Tumgik
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Hidup itu seperti menyunting sendiri naskahmu. Memang harus jadi manusia yang sedikit tega. Sedikit, kok, tidak banyak teganya. Hanya perlu membuang bagian-bagian yang secara subjektif kamu sukai. Sedikit, kan? Tidak banyak, kan? Iya, pasti lah iya, kan? Iya.
Itu lah yang disebut dengan ketidaknyamanan. Kalau di grafik hasrat Jacques Lacan, terutama grafik yang pertama, di buku "Écrits", ketidaknyamanan di dalam hidup kita adalah ketika "sound" atau "voice" kita, yaitu "proses pembentukan kepribadian" kita, ter-interupsi.
Oleh apa? Ya, oleh proses pembentukan kepribadian orang lain.
2 notes · View notes
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Buku, mau dibaca berapa kali pun, tidak akan pernah selesai proses pemaknaan dan pemaknaan ulangnya, dan ini disebabkan oleh proses penemuan dan atau lebih tepatnya disebut pembentukan dan pembentukan ulang jati diri.
Hah, jati diri bukannya hanya bisa kita temukan sekali di dalam seumur hidup kita?
Ya dan tidak, bergantung pada pemahaman kita akan ilmu psikologi dan sosial, atau kalau mau lebih praktis, ya, ilmu psikososial.
Saya tidak tahu apa-apa tentang ilmu psikososial, tapi saya sedikit tahu, sedikiiiit saja, soal ilmu psikoanalisa, khususnya yang diceriterakan oleh Jacques Lacan. Di titik ini, kalau telah mengikuti celotehan-celotehan saya sejak seminggu terakhir, pasti sudah akrab, kan, dengan nama psikiater Prancis yang satu ini? Haha.
Tapi, mari kita berpindah ke Belanda. Marc de Kesel, pernah dengar nama yang satu ini? Ia adalah penulis buku "Eros and Ethics" yang pada intinya bertujuan untuk semakin mempermudah kita memahami teori-teori psikoanalisa Jacques Lacan yang sangat rumit itu. Ya, meskipun belum tentu juga kita langsung paham, sih, setelah membaca buku beliau, tapi setidaknya dari usaha beliau kita dapat bantuan yang lebih mantap lagi di dalam memahami apa, sih, pentingnya, di hidup kita yang serba cepat, maju, dan modern ini, ilmu psikoanalisa?
Kalau saya, karena suka belajar ini dan itu tentang kebudayaan, saya butuh mengetahui ilmu psikoanalisa khususnya "Aliran Lacanian" (Lacanian School). Bukan kenapa-kenapa, soalnya Lacanian School ini jitu banget di dalam memeriksa kode-kode yang tersimpan dan atau tersembunyi di balik gambar-gambar sebuah film, misalnya. Iya, kita bisa menggunakan jurus-jurus ilmu psikoanalisa Jacques Lacan untuk membedah film. Seru, lho. Next saya tunjukkan caranya. Sekarang saya latihan lagi dulu. Jurus kalau ga dilatih jadinya tumpul. Kamu juga pasti sudah mengetahui soal ini. Ya, kan?
2 notes · View notes
benzbarabwc · 10 months
Text
Waktu kuliah Strata-1, saya pernah mau ikut program pertukaran pelajar ke Kanada.
Tapi, tidak jadi, karena saya tidak percaya diri, syaratnya adalah membawa budaya Jawa (untuk dipertukarkan dengan budaya Kanada, maksudnya mahasiswa dan mahasiswi asal Kanada yang akan ke Yogyakarta, kampus S-1 saya di Yogyakarta).
Bukan kenapa-kenapa, pada waktu itu saya baru kuliah satu semester, hampir dapat dikatakan tidak tahu apa-apa tentang budaya Jawa, baik itu secara umum, maupun secara khususnya yaitu budaya di Yogyakarta.
Saya datang ke Yogyakarta dari Pontianak. SMA dan SMP saya di Pontianak.
Mengapa jauh-jauh merantau ke Yogyakarta? Ya, karena setengah dari diri saya adalah suku Batak. Suku Batak memang dari sananya sudah biasa merantau ke sana dan ke sini, tidak terkena pengecualian lah diri saya ini juga. Lagipula, sebagai belia remaja pada waktu itu, selama enam tahun di Pontianak, kok rasanya pengin juga membawa cerita-cerita dari kota kelahiran saya ini, ke Yogyakarta, kota yang lain, di Indonesia ini.
Dan memang cerita-cerita itu saya bagikan juga ke teman-teman baru saya di Yogyakarta. Pada waktu itu semester terakhir pada tahun 2007. Saya pergi ke Yogyakarta dengan sebuah kapal laut tipe kapal penumpang. Berhenti terlebih dahulu di Semarang lalu kami, saya dengan beberapa teman asal Kalimantan Barat yang tidak sengaja bertemu di dek kapal, berkenalan, mengobrol panjang selama dua hari dan satu malam, lantas bersepakat untuk ke Yogyakarta dalam kelompok-kelompok kecil beroda dua, berbonceng-boncengan.
Kembali ke soal mau ke Kanada yang saya kandaskan sendiri karena ketidakpercayaan diri saya, memangnya kenapa, sih, saya tidak percaya diri? Ya, itu, tidak tahu soal budaya Jawa. Kan, bisa Google saja? Membaca saja, seperti biasanya, cara saya mengetahui tentang sesuatu dan tentang apa-apanya?
Tidak sesederhana itu. Budaya bukan sesuatu yang bisa kita pahami hanya dengan meriset atau membaca. Budaya adalah sesuatu yang kita hidupi, kita hayati. Bagaikan air yang kita minum, tidak hanya kita ketahui hilangnya dahaga, kan? Tapi juga kita alami kesegaran badan dan pikiran bahkan jiwa kita setelah air itu beredar luas di pembuluh-pembuluh darah kita.
Itulah budaya. Kamu tidak bisa memahami air jikalau tidak pernah meminumnya. Kamu dapat tahu struktur molekul kimianya dari meriset, meng-Google, tapi kalau makna "riset" itu adalah tidak sekalian meminumnya, dalam hal kebudayaan, kamu hanya mengetahui separuhnya.
Tumblr media
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
"Bestfriend" (Juli 2023): Sebuah Pengorbanan Estetika Paul Partohap bagi Soul dan R & B"
Mendengar lagu terbaru Paul Partohap, "Bestfriend", yang dirilis awal bulan ini, membuat saya terkagum-kagum karena tidak mudah menggubah lirik lagu Soul dan R & B yang sederhana tanpa terjatuh ke lubang genre Pop, yang notabene memiliki lirik lagu yang paling sederhana di antara semua genre lagu.
Lagu "Bestfriend" terasa easy-listening, akan tetapi tidak demikian adanya di saat kita mampu menelisik ke dalam komposisi akordnya.
Terdapat banyak fill-in yang dimaksudkan untuk mengisi kesederhanaan komposisi pada lagu "Bestfriend" ini. Mungkin dimaksudkan Paul Partohap dan timnya agar dapat melakukan penetrasi pasar yang lebih dalam lagi dibanding sederet lagu-lagu bergenre Soul dan R & B di Indonesia sebelumnya.
Harap maklum, secara umum, genre Soul dan R & B bukan lah genre yang lahir di Indonesia, sehingga bicara soal pasar (market) musik, tentu saja seseorang yang menyanyikan lagu atau bahkan mendedikasikan hidupnya untuk berkarir di genre lagu Soul dan R & B ini harus melakukan pengorbanan, persis seperti yang dilakukan oleh Paul Partohap, yaitu melakukan penyederhanaan pada lirik lagu dan melakukan kompensasi atau "subsidi silang" terhadap komposisi kunci lagu atau akord atau chord atau akor atau kord.
Sedikit bicara soal genre, setelah preseden Tyler the Creator mengungkapkan usahanya untuk melakukan genre-bending di rap, mungkin kita perlu mempertimbangkan matang-matang istilah tersebut untuk skena musik di Indonesia.
Don't know where I'd be
Without you right here with me
It's like breathing
Loving u is my most natural feeling
Jikalau kita melupakan judul lagu "Bestfriend", kita akan dengan mudah terjebak pada anggapan atau sangkaan yang premature tentang tipe atau jenis atau bentuk cinta dan kasih sayang yang digambarkan oleh verse-nya.
Kita akan mengira si Aku mencintai dan atau mengasih-sayangi si Kamu yang merupakan sebentuk cinta erotis (Eros), padahal kita telah mengetahui dari judul lagu ini, bahwa rasa kebingungan dan ketakutan jikalau kehilangan sahabat (best friend) di bagian Verse pertama ini menunjukkan bahwa yang dibahas Paul Partohap adalah cinta yang platonis, cinta tanpa syahwat, semata-mata respek dan protektif.
Sense of belonging atau perasaan rindu yang mendalam terhadap kehadiran seorang sahabat di lagu ini diperlihatkan oleh bagian pre-chorus.
I want you by my side
Your love just like a sunlight
Paul menggunakan metafora "matahari" atau lebih tepatnya "cahaya dan atau sinar matahari" (sunlight) sebagai peribaratan kehadiran rasa cinta sang sahabat, si Kamu, kepada si Aku.
Dapat kita bayangkan kembali, bagaimana jadinya si Aku jikalau tanpa si Kamu, khususnya rasa cinta yang diberikan oleh si Kamu kepada si Aku.
Dan, tidak perlu kita bayangkan lama-lama, karena jawabannya terdapat pada larik-larik berikutnya:
It's like a summer to my winter heart
Ia lah seperti hati yang beku-dingin bagaikan musim salju, si Aku, jikalau cinta dan kasih sayangnya si Kamu, tidak ia peroleh, oleh karena selain seperti cahaya dan atau sinar matahari, cinta dan kasih sayangnya tersebut itu pula seperti hangat dan atau panas-bahagia-nya musim panas.
Bentuk resiprokasi atau ketersalingan cinta dan kasih sayang di antara si Aku dan si Kamu yang membuktikan bahwa lagu ini adalah bukan tentang cinta Eros atau cinta yang erotis melainkan cinta yang platonis, terdapat pada lirik-lirik terakhir pre-chorus.
And if you never need me
Promise that you'll see me
Hold your arms and lift you up
Si Aku tidak cuma bersikap pasif menerima cinta dan kasih sayang si Kamu dalam ungkapan-ungkapan kerinduan dan rasa memilikinya (sense of belonging), akan tetapi juga memberikan suntikan semangat kepada si Kamu dengan bentuk love language (gaya dan atau cara mengungkapkan bahasa cinta dan kasih sayang) berupa sentuhan fisik (physical touch).
Masuk ke bagian klimaks yaitu chorus, kita akan mendengar kalimat-kalimat yang menunjukkan tanda-tanda lain sebuah kisah cinta yang platonis, yaitu di saat si Aku memberikan ruang pribadi yang dibutuhkan si Kamu.
Through good times and bad times
I'll be there for you
If you want me to
Artinya, si Aku dan si Kamu tidak perlu juga selalu bersama dalam suka dan duka, hanya ketika si Kamu menginginkan si Aku, baru lah si Aku menghadirkan dirinya bagi si Kamu. Ini artinya si Aku tidak obsesif terhadap dirinya sendiri dan terlebih-lebih dan atau apalagi, terhadap si Kamu.
Tidak cuma perkara rasa rindu dan love language, si Aku juga menyediakan dirinya alias "pasang badan" pula untuk membela eksistensi dan hak-hak hidup manusiawi si Kamu.
Oh I fight for you
And I stand by you
Till the end
You are my best friend
Ini mengingatkan saya pada sebuah ucapan terkenal dari Voltaire, penulis Prancis yang membela hak-hak kebebasan berpendapat, "Aku tidak setuju dengan apa yang kamu ucapkan, tapi aku akan membela hak kamu untuk mengucapkannya."
My other half
You teach me how to appreciate life
And it's like singing
Making memories with you is my most favorite thing
Verse kedua lagu "Bestfriend" kembali memunculkan sisi-sisi romantis sebuah cinta, "belahan jiwaku", kata si Aku kepada si Kamu, yang akan sedikit mengecoh kita lagi jikalau saja kita sempat terlupa bahwa ini bukan lah tentang cinta yang erotis, melainkan kepada seorang yang disebut sahabat terbaik.
Di bagian terakhir ini, kita akhirnya mengetahui alasan di balik terjalinnya cinta resiprokal ini, yaitu bahwa si Kamu ternyata telah banyak mengajari si Aku tentang cara menghargai kehidupannya sendiri.
Tentu saja, jikalau kita berempati dan menempatkan kaki kita di dalam sepasang sepatu yang dikenakan oleh si Aku, kita juga pasti akan mengungkapkan seluruh kalimat yang diungkapkan si Aku kepada si Kamu di dalam lagu ini.
Lagu diulang ke pre-chorus kemudian ke chorus lagi untuk yang kali terakhir. Mengulang lagi metafora matahari, musim panas, dan musim salju, yang seakan menunjukkan bahwa kasih cinta yang resiprokal itu dapat terjadi di berbagai musim. (Fin) ***
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
"Kisah Cinta Platonis a la Paul Partohap dan Aco Tenriyagelli dalam Video Musik 'LOVERs PLAYBOOK' (2023) "
Pengingat: Spoiler
Tepat pada saat Indonesia memasuki era endemi Covid-19, Paul Partohap dan Aco Tenriyagelli merilis karya video musik mereka yang berjudul "LOVERs PLAYBOOK" (2023, Youtube Paul Partohap).
Dibuka dengan adegan atau sebingkai imaji yang berisi subjek seorang pria yang soliter sedang berada di dapur bersama sebuah teko air yang matang dan mengeluarkan bunyi nyaring khas teko air, diwarnai monokrom dalam bingkai gambarnya (frame) yang mengasosiasikan dengan kilas balik atau kenangan masa lalu, musik video ini langsung mengukuhkan posisinya di aliran neoromantisisme Indonesia.
Cerita tentang Oka, seorang pria berusia 30-an dan Adin, seorang perempuan yang kira-kira sebayanya, bersuami dan beranak satu, menjadi plot utama, yang diikuti oleh sub-plot berupa aktivitas pekerjaan pria tersebut yang adalah seorang gitaris-penyanyi solo di sebuah kafe dan pebisnis rumah singgah atau vila hasil warisan mendiang ayahnya.
Pria tersebut diperankan oleh Dwi Sasono (43 tahun), aktor peraih beberapa nominasi penghargaan film MTV, sedangkan perempuan tersebut diperankan oleh Sigi Wimala (40 tahun), aktris peraih nominasi Festival Film Indonesia untuk karya film "Tentang Dia" (2005, sutradara Rudi Soedjarwo, produksi SinemArt Pictures).
Sebagai peraih banyak nominasi dan penghargaan, mutu akting Dwi Sasono dan Sigi Wimala tidak dapat dibantah lagi akan kekuatan ekspresinya, terutama dalam memenuhi ekspektasi kita akan sebuah video musik beraliran romantisisme. Raut wajah di adegan obrolan mereka setelah Dwi Sasono selesai bekerja di kafe dan bertanya tentang kepulangan Sigi Wimala dari Kanada, dalam tangkapan kamera close-up, menggambarkan dengan jelas emosi yang mereka tahan sejak lama. Sebagai aktor dan aktris berpengalaman, keduanya memberikan performa mereka yang biasanya (bagus) di video musik ini.
Strategi Kamuflase Paul Partohap dan Aco Tenriyagelli? Sebuah Pembacaan Skizoanalisa Deleuzian - Guattarian
Melalui teori skizoanalisa untuk sinematografi atau film, kita dapat melihat "LOVERs PLAYBOOK" dengan cara yang terbalik, yaitu bukan sebagai sebuah kejujuran cerita yang faktual atau menggambarkan realitas, melainkan sebagai sebuah strategi kamuflase.
Strategi kamuflase artinya video musik ini melakukan "depersonalisasi" atau pengisahan yang aktual melalui cerita yang fiksional atau kisah yang metaforikal atau fiktif yang dunianya dibangun menggunakan simbol-simbol.
Terdapat simbol berupa sebuah lukisan gajah yang beberapa kali disorot di dalam frame-frame di pertengahan dan menjelang cerita berakhir. Gajah sering diasosiasikan dengan ingatan yang kuat atau fotografis. Jika kita membacanya secara skizoanalisa maka artinya simbol lukisan gajah tersebut berarti pemilik lukisan ingin segera melupakan atau membuang ingatannya (akan sesuatu). Pasti hal tersebut adalah ingatan Dwi Sasono tentang Sigi Wimala.
Ini juga berarti cerita dalam "LOVERs PLAYBOOK" tidak terjadi di masa silam secara linimasanya, seperti kerap kita asosiasikan dengan warna monokrom, melainkan terjadi di masa sekarang (atau setidaknya di masa depan yang tidak jauh letak titiknya dari masa sekarang).
Heteronormativitas yang secara gamblang dipertontonkan di video musik ini juga berarti kisah cinta yang terkisahkan di dalamnya merupakan kisah cinta yang bebas bias dan perangkap biner sebuah gender.
Kebiasaan Oka yang menyimpan benda-benda peninggalan masa lalu tentang kenangannya bersama Adin pun tidak dapat dilihat sebagai sebentuk obsesi dalam konotasi yang negatif, melainkan sebuah perasaan merindu yang terdalam (belonging) pada peristiwa yang mereka miliki, karena terdapat berbagai perasaan yang tidak tersampaikan, terutama dari pihak Oka terhadap Adin.
Hal ini dikonfirmasi oleh bagian klimaks cerita yang mempertontonkan bagaimana Oka terkesan emosional terhadap permintaan Adin untuk menuliskan sebuah lagu baginya. Meski demikian, sekilas emosi yang keluar ini dapat dinetralisir oleh pernyataan keduanya yang menyebut bahwa mereka hanya bercanda.
Pertemuan Oka dan Adin di kafe tempat Oka bekerja dapat dibaca sebagai sebuah randevu (rendezvous) yang mengungkap emosi keduanya.
Dalam perjalanan ke rumah pribadi Oka, mereka berdua berinteraksi dengan cair dan santai, akan tetapi di pihak Oka seakan-akan sedang menyelesaikan proses di dalam kenangannya bersama Adin atau bernostalgia.
Akan tetapi, tidak demikian dengan Adin, yang tampak biasa-biasa saja dan sangat menikmati momen-momen mereka berdua. Tidak seperti Oka yang terlihat jelas menunjukkan raut yang sesekali murung, Adin sangat lepas berekspresi dan tersenyum lebar, kegirangan, dan sangat sadar akan apa yang ia lakukan di momen tersebut (being there and present).
Kisah Cinta yang Platonis dan Bukan yang Romantis
Interaksi kedua tokoh fiktif di dalam cerita "LOVERs PLAYBOOK" tidak dapat dikatakan sebuah kisah cinta yang romantis, karena pembacaan skizoanalisa membuat kita harus menerjemahkan apa-apa saja yang didepersonalisasi.
Dalam hal ini, penggambaran bahwa mereka berdua adalah mantan kekasih, yang mana merupakan petunjuk jelas bahwa hubungan yang mereka miliki adalah hubungan percintaan yang romantis, harus dibaca secara terbalik, yaitu platonis.
Hal ini dapat dibuktikan dengan bagian akhir cerita yang merupakan resolusi. Oka mengantar Adin ke rumahnya, berkenalan dengan suami Adin, hingga anak Adin. Oka bahkan menyambut pelukan dari anak Adin dengan emosi yang hangat, tidak lagi terbakar amarah seperti yang ia ledakkan di bagian klimaks, saat ia memprotes Adin yang meninggalkan dia pergi ke Kanada.
Akhirnya, "LOVERs PLAYBOOK" memberi kita panduan tentang bagaimana sepasang kekasih (dalam hal ini telah menjadi mantan) idealnya melanjutkan hubungan mereka, yaitu dengan jujur menerangkan apa yang terjadi masa lalu dan saling mengakui kesalahan, serta saling memaafkan. Meskipun hal-hal tersebut tidak selalu dapat terjadi melalui ungkapan kata-kata (verbal), hal-hal tersebut dapat terjadi melalui penerimaan diri (self acceptance) seperti yang diperlihatkan melalui emosi tertawa Oka dan Adin di rumah Oka, setelah Oka mempertanyakan kepergian Adin. Oka menyadari kekonyolannya memprotes masa lalu, begitu pula Adin yang memang tidak berniat mengungkit-ungkit masa lalu apalagi memprotesnya, sempat menjadi turut terbawa oleh emosi Oka. Adin pun turut tertawa akan momen tersebut.
Musik video ini ditutup dengan gambar Oka dan Adin yang berdiri bersebelahan sambil menengok keluar jendela rumah Oka, diikuti gambar lukisan gajah (karya Wulang Sunu). Kedua gambar ini mengatakan bahwa ingatan masa lalu Oka dan Adin sudah terselesaikan.
-
Referensi teori dan konten video musik:
1) YouTube Paul Partohap, "LOVERs PLAYBOOK" (2023) https://youtube.com/watch?v=F5N1TUcHC-0&feature=share9
2) YouTube "Film & Media Studies" https://youtube.com/watch?v=00Wx2UscsFU&feature=share9
3) YouTube "Film & Media Studies" https://youtube.com/watch?v=xbYYrRDKm5I&feature=share9
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Serial "Polemologi dan Media" (1)
Pengantar
Timur versus Barat.
Begitu lah saya menganggap kehidupan itu secara umumnya. Kalau secara khusus, ya masing-masing manusia punya versus-momen-nya, ada yang salah kaprah menganggap momen versus ini sebagai perang ("war") tetapi dalam observasi saya, ada juga yang benar kaprah mengganggapnya sebagai "hanya" pertempuran ("battle") saja.
Mereka bilang, pilih lah pertempuranmu, ini artinya jangan sampai salah memilih musuh atau lawan bertempur. Salah-salah, bukan cuma kita akan segera kehabisan akal untuk menangani taktik tempur lawan kita, tapi juga kita bisa-bisa melakukan hal yang paling memalukan yang dapat dilakukan sebagai seorang petempur, yaitu berpindah sisi, atau berganti pihak.
Kalau sudah berpindah sisi atau berganti pihak, tidak ada lagi nilai-nilai moral yang dapat dianut, sehingga pertempuran pun menjadi nirmakna.
Hal lainnya, selain pintar-pintar dalam memilih lawan main, atau lawan tempur, jangan sampai salah mengira satu pertempuran sebagai satu perang. Beda skalanya, di antara apa yang disebut pertempuran, dan perang. Di dalam satu perang terdapat banyak jumlah pertempuran, dan di dalam satu pertempuran, belum terjadi sebuah perang.
Di atas adalah pertempuran dan perang di dalam paradigma Barat, diwakili oleh Raja Philip II dari Macedonia.
Di bawah ini dan seterusnya adalah pertempuran dan perang di dalam paradigma Timur, diwakili oleh Sun Tzu dari Qi.
Sun Tzu mengatakan bahwa terdapat aturan-aturan emas dalam berperang, tetapi yang perlu kita camkan adalah berbeda secara kontras dengan Philip II, tidak perlu hingga pertempuran bahkan perang, untuk menyadari bahwa keduanya telah terjadi dan berlangsung selamanya di dalam batin kita masing-masing.
Di saat kita belajar tentang polemologi di zaman modern, khususnya setelah Internet diciptakan, kita perlu memberi perhatian penuh pada 2 (dua) kata ini:
1) Media
2) Propaganda
Bagi yang telah mengetahuinya, maka telah lumrah menghubung-hubungkan kedua kata di atas di dalam sebuah pemahaman akan kata yang ketiga dan keempat:
3) Narasi
4) Metanarasi
Bagi yang tidak mengetahuinya, semoga tulisan pendek ini dapat memberi informasi yang memahamkan.
Media punya banyak cara menyampaikan informasi, tapi yang perlu kita ingat cukup satu hal, mereka menyampaikan sebuah propaganda.
Apa itu propaganda? Sangat mudah, tinggal baca di Wikipedia.
Itu sebabnya saya membuat rubrik ini bukan dengan judul "Kajian Media" tapi "Polemologi dan Media".
Menikmati informasi yang disajikan oleh media perlu dibarengi kemampuan menalar secara kritis. Maafkan untuk perulangannya, tapi besok-besok saya akan jelaskan mengapa perulangan ini terpaksa terjadi.
Untuk saat ini, jangan lupakan saja bahwa yang dimaksud dengan media tidak terkecuali micro blog yang kamu sedang baca ini.
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Serial Jacques Rancière (4)
"Sosiologi (Pierre Bourdieu) versus Anti-Sosiologi Rancièrean (1) "
Sosiologi adalah ilmu tentang mempelajari pola yang selalu berlangsung dan berulang meski dengan pergeseran-pergeseran yang membuatnya terilusikan sebagai sesuatu yang baru, elusif.
Anti-Sosiologi adalah sebaliknya. Ia mengungkap apa-apa yang elusif di dalam ilmu Sosiologi, mendedahnya, memampangkan sedemikian terbuka fakta-fakta (yang ditemukan bersama ilmu Sosiologi di dalam pola-pola hidup masyarakat).
Istilah "anti-sosiologi" muncul di jurnal ilmiah Dennis Büscher-Ulbrich, "Introducing Disagreement: Rancière's Anti-Sociology and the Parallax of Political Subjectivity and Political Economy (of Racism)". Di situ disebutkan bahwa para sosiolog, Rancière menggunakan Bourdieu sebagai contohnya, telah melakukan sesuatu yang reduktif dan tidak praktis secara politik.
Apa maksud perkataan Rancière ini?
Maksudnya adalah ilmu Sosiologi yang idealnya menjelaskan pola hidup masyarakat malah melakukan sesuatu yang dikenal dengan istilah "deterministik".
Deterministik merupakan sesuatu yang tidak baik bagi sebuah ilmu karena alih-alih mencerahkan pemahaman kita, ia malah menggelapkan, karena tujuannya yang hendak menutup daya kritik kita sebagai manusia bernalar, dengan cara mengatakan bahwa kita tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengambil keputusan secara sadar dan bermoral.
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Francois LOCHON/Gamma-Rapho via Getty Images
Serial "Sastra Prancis" (1)
Milan Kundera (1)
Kadang-kadang sulit bagi saya untuk menerima bahwa Milan Kundera adalah sastrawan Prancis. Mungkin karena dia lahir di Republik Ceko, tepatnya di kota Brno.
Benar bahwa "akuisisi oleh negara" Prancis untuk menjadikan Milan Kundera sebagai sastrawan Prancis merupakan permintaan dari Milan Kundera itu sendiri, akan tetapi sisi-sisi sentimental saya menolak memanggil namanya sebagai sastrawan Prancis. Saya ingin mengenang Milan Kundera sebagai sastrawan Republik Ceko.
Saya ambivalen. Saya menghargai keputusan Milan Kundera menjadi Prancis. Tapi juga, yah, begitulah.
Secara teoretis, semua yang saya tahu tentang sastra Prancis hanya lah sebatas apa yang disajikan ke tenggorokan saya oleh laman-laman digital Wikipedia.
Artinya, tidak ada pengetahuan teoretis yang saya punya tentang Sastra Prancis di luar apa yang dapat saya maknai dari proses saya membaca topik ini di Wikipedia, dan di World Wide Web yang saya telusuri dimulai dari Wikipedia.
Sejarah Revolusi Prancis dalam konteks pemberian suaka kepada Milan Kundera
1. Apa itu negara? Bagaimana ia bisa memberi kartu Tanda pengenal bagi warganya? Bagaimana ia dan atau negara Prancis memiliki wewenang untuk memberi suaka dan bahkan mengamini permintaan Milan Kundera untuk diabadikan sebagai sastrawan Prancis (dan bukannya Republik Ceko lagi)?
Negara dibentuk dari banyak unsur dan salah satunya adalah keberadaan penduduknya (The people). Kartu Tanda Pengenal (disingkat: "KTP", Bahasa Inggris (terjemahan bebas): identity card, cek fakta bahasa ini) adalah bentuk legalitas eksistensi sosial dan individu seorang penduduk dari negara yang dimaksud.
Di sini lah letak menariknya kita uraikan posisi Milan Kundera sebagai sastrawan Prancis yang merupakan eksil dari Republik Ceko.
2. Apakah identitas kebangsaan seorang sastrawan mempengaruhimu dalam menerjemahkan makna karya sastranya ataukah tidak?
Tidak dalam objektifikasi, kalau saya. Tetapi setahu saya ada jenis kritik sastra yang juga mengikutsertakan riwayat hidup penulisnya ke dalam pertimbangan kualitas karyanya (mungkin juga termasuk hal-hal menyangkut proses naturalisasi oleh negara seperti yang dialami oleh Milan Kundera).
3. Memahami sejarah berdirinya negara Republik Prancis untuk menilai karya sastra Prancis
Saya bukan mahasiswa jurusan Sastra Prancis, hanya penikmat sastra dan salah satu yang saya sangat nikmati adalah sastranya para sastrawan Prancis. Ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana saya sangat menikmati filsafat Prancis (padahal, lebih dulu saya membaca sastra Prancis daripada filsafat Prancis).
Sebelum kita menyelam lebih dalam ke semesta sastra Prancis melalui pemahaman atas bagaimana sejarah Prancis (sebagai negara yang demokratis) didirikan, terlebih dahulu kita perlu mengetahui dan selalu berusaha mengingat bahwa terdapat polemik panjang dan panas di antara para ilmuwan Barat tentang penulisan sejarah (tentang ini lebih khususnya akan saya sajikan di Serial "Polemologi dan Media")
Republik Prancis berdiri pada akhir abad ke-18 dan dari sini kita boleh langsung menyebut dan mengenal istilah "kanon" dan "kanonisasi".
Sederhananya, kanonisasi adalah pencaplokan oleh negara berdaulat atau pemerintahnya atas posisi dan situasi Milan Kundera sebagai eksil dari Republik Ceko (benar juga menurut Wikipedia, Milan Kundera lah yang meminta hal ini).
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Serial Feminisme versus Psikoanalisa (8)
"Kota dan Prevalensi Autism Spectrum Disorders (ASD) "
Sejak kecil, saya ingin bekerja sebagai seorang dokter. Saya tidak tahu dokter di bidang spesialis apa. Saya hanya tahu bahwa dokter adalah profesi yang tugasnya menyembuhkan orang lain, tentu saja yang memiliki penyakit tertentu, atau merasa khawatir akan kondisi kesehatannya (pada waktu itu saya tentu saja juga tidak tahu ada klasifikasi penyakit fisiologis dan jiwa).
Untuk memenuhi keinginan tersebut, sejak bersekolah dasar (SD, Sekolah Dasar) saya memupuk kemampuan berfokus pada pelajaran-pelajaran di kelas. Yang saya dengar, menjadi dokter itu tidak lah mudah, harus sangat pintar secara kognitif, dan tentu saja itu artinya saya harus fokus tiap menyimak guru-guru saya mengajar di kelas atau pun di luar kelas.
Tidak heran, salah satu pelajaran yang saya senangi di waktu SD adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pada waktu itu, guru kami adalah seorang laki-laki. Untuk sementara ini saya tidak akan menyebut identitasnya terlebih dulu karena saya ingin berfokus pada tema utama, yaitu "urbanisitas".
Kesenangan pribadi terhadap IPA berlanjut di Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada momen penjurusan, saya berada di jurusan IPA.
Kesenangan yang tadinya di masa SD masih bersifat umum (ilmu alam saja) itu pun mengerucut. Waktu SMA saya suka Biologi.
"Momen of truth"-nya adalah waktu mau kuliah kedokteran. Ada kebimbangan di diri saya pribadi untuk meneruskan kegemaran belajar ilmu Biologi ke Fakultas Kedokteran demi mewujudkan cita-cita masa kecil atau menjadi realistis dan menghadapi kebutuhan dunia industri pekerjaan yang pada waktu itu (tahun 2007) sepertinya sedang marak dengan Teknologi Informasi.
Saya pilih menjadi realistis. Saya kuliah di bidang teknologi informasi.
"Urbanisitas" (Inggris: urbanicity)
Urbanisitas adalah kualitas sebuah wilayah huni yang memenuhi unsur-unsur sebuah kota, seperti kemajuan peradaban dan teknologi, pembangunan, dan lain-lain.
Pada sebuah jurnal akademik dijelaskan bahwa terdapat relasi yang erat di antara tingkat urbanisitas dan prevalensi Autism Spectrum Disorders (ASD).
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Serial Jacques Rancière (3)
"Karya Seni dan Etika (Barat) "
Sebagai orang Indonesia, kita tidak akan pernah bisa membuat atau menciptakan karya seni dengan melepaskan diri kita baik secara idealisme maupun tendensi untuk berdagang karya seni (mengkomersilkannya) dari sejarah penjajahan.
Kita bisa berusaha membuat karya seni yang lepas dari sejarah penjajahan, tetap saja tidak mungkin karya seni kita tersebut sanggup melepaskan dirinya sendiri dari perangkap kritik berparadigmakan objek, yang diciptakan oleh Profesor Jacques Rancière.
Mengapa Jacques Rancière untuk membahas tentang berkarya seni sebagai orang Indonesia?
Karena filsafat estetika-politik dan politik-estetika-nya mencerahkan kita tentang kelengkapan sebuah konsep "politik" dan "estetika", yang mana kita telah mengetahui, melalui pengalaman hidup yang cukup, bahwa sebagai individu, kita tidak dapat melepaskan peran-peran sosial kita, dan di momen-momen bersosialisasi ini lah, di saat kita berkarya seni, kita tidak dapat melepaskan diri dari sebuah narasi besar tentang penjajahan (yang pernah terjadi di Indonesia).
Apa yang dimaksud dengan "Etika Barat" di dalam filsafat politik-estetika dan estetika-politik Rancière? Bahwa "Etika adalah hal yang tricky". Begitulah kata Rancière.
Dari situ, kita dapat menyimpulkan bagaimana berkarya seni di negara yang pernah dijajah oleh negara-negara Barat tidak dapat memasukkan unsur-unsur etis ke dalam karya seni tanpa mengalami "slippery slope", kepeleset.
Kala membahas Rancière dan karya seni, setidaknya kita harus memandang karya seni melalui 2 (dua) perspektif, yaitu perspektif subyektif dan perspektif obyektif.
Perspektif subyektif artinya karya seni dapat dilihat melalui 2 (dua) cara pula, yaitu dari kacamata senimannya dan penikmatnya.
Perspektif obyektif artinya karya seni mengalami sebuah tuntutan internal untuk menjelaskan proses yang ia alami kepada penikmatnya, dengan tujuan memperlihatkan nilai-nilai kemurniannya atau kerevolusionerannya.
Etika (Barat) ini lah yang saya simpulkan secara sembarang dari membaca tentang Rancière, bahwa karya seni terlepas dari konteks latar sejarah penjajahan yang senimannya alami, tidak dapat mengelak dari objektivikasi.
Objektivikasi merupakan sesuatu yang khas Barat, dan khas pria (Ayn Rand).
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Serial Jacques Rancière (2)
"Logika Genre dan Modernitas"
Perlu kita ingat, bahwa Leonardo da Vinci merupakan pelukis yang lahir di sebuah pulau besar sekaligus "state-union" yang kini kita sebut Uni-Eropa.
Maka, berbekalkan ingatan sederhana ini, kita jadi tahu, bahwa apa-apa yang akan kita diskusikan tentang Leonardo da Vinci, termasuk khususnya lukisan yang enigmatik dan kontroversi (juga mahal), "Mona Lisa", perlu selalu kita kembalikan pada sebuah dan sebentuk konteks bernama "Tradisi Barat".
Dalam tradisi Barat, tentu kalian sudah tidak asing lagi sama yang namanya "demokrasi", ya, kan?
Jacques Rancière punya sebuah pendapat tentang demokrasi. Dia bilang, demokrasi adalah sebuah paradoks. Artinya, kita tidak bisa memahami demokrasi sesederhana bebas berpendapat, voting, pemilihan presiden, dan seterusnya.
Demokrasi merupakan sebuah operasi logika yang rumit. Rumitnya bagaimana, nih? Rumitnya adalah ia bukan sesuatu yang tunggal dapat didefinisikan sebagai sebuah kata yang bisa dimaknai dengan praktik-praktik yang tadi saya sebut di paragraf sebelum ini, tapi ia juga merupakan kejadian-kejadian sosial yang tidak ada rumus Matematika-nya, alias random banget, atau fuzzy banget.
Demokrasi merupakan produk tradisi Barat, khususnya Yunani kuno. Jacques Rancière memang banyak mengambil pemikirannya dari ide-ide filsuf Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles.
Pernah dengar tentang kategori lukisan sebagai "fine art" dan "liberal art"? Atau "commercial art"? "Fine art" adalah karya seni yang dianggap sebagai karya seni murni, atau sebuah karya seni yang penciptaannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk keindahan semata, tidak untuk memenuhi pesanan pasar, atau diciptakan dengan paradigma modern atau berfokus pada hal-hal yang berbau pasar: jumlah, harga, tawar-menawar, komoditi, dsb. "Liberal art" adalah karya seni yang dianggap sebagai karya seni yang melakukan revolusi, atau perlawanan kepada otoritas yang berwenang.
Nah, masuk ke kategori yang mana kah lukisan Leonardo da Vinci, "Mona Lisa"?
Jelasnya, ia masuk ke kategori "commercial art", sih, karena Leonardo da Vinci tidak menginisiasi sendiri lukisan "Mona Lisa", seorang suami dari perempuan bangsawan Italia bernama Lisa del Giocondo. Memang benar pada akhirnya Leonardo da Vinci tidak menyerahkan hasil akhir lukisan tersebut kepada si pemesan, dan di sini kita tentu kesulitan menyebutnya sebuah "commercial art" karena tidak ada informasi mengenai pertukaran "currency" atau mata uang dengan lukisan tersebut (singkatnya, Leonardo da Vinci tidak dibayar, tidak menerima bayaran, tidak terjadi kegiatan berupa sebuah pembayaran, baik itu berupa sebuah uang muka maupun dan terlebih-lebih lagi pelunasan).
Di sini lah teori-teori Rancière tentang "logika genre" menjadi jawaban atas kompleksitas ini.
Ingat soal "mimesis"? Teori estetika-politik Rancière yang mengatakan bahwa sebuah karya seni merupakan kerja sama antara "poiesis" dan "aisthesis" (Kalau lupa, baca ulang di sini ya: )?
Tindakan Leonardo da Vinci yang tidak menyerahkan hasil akhir lukisan "Mona Lisa" kepada yang memberi komisi, maksudnya yang melakukan "commission" atau yang memesan, merupakan sebuah tindakan politis, meskipun bisa jadi da Vinci tidak bermaksud demikian.
Ini merupakan apa yang disebut Rancière sebagai "Redefinisi politisitas (politicity) Aristotelian".
2 notes · View notes
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media Tumblr media
Serial Jacques Rancière (1)
"Bahasa Visual Leonardo da Vinci dalam Lukisan Potret-Diri 'Mona Lisa'"
"Mona Lisa" (1503 - 1517) adalah lukisan bergenre potret diri (self-portrait) yang masuk kategori seni komersil (commercial art). Ia dibuat oleh Leonardo da Vinci (15 April 1452 - 2 Mei 1519), seorang pelukis dan polimat berkebangsaan Italia.
Judul lukisan "Mona Lisa" dan nama pelukisnya, Leonardo da Vinci, tidak dapat dipisahkan. Ketika kita menyebut nama lukisannya, kita pun pasti mengalami "mental image" nama Leonardo da Vinci sebagai pelukisnya atau pemilik karya lukisan tersebut.
Mengapa demikian?
Tidak ada yang tahu.
Yang jelas, hampir semua orang yang menyukai lukisan juga mengetahui bahwa "Mona Lisa" adalah karya Leonardo da Vinci, dan vice versa, jikalau kita menyebut dan hendak membicarakan nama pelukis era renaisans Italia, Leonardo da Vinci, maka kita tidak bisa tidak, pasti akan menyebut pula "Mona Lisa", meskipun mungkin kita akan mendiskusikan "The Last Supper", atau "Vitruvian Man", sebagai fokus bahasan, kita pasti ujung-ujungnya akan mentok juga di pembahasan yang juga tidak akan pernah selesai tentang "Mona Lisa".
Mungkin, kontroversi mengenai "ilusi optikal" (optical illusion) yang dialami oleh beberapa orang yang mengulas "Mona Lisa" memicu hal ini.
Konon, beberapa orang melihat "Mona Lisa" tersenyum lebih lebar dari yang sesungguhnya terjadi di permukaan lukisan. Setidaknya, sederhananya begini, yang pernah saya dengar-dengar (dan yang pernah saya baca-baca, di Internet). Kalau Anda membaca versi lainnya, chime in and drop a comment or two, will ya? Would you?
Bagaimana Jacques Rancière melihat ilusi senyuman ini?
Rancière menciptakan sebuah teori tentang estetika-politik berjudul, "Distribution of the Sensible" (Bahasa Prancis, bahasa aslinya: "Partage du sensible") yang kalau kita terjemahkan ke Bahasa Indonesia, kira-kira dapat lah kita ketik dan gubah menjadi begini:
"Bagaimana Cara Meresapi Niat Politik(s) dan Teknik Sebuah Tampilan Estetika".
Yah, memang jadinya panjang apa-apanya kalau Bahasa Barat diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, setidaknya biasanya, sih, dan ya setidaknya partikular dalam kasus ini. (Mohon pencerahannya ya teman-teman akademikus Bahasa...)
1. Niat Politik(s) Sebuah Karya Seni
2. Teknik dan Proses Sebuah Karya Seni Diciptakan
Dalam pada ini, kita harus membahas aspek komersil "Mona Lisa" sebagai "tindak politik(s)" Leonardo da Vinci, meskipun jelas-jelas Leonardo da Vinci tidak berpolitik(s) saat menciptakan "Mona Lisa". Ia di-order dan dibayar. Murni bisnis. Pekerjaan lepas.
Akan tetapi, estetika Leonardo da Vinci, yang artinya adalah pilihan-pilihan warna pallete-nya, bahan kayu untuk permukaan melukis, minyak, dan caranya melakukan campur-menyampur cat minyak (blending), tidak dapat menghindar dari bedahan filsafat Rancière.
2 notes · View notes
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Selingan
"Latour, Lacan, Zizek"
Tidak ada modernitas, tidak ada budaya. Lantas yang ada apa? Prancis memang tidak pernah berhenti mengejutkan saya. Sebagai penggemar Prancis, dapat dikatakan saya anak baru di dunia perpenggemaran ini. Saya fanboi Prancis.
Karena anak baru, saya masih terus terkejut dengan pernyataan-pernyataan yang meluncur dari isi pikiran para filsuf Prancis.
Sayangnya, di tulisan ini tidak bisa seratus persen Prancis, karena pernyataan Bruno Latour di atas akan saya tabrakkan dengan kritik Slavoj Zizek ke Jacques Lacan tentang "synthome", homolog semena-mena yang dilakukan Jacques Lacan pada ajaran Karl Marx.
Seperti kita tahu, Jacques Lacan adalah seorang psikiater dan psikoanalis, itu artinya dia memiliki kekuatan (power) yang amat besar, untuk tidak mengatakan "terbesar", sebab memahami ilmu alam dan bekerja sebagai laki-laki berkulit putih yang memahami ilmu alam, dan tidak sekadar ilmu alam, melainkan ilmu kejiwaan, Lacan tidak bisa menafikan sangkaan bahwa dia bisa saja mengarang apapun untuk menjustifikasi ajarannya.
Ini yang kemudian di-point out oleh Zizek. Dalam buku "The Sublime Object of Ideology", Zizek mengkritik penggunaan kata "synthome" yang disangkakan ke Lacan oleh Zizek sendiri sebagai "Homolog" yang semena-mena. Apa maksudnya? Homolog harus dilakukan pada dua objek atau lebih yang apple to apple. Jikalau tidak, ia menjadi justifikasi kebenaran.
Kebohongan ilmiah ini lah yang membuat Bruno Latour, seorang pemikir abad ke-20 di bidang filsafat teknologi, cocok kita sempalkan ke kritik Zizek terhadap Lacan.
Latour bilang, di buku "We Have Never Been Modern" (1991), tidak itu yang namanya budaya karena tidak ada yang namanya zaman modern. Memang tidak mudah memahami ini karena kita adalah warga negara berkembang, tapi tidak mudah artinya kita hanya butuh waktu sedikit lebih lama dibanding warga negara dunia kedua untuk pada akhirnya manggut-manggut sama kritak-kritik para Europeans.
-
Bagaimana hubungan Latour dengan Lacan? Latour lahir tahun 1947, setelah perang dunia kedua selesai dan Lacan tahun 1901, sebelum perang dunia pertama dimulai. PR banget mencari titik temu yang homolog di antara keduanya.
No worries! Dalam setiap PR selalu ada solusi. Latour mengatakan 2 (dua) hal:
1. Zaman modern itu tidak ada, artinya kita tidak pernah menjadi manusia yang modern.
2. Budaya itu tidak ada (dan karena inilah kita tidak pernah menjadi manusia yang modern).
Di sini lah kita menemukan homolog antara dua pernyataan Latour dengan dua pernyataan Lacan tentang ajaran Karl Marx yang ia rangkum dalam sebuah kata sakti yaitu "synthome".
Apa itu? "Synthome" memiliki banyak makna dan cara melakukan homolog adalah dengan mengambil 2 (dua) saja:
1. Gejala individu yang memiliki kejiwaan yang menolak kebudayaan
2. Gejala sosial yang menciptakan individu yang memiliki kejiwaan yang menolak kebudayaan
Nah, di mana kah masalah kedua pernyataan ini? Kalau di dalam dirinya, sih, (das ding, an sich) tidak ada, ya namanya justifikasi, mana mungkin terdapat kontradiksi internal. Tapi, kalau kita melihat dari sudut pandang Marxist seperti Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia yang sekarang mengajar di European Graduate School, dan juga filsuf selebritas, kita dapat menyimpulkan bahwa "synthome"-nya Lacan itu tidak ilmiah, pseudo-ilmiah, dan ini sebuah kejahatan pendidikan juga, lho. Kalau dibiarkan begitu saja ajaran pak psikiater dan psikoanalis Jacques Lacan tanpa didampingi kritik sosial dan ideologi a la Slavoj Zizek, bukan hanya dampaknya buruk bagi nasib pendidikan kita di Indonesia secara umum, tapi juga kita jadi tidak mampu mengenali diri sendiri karena ya, mau gimana, psikologi modern ciptaan Sigmund Freud didistorsi oleh Jacques Lacan, bahkan dia memberi lapisan etika pada ajaran Sigmund Freud ("Seminar VII: Ethics of Psychoanalysis ") seolah tanpanya ilmu dan tentunya beserta sosok Sigmund Freud menjadi tidak etis. Wow!
-
3 notes · View notes
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Yang Baik dari Psikoanalisa
Dalam aliran filsafat kontinental, Jacques Lacan memberi kita penjelasan yang ilmiah tentang kondisi pikiran kita menggunakan pembagian teori tentang pikiran ("the mind") menjadi 3 (tiga) hal:
1) Yang Nyata ("The Real")
2) Yang Terbayangkan ("The Imaginary ")
3) Yang Disepakati-Bersama ("The Symbolic")
Yang Nyata artinya panca-indera kita. Contohnya bagaimana kita mengetahui bahwa sebuah meja memiliki tekstur kasar karena kita merabanya, dan seterusnya.
Yang Terbayangkan artinya imajinasi kita. Contohnya bagaimana kita membayangkan hendak melempar meja ke orang yang kita tidak sukai, padahal ya kita "enggak niat" karena kita tidak mempraktikannya, hanya membayangkannya.
Yang Disepakati-Bersama artinya konsensus bahasa di dalam proses kita berbudaya. Contohnya ketika ada orang yang iseng menyebut sebuah meja sebagai kursi, tentu saja kita tahu bahwa orang itu tidak serius dengan maksudnya, tapi kita boleh-boleh saja sepakat sama dia, tentu dengan tidak melupakan bahwa benda yang dimaksud tetap lah sebuah meja betapapun dia bersikukuh hingga akhir khayat kita bersama menyebutnya kursi.
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Bertha Pappenheim
Bagi saya, hidup adalah kesempatan emas untuk menikmati kebudayaan. Tapi, pertama-tama, saya tidak pernah mempertanyakan, apa sih kebudayaan itu?
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk dari kebiasaan yang dipelihara oleh kita semua. Budaya membaca, membuang sampah pada tempatnya, hanya dua dari sekian banyak hal yang bisa saya sebut tatkala memikirkan soal kebudayaan.
Dalam pengalaman saya menikmati kebudayaan kita, saya terbentur pada sebuah ilmu bernama psikologi. Benturan ini semakin keras di saat saya membaca tentang ilmu psikoanalisa atau ilmu yang digunakan para ahli kejiwaan untuk memeriksa kondisi kejiwaan kita.
Benturan ini bukan tanpa alasan, dan alasannya adalah, setelah membaca tentang kisah singkat hidup dan pemikiran Sigmund Freud, penemu ilmu psikoanalisa, saya membaca tentang feminis bernama Bertha Pappenheim alias Anna O., pasien pertama Sigmund Freud.
Bertha Pappenheim alias Anna O. bukan satu-satunya. Saya juga membaca tentang Herculine Barbin, intersex yang bunuh diri usai dipaksa negara Prancis mengubah jenis kelaminnya pada kartu identitasnya.
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Yang Umum dari Sigmund Freud dan Psikoanalisa
"Hai, Teman-teman Feminis. Nanti bantu aku menjelaskan apa itu ilmuku ke Lacan, ya. Kayaknya dia kurang nangkep niatan aku menciptakan ilmu ini. "
-
Pada suatu hari, Sigmund Freud membantu dokter yang menjadi mentornya untuk mencatat perilaku seorang pasien bernama Anna O.
Anna O. mengalami apa yang disebut dengan "histeris" (Istilah dunia kejiwaan ya, bukan istilah sosial). Ia memiliki seorang ayah yang juga mengalami gangguan jiwa. Oleh karena terpuruk melihat kondisi ayahnya itu lah, Anna O. jadi seperti mengalami gangguan jiwa pula, hanya saja pada waktu itu belum dinamai kondisi Anna O. dengan sebuah istilah yang spesifik.
Selain mencatat gejala-gejala gangguan kejiwaan pada Anna O., Sigmund Freud mendapat kesempatan berharga untuk mengobrol dengannya. Melalui percakapan mereka, Sigmund Freud membuat sebuah permodelan kepribadian manusia bernama "The Ego dan The ID" yang ia gambarkan sebagai fenomena puncak gunung es di mana jiwa kita itu terbagi menjadi tiga (3) yaitu Super ego, ego, dan ID. Ketiga hal ini menandai fenomena kesadaran kita yang membentuk apa yang kita kenal sebagai jiwa atau bahkan kepribadian, yang masing-masingnya mewarnai alam bawah sadar, alam antara, dan alam sadar kita.
Super ego adalah ajaran dari orangtua kita dan lingkungan sosial tempat kita tinggal. ID adalah harapan dan mimpi-mimpi dan atau impian kita yang ingin kita tuju sebagai bentuk kepribadian kita yang ideal. Sedangkan, Ego adalah tindak-tanduk kita yang seringkali kurang kita sadari terpengaruh oleh hal-hal yang kita sebenarnya tidak setuju dari ajaran orangtua kita dan lingkungan tempat kita tinggal, meskipun ada juga hal-hal yang kita setuju dari ajaran orangtua dan lingkungan tempat kita tinggal, yang mana kesemuanya akan membentuk passion kita untuk pada akhirnya membentuk pula kepribadian kita.
Masalah dimulai ketika metode mengobrol dengan pasien ini memberi ide bagi Sigmund Freud tentang hal terdalam dan mungkin dapat lah dikategorikan sebagai rahasia dari seorang manusia, yaitu hasrat seksualnya.
Jacques Lacan memberi lapisan etika pada ilmu psikoanalisa Sigmund Freud, akan tetapi dari tulisan-tulisan saya yang sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa etika yang Lacan promosikan adalah isme yang tidak ramah lingkungan atau ya, berpusat pada falus (kelamin laki-laki) itu tadi. Ilogikal, karena bagaimana mungkin Anna O. yang adalah seorang pasien perempuan, dihilangkan gendernya oleh sebuah teori ilmiah yang falusentris.
Lebih miris lagi ketika kita mengetahui bahwa Anna O. adalah nama palsu dari seorang feminis.
Nama asli Anna O. adalah Bertha Pappenheim.
1 note · View note
benzbarabwc · 10 months
Text
Tumblr media
Gayatri Chakravorty Spivak to Jacques Lacan:
"Kami paham maksudmu. Kami akan pakai ilmu psikoanalisa tapi dengan cara kami, bukan dengan caramu. "
Dalam teori pascakolonialisme, ada seorang profesor bernama Gayatri Chakravorty Spivak yang seakan hendak mengakhiri perdebatan-perdebatan keras di antara para feminis gelombang pertama dan kedua dengan ilmu psikoanalisa.
Beliau mengatakan bahwa feminisme harus mengambil yang baik-baik dari ilmu psikoanalisa dan begitupun sebaliknya.
Beliau juga mengatakan bahwa perdebatan tersebut yang terjadi negara-negara dunia pertama tidak lagi relevan dengan pengalaman sehari-hari para perempuan di negara-negara dunia ketiga.
Sikap beliau yang tampak kompromistis ini dilatari oleh kritik beliau terhadap betapa egosentrisnya negara dunia pertama khususnya Prancis yang dua filsufnya, yaitu Gilles Deleuze dan Michel Foucault, terlibat percakapan tidak seimbang tentang penganut ideologi Mao. Tidak seimbang artinya tidak didasarkan fakta dan data.
Mungkin, beliau akhirnya berpikir tidak guna juga meneruskan perdebatan feminisme dengan psikoanalisa karena, toh, Gilles Deleuze dan Michel Foucault sebagai perwakilan Prancis berlaku tidak adil, sehingga tidak masuk akal mempedulikan Jacques Lacan.
1 note · View note