku jadi iri hahaha. Aku sempat merasa bahwa aku jalan di tempat, gak memberi dampak yg impactful kepada diriku sendiri dibanding teman-teman CC lainnya.
Tapi… beberapa hari yang lalu, kolegaku bilang bahwa aku mulai berubah ke arah yang lebih baik. Aku mulai bisa asertif, aku mulai terbiasa menerapkan mindfulness, dan mulai terbiasa untuk memiliki growth mindset.
Jadi, aku sadar bahwa I'm on my own race. Orang lain hanya menjadi motivasi untuk memacu diri. Perlombaan sesungguhnya ya… dengan dirimu itu!
Kadang, kita menganggap bertumbuh hanya sesuatu yang bisa diperlihatkan. Padahal, bertumbuh tiap orang mungkin berbeda dengan yang lain. Ia mungkin tidak terlihat dan bahkan kita tidak menyadari itu. Tapi, yang jelas, sedikit perubahan merupakan pertumbuhan juga.
Semangat bertumbuh ya! Semangat berlomba di lintasan masing-masing dengan bekal yang diberikan di Career Class.
0 notes
hmnlatudiza · 3 months
Text
ya Tuhan, terserah engkau saja. semakin banyak hal yang kini kupasrahkan saja.
toh hamba sudah mencoba berjuang sebisanya semampunya. gak ngerti lagi gimana membantu permasalahan yg terjadi antara kakak sm orang tua. bahkan di desember kemarin, sampai mencoba mencarikan jalan usaha agar kakak yang suka mengeluh mengenai keadaan perekonomiannya bisa mendapat jalan mata pencaharian baru untuk dia berusaha memiliki pendapatan, tapi apa, justru aku yang kemudian disuruh bergelut dengan hal itu. padahal, aku pun punya hal yang ingin aku capai sendiri.
itu yang sempat aku lupakan, kenapa aku justru melupakan tujuan ku sendiri. tapi kini kemudian semua itu aku anggap sebagai pelajaran. ya, paling tidak kolegaku bertambah, meski tidak berhasil sepenuhnya.
1 note · View note
sebiruhariini · 5 months
Text
Accompanying Students: you & me grow
Di 1.5 tahun terakhir ini, aku banyak berurusan dengan dunia kesiswaan. Mulai dari mpk, osis, kepanitiaan, upacara, pramuka, momen hari besar, dan lainnya. Kamu tahu, ternyata tidak hanya hubungan orang dewasa saja yang rumit. Pun hubungan dengan mereka yang sebetulnya tidak begitu jauh umurnya di bawah kita, bisa jadi rumit.
Banyak berurusan dengan siswa SMA, yang kita tidak sudah menganggap mereka bocah ingusan, sering membawaku pada suatu kondisi menganggap mereka seperti orang dewasa. Alhasil, ekspektasi cukup tinggi memenuhi ruang pikiranku.
"Kamu harusnya sudah tahu peranmu sebagai ketua..."
"Kok kamu nggak peka, harus melakukan ini, itu?"
"Ini saatnya kamu yang buat keputusan. Bukan ustadzah"
Setidaknya itu kata-kata yang sering kolegaku dan aku curhatkan sehabis berurusan dengan siswa.
Aku tersadar, aku dan mereka ada di zaman yang berbeda dan kondisi yang kita lalui pun juga berbeda. Mereka, yang notabennya merupakan anak 'rumahan' dan tiba-tiba merantau ke suatu kota, mungkin shocked? Mungkin melakukan dan memulai hal ini semua merupakan hal pertama bagi mereka?
Dan aku sadar, disinilah peran pendidik. Tak hanya mengajar mereka dengan teori keilmuan saja, namun aku haruslah mengisi mereka dengan pelajaran ataupun sikap-sikap baik dan positif.
Berikutnya, aku minta maaf telah banyak memakai kacamata orang dewasa dalam melihatmu. Tanpa melihatmu sebagai individu yang sedang mencari jati diri, sedang belajar menyerap banyak hal, dan sedang banyak mengeksplorasi diri.
So, kiddos. I'm so sorry if my patience is not that high. Berharap, kita akan segera bertemu di satu titik. Dimana titik ekspektasi-kesabaran-perjuanganku dan titik hasil eksplorasimu, membuahkan keseimbangan dan keserasian.
I wanna try to understand you, your situation, your feeling, your pressure. Aku ingin mempercayai kalian seutuhnya. Aku ingin percaya bahwa kalian akan mampu ada di titik yang kita harapkan bersama. So, before we reach that point, don't give up on each other! We will grow together, you&me grow together!
1 note · View note
segalanyasemuanya · 7 months
Text
What Doesn't Kill You Makes You Stronger
Nggak kerasa udah Oktober. Selama September, bahkan aku tidak sempat membuka akun tumblr karena kehectican yang luar biasa. Kukira September akan berlagu "September Ceria", namun ternyata "Wake Me Up When Sepember Ends." Nggak sanggup akutuh melewati September yang rasanya terjal untuk dilalui.
Mulai dari kerjaan yang tiada habisnya, lalu ditambah aku terseret drama cewek-cewek kantor yang sebetulnya hal tersebut amat sangat tidak perlu untuk dibuat drama. Akhirnya, aku kena batunya juga lol. Beberapa kali aku pulang telat karena harus membackup kerjaan temanku yang juga seabrek. Aku merasa kerjaanku sudah terlalu overload dan baru pertama kali aku mengeluh ke sesama kolegaku kerjaku bahwa aku ingin bertekad ingin resign (dan ke teman-teman dekatku aku juga menyambat hal yang sama).
Dan hingga Oktober ini, aku masih memikirkan untuk resign dan mencari pegangan setelah aku resign.
Puncaknya adalah, ketika suatu siang aku sudah tidak bisa menahan kekesalanku lagi, tangisku pecah di KFC saat makan siang. Waktu itu, Mama dan adikku tiba-tiba ke Jakarta karena ada suatu urusan, lalu sekalian mengunjungiku. Sebenarnya aku enggan menemui karena lagi gondok-gondoknya saat itu, aku sedang dalam keadaan tidak ceria. Tapi, masa orang tua sendiri nggak ditemui?
Akhirnya kami bertemu di KFC, dan aku malah kelepasan nangis. Setelah menangis, aku ceritakan semua yang aku alami, lalu aku bingung bagaimana menyembunyikan wajahku yang sembab saat aku balik ke kantor nanti haha.
Untuk orang yang cuma bisa komen, bacot, dan nyalah-nyalahin: sini deh lu di posisi gue biar lu tau yang gue rasain gimana. Gak usah sok-sok menggurui, ngaca dulu tuh kaca di toilet.
Untuk orang-orang yang sudah ada di samping gue: terima kasih sudah menenangkan gue, dan jangan kalian yang malah emosi woy hahaha.
Ada beberapa momen yang sebetulnya juga membuatku bahagia, seperti bertemu lagi dengan sahabatku dan makan pecel lele bareng; mencoba resep pukis ala KFC; ke PGC pertama kalinya bareng kolega terdekatku dan aku cukup amazed ke sana karena serba lengkap dan murah pol; jadi panitia gathering karyawan kantor yang banyakan gabutnya, cuma nempelin poster (inipun ada dramanya dikit hadeh) dan jadi jaga absen per kelompok saat hari H; makan-makan di Hachi Grill dan ditraktir ayam Mbok Berek.
Dan sepanjang September, aku masak sendiri dan bawa bekal ke kantor hihi. Eh, kalo diist banyak juga ya yang hepi? Tapi, September juga berat banget buatku karena hal-hal yang sebutkan sebelumnya di atas ini huhu. Aku tak pernah menangis karena kerjaan, dan ini baru pertama kalinya dalam hidupku aku menangis karena kerjaan. Biasanya, seberat-beratnya kerjaanku, aku tetap tenang dan bisa melewatinya. Namun, kali ini aku benar-benar kewalahan.
September penuh dengan stress, sampai di penghujung September, aku dan sekeluarga memutuskan berlibur ke Dieng. Aku mengambil cuti dan memanfaatkan hari kejepit di hari Jum'at hehe.
Alhamdulillah, Septemberku jadi nggak buruk-buruk amat karena ditutup dengan jalan-jalan menghirup udara segarrrrrrr~
PS: Judulnya begitu karena tiba-tiba keputer lagu itu and I think the title match the content itself lol.
0 notes
dearesthana · 10 months
Text
Suara Hati: Insecure (Babak 1)
Tulisan ini akan terdengar konyol sekali. Aku juga bahkan tidak tahu kenapa ingin menulis topik ini dalam dua babak. Ini adalah topik yang cukup itching buatku. Kalau mengatakannya secara langsung, aku terdengar seperti orang yang menutupinya dengan jokes. Kalau menuliskannya, tulisannya akan terasa depressed. Kalau tidak dikatakan, rasanya ada yang menelanku bulat-bulat.
Let's say, aku sebenarnya benci menceritakan sisi rapuhku.
Namun, Mr. Izz selalu bilang bahwa mengakui aku lemah dan rapuh adalah bagian penerimaan diri yang sebenarnya. Karena sebagai hamba Tuhan, aku tidak akan selalu lurus. Sebagai manusia, aku tidak akan selalu sunshine and rainbow seperti yang dibilang kebanyakan orang.
Well, here it goes.
First thing first, there is this feeling where I always feel that I am not beautiful. At all.
Hari terakhirku di Medan, aku memperkenalkan penggantiku di kantor. Tak lain dan tak bukan adalah adikku sendiri. Aku tahu semua orang sudah memperhatikannya sejak masuk ke kantor (dalam hal ini, aku tahu arti tatapan orang-orang itu). Namun, aku berusaha tidak terlalu memikirkannya.
Sampai akhirnya ada yang bilang, "Kalian kelihatan...beda,".
Terus sampai kemudian setelah aku pulang, aku mendengar bahwa kolegaku, terutama yang laki-laki, terlalu "ramah" kepadanya. Saking "ramah"nya, dia sampai kesal banyak laki-laki beristri yang "menawarkannya bantuan".
Don't get me wrong. I am upset hearing that my sister is being harassed. It's just that it keeps reminding me that she's that pretty. Far prettier than I am.
And it hits my vulnerability.
...
Waktu SD dan SMP, hal-hal semacam ini nggak pernah jadi masalah buatku.
Waktu usiaku sekitar 12-15 tahun, aku tomboy banget. Mungkin sebenarnya aku lebih dekat ke tomboy ketimbang feminin. Aku nggak terlalu betah pakai kosmetik. Aku main-main di pematang sawah dan lempar-lemparan sepatu di sungai dengan teman-temanku. Game yang aku mainkan juga kebanyakan game cowok. Aku jarang betah main sama sesama anak perempuan, kecuali dia tomboy juga.
Aku tahu adikku dari dulu selalu lebih cantik dariku. But hey, aku lebih pintar. Aku dapat pacar yang pintar, karena aku juga pintar. Laki-laki yang confess setidaknya pintar-pintar.
Bisa dibilang, kata 'cantik' nggak pernah menggangguku dalam usia-usia segitu.
'Cantik' mulai menggangguku ketika usiaku 15 tahun. Aku menyukai seseorang saat itu. Dia laki-laki teramah yang pernah kutemui waktu itu. Oh, wajahnya menarik juga. Dia punya semacam smiling face, rasanya adem banget kalau memandangnya lama-lama. Rambutnya seperti Harry Potter; mau diapa-apain, bakalan tetap berdiri. Namun, itu tidak mengganggu wajahnya karena pendek rambutnya begitu teratur. Dia nggak tinggi. Tinggi badannya hampir sama denganku, mungkin karena posturnya agak bungkuk.
Karena aku selalu salah tingkah saat suka sama seseorang, perasaanku cepat ketahuan. Semua perempuan menggodaku saat itu, tetapi ada satu yang memberitahuku, "Eh, tapi dia tuh ada yang suka juga selain kamu,".
"Siapa?" tanyaku.
"Namanya H," jawabnya.
"Oh iya, aku baru inget, Nis. Dia cantik sih, anak asrama sebelah," kata temanku yang lain.
Aku bertemu H pertama kali di hari terakhir orientasi sekolah. Obvious sekali dia menyukainya, batinku. Dia salah tingkah banget waktu cowok itu tampil di drama sekolah.
Ya udahlah, mau gimana, batinku lagi. Paling anak ini yang akan disukai balik, toh dia lebih cantik.
Move on saat itu segampang itu. Kupikir akan ada cowok lain yang menyukaiku karena aku pintar, sama seperti dulu-dulu. Kamu tidak menyukaiku? Ya sudah, bye.
Kali kedua aku menyukai seseorang, orangnya tak terduga. Cowok berikutnya adalah sahabatku sendiri. That guy dia tuh sebenarnya nggak ada menarik-menariknya (inget ya, ini pikiranku pada saat itu). Dia culun banget. Dia adalah epitome dari definisi malas dan tidak ada masa depan (ini juga pikiranku pada saat itu). Aku bahkan sering memukuli kepalaku saking merasa nggak logis.
How could I, this effing smart girl, like this guy?
Tapi, cinta tuh kapan sih logis?
This time, cowok ini juga menyukai orang lain. Sebut saja namanya P. P adalah perempuan paling cantik di angkatanku. Dan pintar. Double combo. Aku jelas kalah.
Aku kesal sekali waktu mendengar dia berniat nembak P di depan sekolah dengan sebatang cokelat. Mana dia sempat memaksaku untuk bantu minta nomor HP nya. Namun, begitu P ternyata menolak mentah-mentah, aku diam-diam tertawa senang. Oh yeah, aku masih ada kesempatan. So far, hanya aku yang paling dekat dengannya.
Seperti dulu-dulu, kali ini perasaanku juga cepat ketahuannya. Selain karena alasan yang kuceritakan sebelumnya, kalimat "Jangan bilang siapa-siapa," ternyata nggak efektif di sekolah. Teman-teman mulai menggodaku lagi, tetapi kali ini lebih parah, karena cowok tadi ditolak P mentah-mentah.
Suatu hari saat pulang sekolah, aku mendengar teman-temanku menggoda cowok itu dengan hinting bahwa aku menyukainya. Entah apa yang dibilang oleh mereka saat itu, tetapi akhirannya sangat buruk. Cowok itu kesal, kemudian bilang.
"Lihat aja ya! Nisa bakalan cantik tiga tahun lagi!".
Unfortunately, sejak saat itulah 'cantik' mulai menggangguku.
0 notes
helloiffah · 11 months
Text
Udah milih ngga sesuai spesifikasi, ngga bisa di CCO apalagi di Adendum.
*Aku di pandangan kolegaku ditahun 2017 sampe 2022.
1 note · View note
yourpartner21 · 1 year
Text
Prioritas I selasa 21.2.23
“Ada ke kudus, ke tempate sodaraku”
Dengan balasan diatas, terhitung sudah ketiga kalinya, kamu selalu punya alasan untuk tidak datang dalam acara yang menyangkut keluarga dan kolegaku.
1. Bu Harini sedekat jarak Banaran-Sekaran, kamu memilih untuk tidak hadir dengan alasan terlanjur sudah pesan makanan, dan kopi hitam-mu baru saja datang.
2. Kelahiran keponakanku bulan April nanti, kamu bertanya balik padaku dengan pertanyaan retoris: “kesana mau ngapain?”. Oh bung, sungguh kalimat-mu 100 persen membuatku heran, “ngapain?”
3. Pernikahan sepupuku senin depan, kamu menjawab dengan jawaban diatas, padahal seingat dan sepahamku, seluruh keluarga besarmu ada di Klaten dan Pemalang. 
Sekilas, ketika pertama kali membaca pesanmu tadi, reflek mataku memerah dan mengeluarkan sedikit air mata, aishhhhhhhhhh, aku benci situasi ini!!!
Okeyyy, tenang, tarik nafas, keluarkan!
Kamu layak, kamu berharga!!!
Stay Positive. 
Jar, belajarlah untuk melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas, barangkali sesuatu yang mudah di keluargamu, sangat sulit atau bahkan jarang sekali bisa dilakukan di keluarganya, terlebih lagi dia adalah anak yang introvert bukan? 
“Yaa, kalau sesuai pernyataannya memang iya sih. Wait, boleh aku bertanya? bukankah trip ke Solo dengan kawan BEM-nya dia bisa, mengantarkan junior di lab-nya ke Kudus dia bisa, bahkan bukan cuma mengantar, tapi ikut serta dalam proses ziarah sampai sekembalinya ke Semarang?”
Lalu, untuk aku, yang katanya pasangannya, dia tidak bisa, okey katakanlah belum bisa karena selalu bertumbukan dengan agenda pentingnya yang lain?
Berarti kamu iri jar, hatimu yang kotor,
Okeyy baik, anggap-lah seperti itu, anggap aku sesukamu. 
0 notes
smalldrizzle · 1 year
Text
Hari Kesembilan Belas
“Tak semua orang yang bekerja di instansi keagamaan adalah orang-orang yang agamis,” celetuk adikku setelah sedari tadi mendengarkan kakaknya mengoceh panjang lebar tentang pengalaman pagi yang mengecewakan. Bagaimana tidak jika kau mendapati mereka yang dianggap ‘baik’ ternyata memiliki perilaku yang berkebalikan dengan kulit luarnya.
Ya, seperti pagi itu, saat aku dan temanku mengantar mahasiswa PKL untuk berkumpul di sebuah instansi pendidikan dengan latar belakang agama yang kental. Bukan senyuman ramah, namun pertanyaan dan teguran tegas yang mendarat di telinga kami. “Ada acara apa? PPL? Lepas jaketnya. Mana itu seragamnya? Ada kan?”. Belum sempat kami turun dari motor, bahkan motor kami pun belum sampai masuk ke gerbang, kami telah diberondong pertanyaan. 
Sedikit syok, banyak bingungnya, itulah yang kami rasakan saat itu. Untunglah temanku segera sadar dan turun lalu menjawab, “Oh, saya dosennya.” Petugas tadi entah bagaimana tanggapannya aku tak sempat melihat karena di jalan yang sedikit menanjak itu yang aku pikirkan hanya ‘bagaimana cara menahan motor besar yang kubawa ini supaya tak mundur kebelakang’. Selanjutnya yang aku dengar hanya si petugas itu mengonfirmasi dengan empat orang guru yang menjaga di gerbang. 
Aku kira sudah selesai, dan kami bisa diperbolehkan masuk. Ternyata belum. “Ini (dagunya mengangguk ke arahku) dosennya juga?”. Hah. Oke aku mulai merasa sebal. Karena satu, aku masih mencoba menahan motor besar yang baru aku pelajari cara naiknya pagi tadi agar tidak mundur. Dua, banyak mahasiswa kami melihat kejadian memalukan ini tepat dibelakang kami. Tiga, gestur dan cara penyampaian petugas dan para guru disini sangat menyebalkan. Empat, masalah miskomunikasi apapun yang sedang pihak instansi ini alami, seharusnya tidak di limpahkan kepada TAMU. 
Aku segera mengiyakan petugas itu dengan cepat. “Masukkan saja motornya tapi dituntun,” lanjutnya. Aku segera minta tolong temanku untuk mendorong motor berat ini dari belakang. Setelah sampai di titik parkir yang ditunjukkan, kami bingung harus berkumpul di mana. Mahasiswa pun banyak berlalu lalang. Meski sebal, aku masih memiliki rasa sungkan. Akhirnya aku dan temanku berinisiatif untuk kembali ke gerbang utama untuk menyapa dan bertanya ruangan.
Namun betapa kagetnya aku saat uluran tanganku tak disambut. Dibiarkan begitu saja terulur di atas meja yang berada tepat di depan mata sang Ibu guru. Tujuh detik yang cukup lama bagiku. Meski aku ingat betul kami sempat kontak mata sepuluh detik sebelumnya. Si guru lebih memilih untuk bercakap dengan kolega prianya. Dengan hati tersinggung, aku berlalu dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Ibu guru yang kedua. Syukurlah masih disambut tapi dengan tatapan datar tanpa senyuman.
Benar-benar menyebalkan. Detik itu bisa saja aku mengikuti egoku dan pergi. Namun aku kembali mencoba menyalami Ibu guru yang pertama. Yang pada akhirnya disambut olehnya tanpa menoleh ke arahku sedikitpun, masih berbincang dengan koleganya. Gusti Allah. Setelah kejadian itu, langsung saja aku bertanya pada petugas pria yang menghadang kami untuk menunjukkan aula tempat kami seharusnya dikumpulkan. "Acara apa?," tanyanya. Hah? Aku tak tau kalau Alzheimer bisa di idap sejak muda. "PKL, Pak," jawabku menahan emosi.
Kami pun segera berlalu. Saat menuju aula, kami berpapasan dengan guru wanita lain dengan segerombolan siswa di belakangnya. Belum sempat kami menyunggingkan senyum, si Ibu guru memutar bola matanya. Duh, Gusti. Ada masalah apa sih dengan tempat ini dan orang-orangnya. Padahal siswanya sangat sopan.
"Tidak layak jadi guru," ucap salah satu kolega seniorku. "Mungkin ada miskomunikasi antara kedua instansi," timpal kolegaku yang lain mencoba menenangkan suasana setelah aku mencoba meluapkan perasaanku dalam cerita. Tapi apapun itu, hari itu aku belajar satu hal baru. Try to be the bigger person. Tak semua orang mampu memahami alasan mengapa seseorang berbuat hal-hal yang menyakitkan. But be that someone. Maka, hatimu damai.
0 notes
ballintheball · 1 year
Text
Ya Allah Tuhanku ringankanlas segala urusan semua keluargaku kolegaku dan relasi ku.. Amiin...
0 notes
bungajurang · 1 year
Text
Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di suatu toko milik sebuah perusahaan bidang jasa. Selama dua bulan ini aku belajar banyak hal, mulai dari menghapal nama tanaman dan bunga potong, menyusun bunga-bunga potong menjadi satu rangkaian, memilih wrap, hingga hal-hal yang sifatnya kultural seperti membuka diri pada orang asing dan unlearning stereotip tentang dunia kerja seisinya yang sudah terlanjur melekat di kepalaku. Perusahaan ini merupakan tempat kerja luring pertamaku, setelah sebelumnya aku bekerja untuk beberapa orang secara daring dengan bentuk kerja lepas. Pengalaman pertama ini akan membekas dalam benakku selamanya.
Aku sengaja tidak memberitahu kolegaku di sana bahwa ini adalah hari terakhirku bekerja setelah mempertimbangkan beberapa hal. Minggu lalu saat tim manajemen memberi tahu soal pemutusan kerja, aku hampir tidak bisa menahan tangis. Aku merupakan orang yang emosional, mudah menangis, dan mudah menumbuhkan ikatan batin (attachment) dengan lingkungan sekitar. Pergi diam-diam adalah cara terbaik untuk pamit dari tempatku bekerja selama dua bulan ini. Terlebih lagi, buatku, pergi diam-diam akan mempermudah proses melepas atau mengurai ikatan batin yang terlanjur tercipta.
Tiap datang ke toko, aku parkir di sebelah timur, di barisan kedua. Lantai keramik di area parkir ini sudah retak, sehingga tiap akan parkir aku berusaha menggerakkan motorku selembut mungkin. Saat masuk toko, aku selalu disambut oleh bayanganku di cermin yang terpasang di depan pintu masuk. Kesempatan ini aku gunakan untuk memastikan rambutku tidak acak-acakan setelah menempuh 25 menit perjalanan naik sepeda motor. Lalu aku akan masuk ke area toko dan mendapati kolegaku sedang sibuk dengan pekerjaannya. Kalau toko sedang sepi aku menyapa mereka, namun kalau sedang ramai aku langsung berjalan menuju ruang pegawai. Kepalaku sudah menghapal rutinitas ini, dan tubuhku sudah familiar dengan aroma bunga-bunga kering, cahaya lampu sorot kuning dan putih, warna-warni kertas wrap, dengung mesin pendingin bunga, serta ragam bentuk dan warna bunga potong di toko. Sayang, butuh waktu lama bagiku, satu bulan lebih, untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan ini.
Aku akan merindukan banyak hal. Aku akan mengingat dan mengamalkan kembali hal baik yang aku alami, dapatkan, sempat lakukan selama di sana. Aku juga akan mengingat dan memperbaiki bagian diriku yang kurang—hal yang sebelumnya tidak aku anggap sebagai kekurangan, namun bagi dunia kerja yang dinamis dan penuh tuntutan, aku punya banyak kekurangan. Yah, pengalaman.
Ditulis pada 31 Oktober 2022.
2 notes · View notes
thatbrowncatlady · 1 year
Text
Aura, Makan Malam dan Cerita di Antaranya
Dari setengah jam yang lalu, aku bengong di depan layar karena bingung mau mengawali tulisan ini dengan kalimat apa. Aku mau cerita soal temanku, namanya Aura. Bagus, ya, namanya? Orang beneran, bukan tokoh fiksi dari novel Melangkah karangan JS Khairen (ngomong-ngomong JS Khairen, besok ada preorder novel distopia-politik pertamanya, Bungkam Suara. Beli, deh. Premisnya bagus banget).
Aku ketemu Aura pertama kali tanggal 9 November 2022 (Gendeng, lapo yo aku iso inget iki? Kurang kerjaan banget). Pernah dengar istilah sudden connection? Nah, kurang lebih begitulah aku memutuskan untuk berpikir, oke, kayaknya kita cocok temenan deh, dari obrolan pertama kami. Ini mungkin terbaca agak judgmental, tapi aku selalu menilai orang lain dari kecocokan kami dalam mengobrol pertama kali. Begitulah aku menyaring teman sejak masih berseragam putih merah sampai sekarang sudah jadi karyawan korporasi. Mungkin karena aku suka mengobrol, mungkin juga karena aku tidak luwes berbasa-basi ke orang yang nggak dikenal-kenal banget, jadi sekali merasa nggak nyambung, aku nggak bakalan berusaha untuk memancing obrolan-obrolan selanjutnya. Nah, kalau yang terakhir yang terjadi, maka kamu bakal bertemu Aulia yang pendiam (perlu kusyukuri ini tidak terjadi di kantor, artinya semua kolegaku orang-orang yang menyenangkan. Bilang apa, Saudara-saudara? Alhamdulillah).
Sampai mana tadi? Betul, Aura. Hadah.
Sudah seminggu terakhir aku selalu makan siang dan makan malam bareng anak ini. Sisi baiknya, Aulia yang memang lebih suka mengobrol dengan maksimal 2 orang ini jadi senang karena ada banyak cerita yang bisa dibagi. Poin plus lagi, kami punya terlalu banyak kesamaan (yang kalau dipikir, kok agak mengerikan ya, kenapa bisa sesama itu..). Satu, suka One Direction, 5 Seconds of Summer dan Why Don’t We. Dua, suka drama romcom. Tiga, putus dari mantan terakhir yang toxic lewat telepon (dan sama-sama menjadikan keluarga broken home sebagai alasan berbuat abusif. Duh, jangan-jangan, mantan kami itu orang yang sama?!). Empat, bias di One Direction sama-sama Niall Horan. Lima, sama-sama suka panen meme di Twitter untuk dijadikan stiker. Enam, pengepul stiker Patrick si bintang laut bodoh, temannya Spongebob. Random abis.
Di antara semua cerita-cerita personal yang dibagi tiap makan malam itu, aku jadi menilai Aura sebagai orang yang berhati luas (yang kemudian diprotes yang bersangkutan dengan tawa, “Hatinya luas tapi nggak ada yang ngisi!” Uhuk… kode ke siapa ya itu…). Dia selalu pasang telinga untuk siapa pun yang bercerita dan apa pun cerita orang tersebut. A very attentive and sympathetic listener. Kemarin lusa hujan deras mendera Palmerah dan suasana hatiku seketika memburuk. Aku punya memori jelek tentang hujan sejak bermukim di Jakarta, karena harga ojek online naik gila-gilaan, macet yang makin sulit terurai serta pernah basah kuyup karena melewati gang sempit yang antaratapnya saling bertemu, sehingga rasanya macam diguyur air dingin pakai gayung raksasa dari langit. Aku minta maaf ke Aura karena suasana hatiku yang buruk bikin acara makan malam itu jadi lebih hening dari biasanya, dan dia menjawab ringan, “Nggak papa, orang, ‘kan, ada kalanya bad mood, ada kalanya ceria, Au.”
Aku mau nangis rasanya.
Malam ini kami kembali makan bersama, dengan agenda cerita-cerita seperti biasa. Wajahnya kuyu dan nampak jelas kalau sedang buruk suasana hatinya. “Aku ra kolu mangan e, Au, parah banget iki,” katanya sembari menatap nanar fuyunghai yang sudah seperempat porsi. Aku mengelus-elus punggungnya, setengah berdoa semoga suasana hatiku yang masih lumayan oke bisa disalin-tempel lewat tangan macam dokumen komputer. Sebuah usaha agak sia-sia, sebenarnya.
Sampai suapan terakhir yakiniku yang kupesan, kami jadi banyak tertawa gara-gara membahas tipe pria idaman (aku MIKIR KERAS, tipe idealku yang gimana, ya? Masa mentok di tidak meninggalkan salat lima waktu dan seru kuajak ngobrol, sih? Kata anak Twitter mah, itu bare minimum banget) dan jarak usia ideal untuk mengencani orang (sumpah, random abis!). Satu hal aneh tentang koneksiku dengan Aura adalah, kami bisa tertawa hanya dengan melihat wajah satu sama lain, betulan tanpa ada kata yang terucap. Aku masih tertawa-tawa sembari memain-mainkan garpu sampai Aura bilang, “Eh, Au, aku suka banget lihat kamu presentasi tadi. Kamu semangat dan bisa menjelaskan maksudmu dengan sangat baik.”
Aku mau nangis rasanya (2).
Aku bareng Aura dari jam enam sampai jam delapan malam (kami ril diusir pemilik warung dengan didatangi dan diberikan nota pembayaran. Sebenarnya, waktu notanya dikasih, kami masih ngobrol, sampai ibu pemilik warungnya datang lagi dan bilang, “Mbak, dibayar sekarang ya. Pakai tunai atau QRIS?”), dan di sela-sela membereskan barang yang masih ada di atas meja, Aura sempat bilang dengan wajah berbinar, “Aulia, aku suka banget ngobrol sama kamu. Kamu seru orangnya. Tadi mood-ku jelek banget, sekarang jadi membaik karena ngobrol sama kamu. Beneran deh, kamu mood booster banget.”
Aku mau nangis rasanya (3).
Untuk ukuran orang yang selalu dianggap serius sejak SMP hingga kuliah, yang teman dekatnya bisa dihitung dengan dua tangan (dan itu pun bertemannya sejak SD), rasanya bertemu orang yang secocok itu untuk diajak berbagi keluh macam Aura itu seperti ketiban harta karun. Belum lagi karena ketemunya di kantor. Sebelumnya aku sudah menurunkan ekspektasi sampai minus untuk menemukan teman baik di lingkungan kerja, tentu karena setting profesional yang perlu kupatuhi. Betul-betul nggak kusangka bisa dapat teman sepengertian dan senyambung itu di umur sekarang, soalnya aku sempat naif berpikir semakin bertambahnya usia, semakin sulit bertemu teman baru. Nggak sepenuhnya salah sih, tapi paham, ‘kan, maksudku.
Semoga Aura selalu sehat, dikuatkan kemampuannya dalam menghadapi cobaan, dan keinginannya terwujud. Semoga selalu bisa makan enak dan tidur nyenyak tanpa pikiran berat yang menghantui. Senantiasa.
0 notes
willowtalks · 2 years
Text
Tidak Ada Weekend Hari Ini
Jakarta, 2019
Firma
Langit menceritakan bahwa sore ini akan turun hujan. Belum lama angin berbisik, seketika sudah turun hujan rintik-rintik mengenai secangkir kopi yang ku bawa sore itu.
Tungkai yang bergetar kedinginan, segera berlari masuk ke dalam ruangan bertembok abu. Rintik hujan di tepi jendela seakan mengolok aku yang kala itu haus akan angin segar.
Kala itu, raja siang mulai pamit ke peraduannya, tak heran aku mulai senang karena sebentar lagi akan pulang.
"Dit, tolong ya dit analisis data analitik bulan ini." dengan senyum getir Ani menyenggol bahu ku dengan meletakan satu rim kertas.
"Buk, ini bukannya data kemarin yang di kasih Mr. Ian untuk ibu kerjakan?"
"Kamu aja ya. Kan belum ada ekornya.lagi juga itung-itung pengalaman."
Rasanya 'pengalaman' dan iming-iming kenaikan gaji hanya sebuah angin segar untuk meninabobokan para lulusan baru yang haus pekerjaan dan pengalaman.
Aku terdiam, hanya dapat menghela nafas. Satu tahun aku bekerja pada firma ini, rasanya kata akhir pekan hanyalah sebuah delusi, tidak ada intensif apapun pula.
"Sabar aja, dit. Kita kan baru junior di sini." Kata Surya, kolegaku yang mencoba menghibur
Peradaban macam apa masih terjebak dalam bayang-bayang hierarkis. Jika boleh aku menulis dogeng mungkin cicilan, hantu masa depan, gaji tinggi dan kekuasaan akan menjadi lakonnya.
Seperti lagu Jambrud, jam dinding pun tertawa melihat aku yang masih berkutik dengan angka dan data di kala yang lain beriang-riang menikmati cumbuan manis akhir pekan.
-------
Waktu menunjukan pukul 22.00. Memang Jakarta kota yang tidak pernah tidur, masih ramai klakson, pengamen disertai polusi udara yang abadi. Setidaknya aku bisa bernafas lega tanpa beban menduduki kursi oranye di Metro mini.
Alunan lagu dari pengamen, tidak henti mengiringi tidurku di tengah perjalanan. Tak terasa sudah lebih dari 5 kali seorang pengamen menyinggung bahu ku.
"Bang duit bang. Jangan pura-pura tidur"
"Maaf"
"Kantoran doang, tapi pelit. Lemes lo bang!"
Cacian pengamen itu seakan mengingatkanku pada kata Fromm, lebih bermakna seorang anak yang menghabiskan waktu bermain gim dari pada pekerja korporat yang kehilangan gairah dimakan ketamakan kapitalis.
Remang-remang lampu seakan mendekapku untuk terlelap, namun gang rumah seakan menyiasati tarian selamat datang. Akhirnya aku pulang juga, bercengkrama dengan lembutnya pulau kapuk dan hangatnya peraduan.
Hari ini memang lelah, besok kita hentikan saja. Hidup masih panjang, kawan
1 note · View note
peaceseeker · 2 years
Text
satu hari yang tidak berpihak kepadaku
ada satu waktu dimana kita bisa saja merasa bahwa dunia sama sekali tidak berpihak sama kita. aku, merasa bahwa salah satu waktu itu, adalah hari ini. jika dirunut dari pagi, ada saja ternyata kejadian yang tidak mengenakkan suasana hati (insert emotikon senyum kebalik)
1. dari pagi, betis pegel. sampe males mandi. padahal ngajar jam 8. dari pagi aja, sudah terburu-buru. dasar aku.
2. ngajar pagi, kelasnya tidak aktif sama sekali hehe sering terjadi, tapi entah kenapa tadi pagi, rasanya sebel. minta on cam, atau bahkan on mic aja mahasiswanya ga mau. lagi-lagi ini sering terjadi, tapi ga tau tadi pagi, gedeg aja (insert emotikon senyum terbalik).
3. besok sabtu rencana ke bekasi. karena hari-hari sebelumnya teman yang rencananya pengen aku tebengi mengatakan tidak bisa pergi ke kondangan temen yang merupakan tujuan utamaku ke bekasi, aku jadinya pesen penginapan. ternyata, tadi pagi seorang teman lain menawarkan opsi lain dan ngajak barengan. ternyata penginapannya uda ga bisa direfund, karena H-1. jadinya, aku merelakan penginapannya. supaya bisa bareng temen, daripada harus merasa kesepian di ibukota. takut menangis hehe tapi duitnya ga balik :(
4. siang menjelang sore, sadar bahwa kerjaan menumpuk sekali. aku merasa (ini pure perasaanku saja) bahwa kolega-kolegaku tidak kooperatif. seringkali (lagi-lagi ini cuma perasaanku saja dan butuh ku keluarkan hehe), bahwa semua pekerjaan adalah tugasku. perkara beli snack, pinjam ruangan, pinjam kabel roll, pinjam remote AC dan proyektor, print absen, semuanya adalah pekerjaanku. and at the end of the day, aku sangat-sangat exhausted. sampe mau nangis. padahal besok mau ke bekasi... tapi rasanya ga ada yang memaklumi hehe
Tumblr media
5. akhirnya memutuskan makan di SS. pede banget mau bayar dulu, ternyata ATMku ga ada di dompet. aku benar-benar clueless ATMnya ada dimana. entah ketinggalan di ATM atau malah ketelen. di balik seluruh kisahnya, alhamdulillah alhamdulillah allhamdulillah, saldonya aman. apalagi yang di dalam rekening bukan cuma uangku saja :” balik ke ATM tempat aku ngambil uang siang tadi dan ngecek ke satpam, hasilnya nihil. oke, mungkin ketelen. tapi gapapa, yang penting uangnya aman dulu. dengan jiwa yang goyah dan gemetar, transfer seluruh uang ke rekening lain. sisanya dipikir minggu depan.
6. perjalanan pulang, sambil nyetir motor, air mataku tumpah ruah. cuma bisa bilang ya Allah, capek... sambil tenangin diri, takut dilirik orang-orang di lampu merah.
7. sampai kosan, teringat ada baju yang belum dijemur... ada piring yang belum dicuci... ada pekerjaan yang belum selesai bahkan masih diWA pun... masih belum packing...
8. niat hati ingin nonton match Fajar/Rian dengan harapan pasti menang, ternyata match 1 mereka kalah, match 2 mereka ketinggalan jauh poinnya. akhirnya... makin sedih. kenapa juga aku menggantungkan kebahagiaan ke mereka ya? kenal pun engga huh
sekian satu hari yang tidak berpihak kepadaku.
0 notes
dearesthana · 2 years
Text
Sebongkah Pikiran di Malam Hari
Satu hal yang kusadari dari hidup sendirian adalah bagaimana terkadang aku tidak mengenali diriku sendiri. Sungguh.
Belakangan aku merasa seperti menjadi orang lain. Setiap kali ada isu A yang dibahas, kemudian secara kebetulan aku menyetujui isu A dan lawan bicaraku tidak, tiba-tiba saja...aku berubah. Tidak, bukan tiba-tiba menyetujui. Aku akan memendam semua yang ingin kukatakan. Sendirian.
Aku baru saja selesai menonton film Kim Ji-young, Born 1982, dengan seorang teman satu kost duduk di sampingku. Aku menarik napas panjang-panjang. Film itu membuatku frustasi karena itu benar-benar terjadi. Banyak dari ibu-ibu di dunia ini mengalami baby blues dan depresi pasca melahirkan. Ditambah dengan sulitnya bekerja kembali setelah melahirkan, kebingungan-kebingungan tentang siapa yang akan mengurus anak, kemudian mengatur ekonomi keluarga setelah ada anak.
"Hah, filmnya sedih," ujarku.
"Stres dia. Itu salahnya sendiri kenapa merasa menderita sendiri," kata temanku.
"Aku ngerti kok apa yang dia rasakan. Aku juga pergi ke psikiater,".
Temanku kaget.
"Oh...oh, kamu juga?" tanyanya. "Kamu kenapa?".
"Minor anxiety disorder,".
"Kenapa itu?".
Aku berpikir sebentar, kemudian menjelaskannya dengan sederhana. Bahwa aku mudah merasa cemas. Aku bisa bertindak gegabah karena terlalu cemas dan membuat orang lain khawatir. Kalau terjadi serangan, aku bisa mual, muntah, dan pusing.
"Oh gitu, jadi kamu ke psikolog juga. Aku punya atasan yang ke psikolog. Dia menyuruhku ke psikolog juga. Hih, mohon maaf nih, aku nggak gila kayak dia!".
Entah kenapa, sesaat hal ini muncul di pikiranku.
Kurasa jika aku bukan seseorang yang kamu kenal baik dan ramah, kamu juga akan menganggapku gila.
Aku bingung apakah ini karena diriku terlalu sensitif atau terbawa film tadi. Namun, sesaat rasanya aku ingin menangis.
Sebulan lalu, aku mengalami serangan cemas pertamaku di tengah event bersama kolega-kolega kerja. Aku meninggalkan kolega-kolegaku dan berangkat ke tempat event tanpa mengabari siapapun karena terlalu cemas dengan persiapan acara. Tiba di venue, aku langsung bergegas dan bersiap-siap tanpa menyadari perutku mulai mual. Begitu menyadarinya, aku muntah di kamar mandi dan merasakan pusing.
Dan datanglah kolega-kolegaku tidak lama setelah itu.
"Hey, kenapa kamu pergi tanpa kabar? Setidaknya WhatsApp siapa, kek! Kamu dicariin orang-orang tadi,".
Aku merasa sangat bersalah. Aku biasanya tidak pernah demikian, tetapi serangan itu membuat impulsku tidak terkendali dan membuat orang lain susah.
Agar fair, aku memutuskan untuk cerita bahwa aku mengidap minor anxiety disorder.
"Kamu sudah makan?" tanya kolegaku. "Belum,". "Makan dulu kalau begitu,".
Saat itu aku merasa...aneh. Kurasa seharusnya sejak lama aku cerita soal sakitku. Namun, kenapa ya aku selalu memendam semuanya? Kenapa aku memilih tidak bercerita?
Mereka tidak memandang aneh. Semua bersikap seolah tidak terjadi apa-apa pagi itu dan memperlakukanku seperti biasanya.
Seharusnya kuceritakan saja sejak awal, batinku.
Aku menyadari bahwa belakangan...terlalu banyak yang kupendam. Aku semakin takut untuk bersuara sejak berada jauh dari keluarga. Aku semakin takut menunjukkan diriku sendiri kepada orang lain.
Karena aku sendirian.
Dan aku takut dijauhi orang karena terlalu berbeda.
0 notes