Untuk setengah langitku.
Matahari di musim dinginku.
Gerimis hujan di musim panasku.
Larut gula dalam teh manis pagiku.
Semilir angin di terik siangku.
Remang jingga pada warna senjaku.
Sinar bulan di gelap malamku.
Daun-daun berdansa, menari bersama pantulan air yang mengombak mesra.
Awan-awan memori melambung sunyi di antara harmoni,
berimigrasi bersama burung-burung mengarungi angkasa tertinggi.
Dalam batasnya sangkala memberi kesempatan pada sungai untuk bermuara.
Memancang tiang mata air jiwa yang merobohkan tembok-tembok batas logika.
Di pintu rasa nada-nada mengalun sempurna bersama doa,
menyulam mimpi dengan jarum-jarum harap yang harumnya mengendap.
Every year on Christmas Day I always get the same dream. It is a dream of me meeting my father who had passed away since I was 5 years old. But this year was special, this one went beyond cool.
The dream started with the conversation between me, my older sister, and Mom.
Ditta: “I miss Dad. Why did he have to go so fast?”
Ninta: “He’s working, he’s still alive, ask Mom.”
Mom: “Ditta come here, I wanna tell you something. Your dad is still alive, I have to make up a story about his death because he got a secret job to do in outer space. I’m sorry I have to hide it from you all this time. Don’t tell your little sister, I’ll tell her later when she comes of age.”
Suddenly my dad appeared. He’s really handsome with shoulder length black curly hair and pointy nose just like my older sister, Ninta. He’s wearing a white outer space pilot suit, he looked very young. Then he came to me and hugged me so tight that I couldn’t hold my tears. That moment was very very very special, because I’ve never hugged him in my “Christmas dream” before.
After a very long, warm, and tender hug, he told me that he had to go. And what he said later is the best part of this dream.
“My beloved daughter, I’m sorry but I have to go now. I have to catch The Beatles concert with Luke. See you soon my love.”
And then he went into the spaceship (like the one in Star Wars movies). Oh God, my dad is super cool. The coolest one in the world I guess. He must be also the coolest one in heaven. So, see you soon Dad, I’ll wait until the next Christmas! And oh, don’t forget to give my regards to John and George.
“Kesunyian menyimpan semua yang ingin kita katakan dengan kasih sayang, semangat, dan dengan iman. Dan kesunyian, kalau tidak mengangkat doa-doa kepada Tuhan, akan membawanya ke mana pun kita inginkan” - Kahlil Gibran
Karena hanya dengan kesunyian, aku bisa menggapai hati Tuhan.
Cinta dan kesunyian bersemayam dalam wujud kita laksana air laut yang pasang dan surut. Dan cinta tak akan pernah sanggup mengukur kedalamannya sendiri jikalau belum ditikam oleh duri – duri sunyinya perpisahan.
Terjatuh,
berikrar sumpah meluap peluh yang bergemuruh.
Ambisi hati dalam binar yang bersinar-sinar,
liar mengakar tertancap di dasar nalar.
Merengsa leka dalam semarak hati yang berbunga,
kala dunia merayumu mesra.
Berjuta rangkai melankoli doa,
kala derita melanda sukma.
Bersandar pada janji manusia,
sama halnya melarut asa dalam buai kata-kata.
Kan tiba waktunya ketika binasa pagar sentosa,
gugur diluntur kecewa yang menerobos masuk ke dalam jiwa.
Di sana geram bersembunyi,
menghuni hati,
melenyapkan harmoni.
Makhluk paling sempurna,
yang karam ditelan ketidaksempurnaan.
Semoga Tuhan tak pernah bosan,
mendengar pesan yang senantiasa dipanjatkan.
Hari ini aku terbangun sedikit lebih pagi. Waktu menunjukkan pukul 5:15, aku segera bergegas ke dapur, memasak air untuk menyeduh teh dan gula yang sudah kusiapkan di dasar cangkir.
Sembari menunggu, aku terbang menerawang ke dalam pikiranku sendiri. Hari ini adalah hari ke dua tanpa mimpi, dan inspirasiku adalah buah dari mimpi-mimpiku. Hari ini dia tenggelam hanyut bersama mimpi. Jadi, apa yang harus kulakukan pagi ini? Aku memutuskan untuk melanjutkan membaca Gibran yang sudah beberapa minggu kutinggalkan.
Dengan segelas teh panas beratapkan awan, aku duduk di sudut taman belakang rumahku. Angin berhembus dengan sopan, menggoyangkan dedaunan secara perlahan, ia berjalan lembut di atas kulit tubuhku, menciptakan syahdu. Aku menengadah ke atas, tumpukan awan tak dapat melunturkan warna biru ketuaan yang tercipta, langit sungguh berseri pagi ini meskipun matahari masih bersembunyi.
Kata demi kata menenggelamkanku dalam merdunya tulisan-tulisan Kahlil Gibran. Tak begitu lama, sampailah aku pada suatu cerita yang berjudulkan “Assilban”. Paul Assilban adalah seorang musikus dan sastrawan. Ia memiliki seorang teman baik bernama Salem Mowad yang juga merupakan seorang sastrawan dan pemain kecapi. Mereka sering tampil bersama untuk bernyanyi dan berpuisi.
Cerita ini diawali dengan kekesalan Salem terhadap Paul yang melakukan suatu hal yang menurutnya tak pantas dan sangat tidak terhormat. Suatu hari, Paul dan Salem diundang untuk menghadiri acara pernikahan anak laki-laki seorang kaya di Beirut bernama Jalal Pasha. Singkat cerita, di tengah penampilan, Paul menghentikan nyanyiannya dan menolak untuk melanjutkan, kemudian ia meninggalkan rumah Jalal Pasha menuju rumah Habib Saadi yang jaraknya hanya dipisahkan oleh sebuah taman kecil dari tempat berlangsungnya pesta. Di sana Paul meminta Salem untuk memainkan kecapi sebaik yang ia bisa, dan kemudian Paul memutar wajahnya menghadap rumah Jalal Pasha dan mulai bernyanyi sekuat tenaga yang ia punya. Para tamu undangan pesta berkerumun mendekati jendela, bahkan beberapa di antaranya keluar dan duduk di bawah pohon taman. Sebagian orang bergembira dan memujinya, sementara sebagian lain menyumpahi dan mengumpatnya. Tak habis pikir, Salem sungguh kecewa dengan sahabatnya saat itu.
Yosef yang merupakan teman Paul dan Salem, mendengarkan cerita itu dan kemudian mengatakan suatu hal yang menggetarkan jiwaku. Memang sedari tadi aku membaca kisah ini, aku seperti sedang melihat diriku sendiri.
Aku tidak menyalahkan Paul, karena aku tidak merasa mengetahui rahasia hati dan niatnya; bagiku ini adalah persoalan pribadi yang hanya dia yang tahu persoalannya. Aku sangat memahami bahwa sifat para seniman, terutama pemusik, sangat berbeda dengan kebanyakan kita. Karenanya tentu tidak adil untuk mengukur tindakan mereka dengan penggaris awam. Seorang seniman, maksudku dengan seniman adalah orang-orang yang mencipta “image” baru dari pemikiran dan tindakan mereka, adalah orang-orang asing di tengah masyarakatnya, bahkan di antara sahabatnya sendiri. Ia berjalan ke timur ketika orang-orang yang lain berjalan ke barat. Apa yang mendorongnya berbuat begitu, bahkan ia sendiri juga tidak tahu. Ia menderita di tengah pesta, dan bahagia di tengah nestapa. Mereka adalah si bodoh di antara orang pandai, dan si pandai di tengah-tengah orang bodoh. Ia melampaui segala hukum, terlepas dari persoalan apakah kita menyukainya atau tidak.
Paul Assilban sangat menggambarkan diriku saat ini, terlebih lagi deskripsi Yosef terhadap Paul yang mengatakan “Ia menderita di tengah pesta, dan bahagia di tengah nestapa”, sangat mirip dengan tulisanku beberapa waktu lalu yang berjudul “Latis Nalar”.
Cerita dilanjutkan dengan penjelasan Paul atas apa yang dilakukannya.
Orang-orang kaya di rumah Jalal Pasha tidak mungkin mampu membedakan antara sebuah syair dan igauan, antara musik yang sejati dengan bunyi panci-panci. Aku tidak mungkin melukis di hadapan orang buta, atau menarik suara jiwaku di hadapan orang tuli. Aku hanya melihat orang-orang yang keliru dan dangkal, orang yang tolol dan dungu, orang-orang yang penuh ambisi dan sombong.
Seni adalah burung yang terbang bebas di angkasa atau merayap dengan gembira di permukaan bumi. Tak ada seorang pun dapat mengubah tabiatnya. Seni adalah ruh, yang tak dapat dijual dan tak dapat dibeli. Kita orang-orang Timur harus memahami kebenaran ini. Para seniman kita harus belajar menghormati diri, karena mereka adalah cawan berisi anggur suci.
Cerita ditutup dengan percakapan antara Paul dengan Helen kekasihnya, yang juga merupakan adik kandung Yosef. Helen mengatakan bahwa ia mendengar nyanyian Paul malam itu, “Ya, aku mendengar jiwamu menyeru malam hingga pagi. Aku mendengar suara Tuhan dalam nyanyianmu.”
Bulu kudukku berdiri, terima kasih Kahlil Gibran sudah menyalakan api dalam jiwaku yang hampir mati. Mungkin aku memang berbeda dengan orang-orang kebanyakan, tapi rasanya tak perlu kujelaskan.
Terima kasih juga untuk teman-teman yang sudah menemaniku membaca pagi ini:
Seekor burung kecil yang terbang dan bernyanyi kesana kemari. Anjingku Loga yang selalu berhasil menipu dengan parasnya yang lucu dan lugu. Sekawanan semut yang mengerumuni sisa-sisa teh manisku, dan kamu yang terus menginspirasiku.
Senyap malam tadi membuatku tertidur lelap, mengantarku masuk ke dalam berlipat-lipat mimpi.
Ada empat mimpi, yang dua cukup lazim dan yang lainnya sedikit ganjil.
Tentang Pembangkang
Secara tiba-tiba aku berada di suatu ruangan yang rasanya sangat kukenal, sedikit ragu tapi yang jelas ruangan itu cukup luas, berbentuk persegi dengan panjang dan lebar yang persis sama seperti kamar ibuku. Temboknya sama putih dengan atap yang sama tinggi. Perbedaan hanya kutemukan pada isi ruangan. Dalam mimpiku ruangan itu kosong melompong, hanya ada aku dan ibu.
Kami berdiri di tengah ruangan, saling pandang dengan tatapan yang sama-sama menantang. Ibu marah, sepertinya aku berbuat salah, entah. Seperti biasa, aku membantah dengan gagah karena merasa tak bersalah. Suara kami sama keras, kata-kata mengalir deras dan menjelma menjadi gema yang membahana, tak memberikan sedikitpun ruang untuk tenang boleh bertandang. Sepanjang mimpi hanya berisi tuduhan dan bantahan yang terus mengarus tak berpenghulu, tanpa penjuru, tanpa tuju.
Lenyap dalam Gelagap
Kali ini aku berada di tengah keramaian, sepertinya sedang ada sebuah pesta perayaan yang terletak di suatu taman yang cukup lapang. Banyak sekali orang berlalu lalang, beberapa dari mereka menikmati makanan yang terhidang, dan yang lainnya bercanda tawa dengan riang. Sejauh mata memandang, hanya ada beberapa orang yang kukenal.
Aku duduk di sebuah kursi kayu panjang dengan meja yang lumayan besar di pinggir taman. Yang mengherankan, setiap orang yang berjalan melintasiku pasti menyodorkan amplop berisi uang. Tanpa tanya ataupun curiga, kubuka satu per satu dan kukumpulkan menjadi satu. Jadi sekarang, aku hanya memiliki sebuah amplop yang kemudian kumasukkan ke dalam saku bajuku.
Aku berjalan berkeliling taman dan tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang hilang. Kurogoh sakuku, dan sesuai dengan dugaanku, amplopku raib secara gaib. Aku panik dan kemudian berbalik, tak terhitung banyaknya orang yang berdiri di hadapanku saat itu. Setiap dari mereka berusaha untuk menenangkan, mencoba meredakan kebingungan.
Diburu Sang Pemburu
Seketika aku berada di tengah jalan beraspal. Aku duduk berlutut dalam keadaan kelut dikuasai rasa takut. Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti, tapi berpura-pura tak peduli. Tak mau berasumsi, kuputuskan untuk menegakkan kaki dan berdiri.
Dipenuhi keyakinan aku berjalan perlahan, namun baru beberapa langkah, aku dijajah oleh rasa penasaran yang tak tertahankan. Dengan degup jantung yang amat kencang, perlahan-lahan aku menoleh ke belakang. Aku tersentak tetapi kakiku tak dapat bergerak. Ada seekor ular kobra besar yang sedang memperhatikanku dengan tatapan kaku. Segala usaha kulakukan, seluruh tenaga kukerahkan. Kukumpulkan kepingan asa yang berserakan, berharap tubuhku bisa bergerak, beranjak untuk menghilangkan jejak. Kupercepat derap langkahku sambil sesekali menengok ke belakang, dia terus mengikutiku dengan tenang, tanpa bimbang.
Seteru Beralih Syahdu
Ini hari kedua kau menyelinap masuk ke dalam mimpiku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini terasa lebih mesra. Aku duduk di belakangmu, dan kau bersandar ke tubuhku. Posisi kepalamu kini berada tepat di bawah daguku. Aku memelukmu kuat seraya berkata “Maaf ya, jangan marah. Memang aku begini” Kau mengarahkan wajahmu ke atas dan memandangku sembari tersenyum “Yaudah nggak marah, tapi jangan gitu lagi ya.” Kemudian kita sama-sama diam, tenggelam dalam jutaan rasa yang tak terlukiskan.
I woke up earlier today. As a one week unemployment, I decided to write something as usual, but I have no idea, nothing inspires me today. So, I just scrolling down my old photos, and found these. It’s almost a year ago.
As a sunset seeker, I spent my days exploring isolated beaches to catch the sunset. Oh yes, I didn’t come to Bali to visit Kuta, Nusa Dua, or Jimbaran, because I seek peace in a silent beach. So, Instead of taking lots of photos of me using bikinis (HAHA NO, I wore t-shirt and shorts), I took lots of time alone sitting on the sand, close my eyes, feel the wind blowing, enjoying the sound of the waves, and contemplating.
One of the beaches that I visited is Bali Cliff Beach. As the name suggests, you have to pass through the cliffs to reach this beach. It was a very long and steep road but it’s really worth it. Especially for people like me, who came to find serenity. It’s really quiet there that you can feel the waves flowing through your ears down into your soul.
Oh God, I really need this. Right now.
These photos were taken without any filter. So, here you go, the beauty that only God could create.
Sudah cukup lama tak bersua, terakhir ketika darma menjemput dia melepas hamba.
Kemarin aku berpesiar keliling Kota Jakarta, dimana sendat jalanan bukanlah suatu hal yang mencengangkan. Dalam keterbatasan kondisi badan yang sudah berkali-kali kujelaskan, aku tetap memaksa untuk bisa berkendara.
Aku tidak sendiri, ada adik dan Ibu yang ikut mengiringi. Ditengah tembang yang berdendang, seketika adikku berkata “Kak, kamu tau Silampukau? Aku mau dengerin itu ah.” “Oh, yaudah boleh.” Lagu demi lagu melantun merdu, melabas penat akibat macet yang tak kunjung tuntas. Satu dua lagu aku belum menyadari, karena telingaku dikuasai oleh suara yang rasanya sudah seringkali menghampiri. Benar saja, suara vokalisnya mirip sekali dengan Dialog Dini Hari.
Semakin kudengar semakin menjalar, masuk ke dalam nalar hingga aku sadar kata per kata yang terujar. Kemudian aku tersentak dengan setengah membentak “Ihhh!! Kok tentang Surabaya sih?! Ganti ah!” Adikku tergelak tak mengelak “Emang daritadi Surabaya semua, satu album isinya Surabaya.” Sedikit kesal tapi mau bagaimana lagi, bahari meracuni merasuk ke sanubari.
Bukan benci, tak pernah sekalipun dengki. Aku hanya berusaha menyelamatkan diri, karena kian menyadari bahwa semakin hari semakin berarti. Tiada yang kusesali, tapi kuulangi sekali lagi, aku tidak pernah benci.
Tadi malam kita bertemu setelah berminggu-minggu aku menunggu. Dirundung rasa rindu yang menggebu, kita bertatap malu. Dalam mimpiku, terselip masa lalumu, satu yang selalu kau tunggu, tapi tak kau hiraukan, justru kita semakin berpadu dalam reguk rasa yang kian berkuasa. Mengeherankan bahwa kemudian tersulam simpul manis di bibirnya ketika kau memelukku. Mungkin itu palsu, karena yang kutahu, dia juga masih menunggumu.
Aku terjaga sekitar pukul tiga dan semua rasa menjadi nyata. Bersatu antara lega bahagia, aman dan nyaman, tapi duka lara, serta sedih dan perih juga ikut berdiri melengkapi kegaduhan hati.
Doa menjadi senjata utama agar sirna huru-hara rasa. Maaf aku menyepelekan doa-doamu. Bahkan kondisiku yang sedang tak seimbang tidak bisa dijadikan alasan untuk aku bisa melantaskan apa yang kulakukan.
Dimana kamu? Aku rindu, tapi biarlah kita sama-sama menunggu dalam bisu.
Untuk kamu yang terus membelenggu pikiranku.
Pada saat menulis ini, saya mencoba mencari lirik setiap lagu Silampukau, ternyata mereka sudah memiliki dua album: Sementara Ini (2014); Dosa, Kota, & Kenangan (2015). Album ke dua inilah yang menceritakan tentang Surabaya. Bisa dilihat langsung ke websitenya silampukau.com. Bagus-bagus loh lagunya, saya suka semua! “Aku Duduk Menanti” dan “Puan Kelana” adalah dua dari beberapa yang paling saya suka.
Halo Ditta dan Mimpinya, Mereka yang berkelana menuju ruang tak bernama, ialah tuan puan perayu sang kala. Rajam emosi berbaris sembari raga terkulai pasi, lantaran tuan puan menuai delusi. Dan ingatlah bahwa mereka yang sentosa, ialah belia taruna pelantun doa. Dalam kerendahan dan ketidaksempurnaan, Danisa.
Halo Danisa, iya akan terus berusaha mendekatkan diri pada Dia yang maha segalanya. Karena saya juga percaya bahwa yang saat ini terjadi sudah pasti salah satu bentuk kasihNya sama saya Dan, Dia gamau saya terjerumus lebih jauh lagi. Tolong bantu doakan juga ya. Love you :)
Selamat sudah memenuhi satu cita-citamu sejak kecil, menjadi Sarjana Seni!
Meskipun foto ini tidak lengkap (kurang Kakak yang sedang ada tugas kerja di Sumba), tapi akhirnya kita bertiga sudah selesai sekolah semua. Tugas Ibu sudah selesai, terima kasih ya Bu sudah berjuang selama kurang lebih 19 tahun sepeninggalan Ayah. Sekarang sudah waktunya Ibu bobo di rumah dan kami yang melanjutkan perjuangan!
Untuk Ega, selamat datang di dunia yang sesungguhnya. Seperti kata Kak Indah kemarin “Selamat datang di dunia yang penuh dengan ketidakpastian, dimana hanya ada satu yang pasti bahwa Tuhan ada dan setia.”