Tumgik
#apakah pembohong bisa berubah
oktastika · 2 months
Text
21 Tanda Pasangan Selingkuh: Bagaimana Cara Mengetahuinya?
21 Tanda Pasangan Selingkuh: Bagaimana Cara Mengetahuinya?
Selingkuh dalam hubungan adalah masalah yang serius dan dapat menghancurkan kepercayaan dan kestabilan sebuah hubungan. Jika Anda merasa curiga bahwa pasangan Anda mungkin sedang selingkuh, penting untuk mengetahui tanda-tanda yang mungkin menandakan adanya perselingkuhan. Dalam buku “Berbohong Belum Tentu Bohong”, kami menjelaskan secara komprehensif 21 indikator kebohongan pasangan berdasarkan…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
aliiiiif · 6 months
Text
Tumblr media
Bismillah,
Hari ini, lembut kicauan burung menemani pagiku menekuri beberapa hal dihari yg lalu
Allah, anugrahkan aku kebijaksanaan dalam menghadapai keadaan
Kemarin, panjang ku kirimkan VN pada kawanku, berat rasanya saat tidak dipercayai oleh tim. Terlebih aku baru bergabung
Selalu berkelebat pertanyaan pertanyaan, "apakah mungkin aku memang tidak kompeten" "Kok yang aku sampaikan disanggah melulu, apakah aku dicap pembohong?" "Kenapa aku tidak dibela, atau sekedar ditenangkan dan bantu menjernihkan pandangan jika memang aku salah?" "Kenapa aku dianggap salah, semebtara yg saat itu menghandle aku? Kenapa beberapa orang keukeuh hanya karena tau saat satu tahun yg lalu? Bukan kah beberapa hal bisa berubah dalam kurun waktu yg ada?
Tak berhenti aku menyalahkan diriku, kekuranganku, dan mulai membuat diriku menciut dalam lubuk hati. Aku tak ingin lagi berusaha membetulkan suatu keadaan, toh tak didengar.
Tapi? Apa perasaanku ini playing victim juga?
Sendu dan tangisan kutahan tahan agar tak terdengar oleh orang-orang diluar kamar. Allah...
Namun, lewat jawabannya aku perlahan menenang. Sekali lagi aku diingatkan bahwa validasi manusia adalah tidak perlu
Mau menuntut apa dari mahkluk yang bahkan tidak adil pada dirinya sendiri?
Lewat VN itu aku belajar, bahwa sudut pandang manusia sangat bisa berbeda. Banyak hal yang menjadi sebab, salah satunya goals.
Misal guru mengaji A punya pandangan bahwa selain pintar dan banyak hafalan, anak anak perlu belajar meng implementasikan ayat ayat nya dalam kehidupan
Si guru mengaji B punya pandangan bahwa selama sianak ini pintar dan banyak hafalannya, berarti goalsnya sudah tuntas
Maka saat dihadapkan pada anak yg misal sudah pintar, hafalan banyak, gampang menghafal, rajin, namun tidak sopan pada guru, atau tidak bisa mengolah emosi nya, atau bahkan tidak peduli pada jam istirahat dan makannya,
Guru mengaji A akan paham bahwa si anak perlu dibantu untuk menerapkan ayat ayat al qur'an dalam bab akhlak, waktu, kesehatan, si anak perlu dibantu untuk perlahan memperbaiki diri
Namun guru B, selama si anak mampu dalam hafalannya, yang lain tidak perlu dipermasalahkan. Target tercapai = cukup
Yaps, perbedaan goals membuat pandangan seseorang terhadap suatu masalah menjadi berbeda.
Selanjutnya, aku belajar, bahwa ketika seseorang atau bahkan banyak orang tidak mempercayai apa yg kita rasa, yang kita dengar atau kita lihat, padahal itu terjadi
Tanamkan pada diri kita, bahwa Allah pasti punya maksud atas hal itu. Kenapa kamu melihatnya sendirian dan orang lain malah memungkiri, Allah pasti punya alasan
Dan PR ku adalah mendapatkan hikmah
Aku diingatkan lagi, bahwa tak ada salahnya memegang prinsipku yang berbeda dari orang lain
Aku juga diingatkan lagi, bahwa melibatkan Allah, menyakini bahwa Allah lah maha menyaksikan dan Allah lah sebaik- baik pemberi balasan.
Bahkam meski satu dunia tak mempercayai apa yang terjadi padamu, Allah masih melihat...
Terima kasih, Allah..
2 notes · View notes
syncedforjune · 2 years
Text
Kama: Toko Buku Jadoel.
Para kucing penghuni rumah mulai berhamburan entah kemana. Kumpulan awan mendung sudah mulai menyelimuti pandanganku ketika pintu kayu yang menutupi garasi rumah tua ini kubuka agar ada udara yang masuk. Aku menghembuskan napas kasar. Berharap hujan jangan dulu turun membasahi karena aku ingin membersihkan tempat ini terlebih dahulu.
Bangunan lama, hanya sederhana. Rumah yang aku pijaki sekarang adalah rumah mendiang Bapak. Rumah ini ditinggalinya ketika ia dan Ibu sudah resmi bercerai karena alasan yang masih belum bisa aku terima.
Yang jelas, Bapak sama sekali tak mau lagi menginjak rumah besar yang kini aku dan Utara tinggali—dulu kami berempat tinggal bahagia di sana. Kata Bapak, lebih baik berkehidupan sederhana daripada harus larut dalam kenangan yang tak berujung itu terus menerus.
Kedua orang tuaku bercerai ketika aku masih duduk di bangku SMP. Sungguh sebuah takdir yang sulit untuk aku terima pada waktu itu. Semuanya jadi terasa hampa. Apalah arti dari rumah besar tanpa adanya kehangatan dari para penghuninya. Aku rindu mereka. Tapi sayang, masaku sudah habis untuk merasakan kehangatan dari sebuah keluarga.
Ibu memutuskan kembali ke kampung halamannya yang ada di London, ia meninggalkan kami semua di sini. Aku tak tahu pasti apakah alamat rumahnya sudah berubah atau masih sama seperti yang dulu. Aku pernah bertanya kepada Bapak, sebenarnya ada apakah di antara hubungan mereka berdua. Bapak hanya menjawab kalau dirinya dan Ibu sudah tak ada lagi rasa. 
Bohong. Bapak dan Ibu sudah kuanggap sebagai pembohong sejak hari itu. Alasan yang benar dari putusnya hubungan mereka adalah karena Ibu, Ibu menyelingkuhi Bapak diam-diam dan Bapak malah menutupi semuanya sendirian.
Tiap sudut rak buku aku bersihkan dari debu yang menempel. Bapak punya toko buku kecil-kecilan, ia membangun toko buku tersebut di dalam garasi sederhana rumahnya. Tangannya yang terampil sungguh ajaib mengubah garasi butut nan kumuh menjadi tempat penyimpanan buku bernuansa klasik.
Tak lupa papan yang bertuliskan “Toko Buku Jadoel” masih menghiasi tembok dekat garasi serta pagar di bagian depan. 
Kupandang beberapa figura foto yang masih terpajang di dinding ruang makan. Itu foto Bapak bersama aku dan juga Utara sewaktu dokter memutuskan untuk mengizinkanku pulang karena kondisiku sudah lebih dari baik di umurku yang ketujuh tahun.
Sebelum foto manis dengan senyuman itu diambil, sempat ada mimpi buruk yang terjadi. Aku menjadi salah satu korban kecelakaan mobil. Kecelakaan hebat itu terjadi karena sopir pribadiku mengantuk selepas menjemputku dari sekolahan yang menjadikan, mobil kami bertabrakan dengan mobil yang ada di depan.
Aku selalu bersyukur Utara tak terlibat dalam kecelakaan itu. Sudah cukup bahagia hatiku melihatnya yang tumbuh dan sehat selalu. Berbeda denganku yang sudah tidak bisa lagi melakukan aktivitas berat. Efek dari kecelakaan itu benar-benar menghambatku sampai sekarang. Sering kali aku merasakan sakit dibagian jantung ketika tubuh ini merasakan kejutan atau disaat aku selesai melakukan aktivitas yang berat.
Namun, Bapak bilang kalau Tuhan tidak pernah tidur. Aku sangat yakin keterampilanku dalam melukis diberikan Tuhan melalui perantaranya, yaitu Bapak. Bapakku adalah seorang seniman, dan Ibuku adalah seorang objek yang diabadikannya dalam sebuah kanvas pun juga di dalam seluruh hidupnya untuk selama-lamanya.
Rupiah demi rupiah aku kumpulkan selama Bapak dan Ibu masih ada kala itu. Satu lukisanku bisa berharga sepuluh juta lebih karena sebuah seni memanglah mahal harganya. Berkat ajaran Bapak juga aku bisa membuat karya yang penuh dengan makna di dalamnya.
Dan kini, aku masih ikut serta dalam aktivitas pencampuran warna tersebut dengan senang hati. Seolah-olah Bapak berbisik bahwa jangan sampai aku meninggalkan dunia seni begitu saja.
“Permisi….” Suara panggilan itu tiba-tiba membuatku menengok, kubuka headphone yang tengah aku pakai lalu menghampiri sumber suara.
“Eh iya, ada apa ya, Bu? Pak?” tanyaku ketika melihat sepasang suami istri dengan mata yang sembab menghampiri toko buku lapuk ini sembari membawa lembaran kertas.
“Maaf menganggu, tapi… apabila Masnya ada lihat anak ini… tolong kabari nomor yang tertera ya… terima kasih….” Kedua alisku mengkerut ketika wanita tersebut memberikanku selembar kertas yang berisikan berita anak hilang. Sudah tertera bahwa anak itu masih berusia tujuh tahun dan sudah menghilang tanpa kabar sejak lima hari yang lalu. Lokasi terakhir di taman bermain kanak-kanak. Sontak kepalaku seketika mengingat kejadian tahun lalu. Maksudku… apakah mereka benar-benar kembali….
“Bu, maaf, apa sudah dilaporkan ke polisi?” tanyaku.
“Sudah, Mas. Semuanya masih diproses. Tapi kami engga bisa duduk diam saja di rumah, kami khawatir sama anak kami satu-satunya. Mengingat kejadian tahun lalu… rasanya saya tak mau berprasangka buruk terlebih dahulu…,” jawabnya yang ternyata pemikiran kami sama.
“Kalau ketemu sama anak yang ada di foto itu tolong kabari ya, Mas….” Kini sang suami yang bersuara.
“Oh, iya. Pasti. Semoga anak Ibu dan Bapak cepat ketemu, ya. Pasti dia baik-baik saja, saya yakin.” Mereka mengangguk lalu pamit meninggalkanku—menempelkan selembar kertas di tiang listrik yang ada lalu kembali berjalan menyusuri komplek perumahan ini dengan penuh rasa harap.
Mataku tiba-tiba perih, aku pun berjalan masuk ke area dapur untuk membasuh muka. Kuletakkan lembaran kertas yang tadi di atas meja tamu terlebih dahulu.
Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan mereka—para orang tua yang harus menerima kenyataan kalau anaknya tiba-tiba hilang tanpa adanya jejak langkah.
Aku mengatur napasku. Ayolah Kama, cukup do'akan saja semoga anak itu cepat ketemu. Semoga saja ia hanya nyasar ke suatu tempat dan dipertemukan oleh orang baik di luar sana.
Headphone kembali aku pasang untuk meminimalisir perasaan yang mulai berkabut. Alunan lagu dari band The Beatles sudah cukup membuat hatiku tenang kembali.
Langkahku kini menuju area toko lagi. Dengan santai aku melangkah sembari membawa kemoceng bulu untuk merapikan bagian yang masih berantakan.
Tiba-tiba saja sesosok bayangan tubuh wanita membuat langkahku terhenti. Bayangan itu ada di balik rak buku yang lainnya. Astaga Tuhan, mana mungkin ada setan yang suka membaca buku siang-siang begini.
Kuturunkan kembali headphoneku lalu berjalan mendekati bayangan itu—harap-harap hanyalah manusia yang tak sengaja mampir karena melihat toko ini sudah kembali terbuka. Habisnya, tadi aku lupa untuk memasangkan plang kata “tutup” di depan pagar.
“Lho, Kina?” panggilku. Fyuh, ternyata sosok bayangan itu adalah seorang gadis yang aku temui kemarin. Dengan terkejut ia mengembalikan buku yang sedang dibacanya ke tempatnya kembali.
“Astaga! Kaget!”
“Ngapain di sini?” tanyaku basa-basi.
“Eum… tadi aku habis dari posyandu. Terus iseng aja ngelilingin komplek ini. Eh, ada toko buku nyempil. Ya… aku masuk aja ke sini…,” jawabnya dengan jujur.
“Kamu sendiri, ngapain di sini?” tanya balik Kina. Sudahlah, aku memang suka saja memanggilnya dengan nama Kina dibandingkan Raksi.
“Ini toko buku bapakku.”
“Oh? Seriusan? Wah, kebetulan banget ya berarti.”
Mendadak kilat menyambar langit-langit, cahaya matahari yang sudah remang-remang menerangi sudut toko seketika menghilang. Gelap. Langit Yogyakarta benar-benar berubah menjadi warna hitam pekat dalam beberapa saat.
Terlihat Kina yang terkejut sembari menutup kedua telinganya karena suara petir tadi. Aku segera pergi untuk menyalakan lampu. Dan tepat sesuai dengan prediksi hatiku. Hujan deras diiringi petir yang terus menyambar-nyambar turun tanpa adanya permisi.
“Yaampun! Aku harus pulang! See you Kama!” Pamit Kina tiba-tiba, dengan cepat aku langsung menarik tangannya agar ia tak nekat menembus derasnya hujan itu sendirian.
“Jangan! Emangnya kamu mau kesambar petir?!” teriakku karena suara mulai teredam oleh derasnya air hujan yang menghantam jalanan aspal.
“Ya tapi aku harus pulang! Lepasin ga tanganku?!”
“Engga mau!” Terjadilah kompetisi tarik menarik di antara kami. Sudah gila gadis ini, ngotot betul kalau dikasih tahu.
Kilat kembali menyambar namun kali ini, suaranya sangat kencang dan cukup membuat kami refleks berjongkok sambil menutup telinga kuat-kuat. 
“Aku takut…,” gumam Kina yang terdengar olehku.
“Ya makanya jangan pulang dulu! Ayo masuk ke dalem!” titahku. Aku pun menutup toko terlebih dahulu lalu bergegas mengajak Kina masuk ke area ruang tamu di sebelahnya.
“Udah, kita aman di dalam sini. Mungkin suara petirnya masih sedikit kedengeran tapi ga bakal sekenceng waktu kita di luar,” ucapku. Kubiarkan Kina duduk di kursi sofa sambil mengatur deru napasnya terlebih dahulu.
“Tasmu dilepas aja dulu. Kayak mau piknik aja dipakai melulu,” sindirku lalu pergi beranjak menuju dapur—mencari sesuatu yang bisa aku berikan kepada Kina. Sepertinya masih ada stok teh hijau dan juga kopi di dalam lemari makanan.
“Kina,” panggilku dari arah dapur.
“Raksi.” Koreksinya.
“Tapi boleh kan kalau aku panggil Kina?” tanyaku.
“Ya… boleh-boleh aja sih….”
“Oke, Kina. Mau minum teh, kopi, atau air putih?” tanyaku kembali.
“Air putih aja.”
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Hujan masih asyik mengguyur di luar rumah. Siang pun sudah berganti menjadi sore. Kini aku mulai sama bingungnya dengan Kina, bukan ia saja yang ingin pulang, tapi aku juga. Aku tak membawa jas hujan dan aku tak mau jatuh sakit jika memaksakan diri menembus guyuran hujan yang masih deras di luar sana.
“Dicari, anak hilang. Umur tujuh tahun, meninggalkan rumah sudah sejak lima hari yang lalu,” gumam Kina membaca lembaran kertas yang tadi aku taruh di atas meja ruang tamu. Akhirnya, ia masih bisa bersuara juga ternyata. Keheningan di antara kami pun mulai nampak pudar.
“Kalau kamu liat dia, tolong hubungi nomor yang tertera," sahutku.
“Ini adikmu yang hilang?” tanya Kina.
“Bukan, tadi ada suami istri yang nyebarin lembaran itu. Anak mereka yang hilang.” Kina mengangguk. Oke, sekarang, perutku mulai terasa lapar.
“Kenapa ada aja ya orang jahat di dunia ini. Kasihan mereka, pasti lagi cemas banget,” ucap Kina.
“Ya pasti ada. Namanya juga hidup. Bakal selalu ada yang bikin kita sedih dan juga bikin kita bahagia,” jawabku yang hendak beranjak dari sofa kembali.
“Aku mau masak mi dulu, laper. Udah tiga jam kita kejebak hujan kayak begini.” Aku berjalan menuju dapur. Bisa kuramal kalau Kina juga sudah lapar. Untung saja aku sempat membeli beberapa mi instan ketika aku baru sampai kesini di warung depan. Aku akan memasak dua bungkus mi kuah sekarang.
Kompor kunyalakan diiringi suara speaker telepon yang berdering. Apakah Kina sedang menghubungi Alam untuk menjemputnya segera? Hih, mana mau lelaki itu menjemput kakaknya di tengah hujan deras begini. Apa susahnya sih menunggu sebentar lagi?
“Nanti aku antar pulang, Kina. Jangan suruh Alam buat jemput kamu kesini. Kasian dia,” ucapku dari area dapur.
Kina mendengus, suara langkahnya terdengar mendekatiku ke arah dapur. Betul saja, saat ini ia sudah menyender di tembok sembari menyaksikan aku merebus mi.
“Lho, kamu masak dua bungkus?” tanya Kina.
“Iya, buatmu satu. Kamu laper juga kan?” tanyaku balik.
“Kalau boleh jujur... iya, dari tadi udah keroncongan... maaf, Kama. Aku jadi ngerepotin kayak begini,” ucapnya.
“Engga apa-apa, santai aja kali.” Kina terlihat tersenyum sembari memandang sekitar.
“Toko bukunya multifungsi ya.” Kina mengeluarkan suara kembali. Kujelaskan langsung sedikit tentang tempat ini kepadanya untuk mengisi waktu kosong kami berdua. Kina hanya membalasnya dengan manggut-manggut. Entah paham ataupun tidak, yang jelas aku hanya ingin menjelaskannya saja kepadanya.
“Rajin juga kamu bersihin tempat ini.” Pujinya dan aku pun tersenyum.
“Kita makan dulu, habis itu pulang.” Aku membawa dua mangkuk mi instan yang masih mengepul itu ke ruang tamu kembali. Tampak Kina hanya iya-iya dengan perintahku ini. Syukurlah gadis itu tak rewel sama sekali.
“Kama,” panggilnya.
“Ya?”
“Terima kasih, maksudku, untuk mi ini,” ucapnya dan aku hanya mengangguk lalu menitahnya agar cepat-cepat memakan mie kuah itu sampai habis.
Rupanya sore ini aku habiskan dengan Kina. Gadis yang jarang sekali memperlihatkan batang hidungnya di kampus maupun di sekitarku. Aku tahu, fakultas kami lumayan jauh jaraknya. Tapi, aku benar-benar tak pernah bertemu dengannya secara langsung. Aku hanya mengetahui kalau Alam mempunyai kakak perempuan yang bernama Kinatih Raksi Kenanga—nama indah yang pernah aku temui. Pun juga disaat aku pergi ke rumah Alam untuk menjemput Utara, aku sama sekali tak pernah melihat keberadaannya. Mungkin, Kina adalah tipe orang yang suka menyendiri atau lebih suka menarik diri dari keramaian.
Kini hujan sudah mulai mereda. Tak ingin berlama-lama di dalam rumah ini aku pun segera mengantar Kina ke rumahnya—sekalian pulang, aku tak mau kena omel Utara lagi untuk kesekian kalinya.
Hening. Tak ada yang mau mengisi obrolan, dan juga dingin. Itulah yang terjadi di sepanjang perjalanan aku mengantarkan Kina menuju rumahnya. Lagi pula aku bukan tipikal orang yang banyak bicara—tidak terlalu cuek dan juga tidak terlalu ekspresif. Jadi wajar kalau sore yang sudah mulai dilahap malam ini hanya berisi oleh kesenyapan yang beku.
0 notes
mysteryuri · 3 years
Text
Terjemahan: 美ST - Yamada Ryosuke
Beast — Ryosuke yang Liar
Sejak hari itu, aku memohon tiap kali membuka mata usai terpejam. Namun, Ryosuke tiada. Obat oles sama sekali tak berguna. Pembohong. Tak ada jawaban meski aku bergumam seperti itu. Aku berusaha melewati hari-hari yang lumpuh dan letih dengan merantai kemalasan seolah mengikuti jejak waktu saat diri ini tinggal berdua bersamanya. Kala aku menggunakan kaca pembesar saat ingin melihat wajahnya lebih jelas, “Aku bisa terbakar loh.” Ucapnya seraya lari tak karuan. Kala aku dilanda kebimbangan, “Kau pasti bisa.” Ucapnya seraya loncat di atas bahuku. Kala aku kehilangan semangat, tampaknya dia menyanyi sambil menari untukku. Meskipun peri kecil itu telah hilang, aku tahu kekuatan nyali yang ditinggalkannya tetap melindungiku saat ini. Namun, diri ini tak dapat beralih memandangi botol kaca yang kosong. Proyek baru dengan perusahaan lain yang diserahkan padaku kala musim trench coat tipis dan cardigan mulai meningkat (note: musim panas semakin memuncak), serta Ryosuke yang mendukungku saat itu, benar-benar memasuki permulaan. Rekan kerja yang seharusnya hadir untuk meeting sedang sakit. Aku pun berjalan ke ruang pertemuan tak berdaya seorang diri. Dengan rasa pening di kepalaku, aku menaiki lift. Aku berjalan menyusuri koridor panjang, dengan permadani membentang yang mengheningkan suara langkah kakiku, mengantarkan diri ini menuju ruang tersebut. Begitu kubuka pintu, ada seorang lelaki berdiri di sana. 
“Salam kenal.”
Di balik setelan jas yang rapi, tampak ketegangan otot dari dalam yang membuat setelannya bergelombang, seolah sedang merencanakan sesuatu. Dahi yang gagah di atas leher yang jenjang, alis yang lurus, garis hidung yang terjal, bayangan pekat sisi wajahnya disembunyikan oleh rambut yang tampak lembut. Suite Room pencakar langit. Di balik punggungnya, hanya terlihat ujung Tower Tokyo yang menikam langit sedikit mendung. Lelaki itu tersenyum diiringi cahaya redup usai siang hari. Ibarat ada duri pada mawar, bahwa bunga yang cantik menyembunyikan makna buruk. Naluriku berbisik untuk segera menyambar kenop pintu.
“Akhirnya kita bertemu juga.”
Akhirnya? Padahal aku hanya datang sebagai pengganti.
Aku dibuat terdiam membatu oleh bibirnya yang tampak ingin berucap bahwa ia ingin merebut semuanya. Kenapa kau melihatku dengan tatapan penuh harap seperti itu?
Entah sejak kapan pintu tertutup, jarakku dengan lelaki itu semakin dekat. Di balik manik mata yang memancarkan pandangan suram, terlihat warna biru pekat, sama seperti warna danau dalam mimpi yang kulihat saat Ryosuke muncul.
Nama yang tertulis pada kartu nama yang ia berikan, sama seperti nama sosok yang selalu kuingat setiap hari.
Jangan-jangan… Ryosuke?
Kulihat lelaki di hadapanku sekali lagi. Aku tak tahu, karena ukuran tubuh dan kesannya sungguh berbeda. Namun, wajah lelaki itu tampak cantik dan serasi dengan mutiara.
“Hari ini, saya datang sebagai perwakilan perusahaan.”
Lelaki itu tidak melihat kartu nama yang kuserahkan dengan penuh kegugupan. Dia terus menatap tajam padaku. Dia mendekat, sampai kubisa merasakan nafasnya.
Di ruangan tidak ada orang lain. Ini bukan jarak antar pekerja yang baru pertama kali bertemu. “Anda kenapa? Mari berbincang mengenai pekerjaan. Silakan ke sebelah sini.”
Setelah itu, aku tak begitu ingat apa yang ia bicarakan. Jadwal proyek dan harapan kerja sama bisnis pada bidang keuangan. Seketika keheningan merundung. Begitu lelaki itu mengangkat wajah, mengalihkan pandangan dari tablet yang selalu ia lihat, kucoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Mohon maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Biasa sekali pendekatan Anda. Apa kau tak bisa menggunakan bahasa yang lebih cerdas?”
“Bukan begitu…”
“Mari saya buatkan kopi.”
Begitu ia mengoperasikan mesin espresso, tercium kuat aroma mawar dan vanilla dari punggungnya.
“Apa Anda mau menambahkan kayu manis pada latte?”
Jadi dia benar-benar Ryosuke?
“Kenapa kau tak langsung tahu kalau ini aku?”
“Eh?”
“Kau tampak senang ya, meski tanpaku. Kau cocok dengan setelan jas, juga cantik. Aku jadi kesal.”
Lelaki itu menoleh, tertawa tak tertahan.
“Aku takkan memaafkan orang yang melupakanku meski hanya sekejap saja. Padahal aku sudah bilang, jangan pergi dari sampingku.”
Mulutku bergerak, namun tenggorokanku tercekat. Suaraku tak bisa keluar, sekujur tubuhku tak berhenti bergetar.
“Padahal, aku berusaha keras untuk kembali. Demi bertemu denganmu sekali lagi.”
Usai meletakkan cangkir kopi di meja, tangan tegapnya menangkup pipiku yang gemetar.
“Benar-benar ya… Padahal sudah dewasa, namun kau tak bisa diabaikan. Tapi, ya sudahlah.”
Ryosuke melepas dan melempar jasnya, lalu berbaring di atas ranjang. Jari-jemarinya yang bergerak membuka dasi serta kancing kemeja, jakunnya yang bergerak naik-turun, tulang selangkanya yang indah, pembuluh darah yang terlihat di permukaan lengannya, juga keberanian dan kecemasan dirinya yang tak kusadari kala ukuran tubuhnya lebih kecil dari smartphone, membuat diriku tak bisa mengalihkan pandangan.
“Kali ini, selamatkan aku.”
“Aku datang ke sini untuk memelukmu.”
Dia yang hanyut di lautan bed sheet, bagaikan mawar yang mekar dalam botol kaca. Indah, bagai aroma demam ringan berbahaya.
“Sejak kemarin atau hari ini. Sejak tahun lalu atau tahun ini. Aku tak jatuh cinta padamu sebatas itu.” Kau milikku selamanya. Meski berulang kali terlahir kembali, jangan lupakan janji bahwa aku akan menemukanmu.
Ibarat ucapan permohonan. Di atas bed sheet berwarna pucat, tetesan cahaya yang membentuk garis pada bulu mata panjangnya mulai meredup kala ia menutup mata. Mungkin waktu telah berlangsung cukup lama, atau mungkin sebenarnya hanya hitungan detik. Dia perlahan membuka mata. Jarinya yang dahulu seolah akan patah jika disentuh, kini jari itu berjalan perlahan ke punggungku. Saat aku akan lari, dia menarikku kembali dengan kuat.
Jarinya tak berhenti bergerak seolah ingin melepaskan ketakutan.
“Menyelamatkan… Dari apa?”
“Dari perasaan yang tak bisa berhenti menginginkanmu ini. Kau tak ingat? Ketika kau hidup bersamaku di kehidupan sebelumnya.”
Ucapan yang dimaksud merupakan kisah masa lalu, yang aku sendiri hampir hilang kesadaran akan itu. Tentang kisah pertemuan kami berdua di kota bertanah paving yang bisa mengumandangkan musik. Tragedi cinta abadi antara kami berdua dengan usia dan status sosial yang berbeda. Aku menenggelamkan diri ke danau seraya memeluk bunga yang ia berikan. Sementara dia turut tenggelam, menyusul “diriku” setelah itu.
“Tak seharusnya aku membiarkanmu sendiri. Karena yang bisa bertemu dan melindungimu hanyalah aku.”
Ini merupakan “transaksi” yang ia pilih untuk terus berharap demi bertemu denganku. Ia menjadi kecil, lalu kami kembali jatuh cinta. Apa itu karena dirinya tak bisa memaafkan hilangnya nyawa akibat bunuh diri?
“Tapi, aku sudah dapat kesempatan. Kesempatan untuk sekali lagi memelukmu. Biarkan aku mengingat kehangatanmu dengan jari ini.”
Di pipi, telinga, tengkuk, pinggang, jari-jemarinya yang menempel perlahan kehilangan tenaga. Ketika diriku ingin menumpahkan air mata akibat luapan hati yang amat berat, kulit Ryosuke mulai transparan.
“Jangan menangis. Aku bisa hilang.”
Dahulu kala, ketika kami menenggelamkan diri ke danau dan melepaskan nasib masing-masing dari tangan kami sendiri, maka kami akan kembali terpisah jika basah. Ujarnya begitu.
“Tiap hari, tiap detik, jangan lupakan aku. Aku pasti akan menemukanmu kembali.”
Keringatnya, suhu tubuh yang mulai berubah, keluhan desah, gerak hati yang melekat, air mataku, kelembapan kulit, tetesan serpihan sel kecil.
“Apa kau akan kembali ke dalam botol kaca jika menghilang?”
Tak ada jawaban. Bau mawar dan vanilla pun mulai menipis. Aku terus menatap marmer yang menghamburkan percikan air.
— Hanya aku yang bisa melindungimu selamanya. Jangan lupakan itu.
Terdengar suara dari genangan air yang melebar di bawah telapak kakiku. Ryosuke pasti menemukanku. Berapa kali pun itu. Mungkin saja di reruntuhan gereja yang ada di ujung utara, atau mungkin di dalam lift masa depan berkecepatan tinggi.
“Selamat ulang tahun.”
Suara rendah dan manis bergema dalam telingaku.
 
٩(๑❛ᴗ❛๑)۶
Tumblr media
3 notes · View notes
nadineksn · 4 years
Text
Chapter 72
"Kolonel, Hakim di Pengadilan, kamu ditempatkan di bawah rumah tahanan di laboratoriumku." Dr. Ji menaruh setumpuk informasi di atas meja dan tertawa. "Perlukah aku membawakan makanan untukmu?"
Yang duduk di kursi empuk milik Dr. Ji bukan dokter itu sendiri, melainkan seorang Hakim yang mengenakan seragam hitam. Dia melipat lengannya dengan ceroboh dan kakinya yang panjang disilangkan. Lencana perak hilang dari dadanya, tetapi kalung perak yang terkulai di atas seragam mengisi celah warna, membuat pakaian dan penampilannya tetap sempurna.
Mata yang membekukan menyapu laboratorium perak-keputihan, "apakah kamu pikir aku mau tinggal di sini?"
"Aku sarankan kamu bersikap baik padaku. Aku tidak banyak bertanya, dan itu sudah cukup untuk mengembalikan 1% dari persahabatan kita sejak kecil." Dokter menambahkan, "Kamu harus memahami situasinya. Pengadilan itu sendiri bahkan tidak bisa menjaminnya. Bahkan jika aku, — satu-satunya temanmu di pangkalan ini, tidak lagi menerimamu, mungkin kamu akan segera dihancurkan oleh orang-orang di luar. Aku dengar United Front Center telah mengadakan tiga pertemuan berturut-turut dengan tema 'Apakah kekuasaan hakim untuk membunuh semua orang harus dihapuskan dari Undang-Undang Hakim'."
Setelah mengatakan itu, dia mengedip-ngedipkan matanya, "apakah kamu menyesal telah memilih kembali dari alam liar?"
Dia bermaksud untuk memprovokasi suasana hati pria ini tetapi dia tidak berhasil. Ekspresi Lu Feng tidak berubah ketika dia mendengar kalimat ini.
— Sejak perubahan komponen antar mutasi dan polusi genetik tanpa kontak dan benda mati juga terpengaruh ditemukan, pangkalan telah jatuh dalam kondisi kepanikan. Mungkin saat kutub magnet rusak karena distorsi, mereka akan berubah menjadi monster atau terintegrasi dengan baja pangkalan ini. 8.000 orang ini adalah para elit pemimpin militer dan Mercusuar. Mereka adalah umat manusia yang paling unggul yang pernah ada. Mereka, dengan IQ mereka yang superior, dapat dengan baik memprediksi kengerian pada hari kiamat yang akan datang. Pangkalan mati-matian mempertahankan kedamaian dengan keras. Seperti danau yang tertutup lapisan tipis es, tampak sekokoh emas tetapi pada kenyataannya akan pecah hanya dengan satu lemparan batu.
Penyebab insiden ini adalah penembakan 10 hari yang lalu.
"Jika itu orang lain, itu baik-baik saja. Tapi kamu..." Dokter menatap Hakim yang acuh, menggertakkan giginya.
Pria yang terbunuh itu adalah peneliti terkenal dari Mercusuar, yang telah membuat kontribusi luar biasa untuk menghitung *balistik dan meningkatkan daya tahan peluru *artileri. Dia adalah orang hebat di kalangan pria di industri militer. Tentu saja, para peneliti di seluruh bidang mencintainya dan militer juga menghormatinya.
*(Balistik adalah ilmu mengenai gerakan, sifat, dan efek dari proyektil, khususnya peluru, bom grafitasi, roket, dan lain-lain juga bisa diartikan sebagai ilmu atau seni merancang dan mengerakkan proyektil untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.)
*(Artileri secara umum merupakan sebutan untuk kesenjataan, pengetahuan kesenjataan, pasukan serta persenjataannya sendiri yang berupa senjata-senjata berat jarak jauh.) Wiki.
10 hari yang lalu, Lu Feng dan Se Lan bertemu dengan peneliti itu di koridor United Front Center, mereka bahkan saling mengangguk untuk memberi salam.
Namun, pada saat dia melewatinya, Lu Feng mengeluarkan pistol Se Lan yang selalu disematkan di pinggangnya. Keahlian menembaknya selalu akurat. Tarikan pelatuknya cepat dan tegas. Pelurunya mengenai punggung si ahli peluru artileri itu. Meledak seperti kembang api dan mayatnya jatuh ke tanah.
Kejadian ini mengejutkan seluruh pangkalan.
Para murid dan teman-teman orang itu mengklaim bahwa dia pintar, sopan, lembut, dan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi sama sekali. Mereka meminta Pengadilan untuk memberikan penjelasan.
Namun, orang itu sudah meninggal dan peralatan pengujian genetik tidak dapat digunakan karena distorsi komponen inti selama gelombang fusi material dua bulan lalu. Tidak ada dasar untuk mendukung penilaian hakim. Dalam hal ini, satu-satunya penjelasan Hakim adalah ia bertindak sesuai dengan aturan Pengadilan.
Banyak masalah lama ditemukan, dan protes agar Pengadilan mempublikasikan aturan persidangan mencapai puncak tertinggi pada akhir-akhir ini. Namun, kekuasaan yang diberikan kepada Pengadilan oleh Undang-Undang Hakim berarti mereka tidak dapat mengirim Lu Feng ke Pengadilan Militer. Dan kontroversi Undang-Undang Hakim kini mencapai puncaknya.
Seorang pemuda bernama Colin, — yang mengaku sebagai pelopor Gerakan Anti-Hakim di Kota Luar, selamat dari bencana yang menyisakan 8000 orang di kota karena dia seorang guru yang bekerja di Taman Eden. Saat ini, pemuda yang berapi-api itu sekali lagi meneriakkan slogan-slogan yang digunakan saat demonstrasi di Kota Luar, dan pada saat yang sama, ia juga mengkritik sistem pangkalan yang menginjak-injak hak sifat manusia tanpa henti. Dia dengan cepat mendapatkan banyak penggemar setia.
Menanggapi hal ini, United Front Center memilih untuk menekan situasinya setelah sudah lama diam. Hanya saja sisa-sisa manusia dari pangkalan ini sebagian besar adalah anggota Mercusuar dan Taman Eden. United Front Center harus membatasi kekuatan mereka dan tidak dapat berjuang terlalu keras. Pada saat ini, apabila satu orang mati, jumlah manusia akan berkurang 1/8000. Kerusuhan dalam masyarakat 8.000 orang ini tampaknya akan menjadi masalah yang tak terpecahkan.
Tepat ketika ini mencapai puncaknya, fakta yang tidak terlalu diketahui masyarakat dari Mercusuar dibocorkan dan disebarkan ke mana-mana.
Itu adalah arsip paling rahasia dari 'Kelompok Fusi' bertahun-tahun yang lalu. Banyak orang-orang tutup mata dengan keberadaan kelompok ini, tetapi mereka memang memiliki kemampuan penelitian ilmiah yang tidak perlu diragukan lagi. Dalam percobaan dan pengamatan selama satu dekade, mereka memperkirakan bahwa probabilitas orang hidup yang terinfeksi gen dapat mempertahankan kesadaran manusia adalah 1 banding 10.000. Dan ada 1% kemungkinan untuk mendapatkan kembali tingkat kesadaran manusia dalam tiga tahun setelah menjadi monster.
Lebih buruk lagi, data ini disertai dengan catatan objektif. 1 dari 10.000 dan 65,5% adalah *teori estimasi. Probabilitas aslinya mungkin sedikit lebih tinggi.
*(Teori Estimasi adalah metode untuk memperkirakan nilai populasi dengan memakai data nilai sampel.)
Pada hari arsip ini bocor, seluruh pangkalan gempar.
Sebagai tanggapan, Colin menulis artikel panjang berjudul, '100 tahun Persidangan Pengadilan – Kejahatan yang Tidak Terbukti'.
Pada saat yang sama, seorang prajurit gila mengintai di luar Pengadilan dan menembaki Hakim. Rumornya para prajurit dan rekan seperjuangannya meninggal di bawah senjata Hakim. Sayangnya, Hakim adalah seorang prajurit yang 100 kali lebih baik darinya dalam hal apapun dan peluru itu sama sekali tidak bisa mengenainya. Namun, langkah ini menginspirasi orang lain. Untuk sementara waktu, Pengadilan menjadi sasaran kritik publik dalam berbagai hal.
— Sampai Dr. Ji mengajukan permohonan ke Mercusuar.
Dr. Ji memberitahu bahwa sampel spora dari Abyss kebal terhadap infeksi dan distorsi, yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada sampel lain. Jika mekanismenya dapat dipelajari dan diterapkan pada manusia, maka manusia mungkin mendapatkan karakteristik yang berharga ini. Namun, spora aneh ini menunjukkan kedekatan yang tidak biasa dengan Kolonel Pengadilan. Setelah kontak dengan Kolonel, tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup selnya meningkat.
Oleh karena itu, Kolonel Lu harus bekerja sama dengan proyek penelitian ini dan pangkalan juga harus memastikan keselamatan Kolonel, yang mungkin menjadi harapan terakhir umat manusia.
Jadi, beginilah seorang Kolonel bermarga Lu muncul di laboratorium Dr. Ji.
"Diduga tiga bulan akan datang, meskipun tidak ada bukti yang pasti, nasib manusia sedang dihitung mundur." Dr. Ji duduk di sebelah Lu Feng dan berkata, "Awalnya, Kota Utama tidak peduli dengan sistem hakim, tetapi sekarang mereka akan menghadapi persidangan, sama seperti Kota Luar. Kamu harus memahami bahwa sekali kutub magnet hancur oleh distorsi, semua orang berisiko terinfeksi, dan semua orang akan menghadapi persidangan. Mereka semua mungkin mati di bawah senjatamu. Pengadilan telah menjadi musuh spiritual semua orang, meskipun Pengadilan belum melakukan apapun. Distorsi yang menyeluruh akan datang. Mereka berharap mereka dapat menjadi 1 dari 10.000 atau 65%. Menggulingkanmu bisa membuat mereka hidup lebih lama. Ini tidak ada hubungannya denganmu. Ketakutan akan kematian adalah naluri biologis."
Setelah mengatakan itu, dia sedikit mengernyit dan berbisik, "Tidak peduli seberapa kuatnya Pengadilan selama bertahun-tahun, tidak ada sepatah katapun tentang peraturan persidangan yang bocor. Aku percaya kamu pasti punya alasan untuk melakukan itu. Tetap saja, aku ingin menanyakan pertanyaan lain kepadamu. Arsip dari Kelompok Fusi, apakah kamu tahu itu sebelumnya?"
Mata Lu Feng melewatinya untuk menatap spora yang mengambang di media kultur hijau.
Karena dia berada di ruangan itu, miselium spora membentang dengan santai. Tumbuh sedikit dan spora itu sekarang sebesar telapak tangan seseorang.
"Apakah ada perkembangan?" Lu Feng bertanya dengan ringan.
"Sayangnya tidak. Makhluk kecil ini adalah pembohong seperti An Zhe. Sekarang perannya hanya sebagai perisaimu dan aku tidak tahu berapa lama ia bisa bertahan." Dr. Ji menatap mata Lu Feng.
Mata itu — mata hijau, di Pangkalan Utara yang didominasi orang Asia, — meskipun ada beberapa ras campuran lainnya, dimana mata hitam adalah hal biasa, dan warna lainnya seperti biru atau coklat, tidak biasa. Namun, mata hijau dingin itu sangat istimewa. Terkadang dokter berhalusinasi bahwa mata ini adalah benda anorganik yang tidak berperasaan, seperti tatapan pria itu.
Tampaknya tidak peduli berapa banyak orang yang telah dia bunuh atau bagaimana orang lain melihatnya, dia tidak tergerak. Tidak perlu mengerti dan tidak perlu memaafkan. Dia selalu begitu angkuh.
Rasa kecewa menyebar memenuhi pikiran dokter.
"Aku seharusnya tidak peduli denganmu, apalagi mencoba menghiburmu. Kamu tidak peduli." Dia menarik napas dalam-dalam dan merentangkan tangannya sambil berkata, "setiap kali aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa kamu adalah orang yang baik, kamu menggunakan tindakan untuk memberitahuku bahwa kamu benar-benar... kamu benar-benar berbakat dalam bersikap tidak peduli dan kejam."
Dia memeriksa wajah Lu Feng. Fitur wajah orang ini sangat indah dan kuat, seperti dia adalah boneka yang diukir. Sayangnya, bahan dia terbuat adalah es beku yang tidak akan berubah selama ribuan tahun. Situasi di luar begitu tegang sehingga dokter takut bahwa seseorang akan menghancurkan pintu laboratorium dan melemparkan batu ke Hakim, tetapi orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda sakit atau tertekan secara internal. Sebaliknya, bulu mata pria yang terkulai itu menunjukkan ketenangan, seperti kupu-kupu hitam yang bertengger di jendela kuil dengan tenang.
Undang-Undang Hakim masih belum dihapus dan wewenang Lu Feng masih paling tinggi. Pada saat ini, layar komputer di sebelahnya sedang memutar video pengawasan real-time dari pangkalan yang ramai untuk memastikan tidak ada yang terinfeksi.
Dokter menyerah dan membuat komentar sarkastik, "Aku ingin tahu bagaimana ekspresimu ketika kamu dikirim ke tiang gantung oleh semua orang di Pangkalan."
Setelah mengatakan itu, dia menatap mata Lu Feng, mencoba membaca suasana hati pria itu. Sayangnya, Lu Feng tidak tertarik dengan tatapan sengit ini. Dia sedang menatap spora, seluruh alat media kultur itu, atau sesuatu di kekosongan.
"Terima kasih, aku pantas menerimanya," kata suara dingin itu.
Tinju Dr. Ji di atas meja melonggar lalu mengepal lagi. Pada akhirnya, dia bersandar di kursi dan berkata, "Aku harus mendorongmu keluar. Kamu sudah gila."
"Aku waras." Lu Feng akhirnya mengalihkan pandangannya ke dokter. "Apakah ada yang bisa kulakukan di laboratorium untuk membantu?"
"Lihatlah jamur kecilmu dan buatlah itu tumbuh lebih cepat," jawab dokter. "Jika kamu bisa, bantu aku memperhatikan saluran komunikasi departemen penelitian."
***
8 notes · View notes
mirfanzulfahmi · 4 years
Text
52 Hertz
“Tenggelamkan!”
Algojo bertubuh besar itu tanpa ragu mendorong Adam. Menurut pada titah pria berdasi mahal itu. Adam tumbang dari kapal menuju laut yang tengah mengamuk malam itu. Tiada bintang yang kelihatan musabab terhalang awan hitam yang menurunkan hujan deras. Ombak menghantam bak beling, menyeret kasar Adam ke sana kemari hingga ototnya lemas dan keram. Tenaga dan semangat Adam redup, tarikan napasnya sudah habis, tubuhnya tenggelam menuju lautan gelap, dan kapal besar itu berlalu, meninggalkan Adam melawan maut sendirian.
Adam tersadar. Badai telah hilang berganti menjadi milyaran bintang dengan kerlap kerlipnya yang menakjubkan. Milky way. Cantik sekali tanpa tandingan. Semangatnya naik perlahan senada dengan otot yang kembali pulih.
“Kau sudah sadar?” Pria tua dibelakannya menegurnya. Adam melirik sekeliling. Ia tengah berada di pulau seukuran 5 x 5 meter yang dikelilingi samudra. Hanya ada satu pohon kelapa yang menopang dua kelapa muda, satu batu seukuran tv tabung yang diduduki pria tua tadi, dan milyaran butir pasir putih. Jangan tanya apakah ada di peta. Apakah ini nyata saja masih sebuah pertanyaan.
“Siapa kau? Di mana aku? Aku harus cepat kembali ke New York. Ada konferensi besar yang tidak bisa kulewatkan.”
“Manusia memang tidak sopan. Sudah untung diselamatkan. Malah meminta yang mengada-ngada. Tunggu, sepertinya aku pernah melihatmu.”
“Apa maksudmu? Jawab saja tanyaku pak tua! Aku tidak punya waktu untuk ini. Ada dunia yang harus kuselamatkan.”
“Hahaha” Pria tua itu terkekeh kemudian terbahak. Amarah Adam semakin menjadi. Ia merasa sedang diledek habis habisan.
“Tenanglah. Coba ingat apa yang terakhir kali terjadi padamu?”
Kepala Adam kembali berdenyut. Sakit sekali. Seketika ia mengingat kembali rasanya di hantam ombak. 52 detik yang menyakitkan. Air mata Adam tumpah. Sambil menangis, ia manatap lekat Si pria tua.
“Apakah kini aku mati?”
Pria tua ini hanya mengangkat bahunya. Adam kembali menangis. Berbalik badan, menatap lautan luas didepannya, dan memukul kepalanya seraya berteriak “Bodoh! Sekali lagi aku jadi manusia tidak berguna. Bahkan diakhir hidupku.”
Satu jam berlalu. Hanya suara laut yang setia menemani dua sosok yang membisu di tengah pulau. Tiada yang mulai bercakap. Adam sibuk menyesali perbuatannya sementara pria tua asik memandangi bintang. Entah apa yang dipikirkannya.
“Namaku Adam. Siapa namamu?” Adam mendekati pria tua dan memulai pembicaraan. Ia sebenarnya begitu malas memulai pembicaraan. Tapi, untuk apa lagi menyesali hidupnya yang telah tamat. Setidaknya saat ini, ada sesuatu yang bisa ia syukuri. Ia tak sendiri.
“Sudah berhenti menangisnya anak cengeng?” Pria tua membalas ketus. Adam makin kesal.
“Aku tak punya nama nak. Aku sudah di sini sejak 3 tahun yang lalu. Tiada yang pernah datang ke sini. Tiba-tiba kau muncul dan berteriak seolah punya hidup paling menderita sampai ikan-ikan menjauh. Sudahlah. Tidak ada yang menarik dari diriku. Ceritakan saja tentang hidupmu.”
Adam bergumam “Sombong sekali Pak tua ini. Tidak punya nama. Yang benar saja? Baiklah, ayo kita ikuti permainanmu. Aku yakin ada cara agar keluar dari tempat ini. Entah ke surga atau ke neraka. Yang penting tidak bertemu orang kaku sepertimu”
“Namaku Adam. Dokter hewan laut dari amerika. Mereka bilang aku aneh. Sebab memang punya kebiasaan berbicara pada hewan. Ya, sejujurnya memang aku tidak mengerti bahasa apa yang dipakai hewan-hewan itu. Tapi, yang kutahu satu hal. Aku tahu, hewan itu hidup sama seperti manusia.
Aku lahir di Jepang. Orang tuaku nelayan. Suatu hari, di umurku ke 12 tahun, aku diajak ayah melaut berdua. Tibalah ayahku melihat kapal besar yang ingin membuang limbah pabrik yang tentu saja tak sedikit. Ayahku tanpa pikir panjang menarik tuas mesin kapal dan kami menuju kapal besar itu. Ia berteriak untuk menghentikan perbuatan bodoh itu. Ayahku sungguh menganggu saat itu dengan menabrakan kapal kecil kami. Apalagi ia merekam aktivitas ilegal itu.
Bos kapal tidak tinggal diam. Ia seketika keluar dan tersenyum manis. Tapi senyum manisnya hanyalah awal dari tindakan kejinya. Ayahku diajak masuk ke dalam kapal besar sementara aku menunggu di kapal kecil kami. Entah ayahku akan disuap atau diapakan. Tapi ayahku orang yang keras, Ia tak mudah dibeli dengan uang. 10 menit telah berlalu. Kapal itu kemudian melanjutkan aktivitas pembuangan limbah. Tunggu, Ayahku gagal? Seketika, seseorang kemudian jatuh dari kapal besar itu.
Celaka. Itu Ayah. Aku seketika kemudikan kapal. Menuju ayahku yang tiba-tiba jatuh. Pikiranku benar-benar kemalut saat itu. Kuloncat ke laut dan kuselamatkan tubuhnya. Tapi usahaku sia-sia. Ia tertembak tepat dijantungnya. Darahnya mengalir deras bahkan membuat sebagian laut merah. Aku terus-menerus menyebut namanya sambil berdoa kepada tuhan. Tapi nahas. Detak jantungnya tak terdengar. Begitupun napasnya. Ayahku telah pergi.”
Adam menarik napas. Ia tengah bercerita saat paling memilukan dalam hidupnya. Tentang kejamnya manusia demi kerakusannya. Pria tua itu menatap lekat. Memerhatikan dan mendengar kata demi kata yang terucap.
“Usai menyelesaikan tugasnya, kapal besar itu berlalu. Air laut menjadi hitam pekat dan menyemburkan bau tak sedap. Aku menangis sejadi-jadinya. Mengutuk ketidakberdayaanku.
Tetiba seekor paus datang. Besar sekali. Seukuran 2 bis London. Ia mengitari kapalku. Awalnya aku takut. Tapi perlahan, aku mengerti. Ia mencoba menghiburku. Ia seolah berkata bahwa aku harus pulang dan melaporkan ini semua. Kemudian ia berenang lurus. Aku langsung mengerti bahwa ia tengah menunjukki diriku jalan pulang. Beruntungnya aku. Sebab 12 tahun adalah umur di mana aku tak mengerti arah mata angin. Seandainya bisa bertemu lagi dengan paus itu, aku akan sangat bahagia.
Sejak saat itu. Aku bersumpah akan meneruskan perjuangan ayahku. Menjadi pejuang lingkungan sepertinya. Dari sana, aku mencoba masuk jurusan kedokteran hewan dan ikut organisasi pencinta lingkungan. Walau suaraku tak didengar bahkan diabaikan. Kendati karena perjuangan itu pula, aku tewas. Di buang kelaut karena terlalu keras menentang. Padahal pria berdasi itu sudah menyiapkan jutaan dollar. Tapi keteguhanku tetap mengakar. Lewat paus biru seukuran 2 bis London yang menari-nari di air, dari mata biru tuanya yang meneduhkan, dan dari suara berfrekuensi 20 Hz yang ia timbulkan, aku selalu percaya bahwa manusia dan hewan bisa saling memahami.”
Adam menghentikan ceritanya. Perjalanan hidup yang memilukan. Malam secara berangsur-angsur menuju pagi. Satu jam menuju fajar. Kali ini, giliran pria tua yang bicara.
“Wah, Hebat! Tak kusangka pria cengeng sepertimu bisa memaknai hidup begitu dalam. Haha. Kau pasti berpikir, aku pembohong. Tapi memang, aku tak punya nama. Setidaknya sampai para peneliti menyematkan nama untukku. Mereka menyebutku Whalien atau Whale 52.”
Adam berdiri dari duduknya. Sangking terkejutnya, bulu kuduknya seketika berdiri. Ia memang tak tahu ini nyata atau tidak. “Tunggu. Jangan bilang kalau kau adalah …”
“Ya. Benar. Aku bukan manusia. Aku adalah paus paling menyedihkan di dunia. Seorang pencinta alam dan hewan sepertimu pasti tahu diriku. Paus biasanya memiliki frekuensi 12-25 Hz (Hertz) dalam berkomunikasi. Namun, aku berbeda. Aku terlahir dengan suara berfrekuensi 52 Hz. Oleh karena itulah, aku tak bisa berkomunikasi dengan sesamaku.
Padahal, engkau tahu sendiri. Lazimnya paus hidup berkelompok, 6-10 ekor. Aku selalu bertanya-tanya. Mengapa aku dilahirkan kalau pada akhirnya aku akan sendiri. Tanpa teman berbagi cerita ataupun berbagi tangis. Sekuat apapun teriakanku, aku tetaplah bisu di mata paus-paus itu. Seandainya ada satu saja paus 52 Hz, cukup satu saja, keadaaanku mungkin bisa sedikit berubah.
Tapi, aku tak mau menyerah. Aku tak ingin hidup dan mati dalam sepi. Maka dari itu, aku berkelana. Menjelajahi samudera luas dan menyelami palung-palung dalam. Berharap akan ada paus sejenisku. Namun, semua percuma. Hanya aku dan diriku yang bisa mengerti 52 Hz ini. Dapatkah bahagia mendekap sepi. Sedang bahagia yang hinggap hanya ada pada mereka yang bercengkerema. Bukan milik penyendiri sepertiku.
Suatu hari, kulihat kapal pemburu liar yang tampak sangar. Ia telah menyiapkan alat paling canggih dan juga mematikan. Mencoba untuk menangkap paus-paus yang padahal mereka tahu sudah terancam punah. Kemudian kulesatkan siripku, menuju kawanan paus terdekat. Kucoba memberi tahu mereka. Tapi percuma, mereka tak mengerti 52 Hz milikku. Sekalipun aku mendorong mereka supaya mereka menjauh dari perairan itu.
Maka, kuputuskan untuk berkorban meski saat ini aku takut. Walau aku tak bisa menolong mereka dengan 52 Hz ku, aku masih punya tubuh sebagai umpan. Aku muncul ke permukaan. Membuat kapal itu melihat mangsa telak. Turbin kapal menyala dan juru mudi siap siaga memutar haluan kapal sementara penembak jitu telah siap dengan senjata canggihnya.
Aku berenang kencang mengarahkan ke lautan kosong, tanpa paus atau hewan lainnya. Jangan remehkan aku. Aku penjelajah samudera. Jangan kira pemburu itu dapat menangkapku dengan mudah. Penembak jitu kesal, tembakannya 5 kali menemui air kosong. Seketika, ia mengganti busur tajam dengan senjata peledak. Kali ini senjatanya tak hanya akurat tapi juga mengandung bom dengan radius 5 meter. BOM! Bom itu meledak di air seketika setelah ditembakkan. Memang tak mengenai telak. Tapi efek ledakannya telah membuat siripku terluka.
Aku tak punya pilihan lain. Kalau begini terus, aku akan kalah karena kelelahan. Aku bermanuver kencang hingga aku dan kapal itu saling berhadapan. Setelahnya, aku melesat. Aku tidak boleh mati di sini. Aku belum menemukan paus sejenisku. Mata penembak jitu itu fokus, kembali mengarahkan senjatanya padaku. TAR! Pelurunya melesat kencang kearahku seolah punya niat jahat kepadaku sebelum menimpa air dan meledak. Sekejab itu, kuarahkan kepalaku kebawah dan menyelam dalam. BOM! Peluru bom itu meledak dan syukurlah, aku selamat.
Aku berhasil. Aku melawan mautku. Aku melewati kapal besar itu dan membuatnya sulit mengejarku karena harus memutar arah. Tapi sedetik kemudian, kepalaku tertusuk. Aku naif saat itu. Kapal yang menyerang tak hanya satu tapi puluhan. Aku memang lolos dari kapal yang satu. Tapi tidak dengan kapal lainnya. Karena lengah, aku mati dan sampailah aku di sini. Haha. Bodoh sekali. Niat jadi pahlawan namun berakhir dengan mati konyol”
Pria tua menyelesaikan pembicaraannya. Matahari perlahan muncul, menyerbakan sinar keemasan yang memanjakan mata. Sang fajar telah hadir. Mengusir segala luka dan penat di masa lalu. Kemudian berganti dengan harapan yang baru.
“Ternyata, mati adalah cara agar harapanku terwujud. Aku akhirnya tahu kenapa aku menunggu 3 tahun. Selama ini, yang aku tunggu adalah engkau. Manusia tulus yang bisa mengajakku berkomunikasi bahkan dengan 52 Hz milikku. Akhirnya, selama puluhan tahun aku hidup. Aku dapat berbicara dan bercerita panjang. Terima kasih Adam. Terima kasih juga sudah mengajakku berbicara sewaktu umurmu 12 tahun dahulu. Walau kau salah menyebutkan frekuensi suaraku. 52 Hz bukan 20 Hz. Haha. Kau selalu saja cengeng seperti dahulu, Adam.”
Pria tua itu tersenyum sementara Adam tak mampu menahan tangis. Ia tak menyangka bahwa dihadapannya sekarang adalah penyelamat hidupnya waktu kecil dahulu.
“Sekarang. Waktunya aku pergi. Selamat tinggal.”
“Tunggu. Bukankah kita sama-sama telah mati. Harusnya kau mengajak aku juga.”
“Hahaha. Siapa bilang kau sudah mati? Adam, kau harus pergi ke konferensi bukan? Bukankah kau ingin suaramu didengar banyak orang. Hari ini, kau telah membuktikan bahwa kau dan paus sudah bisa berkomunasi dan saling memahami. Esok, kau akan ajak lebih banyak lagi.”
Pria tua menghilang dalam sinar fajar. Sinar putih kemudian menyerbak keluar menyingsing gelap kemudian menutupi semesta raya dan Adam tersadar di rumah sakit. Ia selamat.
2 notes · View notes
katakangerak · 4 years
Text
Kodok Super Melindungi Tokyo -Haruki Murakami
Tumblr media
Katagiri mendapati seekor katak raksasa menunggu dia di apartemennya. Katak yang kekar, berdiri setinggi lebih dari enam kaki dengan tumpuan kaki belakangnya. Hanya seorang laki-laki kecil kurus tidak lebih dari satu setengah meter, Katagiri tentu kalah telak oleh tubuh raksasa sang katak.
“Panggil saya ‘Bangkong,’” kata katak dengan suara berat yang jelas.
Katagiri berdiri terpaku di ambang pintu, tidak mampu berbicara.
“Jangan takut, saya di sini tidak untuk menyakiti Anda. Mari masuk dan tutup pintunya. Silahkan.”
Tas koper di tangan kanannya, tas belanja dengan sayuran segar dan salmon kalengan tergantung di lengan kirinya, Katagiri tidak berani bergerak.
“Silahkan, Tuan Katagiri, cepat dan tutup pintu, dan lepas sepatu Anda.”
Mendengar namanya disebut membuat Katagiri mengubah sikap. Dia menutup pintu seperti yang diperintahkan, mengatur tas belanja di undakan lantai kayu, menyematkan tas koper di bawah satu lengan, dan melepas sepatunya. Bangkong mengisyaratkannya untuk duduk di meja dapur, yang selanjutnya ia lakukan.
“Saya harus minta maaf, Tuan Katagiri, karena telah menerobos masuk saat Anda berada di luar,” kata Bangkong. “Saya tahu ini akan mengejutkan Anda saat mendapati saya di sini. Tapi saya tidak punya pilihan. Bagaimana kalau bikin secangkir teh dulu? Saya pikir Anda akan pulang segera, jadi saya sudah rebus air.”
Katagiri masih menggencet tasnya di lengannya. Seseorang sedang menjahiliku, pikirnya. Seseorang memakai kostum katak besar ini hanya untuk membuat lelucon denganku. Tapi ia tahu, saat ia melihat Bangkong menuangkan air mendidih ke dalam teko, sambil bersenandung, bahwa ini betul-betul anggota badan dan gerakan seekor katak yang nyata. Bangkong menaruh secangkir teh hijau di depan Katagiri, dan menuangkan satu lagi untuk dirinya sendiri.
Menyesap tehnya, Bangkong bertanya, “Sudah mendingan?”
Tapi tetap Katagiri tidak bisa berbicara.
“Saya tahu saya harus membuat janji untuk mengunjungi Anda, Tuan Katagiri. Saya sepenuhnya menyadari norma. Siapa pun akan terkejut menemukan katak besar menunggu di rumahnya. Tapi hal yang mendesak membawa saya ke sini. Mohon maafkan saya.”
“Hal mendesak?” akhirnya Katagiri berhasil mengungkapkan kata-kata.
“Ya, tentu saja,” kata Bangkong. “Kenapa lagi saya akan berani menerobos masuk ke rumah seseorang? Kekasaran seperti ini bukan gaya adat saya.”
“Apakah ‘hal’ ini ada hubungannya dengan saya?”
“Ya dan tidak,” kata Bangkong dengan memiringkan kepala. “Tidak dan ya.”
Aku harus menenangkan diriku sendiri, pikir Katagiri. “Apakah Anda keberatan jika saya merokok?”
“Silahkan, silahkan,” kata Bangkong sambil tersenyum. “Ini rumah Anda. Anda tidak perlu meminta izin pada saya. Merokok dan minum sebanyak yang Anda suka. Saya sendiri bukan seorang perokok, tapi saya hampir tidak bisa memaksakan ketidaksukaan saya pada orang lain yang merokok di rumah mereka sendiri.”
Katagiri menarik sebungkus rokok dari saku jasnya dan menyalakan korek. Dia melihat gemetar tangannya saat dia menyalakannya. Duduk di seberangnya, Bangkong tampak sedang mengamati setiap gerakannya.
“Anda bukan bagian dari semacam geng, kan?” Katagiri mendapat keberanian untuk bertanya.
“Ha ha ha ha ha ha! Anda punya rasa humor yang bagus, Tuan Katagiri!” Katanya, menamparkan tangan berselaput ke pahanya. “Mungkin ada kekurangan tenaga kerja terampil, tapi kenapa juga geng akan menyewa katak untuk melakukan pekerjaan kotor mereka? Mereka hanya akan menjadi bahan tertawaan.”
“Nah, jika Anda di sini untuk melobi pembayaran, Anda membuang-buang waktu Anda. Saya tidak memiliki otoritas untuk membuat keputusan seperti itu. Hanya atasan saya yang bisa melakukan itu. Saya hanya mengikuti perintah. Saya tidak bisa melakukan sesuatu untuk Anda.”
“Tenang, Tuan Katagiri,” kata Bangkong, mengangkat satu jari berselaputnya. “Saya tidak datang ke sini untuk urusan remeh tersebut. Saya menyadari bahwa Anda adalah asisten kepala Bagian Peminjaman di Tokyo Security Trust Bank cabang Shinjuku. Tapi kunjungan saya tidak ada hubungannya dengan pembayaran pinjaman. Saya datang ke sini untuk menyelamatkan Tokyo dari kehancuran.”
Katagiri memindai ruangan untuk mencari semacam kamera TV tersembunyi dalam kasus dia sedang direkam untuk dagelan yang mengerikan. Tapi tidak ada kamera. Ini hanya sebuah apartemen kecil. Tidak ada tempat bagi siapa pun untuk bersembunyi.
“Tak ada,” kata Bangkong, “kita adalah satu-satunya di sini. Saya tahu Anda berpikir bahwa saya gila, atau bahwa Anda sedang bermimpi, tapi saya tidak gila dan Anda tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar sangat penting.”
“Terus terang saja, Tuan Bangkong—”
“Tolong,” kata Frog, mengangkat satu jari lagi. “Panggil saja ‘Bangkong.’”
“Terus terang saja, Bangkong,” ucap Katagiri, “Saya tidak bisa mengerti apa yang terjadi di sini. Ini bukan berarti bahwa saya tidak percaya, tapi saya sepertinya tidak dapat memahami situasi persisnya. Apakah Anda keberatan jika saya mengajukan beberapa pertanyaan?”
“Silahkan, silahkan,” kata Bangkong. “Saling pengertian itu sangat penting. Ada orang yang mengatakan bahwa ‘pemahaman’ hanyalah sekumpulan dari kesalahpahaman kita, dan memang saya menemukan pandangan ini menarik dengan caranya sendiri, saya khawatir bahwa kita tidak punya waktu luang untuk ngalor-ngidul. Hal terbaik bagi kita untuk mencapai saling pengertian melalui rute yang sesingkat mungkin. Oleh karena itu, dengan segala cara, silahkan ajukan banyak pertanyaan yang Anda ingin sampaikan.”
“Sekarang, Anda ini memang katak betulan, saya benar, kan?”
“Ya, tentu saja, seperti yang Anda lihat. Saya seekor katak betulah. Bukan metafora atau kiasan atau dekonstruksi atau pengambilan sampel maupun proses kompleks lainnya, saya katak asli. Haruskah saya berkuak-kuak untuk Anda?”
Katak menyondongkan ke belakang kepalanya dan menekuk otot-otot tenggorokan yang besar. Ribit! Ri-i-i-bit! Ribit-ribit-ribit! Ribit! Ribit! Ri-i-i-bit! Bunyi kuaknya yang nyaring itu mengguncang gambar yang tergantung di dinding.
“Baik, saya percaya, saya percaya!” tegas Katagiri, khawatir akan dinding tipis rumah apartemen sederhana tempatnya tinggal. “Itu hebat. Anda, tanpa harus bertanya lagi, betul-betul katak asli.”
“Ada yang mengatakan bahwa saya gabungan keseluruhan dari semua katak. Meskipun demikian, ini tidak berdampak apa-apa untuk mengubah fakta bahwa saya memang katak. Siapapun yang menyebut kalau saya bukan katak pasti seorang pembohong kotor. Saya akan meremukkan orang tersebut jadi serpihan!”
Katagiri mengangguk. Berharap untuk menenangkan diri, ia mengangkat cangkirnya dan menelan seteguk teh. “Sebelumnya Anda berkata kalau Anda datang ke sini untuk menyelamatkan Tokyo dari kehancuran?”
“Itulah yang saya katakan.”
“Kerusakan macam apa?”
“Gempa,” kata Bangkong dengan sangat berat.
Dengan mulut menganga, Katagiri menatap Bangkong. Dan Bangkong, tak mengatakan apa-apa, menatap Katagiri. Mereka melanjutkan menatap satu sama lain seperti ini untuk beberapa waktu. Berikutnya giliran Bangkong untuk membuka mulutnya.
“Gempa yang sangat, sangat besar. Sudah diatur untuk menghantam Tokyo pukul delapan tiga puluh pagi pada 18 Februari. Tiga hari dari sekarang. Gempa yang jauh lebih hebat ketimbang yang melanda Kobe bulan lalu. Jumlah korban tewas dari gempa tersebut mungkin akan melebihi seratus lima puluh ribu—sebagian besar dari kecelakaan yang melibatkan sistem komuter: kereta anjlok, tertimpa, tabrakan, runtuhnya jalur kereta cepat dan rel, robohnya kereta bawah tanah, ledakan tanker bahan bakar. Bangunan akan berubah menjadi tumpukan puing-puing, penghuninya mati tertimpa reruntuhan. Kebakaran di mana-mana, sistem jalan macet, ambulans dan truk pemadam kebakaran tidak berguna, orang hanya bisa berbaring, sekarat. Seratus lima puluh ribu! Seperti neraka. Orang-orang akan sadar akan kondisi rapuh dalam kolektivitas intensif yang dikenal sebagai ‘kota’.” sebut Bangkong dengan lembut menggoyangkan kepala. “Pusat gempa akan dekat dengan kantor distrik Shinjuku.”
“Dekat kantor distrik Shinjuku?”
“Tepatnya, itu akan menghantam langsung di bawah Tokyo Security Trust Bank cabang Shinjuku.”
Keheningan berat diikuti.
“Dan Anda,” kata Katagiri, “berencana untuk menghentikan gempa ini?”
“Tepat,” kata Bangkong, mengangguk. “Ini adalah apa yang ingin saya usulkan untuk dilakukan. Anda dan saya akan pergi ke lorong bawah tanah di bawah Tokyo Security Trust Bank cabang Shinjuku untuk melakukan pertempuran mematikan melawan Cacing.”
*
Sebagai anggota dari Divisi Kredit Trust Bank, Katagiri telah melalui banyak pertempuran. Dia telah enam belas tahun terbiasa bergelut setiap hari sejak saat dia lulus dari universitas dan bergabung menjadi staf bank. Dia, bisa dibilang, petugas pengumpul—bagian kerja yang kurang populer. Semua orang di divisinya lebih suka untuk mengajukan pinjaman, terutama pada saat gelembung ekonomi. Mereka punya begitu banyak uang pada hari-hari yang hampir setiap bagian mungkin pinjamkan—baik itu tanah atau saham—sudah cukup untuk meyakinkan petugas pinjaman untuk memberikan apa pun yang mereka pinta, semakin besar pinjaman yang diberikan semakin baik reputasi mereka di perusahaan. Beberapa pinjaman, meskipun, tidak pernah berhasil kembali ke bank: mereka harus “terjebak di bagian bawah panci.” Tinggal pekerjaan Katagiri untuk mengurus mereka. Dan ketika gelembung ekonomi berhenti, pekerjaan pun menumpuk. Pertama harga saham jatuh, dan kemudian nilai tanah, dan jaminan tak berarti lagi. “Keluar sana,” bosnya memerintahkan dia, “dan peras apapun yang bisa kau dapat dari mereka.”
Lingkungan Kabukicho di Shinjuku adalah sebuah labirin kekerasan: gangster turun-temurun, komplotan Korea, mafia Cina, senjata dan obat-obatan, uang mengalir di bawah permukaan dari satu liang ke yang liang lainnya, orang hilang sepanjang waktu seperti kepulan asap. Terjun ke Kabukicho untuk mengumpulkan debit buruk, Katagiri telah dikepung lebih dari sekali oleh mafia yang mengancam untuk membunuhnya, tetapi ia tidak pernah takut. Apa gunanya mereka membunuh satu orang pegawai bank? Mereka bisa saja menikamnya jika mereka ingin. Mereka bisa memukulinya. Dia sempurna untuk pekerjaan itu: tidak ada istri, tidak punya anak, kedua orang tua sudah meninggal, adik-adik yang telah dibiayai sampai menikah. Jadi bagaimana jika mereka membunuhnya? Itu tidak akan mengubah apa-apa bagi siapa pun-apalagi untuk Katagiri sendiri.
Bukan Katagiri tapi preman di sekitarnya yang justru gugup ketika mereka melihat dia begitu tenang dan dingin. Dia segera mendapatkan jenis reputasi di dunia mereka sebagai seorang pria tangguh. Sekarang, bagaimanapun, Katagiri yang tangguh dihadapkan pada kebingungan yang pelik. Apa yang katak ini bicarakan? Cacing?
“Siapa itu Cacing?” Tanyanya dengan beberapa ragu-ragu.
“Cacing hidup di bawah tanah. Dia adalah cacing raksasa. Ketika dia marah, dia menyebabkan gempa bumi,” kata Bangkong. “Dan sekarang dia sangat, sangat marah.”
“Apa yang membuat dia marah?” Tanya Katagiri.
“Saya tidak tahu,” kata Bangkong. “Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan si Cacing dalam kepala keruhnya. Beberapa pernah melihatnya. Dia biasanya tidur. Itulah yang benar-benar dia sukai: butuh waktu lama, tidur siang yang panjang. Dia melanjutkan tidur selama bertahun-tahun—berdekade-dekade—dalam kehangatan dan kegelapan bawah tanah. Matanya, seperti yang Anda bayangkan, telah berhenti berkembang, otaknya telah berubah lemas saat ia tidur. Jika Anda bertanya kepada saya, saya akan menebak dia mungkin tidak berpikir apa-apa, hanya terbaring di sana dan merasa setiap ada gemuruh kecil dan dengung yang mendekatinya, menyerap ke dalam tubuhnya, dan menyimpannya. Kemudian, melalui beberapa jenis proses kimia, ia menempatkan kembali sebagian besarnya dengan rasa marah. Mengapa hal ini terjadi saya tidak tahu. Saya tidak pernah bisa menjelaskannya.”
Bangkong terdiam, menonton Katagiri dan menunggu sampai kata-katanya telah tenggelam. Kemudian ia melanjutkan.:
“Tolong jangan salah paham. Saya merasa tidak ada permusuhan pribadi terhadap Cacing. Saya tidak melihat dia sebagai perwujudan kejahatan. Bukan berarti juga saya ingin menjadi temannya: Saya hanya berpikir bahwa, sejauh dunia yang bersangkutan, itu tak jadi masalah bagi seekor makhluk seperti dia ada. Dunia ini seperti mantel sangat besar, dan membutuhkan kantong dari berbagai bentuk dan ukuran. Tapi tepat saat ini Cacing telah mencapai titik di mana ia terlalu berbahaya untuk diabaikan. Dengan semua jenis kebencian yang ia telah serap dan simpan di dalam dirinya selama bertahun-tahun, jantung dan tubuhnya telah membengkak menjadi raksasa—lebih besar dari sebelumnya. Dan yang lebih parah lagi, gempa Kobe yang terjadi bulan lalu mengguncang dirinya dari tidur nyenyak yang dia nikmati. Dia mengalami semacam dorongan oleh kemarahan yang mendalam: sudah waktunya sekarang untuk dia juga, menyebabkan gempa besar, dan ia akan melakukannya di sini, di Tokyo. Saya tahu apa yang saya bicarakan, Tuan Katagiri: Saya telah menerima informasi yang dapat dipercaya tentang waktu dan skala gempa dari beberapa binatang-binatang kecil teman baik saya.”
Bangkong mengatupkan mulutnya dan memejamkan mata bundarnya dengan kelelahan yang jelas terlihat.
“Jadi apa yang Anda katakan adalah,” kata Katagiri, “bahwa Anda dan saya harus pergi ke bawah tanah bersama-sama dan mengalahkan Cacing untuk menghentikan gempa.”
“Seperti itu.”
Katagiri meraih cangkir teh, mengangkatnya, dan meletakkannya kembali. “Saya masih tidak mengerti,” katanya. “Mengapa Anda memilih saya untuk pergi dengan Anda?”
Bangkong menatap langsung ke mata Katagiri dan berkata, “Saya selalu memiliki rasa hormat mendalam pada Anda, Tuan Katagiri. Selama enam belas tahun yang panjang, Anda telah diam-diam menerima tugas paling berbahaya yang tidak punya daya tarik—pekerjaan yang orang lain hindari—dan Anda telah mengerjakannya dengan aduhai. Saya tahu benar betapa sulitnya ini bagi Anda, dan saya percaya bahwa baik atasan Anda atau rekan Anda belum benar-benar menghargai pencapaian Anda. Mereka buta, semuanya. Tapi Anda, yang tidak dihargai dan tidak mendapat dukungan, tidak pernah sekalipun mengeluh.
“Bukan hanya soal pekerjaan Anda. Setelah orang tua Anda meninggal, Anda yang mengurus adik-adik Anda yang masih remaja, membiayai mereka sampai kuliah, dan bahkan yang mengusahakan mereka untuk menikah, semuanya itu butuh pengorbanan besar waktu dan pendapatan Anda, dan dengan mengorbankan prospek pernikahan Anda sendiri. Terlepas dari ini, adik-adik Anda tidak pernah sekalipun menyatakan terima kasih atas upaya Anda terhadap mereka. Lebih dari itu: mereka telah menunjukkan sikap tidak menghormati dan berlaga acuh terhadap cinta kasih Anda. Menurut pendapat saya, perilaku mereka tak dapat diterima. Saya sangat berharap saya bisa memukuli mereka sampai remuk atas nama Anda. Tapi Anda, sementara itu, tidak menampakan rasa dongkol.
“Sejujurnya, Tuan Katagiri, tidak ada yang menarik untuk dilihat dari Anda, dan Anda tak pandai bicara, sehingga Anda cenderung dipandang rendah oleh orang-orang di sekitar Anda. Saya, bagaimanapun, dapat melihat apa yang seorang pria yang masuk akal dan berani Anda. Di Tokyo ini, yang disesaki jutaan orang, tidak ada satu pun yang saya bisa percaya seperti Anda untuk berjuang di sisi saya.”
“Beritahu saya, Tuan Bangkong—” kata Katagiri.
“Tolong,” kata Bangkong, mengangkat satu jari lagi. “Panggil saya ‘Bangkong.’”
“Beritahu saya, Bangkong,” Katagiri berkata, “bagaimana Anda tahu begitu banyak tentang saya?”
“Nah, Tuan Katagiri, buat apa saya jadi kodok selama bertahun-tahun. Saya terus menjaga mata saya pada hal-hal penting dalam hidup ini.”
“Tapi tetap, Bangkong,” kata Katagiri, “Saya tidak terlalu kuat, dan saya tidak tahu apa-apa tentang yang terjadi di bawah tanah. Saya tidak memiliki jenis otot yang diperlukan untuk melawan Cacing dalam kegelapan. Saya yakin Anda dapat menemukan seseorang yang lebih kuat dari saya—seorang pria yang bisa karate, contohnya, atau pasukan Angkatan Bela Diri.”
Bangkong memutar matanya yang besar. “Sejujurnya, Tuan Katagiri,” katanya, “Saya orang yang akan melakukan semua pertempuran. Tapi saya tidak bisa melakukannya sendiri. Ini poin pentingnya: Saya membutuhkan keberanian dan gairah Anda tentang keadilan. Saya ingin Anda berdiri di belakang saya dan berkata, ‘Terus maju, Bangkong! Kau hebat! Aku tahu kau bisa menang! Kau berjuang untuk sesuatu yang baik!’”
Bangkong membuka tangannya lebar, kemudian menamparkan tangan berselaputnya ke lutut sekali lagi.
“Sejujurnya, Tuan Katagiri, pikiran pertempuran dengan Cacing dalam gelap menakutkan saya juga. Selama bertahun-tahun saya hidup sebagai seorang pasifis, pecinta seni, hidup berdampingan dengan alam. Pertempuran bukanlah sesuatu yang saya ingin lakukan. Saya melakukannya karena saya harus. Yang pasti, pertarungan khusus ini akan menjadi sesuatu yang sengit. Saya mungkin tidak kembali hidup-hidup. Saya mungkin kehilangan dua anggota badan atau lebih. Tapi saya tidak bisa—saya tidak akan—lari. Seperti Nietzsche katakan, kebijaksanaan tertinggi adalah untuk tidak merasa takut. Apa yang saya inginkan dari Anda, Tuan Katagiri, adalah agar Anda bisa berbagi keberanian sederhana Anda dengan saya, untuk mendukung saya dengan sepenuh hati Anda sebagai teman sejati. Apakah Anda mengerti apa yang saya coba sampaikan?”
Tak satu pun dari ini masuk akal untuk Katagiri, tapi ia masih merasa bahwa—betapa pun terdengar anehnya—ia bisa percaya pada apa yang Bangkong katakan kepadanya. Sesuatu tentang Bangkong—raut wajahnya, cara dia berbicara—memiliki kejujuran sederhana yang menarik langsung ke hati. Setelah bertahun-tahun bekerja di divisi terberat di Security Trust Bank, Katagiri memiliki kemampuan untuk merasakan hal-hal seperti itu. Itu semua tapi bakat alami kedua baginya.
“Saya tahu ini pasti sulit bagi Anda, Tuan Katagiri. Seekor katak besar datang menerobos masuk ke rumah Anda dan meminta Anda untuk percaya semua hal-hal aneh. Reaksi Anda sangat wajar. Jadi saya berniat untuk memberikan bukti bahwa saya benar-benar ada. Katakan pada saya, Tuan Katagiri, Anda telah banyak mengalami kesulitan memulihkan pinjaman bank yang dibuat untuk Komplotan Big Bear, bukankah begitu?”
“Memang benar,” kata Katagiri.
“Yah, mereka memiliki banyak pemeras yang bekerja di belakang layar, dan orang-orangnya bekerja sama dengan mafia. Mereka berbuat licik untuk membuat perusahaan bangkrut dan mengajukan pinjaman. Petugas pinjaman bank Anda menyodorkan tumpukan uang untuk mereka tanpa pemeriksaan latar belakang yang layak, dan, seperti biasa, orang yang tersisa untuk membersihkan setelahnya adalah Anda, Tuan Katagiri. Tapi Anda kesulitan untuk menjangkau orang-orang ini: mereka bukan lawan enteng. Dan mungkin ada politisi kuat yang mendompleng mereka. Mereka punya hutang kepada Anda sebanyak tujuh ratus juta yen. Itu adalah situasi yang Anda hadapi, saya benar, kan?”
“Seperti itu.”
Bangkong mengulurkan tangannya lebar-lebar, membuka selaput besarnya yang berwarna hijau seperti sayap pucat. “Jangan khawatir, Tuan Katagiri. Serahkan segalanya pada saya. Besok pagi, Bangkong tua ini akan memecahkan masalah Anda. Santai saja dan nikmati tidur malam ini.”
Dengan senyum lebar di wajahnya, Bangkong berdiri. Kemudian, meratakan dirinya seperti cumi-cumi kering, ia menyelinap keluar melalui celah di sisi pintu yang tertutup, meninggalkan Katagiri sendirian. Dua cangkir teh di meja dapur adalah satu-satunya indikasi bahwa Bangkong memang mengunjungi apartemen Katagiri ini.
*
Saat Katagiri tiba di tempat kerja keesokan harinya pukul sembilan, telepon di mejanya berdering.
“Tuan Katagiri,” kata suara seorang pria. Dingin dan lugas. “Nama saya Shiraoka. Saya seorang pengacara dalam kasus Big Bear. Saya menerima telepon dari klien saya pagi ini berkaitan dengan masalah pinjaman tunda. Dia ingin Anda tahu bahwa dia akan mengambil tanggung jawab penuh untuk mengembalikan seluruh jumlah yang diminta pada tanggal jatuh tempo. Dia juga akan memberikan nota yang harus Anda tandatangani. Ada satu permintaannya bahwa Anda jangan mengirim Bangkong ke rumahnya lagi. Saya ulangi: dia ingin Anda untuk meminta Bangkong tidak lagi mengunjungi rumahnya. Saya sendiri tidak sepenuhnya mengerti maksudnya, tapi saya percaya ini jelas bagi Anda, Tuan Katagiri. Saya benar, kan?”
“Memang benar,” jawab Katagiri.
“Anda akan berbaik hati untuk menyampaikan pesan saya pada Bangkong, saya percaya.”
“Saya akan menyampaikannya. Klien Anda tidak akan pernah melihat Bangkong lagi.”
“Terima kasih banyak. Saya akan mempersiapkan nota untuk Anda besok.”
“Saya menghargai itu,” kata Katagiri.
Sambungan terputus.
Bangkong mengunjungi Katagiri di kantornya Trust Bank saat makan siang. “Untuk kasus Big Bear kelihatan berjalan lancar, saya kira?”
Katagiri melirik sekitar dengan gelisah.
“Jangan khawatir,” kata Bangkong. “Anda adalah satu-satunya orang yang bisa melihat saya. Tapi sekarang saya yakin Anda menyadari kalau saya benar-benar ada. Saya bukan produk dari imajinasi Anda. Saya dapat melakukan aksi dan memberi hasil. Saya makhluk hidup nyata.”
“Beritahu saya, Tuan Bangkong.”
“Saya mohon,” kata Bangkong, mengangkat satu jari. “Panggil saya ‘Bangkong’.”
“Beritahu saya, Bangkong,” kata Katagiri, “apa yang Anda lakukan pada mereka?”
“Oh, tidak banyak,” kata Bangkong. “Tidak ada yang jauh lebih rumit daripada merebus kubis Brussel. Saya hanya sedikit menakut-nakuti mereka. Sentuhan terror psikologis. Seperti Joseph Conrad pernah tulis, terror sesungguhnya adalah sesuatu yang manusia rasakan lewat imajinasi mereka. Tapi jangan dipikirkan, Tuan Katagiri. Ceritakan tentang kasus Big Bear. Beres, kan?”
Katagiri mengangguk dan menyalakan rokok. “Kelihatannya.”
“Jadi, apakah saya berhasil mendapat kepercayaan Anda berkaitan dengan masalah yang saya singgung dengan Anda semalam? Anda akan bergabung dengan saya untuk melawan Cacing?”
Mendesah, Katagiri melepas kacamatanya dan mengusap matanya. “Sejujurnya, saya tidak terlalu gila tentang ide tersebut, tapi saya kira saya tidak cukup pantas.”
“Tidak,” kata Bangkong. “Ini soal tanggung jawab dan kehormatan. Anda mungkin tidak terlalu ‘gila’ tentang ide tersebut, tapi kita tidak punya pilihan: Anda dan saya harus pergi ke bawah tanah dan menghadapi Cacing. Jika kita harus kehilangan nyawa karenanya, kita tidak akan memperoleh simpati dari siapa pun. Dan bahkan jika kita berhasil mengalahkan Cacing, tidak ada yang akan memuji kita. Tidak seorang pun akan tahu bahwa pertempuran hebat sedang terjadi jauh di bawah kaki mereka. Hanya Anda dan saya yang akan tahu, Tuan Katagiri. Pada akhirnya, ini akan menjadi pertempuran yang sunyi.”
Katagiri menatap tangannya sendiri untuk sementara waktu, kemudian memperhatikan asap mengepul dari rokoknya. Akhirnya, ia berbicara. “Anda tahu, Tuan Bangkong, saya hanya orang biasa.”
“Panggil ‘Bangkong,’ saya mohon,” kata Bangkong, tapi Katagiri mengacuhkannya.
“Saya benar-benar seorang pria biasa. Lebih rendah dari biasa-biasa. Saya akan botak, saya punya perut buncit, saya menginjak usia empat puluh bulan lalu. Kaki saya lemah. Dokter mengatakan kepada saya bahwa saya memiliki kecenderungan diabetes. Sudah tiga bulan atau lebih sejak saya terakhir tidur dengan wanita—dan saya harus membayarnya. Saya menerima beberapa pengakuan dalam divisi atas kemampuan saya menagih pinjaman, tetapi tidak ada rasa hormat yang nyata. Saya tidak memiliki satu orang yang menyukai saya, baik di tempat kerja atau dalam kehidupan pribadi saya. Saya tidak tahu bagaimana berbicara dengan orang lain, dan saya tak pandai berperilaku dengan orang yang belum dikenal, jadi saya tidak pernah memiliki teman. Saya tidak punya kemampuan atletik, saya tuli nada, pendek, phimotic, rabun jauh—dan astigmatic. Saya punya kehidupan yang mengerikan. Semua yang saya lakukan hanya makan, tidur, dan berak. Saya bahkan tidak tahu mengapa saya hidup. Mengapa orang seperti saya harus menjadi orang yang menyelamatkan Tokyo?”
“Karena, Tuan Katagiri, Tokyo hanya bisa diselamatkan oleh orang seperti Anda. Dan untuk orang-orang seperti Anda alasan saya mencoba untuk menyelamatkan Tokyo.”
Katagiri mendesah lagi, lebih dalam saat ini. “Baiklah, apa yang Anda ingin saya lakukan?”
*
Tumblr media
Bangkong menjelaskan Katagiri rencananya. Mereka akan pergi ke bawah tanah pada malam 17 Februari (satu hari sebelum gempa yang diprediksi terjadi). Jalan masuk mereka akan melalui basement ruang boiler Tokyo Security Trust Bank cabang Shinjuku. Mereka akan bertemu di sana larut malam (Katagiri akan tinggal di gedung dengan dalih bekerja lembur). Di belakang gedung ada terowongan vertikal, dan mereka akan menemukan Cacing di bagian bawah dengan turun lewat tangga tali setinggi 150 kaki.
“Apakah Anda memiliki rencana pertempuran?” Tanya Katagiri.
“Tentu saja saya pikirkan. Kita tidak punya harapan untuk mengalahkan musuh seperti Cacing jika tanpa rencana pertempuran. Ia adalah makhluk berlendir: Anda tidak bisa membedakan mana mulutnya mana anusnya. Dan dia sebesar kereta komuter.”
“Apa rencana pertempuran Anda?”
Setelah jeda untuk berpikir, Bangkong menjawab, “Hmm, seperti yang sering disebutkan—’Diam adalah emas’?”
“Maksudnya saya tidak boleh menanyakannya?”
“Semacam itu.”
“Bagaimana jika saya takut kemudian kabur? Apa yang akan Anda lakukan, Tuang Bangkong?”
“‘Bangkong.’”
“Bangkong. Apa yang akan Anda lakukan?”
Katak berpikir sejenak lalu menjawab, “Saya akan bertempur sendirian. Kemungkinan saya mengalahkan dia sendirian mungkin sedikit lebih baik ketimbang peluang Anna Karenina dalam menghadang lokomotif kencang itu. Apakah Anda sudah membaca Anna Karenina, Tuan Katagiri?”
Ketika ia mendengar bahwa Katagiri tidak membaca novel, Bangkong menatapnya seolah-olah mengatakan, Sungguh memalukan. Rupanya Bangkong sangat menyukai Anna Karenina.
“Bagaimanapun, Tuan Katagiri, saya tidak percaya bahwa Anda akan meninggalkan saya untuk bertempur seorang diri. Saya yakin. Ini pertanyaan soal kejantanan—yang, sayangnya, saya tidak punya. Ha ha ha ha!” Bangkong tertawa dengan mulut terbuka lebar. Bukan hanya kejantanan yang tidak dimiliki Bangkong. Dia pun tidak punya gigi.
*
Bagaimanapun, hal tak terduga selalu terjadi.
Katagiri ditembak pada malam 17 Februari setelah ia selesai berkeliling sepanjang hari dan berjalan menyusuri jalan di Shinjuku dalam perjalanan kembali ke Trust Bank ketika seorang pria muda dengan jaket kulit melompat di depannya. Wajah pria itu kosong, dan dia mencengkeram pistol hitam kecil di satu tangannya. Pistolnya yang begitu kecil dan begitu hitam itu hampir tidak tampak nyata. Katagiri menatap objek di tangan pria itu, tidak menyangka bahwa pistol itu terarah pada dirinya dan bahwa orang itu menarik pelatuk. Itu semua terjadi terlalu cepat: itu tidak masuk akal baginya. Tapi pistol sudah meletus.
Katagiri melihat laras bedil menyentak di udara dan, pada saat yang sama, merasakan dampak seolah-olah seseorang memukul bahu kanannya dengan palu godam. Dia tidak merasakan sakit, tapi gebrakan itu membuatnya terkapar di trotoar. Tas kulit di tangan kanannya terlempar ke arah lain. Pria itu mengarahkan pistol ke arahnya sekali lagi. Tembakan kedua terdengar. Sebuah papan nama restoran kecil di trotoar meledak di depan matanya. Dia mendengar orang-orang berteriak. Kacamatanya terlepas, dan segala sesuatu menjadi kabur. Dia samar-samar menyadari bahwa orang itu mendekati dengan pistol mengarah padanya. Aku akan mati, pikirnya. Bangkong telah mengatakan bahwa teror sebenarnya adalah apa yang manusia rasakan lewat imajinasi mereka. Katagiri terputus dari imajinasinya dan tenggelam ke dalam keheningan tanpa beban.
*
Ketika ia terbangun, ia berada di atas tempat tidur. Ia membuka satu mata, mengambil waktu sejenak untuk mengamati sekitarnya, dan kemudian membuka mata satunya. Hal pertama yang memasuki bidang pandangnya adalah sangkutan logam di kepala tempat tidur dan tabung infus yang membentang dari sangkutan tadi ke tempat ia berbaring. Berikutnya ia melihat seorang perawat berpakaian putih. Dia menyadari bahwa dia berbaring telentang di ranjang keras dan memakai pakaian dengan potongan aneh, yang mana ia tampaknya telanjang.
Oh ya, pikirnya, aku sedang berjalan di sepanjang trotoar ketika seorang pria menembakku. Mungkin di bahu. Sebelah kanan. Dia menghidupkan kembali adegan dalam pikirannya. Ketika ia mengingat pistol hitam kecil di tangan pemuda itu, jantungnya berdebar hebat. Pria celaka itu mencoba membunuhku! pikirnya. Tapi tampaknya aku masih baik-baik saja. Ingatanku juga tak bermasalah. Aku tidak merasa sakit. Dan bukan hanya rasa sakit: Aku tidak punya perasaan apapun sama sekali. Aku tidak bisa mengangkat lenganku. . . Kamar rumah sakit tidak memiliki jendela. Dia tidak tahu apakah itu siang atau malam. Dia ditembak sebelum pukul lima di malam hari. Berapa banyak waktu telah berlalu sejak saat itu? Apakah jam pertemuan malam hari dengan Bangkong telah berlalu? Katagiri mencari-cari jam di kamar itu, tapi tanpa kacamatanya ia tidak bisa melihat apa-apa di kejauhan.
“Permisi,” dia memanggil perawat.
“Oh, bagus, Anda akhirnya siuman,” kata perawat.
“Jam berapa sekarang?”
Dia melihat jam tangannya.
“Sembilan lebih lima belas.”
“SORE?”
“Jangan konyol, ini sudah pagi!”
“Sembilan-lima belas pagi?” Katagiri mengerang, susah payah berusaha untuk mengangkat kepalanya dari bantal. Bunyi kasar yang muncul dari tenggorokannya terdengar seperti suara orang lain. “Sembilan-lima belas pagi pada 18 Februari?”
“Ya,” kata perawat, mengangkat lengannya sekali lagi untuk memeriksa tanggal pada jam tangan digital nya.
“Hari ini tanggal 18 Februari 1995.”
“Apakah ada gempa besar di Tokyo pagi ini?”
“Di Tokyo?”
“Di Tokyo.”
Perawat menggeleng. “Tidak sejauh yang saya tahu.”
Dia menarik napas lega. Apapun yang terjadi, gempa setidaknya telah dihindari.
“Bagaimana dengan luka saya?”
“Luka Anda?” Tanyanya. “Apanya yang luka?”
“Saya ditembak.”
“Ditembak?”
“Ya, di dekat pintu masuk ke Trust Bank. Seorang pria menembak saya. Di bahu kanan, saya pikir.”
Perawat melontarkan senyum gugup ke arahnya. “Maaf, Pak Katagiri, tetapi Anda tidak ditembak.”
“Saya tidak ditembak? Apakah Anda yakin?”
“Seyakin bahwa tidak ada gempa pagi ini.”
Katagiri tertegun. “Lalu kenapa saya bisa ada di rumah sakit?”
“Seseorang menemukan Anda tergeletak di jalan, tak sadarkan diri. Di daerah Kabukicho Shinjuku. Anda tidak memiliki luka eksternal. Anda hanya kedinginan. Dan kami masih belum menemukan mengapa. Dokter akan segera datang. Anda sebaiknya berbicara dengannya.”
Tergeletak di jalan tak sadarkan diri? Katagiri sangat yakin ia melihat pistol terarah padanya. Dia mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk meluruskan pikirannya. Dia akan mulai dengan menyusun semua fakta dalam urutan.
“Maksud Anda, saya sudah berbaring di kasur rumah sakit ini, tidak sadarkan diri, sejak sore kemarin, benar?”
“Benar,” kata perawat. “Dan tidur Anda benar-benar tak tenang, Tuan Katagiri. Anda nampaknya mendapat mimpi buruk yang mengerikan. Saya mendengar Anda berteriak, ‘Bangkong! Hei, Bangkong!” Anda melakukannya berkali-kali. Anda punya teman dengan panggilan ‘Bangkong’?”
Katagiri menutup matanya dan mendengarkan irama jantungnya yang lambat layaknya menandai menit hidupnya. Berapa banyak dari apa yang dia ingat benar-benar terjadi, dan berapa banyak yang halusinasi? Apakah Bangkong benar-benar ada, dan Bangkong bertempur melawan Cacing untuk menghentikan gempa? Atau semua itu bagian dari mimpi yang panjang? Katagiri tidak tahu mana yang benar lagi.
*
Bangkong datang ke kamar rumah sakit malam itu. Katagiri terbangun untuk menemukan dirinya dalam cahaya redup, duduk di kursi lipat besi, punggungnya bersandar ke dinding. Kelopak mata hijau besar Bangkong yang menonjol tertutup dalam suatu garis lurus.
“Bangkong!” Katagiri memanggilnya. Bangkong perlahan membuka matanya. Perut putih besar menggembung dan menyusut dengan napasnya.
“Saya bermaksud untuk bertemu dengan Anda di ruang boiler di malam hari seperti yang saya janjikan,” kata Katagiri, “tapi saya mengalami kecelakaan malam kemarin— sesuatu yang sama sekali tak terduga — dan mereka membawa saya ke sini.”
Bangkong menggoyangkan kepalanya sedikit. “Saya tahu. Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Anda sangat membantu saya dalam pertempuran saya, Tuan Katagiri.”
“Benarkah?”
“Ya benar. Anda melakukan pekerjaan besar dalam mimpi Anda. Itulah yang membuatnya mungkin bagi saya untuk melawan Cacing untuk menyelesaikan. Saya harus berterima kasih atas kemenangan saya ini.”
“Saya tidak mengerti,” kata Katagiri. “Saya tidak sadarkan diri sepanjang waktu. Mereka menginfus saya. Saya tidak ingat melakukan sesuatu dalam mimpi saya.”
“Itu bagus, Tuan Katagiri. Lebih baik Anda tidak ingat. Seluruh pertempuran mengerikan terjadi di dalam imajinasi. Itu adalah lokasi yang tepat dari medan perang kita. Di sanalah tempat kita mengalami kemenangan dan kekalahan kita. Masing-masing dan setiap orang dari kita adalah makhluk dari durasi terbatas: kita semua akhirnya kalah. Tapi seperti Ernest Hemingway melihat begitu jelas, nilai akhir dari hidup kita ditentukan bukan oleh bagaimana kita menang, tapi dengan bagaimana kita kalah. Anda dan saya bersama-sama, Tuan Katagiri, mampu mencegah pemusnahan Tokyo. Kita menyelamatkan seratus lima puluh ribu orang dari jurang kematian. Tidak ada yang menyadari hal itu, tapi itu adalah apa yang kita capai.”
“Bagaimana Anda bisa mengalahkan Cacing? Dan apa yang saya lakukan?”
“Kita mengeluarkan semua yang kita miliki dalam pertarungan sampai akhir yang pahit. Kita—” Bangkong mengatupkan mulutnya dan mengambil satu napas besar,”—kita menggunakan setiap senjata yang bisa tangan kita raih, Tuan Katagiri. Kita mengerahkan semua keberanian yang kita miliki. Kegelapan adalah sekutu musuh kita. Anda membawa generator bertenaga kaki dan menggunakan tenaga Anda untuk mengisi tempat dengan cahaya. Cacing mencoba untuk menakut-nakuti Anda dengan hantu-hantu dari kegelapan, tapi Anda tetap bertahan. Kegelapan bersaing dengan cahaya dalam pertempuran mengerikan, dan dalam terang saya bergulat dengan Cacing menjijikan itu. Dia bergelung di sekitar saya, dan melumuri saya dengan lendir mengerikannya. Aku mencabik-cabiknya, tapi ia masih menolak untuk mati. Semua yang dia lakukan adalah membagi menjadi potongan kecil. Lalu — ”
Bangkong terdiam, tapi segera, seakan penghabisan kekuatan terakhirnya, ia mulai berbicara lagi. “Fyodor Dostoyevsky, dengan kelembutan yang tak tertandingi, menggambarkan orang-orang yang telah ditinggalkan oleh Tuhan. Ia menemukan kualitas yang berharga dari eksistensi manusia dalam paradoks mengerikan dimana orang-orang yang telah menemukan Tuhan adalah yang ditinggalkan Tuhan. Berkelahi dengan Cacing dalam kegelapan, saya menemukan diri saya memikirkan ‘White Nights’-nya Dostoevsky. Aku. . . ” Kata-kata Bangkong seperti tenggelam. “Tuan Katagiri, apakah Anda keberatan jika saya tidur sejenak dulu? Saya benar-benar kelelahan.”
“Silakan,” kata Katagiri. “Tidur yang nyenyak.”
“Saya akhirnya tak mampu mengalahkan Cacing,” kata Bangkong, menutup matanya. “Saya berhasil untuk menghentikan gempa, tapi saya hanya mampu membuat pertempuran jadi imbang. Saya memberi cedera pada dirinya, dan dia pada saya. Tetapi untuk mengatakan yang sebenarnya, Tuan Katagiri. . . ”
“Apa, Bangkong?”
“Saya memang seekor Bangkong murni, tapi pada saat yang sama saya punya dunia bukan Bangkong.”
“Hmm, saya tidak mengerti.”
“Begitu juga saya,” kata Bangkong, matanya masih tertutup. “Ini hanya perasaan yang saya miliki. Apa yang Anda lihat dengan mata Anda belum tentu nyata. Musuh saya adalah, antara lain, yang ada dalam diri saya. Dalam diri saya ada bukan-saya. Otak saya mulai dipenuhi lumpur. Lokomotif mendekat. Tapi saya benar-benar ingin Anda untuk memahami apa yang saya katakan, Tuan Katagiri.”
“Anda lelah, Bangkong. Tidurlah. Anda akan baikan.”
“Saya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit kembali ke lumpur, Tuan Katagiri. Dan lagi . . . Saya. . . ” Bangkong kehilangan genggamannya pada kata-kata dan masuk dalam keadaan koma. Lengannya menjuntai hampir ke lantai, dan mulut lebar yang besar terkulai terbuka. Berusaha untuk memfokuskan matanya, Katagiri mampu melihat luka robek di sepanjang tubuh Bangkong. Goresan tak berwarna berlari melalui kulitnya, dan ada bagian di kepalanya mana daging telah terlepas. Katagiri menatap lama dan keras pada Bangkong, yang duduk di sana sekarang dibungkus dalam jubah tidur tebal. Begitu aku keluar dari rumah sakit ini, pikirnya, aku akan membeli Anna Karenina dan White Nights dan membaca keduanya. Lalu aku akan berdiskusi panjang soal sastra bersama Bangkong.
Tak berselang lama, Bangkong mulai bergerak-gerak. Katagiri pada awalnya mengira bahwa ini hanyalah gerakan normal tak sadar saat tidur, tapi ia segera menyadari kesalahannya. Ada sesuatu yang tidak wajar tentang cara tubuh katak yang terus menyentak, seperti boneka besar yang terguncang oleh seseorang dari belakang. Katagiri menahan napas dan mengamati. Dia ingin berlari mendekati Bangkong, tapi tubuhnya sendiri tetap lumpuh.
Setelah beberapa saat, benjolan besar terbentuk di mata kanan Bangkong. Benjolan yang sama besar, mendidih jelek pecah di bahu dan pinggang Bangkong, kemudian seluruh tubuhnya. Katagiri tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Bangkong. Dia hanya bisa menjadikannya tontonan, hampir tidak bernapas.
Kemudian, tiba-tiba, salah satu benjolan pecah dengan letupan keras. Kulitnya beterbangan, dan cairan lengket mengalir keluar, mengirimkan bau yang mengerikan di seberang ruangan. Sisa dari benjolan mulai bermunculan, satu demi satu, dua puluh atau tiga puluh, melemparkan kulit dan cairan ke dinding. Bau memuakkan tak tertahankan memenuhi ruangan rumah sakit. Lubang hitam besar yang tersisa di tubuh Bangkong di mana benjolan pecah, dan menggeliat, cacing serupa belatung dari segala bentuk dan ukuran merangkak keluar. Belatung putih gembung. Setelahnya muncul semacam makhluk seperti lipan kecil, dengan ratusan kaki yang membuat suara gemerisik menyeramkan. Seolah tak ada habisnya datang merangkak keluar dari lubang. Tubuh bangkong — atau yang sebelumnya tubuh Bangkong — benar-benar tertutup dengan makhluk-makhluk malam ini. Dua bola mata besar jatuh dari rongganya ke lantai, di mana mereka dimakan oleh serangga hitam dengan rahang yang kuat. Kerumunan cacing berlendir berlomba merayapi tembok menuju langit-langit, di mana mereka menutupi lampu neon dan membenamkan ke alarm asap.
Lantai, juga, ditutupi dengan cacing dan serangga. Mereka memanjat lampu dan memblokir cahaya dan, tentu saja, mereka merayap ke tempat tidur Katagiri. Ratusan dari mereka masuk ke bawah selimut. Mereka merayap naik ke kakinya, di bawah pakaiannya, antara pahanya. Cacing terkecil dan belatung merayap di dalam anus dan telinga dan hidungnya. Lipan memaksa mulutnya terbuka dan merangkak masuk ke dalam satu demi satu. Dalam keputusasaan, Katagiri menjerit.
Seseorang menyalakan lampu dan cahaya memenuhi ruangan.
“Tuan Katagiri!” panggil perawat. Katagiri membuka matanya dengan cahaya. Tubuhnya bermandikan keringat. Serangga-serangga tadi lenyap. Yang tertinggal adalah sensasi berlendir mengerikan.
“Mimpi buruk lagi, ya? Sungguh malang.” Dengan gerakan cepat yang efisien perawat menyiapkan suntikan dan menusukkan jarum ke lengannya. Katagiri mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Jantungnya mengembang dan berdetak keras.
“Apa yang Anda mimpikan?”
Katagiri mengalami kesulitan membedakan mimpi dari kenyataan. “Apa yang Anda lihat dengan mata Anda tidak selalu nyata,” katanya kepada dirinya sendiri dengan suara keras.
“Itu memang benar,” kata perawat dengan senyum. “Terutama dalam mimpi.”
“Bangkong,” gumamnya.
“Apakah sesuatu terjadi dengan Bangkong?” Tanyanya.
“Dia menyelamatkan Tokyo dari kehancuran karena gempa bumi. Semua oleh dirinya sendiri.”
“Itu bagus,” kata perawat, menggantikan botol infus kosong dekatnya dengan yang baru. “Kita tidak perlu hal-hal mengerikan terjadi di Tokyo. Kita sudah sering melewatinya.”
“Tapi nyawanya. Dia pergi. Saya pikir ia kembali ke dalam lumpur. Dia tidak akan pernah datang ke sini lagi.”
Tersenyum, perawat mengeringkan keringat dengan handuk pada dahi Katagiri. “Anda sangat menyukai Bangkong, kan, Tuan Katagiri?”
“Lokomotif,” Katagiri bergumam. “Lebih dari siapa pun.” Kemudian dia menutup matanya dan tenggelam ke dalam tidur tenang tanpa mimpi.
***
5 notes · View notes
garamterang · 5 years
Text
Apakah Kebenaran Itu?
Tumblr media
Oleh Steven Lawson
Apa kebenaran itu? Pertanyaan ini diajukan oleh Pilatus, ketika Yesus Kristus diadili di hadapannya, membuka pandangannya sendiri. Dia hidup di dunia di mana kebenaran absolut tidak ada. Saya pikir suara Pilatus meremehkan dan penuh dengan penghinaan. Saya membayangkan dia menyeringai dalam ejekannya, marah karena Kristus berani berbicara dengan kebenaran. Meskipun dia menatap langsung ke wajah Kebenaran yang berinkarnasi, dia tidak bisa membedakannya. Pilatus seperti kebanyakan orang hari ini, seorang postmodernis, tetapi satu yang hidup di zaman pramodern.
Apa kebenaran itu? Kebenaran didefinisikan sebagai apa yang sesuai dengan fakta atau kenyataan. Itu adalah keaslian, kejujuran, atau aktualitas. Singkatnya, kebenaran adalah kenyataan. Begitulah keadaan sebenarnya. Secara teologis, kebenaran adalah yang konsisten dengan pikiran, kehendak, karakter, kemuliaan, dan keberadaan Allah. Kebenaran adalah pengungkapan diri Tuhan sendiri. Itu adalah apa adanya karena Allah menyatakannya dan menjadikannya demikian. Semua kebenaran harus didefinisikan dalam istilah Allah, yang sifatnya adalah kebenaran.
Allah Bapa adalah "Allah kebenaran" (Mzm 31:5; Yes. 65:16, NASB dan selanjutnya). Yesus Kristus "penuh rahmat dan kebenaran" (Yohanes 1:14). Bahkan, Dia adalah "kebenaran" (Yoh. 14: 6). Roh Kudus adalah “Roh kebenaran” (Yoh. 14:17; 15:26; 16:13). Paulus menyebut Kitab Suci "firman kebenaran" (2 Tim. 2:15). Yesus berdoa, “Firmanmu adalah kebenaran” (Yohanes 17:17). Segala sesuatu tentang Tuhan itu benar. Tuhan selalu mengatakan seperti itu.
Seberapa berharganya kebenaran? Nilainya lebih "daripada emas, ya, lebih dari emas murni" (Mzm 19:10). John Calvin berkata, "Tidak ada yang dianggap lebih berharga oleh Tuhan selain kebenaran." Tidak seorang pun yang dapat diselamatkan tanpa kebenaran. Tidak seorang pun dapat dikuduskan atau dikuatkan tanpa kebenaran. Dengan demikian, apa karakteristik kebenaran? Sifat-sifat apa yang membedakannya?
Pertama, kebenaran itu ilahi. Pada akhirnya, semua kebenaran adalah kebenaran Tuhan. Kebenaran berasal dari atas. Kebenaran bukan dari dunia ini. Bukan spekulasi oleh orang banyak tentang sesuatu. Itu tidak ditentukan oleh jajak pendapat, juga tidak ditemukan oleh survei publik. Itu bukan nenek moyang dari tradisi manusia. Kebenaran hanya bisa diketahui melalui wahyu ilahi.
Tuhan adalah satu-satunya Sumber dan satu-satunya Asal kebenaran. Dosa adalah apa pun yang Tuhan katakan mengenai hal itu. Penghakiman adalah apa pun yang Tuhan katakan mengenai hal itu. Keselamatan adalah apa yang Tuhan katakan mengenai hal itu. Surga dan neraka adalah apa yang Tuhan katakan mengenai hal itu. Bukan apa yang dikatakan manusia tetapi hanya apa yang Tuhan katakan. Satu kata dari apa yang Tuhan katakan bernilai lebih dari sepuluh ribu perpustakaan dari apa yang dikatakan manusia. “Biarlah Allah ditemukan benar, meskipun setiap manusia ditemukan pembohong” (Rom. 3: 4).
Kedua, kebenaran itu mutlak. Tanpa Tuhan, tidak akan ada yang mutlak. Tanpa kemutlakan, tidak ada kebenaran objektif dan universal. Tanpa kemutlakan, kebenaran menjadi subyektif, relatif, dan pragmatis. Tanpa kemutlakan, kebenaran memberi jalan kepada selera pribadi atau budaya belaka. Tetapi sebaliknya, semua kebenaran adalah mutlak karena Tuhan adalah kebenaran yang mutlak.
Ini berarti hanya ada satu-satu kebenaran yang benar. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran adalah dusta. Kebenaran itu eksklusif, tidak inklusif. Kebenaran itu diskriminatif karena mengecualikan apa yang tidak benar. Kebenaran tidak sesuai dengan dan tidak toleran terhadap semua kesalahan. Jika semua kebenaran adalah kebenaran Tuhan, maka semua ketidakbenaran adalah kebohongan Iblis.
Masalah di zaman kita adalah apakah ada kebenaran absolut yang berlaku untuk semua orang, tidak peduli siapa mereka, di mana mereka tinggal, atau apa yang mereka lakukan. Banyak orang mengatakan kebenaran adalah apa pun yang mereka inginkan. Mereka mengklaim bahwa apa yang Anda yakini "benar untuk Anda" dan apa yang saya yakini "benar untuk saya," bahkan ketika keduanya dari dunia yang terpisah. Sesuatu tidak bisa benar dan tidak benar. Dalam pandangan dunia tentang penipuan diri seperti itu, kebenaran tidak lagi objektif.
Semua kebenaran adalah benar secara universal. Tidak ada tempat di mana kebenaran tidak benar. Ini komprehensif, total, lengkap. Francis Schaeffer berpendapat, "Kekristenan Alkitabiah adalah Kebenaran mengenai realitas total." Artinya, ia ada tanpa pengecualian. Kebenaran itu mutlak karena ia berasal dari satu Tuhan. Kebenaran absolut tergantung pada Tuhan.
Ketiga, kebenaran itu tunggal. Dengan kata lain, kebenaran adalah satu kesatuan. Kebenaran tidak dalam berada dalam potongan-potongan ide yang tidak terkait atau data terputus. Alkitab paling sering menggunakan artikel yang pasti ketika berbicara tentang kebenaran. Kebenaran tidak pernah bisa menjadi kebenaran semata, seolah kebenaran itu ada dalam fragmen-fragmen dari berbagai sumber. Kebenaran bukanlah kumpulan ideologi yang diperoleh dari sumber-sumber terpisah. Kebenaran tidak pernah ditemukan dalam studi tentang perbandingan agama atau filsafat yang saling bersaing. Sebaliknya, semua kebenaran ditemukan dalam satu Tuhan yang benar.
Karena kebenaran adalah satu tubuh kebenaran, ia selalu konsisten secara internal. tidak pernah bertentangan dengan dirinya sendiri. Kebenaran selalu berbicara dengan satu suara dan selalu sesuai dengan dirinya sendiri. Kebenaran selalu selaras dengan segala sesuatu yang dikatakannya, karena setiap aspek kebenaran sesuai dengan bagian-bagiannya.
Schaeffer mencatat, “Kekristenan bukanlah serangkaian kebenaran dalam bentuk jamak, melainkan kebenaran yang dieja dengan huruf kapital ‘T'.” (maksudnya T adalah Truth; hanya ada satu kebenaran). Dengan kata lain, kebenaran menghadirkan pandangan dunia tunggal. Ini menghadirkan satu asal mula bagi alam semesta, satu masalah umat manusia, satu cara keselamatan, satu cara kekudusan, satu standar untuk keluarga, satu rencana untuk sejarah manusia, satu penyempurnaan zaman. James Montgomery Boice menegaskan, “Kebenaran adalah satu kesatuan. Tidak ada fase kebenaran yang tidak terkait dengan setiap fase kebenaran lainnya. Semua hal yang benar adalah bagian dari kebenaran dan berdiri dalam hubungan yang benar dengan Allah, yang adalah diri-Nya sendiri kebenaran.” Kebenaran konsisten dengan dirinya sendiri.
Keempat, kebenaran itu obyektif. Ini berarti bahwa kebenaran itu tidak subyektif. Itu tidak ditemukan oleh perasaan pribadi atau ditentukan oleh intuisi pribadi. Sebaliknya, kebenaran bersifat proposisional. Ini disampaikan dalam kata-kata yang didefinisikan secara sempit yang memiliki definisi rasional dan dinyatakan dalam istilah yang tepat yang mengkomunikasikan makna yang sebenarnya. Kata-kata berarti sesuatu yang berkaitan dengan kebenaran. Karena itu, kebenaran itu hitam dan putih. Ini pasti, tetap, dan konklusif. Kebenaran itu tidak abstrak, kabur, atau samar-samar. Ini secara akurat dinyatakan oleh makna kata yang tetap dan dapat diamati, dibahas, dipelajari, dianalisis, dipercayai, diberitakan, dan dipertahankan.
Karena kebenaran itu obyektif, ia tidak memihak, tidak berat sebelah, tidak berprasangka, dan tidak mendukung pihak  tertentu. Itu berbicara mengenai hal yang sama kepada semua orang di semua tempat. Kebenaran tidak pernah berbicara dari kedua sisi mulutnya. Tidak pernah melayani kelompok. Tidak pernah mengatakan satu hal kepada satu orang dan sesuatu yang lain kepada orang lain. Kebenaran berbicara hal yang sama kepada semua orang.
Kelima, kebenaran tidak berubah. Tuhan tidak berubah dan juga kebenaran-Nya, yang tidak mungkin benar hari ini tetapi besok tidak benar. Kebenaran itu sama kemarin, hari ini, dan selamanya. Benar selalu benar dan salah selamanya salah. Masyarakat dapat mencoba mendefinisikan kembali moralitas. Budaya dapat mencoba untuk mengklasifikasi ulang adat-istiadatnya. Tetapi Yesus mengidentifikasi diri-Nya sebagai Kebenaran, bukan kebiasaan zaman itu. Kebenaran selamanya sama. Pemazmur berkata, "Untuk selama-lamanya, ya TUHAN, firman-Mu tetap teguh di sorga" (119:89). Yesaya 40:8 menegaskan, “Rumput kering, bunga layu, tetapi firman Allah untuk selamanya.” Dunia berubah. Kerajaan bangkit dan jatuh. Namun kebenaran tetap tidak berubah.
Kebenaran itu permanen, tetap, dan mapan. Itu tidak fleksibel, tidak berubah, konstan, abadi, tidak berubah. Karena itu, kebenaran selalu relevan. Selalu terkini, selalu kontemporer, selalu relevan. Kebenaran mengatasi masalah hari ini dengan wawasan yang melampaui zaman. Itu tidak pernah ketinggalan zaman, tidak pernah usang, tidak pernah kedaluwarsa. Kebenaran tidak pernah melelahkan, tidak pernah menyusut, tidak pernah berhenti menjadi kenyataan.
Keenam, kebenaran itu berwibawa. Kebenaran tidak gagap. Kebenaran berbicara dengan otoritas tertinggi Allah sendiri. Itu selalu membuat tuntutan pada kita dan tidak pernah menawarkan saran belaka. Kebenaran tidak pernah menghadirkan satu opsi lain untuk dipertimbangkan. Itu tidak pernah dimaksudkan untuk sekadar menarik.
Kebenaran itu tidak pernah berbicara untuk menggelitik rasa ingin tahu kita. Sebaliknya, kebenaran berbicara dengan suara kedaulatan. Kebenaran mengaum dengan suara banyak air, menenggelamkan setiap suara lainnya. Kebenaran adalah perintah, menawan, dan mengarahkan. Ia memiliki wewenang untuk memerintahkan kita. Karena itu, kebenaran harus didengar. Kebenaran menuntut perhatian kita. Kita tidak bisa berpura-pura bahwa kebenaran belum berbicara. Kita tidak bisa bertindak seolah itu akan berlalu. Kita tidak bisa hidup dalam penyangkalan terhadap kebenaran. Kebenaran itu memegang pada kerah kita dan menarik kita. Memanggil kita dan mengamanatkan ketaatan. Kebenaran mengikat hidup kita. Kebenaran menuntut respons kita.
Demikian juga, kebenaran memiliki kekuatan supranatural. Yesus berkata, “kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32). Ketika diterima dengan iman, kebenaran membebaskan jiwa kita dari tirani dosa. Yesus berdoa, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran” (Yoh, 17:17). Kebenaran membersihkan dan memurnikan. Ia menembus ke kedalaman hati manusia yang paling dalam, memotong sampai ke tulang, dan bekerja dari dalam ke luar (Ibr. 4:12). Ia memiliki kekuatan yang mengubah hidup. Kebenaran menginsafkan, menguduskan, dan menguatkan. Kebenaran menyesuaikan, mengubahkan, dan memperbaharui. Kebenaran memperbarui pikiran kita, menghidupkan kembali hati kita, dan mengarahkan langkah kita.
Kebenaran memiliki kata terakhir dalam semua hal, kebenaran itu memberi tahu kita cara beribadah dan cara berjalan. Kebenaran memberi tahu kita bagaimana mengikuti Kristus. Hakim terakhir kita tentang masalah apa pun. Kebenaran adalah hakim terakhir dari setiap kehidupan. Semua orang diukur oleh kebenaran. Setiap kehidupan ditimbang dalam neraca oleh kebenaran. Setiap masa depan ditandai oleh kebenaran. Dan kebenaran akan memiliki keputusan akhir dalam setiap kehidupan.
Dr. Steven J. Lawson adalah presiden dan pendiri OnePassion Ministries, seorang rekan pengajar Ligonier Ministries, dan penulis berbagai buku, termasuk Foundations of Grace dan The Moment of Truth.
Diterjemahkan dari website TableTalk Magazine oleh Wen Wie Kwang - https://tabletalkmagazine.com/article/2010/09/what-is-truth/
5 notes · View notes
Text
Kasih Tuhan Menyertaiku di Dalam Penjara Setan yang Gelap
Tumblr media
 Kasih Tuhan Menyertaiku di Dalam Penjara Setan yang Gelap
                            Oleh Saudari Yang Yi, Provinsi Jiangsu
Aku adalah seorang Kristen dari Gereja Tuhan Yang Mahakuasa dan aku telah menjadi pengikut Tuhan Yang Mahakuasa selama lebih dari sepuluh tahun. Selama waktu ini, satu hal yang tidak akan pernah kulupakan adalah kesengsaraan yang mengerikan ketika aku ditangkap oleh polisi PKT (Partai Komunis Tiongkok) sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu,
 meskipun aku disiksa dan diinjak-injak oleh para setan jahat, dan hampir mati beberapa kali, Tuhan Yang Mahakuasa menggunakan tangan-Nya yang perkasa untuk membimbing dan melindungiku, menghidupkanku kembali, dan menyelamatkanku .... Melalui ini, aku benar-benar mengalami ketidakterbatasan dan kehebatan kekuatan hidup Tuhan, dan mendapatkan kekayaan hidup yang berharga yang diberikan kepadaku oleh Tuhan.
Suatu hari pada 23 Januari 2004 (hari kedua Tahun Baru Tiongkok). Aku harus pergi dan mengunjungi seorang saudari dari gereja, karena dia berada dalam kesulitan dan sangat membutuhkan bantuan. Karena dia tinggal jauh sekali, aku harus bangun pagi-pagi untuk mendapatkan taksi, jadi aku akan pulang pada hari itu juga. Aku meninggalkan rumah saat hari mulai terang. Nyaris tidak ada orang di jalan, hanya para pekerja yang membersihkan sampah. Dengan cemas aku mencari taksi, tetapi tidak ada yang lewat. Aku pergi ke pangkalan taksi untuk menunggu dan melangkah ke jalan untuk melambaikan tanganku menghentikan taksi ketika aku melihatnya datang—tetapi ternyata itu adalah kendaraan milik Biro Perlindungan Lingkungan. Mereka bertanya mengapa aku menghentikan mereka. "Maaf, aku keliru, kukira Anda taksi," kataku. "Kami rasa kau sedang memasang poster ilegal," jawab mereka. "Apakah kau melihatku melakukan itu? Di mana poster-poster yang aku pasang?" kataku. Tanpa memberiku kesempatan untuk membela diri, mereka bertiga bergegas maju dan secara paksa memeriksa tasku. Mereka mengobrak-abrik semua barang di dalam tasku—salinan khotbah, buku catatan, dompet, ponsel, dan pager yang sudah tidak lagi kugunakan, dan lain-lain. Kemudian mereka melihat lebih teliti pada salinan khotbah dan buku catatan itu. Melihat tidak ada poster di tasku, mereka mengangkat salinan khotbah itu dan berkata: "Kau mungkin tidak memasang poster ilegal, tetapi kau percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa." Selanjutnya, mereka menelepon Divisi Agama Brigade Keamanan Nasional. Segera setelah itu, empat orang dari Brigade Keamanan Nasional tiba. Mereka tahu aku adalah orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa begitu mereka melihat barang-barang di tasku. Tanpa mengizinkanku mengatakan apa pun, mereka memasukkanku ke dalam kendaraan mereka, lalu mengunci pintu untuk menghalangiku melarikan diri.
Ketika kami sampai di Biro Keamanan Umum (BKU), polisi membawaku ke sebuah ruangan. Salah seorang dari mereka mengutak-atik pager dan ponselku, mencari petunjuk. Dia menyalakan ponselku tetapi terlihat baterainya lemah, kemudian baterai itu benar-benar mati. Sekalipun berusaha, dia tidak bisa menyalakannya. Sambil memegang ponsel tersebut, dia tampak khawatir. Aku juga bingung—aku baru mengisi baterai ponsel pagi itu. Bagaimana mungkin daya baterainya tidak ada? Tiba-tiba aku menyadari bahwa Tuhan secara ajaib mengatur ini untuk menghentikan polisi sehingga tidak menemukan informasi apa pun tentang saudara-saudari lainnya. Aku juga memahami firman yang diucapkan oleh Tuhan: "Setiap dan segala hal, baik yang hidup maupun mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Demikianlah cara Tuhan memerintah atas segala sesuatu" ("Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Sungguh, segala sesuatu dan semua peristiwa berada di tangan Tuhan. Entah hidup atau mati, semua hal mengalami perubahan sesuai dengan pemikiran Tuhan. Pada saat ini, aku mendapatkan pemahaman yang benar tentang cara Tuhan memegang kedaulatan dan mengatur segala sesuatu. Selain itu, aku mendapatkan keyakinan yang kubutuhkan untuk mengandalkan Tuhan dalam menghadapi interogasi selanjutnya. Menunjuk ke arah barang-barang di dalam tas, petugas polisi itu menuduh, "Ini menunjukkan bahwa kau jelas bukan jemaat gereja biasa. Kau pasti salah seorang dari kepemimpinan senior, seseorang yang penting, karena para pemimpin junior tidak memiliki pager atau ponsel. Apa aku benar?" "Aku tidak mengerti apa yang sedang kau katakan," jawabku. "Kau berpura-pura bukan pemimpin!" teriaknya, lalu memerintahkanku untuk berjongkok dan mulai berbicara. Melihatku tidak akan mau bekerja sama, mereka mengepungku dan mulai meninju dan menendangku—seakan-akan mereka ingin membunuhku. Dengan wajahku yang berdarah dan bengkak, seluruh tubuhku sakit tak tertahankan, aku rebah ke lantai. Aku sangat marah. Aku ingin bernalar dengan mereka, untuk memperdebatkan kasusku: kesalahan apa yang telah kulakukan? Mengapa kalian memukuliku seperti itu? Namun aku tidak mungkin bernalar dengan mereka, karena pemerintah PKT tidak berbicara dengan akal sehat. Aku bingung, tetapi aku tidak mau menyerah dengan pemukulan mereka. Saat aku kebingungan, tiba-tiba aku memikirkan tentang cara, karena para petugas jahat dari pemerintahan PKT ini bersikap sangat tidak masuk akal, karena mereka tidak mengizinkanku menjelaskan apa pun, aku tidak perlu mengatakan apa pun kepada mereka. Lebih baik aku diam saja—dengan begitu aku tidak akan berguna bagi mereka. Ketika aku memikirkan hal ini, aku berhenti memperhatikan apa yang mereka katakan.
Melihat bahwa pendekatan ini tidak berpengaruh padaku, para polisi jahat itu menjadi marah dan menjadi semakin biadab: mereka beralih ke penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan. Mereka memborgolku ke sebuah kursi besi yang disekrup ke lantai dengan posisi sedemikian rupa sehingga aku tidak bisa berjongkok, juga tidak bisa berdiri. Salah seorang dari mereka meletakkan tanganku yang tidak diborgol di atas kursi itu dan memukulnya dengan sepatu, hanya berhenti setelah punggung tanganku menjadi lebam dan membiru, sementara yang lainnya menginjak kakiku dengan sepatu kulitnya, menggulirkan sepatunya ke sekeliling jari-jari kakiku untuk meremukkannya, sehingga saat itu juga aku mengalami rasa sakit luar biasa yang terasa langsung ke jantungku. Setelah itu, enam atau tujuh polisi bergiliran menyiksaku. Salah seorang dari mereka berkonsentrasi pada persendianku, dan menjepitnya sangat keras sehingga sebulan kemudian aku masih tidak bisa menekuk lenganku. Yang lainnya menjambak rambutku dan menggoyang-goyangkan kepalaku dari kiri ke kanan, lalu merenggutnya ke belakang sehingga aku mendongak ke atas. "Lihat ke langit dan lihat apa ada Tuhan di sana!" katanya dengan kejam. Mereka terus menyiksaku sampai malam. Melihat bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa pun dariku, dan karena itu adalah Tahun Baru Imlek, mereka membawaku langsung ke rumah tahanan.
Ketika aku sampai di rumah tahanan, seorang penjaga memerintahkan seorang tahanan wanita untuk menanggalkan semua pakaianku dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian mereka memaksaku mengenakan seragam penjara yang kotor dan berbau busuk. Para penjaga memasukkanku ke sel dan kemudian membohongi tahanan lainnya, dengan mengatakan: "Dia berkeliaran ke mana-mana untuk memecah belah keluarga orang lain. Banyak keluarga telah dihancurkan olehnya. Dia seorang pembohong, dia menipu orang jujur, dan mengganggu ketertiban umum...." "Mengapa dia terlihat seperti orang bodoh?" tanya salah seorang tahanan. Yang dijawab oleh penjaga: "Dia sedang berpura-pura untuk menghindari hukuman. Tak seorang pun dari kalian yang akan cukup pintar untuk berpikir melakukan itu. Siapa pun yang mengira dia bodoh adalah orang paling idiot dari semuanya." Dengan demikian, karena ditipu oleh para penjaga itu, semua tahanan lainnya mengatakan hukumanku kurang berat, dan bahwa satu-satunya hal yang baik bagi orang seburuk diriku adalah regu tembak! Mendengar ini membuatku sangat marah—tetapi tidak ada yang dapat kulakukan. Upayaku untuk melawan tidak berhasil, mereka hanya membawa lebih banyak siksaan dan kebiadaban. Di rumah tahanan, para penjaga membuat para tahanan membacakan peraturan setiap hari: "Akui kejahatanmu dan tunduk pada hukum. Dilarang menghasut orang lain untuk melakukan kejahatan. Membentuk geng tidak diizinkan. Perkelahian tidak diperbolehkan. Mengintimidasi atau menghina orang lain tidak diperbolehkan. Membuat tuduhan palsu terhadap orang lain tidak diperbolehkan. Mengambil makanan atau harta milik orang lain tidak diperbolehkan. Mempermainkan orang lain tidak diperbolehkan. Orang yang menindas di penjara akan ditindak. Setiap pelanggaran terhadap peraturan harus segera dilaporkan ke petugas lapas atau petugas jaga. Kau tidak boleh menyembunyikan fakta atau mencoba melindungi tahanan yang telah melanggar peraturan, dan peraturan penjara harus diterapkan secara manusiawi. ..." Pada kenyataannya, para penjaga mendorong para tahanan lain untuk menyiksaku, membiarkan mereka mempermainkan aku setiap hari: ketika suhu ada di posisi 8 atau 9 derajat di bawah nol, mereka merendam sepatuku; mereka diam-diam menuangkan air ke dalam makananku; di malam hari, ketika aku tidur, mereka membasahi jaketku yang berlapis kapas; mereka membuatku tidur di sebelah toilet, dan mereka sering mengambil selimutku di malam hari dan menarik rambutku agar aku tidak bisa tidur; mereka merampas roti kukusku; mereka memaksaku membersihkan toilet, dan memasukkan sisa obat mereka ke mulutku dengan paksa, mereka tidak membiarkan aku buang air kecil…. Jika aku tidak melakukan apa pun yang mereka katakan, mereka akan bersekongkol dan memukuliku—dan sering kali pada waktu-waktu seperti itu para petugas lapas atau petugas jaga akan bergegas keluar agar tidak terlihat atau berpura-pura tidak melihat apa pun; terkadang mereka bahkan bersembunyi agak jauh dan menonton. Jika selama beberapa hari para tahanan tidak menyiksaku, para petugas lapas dan petugas jaga akan bertanya kepada mereka, "Wanita jalang bodoh itu telah bertambah cerdas ya beberapa hari terakhir ini? Sementara itu, kalian sudah jadi bodoh. Siapa pun yang dapat membujuk pelacur bodoh itu akan dikurangi hukumannya." Penyiksaan kejam para penjaga itu membuatku sangat membenci mereka. Jika aku tidak menyaksikan ini dengan mata kepalaku sendiri dan mengalaminya secara pribadi, aku tidak akan pernah percaya bahwa pemerintah PKT, yang seharusnya penuh dengan kebajikan dan moralitas, dapat menjadi begitu kelam, menakutkan, dan mengerikan—aku tidak akan pernah melihat sifat mereka yang sesungguhnya, sifat yang penuh tipu daya dan bermuka dua. Semua slogannya tentang "melayani rakyat, menciptakan masyarakat yang beradab dan harmonis"—semua ini adalah kebohongan yang dirancang untuk menipu dan memperdaya orang, semua ini adalah sarana, tipuan untuk memperindah diri mereka dan mendapatkan pujian yang tidak layak mereka terima. Pada saat itu, aku teringat firman Tuhan: "Sehingga tidak mengherankan bagaimana inkarnasi Tuhan tetap tersembunyi bagi mereka: Di tengah masyarakat yang gelap seperti ini, di mana Iblis begitu kejam dan tidak manusiawi, bagaimana mungkin raja Iblis, yang menghabisi orang-orang dalam sekejap mata, menoleransi keberadaan Tuhan yang baik, penuh kasih, dan kudus? Bagaimana mungkin ia akan menyambut kedatangan Tuhan dengan gembira? Para penjilat! Mereka membayar kebaikan dengan kebencian, mereka sudah lama membenci Tuhan, mereka memperalat Tuhan, mereka berlaku kasar sekasar-kasarnya, mereka sama sekali tidak menghargai Tuhan, mereka merampas dan merampok, mereka sudah kehilangan hati nurani, dan tidak ada kebaikan yang tersisa, dan mereka menggoda orang tidak bersalah agar kehilangan hati nuraninya. Nenek moyang? Pemimpin yang dikasihi? Mereka semua melawan Tuhan! Tindakan ikut campur mereka membuat semua yang tinggal di kolong langit menjadi gelap dan kacau! Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipuan untuk menutupi dosa!" ("Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Membandingkan firman Tuhan dengan kenyataan, aku melihat hakikat setan yang jahat dan kelam dari pemerintahan PKT dengan sangat jelas. Untuk mempertahankan kekuasaannya yang gelap, mereka terus mencengkeram erat rakyatnya, dan tidak berhenti untuk memperdaya dan menipu mereka. Di permukaan, mereka tampaknya memberikan kebebasan beragama—tetapi secara diam-diam, mereka menangkap, menindas, menganiaya, dan membunuh orang-orang di seluruh negeri yang percaya kepada Tuhan, bahkan berusaha membunuh mereka semua. Sungguh setan itu jahat, kejam, dan reaksioner! Di mana kebebasannya? Di mana hak asasi manusia? Tidakkah ini semua tipu muslihat untuk memperdaya orang? Dapatkah orang melihat sekilas ada pengharapan atau terang di balik pemerintahannya yang kelam? Bagaimana mereka bisa bebas untuk percaya kepada Tuhan dan mengejar kebenaran? Baru pada saat itulah aku menyadari bahwa Tuhan telah mengizinkan penganiayaan dan kesengsaraan ini menimpaku, bahwa Dia telah menggunakannya untuk menunjukkan kepadaku keganasan dan kekejaman pemerintah PKT, untuk menunjukkan kepadaku hakikat jahatnya yang membenci kebenaran dan memusuhi Tuhan, dan untuk menunjukkan kepadaku bahwa polisi rakyat, yang dengan gencar dipromosikan dan digembar-gemborkan pemerintah sebagai lembaga yang menghukum kejahatan, membela kebaikan, dan mempromosikan keadilan, adalah kaki tangan dan antek-antek yang telah dipelihara dengan cermat, sekelompok algojo yang berwajah manusia tetapi berhati binatang, dan yang akan membunuh seseorang tanpa mengedipkan mata. Demi memaksaku menolak dan mengkhianati Tuhan dan menyerah pada kekuasaannya yang sewenang-wenang, pemerintah PKT tidak akan pernah berhenti menyiksa dan menghancurkanku—namun mereka tidak tahu bahwa semakin mereka menyiksaku, semakin jelas aku melihat sifat setannya, dan semakin aku membenci dan menolaknya dari lubuk hatiku, membuatku benar-benar merindukan Tuhan dan percaya kepada Tuhan. Selain itu, justru karena penyiksaan para penjaga itulah tanpa kusadari aku jadi mengerti apa arti sesungguhnya mengasihi apa yang Tuhan kasihi, dan membenci apa yang Tuhan benci, apa artinya meninggalkan Iblis dan berpaling kepada Tuhan, apa artinya biadab, apa artinya kuasa kegelapan, dan, selain itu, apa artinya jahat dan berbahaya, palsu dan curang. Aku bersyukur kepada Tuhan karena mengizinkanku mengalami lingkungan ini, karena membuatku dapat membedakan mana yang benar dan yang salah dan terlebih lagi, menentukan jalan hidup yang benar untuk ditempuh. Hatiku—yang telah ditipu Iblis sedemikian lamanya—akhirnya disadarkan oleh kasih Tuhan. Aku merasa bahwa ada makna besar dalam nasibku mengalami kesengsaraan dan ujian ini, dan di mana kepadaku telah benar-benar diperlihatkan kemurahan-Nya yang khusus.
Setelah mencoba segala cara lainnya, para polisi jahat itu menemukan rencana lain: mereka menemukan seorang Yudas yang telah mengkhianati gerejaku. Orang itu mengatakan bahwa aku percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan dia juga berusaha membuatku menjauhkan diri dari Tuhan. Melihat hamba yang jahat ini yang telah melaporkan banyak saudara-saudari yang menyebarkan Injil, dan mendengar semua perkataan jahat yang keluar dari mulutnya—perkataan yang menghina, memfitnah, dan menghujat Tuhan—hatiku dipenuhi dengan amarah. Aku ingin menghardiknya, bertanya mengapa dia begitu memusuhi Tuhan. Mengapa dia yang telah menikmati begitu banyak kasih karunia Tuhan, malah bergabung dengan setan-setan jahat untuk menganiaya umat pilihan Tuhan? Dalam hatiku, ada kesedihan dan rasa sakit yang tak terkatakan. Aku juga merasakan penyesalan dan perasaan berutang; aku benar-benar membenci diriku sendiri karena, di masa lalu, aku tidak berusaha mengejar kebenaran, dan tidak pernah mengetahui apa pun selain menikmati kasih karunia dan berkat Tuhan seperti anak yang naif, tidak memikirkan penderitaan dan penghinaan yang telah Tuhan tanggung demi keselamatan kami. Baru sekarang, saat aku berada di dalam sarang iblis ini, aku merasakan betapa sulitnya bagi Tuhan untuk bekerja di negara yang kotor dan rusak ini, dan betapa besar penderitaan yang dipikul-Nya! Sesungguhnya, kasih Tuhan kepada manusia membuat-Nya mengalami penderitaan yang luar biasa. Dia melakukan pekerjaan menyelamatkan umat manusia sambil menanggung pengkhianatan manusia. Pengkhianatan manusia hanya menghasilkan penderitaan dan luka. Tidak heran Tuhan pernah berkata: "Bahkan hanya dalam waktu semalam, mereka bisa berubah dari sosok manusia yang penuh senyum dan 'baik hati' menjadi pembunuh berwajah buruk yang kejam, yang tiba-tiba memperlakukan orang yang memberi kebaikan kepada mereka kemarin sebagai musuh bebuyutan, tanpa sebab atau alasan" ("Pekerjaan Tuhan dan Penerapan Manusia" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Hari ini, meskipun aku telah jatuh ke dalam cengkeraman iblis, aku tidak akan mengkhianati Tuhan apa pun yang terjadi. Sebesar apa pun kesukaran yang kupikul, aku tidak akan menjadi Yudas demi menyelamatkan diriku sendiri, dan aku tidak akan menyebabkan penderitaan dan kesedihan bagi Tuhan. Sebagai akibat aku difitnah oleh Yudas tersebut, para polisi jahat itu meningkatkan penyiksaan mereka. Sementara itu, orang yang berkhianat itu berdiri di sebelahku dan berkata: "Kau tidak bisa membedakan yang baik dari yang buruk. Kau layak menerimanya! Kau tidak menghargai kebaikanku. Kau layak disiksa sampai mati!" Mendengar perkataan jahat dan kejam ini membuatku marah—tetapi aku juga merasakan kesedihan yang tak dapat dijelaskan. Aku ingin menangis, tetapi aku tahu aku tidak boleh menangis; aku tidak ingin membiarkan Iblis melihat kelemahanku. Dalam hatiku, aku diam-diam berdoa: "Ya Tuhan! Aku berharap Engkau mendapatkan hatiku. Meskipun aku tidak mampu melakukan apa pun untuk-Mu saat ini, aku ingin menjadi kesaksian kemenangan bagi-Mu di hadapan Iblis dan orang jahat ini, sepenuhnya mempermalukan mereka, sehingga melalui ini, aku membawa penghiburan bagi hati-Mu. Ya Tuhan! Kiranya Engkau melindungi hatiku, dan membuatku lebih kuat. Jika aku menangis, biarlah air mataku mengalir hanya di dalam hatiku—aku tidak boleh membiarkan mereka melihat air mataku. Aku seharusnya bahagia karena aku mengerti kebenaran, karena Engkau telah menyingkirkan selubung yang menutupi mataku, memberiku kemampuan untuk membedakan, dan dengan jelas melihat natur dan hakikat Iblis, yaitu untuk menentang dan mengkhianati-Mu. Di tengah pemurnian, aku juga telah melihat bagaimana tangan-Mu yang bijaksana mengatur segalanya. Aku ingin mengandalkan-Mu untuk menghadapi interogasi berikutnya dan mengalahkan Iblis, agar Engkau dapat dimuliakan di dalam diri-Ku." Setelah berdoa, dalam hatiku ada kekuatan untuk tidak menyerah sampai aku menyelesaikan kesaksianku bagi Tuhan. Aku tahu ini telah diberikan kepadaku oleh Tuhan, bahwa Tuhan telah memberiku perlindungan besar dan telah sangat menggerakkan diriku. Para polisi jahat itu ingin menggunakan wanita jahat ini untuk membuatku mengkhianati Tuhan, tetapi Tuhan adalah Tuhan yang bijaksana, dan Dia memakai wanita jahat ini sebagai sebuah kontras untuk menunjukkan kepadaku natur pemberontak dari manusia yang rusak, sehingga mendorong tekad dan imanku untuk memuaskan Tuhan. Selain itu, aku memiliki pengetahuan tentang pekerjaan Tuhan yang bijak, dan aku melihat bahwa Tuhan mengatur dan menggerakkan semua yang ada dengan tujuan untuk menyempurnakan umat Tuhan. Ini adalah fakta tak terbantahkan tentang bagaimana Tuhan menggunakan hikmat untuk mengalahkan Iblis.
Melihat bahwa mereka tidak akan berhasil membuatku mengatakan apa pun yang mereka inginkan, mereka tidak peduli berapa pun biaya yang harus dikeluarkan—baik itu tenaga kerja, ataupun sumber daya materi dan finansial—untuk melakukan berbagai macam cara demi mencari bukti bahwa aku adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Tiga bulan kemudian, semua upaya yang mereka lakukan sia-sia. Akhirnya, mereka memakai cara terakhir: mereka menemukan seorang ahli interogasi Dikatakan bahwa setiap orang yang dibawa kepadanya mengalami tiga macam penyiksaan, dan tidak pernah ada yang tidak mengaku. Suatu hari, empat petugas polisi datang dan berkata kepadaku, "Hari ini kami akan membawamu ke rumah baru." Selanjutnya, mereka mendorongku masuk ke dalam mobil gerbong tahanan, memborgol tanganku ke belakang, dan mengenakan kain penutup kepala di kepalaku. Situasi itu membuatku berpikir mereka sedang membawaku keluar untuk secara diam-diam mengeksekusiku. Dalam hatiku, mau tak mau aku merasa panik. Namun setelah itu, aku teringat lagu pujian yang biasa kunyanyikan ketika aku percaya kepada Yesus: "Sejak masa-masa awal bergereja, mereka yang mengikuti Tuhan harus membayar mahal. Puluhan ribu saudara seiman telah mengorbankan diri mereka demi Injil, dan dengan demikian mereka memperoleh hidup yang kekal. Jadilah martir bagi Tuhan, jadilah martir bagi Tuhan, aku siap menjadi martir bagi Tuhan." Hari itu, akhirnya aku memahami lirik dalam lagu pujian itu: mereka yang mengikuti Tuhan harus membayar mahal. Aku juga siap mati bagi Tuhan. Yang mengejutkanku, setelah masuk ke dalam mobil gerbong itu, aku secara tidak sengaja mendengar percakapan antara para polisi jahat itu. Sepertinya mereka membawaku ke tempat lain untuk diinterogasi. Ah! Mereka tidak membawaku untuk dieksekusi—dan aku sedang bersiap untuk mati sebagai martir bagi Tuhan! Tepat saat aku memikirkan ini, tanpa alasan yang jelas, salah seorang polisi itu mengencangkan tali kain penutup kepala di kepalaku. Segera setelah itu, aku mulai merasa tidak nyaman—aku merasa seperti tercekik. Aku mendapati diriku bertanya-tanya apakah mereka benar-benar akan menyiksaku sampai mati. Pada saat itu, aku teringat bagaimana para murid Yesus telah mengorbankan diri mereka untuk menyebarkan Injil. Aku tidak akan menjadi pengecut. Bahkan jika aku harus mati, aku tidak akan memohon kepada mereka untuk melonggarkannya, apalagi aku mengakui kekalahan. Namun aku tidak bisa mengendalikan diriku: aku pingsan dan ambruk menimpa tubuh mereka. Melihat apa yang terjadi, polisi itu dengan cepat melonggarkan kain penutup tersebut. Mulutku mulai mengeluarkan busa, kemudian tidak bisa berhenti muntah. Rasanya seperti aku akan memuntahkan isi perutku. Aku merasa pusing, pikiranku kosong, dan aku tidak bisa membuka mataku. Seluruh tubuhku lemas tak bertenaga, seakan-akan aku lumpuh. Rasanya seperti ada sesuatu yang lengket di mulutku yang tidak bisa kukeluarkan. Tubuhku sejak dahulu memang rapuh, dan setelah disiksa seperti ini aku merasa tubuhku bermasalah, dan bahwa aku mungkin akan berhenti bernapas kapan saja. Di tengah rasa sakit ini, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Apakah aku hidup atau mati, aku mau menaati-Mu. Aku percaya bahwa apa pun yang Engkau lakukan, itu adalah kebenaran, dan aku mohon Engkau melindungi hatiku, sehingga aku dapat tunduk pada semua yang Engkau rancang dan atur." Beberapa waktu kemudian, mobil gerbong itu tiba di sebuah hotel. Pada saat itu, seluruh tubuhku terasa lemah dan aku tidak mampu membuka mataku. Mereka membawaku ke ruangan tertutup. Yang bisa kudengar hanyalah suara-suara kaki tangan pemerintah PKT yang berdiri untuk membahasku, mengatakan bahwa melihatku seperti melihat sikap Liu Hulan. "Sungguh mengesankan!" kata mereka. "Dia bahkan lebih tangguh daripada Liu Hulan!" Mendengar ini, hatiku melonjak dengan kegembiraan. Aku melihat bahwa dengan bersandar pada iman dan mengandalkan Tuhan pasti akan ada kemenangan atas Iblis, bahwa Iblis berada di bawah kaki Tuhan! Aku bersyukur dan memuji Tuhan. Pada saat ini, aku lupa dengan penderitaan ini. Aku merasa sangat bersyukur karena dapat memuliakan Tuhan.
Segera setelah itu, "pakar interogasi" yang dibicarakan para polisi itu tiba. Begitu dia masuk, dia berteriak: "Di mana perempuan jalang itu? Biar aku melihatnya!" Dia berjalan sampai ke depanku dan merenggutku. Setelah menampar aku berkali-kali di wajah, dia memberiku beberapa pukulan keras ke dada dan punggung, lalu melepas salah satu sepatu kulitnya dan memukul wajahku dengan itu. Setelah dipukuli olehnya seperti ini, aku kehilangan rasa bahwa ada sesuatu yang tidak bisa kukeluarkan dari mulut atau perutku. Aku tidak lagi merasa bingung dan aku bisa membuka mataku. Kemampuan merasaku berangsur-angsur kembali ke anggota tubuhku, dan kekuatan mulai kembali ke tubuhku. Selanjutnya, dia dengan kasar merenggut pundakku dan mendorongku ke dinding, memerintahkanku untuk menatapnya dan menjawab pertanyaannya. Melihatku tidak memberi perhatian membuatnya sangat marah, dan dia mencoba mendapatkan reaksi dariku dengan menghina, memfitnah, dan menghujat Tuhan. Dia menggunakan cara yang paling hina dan tercela untuk memancingku, dan berkata dengan nada mengancam, "Aku dengan sengaja menyiksamu dengan apa yang tak tertahankan bagi jiwa dan ragamu, untuk membuatmu menanggung penderitaan yang tidak mampu ditanggung manusia normal—kau akan berharap kau lebih baik mati. Pada akhirnya, kau akan memohon kepadaku untuk melepaskanmu, dan saat itulah kau akan berbicara masuk akal, dan mengatakan bahwa nasibmu bukan berada di tangan Tuhan—tetapi berada di tanganku. Jika aku ingin kau mati, itu akan langsung terjadi. Jika aku ingin kau hidup, kau akan hidup, dan kesukaran apa pun yang aku ingin kau derita, itulah yang akan kau derita. Tuhanmu Yang Mahakuasa tidak mampu menyelamatkanmu—kau hanya akan hidup jika kau memohon kami untuk menyelamatkanmu." Menghadapi para preman, hewan-hewan liar, para setan jahat yang tercela, tak tahu malu, dan hina ini, aku benar-benar ingin melawan mereka. "Segala sesuatu di surga dan di bumi diciptakan oleh Tuhan dan dikendalikan oleh-Nya," pikirku. "Nasibku juga tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Tuhan adalah Penentu hidup dan mati; apa kau pikir aku akan mati hanya karena kau menginginkannya?" Pada saat itu, hatiku dipenuhi amarah. Aku merasa tidak mampu menahannya; aku ingin berteriak, melawan, menyatakan kepada mereka: "Manusia tidak akan pernah memohon belas kasihan dari seekor anjing!" Aku percaya bahwa ini adalah diriku yang mengembangkan rasa keadilanku—tetapi yang mengejutkanku, semakin aku berpikir seperti ini, semakin gelap di dalam diriku. Aku mendapati diriku tanpa kata-kata doa, tidak dapat mengingat lagu pujian apa pun. Pikiranku semakin keruh, aku tidak tahu harus berbuat apa, dan pada saat itu aku mulai merasa sedikit takut. Aku dengan cepat menenangkan diri di hadapan Tuhan. Aku merenungkan diriku sendiri, dan mencoba mengenal diriku sendiri, dan pada saat itu firman penghakiman Tuhan datang kepadaku: "Apa yang engkau kagumi bukanlah kerendahan hati Kristus, ... Engkau tidak mengasihi keindahan ataupun hikmat Kristus..." ("Apakah Engkau Seorang Percaya Sejati?" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Ya—aku telah melihat Kristus sebagai sesuatu yang kurang berarti, dan aku telah mengagumi kuasa dan pengaruh, bukan kerendahhatian Kristus, apalagi mengagumi hikmat dari pekerjaan Tuhan yang tersembunyi. Tuhan menggunakan hikmat-Nya untuk mengalahkan Iblis, Dia menggunakan kerendahhatian dan ketersembunyian-Nya untuk menyingkapkan wajah Iblis yang sebenarnya, dan mengumpulkan bukti untuk menghukum orang jahat. Demikian juga, semua tindakan tercela yang telah dilakukan para polisi itu terhadapku dan semua hal yang menghujat dan menentang Tuhan yang mereka katakan hari ini dengan jelas menyingkapkan hakikat jahat mereka sebagai pembenci kebenaran dan penentang Tuhan, dan ini akan menjadi bukti yang diperlukan untuk menjamin kutukan, penghukuman dan pemusnahan Tuhan. Namun, aku gagal melihat hikmat dan kerendahhatian Kristus, dan, berpikir bahwa "orang yang baik hati dapat ditindas, sama seperti kuda menjadi jinak karena sering ditunggangi," aku tidak senang dihina dan ditindas. Aku bahkan percaya bahwa melawan balik adalah hal yang paling adil, bermartabat, dan berani yang bisa kulakukan. Aku tidak tahu bahwa Iblis ingin menghasutku untuk melawan mereka, memaksaku untuk mengakui fakta tentang kepercayaanku kepada Tuhan untuk menghukumku. Jika aku benar-benar melawan mereka dengan keberanian yang gegabah, bukankah aku akan menjadi korban rencana curang mereka? Aku benar-benar bersyukur kepada Tuhan atas hajaran dan penghakiman-Nya yang tepat waktu terhadapku, yang memberiku perlindungan di tengah pemberontakanku, sehingga aku melihat rencana curang Iblis, mengenali racun Iblis dalam diriku, dan memperoleh sedikit pengetahuan tentang siapa Tuhan dan esensi kehidupan Tuhan yang rendah hati dan tersembunyi. Aku merenungkan bagaimana Kristus menghadapi penganiayaan, perburuan, dan pembunuhan oleh setan PKT, dan bagaimana semua umat manusia menghakimi, mengutuk, memfitnah, dan meninggalkan Dia. Di sepanjang itu semua, Dia menanggung semua ini diam-diam, menanggung semua penderitaan ini untuk melakukan pekerjaan penyelamatan-Nya, dan tidak pernah mengeluh. Aku melihat betapa baik, indah, dan terhormatnya watak Tuhan! Sementara itu, aku—orang yang kotor dan rusak—ingin menggunakan keberanian gegabahku untuk menegakkan martabatku, untuk memperjuangkan keadilanku sendiri berdasarkan kehendakku sendiri ketika dianiaya oleh setan-setan jahat ini. Di manakah rasa keadilan dalam hal ini? Dan di manakah kekuatan karakter dan martabat? Dalam hal ini, bukankah aku sedang menunjukkan sifat jahatku yang buruk? Bukankah aku sedang menyingkapkan naturku yang congkak? Merenungkan ini, hatiku dipenuhi dengan penyesalan. Aku memutuskan untuk meneladani Kristus. Aku menjadi bersedia untuk tunduk pada lingkungan ini dan berusaha yang terbaik untuk bekerja sama dengan Tuhan, tanpa memberikan kesempatan kepada Iblis.
Hatiku menjadi tenang, dan aku diam-diam menunggu putaran selanjutnya dari pertempuranku melawan setan-setan ini. Penolakanku untuk mengaku telah mempermalukan orang yang dianggap ahli tersebut. Dia dengan marah memelintir salah satu lenganku ke punggung dan menarik yang satunya lagi ke belakang bahuku, lalu memborgol kedua tanganku dengan erat. Setelah kurang dari setengah jam, butiran besar keringat membanjiri wajah dan mataku, menghalangiku membukanya. Melihatku tetap tidak akan menjawab pertanyaannya, dia membantingku ke lantai, lalu mengangkatku dengan memegang borgol di punggungku. Aku langsung merasakan sakit di lenganku, seakan-akan lengan itu telah patah. Sangat sakit sampai aku sulit bernapas. Selanjutnya, dia menghempaskanku ke tembok dan membuatku berdiri menghadap tembok. Keringat mengaburkan pandanganku. Rasanya sangat menyakitkan sampai seluruh tubuhku dipenuhi keringat—bahkan sepatuku basah kuyup. Tubuhku sejak dahulu memang rapuh, dan pada saat ini aku pingsan. Yang bisa kulakukan hanyalah bernapas terengah-engah melalui mulutku. Setan itu berdiri di sebelahku, memperhatikanku. Aku tidak tahu apa yang dilihatnya—mungkin dia takut disalahkan jika aku mati—dia dengan cepat mengambil segenggam tisu untuk menyeka keringatku, lalu memberiku segelas air. Dia melakukan ini setiap setengah jam atau lebih. Aku tidak tahu seperti apa penampilanku saat itu. Kurasa pasti sangat menakutkan, karena aku hanya bisa terengah-engah dengan mulut terbuka; sepertinya aku telah kehilangan kemampuan bernapas melalui hidungku. Bibirku kering dan pecah-pecah dan membutuhkan segenap kekuatan yang kumiliki untuk bernapas. Aku merasakan kematian sekali lagi mendekat—mungkin kali ini aku benar-benar akan mati. Namun pada saat itu, Roh Kudus menerangiku. Aku teringat Lukas, salah satu murid Yesus, dan pengalamannya digantung sampai mati. Dalam hatiku, dengan serta-merta aku mendapatkan kekuatanku kembali, dan terus mengatakan hal yang sama berulang-ulang untuk mengingatkan diriku sendiri: "Lukas mati dengan digantung. Aku juga harus menjadi Lukas, aku harus menjadi Lukas, menjadi Lukas .... Aku dengan rela menaati pengaturan dan rencana Tuhan, dan aku berharap untuk setia kepada Tuhan sampai mati seperti Lukas." Ketika rasa sakit itu menjadi tak tertahankan dan aku berada di ambang kematian, tiba-tiba aku mendengar salah seorang polisi jahat itu mengatakan bahwa beberapa saudari-saudari yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa telah ditangkap. Dalam hati, aku terkejut: Beberapa saudara-saudari lainnya harus disiksa. Mereka pasti bertindak sangat keras terhadap saudara-saudari itu. Hatiku dipenuhi dengan kekhawatiran. Aku terus berdoa dalam hati untuk mereka, memohon Tuhan menjaga mereka dan membuat mereka menjadi kesaksian kemenangan di hadapan Iblis dan tidak pernah mengkhianati Tuhan, karena aku tidak ingin ada saudara atau saudari lainnya yang menderita seperti aku. Mungkin aku dijamah oleh Roh Kudus; aku berdoa tanpa henti, dan semakin aku berdoa, semakin aku terinspirasi. Tanpa sadar aku melupakan rasa sakitku. Aku tahu betul bahwa ini adalah pengaturan Tuhan yang bijaksana; Tuhan memperhatikan kelemahanku dan memimpinku melewati waktuku yang paling menyakitkan. Malam itu, aku tidak lagi peduli cara para polisi jahat itu memperlakukanku, dan tidak sedikit pun memperhatikan pertanyaan mereka. Melihat apa yang terjadi, para polisi jahat itu menggunakan tinju mereka untuk memukuli wajahku dengan kejam, kemudian melilitkan rambut di pelipisku di jari-jari mereka dan merenggutnya. Telingaku bengkak karena dipelintir, wajahku tidak bisa dikenali, pantat dan pahaku telah memar dan robek ketika mereka memukuliku dengan sepotong kayu tebal, dan jari-jari kakiku juga menjadi lebam setelah dipukul dengan sepotong kayu. Setelah menggantungku dengan borgol selama enam jam, ketika polisi jahat itu membuka borgol tersebut, daging di bawah ibu jari kiriku telah terkelupas—hanya tertinggal lapisan tipis yang tersisa menutupi tulang. Borgol itu juga membuat pergelangan tanganku penuh lepuh kekuningan, dan tidak mungkin dipakaikan borgol lagi. Pada saat itu, seorang perwira polisi wanita yang terlihat berkuasa berjalan masuk. Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata kepada mereka, "Aku tidak bisa lagi mengalahkan yang ini—dia sepertinya akan mati."
Polisi mengunciku di salah satu kamar hotel. Tirai-tirainya ditutup rapat dua puluh empat jam sehari. Seseorang ditugaskan untuk menjaga pintu, dan tidak ada petugas dinas yang diizinkan masuk, juga tidak ada yang diizinkan melihat adegan mereka menyiksa dan menganiayaku di dalam. Mereka bergiliran menginterogasiku tanpa jeda. Selama lima hari lima malam, mereka tidak mengizinkanku tidur, mereka tidak mengizinkanku duduk atau berjongkok, juga tidak mengizinkanku memakan makananku. Aku hanya diizinkan berdiri bersandar di dinding. Suatu hari, seorang pejabat datang untuk menginterogasiku. Melihat bahwa aku mengabaikannya, dia marah dan membuatku jatuh ke bawah meja dengan tendangannya. Selanjutnya, dia menarikku ke atas dan meninjuku, menyebabkan darah mengalir dari ujung mulutku. Untuk menutupi kebiadabannya, dia dengan cepat menutup pintu untuk menghentikan siapa pun masuk. Lalu dia menarik beberapa tisu dan menyeka darahku, membersihkan darah dari wajahku dengan air dan membersihkan darah dari lantai. Aku sengaja meninggalkan sebagian darah di sweter putihku. Namun, ketika aku kembali ke rumah tahanan, para polisi jahat itu memberi tahu tahanan lain bahwa darah pada pakaianku berasal dari saat aku disahkan di rumah sakit jiwa dan mengatakan di situlah aku berada selama beberapa hari terakhir. Luka dan darah di tubuhku disebabkan oleh para pasien—sedangkan mereka, para polisi itu, belum menyentuhku…. Fakta-fakta kejam ini menunjukkan kepadaku kekejaman, kelicikan yang jahat, dan ketidakmanusiawian polisi rakyat, dan aku merasakan ketidakberdayaan dan keputusasaan dari orang-orang yang jatuh ke tangan mereka. Pada saat yang sama, penghargaanku semakin mendalam akan kebenaran, kekudusan, kecemerlangan, dan kebaikan Tuhan, dan merasa bahwa segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah kasih, perlindungan, pencerahan, penyediaan, penghiburan, dan dukungan. Setiap kali penderitaanku mencapai yang terberat, Tuhan akan selalu mencerahkan dan membimbingku, meningkatkan iman dan kekuatanku, memampukanku untuk meneladani semangat orang-orang kudus yang telah mati martir bagi Tuhan selama berabad-abad, sehingga memberiku keberanian memegang teguh kebenaran. Ketika kebiadaban para polisi jahat itu membuatku berada di ambang kematian, Tuhan mengijinkanku mendengar berita penangkapan saudara-saudari lainnya, menggunakan ini untuk lebih menggerakkanku untuk berdoa bagi mereka, sehingga aku melupakan penderitaanku sendiri dan tanpa disadari mengalahkan kekangan kematian. Berkat si Iblis, yang bertindak sebagai kontras yang jahat dan kejam, aku melihat bahwa hanya Tuhanlah jalan, kebenaran, dan hidup, dan hanya watak Tuhanlah yang merupakan lambang kebenaran dan kebaikan. Hanya Tuhan yang memerintah dan mengatur segalanya, dan Dia menggunakan kuasa dan hikmat-Nya yang besar untuk memimpin setiap langkahku dalam mengalahkan pengepungan pasukan setan, dalam mengalahkan kelemahan daging dan kekangan kematian, dengan demikian memampukanku untuk bertahan hidup dengan gigih di sarang kegelapan ini. Ketika aku merenungkan tentang kasih dan keselamatan Tuhan, aku merasa sangat terinspirasi, dan aku memutuskan untuk melawan Iblis sampai akhir. Bahkan jika aku harus membusuk di penjara, aku akan berdiri teguh dalam kesaksianku dan memuaskan Tuhan.
Suatu hari, banyak polisi jahat yang belum pernah kujumpai sebelumnya datang untuk melihatku dan membahas kasusku. Tanpa sengaja, aku mendengar orang yang dianggap ahli berkata, "Dari semua interogasi yang pernah kulakukan, aku tidak pernah sedemikian keras kepada siapa pun seperti kepada perempuan jalang itu. Aku membuatnya tergantung dengan borgol selama delapan jam (sebenarnya enam jam, tetapi dia ingin pamer, takut atasannya akan mengatakan dia tidak berguna) dan dia tetap tidak mengaku." Aku mendengar suara wanita berkata, "Bagaimana kau bisa memukuli wanita itu dengan sangat buruk? Kau kejam." Ternyata di antara semua orang yang telah ditangkap, akulah yang paling menderita. Mengapa aku sangat menderita? Apakah aku lebih bejat daripada orang lain? Apakah yang kuderita adalah hukuman Tuhan kepadaku? Mungkinkah ada terlalu banyak kerusakan dalam diriku, dan aku sudah mencapai titik hukuman? Memikirkan hal ini, aku tak bisa menahan air mataku. Aku tahu bahwa aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh membiarkan Iblis melihat air mataku—jika dia melihatnya, dia akan percaya aku telah dikalahkan. Namun aku tidak bisa menahan perasaan sedih di hatiku, dan air mata mengalir di luar kendaliku. Di tengah keputusasaanku, aku hanya bisa berseru kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Saat ini, aku merasa sangat sedih. Aku terus ingin menangis. Kumohon lindungilah aku, hentikan aku dari menundukkan kepalaku di hadapan Iblis—aku tidak boleh membiarkannya melihat air mataku. Aku tahu bahwa keadaanku sekarang adalah salah. Aku menuntut dari-Mu dan mengeluh. Dan aku tahu bahwa apa pun yang Engkau lakukan, itu adalah yang terbaik—tetapi tingkat pertumbuhanku terlalu kecil, watak pemberontakanku terlalu besar, dan aku tidak mampu dengan senang hati menerima fakta ini, aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk keluar dari kondisi yang salah ini. Aku mohon agar Engkau membimbingku, dan memampukanku untuk menaati pengaturan dan rencana-Mu, dan tidak pernah lagi salah paham atau menyalahkan-Mu." Saat aku berdoa, satu bagian dari firman Tuhan melintas di pikiranku: "Engkau juga harus minum dari cawan yang telah Aku minum (inilah yang Ia katakan setelah kebangkitan), engkau juga harus berjalan di jalan yang telah Aku tempuh, engkau harus memberikan nyawamu untuk-Ku" ("Cara Petrus Mengenal Yesus" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Air mataku langsung berhenti. Penderitaan Kristus tidak dapat dibandingkan dengan penderitaan makhluk ciptaan mana pun, juga tidak dapat ditanggung oleh makhluk ciptaan mana pun—sedangkan di sini aku merasa diperlakukan tidak adil dan mengeluh kepada Tuhan karena merasa diperlakukan tidak adil setelah menderita sedikit kesukaran. Di mana hati nurani dan akal sehatku dalam hal ini? Bagaimana aku bisa disebut manusia? Setelah itu, aku merenungkan apa yang Tuhan katakan: "Walaupun demikian, kerusakan di dalam natur manusia harus diselesaikan melalui ujian. Dalam aspek mana saja engkau tidak lulus, dalam aspek itulah engkau harus dimurnikan—ini adalah pengaturan Tuhan. Tuhan menciptakan sebuah lingkungan untukmu, yang memaksamu dimurnikan di sana untuk mengetahui kerusakanmu sendiri" ("Bagaimana Memuaskan Tuhan di Tengah Ujian" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus"). Merenungkan firman Tuhan dan merenungkan diriku sendiri, aku mengerti bahwa apa yang diatur oleh Tuhan ditujukan pada kerusakan dan kekuranganku—dan inilah yang justru dibutuhkan oleh hidupku. Hanya melalui penderitaan dan penyiksaan yang tidak berperikemanusiaan inilah aku dapat menyadari bahwa aku terlalu memenuhi hawa nafsuku, bahwa aku egois, hina, menuntut Tuhan dan tidak puas menderita bagi Tuhan dan menjadi kesaksian yang bersinar bagi-Nya. Jika aku tidak mengalami penderitaan ini, aku akan terus berada di bawah kesan yang keliru bahwa aku telah memuaskan Tuhan; aku tidak akan pernah menyadari bahwa aku masih memiliki begitu banyak kerusakan dan pemberontakan di dalam diriku, apalagi mendapatkan pengalaman langsung tentang betapa sulitnya bagi Tuhan untuk melakukan pekerjaan-Nya di antara umat manusia yang rusak demi menyelamatkan mereka. Aku juga tidak akan pernah benar-benar meninggalkan Iblis dan kembali ke hadapan Tuhan. Kesukaran ini adalah kasih Tuhan bagiku, itu adalah berkat istimewa bagiku. Setelah memahami kehendak Tuhan, hatiku tiba-tiba terasa jernih dan cerah. Kesalahpahamanku tentang Tuhan lenyap. Aku merasa ada nilai dan makna yang besar dalam kemampuanku untuk menderita kesukaran hari itu!
Setelah mencoba segala yang mereka bisa, para polisi jahat itu tidak mendapat apa pun dariku. Pada akhirnya, mereka berkata dengan keyakinan: "PKT terbuat dari baja, tetapi orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa terbuat dari berlian—mereka lebih baik daripada PKT dalam segala hal." Setelah mendengar perkataan ini, dalam hatiku aku tak tahan untuk bersorak dan memuji Tuhan: "Ya Tuhan, aku bersyukur dan memuji-Mu! Dengan kemahakuasaan dan hikmat-Mu, Engkau telah mengalahkan Iblis dan mengalahkan musuh-musuh-Mu. Engkaulah otoritas tertinggi dan kemuliaan hanya bagi-Mu!" Baru pada saat inilah aku melihat bahwa sekejam apa pun PKT, mereka dikendalikan dan diatur oleh tangan Tuhan. Sebagaimana firman Tuhan katakan: "Semua benda di angkasa dan di atas tanah harus berada di bawah kekuasaan-Nya. Semua ciptaan itu tak bisa punya pilihan lain, dan harus tunduk pada pengaturan-Nya. Hal ini ditetapkan oleh Tuhan, dan merupakan otoritas Tuhan" ("Keberhasilan atau Kegagalan Tergantung pada Jalan yang Dijalani Manusia" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia").
Suatu hari, para polisi jahat itu datang untuk menginterogasiku sekali lagi. Kali ini mereka semua tampak agak aneh. Mereka menatapku saat mereka berbicara, tetapi sepertinya mereka tidak berbicara kepadaku. Mereka tampaknya sedang mendiskusikan sesuatu. Seperti sebelumnya, interogasi ini berakhir dengan kegagalan. Kemudian, para polisi jahat itu membawaku kembali ke selku. Dalam perjalanan, tiba-tiba aku mendengar mereka mengatakan bahwa sepertinya aku akan dibebaskan pada tanggal satu bulan depan. Mendengar ini, hatiku hampir meledak dengan kegembiraan: "Ini berarti aku akan bebas tiga hari lagi!" pikirku. "Akhirnya aku bisa meninggalkan neraka iblis ini!" Menyembunyikan kegembiraan di hatiku, aku berharap dan menunggu setiap detik berlalu. Tiga hari terasa seperti tiga tahun. Akhirnya, tanggal satu bulan itu tiba! Hari itu, aku terus menatap ke pintu, menunggu seseorang memanggil namaku. Pagi itu berlalu, dan tidak ada yang terjadi. Aku menaruh semua harapanku untuk bebas di sore harinya—tetapi sampai malam tiba, tetap saja tidak ada yang terjadi. Ketika tiba waktunya untuk makan malam, aku tidak merasa ingin makan. Dalam hatiku, aku merasa kehilangan sesuatu; pada saat itu, rasanya hatiku telah jatuh dari surga ke neraka. "Mengapa dia tidak makan?" tanya petugas lapas itu kepada para tahanan lainnya. "Dia tidak makan banyak sejak dia kembali dari diinterogasi hari itu," jawab salah seorang tahanan. "Pegang dahinya; apakah dia sakit?" kata petugas lapas itu. Seorang tahanan datang dan meraba dahiku. Dia mengatakan dahiku sangat panas, bahwa aku demam. Memang benar. Penyakit itu datang sangat tiba-tiba, dan sangat parah. Pada saat itu, aku pingsan. Selama dua jam, demam itu semakin memburuk. Aku menangis! Mereka semua, termasuk petugas lapas, memperhatikanku menangis. Mereka semua tercengang kebingungan: selama ini mereka memandangku sebagai orang yang tidak dapat dipikat oleh apa pun, juga tidak pernah menyerah meski dihajar, yang tidak meneteskan air mata setiap kali diperhadapkan dengan penyiksaan yang memilukan, dan yang telah digantung dengan borgol selama enam jam tanpa mengeluh. Namun hari ini, tanpa mengalami penyiksaan apa pun, aku menangis. Mereka tidak tahu dari mana datangnya air mataku—mereka hanya berpikir aku pasti sakit parah. Faktanya, hanya Tuhan dan aku yang tahu alasannya. Itu semua karena pemberontakan dan ketidaktaatanku. Air mata ini mengalir karena aku merasa putus asa ketika harapanku sia-sia dan pengharapanku telah pupus. Itu adalah air mata pemberontakan dan keluhan. Pada saat itu, aku tidak lagi ingin bertekad untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan. Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk diuji seperti ini lagi. Malam itu, aku meneteskan air mata kesedihan, karena aku tidak tahan lagi hidup di penjara dan aku membenci setan-setan ini—dan bahkan lebih dari itu, aku tidak suka berada di tempat yang mengerikan ini. Aku tidak ingin menghabiskan waktu sedetik pun lagi di sana. Semakin aku memikirkannya, semakin aku menjadi putus asa, dan semakin aku merasakan banyak keluhan, kesedihan, dan kesepian. Aku merasa seperti kapal yang kesepian di laut, kapal yang bisa ditelan air kapan saja; selain itu, aku merasa orang-orang di sekitarku begitu berbahaya dan mengerikan sehingga mereka bisa melampiaskan kemarahan mereka kepadaku kapan saja. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru: "Ya Tuhan! Aku mohon Engkau menyelamatkanku. Aku berada pada titik kehancuranku, aku bisa mengkhianati-Mu kapan saja dan di mana saja. Aku mohon agar Engkau menjaga hatiku dan memampukanku untuk kembali di hadapan-Mu sekali lagi, dan aku mohon agar Engkau mengasihaniku sekali lagi, dan memampukanku untuk menerima pengaturan dan rencana-Mu. Meskipun aku tidak dapat mengerti apa yang sedang Engkau lakukan sekarang, aku tahu bahwa semua yang Engkau lakukan adalah baik, dan aku meminta-Mu untuk menyelamatkanku sekali lagi, dan membuat hatiku berpaling kepada-Mu." Setelah berdoa, aku berhenti merasa takut. Aku mulai tenang dan merenungkan diriku, dan pada saat itu firman penghakiman dan pewahyuan Tuhan datang kepadaku: "Apakah engkau menginginkan daging, ataukah mendambakan kebenaran? Apakah engkau menghendaki penghakiman, ataukah kenyamanan? Setelah mengalami begitu banyak pekerjaan Tuhan, dan melihat kekudusan dan kebenaran-Nya, bagaimanakah seharusnya engkau mengejar? Bagaimana engkau harus menjalani jalan ini? Bagaimana seharusnya engkau melakukan kasihmu kepada Tuhan dalam tindakan nyata? Apakah hajaran dan penghakiman Tuhan berdampak apa pun dalam dirimu? Terlepas dari apakah engkau memiliki pengetahuan tentang hajaran dan penghakiman Tuhan itu tergantung pada apa yang engkau jalani, dan sampai sejauh mana engkau mengasihi Tuhan! Bibirmu mengatakan engkau mengasihi Tuhan, namun yang engkau hidupi adalah watak lamamu yang rusak; engkau tidak takut akan Tuhan, apalagi memiliki hati nurani. Apakah orang-orang seperti itu mengasihi Tuhan? Apakah orang-orang seperti itu setia pada Tuhan?... Mungkinkah seseorang seperti ini menjadi Petrus? Apakah mereka yang seperti Petrus hanya memiliki pengetahuan, tetapi tidak hidup di dalamnya?" ("Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman" dalam "Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia"). Setiap kata penghakiman Tuhan seperti pedang bermata dua yang menyerang kelemahanku yang mematikan, menumpukkan hukuman kepadaku: ya, sering kali aku bersumpah di hadapan Tuhan, mengatakan bahwa aku akan meninggalkan segalanya dan menanggung setiap kesukaran demi kebenaran. Namun hari ini, ketika Tuhan menggunakan kenyataan untuk meminta sesuatu dariku, ketika Dia membutuhkanku untuk benar-benar menderita dan membayar harga untuk memuaskan Dia, aku tidak memilih kebenaran atau kehidupan, tetapi secara membabi buta ditunggangi dengan kecemasan, kesusahan dan kekhawatiran karena kepentingan dan masa depan daging. Aku bahkan tidak memiliki iman sedikit pun kepada Tuhan. Bagaimana aku bisa memenuhi kehendak Tuhan dengan melakukan ini? Tuhan ingin apa yang kuhidupi berbuah. Dia tidak menginginkan sumpah kosong yang indah. Namun di hadapan Tuhan aku memiliki pengetahuan tetapi tidak memiliki kenyataan, dan terhadap Tuhan, aku tidak memiliki kesetiaan ataupun kasih sejati, apalagi ketaatan; aku hidup hanya dengan kecurangan, pemberontakan, dan penentangan. Dalam hal ini, bukankah aku adalah orang yang mengkhianati Tuhan? Bukankah ada adalah orang yang menghancurkan hati Tuhan? Pada saat itu, aku teringat ketika Tuhan Yesus ditangkap dan dipakukan di kayu salib. Satu demi satu, mereka yang telah sering menikmati kasih karunia-Nya meninggalkan Dia. Dalam hatiku, aku dipenuhi dengan penyesalan. Aku membenci pemberontakanku, aku membenci kurangnya kemanusiaanku, aku ingin sekali lagi berdiri, menggunakan tindakan nyata untuk membuat janjiku kepada Tuhan menjadi kenyataan. Bahkan jika aku harus membusuk di penjara, aku tidak akan pernah lagi menyakiti hati Tuhan. Aku tidak akan pernah bisa lagi mengkhianati harga darah yang telah dibayarkan Tuhan bagiku. Aku berhenti menangis, dan dalam hati, aku diam-diam berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, terima kasih karena telah mencerahkan dan membimbingku, dan karena mengizinkanku untuk memahami kehendak-Mu. Aku melihat bahwa tingkat pertumbuhanku sangat kecil, dan aku tidak memiliki sedikit pun kasih atau ketaatan terhadap-Mu. Ya Tuhan, saat ini aku ingin menyerahkan hidupku sepenuhnya kepada-Mu. Bahkan jika aku harus menghabiskan seluruh hidupku di penjara, aku tidak akan pernah menyerah kepada Iblis. Aku hanya ingin menggunakan tindakan nyataku untuk memuaskan-Mu."
Setelah beberapa saat, ada lebih banyak desas-desus yang mengabarkan bahwa aku akan dibebaskan. Dikabarkan bahwa waktunya hanya tinggal beberapa hari saja. Karena pengalaman yang telah kupelajari sebelumnya, kali ini aku agak lebih rasional dan tenang. Meskipun aku merasa sangat bersemangat, aku ingin berdoa dan mencari Tuhan, tidak pernah lagi membuat pilihan untuk diriku sendiri. Aku hanya akan memohon kepada Tuhan agar melindungiku sehingga aku dapat menaati semua pengaturan dan rencana-Nya. Beberapa hari kemudian, desas-desus itu sekali lagi tidak terjadi. Selain itu, aku mendengar petugas lapas mengatakan bahwa bahkan kalau aku sampai meninggal di penjara, mereka tidak akan membebaskanku, alasannya adalah karena aku tidak mau memberi tahu mereka alamat rumah dan namaku—jadi aku akan dipenjara untuk selamanya. Mendengar ini sangat berat bagiku, tetapi aku tahu bahwa ini adalah penderitaan yang harus kutanggung. Tuhan ingin aku menjadi kesaksian bagi-Nya, dan aku bersedia untuk menaati Tuhan, dan tunduk pada kehendak Tuhan, serta aku percaya bahwa segala perkara dan segala sesuatu berada di tangan Tuhan. Ini adalah Tuhan yang sedang menunjukkan kepadaku kasih karunia-Nya yang khusus dan mengangkatku. Sebelumnya, meskipun aku berkata aku akan membusuk di penjara, itu hanyalah harapan dan keinginanku sendiri—aku tidak memiliki kenyataan ini. Sekarang, aku bersedia untuk memberikan kesaksian ini melalui kehidupan yang kujalani dalam kenyataan dan membuat Tuhan menemukan penghiburan dalam diriku. Pada saat aku menjadi penuh kebencian terhadap Iblis dan bertekad untuk bertempur melawan Iblis sampai akhir, untuk benar-benar menjadi kesaksian yang tulus dengan membusuk di penjara, aku melihat kemahakuasaan dan keajaiban perbuatan Tuhan. Pada 6 Desember 2005, mobil gerbong penjara membawaku dari rumah tahanan dan meninggalkanku di pinggir jalan. Dengan demikian, kehidupanku selama dua tahun di penjara berakhir.
Setelah mengalami kesengsaraan yang mengerikan ini, meskipun dagingku telah mengalami banyak kesukaran, aku telah memperoleh seratus—bahkan seribu—kali lebih banyak: aku tidak hanya mengembangkan wawasan dan ketajaman, dan benar-benar melihat bahwa pemerintah PKT adalah perwujudan Iblis si setan, segerombolan pembunuh yang akan membunuh orang tanpa mengedipkan mata, tetapi aku juga telah memahami kemahakuasaan dan hikmat Tuhan, serta kebenaran dan kekudusan-Nya; aku jadi semakin menghargai maksud baik Tuhan dalam menyelamatkanku, dan pemeliharaan serta perlindungan-Nya terhadapku, dengan demikian memampukanku, selama mengalami kebiadaban Iblis, untuk mengalahkan Iblis selangkah demi selangkah, dan berdiri teguh dalam kesaksianku. Mulai hari ini dan seterusnya, aku ingin menyerahkan seluruh keberadaanku sepenuhnya kepada Tuhan, dan aku akan dengan setia mengikuti Tuhan, agar aku bisa didapatkan oleh-Nya secepat mungkin.
1 note · View note
sikopihitam-blog · 5 years
Text
Setelah berpacaran selama 6 tahun lebih akhirnya hari yang ku tunggu-tunggu itu pun tiba. Wanita mana sih yang gak bahagia dan senang bersanding sama orang yang sangat dicintainya? Setelah proses lamaran awal Januari, kedua orang tua kami sepakat untuk tanggal pernikahan di bulan Maret 1985. Persiapan pun kami lakukan. Mulai dari vendor, lokasi pernikahan, surat-surat yang harus kami urus untuk persyaratan nikah. Semua nya memang benar-benar menguras energi dan pikiran. Tapi kami bahagia di repotkan dengan hal semacam ini, toh kita menjalaninya bener - bener berdua. Suatu hari kita mau beli souvenir. Aku dan calon suamiku sepakat untuk membeli souvenir di salah satu pasar tradisional di Jakarta Utara. Setelah janjian beberapa jam, kami pun jalan menuju pasar. Namun saat di tengah perjalanan, calon suami saya pun tiba - tiba membatalkan rencana dengan alasan perutnya melilit. Jujur aku kecewa, tapi untuk kali ini aku mengalah. Akhirnya kami berhenti di salah satu kedai makanan. Dalam hati aku hanya berdoa jika ada sesuatu yang dia sembunyikan dari aku Ya Tuhan tolong tunjukkan kebenarannya. Setelah kami memesan makanan, calon suami ku pun bolak - balik ke kamar mandi. Disitu dia meninggalkan telepon genggamnya di meja makan. Tanpa bermaksud kepo, aku iseng liat - liat aplikasi chatting. Karena kami terbiasa bertukar telepon genggam tanpa ada privacy. Di dalam telepon genggamnya ada beberapa kontak “Pak Joko” dan “Pak Jono” dengan photo profil wanita.. lalu aku buka kontaknya tapi ternyata kontak ini di blokir. Makin besar rasa curigaku terhadap calon suamiku. Selama pacaran aku percaya saja dia tidak akan mengkhianatiku. Calon suamiku itu bukan laki-laki yang mata keranjang dan orang yang sangat-sangat cuek dan sedikit pendiam. Tapi ternyata selama ini aku salah. Di salah satu kontaknya aku menemukan kontak yang diblokir itu, lalu save kontak itu di telepon genggamku. Kemudian aku coba misscall ternyata yang mengangkat teleponnya ini wanita. Sambil aku tanya, sambil memastikan apakah benar kontak yang dimaksud adalah “Pak Jono” atau “Pak Joko” ternyata mereka wanita namanya ITA!!! dan INA!!!! dan setelah saya cek terakhir kali calon suamiku menelepon cewek - cewek ini sekitar tanggal 8 Januari, padahal tanggal 6 Januari dia habis bertemu orangtuaku. Duh betapa sakitnya hatiku. Ternyata selama ini dia telah menyelingkuhi aku. Bagaimana bisa dia berselingkuh setelah meminta kepada kedua orangtuaku untuk menikahiku. Lalu aku mencoba untuk menanyakan ke calon suami saya. Apakah kenal sama Pak Joko dan Pak Tono? dia bilang itu teman kantornya. Lalu aku tanya kenapa photo profilnya cewek dia bilang itu photo pacar/ istrinya. Kemudian barulah aku tehaskan kenapa kontaknya diblok padahal itu teman kantornya, dia bilang malas karena “si temannya” ini sering pinjam uang dan minta pulsa. Saat dia berbicara terlihat muka calon suamiku sedang berbohong, dia merangkai semuanya agar terlihat aman. Lalu aku mencoba tarik nafas sebentar, lalu minta ijin untuk menelepon nomor tadi di depan calon suamiku. Setelah diangkat ternyata perempuan dan aku menanyakan kepada mereka apakah kenal dengan calon suamiku? mereka bilang kenal dan pernah bertemu, mereka mengaku ada hubungan special antara mereka. Aku menangis, marah, kecewa, sakit hati rasanya seperti beribu-ribu jarum menusuk hati ini. Lalu aku pulang dengan perasaan hancur atas pengkhianatan yang dia lakukan. Aku ingin dia menjelaskan apa arti semua itu. Tadinya dia tidak mengakuinya tapi setelah aku tunjukkan semua bukti yang aku temukan barulah dia mau jujur sama aku. Katanya wanita itu iseng nemu di aplikasi line. Mereka bertukar kontak, dan perihal tanggal 8 kemarin katanya dia ingin menyudahi hubungannya itu dengan selingkuhannya. Katanya dia berhubungan cuma 2 bulan karena khilaf. Ya Allah berarti selama ini aku sudah diduakan. Dan bodohnya lagi aku begitu mempercayainya. Sebagai seorang wanita tentu aku marah-marah padanya. Walaupun masih dalam batas wajar, dan aku berusaha meredam emosiku sendiri. Aku tanya kenapa dia tega mengkhianatiku, padahal selama pacaran aku berusaha setia padanya. Bahkan disaat dia di titik 0 aku selalu berusaha agar dia mendapatkan puncak 100. Aku selalu berusaha jadi yang terbaik untuknya. Dan balasannya pengkhianatan yang dia lakukan. Dia hanya minta maaf, katanya dia hanya mencintai dan menyayangiku, dia benar - benar khilaf dan menyesal. Ah entahlah itu benar atau tidak, yang pasti aku sangat kecewa. Lalu aku bilang kenapa baru sekarang aku mengetahuinya kenapa tidak dari kemarin-kemarin. Katanya itu kan masa lalu dan kita tidak harus membicarakannya. Ya Tuhan semudah itu dia ngomong seperti itu. Apa dia tidak memikirkan perasaanku sebagai seorang wanita? Dan mungkin kalau saja aku tidak menemukan kontak - kontak itu aku tidak akan tahu bahwa pasanganku ternyata pembohong. Selama beberapa hari aku tidak mau bertemu dengannya. Saat itu hanya menangis dan menangis yang aku bisa. Aku berusaha berdamai dengan keadaan, aku memaafkan dan mengikhlaskan walaupun berat. Aku tidak menceritakan hal ini dengan kedua orang tuaku. Aku sudah tidak semangat lagi mengurusi pernikahanku. Bahkan aku sempat berpikir untuk membatalkan saja pernikahan yang tinggal beberapa bulan lagi. Aku jadi bimbang dan ragu dengan keputusanku. Kalau pernikahan ini tetap dilanjutkan apakah nantinya calon suami ku akan jujur dan mengkhianatiku lagi? Toh dulu juga dia pintar menutupi kebusukannya. Entah dulu berapa banyak wanita yang sudah dipacarinya. Kalau diingat-ingat, aku jadi gila rasanya. Aku hanya bisa berdoa memohon pada Yang Kuasa. Aku adukan semua perih yang terasa kepada-Nya. Akhirnya aku utarakan keinginan ku untuk membatalkan pernikahan kami, tapi calon suamiku tidak mau. Dia ingin kami tetap menikah, karena bagaimana perasaan orang tua kita berdua nanti. Suatu hari aku kaget, di telepon oleh ibu mertuaku untuk minta menyelesaikan permasalahan dengan calon suamiku. Sontak aku kaget, ternyata calon suamiku telah jujur menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi diantara kami. Ibu mertuaku sangat kecewa terhadap perilaku anaknya dan meminta maaf kepadaku. Membujuk agar hubungan kami seperti dulu lagi, dan melanjutkan tanpa ada perselisihan. Persiapan sudah beres semua, tinggal menyebarkan undangan. Calon suami juga bilang dulu dia khilaf. Dia benar-benar mencintai ku dan ingin menikah denganku. Dia juga berjanji tidak akan mengkhianatiku. Dia merasa bersalah sudah mengkhianatiku. Orang yang benar-benar mencintainya dan mau berkorban apapun untuknya. Jujur aku pun masih sangat mencintai calon suamiku. Karena memang hanya dia yang ada di hati saya. Dan aku takut kehilangan dia. Ya ternyata cinta memang bisa mengalahkan segalanya. Aku maafkan dia dan akhirnya kami tetap menikah. Aku percaya setiap orang punya masa lalu, asalkan dia mau benar-benar berubah untuk menjadi lebih baik kenapa kita tidak mendukungnya? Sekarang pernikahan kami sudah menginjak usia 28 tahun dan dikaruniai 9 orang anak. Alhamdulillah suami tidak mengulangi lagi hal yang dulu pernah dia lakukan terhadapku. Kami berusaha tetap saling percaya, jujur, terbuka tentang segala hal. Semoga saja pernikahan ini tetap SaMaWa hingga ajal yang memisahkan.
8 notes · View notes
mizirilli · 5 years
Text
21:14
Kamu tau kenapa aku tidak langsung memberitahukan mereka, karena aku tidak ingin mereka berpikir bahwa aku adalah seorang pembohong, pemimpi yang memiliki harapan tinggi, atau yang lainnya.
Karena itu hanya bunga tidur dan tidak semua bunga tidur memiliki makna yang indah. Bagaimana jika bunga tidur yang dimaksud adalah buruk? Sangat buruk malah. Tidak ada yang tahu bukan, aku juga tidak tahu makna yang sebenarnya. Terus, bagaimana aku bisa tahu? Dengan cara memastikan.
Menunggu, berdoa, yakin.
Menunggu selalu dilakukan oleh semua orang. Berdoa juga selalu dilakukan semua orang. Apalagi yakin, juga sama. Tapi kamu tahu, aku sebelumnya tidak yakin, karena aku merasa aku tidak pantas masuk diantara mereka. Aku masih kurang dalam hal apapun, karena itu aku terkejut jika namaku masuk. Setelah masuk aku yakin, jika aku bisa. Aku bisa berubah walaupun terlambat, tapi aku yakin aku bisa dengan berdoa dan bersabar. Karena aku yakin Allah mempunyai rencana yang lebih baik daripada rencanaku.
Aku senang dan terharu, tapi aku yakin dibalik senang dan haruku ada mereka yang sedih dan kecewa. Kenapa mereka tidak masuk? Apakah mereka orang bodoh? Mereka tidak pantas? Mereka dikhianati oleh hasil? Atau ada jalan yang lain yang dapat diambilnya.
Aku tidak tahu dan aku ingin tahu. Kenapa? Kenapa terjadi dengannya? Dia adalah teman sekaligus partner yang selalu mendukungku. Kita salinh mendukung satu sama lain tapi kenapa engkau pisahkan dirinya denganku. Apa salah dia? Apa kau punya rencana lain untuk dirinya? Tapi kenapa engkau pisahkan dia denganku? Dia tidak salah. Apa aku boleh menyebutnya sebagai ketua geng? Karena dialah mereka belajar, mendengarkan apa yang seharusnya mereka dengarkan, mengerjakan tugas sebagai semestinya. Tapi kenapa? Kenapa harus dia yang mendapatkan kesedihan dan kekecawaan ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya bisa mendukungnya, selalu memberikannya support, berdoa untuk dirinya, dan memberitahu dia jika kau memiliki rencana yang lebih baik.
Aku hanya ingin menyampaikan terimakasihku untuk mu dan maafkan ku untukmu. Aku tahu aku masih kurang dalam hal apapun, tapi aku mau menyampaikan rasa terimakasih dan maafkan sedalam-dalamnya.
2 notes · View notes
oktastika · 3 months
Text
Bohong yang Diperbolehkan: Menjelajahi Etika dan Konsekuensi
Bohong sering dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan tidak dianjurkan dalam komunikasi sehari-hari. Namun, ada situasi tertentu di mana bohong diperbolehkan atau dianggap wajar. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi fenomena bohong yang diperbolehkan, menggali sudut pandang etika yang berbeda, mempertimbangkan konteks yang relevan, dan mengkaji konsekuensi yang mungkin timbul dari…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
mypeanutbutter · 6 years
Text
Aku sedih, entah kenapa...
Yang pasti malam ini baru terasa perihnya pasca kehilanganmu...
Ya, malam ini biasanya adalah malam yang paling aku tunggu dalam seminggu...
Karena hanya di malam ini biasanya aku bisa bertemu kamu di sela-sela sibukmu
Tapi semua berubah akhir-akhir ini...
Kau tak lagi sempat
Katamu, pekerjaanmu banyak yang harus diselesaikan
Bodohnya, aku percaya...
Dan kemarin...
Kau membuat pengakuan padaku...
Katamu, kau lelah membohongiku...
Bohong apa? Aku merasa kebingungan, karna menurtku kau masih mencintaiku dengan baik...
"Aku memiliki kekasih lain" ucapmu lirih
Seketika runtuh duniaku, pecah tangisku...
Bagaimana bisa? Lelaki yang amat sibuk dengan pekerjaannya itu, yang tak punya waktu itu...
Ternyanta mendua? Bagaimana kau membagi waktu? Sedangkan yang ku tau makan pun kau sering terlewat...
Disini aku yang bodoh? Atau kau yang brengsek?
Jadi kemarin-kemarin itu waktu sibukmu bukan bekerja? Ternyata kau mencuri waktu "kita" untuk membersamai perempuan lain?
Aku harus sebut kau apa? Pembohong? Pengkhianat? Brengsek? Apalagi...
Tapi nyatanya hanya tangis yang keluar...
Aku tak sanggup berucap, pun memaki...
Aku hanya ingin kau angkat kaki dari hidupku detik ini juga...
Pergilah sayang, karena aku sudah tak lagi kau sayang...
Lalu malam ini, apakah sedang kau habiskan dengan perempuan barumu?
3 notes · View notes
dryyyy30 · 3 years
Text
Why ?
Kenapa tidak ada tempat untuk menuangkan emosi yang dirasakan. Kenapa hanya "Bahagia" saja yang bisa di terima.
Aku adalah aku yang juga punya rasa gagal, iri, marah. Aku jg berusaha untuk diriku, aku juga berusaha menolak perasaan itu. Aku bukan seorang pembohong. Aku hanya belum mampu untukmengontrolnya. Aku bukan manusia hebat untuk menghilangkan perasaan buruk itu dengan sekejap mata. Aku bukan perempuan sempurna yang tidak pernah merasakan semua emosi buruk itu.
Aku tidak ingin di marahi, dituduh, diberikan kata kata negatif. Dibilang pembohong, dibilangi egois, dituduh ini itu bahkan ketika aku bukan sengaja melakukannya. Apakah kamu punya pikir itu membuatku akan lebih baik ? Apakah kamu pikir dengan memarahiku membuatku berubah ? Apakah kamu pikir dengan menghilang, tidak bisa dihubungi akan membuatku menjadi manusia yang hanya kenal bahagia.
Tidak... Sama sekali tidak, itu malah membuatku semakin yakin aku ditakdirkan untuk menjalani kehidupan yang buruk. Semakin kamu mengatakan aku egois, pembohong, dan seluruh perkataanmu membuatku semakin buruk.
Kamu memaksaku memahamimu, kamu memaksaku meminta maaf kepadamu, kamu mengakui kesalahanku. Kamu memaksaku harus peduli dengan yang kamu rasakan.
Aku tidak pernah berbuat salah kepadamu. Untuk hal salah yang aku lakukan itu adalah diriku. Aku seharusnya minta maaf kepada diriku sendiri karena belum berhasil, karena masih harus saja terus sedih, karena harus saja terus terusan gagal, karena harus saja terus merasa tertinggal.
Kenapa disaat aku yang ingin di mengerti, malah kamu yang marah-marah, memintaku untuk mengerti kamu.
Aku butuh support, aku butuh dipahami, aku butuh untuk dibuat merasa beruntung, aku butuh untuk dibuat tidak merasa gagal. Bukan dimarahi, bukan dengan semua perkataan buruk yang sangat bikin perasaanku semakin buruk, aku butuh tempat untuk ngobrol bukan malah aku dihindari karena kamu tidak terima aku melakukan hal buruk.
0 notes
rahasiabulannn · 3 years
Text
Tumblr media
Little letter for the unpredictable person..
Beberapa bulan lalu, kita dipertemukan semesta. Tidak pernah terlintas sebelumnya kamu yang akan jadi orangnya, sang pemeran pengganti. Tabiat dari awalku yang tak pernah berubah, selalu jutek sama orang. Tidak bisa terbuka dengan orang baru, tidak mau berusaha untuk bisa bikin suasana jadi hepi. Rasanya aku mengalami dejavu sama awan yang aku temui 2018 lalu. Kesel keterlaluan eh akhirnya ketulah sendiri. Aku besar di lingkungan yang semuanya perempuan, jujur rasanya ga nyaman kalau harus sebelahan sama lawan jenis apalagi dalam waktu yang lama. Biasanya aku bakal manyun dan yaa pokonya menunjukkan gerak gerik yang tidak nyaman. Aku bukan orang yang begitu pandai menyembunyikan perasaan, aku cenderung ekspresif dan pengen seluruh dunia tau sama apa yang aku rasakan. Entah ya dari kapan aku mulai mau membuka diri sama lingkungan baruku dan berdamai sama itu semua. Dari pergi ke tempat itu barengan, sampai kebawa di kehidupan sehari-hari. Aku ga akan munafik untuk mengakui kalau sebulan terakhir aku emang ngerasa tembok yang aku bangun sendiri udah mulai runtuh. Entah kenapa kamu orangnya, entah kenapa kalau aku panik dan kesel kamu jadi orang yang jadi tempatku cerita. Entah sejak kapan notif dari kamu jadi sesuatu yang aku tunggu.
Aku masih inget banget gimana kesel dan risihnya aku dulu berubah total sekarang. Saat aku bilang sama orang kalau aku takut baper sama kamu, sebenernya aku tahu kalau aku mulai ngerasain itu dan terus denial sama diriku sendiri. Di usiaku saat ini, aku nggak bisa terlalu deket sama orang yang bikin aku sampe harus naruh hati ke dia apalagi kalau aku tahu hal itu cuma stuck dan nggak bisa dibawa kemana-mana ke depannya. Aku mulai sadar sama perasaanku tapi aku juga gabisa dan gamau meneruskan ini kalau akhirnya bakalan nyakitin salah satu pihak atau bahkan kita berdua. Aku nggak akan jadi pembohong dengan bilang kamu gak layak untuk dapet pasangan yang baik, because you're really deserve the good things from this world tapi sepertinya aku belum bisa jadi orang baik itu. Aku nggak tahu gimana perasaanmu juga, apakah telfon, vc, tawa, dan cerita selama ini hanya sebatas yaudah daripada gabut aja atau lebih dari itu. Aku pengen tahu, aku pengen bilang, tapi aku juga nggak siap untuk tahu dari kamu. Bisa nggak ya kita kaya gini terus aja tanpa peduli bakal gimana nanti akhirnya? kenapa aku jadi risau kalau kamu nggak ada kabar yang padahal itu sama sekali bukan urusanku.
Terima kasih untuk semuanya, kak. Makasih udah mau berbagi ceritanya sama aku, saat kesel, marah, seneng, ketawa. Makasih udah bisa jadi temen yang nggak cuma ngakak bareng. Makasih sudah percaya sama aku. Am really proud of you, atas semua perjuangan kamu di hidupmu yaaa meskipun diiringi sama keangkuhanmu itu HAHAHA! Jalanmu ke depan masih panjang, jutaan mimpi dalam genggamanmu. Good luck ya! untuk semua rencana baik yang akan kamu lakukan, semoga Allah berkahi. Semoga senantiasa ia bantu kamu di setiap langkahmu. Jalan ke depan mungkin tidak selalu mudah, tapi kamu selalu punya pilihan untuk berusaha dan berdo'a. Maafkan aku yang pengecut ini, tapi kamu akan selalu jadi rahasia yang ingin aku pendam saja, dan ku telan kuncinya. Aku akan selalu disini, anytime kamu bisa kontak aku. Setelah semuanya selesai nanti, semoga kita masih bisa dan akan selalu jadi teman baik!
0 notes
choqi-isyraqi · 7 years
Text
APAKAH YANG BURUK, AKAN TERUS BURUK?
Jika kita bertanya, akankah pembohong terus berbohong? Akankah penipu terus menipu? Akankah orang buruk terus berprilaku buruk? Jawabannya, tidak. Akan ada saat, dimana setiap orang akan berubah menyadari bahwa apa yang ia lakukan itu salah dan tidak akan diulangi. Namun, semua memiliki waktunya masing-masing
 KAPAN ORANG MENYADARI INI BURUK
Setiap orang yang berperilaku buruk, akan berusaha merubah keburukannnya menjadi kebaikan, ketika ia menyadari bahwa keburukan yang ia lakukan, berdampak pada hidupnya. Dalam islam, yang saya percaya, ada dua masa dimana orang pasti akan berubah, ketika hidup dan ketika mati.
Ketika hidup, banyak orang-orang yang sesungguhnya tahu, bahwa apa yang ia lakukan itu memang buruk. Namun ia tidak peduli, karena ia tidak merasakan kerugian. Ia tutup mata dengan segala bentuk keluhan atas apa yang ia perbuat, selama ia bisa mengambil keuntungan darinya.
Seperti pedagang yang menipu, seperti pemegang uang yang berhobong, seperti mereka yang berpura-pura, termasuk juga orang yang berbicara manis, gombal, padahal berisi kedustaan, agar ia bisa menaklukan hati seseorang yang dia inginkan. Mereka semua tidak akan berhenti, sebelum keburukan itu menimpa mereka sendiri.
Itu kenapa, orang-orang yang ber”hijrah”, banyak yang datang pada kebaikan setelah ia mengalami keburukan serta keresahan yang menimpa dirinya. Entah itu tertipu, terjerumus obat-obatan, dipermalukan, bankrut, dan berbagai keburukan lainnya. Hal ini yang melahirkan empati, sehingga ia merasakan, ketika dia berbuat buruk, maka itu pun akan berimbas buruk bagi orang lain.
Tapi, ada pula orang yang tidak pernah menyadarinya selama hidup, melainkan ketika ia mati. Kapan? Dalam Qur’an, dijelaskan bahwa orang-orang yang berlaku buruk, akan menyadari segala keburukannya, ketika ia akan dimasukan ke dalam ke neraka. Kala itu, sebagaimana kuatpun orang tersebut di dunia, tidak akan berlaku di akhirat kelak. Dipastikan, orang tersebut akan menyesali dan ingin memperbaikinya, namun di negeri akhirat, orang tidak akan bisa kembali barang sedetikpun.
 MASA DEPAN TIDAK BISA DIPREDIKSI OLEH MASA LALU
Apakah orang yang berhobong akan terus berhobong? Tentu tidak. Seperti jawaban di atas, dia akan berubah setelah ada “kejadian”. Maka, jika hari ini kamu didatangi orang yang berbohong, lantas kamu percaya, itu tak mengapa. Tapi yang menjadi masalah, adalah ketika kamu tahu selanjutnya ia akan berbohong, kamu tidak memberi “pengingat” agar dia merubah kebohongannya. Karena jika kita diam saja atau pasrah, niscaya pasti dia akan kembali berbohong.
Itu kenapa, dalam islam, ketika pasangan itu melakukan kesalahan-kesalahan yang notabene berat dan tidak bisa dimaafkan dengan mudah, maka ia berhak untuk diberi “perlakuan”, seperti pisah ranjang, atau dipukul (dalam konteks yang islami, bukan kekerasan), dan berbagai hal lainnya, sebagai “pengingat” bahwa apa yang ia lakukan, akan kembali pada dirinya kembali.
MEMBERI KESEMPATAN
Betul, setiap orang punya kesempatan untuk menjadi baik. Maka kita wajib memberikan kesempatan, memberi panggung untuk dia menunjukan perubahannya. Tapi yang perlu dipastikan dalam memberi kesempatan adalah, pastikan bahwa ia memang mendapatkan “pengingat”. Karena memberikan kesempatan tanpa mengingatkan untuk berubah, itu sama saja dengan melanjutkan rangkaian keburukan yang telah terjadi.
APAKAH YANG BURUK, AKAN TERUS BURUK? Bandung, 15 September 2017 | ©Choqi_Isyraqi
338 notes · View notes