Tumgik
#Mempercayai Sekolah Kedokteran
generasbir · 2 years
Text
Cerita Dokter Suzanne Pernah jadi korban cuci otak yang percaya kebijakan
,.Suzanne Humphries, M.D.
"DOKTER CUCI OTAK""
Saya pernah menjadi salah satu dari dokter yang dicuci otak yang percaya pada kebajikan sebal dari sistem medis & percaya bahwa semua yang saya pelajari adalah yang terbaik yang ditawarkan zaman modern."
Tumblr media
Selengkapnya klik disini ⬆️ diatas gambar.
0 notes
zulfaaaa · 7 years
Text
Berjuang tak sebercanda itu
Lagi dan lagi, sampai detik ini pun setiap kali aku membuka hasil pengumuman ujian aku selalu mendapati 'merah' atau sebut saja gagal, bahkan orang menyebutnya "tidak lolos". Bukan hanya sekali, dua kali saja .. Aku mendapat merah sudah 4x dalam kesempatanku mendapat kursi di PTN. Mulai dari Snmptn, Sbmptn, Utul Ugm, bahkan Um Ptkin pun aku gagal. Iya, aku memang jauh hari sebelum sbmptn, mmm mungkin 1 bulan sebelumnya, aku sudah menekuni belajar SAINTEK (ipa). Karena aku berniat utk ambil jurusan KU (Kedokteran Umum) nantinya agar seperti kakak laki2ku. Karena di samping itu kk laki2ku memang awalnya dia ketrima Snmptn di Teknik Sipil UNS dari sekolahnya, Teladan Jogja. Tapi di tahun ke 2, tiba2 bapakku menyuruhnya dia pindah di KU. Dengan inisiatif lain agar sekiranya tahun ke2 dia berhasil di KU, kk laki2ku mendaftar KU UII dan ketrima. Lalu dia ikut tes Sbmptn, dan alhamdulillahnya dia lolos di KU Unej. Sempat berpikir di dlm benakku, "utk apa pindah, teknik sipil UNS aja udah bagus banget, jalur undangan lagi" tp ternyata salah. Itu semua, terwujud bukan dengan ridho bapakku sepertinya. Akhirnya aku memantapkan utk masuk jurusan KU di waktu itu, karna aku anak terakhir dan kebetulan jurusan SMAku IPA. Awalnya memang berat, tapi karena berpikir lebih jauh dengan aku yg sampai saat ini blm bisa membanggakan orang tuaku, dan makin hari bapak dan ibu juga menua akhirnya aku belajar Saintek setiap malam, seusai aku nderes Qur'an utk setoran hafalan paginya dengan Bu Nyai. Tapi anehnya, 2 minggu sebelum Sbmptn .. Entah keyakinanku yang goyah, atau mungkin memang petunjuk Allah aku merasa tidak pas di KU. Sambil merenung malamnya di kamar pondok, aku menangis .. Aku harus bagaimana pikirku. Akhirnya aku sholat malam waktu itu, mungkin Allah tidak memberikan jawaban lewat mimpi, tp ternyata Allah memberi jawabanNya lewat kemantapan hatiku. Paginya aku yakin dan mengikhlaskan, aku memantapkan untuk ambil Soshum (ips) karena sebenarnya aku ingin ambil Ilmu Komunikasi, HI, dan Pariwisata. Di hari itu juga aku menelpon bapak ibu. Ya tanggapan keduanya hanya "Ngapain kok ambil ips? Belajar ipa 3 tahun eman2. Ngapain ambil ilmu komunikasi? Ambil Pariwisata? Mau jadi apa". Ya katanya yang sedikit membuat aku sedih. Dengan tegar aku hanya menjawab "Pak, Buk .. Yang namanya belajar itu gk ada yg sia2. Lagian per jurusan juga ada jatahnya masing2". Mungkin bapak ibu sempat heran denganku. Semenjak SMA aku sudah tidak pernah masuk 3 paralel lagi, padahal dari TK sampai SMP aku selalu mendudukinya. Jd ibarat hidup bagai sebuah roda mungkin SMA layaknya aku sedang berada di bawah. Karena sejujurnya, aku bingung, "Bagaimana aku mau fokus dengan akademik di sekolah kalau aku juga ingin fokus di kitab dan hafalan qur'anku di pondok?". Akhirnya aku memilih utk fokus dua2nya, ya tapu jadinya begini. Semuanya terasa biasa saja, tak ada yg begitu dibanggakan. Tp aku lebih memilih passionku utk mengambil jurusan Ips di Sbm tahun ini, aku menjelaskan bapak ibuk pelan2 tentang apa yg ada di diriku. Akhirnya bapak ibuk mengizinkan aku ambil Soshum, mungkin dengan sedikit rasa yang kaku. 2 minggu itu aku gunakan utk belajar Soshum, les2, dan latihan soal. Sekitar h-5 sbm, aku mengikuti TO sbm di UNS. Ya tanpa di sadari aku mendapat peringkat 4 dalam prodi Soshum. Di situ aku semakin merasa bisa, bahwa aku tidak salah mengambil Soshum. Tapi mungkin sampai detik ini, Allah berkata lain. Allah ingin melihat usahaku lebih keras dan lebih siap lagi. Mungkin Allah menyadarkanku, bahwa sebenarnya Ridho-Nya ada di Ridho orang tua. Bapak selalu bilang sampai sekarang "Coba jalur mandirinya PTN, nanti kalo gk masuk juga Zulfa lanjutin ngehafalin Qur'annya setahun. Gk usah ngotot ngejar PTN. Sesungguhnya Allah yang Maha Mengetahui. Skrg Zulfa coba dulu jalur mandirinya, ikhtiar mencari jalan Allah. Kalo emang nantinya gk masuk .. Mungkin emang jalan terbaikmu ngehafal Al-Qur'an dulu setahun. Bapak tetep dukung itu, jaminan dunia akherat. Zulfa pun nantinya bisa ngalahin Mba Arin ( kk prmpuanku) yg S2 Ugm dan mamas yg KU. Semangat, sedih boleh asal jgn kelamaan. Kalo Zulfa sedih trs, brarti km kurang percaya akan kuasa-Nya". Ya dalam nasehatnya itu aku selalu sedih, tp aku selalu yakin. Allah Maha dari segala Maha. Allah Maha Mengetahui apa yang hambaNya tidak ketahui. .. Dan tanpa sadar, kemarin malam seusai aku tadarrus di rumah, aku menemukan tulisan di halaman Qur'an yg terakhir, tertulis "Harus bisa jadi Hafidzah" dengan tanggal 14 Maret 2014. Sampai saat ini aku bertanya "Kapan aku harus memulai istiqomah menghafal?". Kalaupun dibolehkan meminta "Aku hanya ingin masuk PTN sambil menghafal Qur'an tahun ini". Tapi entah apa skenarioNya. Karena aku percaya, sebaik2 harapan dan rencana, hanya Allah yang mengetahui .. Mana yang terbaik. Bismillahirrahmaanirrahim, semoga Allah selalu memberi petunjuk, kemudahan, dan jalan dalam mendekatkan diri kepadaNya. Dalam mempercayai, bahwa takdir saat ini adalah bagian rancangan terbaik dari skenario-Nya. Jadi, jangan takut gagal. Karena gagal adalah langkah awal dalam meraih kesuksesan. Semangat! :)
3 notes · View notes
Entah hantu jenis apa yang merasukiku hingga hampir kehilangan jiwa. Hari ini, sapa yang ku harapkan tak kunjung hadir. Terlalu enggan mendahului sekedar menanyakan kabar, karena aku terlalu sibuk menenangkan resahku di selasar lantai 5 lorong rumah sakit sejak pukul 8 pagi tadi. Berulang kali menatap kedipan lampu kiri atas telepon genggamku, berharap adanya pesan dari mu. Mungkin hari ini kamu tak datang, mungkin disana kamu sibuk mengharapkan hal yang sama. Sebuah sapa, tapi bukan dariku. Tapi dari mantan kekasihmu sebelumku. Detik begitu cepat berganti jam, panggilan dari pengeras suara menyebutkan namaku. Aku tak langsung berdiri, hingga namaku menggema berulang kali. Dua map putih besar bercapkan nama rumah sakit dan namaku. Lalu aku di kagetkan oleh tepukan di pundakku yang ternyata dokter yang juga sepupu mantan pacarku yang pertama. Sambil tersenyum dia merangkul, mengajakku untuk masuk ke dalam ruang prakteknya. Ruang praktek yang dulu kami bertiga dengan damai bercengkerama di dalamnya, kini yang tersisa tinggal berdua saja. Aku duduk di kursi hitam dengan mengendus aroma ruangan yang selalu membuat badanku sedikit rileks. Dokter itu menarik kursi, mengarahkannya untuk lebih dekat denganku. Tak lama, aku di hujani pelukan hangat beserta belaian lembut tangannya di permukaan jilbabku. Firasatku makin memburuk, pelukan hangat itu begitu erat. Belaian itu bergetar seperti tak ingin lepas. Sebelum airmataku tumpah, matanya sudah menggenangkan air di pelupuknya. Aku tahu aku sedang tidak baik-baik saja, sambil tersenyum aku mengucap ‘Gpp, bilang aja.’ Walaupun aku sudah hancur sebelum tahu kondisiku saat ini. Dengan senyum sang dokter menenangkanku, perlahan dengan hati-hati memilih kata yang tepat untuk menggambarkan hasil tes yang aku tak paham betul bahasanya. Aku anak kedokteran yang kalah sebelum perang. Seperti tendangan tepat di dadaku, aku sesak secara tiba-tiba dan tanpa ampun. Aku berharap panah cinta yang tersamat disini, bukan hantaman yang bikin pilu semakin menjadi. Dokter memberikan aku waktu untuk lebih lama duduk di kursi sofa hitam tempat biasa aku merebahkan diri beberapa tahun belakangan. Tak lama ponselku berdering, itu nada panggilan. Aku berharap itu kekasihku. Lagi-lagi harapanku pupus setelah melihat di layar bukan namanya, melainkan mantan pacarku. Aku yakin, sepupunya sudah memberikan kabar perihal kondisiku. Tapi entah kenapa, tangisku pecah diruangan itu. Meraung kesakitan seakan seperti baru saja di hajar sekelompok orang. Suara di ujung telepon itu hanya mampu berucap 'Gpp, kalau mau nangis, nangis aja. Di habisin sekarang, aku dengerin.’ Selang dua jam kemudian, tangis itu tak mereda jua. Walaupun tak sekeras raungan pertama, isakan itu masih menyentak dadaku. Mataku gelap, kelopakku mengembang berkali lipat dari ukuran normal. Dokter membiarkanku menangisi takdirku bersama sepupunya yang hadir menemani berupa panggilan telepon. Aku tak mendengar suara apapun selain ucapan yang tadi. Dia terdiam dan aku terus menangis tanpa henti. Tak lelah dan tak mengering. Seketika telepon terputus, aku tak berpikir untuk menelponnya kembali. Hati ini masih enggan mempercayai takdirnya yang harus terluka dulu. Tak lama dia hadir di balik pintu masuk. Dengan segera mendekapku, dan kembali tangisku memecah ruangan sunyi yang ramai karena suara tangisanku saja. Pundak kirinya basah sampai ke dada. Tangannya tak sudah berhenti mengusap kepalaku. Bibirnya tak jeda mengecup sisi kanan kepalaku. Sambil berbisik 'Aku disini, ga pernah jauh. Nangis aja sampai lega.’ Aku menggangguk. Aku berharap itu kamu, bukan dia. Jarak sejam, tangisku mereda. Menatap layar telepon genggamku, berharap ada sekedar perhatian berbentuk pesan singkat darimu. Tidak ada. Pesan datang hanya dari grup teman sekolah dan tempat kerjaku dulu. Aku tak mengharapkan apapun dari orangtuaku, mereka tak bisa di ubah. Tapi harapku satu-satunya untukmu adalah agar kamu tak seperti mereka. Harapku dijawab tingkahmu, bahwa itu hanya sekedar harapanku saja. Kamu persis seperti Ayah, Ibu, Kakak dan Adikku. Atau aku yang tak pernah mau mengalah pada egoku sendiri menuntut kamu memberikan waktu untukku sedikit saja. Seujung satu ruas jari kelingking ku. Aku rindu kamu, sepanjang jalan pulang aku menilik laman blog-mu. Berharap ada satu paragraf saja tentang kamu yang juga rindu aku. Tak ku temukan. Namun seketika jariku menelusuri tulisan lawasmu, seakan mengembalikan semua tanya yang tak pernah terucap. Jawaban menyeruak dari bait bait puluhan sajakmu. Tentangnya terjawab sudah. Rasa penasaranku sirna, luka kembali menganga. Memang tulisan itu tergores di hari aku belum hadir menyapamu. Tapi ada janjimu di beberapa bait yang menegaskan bahwa hadirku kini tak akan membawa arti apapun untukmu atau sekedar menukar lukamu dengan semua usahaku membahagiakanmu. Akhirnya, aku mengerti mengapa tak ada sapamu hadir hari ini meski semalam kita bercumbu dalam sunyi yang ku pikir itu bagian dari ekspresi cintamu kepadaku. Peranku takkan pernah jadi arti lebih untukmu. Dia yang selalu menjadi ratu mu. Bahkan untuk berpura-pura peduli padaku pun kamu enggan. Lalu aku mengutuki diri sendiri. Bisa-bisanya aku masih mengharapmu yang jelas jelas tak ingat siapa aku. Aku berdiam, membanting ponselku. Sepanjang sisa perjalanan pulangku ke rumah, aku berdoa pada Tuhan agak rasaku untukmu sirna. Tak ingin berharap apapun lagi, pedihnya seperti menyayat nadiku sendiri. Menjelang senja, sapamu hadir dengan alasan yang tak asing. Aku mengiyakan. Tak ingin berdebat dan tak ingin berharap. Aku berjalan mengikuti takdirku yang tak perlu kamu. Aku menyilahkanmu untuk sesukamu menganggapku ada atau tidak. Pikiranku sudah terlalu riuk oleh cara bagaimana untuk mampu bertahan hidup malam ini tanpa harus mencoba bunuh diri. Aku ingin sekali membencimu. Benci dengan segala kutukan untuk takdirmu. Lalu yang ku bisa hanya membenci diri yang termakan kutukan sendiri. Aku terlalu mencintaimu yang tak pernah mencintaiku. Bahkan pada titik terendahku, aku masih mengharapkan sosokmu yang masih sibuk merenungi kisah lalumu. Aku yang takkan lagi menyempatkan waktu untuk mampir ke laman apapun milikmu. Aku mengizinkanmu mencumbui segala kisah kasih ratu itu sampai kamu mati suri. Aku mengutukmu, kelak pada siapapun cintamu berlabuh semoga dia tak mencintaimu dengan utuh. Kelak bukan lagi kamu yang menyakiti siapa, tapi kamu yang tersakiti oleh siapa. Aku mengutukmu dengan semua amarahku. Semoga kali ini Tuhan tak lengah mendengarkan doaku.
2 notes · View notes
intankhasanah · 7 years
Text
Sepenggal Kisah Masa Remaja dan Kanker Stadium Empat: Petaka atau Anugrah?
Ingin sekaliku kisahkan secara rinci pertarunganku yang belum usai selama 6 tahun terakhir dalam membantai setiap sel kanker yang masih bersemayam di tubuh ini. Sel kanker yang menghalangiku untuk kembali mencicipi kesehatan yang sudah lama kudambakan nikmatnya. Apalagi sel kanker tersebut sempat mengganas hingga dua kali. Kali pertama tahun 2013, kanker membuatku tak mampu bernapas tanpa alat bantu. Kali kedua tahun 2016, kanker membuat separuh badanku sempat mengalami kelumpuhan. Jangankan berdiri, dudukpun saat itu aku tak mampu. Mengerikan rasanya, terlebih bagi diriku yang sangat mencintai berbagai aktivitas fisik, mulai dari berjalan kaki, menari, bersepeda, hingga lari. Namun bila kuceritakan semuanya dengan rinci, yang ada aku seperti menuliskan buku autobiografi kehidupanku saja. Hah, itu tidak mungkin kulakukan sekarang. Rasanya belum pantas dan tepat. Belum saatnya kutuliskan itu semua, sebab pertarungan ku melawan kanker belumlah usai. Jadi, biarlah kutuliskan garis besarnya saja, dengan harapan ada pelajaran yang dapat diambil dari setiap peristiwa yang terjadi.
Saat itu umurku baru saja memasuki angka 17 pada tanggal 25 Desember 2012. Aku masih duduk di bangku kelas 2 SMA ketika pertama kali menemukan benjolan sebesar kelereng di leher kanan ku setelah aku sembuh dari demam tinggi beberapa hari sebelumnya. Aku kemudian dibawa ke RS Awal Bros Pekanbaru oleh kedua orangtuaku dan menemui dokter penyakit dalam disana, beliau bernama dr. Yani. Cek lab pun dilakukan, bahkan hingga 2x dengan dua dokter lab yang berbeda, dan mereka semua terutama dr. Yani itu masih saja bersikeras bahwa aku telah terkena TBC. Sebuah diagnosa yang kemudian ku ketahui 100% SALAH. Diagnosa yang mengantarkanku pada keganasan kanker Limfoma Hodgkin, istilah medis untuk kanker kelenjar getah bening, dan beruntungnya, saat itu aku sudah memasuki stadium-4. 
Bagaimana akhirnya aku tahu penyakitku sesungguhnya adalah kanker kelenjar getah bening dan bukan TBC? Jawabannya adalah, setelah aku kemudian dirujuk ke RSUP Persahabatan di Jakarta Timur 8 bulan kemudian. Dokter disanalah yang memberitahukan kondisiku yang sebenarnya, memberikan diagnosa yang tepat setelah mereka memeriksa ulang hasil biopsi ku. Singkat cerita, sebelum aku dirujuk ke RSUP Persahabatan dan masih berobat di RS Awal Bros, setelah 8 bulan aku rutin mengonsumsi obat yang salah yaitu obat TBC, berbagai keluhan mulai kurasakan. Benjolan di leherku semakin besar, yang awalnya hanya di sisi kanan, sudah merambat ke sisi kiri. Napasku sesak. Batukku hampir sebulan tak kunjung sembuh. Tubuhku terasa lemah dan lemas setiap harinya. Setiap malam pakaianku basah dibanjiri keringat, sekalipun aku tidur di ruangan ber-AC. Akhirnya aku kembali ke RS Awal Bros Pekanbaru untuk kemudian dibiopsi di ruang operasi dengan bius total. Saat terbangun, ternyata aku sudah terbaring di ruang ICU dengan berbagai alat yang terpasang di tubuhku, termasuk ventilator yang membuatku masih bisa bernapas dan bertahan hidup. Baru kemudian aku tahu bahwa aku sempat koma beberapa jam dan sama sekali tak bernapas akibat paru-paruku yang sudah penuh terisi cairan akibat kanker yang telah menyebar. Baru kemudian juga aku tahu bahwa pada saat itu banyak orang yang mengira aku akan segera menemui ajalku. Namun jika memang belum saatnya, maka keajaiban dari Allah akan selalu datang menghampiri. 
“Benar-benar sebuah mukjizat”, itu lah kalimat yang sering kali kudengar dari banyak orang ketika mereka melihat aku yang masih hidup dan dapat kembali beraktivitas seperti biasa setelah beratnya perjuangan yang kulalui pada saat itu. Terbaring selama 10 hari di ICU dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, hidup hanya karena dibantu oleh alat-alat medis, siapa yang menyangka orang itu (aku) akan kembali pulih? Namun itulah yang terjadi, berkah tiada tara dari Yang Maha Kuasa.
Perlahan kondisiku mulai membaik, akupun kembali pada rutinitasku sebagai pelajar SMA di SMAN 8 Pekanbaru, Riau. Aku harus belajar dengan giat demi mengejar berbagai ketertinggalan pelajar maupun ujian susulan akibat sebulan lebih diopname di RSUP Persahabatan, dan 4 bulan selanjutnya harus bolak-balik Jakarta-Pekanbaru untuk menyelesaikan kewajiban kemo dan sekolah. Ya, aku harus berjuang keras untuk sembuh dari kanker Limfoma Hodgkin stadium 4 sekaligus berjuang demi masa depanku untuk lulus SMA dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi impian. Kampus UI dengan jurusan Ilmu Komunikasi adalah impianku. Impian yang terlalu tinggi untuk diwujudkan jika melihat kondisiku pada saat itu. Namun siapa sangka, setelah perjuangan dan rasa sakit yang kucoba abaikan sebaik mungkin, akhirnya aku dinyatakan lulus UN dengan nilai yang sangat memuaskan serta lulus sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia. Sungguh, hadiah terindah yang diberikan Allah setelah perjuangan berat yang kulalui sepanjang tahun tersebut. Bergumam aku di dalam hati, “Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan, wahai Intan Khasanah?”.
Jika di dunia pendidikan aku berhasil meraih salah satu impianku, lantas bagaimana dengan di dunia medis? Bagaimana kondisi kesehatanku setelah berbagai terapi yang kulalui? Apakah aku telah dinyatakan sembuh dari kanker? Ternyata setelah dilakukan ct-scan sebanyak 2 kali di tahun 2013 dan 2014, tubuhku masih belum bersih dari kanker, tinggal sedikit lagi memang. Aku pun dianjurkan untuk kembali kemo dengan dosis yang lebih tinggi. Namun karena aku sudah begitu lelah menanggung derita kemo, akhirnya aku memilih untuk kabur dari medis dan mencoba pengobatan lain.
Kabur dari medis adalah sebuah keputusan teramat bodoh yang pernah kulakukan. Betapa bodohnya aku yang sempat mempercayai janji-janji palsu dari pengobatan alternatif yang kupilih saat itu. Keputusan yang kini sangat kusesali, karena hal itulah yang membuat kanker di tubuhku kembali menggila dua tahun kemudian. Disini aku tidak bermaksud untuk menjelekkan semua pengobatan alternatif, tentu alternatif yang benar akan memiliki andil terhadap kesehatan seseorang, tapi dengan syarat tidak mengabaikan pengobatan medis. Sayangnya aku terjebak di pengobatan alternatif yang salah, dilakukan bukan oleh orang yang memiliki latar belakang kedokteran atau ilmu kesehatan sama sekali. Pengobatan alternatif yang menjanjikan kesembuhan tanpa sedikitpun bantuan medis, rasanya tidak masuk akal bukan?
Coba tebak apa ganjaran yang kudapatkan setelahnya. Tubuhku kembali terjangkit kanker, namun dengan penyebaran yang berbeda. Jika kali pertama kanker menyebar ke paru-paru, kali kedua kanker menyebar ke tulang belakang. Kanker itu telah membuatku sempat tak mampu berjalan, bahkan untuk duduk dan mengangkat leher pun aku tak sanggup. Belum lagi rasa sakit luar biasa yang harus kutanggung. Hal itu terjadi akibat saraf-saraf di tulang belakang dan beberapa ruas tulang leher ku telah digerogoti oleh sel kanker dan tumor yang bersarang disana. Sungguh, itu adalah mimpi terburuk yang pernah kualami seumur hidupku.
Selama itu aku harus kembali berjuang, rutin melakukan terapi, baik itu kemoterapi, radioterapi, fisioterapi, hingga tomoteraphy. Aku juga kembali harus terbaring di meja operasi untuk mengangkat tumor yang bersarang di tulang belakang ku itu, dan kembali bermalam di ICCU selama 2 hari. Jika dihitung, total pengobatan yang sudah kulalui dari tahun 2013 hingga awal 2018 antara lain, aku sudah menjalani 6x operasi (2 operasi kecil, 3 operasi sedang, dan 1 operasi besar). Aku juga sudah melalui 17x kemoterapi, 70x radiasi (50x dengan radioterapi dan 20x dengan alat tomotherapy), serta fisioterapi yang tak kuhitung sudah berapa kali. Fisioterapi yang kulakukan untuk melatih motorik kaki ku agar dapat berfungsi normal seperti sedia kala.
Alhamdulillah, kini aku sudah mampu berdiri serta berjalan kembali. Aku bahkan sudah bisa berlari meski belum sekencang dulu sebelum kanker menggerogoti saraf-saraf di tulang belakangku tepat saat aku baru memasuki usia 20 tahun. Kini aku sedang menunggu jadwal kemoterapi (lagi, dengan dosis tinggi untuk membombardir seluruh sel kanker si parasit, meski sel-sel sehat ku juga akan mati), serta jadwal pet-scan yang akan dilakukan segera setelah pembombardiran kanker selesai.
Jujur saja, aku takut. Aku trauma dengan kemo. Aku lelah dengan segala efeknya yang memuakkan. Namun apalah daya jika pasrah adalah satu-satunya pilihan yang tersedia selama proses pengobatan ini. Lakukan saja, daripada dipikirkan, yang ada aku bisa jadi gila. Daripada melihat sisi buruknya, lebih baik kutolehkan kepala ini pada sisi baik kanker, melihatnya sebagai “hadiah” dari Allah, sebagai sarana pengampunan dosa secara cuma-cuma. Karena melalui kanker, kudapati banyak sekali orang-orang yang ternyata menaruh perhatian dan kepedulian padaku. Orang-orang yang bahkan tak pernah kuduga sama sekali. Kutemui indahnya rasa syukur dari setiap perputaran waktu yang dulu jarang sekali kuhargai. Tak ada lagi istilah take it for granted di kehidupanku. Selain itu, ada satu hal yang benar-benar kuyakini dan kujadikan pegangan hidup, bahwa kanker mungkin saja bisa menggerogoti fisik seseorang, melemahkan dan bahkan merusak fungsi berbagai organ tubuh manusia, namun tidak dengan mentalnya. Takkan ada yang mampu menyentuh dan menghancurkan mental serta semangat seseorang kecuali atas izinnya sendiri.
13 notes · View notes
ceritatika · 7 years
Text
Hujan Hidupku
“Ya ampun. Aku gak pernah kasih laporan nilai gitu ke orang tuaku kayak pas SD.”
Celetuk temanku membuatku tersenyum. Justru aku tidak pernah merasa seberuntung ini.
Ada ayah yang senantiasa memotivasi dan mengikuti tumbuh kembang perjalanan akademikku dengan begitu perhatian.
Ada ibuk yang senantiasa mengontrol kebutuhan primerku, memberikan apa yang ku butuhkan, bahkan rela datang ke kota rantau demi menuntaskan rindu anaknya yang tidak bisa pulang.
Setiap ayah dan ibu mempunyai cara teristimewa untuk menunjukkan kasih sayang beliau.
Kepadaku, ayah tidak sungkan menanyakan seperti apa supervisor staseku kali ini, siapa saja kelompok kecilku, dan bagaimana sistem ujianku nanti, bahkan aku mendapat kasus besar apa, ayahku begitu ingin tahu. Seperti itu berulang kali hingga staseku berakhir.
Padahal beliau bukan tenaga kesehatan. Padahal beliau tidak begitu mengerti apa itu dunia kedokteran. Tapi beliau mau belajar memahami seperti apa kesibukan akademisku. Beliau mencoba mengerti istilah-istilah medis yang sungguh asing ketika aku begitu cerewet bercerita aktivitasku seharian.
“Berarti kalau ada kecelakaan di jalan jangan langsung ditolong sebelum cek kesadarannya dan dipinggirkan ke tempat yang aman dulu Mbak?”
“Anaknya kejang-kejang lebih cepet obatnya lewat dubur daripada ditelan? Kok gitu?”
“Jadi penyakit pembesaran tiroid bisa bikin gampang degdegan?”
“Tadi kesuraman di radiologi istilahnya usen apa opak Mba?”
Diam-diam ayah ternyata mempunyai note sendiri tentang perjalanan akademikku. Beliau mencatat istilah-istilah anehku, lalu mencoba mencari arti, dan memaknai susah payah dari mesin pencari.
Aku ingat, beliau menyembunyikan raut kekecewaan ketika aku gagal di ujian perbaikanku Radiologi untuk kedua kalinya. Hasilnya pun di ambang batas, 69,7 untuk mendapat nilai batas lulus B. Aku sempat melihat raut suram sekilas pada wajah ayahku saat video call. Kesuraman yang pernah ku lihat saat wisuda S1 silam.Dan ayah tahu, wajah kesuraman akan melukai semangatku. Maka Ayah memilih untuk diam sejenak, lalu berkata penuh keteduhan,
“Keberhasilan Mbak lagi ditunda sebentar lagi sama Allah. Tetap semangat menyelesaikan dengan baik ya, Mbak.”
Dan pada akhirnya, doa Ayah berlabuh sesuai takdir. Aku dapat lulus dari dunia hitam putih ini setelah tiga kali mencoba, dengan nilai yang awalnya sempat ku pesimiskan karena sistem hanya memperbolehkan peserta ujian ulangan mendapatkan nilai di batas tuntas. Tapi, Allah Maha Baik, aku diperbolehkan untuk lulus dengan nilai maksimal. Sungguh di luar dugaan. Ataupun beberapa ujian di stase koas yang rasanya sulit ku lewati, semua mempunyai hasil yang menenangkan. Ku rasa ini berkat sebongkah doa Ayah Ibuk yang menggebu-gebu untuk anak-anaknya.
“Mbak ujian jam berapa nanti? Insya Allah Ayah Ibuk temani di atas sajadah sambil sholat Dhuha.”
“Mbak gak boleh mengerdilkan harapan karena Mbak punya Allah. Hati dosen Mbak pun milik Allah, semoga Allah melembutkan. “
Ayah tak pernah memintaku untuk mendapatkan nilai tinggi. Tetapi, Ayah mengenalku dengan baik, bahwa aku butuh dipacu adrenalin agar berusaha maksimal. Ayah pun yang senantiasa meluruskan niatku, memompa semangatku ketika lelah saat buntu memahami konsensus terbaru. Ayah pun yang tak segan memberiku reward untuk passionku, salah satunya diijinkan memenuhi undangan di luar kota dengan jarak beribu kilo meter jauhnya. Ayah tahu, aku hidup dari semangat orang lain, dan beliau mengupayakan yang terbaik untukku.
Ayah pun tak pernah meminta yang berlebihan. Setiap ganti tahun, nasihat Ayah selalu sama,
“Terima kasih atas doa dari anak-anakku. Doa Ananda sudah lebih cukup.  Tetap semangat menempa ilmu, semoga anak-anakku senantiasa jadi amal jariyah Ayah dan Ibuk.”
Dari Ayah pun aku mencoba melihat sisi kehidupan lebih luas. Ayah tidak pernah segan membantu orang lain. Ayah yang kupandang lelah seharian bekerja di kantor, tapi tetap meluangkan waktu untuk para tetangga yang berkonsul tentang pendidikan. Entah sudah berapa banyak buah dan aneka sayuran, hasil panen sawah, ataupun oleh-oleh dari para tetangga sebagai imbalan atas nasihat ayah di masa lampau. Bersama Ibuk, Ayah memahami profesinya sebagai satu-satunya PNS yang berkecimpung pada  dunia pendidikan di desa kami untuk menghidupkan semangat belajar generasi mudanya.
“Semua sekolah baik. Yang tak baik jika masuk hanya untuk gengsi, lalu tidak tahu mau ke mana setelah lulus. Serba salah, mau mengelola sawah pun tidak paham, mau ke kota keahlian tidak mumpuni. Mesakke’ wong tuwone.”
Dan yang paling aku kagumi, ayah yang menyayangi kakak iparku meski baru mengenal kurang dari satu tahun. Kebetulan Mas yatim piatu sejak 10 tahun terakhir dan tinggal bersama kakak perempuannya.
“Masmu adalah nahkoda pada rumah tangga Mbak-Mas. Jadi, apapun yang Ayah Ibuk kasih untuk Mbak, meski Mbak anak kandung Ayah, semuanya adalah milik Mas seutuhnya. Mbak hanya mendampingi. Karena imam selalu ada pada pundak laki-laki.”
Ayah yang tak pernah berhenti melapangkan dadanya, di setiap kesalahan-kesalahan yang aku lakukan. Aku tahu, ayah kecewa. Ayah menahan luka pada hatinya.  Tak sekalipun ayah memarahiku atas akibat yang harus ditanggung keluarga kami, akibat dari keputusanku yang terburu-buru.
“Yang penting Mbak belajar mendewasa dari kesalahan Mbak sendiri.”
Ayah yang tak pernah berhenti mempercayai metamorfosis.
Ayah yang terus mendampingi di setiap fase pendewasaan.
Terima kasih telah bertahan menyertai.
Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
(Hujan di Mimpi-Banda Neira)
0 notes