Tumgik
tom5ive · 8 months
Text
Sehari sebelum ujian praktek nyetir (untuk ke-3 kalinya), aku ada sesi les sama sekolah nyetir. Sebelum ujian memang baiknya les intensif, sesi kemarin itu sesi terakhir sebelum ujian besoknya. Selesai les, seperti biasa, aku diantar ke rumah.
Turun dari mobil, tau-tau ada sepasang kakek nenek spontan nyapa:
👴: Hey, hoe is het gegaan? (Hey, gimana lesnya?) 👦: Ging goed hoor (Lancar untungnya hehee) 👴: Ahh goedzo! (Bagus bagus!) 👦: Ik heb morgen trouwens mijn rijexamen, wish me luck he? (Sebenernya besok aku ujian nyetir, doain yaa..) 👴: Owww, heel veel succes! (grote glimlach) (Owww, sukses!! (senyum lebar)) 👦: Dankuwel meneer!! (makasih meneer..)
Pembicaraan spontan dan singkat, sukses bikin hati senang. Rasa tegang masih ada, tapi setelah ketemu dan disemangati dengan tulus sama kakek random tadi, rasanya senenggg banget. Dan rasanya ada secercah optimisme bahwa besok bisa lah, lancar.
And today.. Alhamdulillah, I finally made it 🥹🥹🥹
Tumblr media
0 notes
tom5ive · 9 months
Text
This album turns 11 years old this month. It feels like it’s only yesterday that I played the whole album on repeat.. This album was my whole 2013.
The whole osjur period has this album playing in the background. “Next Year” is the the song of that damp, dark, basecamp of GD12. “Beacon” is the the soundtrack of that daily commute between campus and home; day and night, wet and dry. “Spring” is the song of 3102: the long-spanning, bright classroom of where we learned Positioning, Geometric Geodesy. “Settle” is about learning to see the world in different perspectives, to see the world in different color, settling in a new setting..
0 notes
tom5ive · 1 year
Text
youtube
Wageningen, September 2017. The days were bright. Every step I took outside was full of excitement. Excitement to discover this new continent, excitement to experience a new life in a new land. The more you absorb the atmosphere, you somehow feel the swirling wind coming from faraway; it was still summer, warm and humid, but autumn is approaching. The wind was ready to blow the leaves off the cherry trees around the university.
And there I took the step off the star-shaped flat in the edge of the university. I looked for the blue bike, Bianca, the first bike I ever owned in the Netherlands. I cycled towards the exciting unknown..
Everything is bright and beautiful 🌞
(The song nor the lyrics have no direct association with the ambiance that I described; it was simply the feeling that got into my mind when I hear this song. You know, that a song can be a time machine 😊)
9 notes · View notes
tom5ive · 1 year
Text
youtube
Beberapa hari ini Spotify nge-rekomendasiin lagu ini. Kesan awalnya apaan nih lagu alay?? Judulnya aja "Kita usahakan rumah itu" (3 kata terakhir ga pake kapital, entah sengaja atau engga). Hahaha, tapi setelah didenger ternyata liriknya lucu juga. Nadanya juga enak. Ada bait favorit:
Urusan perabotan dan wangi-wangian Kuserahkan pada s'leramu yang lebih maju Tapi tata ruang aku ikut pertimbangkan Kar'na kalau nanti kita punya kesibukan Malam tetap kumpul di meja panjang Ruang makan kita Berbincang tentang hari yang panjang
Setelah pindah ke tempat baru, dipikir-pikir ada dua aktivitas yang terasa paling hangat.
Yang pertama adalah momen saat makan malam di meja makan. Rumah yang baru ini memang lebih luas, akhirnya kami punya ruang untuk punya meja makan di rumah. Yang sudah jadi impian sejak dulu adalah lampu gantung, dengan pancaran sinar kekuningan/putih hangat, yang menyoroti meja makan. Lalu penerangan di ruang sekitar dibuat agak remang sedikit. Jadilah suasana yang hangat.
Setelah seharian kerja, duduk bareng Ajeng, sambil menyantap makanan apapun, sambil ngobrol ngalor ngidul, persis seperti yang dideskripsikan di lagu itu. Aktivitas yang simpel tapi selalu membuat hati hangat :-) (walaupun, kadang kalau kita lagi terobsesi nonton suatu serial Netflix, jadi sering makan di sofa juga sambil nonton sih, hahaha..)
Tumblr media
Momen kedua adalah sesaat sebelum tidur. Cuddling, di dalem selimut yang hangat, sambil ngobrol ngalor ngidul juga. Kadang bisa ngobrol soal hal-hal filosofis, gosip, tentang keseharian, tentang mimpi Ajeng yang aneh-aneh, atau apapun yang terlintas di pikiran..
Lagi-lagi momen yang simpel, tapi selalu bikin hati hangat :-)
6 notes · View notes
tom5ive · 1 year
Text
Rekap paruh awal 2022
Januari
Tumblr media
Malam tahun baru aku habiskan di Indonesia, karena waktu itu kebetulan lagi mudik. Harusnya tanggal 31 Desember udah balik lagi ke Belanda sih, tapi karena masih kangen dan belum puas di Indonesia, jadinya kami perpanjang tinggal di Indonesia sekitar 2 minggu. Lumayan nambah waktu untuk sekedar kumpul-kumpul bareng keluarga :-) Sempet mampir ke Jawa Tengah juga karena budenya Ajeng berpulan :-(
Sekembalinya ke Belanda, ternyata Ajeng kena covid. Sepertinya ketularan pas lagi di pesawat. Studio mungil kami di Delft tidak memungkinkan bagi kami untuk tinggal beda ruangan, jadinya aku tetep beraktivitas bareng sama Ajeng, bahkan tidur di kasur yang sama. Anehnya sampe Ajeng sembuh pun diriku ga ada tanda-tanda kena Covid, hasil tes PCR pun negatif. Syukurlah!
Februari
Tumblr media
Di bulan ini mulai serius cari rumah. Beberapa alasan untuk pindah rumah adalah karena makin lama studio ini terasa kecil. Kejadian spesial yang terjadi kemarin, seperti Ajeng kena Covid makin mendorong kami untuk cari tempat baru. Kami juga sering kerja dari rumah, dan kalau lagi sama-sama meeting online suaranya bocor satu sama lain. Dan akhirnya kami juga memutuskan untuk pindah dan beli rumah, bukan sekedar pindah. Alasannya simpel: kalau nyewa uangnya hilang, dan kalau beli uangnya ditabung. Ya kan?
Di bulan ini juga nyobain untuk nge-bid pertama kali.. Yang secara mengejutkan.. Langsung diterima. DEG-DEG-AN banget karena rumahnya emang cakep banget, masih di sekitaran Delft (yang bagi kami kotanya ideal banget), rumah tapak pula. Pastinya seneng banget karena langsung diterima. Tapiii.. Sekitar 2-3 hari setelah kami menang bid, aku selalu bangung dalam perasaan ga enak. Rumah itu indah, tapi banyak tapinya.. Pertama, cukup tua; kedua, butuh renovasi banget; ketiga, perlu overbid banyak banget buat bisa menang. Rasanya banyak sekali hal yang kita gak tau dari rumah ini dan.. Akhirnya bikin makin ga yakin. Ini bener-bener bikin aku ga bisa kerja, overthinking, ga mau makan hahaha, bahkan kayanya turun 2 kg dalam waktu kurang dari seminggu. Akhirnya kami mutusin untuk mundur dari proses pembelian rumah itu :-(
Maret
Tumblr media
Beberapan weekend yang cukup berkesan: ketemu kenalan sodara dari Surabaya, terus ketemu temen kuliah di Amsterdam yang akhirnya kita jalan-jalan seharian (bener-bener dari pagi sampe malem di Amsterdam). Capek tapi seru! Ini juga salah satu hal yang disenengin dari 2022 sih, karena pandemi udah mereda, jadi hampir setiap weekend ada jadwal main/ketemu orang :-)
Di bulan ini juga ada berantem sama istri hehehe. Ya normal lah namanya manusia hidup bareng, pasti akan ada konflik. Tapi yang satu ini mungkin salah satu yang terheboh, tapi sekaligus jadi salah satu yang kami bisa belajar banyak atas satu sama lain. Detail berantemnya gausah ditulis lah hahaha.
Di bulan ini juga mulai lagi viewing beberapa rumah, setelah kejadian yang bikin agak down akhir Februari lalu.
April
Tumblr media
Jadi manusia berumur 28 tahun, wadidaw umur kepala 3 makin dekat! Dikasih Ajeng kado dompet Secrid yang dibeli di Wageningen. Milih sendiri, jadinya tepat guna dan cocok :-)
Di kerjaan, mulai gabung sama proyek baru. Isinya wong londo kabeh (proyek sebelumnya juga sih). Kalo ngobrol mereka kaya ga ada intensi untuk ngomong Inggris (yang mana bagus buat latihan Londo), tapi jadinya tekanan banget ke diri sendiri hahaha. Yowis memang harus dihadapi. Proyeknya juga bener-bener kerasa kaya proyek beneran, karena ini berupa proyek yang di-deploy ke Production (bukan kaya proyek sebelumya yang lebih banyak eksperimen).
April ini juga beririsan sama bulan Ramadhan, jadinya puasa. Puasa tahun ini ga terlalu terasa berat, karena paling lama "cuma" jam 9 malem udah buka puasa. Dibandingin sama puasa pertama di Belanda di tahun 2017, itu buka puasa bisa jam 22:00-22:30, jadinya buka jam 20:30-21:00 masih oke lah..
Di akhir bulan, kami coba nge-bid rumah lagi di Gouda dan dapet (lagi!). Rumahnya cakep banget, ga terlalu jauh dari Centrum, masih walking distance dari stasiun Sprinter, rumah tapak pula. Kali ini ga ada perasaan ga enak kaya sebelumnya, jadi kami bener-bener jalani proses dengan tenang dan penuh percaya diri. Sampai sebelum kami inspeksi dan tanda tangan pre-purchase agreement, si penjual yang ternyata narik diri.
Shock, karena kondisinya waktu itu kami udah di kereta banget mau perjalanan ke rumah itu. Tau-tau ditelpon makelar penjual bahwa inspeksinya di-cancel. Usut punya usut, si penjual ternyata adalah pasangan yang mau bercerai, makanya mereka mau jual rumahnya. Lalu di pagi sebelum kita mau tanda tangan, mereka memutuskan untuk kembali bersama dan gajadi ngejual rumah. Hahaha super kocak 😂 Kami juga memutuskan untuk legowo, karena pas kami viewing, ada satu kamar kecil dengan kasur bayi kecil. Kami mikir, kalau kita ngotot buat beli rumah itu, mungkin bakal ada perpecahan lagi di rumah tangga mereka, dan bayi itu mungkin bakal kena imbasnya.. Humm, di akhir hari aku dan Ajeng cuma bisa ketawa-ketawa.
Mei
Tumblr media
Lebaran, ngebantuin KMD bikin sate padang. Total nusukin 150 sate bareng Ajeng wuhuuu. Di bulan ini juga ujian teori buat nyetir yang Alhamdulillah langsung lulus.
Di akhir bulan liburan singkat ke Luxembourg, negara kecil yang ukurannya paling seukuran satu provinsi di Belanda. Liburan yang cukup aktif dan menyenangkan. DI salah satu hari kita hiking di suatu bentang alam di dekat Kota Echternach. Rutenya relatif ringan, cakep deh, total jalan sekitar 20 km di hari itu doang. Balik ke Kota Luxembourg, ternyata lagi ada marathon, jadinya nontonin orang lari rame-rame. Alhasil ga dapet tram karena semua orang berebut mau masuk. Capek, mana sehabis jalan panjang seharian, jadinya makan pasta di Vapiano yang uwenak.
Di bulan ini juga viewing ke apartemen tempat kita tinggal sekarang :-)
Juni
Tumblr media
Tanggal 1 banget memberanikan diri untuk nge-bid ke apartemen di Voorburg yang langsung diterima di hari itu juga. Alhamdulillah :-) Kali ini bener-bener no drama, inspeksi lancar, komunikasi sama penjual, makelar dan penasehat macem-macem juga lancar. Sepertinya memang jodohnya hohoho.
Pertengahan bulan ikutan Inburgeringsexamen demi kehidupan yang tidak terikat pada pihak manapun. Sengaja ambil hampir semua ujian dalam satu hari, jadinya cuti seharian sekalian bisa istirahat. Lalu diajak temennya Ajeng untuk mampir ke rumahnya di daerah Tiel, yang deket sama perkebunan buah ceri. Jadinya kami mampir ke kebun dan metik sendiri ceri yang ginuk-ginuk dan manis-manis banget. Enak!
Di kerjaan juga dikasih kesempatan untuk jadi semacam co-supervisor di mini-project sama mahasiswa Wageningen. Jadinya di akhir bulan ada kesempatan untuk balik ke kampus, kangen sekali~ Siangnya bela-belain untuk makan di kantin chinese food favorit yang murah meriah. Rasanya masih sama, yum! Lalu diundang ke nikahan kolega orang Belanda yang bentukan acaranya unik banget. Karena doi seneng sama hal-hal berbau abad pertengahan, nikahnya di semacam museum abad pertengahan di Alphen a/d Rijn. Dengan pengantin dan pengunjungnya pake busana adat pertengahan juga. Karena saya orangnya membosankan saya mah pake batik aja hahaha.
3 notes · View notes
tom5ive · 2 years
Text
Dua hari ini sibuk ikut ujian integrasi (inburgeringsexamen) di Belanda. Ujian ini tujuannya buat ngetes apakah kandidat cukup terintegrasi atau engga di masyarakat Belanda. Ujiannya sendiri ada 5 bagian: 4 untuk bahasa (tulis, baca, dengar, bicara) dan 1 untuk untuk uji pengetahuan masyarakat Belanda.
Kemarin aku kebagian ujian menulis. Karena jadwalnya ditengah jam kerja, jadinya harus ijin ke kolega sebentar dan berangkatnya agak mepet. Jadilah lupa bawa botol minum. Sampai di tempat tes, alamak tau-tau sakit perut. Akhirnya ke toilet untuk panggilan alam.
Byar byur, lalu sadar, ga bawa botol! Sebagai orang Asia di Londo, bawa botol saat bepergian itu bukan hanya untuk minum: tapi untuk "kebersihan" juga. Yang tentunya setelah dipakai buat "bersih-bersih", dicuci kembali sebelum dipakai minum hehe. Akhirnya daku terpaksa "bersih-bersih" pake tisu toilet aja. Layaknya orang sini.
"Ohh, mungkin ini bagian dari ujian integrasi juga ya.."
🥲
1 note · View note
tom5ive · 2 years
Text
Tumblr media
Semingguan yang lalu akhirnya sempet mampir ke pameran bertajuk "Revolusi!" di Rijksmuseum Amsterdam. Yang dipamerkan, secara singkat, adalah "sisi lain" dari masa perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949. Kalau mau lihat sekilas bisa buka website ini.
Bagiku, narasi yang ditampilkan di pameran ini paling mendekati dengan apa yang aku pelajari dulu di buku sejarah di bangku SD. Namun, karena ada banyak sekali foto, video, poster dan barang-barang yang baru pertama kali aku lihat—yang sebagian ternyata memang hasil rampasan perang—ada banyak "sisi lain" yang buatku termenung.
Wajah-wajah yang ditampilkan bergerak, berekspresi. Wajah yang kulihat begitu familiar—orang-orang pribumi terlihat seperti wajahku, wajah orang tuaku, wajah kawan-kawanku di Indonesia. Pun orang-orang Belanda yang ditampilkan juga begitu. Mereka terlihat seperti orang-orang baik yang aku kenal disini. Orang-orang baik, yang terbuka mau menerimaku tinggal di negara mereka.
Yang membedakan adalah waktu. Orang-orang di video itu tinggal zaman yang berbeda, yang sialnya memberikan mereka nasib yang berbeda pula. Kalau aku dilahirkan di tahun 1920, bukan tahun 1994, mungkin aku akan punya nasib yang jauh berbeda dengan yang kualami sekarang. Boro-boro untuk bisa ke negeri Belanda, hidup di tanah Indonesia pun mungkin butuh perjuangan. Hanya untuk sekedar hidup.
Mereka semua sama, manusia, wajahnya seperti kita, seperti orang-orang yang kita kenal. Hanya saja, mereka hidup di zaman yang berbeda.
1 note · View note
tom5ive · 2 years
Text
Tumblr media
Sebenernya tulisan ini lebih afdol kalo dipost tanggal 24 Maret ya, jadinya tepat 10 tahun. Tapi mumpung lagi ingin menumpahkan pikiran, aku tulis sekarang aja hehe..
Tulisan jelek di foto di atas adalah tulisan yang kubuat di dinding rumahku di Lembang (hampir) 10 tahun silam. Sepuluh tahun yang lalu, aku, Mama dan Papa meninggalkan rumah yang telah kami huni selama hampir 15 tahun lamanya. Rumah penuh kenangan, tempat aku tumbuh, menghabiskan masa kecilku. Tulisan itu aku tulis di dinding di kamarku dulu, di hari saat kami pindah dari rumah Lembang ke rumah Ciwaruga.
Saat itu aku merasa senang. Senang karena saat itu kegiatanku banyak sekali di Bandung, dan untuk setiap hari bolak balik Lembang-Bandung bisa sampai 2 kali sehari terasa cukup melelahkan. Dengan pindah ke Ciwaruga, jarak ke pusat Kota Bandung dipangkas hampir setengahnya. Aku jadi tidak perlu banyak menghabiskan waktu di jalanan lagi. Dan kalau pulang malam, tidak takut lagi melewati jalanan yang super gelap di Bosscha. Pikirku saat itu, "Ah, Lembang kan deket. Bisa lah sering-sering mampir kesana lagi".
Nyatanya, aku hanya mengunjungi Lembang beberapa bulan sekali. Sesekalinya ke Lembang, jarak dan perjalanan yang mesti kutempuh terasa begitu jauh, sampai mikir: "Kok bisa ya dulu tiap hari bolak balik Lembang-Bandung?". Kunjungan ke Lembang bukanlah lagi sebuah keseharian, namun hal yang sifatnya eventual.
Yang aku tidak sadari di hari saat aku pindah ke Ciwaruga dulu adalah, bahwa aku sudah meninggalkan Lembang for good. Bahwa aku telah meninggalkan tempat yang telah aku tinggali selama hampir 15 tahun. Bahwa aku bukan penduduk Lembang lagi..
Aku jadi ingat obrolanku dengan Mama, Papa dan Ajeng saat di Bandung Januari lalu. Kami mengobrol seputar Surabaya, kampung halaman Mama dan Papaku. Mama bercerita tentang momen Papa meninggalkan Surabaya untuk sekolah di Bandung. Kota yang pada akhirnya, mereka tinggali sudah lebih dari 20 tahun lamanya sekarang. Mama bercerita tentang momen itu, "Ya udah, dari situ Papa emang udah bukan orang Surabaya lagi. Kalau ke Surabaya ya cuma kalau liburan, kalau lebaran aja..".
Mama lalu bilang, "Mungkin kaya Bayu sekarang, sejak ke Belanda 2017 lalu jadinya bukan orang Bandung lagi. Pulang ke Bandung lebih untuk liburan, untuk berkunjung ke keluarga". Hal senada juga diungkapkan Mayang, adik iparku saat aku bilang sedang mencari-cari rumah di Belanda. Dia bilang, "Aku senang kalian mulai settle disana, tapi sedih ga sih, kalian itu berarti kalau ke Indonesia ya disebutnya liburan, pulangnya ya ke Delft".
Percakapan-percakapan itu beberapa minggu belakangan terngiang-ngiang di kepalaku. Selama ini aku selalu menyebut momen pergi ke Indonesia, walaupun dalam kesempatan berlibur, sebagai "pulang ke Indonesia". Dan saat kembali ke Belanda, aku selalu bilang "balik ke Belanda". Sama seperti Mama dan Papa. Kalau mau mudik ke Surabaya, mereka selalu bilang "mau pulang ke Surabaya".
Hum.. Aku jadi ingat sebuah percakapan di buku yang baru-baru ini aku baca, ngena banget. Konteks percakapan ini juga tentang rumah:
"Hidup ini memang seperti itu. Kamu melepas sesuatu, lalu memulai sesuatu. Rumah ini, bagaimanapun, ya, benda mati. Yang hidup itu kenangan di dalamnya, juga alasan-alasannya berdiri. Semua kedekatan emosional yang muncul darinya, juga terhadapnya, itu tidak akan lepas, tidak akan hilang. Aku akan memegangnya terus menerus, memeluknya erat-erat di hatiku, sampai kapan pun". ⁠—Bibi ke Coro, dalam Semasa
Dengan logika seperti itu, rasanya sah-sah saja kalau aku selalu menyebut diriku sebagai orang Bandung. Toh, aku tumbuh dan berkembang di kota itu. Aku punya banyak kenangan dan memori di kota itu.
Aku sadar bahwa beberapa waktu lalu aku selalu bilang aku ingin kembali ke Bandung suatu saat. Mungkin ada masanya. Mungkin.
Yang jelas, kemanapun aku pergi, aku akan tetap menjadi orang Bandung. Aku akan memegangnya terus menerus, memeluknya erat-erat di hatiku, sampai kapan pun.
8 notes · View notes
tom5ive · 2 years
Text
Hal-Hal yang Membuat Rumah Terasa Seperti 'Rumah'
Kembali ke Indonesia setelah 1,5 tahun. Hal yang pertamakali dirasakan adalah rasa nyaman. Yang uniknya, mulai aku rasakan bahkan saat sebelum terbang, saat masih di Bandara Schiphol, dimana aku mengantri untuk check-in dan nge-drop bagasi untuk penerbangan kami. Di antrian, terdengar sayup-sayup percakapan orang dalam bahasa yang begitu saya kenal: Bahasa Indonesia. Saat berada di negeri lain selain Indonesia, untuk bisa mengerti percakapan di sekitar tanpa usaha, adalah hal yang memberiku rasa nyaman. Walaupun udah lumayan ngerti dan ngomong Bahasa Belanda sedikit-sedikit sih..
Waktu sampai di Bandara Soetta juga begitu. Saat mengantri untuk cek kelengkapan dokumen, ada segerombolan ibu-ibu yang minta tolong untuk dikonekin wi-fi. Dari satu ibu, lanjut ke ibu-ibu yang lainnya. Rasanya ada perasaan senang untuk bisa menolong tanpa terkendala bahasa. Di hotel tempat karantina, Ajeng beberapa kali menelepon resepsi untuk bertanya satu dan lain hal kalau kami bingung. Inget-inget di Belanda, kami hanya mau menelpon/bertanya kalau kami benar-benar tidak tahu/butuh pertolongan. Haha, di satu sisi itu hal bagus, tapi kami akui bahwa faktor bahasa bermain besar disitu: kalau kami bisa lebih fasih berbahasa Belanda, tentu kami tidak akan se-sungkan itu untuk bertanya atau meminta pertolongan.
Aku beruntung, karena aku hanya harus menjalani karantina selama 3 hari 2 malam. Karantina aku jalani bersama Ajeng di sebuah hotel di jalan TB Simatupang; jalan yang begitu familiar bagi kami. Jalan tersebut adalah jalanan tempatku berkeliaran saat aku magang di Jakarta 6 tahun silam. Pengalaman pertama hidup sendiri untuk waktu yang cukup lama, tentu sangat berkesan. Kantor tempat Ajeng bekerja dulu juga terletak di jalan yang sama. Saat karantina berakhir, aku keluar dari hotel dan langsung dihantam oleh panas-lembabnya udara Jakarta yang begitu familiar. Trotoar yang kurang manusiawi, kendaraan bermotor yang mengalir tanpa henti, betul-betul suasana yang familiar bagi diri ini. Yang uniknya, walaupun bukan sesuatu yang semestinya baik, tetap memberikan rasa nyaman di hati.
Sesampainya di rumah Ajeng, saat duduk, aku coba menikmati suasana sekitar. Suara gesekan antara sapu lidi dan paving di rumah di sore hari, suara dentingan mangkok tukang bakso.. Aroma-aroma yang tiba-tiba masuk ke kamar di siang bolong, kadang berupa aroma bawang merah dan cabai yang digoreng.. Atau aroma sop buntut, hahaha.
Kalau mengobrol dengan kawan-kawan perantauan di Belanda, obrolan tentang pulang ke Indonesia pasti tidak lepas dari topik makanan. "Aduh, kalo pulang pokoknya gw mau makan Sate Ajo Ramon!". Atau, "Gileee, terakhir makan Nasgor Very kayanya 5 tahun lalu.."
Obrolan-obrolan dan pikiran-pikiran random di atas kadang membuat diri ini bertanya-tanya: sebenarnya kita ini kangen Indonesia, atau kangen makanan Indonesia? Sebenarnya apa sih yang aku kangenin dari Indonesia? Apa sih yang membuat Indonesia terasa seperti rumah?
-
Rumah bagiku adalah perasaan yang kolektif; kombinasi dari banyak sekali elemen-elemen yang begitu sederhana, mulai dari suara, aroma, rasa, perasaan, memori, manusia.. Yang apabila digabungkan, jadinya tidak sesederhana itu lagi. Gabungan dari elemen-elemen itu memberikan rasa yang familiar.. Yang kemudian bisa membuat hati terasa aman dan nyaman. Rumah merupakan konsep yang rumit; akumulasi dari berbagai emosi dan pengalaman yang yang telah aku lalui selama bertahun-tahun. Makanya rumah adalah hal yang begitu personal.. Hal-hal menjengkelkan dari Indonesia, seperti macet atau nyamuk, mungkin bagi sebagian orang bisa terasa seperti rumah.. Bisa memberikan perasaan nyaman. Gabungan dari elemen-elemen di atas lah yang membuat rumah, bagiku, terasa seperti rumah.. Bahwa rumah tidak mesti berwujud tempat atau lokasi, tapi lebih tentang perasaan..
Mungkin itu menjawab pertanyaan mengapa, Belanda dengan segala keteraturannya, sampai saat ini belum bisa memberikan rasa rumah yang 'rumah'. Sepertinya aku memang butuh waktu. Waktu akan memberiku pengalaman, waktu akan memberiku teman, dan seiring dengan waktu aku akan membuat banyak lagi memori.. Belanda tidak akan pernah sama dengan Indonesia. Tapi aku berharap, pada akhirnya Belanda akan benar-benar aku sebut sebagai rumah kedua-ku.
Indonesia akan tetap menjadi rumah pertamaku. Suasana makan malam bersama orang tua, ngobrol-ngobrol di tengah kemacetan, makan di pinggir jalan.. Itu sih jelas tidak akan terganti dimanapun :-)
(tapi plis macetnya Bandung sama Jakarta emang ga ngotak hahaha)
Tumblr media
Gunung Burangrang dilihat dari belakang rumah..
4 notes · View notes
tom5ive · 3 years
Text
Hubungan
Semakin kesini, aku sadar bahwa memelihara hubungan itu bukan sesuatu yang mudah. Di suatu masa kamu akan intensif melakukan kontak dengan seseorang, namun di masa lain kontak tersebut bisa menjadi semakin jarang. Ada beberapa kemungkinan: 1) hubunganmu akan tetap spesial, namun hanya frekuensi kontak saja yang berkurang; 2) kontak hilang, hubunganmu menjadi tidak spesial, perasaan kalau bertemu lagi menjadi biasa saja; atau 3) kontak hilang, hubungan berakhir tidak semestinya, menghasilkan perasaan tidak enak kalau sewaktu-waktu kamu bertemu orang itu.
Aku sangat menghargai hubungan antar manusia. Terutama hubungan yang berkembang: dari nol, saling mengenal, makin mengenal satu sama lain, dekat. Proses tersebut menghasilkan memori-memori yang buatku begitu berharga, yang akan selalu kukenang sepanjang hidup. Selama hidup ini, ada cukup jumlah hubungan yang kujalin, yang bisa kubilang mencapai tahapan hubungan dekat.
Aku senang bahwa ada sebagian porsi dari hubungan dekat yang kujalin tersebut, yang masuk ke dalam kategori ke-1. Ada beberapa teman SD, SMP dan kuliah yang walaupun kontak kami tidak se-intens dulu, kami tetap menganggap hubungan kami spesial. Dan aku akan selalu mempunyai waktu untuk mereka.
Yang masuk kategori ke-2, banyak. Ini tidak usah dibahas.
Yang menurutku paling sedih adalah hubungan yang masuk ke kategori ke-3. Beberapa orang yang pernah kujalin hubungan dekat dengannya, hingga suatu saat ada momen yang memisahkan, yang memberi rasa canggung. "Gimana kalau tiba-tiba ketemu orang itu?", "Bisa ga ya mampir tempat itu lagi? Takutnya nanti papasan sama orang itu.."
Seberapa besarpun keinginan untuk memperbaiki hubungan-hubungan seperti itu, aku sadar bahwa aku memang tidak bisa membuat semua orang senang. Seseorang tidak akan berada di kondisi yang dia jalani sekarang, tanpa pengorbanan-pengorbanan tersebut. Menyesal ga ada gunanya, lebih baik dijadikan pelajaran hidup yang berharga..
Het is niet anders.
3 notes · View notes
tom5ive · 3 years
Text
Tumblr media Tumblr media
Tiba-tiba teringat sama memori hampir 4 tahun silam. Di koridor tempatku tinggal dulu di Wageningen, kami punya tradisi Christmas Dinner. Sesuai namanya, di sekitaran periode Natal, kami berkumpul di common kitchen kami untuk makan malam bersama. Dapur yang penampilannya seperti dapur mahasiswa pada umumnya (tapi bersih), kami sulap menjadi restoran mewah. Setiap anggota koridor diberi tugas: ada yang kebagian masak hidangan pembuka, hidangan utama, hingga pencuci mulut. Iya, hidangannya lengkap hingga 3-4 menu.
Di tembok dapur koridor kami, ada salah satu sisi yang berisi nama-nama orang yang pernah tinggal di koridor ini. Saat pertama kali datang kesini, aku bergumam dalam hati "Wah, boleh nih nulis namaku sendiri disini". Ternyata aku tidak boleh sembarangan menulis nama. Ada ritual khusus yang hanya bisa dilakukan selepas Christmas Dinner. Seperti foto di atas!
Can you spot my name? :-)
Tumblr media
1 note · View note
tom5ive · 3 years
Text
Di Kaki Gunung Hochkönig
Pertama kali ngeliat Pegunungan Alpen itu tahun 2019, waktu itu trip berdua sama Reza ke banyak banget kota-kota dan gunung-gunung di Swiss - Perancis - Italia. Pegunungan Alpen memang sangat memukau—ditutupi permadani rerumputan hijau, ada juga bagian putih yang tertutup salju, ada pula bebatuan yang menjulang tinggi. Sejak saat itu jadi terobsesi dengan pegunungan ini. Ingin ngajak Mama, Papa, Ajeng buat kesini juga.
Musim panas 2021, aku kembali ke Pegunungan Alpen. Dengan settingan yang berbeda: kali ini Pegunungan Alpen di Austria, bersama Ajeng! Menurutku yang menyenangkan dari Pegunungan Alpen adalah, jalur mendakinya yang terawat dengan baik. Jalurnya jelas, penunjuk arahnya banyak, jadi tidak ada rasa takut kesasar. Bagi kami yang pemula, tentu ini sangat membantu karena semua jadi terasa lebih terjangkau. Bermodalkan hasil riset di internet, kami akhirnya menemukan jalur hiking yang ramah untuk pemula: Salzburgen Almenweg. Lebih tepatnya, Salzburger Almenweg Stage 2, karena kami hanya mengambil 11 km bagian dari jalur pendakian yang panjang aslinyanya 350 km itu.
Perjalanan ini merupakan perjalanan paling indah yang pernah aku dan Ajeng lalui. Kami mulai dengan naik kereta dari Salzburg, kota tempat kami menginap, ke Bischofshofen, sebuah kota kecil di dekat kaki gunung Hochkönig, tempat kami mendaki. Lalu, kami lanjut naik bis ke Arthurhaus—sebuah hotel kecil yang menjadi titik awal pendakian kami.
Tumblr media
Pendakian pun dimulai dari situ. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi oleh pemandangan alam yang sungguh memanjakan mata. Mulai dari peternakan-peternakan kecil, kumpulan pohon pinus, gunung bebatuan raksasa... Sepanjang perjalanan, mata kami berdua seperti di emoji ini 😍
Tumblr media Tumblr media
Hal menyenangkan lainnya dari mendaki di Pegunungan Alpen adalah, kami bisa berhenti di beberapa Mountain Huts yang tersedia di atas gunung. Disana kami beristirahat, ke toilet, lalu pesan makanan. Ajeng pesan Bauerkrapfen, yang aku sebut odading pake selai. Kalau aku pesan Kaspressknödelsuppe, pangsit (dumpling?) vegetarian khas Austria, berisi keju yang dimakan dengan sup. Keduanya enak, terlebih karena kami makan sambil disuguhi pemandangan yang cantik nian.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Semakin kesini, hamparan Pegunungan Alpen yang tadinya samar-samar menjadi semakin jelas. Kami bisa melihat salah satu puncak gunung yang diselimuti salju. Ada juga bagian dimana kami bisa melihat desa di kaki gunung—yang bersatu dengan alam dengan begitu harmonis. Kami juga menemukan sebuah bangku yang kami sebut bangku spesial. Spesial, karena bangku ini seorang diri, di ujung bukit, menghadap ke sebuah sisi dimana hamparan Pegunungan Alpen terlihat begitu masif, indah dan perkasa. Foto yang kami tangkap pun rasanya tidak bisa mendeskripsikan kedamaian yang kami rasakan.
Tumblr media Tumblr media
Perjalanan hampir berakhir ketika kami melalui tanjakan yang mengantar kami ke Erichhütte, sebuah mountain hut lagi yang menjadi titik akhir pendakian kami. Dari situ, kami berjalanan menuruni gunung hingga mencapai sebuah halte bis. Kami pun kembali ke Salzburg.
Kami terobsesi!
Tumblr media
4 notes · View notes
tom5ive · 3 years
Text
Tumblr media Tumblr media
Randomly stumbled upon one of my favorite quotes of all time. I first saw it from this beautiful comic from Zen Pencils. While I know nothing about the quoted person (Isaac Asimov), this one quote is the one I still try live by even at this moment, that I should keep on always learning, that I should never stop, that I should utilize my life well, that I should gathered as much as possible from the universe, that I should enjoy my life.
Because to live is to learn.
Source
2 notes · View notes
tom5ive · 3 years
Text
youtube
Saat semua tak jelas arahnya Kita hanya punya bersama Lewati curam terjalnya dunia Ramai sepi ini milik bersama Saat terasa berat-beratnya Kutahu kau pun berjuang juga Hadapi semuanya langsung di muka Apa pun yang terjadi tidak apa ~
0 notes
tom5ive · 3 years
Text
Tumblr media
Setelah berbulan-bulan scroll marktplaats dan meyakinkan diri, akhirnya beli juga sepeda balap (bekas) ini. Harganya mayan miring dan tampilannya juga masih cakep. Senang! Semoga bisa jadi hobi yang benar-benar diseriusi 😋🚲
📸: @salmayarista
3 notes · View notes
tom5ive · 4 years
Text
The Things We Do for Love
After several months living the so-called (long distance) married life, this week is one of those moments that we (me and Ajeng) have been longing for. By the time this piece is posted, Ajeng was already on board the GA88 flight, bound for Amsterdam. She is coming to live with me in the Netherlands.
In Indonesian culture, the common understanding of marriage is that when a woman marry a man, the man is now responsible for the woman. The responsibility towards the woman is transferred from the her father--Bapak, to me, her partner, her husband. It got me thinking of that moment 4 months ago: how me and Bapak grab each other’s hand, saying my sincere vow of me marrying Ajeng. Bapak’s voice was really shaky at that time. He was about to burst out. He was about to cry. I can really understand that. Imagine, having raising a little girl from being a baby, to becoming a toddler, to becoming a full-grown woman, with everything you got in life: and then comes this somebody --maybe you can even call a stranger so to say-- taking the responsibility of your dearest daughter. Marriage happens everyday, but if you really think about it, it’s more than just an everyday thing. It’s sacred.
I’ve been longing to this moment since weeks ago. I am really really excited that Ajeng is coming to the Netherlands to live with me. But yet when I woke up yesterday, the day of Ajeng’s departure, there is this bittersweet feeling. I kept thinking about that moment 4 months ago, the moment when Bapak and Ibuk ‘had to let their daughter go’.. And while that does not seem enough, they had to let her daughter depart for a place 12000 km away. It’s tough for parents to experience that. In a way, I felt.. Weird.. And guilty. Will Ajeng be happy here? Will I be able to provide for her? Would I be able to really become a responsible husband?
But as the day went, and Ajeng finally get on her plane, this is what I realize:
Bapak and Ibuk, I share your sorrow. It must be difficult to have someone you raised from the beginning of her life depart to live with someone else.. Depart for a country thousands of kilometers away. I still clearly remember the feeling when I had to leave Indonesia 3 years ago. Me myself, I hugged my parents for I don’t know how long in front of that gate in the airport. I felt like I don’t want to let that hug loose. Even after I arrive in the Netherlands, with all of its joy, I still cried sometimes. The feeling of having to live spatially separated from your loved ones is not pleasant. Ask my mom and dad. They know that feeling well.
However, please know, Bapak, Ibu and also Mama, Papa: I am not trying to snatch your daughter away. This whole thing.. This is the thing that we do for love. Me and Ajeng, we love each other, therefore we will both follow our significant other wherever he/she wishes to go. If in the future Ajeng needs to settle in other place, I would do the same. I would follow her wherever she goes. Like what she does to me right now. For now, that place is a country called the Netherlands. We don’t know what awaits us in the future.. But certainly: we love each other. That is why we do this. I will be a responsible husband. Me, together with Ajeng, we will build a happy family. Because we love each other.
We also love you all. We will do countless minutes of video calls. We will share thousands of photos of us doing silly things. We will visit you often. You all will come to the Netherlands to visit us often too, together with Mayang and Gendis. And all of the family members. And of course, one day, we will settle back home.
For now, we are truly starting a new chapter in our life.
Together.
Tumblr media
Geschreven in de Intercity richting Lelystad Centrum. Over enkele ogenbliken: Schiphol Airport.
12 notes · View notes
tom5ive · 4 years
Text
Mengatasi Perasaan Rindu Rumah
Bulan depan adalah tepat 3 tahun (!) aku tinggal di Belanda. 16 Agustus 2017 aku mendarat di Belanda. Kalau bersihnya sih ga tepat 3 tahun ya.. Dikurangi beberapa periode saat aku pulang ke Indonesia atau waktu plesir ke negara lain, mungkin kurang lebih waktu bersihnya 2,5 tahun. Lumayan lama lho.
Belanda memang negara yang sangat nyaman. Namun hal yang aku sadari setelah pulang 2 kali ke Indonesia dalam 3 tahun ini, Indonesia adalah (masih) tempat yang paling nyaman. Indonesia beserta segala komponen di dalamnya: orang terkasih, kemacetan, makanan, teman, panas-sejuk, jalan sempit dan semuanya. Beberapa minggu pertama setiap kali kembali ke Belanda setelah pulang dari Indonesia selalu terasa menantang. Masih terasa bahwa diri ini masih berjuang untuk menyesuaikan diri; walau pada akhirnya aku terbiasa.
Sehari-hari, perasaan homesick alias kangen rumah itu kadang-kadang muncul. Gimana mengatasinya? Tentu setelah 3 tahun aku merasa cukup berpengalaman dalam mengatasi perasaan ini. Video call ke rumah tentu, liat-liat foto, atau kumpul sama temen Indonesia pasti sudah jadi solusi yang umum ya, jadi hal semacam itu tidak akan kujelaskan. 
Lagu
Yang pertama yaitu dengerin lagu yang bernuansa rumah. Bisa yang berbahasa Indonesia, bisa juga lagu-lagu lain. Contohnya, waktu baru sampai di Belanda dulu, sekitar 2 bulan pertama hari-hariku kujalani diiringi playlist This Is Bee Gees dari Spotify. Ada satu momen di Indonesia, saat mudik ke Surabaya naik mobil, kami mendengarkan lagu-lagu Bee Gees di sepanjang perjalanan. Lagu-lagu itu pun sering Papaku putar di rumah sejak aku kecil. Aku jadi mengasosiasikan Bee Gees dengan rumah. Pun saat baru kembali dari Indonesia 2019 kemarin, hari-hariku diwarnaik lagu-lagu dari playlist ‘Semangat Pagi’ dari Spotify juga. Isinya lagu-lagu Indonesia semua; ceritanya beneran supaya lebih semangat sekaligus membuat atmosfer ‘rumah’ di Belanda.
Google Maps
Entah karena saya suka peta atau apa, tapi melihat peta Indonesia itu jadi salah satu terapi bagi saya untuk mengatasi rasa kangen rumah. Kadang suka lihat peta Bandung, lihat-lihat ada restoran/jajanan baru ga ya, atau jalan-jalan di Jalan Cipaganti lewat street viewnya. Kadang juga buka peta Jakarta yang makin kesini makin punya tempat di hati. Jalan TB Simatupang yang penuh kenangan, atau lihat nama-nama tempat yang begitu familiar: Gajah Mada, Pecenongan, Menteng, dan lain-lain. Sebatas melihat nama-nama tempat itu saja sudah bikin hati senang. :-)
Minum Teh
Kalau ditanya lebih pilih mana antara teh atau kopi, sebetulnya saya sudah pasti pilih kopi karena memang doyan. Kebiasaan minum kopi ini semakin subur semenjak tinggal di Belanda, karena mesin kopi ada dimana-mana. Dari yang awalnya cuma kuat minum kopi yang dicampur susu semacam Cafe Latte atau Cappuccino, makin kesini jadi kuat minum espresso yang pekat. Saya jadi mengasosiasikan kopi dengan Belanda.
Namun teh, yang rasanya bagi saya lebih lembut, halus, gentle, selalu mengingatkan diri pada Indonesia. Apalagi teh melati semacam Teh Tong Tji, Teh Dandang atau Sariwangi. Biasanya gamau konsumsi gula terlalu banyak; tapi kalau minum teh itu di Belanda lebih senang pakai gula, karena lagi-lagi mengingatkan pada Indonesia. Kalau ke restoran pasti pesen es teh manis (atau es jeruk). Pagi-pagi di rumah mama sering bikin Teh Teng Tji hangat. Teh adalah Indonesia, teh adalah rumah. :-)
Pergi ke Den Haag atau Leiden
Dulu pernah bikin sebuah post yang ngejelasin kenapa Den Haag merupakan salah satu kota favorit saya di Belanda. Iya, Den Haag adalah tempat lari kalau kangen masakan Indonesia. Bisa makan kangkung terasi di Fat Kee, atau belanja makanan asia di Amazing Oriental. Dan Leiden, entah mengapa bagi saya punya nuansa Indonesia yang kental. Unsur sejarah di kota ini terasa kental; setiap jalan-jalan di sana selalu ngebayangin perjuangan pelajar-pelajar Indonesia, dari zaman kolonial hingga sekarang, untuk belajar di Belanda.
-
Setelah 3 tahun, tentu Belanda sudah semakin terasa sebagai ‘rumah’. Tapi gimanapun aku tumbuh dan besar di Indonesia, kurasa wajar kalau aku tetap menganggap Indonesia sebagai rumah utamaku. Ada alasan kenapa nomor WhatsApp-ku masih berupa nomor Indonesia, bukan Belanda :-)
3 notes · View notes