Tumgik
#NU dalam Wacana Kebangsaan
Text
Bahaya Paham Radikal di Platform Digital
Bahaya Paham Radikal di Platform Digital
tebuireng.co – Bahaya paham radikal di platform digital sudah mulai terasa ketika teroris belajar agama secara online dan melakukan bom bunuh diri atas nama jihad. Dampak lainnya membuat relasi keagamaan dan kebangsaan semakin merenggang. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar membeberkan, sebanyak 600 akun media sosial (medsos) terindikasi mengandung…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Hijrah dari Paham Radikal
Tumblr media
Paham radikal memang sering mengatasnamakan jihad militansi agama, jihad yang disertai modus agama mudah laku di kalangan masyarakat global, termasuk Islam yang dianggap agama paling benar. Namun, masif persepsi masyarakat bahwa Islam terafiliasi dengan tindakan radikal. Diantaranya, perbuatan intoleran, dan penuh kebencian. Radikalisme adalah gerakan fundamentalis, skriptualis, dan tekstualis yang hanya mengatasnamakan Islam, garis Islam sempalan ini banyak muncul di pelbagai penjuru negeri di dunia, invasi gerakan kelompok esktrem yang ada di Indonesia justru menginginkan negara yang berdasarkan Pancasila agar menjadi negara Islam. Aspirasi kelompok ekstrem tersebut tampaknya menentang kesepakatan final NU-Muhammadiyah. Bahwa, Indonesia adalah negara Pancasila yang mana penekanan dua arah Islam ini datang dari kedua Ormas. Pertama, Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Islam Nusantara. Artinya, Islam yang mengakui adanya budaya di jagat Nusantara (Islam tradisional). Kedua, Muhammadiyah, yakni Islam yang cenderung terhadap pemurnian atau pun pembaruan Islam (tajdid) itu sendiri. Peran kedua kelompok Islam ini (NU dan Muhammadiyah) cukup berkontribusi dalam kemerdekaan negara Indonesia. Dimana model pemahaman yang dikembangkan tujuannya adalah untuk meneguhkan Islam yang penuh rahmah. Islam yang rahmatan lil ‘alamin ini dapat mendorong Islam moderat memberikan spirit perlawanan terhadap kelompok paham radikalisme. Dalam konteks ini, radikalisme merupakan paham yang sangat luar biasa membahayakan negara. Karena mau bagaimana pun, negara tidak mungkin untuk menjadi alat penindas agama. Peran NU & Muhammadiyah Meskipun Indonesia didominasi masyarakat Islam, lantas tidak harus mengadopsi kelompok penyebar Islam ekstrem. Karena itu, di negara Pancasila memang masyarakatnya sudah banyak menekankan terhadap Islam yang penuh rahmah. Antara lain, menjaga persaudaraan Islam (ukhwah Islamiyah), persaudaraan sesama manusia (ukhwah basyariyah), persaudaraan sebangsa setanah air (ukhwah wathaniyah). Paham radikal faktor awal yang menimbulkan peperangan, dan perpecahan. Bahkan, dengan bahaya laten radikalisme. Agama, dan negara bisa menjadi pecah serta dapat menghilangkan model keislaman yang cenderung enklusif (NU-Muhammadiyah). Hal ini perlu kita pikirkan bersama untuk memerangi radikalisme yang menjadi pemicu perpecahan. Terutama NU sendiri yang sampai detik ini mempertahankan tradisi keislamannya. Yaitu, mengadopsi pendidikan tradisional alias pesantren yang di dalamnya terdapat banyak santri belajar keislaman yang lebih melekat pada tradisi yang murni lahir dari Indonesia. Dan pesantren NU sangat dikenal sebagai organisasi yang sangat kontekstual dalam mengikuti wacana-wacana keagamaan. Dari perspektif ini, sangat jelas bahwa dengan Islam yang rahmah-moderat ini setidaknya mampu memerangi kelompok paham radikalisme, tanpa peran NU-Muhammadiyah radikalisme di Indonesia potensial akan selalu bangkit. Pandangan seperti demikian perlu kita luruskan secara sosio-kultur-historis agar tidak kerap mementingkan egonya. Proaktif Melawan Radikalisme Pandangan kebangsaan Muhamad Mustaqim dalam karyanya (Politik Kebangsaan Kaum Santri: 2015), menegaskan, “keberhasilan NU merepresentasikan Islam Indonesia sebagai Islam yang ramah dan toleran adalah sebuah kearifan kebangsaan. Pada titik ini, NU tidak pernah menancapkan ideologinya di kancah internasional, sebagaimana kemunculan ideologi trans-nasional yang akhir-akhir ini marak terjadi”. Tidak lepas dari peran NU pun, Muhammadiyah juga berkomitmen memerangi kelompok ekstrem (radikalisme), terutama kalau ingin menginginkan Indonesia sebagai negara Islam Indonesia (NII). Dalam kenyataannya, paham radikaslime merupakan masalah krusial yang menghambat adanya Islam rahmatan lil ‘alamin, dan perlu kita perangi bersama-sama. Paham Islam sempalan ini sangat tidak mudah bagi masyarakat Indonesia untuk mengubur kelompok-kelompok ekstrem yang menggunakan jihad militansi agama. Di satu sisi, pemahaman ekstrem gampang memicu perpecahan di kalangan umat beragama, khususnya bagi umat Islam sendiri yang terlalu mudah terprovokasi dengan misinya. Di tengah jiwa nasionalisme dan agama yang amat tinggi di kalangan masyarakat NU-Muhammadiyah, tentu ini adalah suatu keniscayaan yang dapat menjadikan Islam di negeri ini sangat responsif terhadap persoalan sosial, termasuk dalam upaya mewujudkan Islam kebangsaan, dan Islam kemanusiaan. Dengan dimensi Islam yang demikian setidaknya mampu menjaga identitas keislaman Indonesia agar ikut serta dalam menganggulangi paham radikalisme. Oleh: Hasin Abdullah, Peneliti Muda Bidang Hukum UIN Jakarta, sekaligus Alumni SMA-Tahfidz Darul Ulum Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan. Read the full article
0 notes
malangtoday-blog · 5 years
Photo
Tumblr media
Kader Muda NU Dukung Revisi UU untuk Kuatkan KPK
Kantor KPK. ILUSTRASI. Foto: Dok. JPNN.com
jpnn.com, JAKARTA – Kader muda Nahdlatul Ulama mendukung revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menguatkan lembaga antirasuah itu.
Perwakilan kader muda NU Gus Soleh Marzuki menjelaskan, revisi UU tersebut tidak membuat kewenangan lembaga antirasuah itu menjadi lemah dalam menindak praktik korupsi di Indonesia.
“Mengenai revisi UU KPK berpendapat menyepakati sebab khususnya mengenai pengawasan disini. Kalau pengawasan untuk menuju suatu bentuk kesempurnaan. Bukan melemahkan KPK,” kata Gus Soleh dalam jumpa pers di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (10/9).
Ketua Jemaah Pengajian Kebangsaan (JPK) itu juga menuturkan, adanya dewan pengawas yang bertugas untuk melakukan pengontrolan terhadap KPK adalah hal yang baik untuk kinerja lembaga antirasuah ke depannya.
Permasalahannya, kata dia, wacana dewan pengawas itu dibentuk opini sebagai salah satu upaya pelemahan.
Menurut Gus Soleh, idealnya setiap organisasi atau lembaga memang memiliki dewan pengawas. Bahkan, dia mencontohkan, di NU pun memiliki struktur pengawasan.
“Lemahnya masyakarat kita umumnya tidak mau membaca secara tuntas. Dan banyak terkesan dengan adanya revisi ini melemahkan. Bicara pengawasan ini penting. Jadi kami saling menasehati, di dalam organisasi NU ada pelaksana dan ada penasihat atau pengawas,” tutur dia.
Di sisi lain, Gus Soleh mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak mudah termakan dengan opini bahwa revisi UU KPK justru melemahkan kinerja lembaga antikorupsi tersebut.
“Tidak usah khawatir bacalah revisi ini. Jangan mendengar dan membaca dengan sempurna diajak ikut demo. Pengawasan penting. Di lembaga keagamaan saja baik NU, Muhammadiyah maupun MUI itu ada pelaksana dan pengawas. Tujuannya mengawasi agar bekerja lebih profesional dan maksimal,” jelas Gus Soleh. (tan/jpnn)
Source : https://malangtoday.net/flash/nasional/kader-muda-nu-dukung-revisi-uu-untuk-kuatkan-kpk/
MalangTODAY
0 notes
insureksi · 5 years
Text
Nasionalisme, Lain Dulu dan Sekarang
Seperti wahana halilintar yang hendak melaju kembali setelah perjalanan terakhirnya, belakangan ini konflik rasial hingga politik identitas kembali bergema dengan poros dan alur yang sama di setiap tahunnya. Dalam hal ini pula, wacana “nasionalisme” turut dikumandangkan sebagai pembenaran atas siklus rasisme yang kerap menimpa masyarakat Papua.
Peran pemerintah dan aparat sendiri dirasa tidak pernah tepat dalam menyikapi hal-hal yang bersifat tendensius. Pasalnya, layak sel kanker yang bermutasi dari satu organ ke organ lainnya,  ketidaktepatan dosis morfin dan obat kemoterapi pada tubuh justru akan menimbulkan masalah baru, berupa metastase penyebaran sel-sel ganas di lokasi lain. Sebuah analogi yang telah terbukti di Manokwari. Gedung parlemen daerah dibakar, jalan raya lumpuh, hingga terhentinya aktivitas sipil akibat mobilitas warga yang turun ke jalan untuk menuntut kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua yang terjadi di Surabaya tepat satu hari sebelumnya.
Jika kita tarik balik, politik identitas merupakan warisan pemerintah era kolonial – yang pada saat itu dipengaruhi oleh kondisi historis. Perkembangannya pun memiliki karakter unik, yang jika dibandingkan dengan kejadian saat ini tergolong signifikan. Tumpang tindih antara perjuangan dengan kesadaran kelas, rasa muak dan marah terhadap pemerintah kolonial, hingga semakin munculnya wawasan kebangsaan, semuanya saling berkesinambungan. Bahkan dalam batasan tertentu, kita bisa melihat nasionalisme radikal dan gerakan ‘kiri’ menjadi bias dan tidak terpisahkan karena tujuan-tujuan politik anti-kolonial.
Di balik itu, kita harus menyadari bahwa pembebasan nasional (national liberation) dan gerakan nasionalisme (nationalism movement) merupakan dua term yang berbeda. Sebab pembebasan nasional – walau seringkali muncul bersamaan dengan wawasan kebangsaan – bisa saja terpengaruh dengan berbagai gagasan dari beragam spektrum ideologi politik, termasuk anarkisme. Seorang pembebas nasional selalu menganggap dirinya sebagai “penghuni dunia”. Secara umum, ia mendukung perjuangan pembebasan sebagai bagian dari perjuangan yang luas untuk kebebasan manusia, namun tetap menolak aspirasi negara dan kesetiaan eksklusif nasionalis.
Karenanya, sikap patriotik berlebih sangatlah mengganggu keberlangsungan pembebasan itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan pemerintah kolonial yang kerap membawa politik identitas sebagai makanan sehari-hari masyarakat Hindia saat itu. Sebagai contoh; hanya orang kulit putihlah yang dapat bersekolah. Sikap tersebut lambat laun ditiru oleh masyarakat Hindia sebagai pilar dari gerakan nasionalisme. Sayangnya, nasionalisme yang pada zamannya bermunculan untuk menyatukan lintas-suku dalam melawan imperialisme dan berbagai macam kata ganti lainnya (penjajahan), kini telah digunakan kembali untuk menindas sesama bangsanya atas nama ‘persatuan’.
Oleh karena itu, seorang anarkis kontemporer pasca-kolonial sangatlah menentang sifat nasionalisme berlebih. Dalam hal ini, kita harus mampu membedakan pula antara ‘statisme’ yang menjadi paham politik pro-negara, ‘nasionalisme’ sebagai pandangan kebangsaan, dan ‘patriotisme’ sebagai retorika rasa cinta terhadap tanah air, yang mana mayoritas masyarakat saat ini sering tergelincir dalam mengartikannya.
Jika kita kembali ke abad 19 dan 20, beberapa kelompok masyarakat justru memiliki sifat anti-nasionalisme. Hal ini merupakan agenda tandingan terkait nasionalisme sayap kanan yang terkesan ‘barbar’ dalam menyikapi lawan politiknya. Pada saat itu, politik identitas adalah amunisi awalnya.
Meski begitu, wacana anti-nasionalisme di Hindia tidaklah semarak yang terjadi di Eropa. Karena dalam batasan tertentu, gerakan kiri di Hindia saat itu terkadang sejalan dengan nasionalis radikal dalam agenda anti-kolonial, meski semangat ini muncul agak terlambat ketimbang wilayah koloni manapun di atas peta imperialis dunia. Tapi, salah satu pemantik anti-kolonialisme internasional, Eduard Douwes Dekker, justru mengiblat kepada pengalaman-pengalaman perjuangan Hindia Belanda pada pertengahan abad 19.
Eduard Douwes Dekker adalah penulis sastra anti-kolonial pertama, dengan mahakaryanya yang luar biasa yaitu, Max Havelaar. Dalam bentuk yang lebih revolusioner, karya tersebut sedikit banyak telah membantu menumbuhkan semangat anti-kolonial dan membangun kesadaran pemberontakan untuk melepaskan diri dari tangan Belanda.
Nasionalisme ‘ala Soekarno
Soekarno merupakan salah satu tokoh nasionalis dengan pengaruh kiri yang moderat. Ia bahkan lebih dulu mengenal anarkisme sejak duduk di bangku kuliah. Dalam beberapa kurun waktu, Soekarno pernah terpengaruh gagasan anti-nasionalisme. Dilansir dari Shrines and Pilgrimage in the Modern World, Soekarno pernah menyatakan untuk jangan mempercayai nasionalisme, namun percayalah pada kemanusiaan seluruh jagad.
Gagasan nasionalisme Soekarno sendiri terbangun oleh pengaruh Ernest Dekker. Perjuangan nasionalisme ini kemudian berlanjut dengan didirikannya Perserikanan Nasional Indonesia (PNI) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia.
Setelah kemerdekaan, gerakan nasionalisme menjadi kekuatan politik terbesar di Indonesia, berdampingan dengan golongan kiri, yang jatuh bangun berupaya menghimpun kembali kekuatannya dengan cepat. Karenanya, dibentuklah konsep nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom). Rumusan ini mewakili tiga pilar utama yang menjadi kekuatan politik bangsa Indonesia.
Nasakom sendiri menjadi ciri khas era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga 1965. Soekarno sendiri kerap mengkritik sistem Demokrasi Parlementer, yang dianggapnya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Demokrasi Parlementer sendiri melindungi sistem kapitalisme, yang mana seluruh parlemen akan dikuasai oleh kaum borjuis. Nasakom menjadi tiga faksi utama dalam perpolitikan Indonesia kala itu. Dalam pergerakannya, terdapat partai politik berhaluan nasionalis yaitu PNI, kelompok Islam Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta golongan kiri yang dimotori PKI.
Kampanye Nasakom sendiri bahkan dibawa Soekarno hingga ke forum Internasional. Ia menawarkan sebuah konsep tata dunia yang baru, di mana pemahaman komunisme sebagai landasan sosialisme dan memiliki prinsip keadilan sosial dapat bertemu dan menghormati nasionalisme serta prinsip agama.
Tapi, sekuat apapun Soekarno memanggu Nasakom-nya, rumusan pilar keutuhan berbangsa ini akhirnya kandas seiring peralihan kekuasaan kepada kepemimpinan Soeharto yang sangat anti dengan segala bentuk ideologi kiri.
____________________
 Dewasa ini – alih-alih menjadi bahan pemersatu –, sifat nasionalisme berlebih yang tumbuh dalam benak masyarakat telah menjadi senjata jitu atas kebencian-kebencian terhadap suatu ras bahkan ide yang bertentangan dengan unsur patriotik versi mereka. Tanpa kita sadari, satu dari sekian banyak warisan kolonial dan orde baru tersebut telah mengakar.
Jargon “NKRI harga mati!”, beralih hanya bualan doktrin semata, yang menempatkan derajat seorang NKRI seribu kali lebih luhur dibanding mereka yang bukan. Alhasil, diksi “Harga mati” seakan menjadi seruan berperang atas awang-awang yang mereka bela, pun arti “NKRI” sendiri yang agak sedikit rancu.
Dalam konflik rasial yang tengah terjadi di Indonesia saat ini, apakah nasionalisme memainkan perannya dengan tepat? Jika begitu, lantas siapakah yang mereka perangi dan bukan merupakan bagian dari NKRI?
Seorang berkulit hitam? Seorang bermata sipit? Atau seorang yang tanah kelahirannya dikeruk demi sebongkah emas?
1 note · View note
rumahinjectssh · 7 years
Text
Gara Gara Sebut Khilafah Mirip Eksistensi Vatikan, Umat Khatolik Tampar Keras Din Syamsuddin - FROM RUMAHINJECT
WARTABALI.NET - SHNet, JAKARTA – Kalangan internal umat Katolik mengkritisi pernyataan mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadyah, Din Syamsumin, menyamakan keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan Negara Vatikan.
“Saya menaruh hormat dengan Din Syamsudin selalu tokoh nasional, tapi kalau menyamakan kiblat umat Katolik terhadap Vatikan dengan kilbat HTI, ada hal-hal prinsip yang mesti dikritisi. Agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan,” kata Yohanes Nenes, Ketua Tim Advokasi dan Lembaga Konsultasi Hukum Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat, Jumat (14/7/2017). Yohanes Nenes, mengatakan hal itu menanggapi Din Syamsudin saat konferensi pers di sela-sela halalbhihalal di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN), Jalan Senopati Raya, Jakarta Selatan, Rabu malam, 12 Juli 2017. Din Syamsudin menanggapi pengumuman dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, tanggal 10 Juli 2017, tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017. Din Syamsudin bereaksi, karena disebut-sebut sebagai Ormas radikal, HTI salah satu yang akan dibubarkan. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menugaskan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Jenderal Purn Wiranto, untuk mengumumkan latar belakang penerbitan Perppu dimaksud di Jakarta, Rabu pagi, 12 Juli 2017. Din Syamsudin menilai cita-cita wacana pendirian negara khilafah oleh HTI tidak perlu direspon pemerintah dengan menuding mereka sebagai kelompok anti-Pancasila. Menurut Din Syamsudin, khilafah bagi umat Islam layaknya eksistensi Vatikan yang menjadi kiblat umat Katolik di seluruh dunia. “Wawasan dan wacana khilafah itu di kalangan umat Islam tak lebih pada eksistensi Vatikan,” kata Din Syamuddin. Wacana dan cita-cita khilafah, kata Din Syamsudin, merupakan keinginan adanya kepimpinan universal umat Islam sedunia. Layaknya Paus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik dan berpusat di Kota Vatikan. Dengan cita-cita seperti itu, lanjut Din Syamsudin, Pemerintah seharusnya tak terlalu cepat melabeli HTI sebagai kelompok anti-Pancasila. “Tak berarti umat Katolik di Indonesia yang patuh ke Vatikan anti-Pancasila. Saya memahami posisi pemikiran HTI itu,” kata Din Syamsudin, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu. Diungkapkan Yohanes Nenes, penyamaan kilbat umat Katolik sedunia terhadap Vatikan dengan konsep khilafah HTI sebagaimana diungkapkan Din Syamsudin, tentu amat sangat absurd, tidak masuk akal dan mustahil. Menyamakan keduanya hanyalah sebuah upaya cacat fakta, mensederhanakan masalah dan pemaksaan logika. Penyamaan secara dangkal dan sekilas, berimplikasi kepada kesimpulan salah total. [ads-post] “Terutama akan berujung pada penutupan substansi keberadaan dan ideologi yang dibawa. Kedua hal pokok tersebut sangat berbeda. Sangat mudah bagi kita untuk melihat perbedaannya melalui ekspresi yang selama ini mereka nyatakan di ruang publik,” kata Yohanes Nenes. Dikatakan Yohanes Nenes, konsep khilafah diteriakkan HTI sejak tahun 2007, dimana mengharamkan demokrasi, mengganti ideologi Pancasila dengan paham kekhilafahan, terbukti mengundang perdebatan panjang di kalangan umat Islam sendiri. Buktinya, Ormas selevel Nahdatul Ulama (NU), menolak ideologi diusung HTI di Jakarta, 7 Juli 2017. Di belakang Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil Siradj, ada 13 Ormas Islam lainnya, menolak HTI, yakini Al-Irsyad Al-Islamiyah. Kemudian Al Washliyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (Persis), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Mathla’ul Anwar, Yayasan Az Zikra, Al-Ittihadiyah, Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Rabithah Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Nahdlatul Wathan, dan Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI). Ke-14 Ormas dimaksud desak Pemerintah bubarkan Ormas radikal, termasuk HTI. Paham khilafah versi HTI, menurut Yohanes Nenes, tidak sama dengan konsep kepausan pada umat Katolik. Karena Vatikan di dunia modern ini tidak pernah mendorong perubahan dan atau penggantian ideologi suatu Negara. Malah Paus Johanes Paulus II, dalam kunjungan kerjanya di Jakarta tahun 1989, sangat mengagumi Pancasila yang mampu mempersatukan Bangsa Indonesia yang sangat beragam dari segi agama dan suku. Paus sebagai Kepala Negara Vatikan, tidak pernah menyerukan agar umat Katolik di seluruh dunia mengupayakan perubahan ideologi yang dianut salah satu negara. Philipina dengan umat Katolik terbesar di Asia Tenggara, ideologi negaranya tidak pernah diutak-atik Vatikan. Pada konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pimpinan tertinggi umat Katolik, juga kalangan akar rumput, tidak pernah berupaya mengganti dasar ideologi Negara kita, Pancasila. Bahkan Pahlawan Nasional, Mgr Albertus Soegjopranoto SJ, Uskup Agung Semarang, di awal kemerdekaan Republik Indonesia, menyerukan agar umat Katolik di Indonesia menjadi umat Katolik seratus persen dan warga Indonesia seratus persen. Dikatakan Yohanes Nenes, umat Katolik di Indonesia tidak pernah berteriak bahwa “Vatikan-lah solusinya!” atas segala permasalahan yang terjadi di Indonesia. Berbeda sekali dengan HTI yang selalu meneriakan “Khilafah-lah solusinya!”. “Kiblat umat Katolik sedunia terhadap Vatikan, sebatas implementasi keimanan, bukan terkait gerakan politik seperti HTI. Gereja Katolik global sangat memisahkan urusan agama dan negara (politik),” kata Yohanes Nenes. Diungkapkan Yohanes Nenes, Vatikan dengan amat tegas dan jelas mengadakan pemisahan antara institusi religus dengan institusi kenegaraan. Sangat jelas bagi umat Katolik di seluruh dunia bahwa mereka sebagai warga negara harus taat sepenuhnya kepada hukum, nilai dan ideologi Negara di mana mereka bernaung. “Sudah dengan amat-sangat terang benderang bahwa Vatikan modern memposisikan dirinya bukan sebagai institusi kenegaraan dan bukan pula sebagai gerakan politik,” ungkap Yohanes Nenes. Yohanes Nenes menggaribawahi pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Polisi Budi Gunawan di Jakarta, Jumat, 13 Mei 2017. Budi Gunawan, ujar Yohanes Nenes, mengalui, HTI harus dibubarkan, karena bukan gerakan dakwah, melainkan gerakan politik, mengganti ideologi Pancasila ke dalam paham kehilafahan. HTI bersama Ormas radikal lainnya, merupakan ancaman serius terhadap 4 Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Kebhinekaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga mesti dibubarkan. Hizbut Tahrir  sebenarnya memang berarti Partai Pembebasan, sebuah partai”trans-nasional dengan ideologi politiknya pan-islamisme (suatu gerakan politik untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah satu Negara Islam). Sayangnya, dalam banyak kasus dan literatur yang ada, gerakan Hizbut Tahrir selalu membawa nama Islam atas dasar versi mereka sendiri, sehigga tidak jarang sesama Muslim yang tidak sependapat dengan pandangan mereka selalu dicap murtad, kafir, dan sebagainya. Bahkan, setidaknya ada 20 negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia yang menolak keberadaan Hizbut Tahrir. Di antaranya seperti Turki, Mesir, Yordania, Malaysia, bahkan Arab Saudi. (Aju) [error title="SUMBER BERITA" icon="exclamation-triangle"]Anda Meragukan Informasi Yang Ada Dalam Tulisan Diatas ?? Atau Anda Melihat Ada Masalah Soal Postingan Diatas, Silahkan Cek Sumber Berita - Atau Anda Dapat Menghubungi Kami Di Halaman Contact - Mari Sama Sama Saling Cross Check Sumber Berita : http://sinarharapan.net/2017/07/umat-katolik-kritisi-din-syamsudin-samakan-vatikan-dengan-hti/ Judul Asli : [/error]
WARTABALI.NET - Media Informasi Kita Bersama
from Media Informasi Kita http://www.wartabali.net/2017/07/gara-gara-sebut-khilafah-mirip.html
0 notes
seputarbisnis · 7 years
Text
Ketum MUI: Standarisasi Khatib Tak Masalah Jika Tingkatkan Mutu
Serang (SIB) -Ketum MUI KH Ma'ruf Amin mengatakan standarisasi khatib yang dilakukan kementerian agama dan MUI berbeda. Namun, standarisasi tersebut tidak menjadi masalah jika untuk meningkatkan mutu dai. "Kalau MUI itu punya program itu namanya Dai Bersertifikat bukan sertifikasi atau khatib bersertifikat dalam rangka peningkatan mutu kualitas khatib dan dai. Kalau itu nggak ada masalah," kata Ma'ruf Amin kepada wartawan usai silaturahmi dan dialog kebangsaan di Pesantren An Nawawi Tanara, Serang, Rabu (8/2). Menurut Ma'ruf, apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama bukan sertifikasi tapi standarisasi khatib. Standarisasi tersebut jika memang sama dengan apa yang ada di MUI, menurutnya itu tidak ada masalah. Standarisasi dilakukan untuk meningkatkan sumber daya khatib dan dai di Indonesia. "MUI itu namanya membangun atau membuat dai bersertifikat. Kalau standarisasi itu maksudnya sama nggak jadi masalah," katanya. Pemerintah tengah merumuskan untuk mengkaji standar penceramah salat Jumat. Salah satu hal yang menjadi permasalahan adalah kondisi ceramah saat salat Jumat yang cenderung saling menghujat. "Isu ini bukan barang baru, jauh sebelum saya menjadi Menag sudah muncul. Bertolak dari berbagai masukan, karena ini eskalasi intensi atau aktivitas politik makin tinggi, ini kemudian menimbulkan intensi. Masukan yang kami terima, banyak yang mengeluh ceramah di masjid saling mencela, menghina, bukan karena kepada umat lain, tetapi kepada sesama umat Islam," ujar Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat rapat dengan Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/1). Pedoman Bersama Sementara itu, Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin, mengemukakan bahwa Kementerian Agama (Kemenag) hanya akan menjadi fasilitator terkait wacana standarisasi khatib, selain itu dari wacana tersebut yang dikehendaki bersama-sama adalah menciptakan semacam pedoman bersama tentang hal-hal yang mengatur seorang khatib saat shalat Jumat. "Yang kita kehendaki semacam pedoman bersama apa yang boleh dan tidak boleh seorang khatib dalam menjalankan perannya," kata Menag di Dewan Pertimbangan Presiden, Jakarta, Selasa (7/2). Menag menggelar pertemuan dengan beberapa anggota Wantimpres antara lain Sidarto Danusubroto dan Abdul Malik Fadjar. Selain Menag, tampil menjadi narasumber Pengurus Besar NU, Masdar Farid Mas'udi, Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanulhaq, dan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hajriyanto Y.Thohari. Menurut Lukman, pedoman bersama ini juga selanjutnya menjadi acuan pengurus atau takmir masjid. Diskursus atau wacana standardisasi khatib Shalat Jumat terus bergulir dan menjadi perhatian sejumlah pihak tidak terkecuali Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Lukman Hakim mengemukakan pihaknya saat ini sudah melakukan kajian melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan sejumlah elemen, antara lain MUI dan ormas Islam untuk merumuskan istilah sementara pedoman bersama dengan pendekatan promotif bukan provokatif. "Semangat ini yang ingin kita tegaskan," kata Lukman Hakim. Lukman Hakim menegaskan, dalam penyusunan pedoman bersama ini selanjutnya akan melibatkan sejumlah pihak. Selain itu, Menag menambahkan, pedoman bersama ini juga dibutuhkan landasan hukum, meski ada pendapat, kalau ada landasan hukum akan jadi kaku. "Ini yang masih berupaya mencari format materi pedoman bersama," kata Lukman Hakim. Dukungan agar standardisasi dilakukan tidak oleh pemerintah juga dilontarkan oleh anggota DPR RI Komisi VIII Maman Immanulhaq, menurutnya, pemerintah sebagai fasilitator saja. (detikcom/kemenag.go.id/h) http://dlvr.it/NLFbHF
0 notes
Text
Catatan Harlah: Menuju 1 Abad NU dalam Wacana Kebangsaan
Catatan Harlah: Menuju 1 Abad NU dalam Wacana Kebangsaan
tebuireng.co– Berbicara Nahdhatul Ulama (NU), tentu harus berbicara mengenai semangat kebangsaan. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini memasuki usia yang cukup tua dalam perjalanan sebuah organisasi. 99 tahun (16 Rajab 1344 H – 16 Rajab 1443 H) adalah usia yang matang. Setahun lagi memasuki usia yang ke 100 tahun atau 1 abad. Flasback ke belakang, tidak dapat dipungkiri bahwa NU lahir…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Masjid, Merawat Narasi Kebangsaan
Masjid adalah bangunan peradaban ummat Islam, mengembangkan kegiatan keagaman dan kegiatan yang dapat meningkatkan ibadah umat setidaknya sekitaran masjid. Menjadi tempat untuk menebarkan berbagai pemahaman keagamaan, ini pula tergantung pengurus masjid serta takmir masjid yang jelas memiliki otoritas mengurus masjid. Kita tahu banyak kejadian, masjid menjadi tempat menebarkan kebencian kepada kelompok lain dan tak jarang mengintrik antar umat Islam sendiri. Narasi saling mengintrik, menyalahkan antar umat Islam sendiri ini merupakan benih kebencian antar sesama. Bangsa menjadi gaduh, antar umat saling menuduh, saling melaporkan ke ranah hukum dan terjadi akhir-akhir ini. Tidak jarang pula masjid dijadikan untuk mengarahkan umat untuk menggiring pasangan calon tertentu, sebaliknya merawat kebencian kepada pasangan calon lain yang dianggap berbeda terutama soal agama. Selain itu, masjid dapat menebarkan ide pemahaman tentang khilafah dengan menyebarkan buletin jum’at ke masjid-masjid serta menyebarkan pengikutnya ke masjid-masjid untuk menjadi takmir masjid. Ini yang menurut penulis paling berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jelas kelompok yang menginginkan pendirian negara Islam ini, akan selalu membuat narasi penolakkan atas berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena dianggap tidak ‘Islami’ dan tidak segan-segan menuduh mereka yang sepakat dengan NKRI dan siap mati membela negara ini serta Ideologi Pancasila, dituduh kafir dan musuh Islam. Narasi khilafah Islamiyyah ini mengikis jiwa nasionalisme kepada masyarakat, terutama ummat Islam sendiri. Kaum ini (khilafah macam HTI) yang menyebarkan paham eksrimis kepada umat, menggiring ayat serta dalil Allah sesuai dengan kenginan mereka, bermodal cakap berbicara, rapih dan sopan santun untuk menarik simpatik kepada masyarakat. Pendekatan kelompok radikal ini dinilai cukup massif dan tak jarang menyasar sampai ke masjid dilingkungan pemerintah. Seperti yang dijelaskan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan dan Masyarakat (P3M) hasil survey lembaga ini menunjukkan dari 100 masjid yang berada dilingkungan pemerintah sekitar 41 masjid terindikasi radikal. Kondisi ini menunjukkan penyebaraan ide radikal yang digalakkan oleh kelompok macam HTI sudah cukup massif, organisasi HTI mungkin melalui hukum sudah jelas dibubarkan. Akan tetapi ide tentang radikal, narasi kebencian atas sebuah bangsa terus dipupuk sedemikian massif. Maka, gerakan untuk merebut masjid sudah saatnya dilakukan, santri-santri serta pesantren perlu menyebarkan santrinya untuk mengisi masjid, merebut masjid artinya merebut narasi, wacana, mimbar untuk menandingi gerakan kaum radikal yang jelas-jelas masih menjadi ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan beragama. Masjid perlu ditelusuri lebih jauh, perlu menguji pengurus masjid pemahaman serta keberpihakkannya atas bangsa juga perlu diuji, tidak saja terjebak dengan kecakapan diluar. Sikap ini bukan sikap untuk ikut campur dalam beribadah, akan tetapi dilakukan sebagai sikap kehati-hatian atas kelompok radikal, memotong mata rantai pemahaman radikal dengan menetralisir masjid-masjid, perlu disasar untuk menjauhkan masjid dari konsolidasi merawat kebencian atas kelompok lain, antar umat Islam itu sendiri serta kebencian atas negara dan Pancasila dan jelas memiliki pemikiran untuk menggantikan Pancasila adalah orang-orang yang jelas adalah musuh bersama. Walaupun hasil survey P3M sudah 2 tahun lamanya, akan tetapi survey ini setidaknya menunjukkan bahwa paham radikal juga tubuh berkembang didalam masjid. Yang seharusnya masjid menjadi mimbar bagi perdamaian, kesejukkan, menunjukkan Islam yang ramah di mimbar-mimbar masjid dan bukan sebaliknya. Berkembangnya paham radikal ini juga kritik atas Islam moderat cenderung ‘meninggalkan masjid’, tidak merebut dan menyebarkan kader-kadernya melalui ormas masing-masing macam ormas NU dan Muhammadiyah. Dua ormas terbesar yang telah mengerti betul tentang kebangsaan, memiliki narasi yang sama yaiu merawat perdamaian sebuah bangsa dan negara, dengan menyebarkan gagasan Islam yang ramah. Sebagaimana prinsip nilai-nilai ke-Islam-an yang sejuk dan damai, harusnya sejalan dengan itu para da’I dan pendakwah juga mencerminkan Islam itu sendiri yang sejuk dan damai, bukan dengan menunjukkan sikap yang marah, wajah yang garang. Mereka lupa tidak ada yang lebih garang dari sahabat Umar Bin Khattab, akan tetapi saat menjadi pemimpin ia tetap santun, menelusuri rakyatnya dimalam hari, hidup sederhana serta santun, dan ini adalah kader Nabi Muhammad sendiri, melalui rasul menunjukkan dakwah yang damai, bahkan Umar yang terkenal garang, setelah masuk Islam dan menjadi pengikut setia rasul, ia menjadi sangat ramah. Maka tidak dibenarkan mendakwah dengan merawat dan bahkan memupuk kebencian antar sesame umat muslim, antar sesama warga negara. Wajah Islam yang garah serta suka marah-marah tidak pernah dicontohkan oleh nabi Muhammad sampai kepada waliyullah pembawa Islam di Nusantara. Mari kita tangkal paham radikal bersama-sama melalui mimbar masjid setidaknya dilingkungan kita berada, untuk menyuarakan Islam ramah, damai serta cinta terhadap tanah airnya. *Hilful Fudhul, Pimpinan Alumni Pondok Pesantren Darul Furqan Kota Bima Read the full article
0 notes
harakatuna-blog · 5 years
Text
Kemerdekaan Negara Pancasila, dan Pencegahan Wacana NKRI Bersyariah
Pada usia ke 47 tahun, negara Indonesia diperkuat dengan spirit kepahlawanan, dan kemerdekaan. Kemerdekaan negara terbukti ketika Pancasila telah kita jadikan ideologi, dan dasar negara. Legitimasi itu merupakan pembelaan atas dasar jiwa nasionalisme, dan agama yang tinggi tanpa meresahkan lagi harmoni bangsa ini. Di tengah memperingati kemerdekaan negara Pancasila, wacana pergantian dari nilai kemurnian menjadi NKRI Bersyariah kembali meledak. Ihwal yang datang langsung tanpa diundang ini. Yaitu, Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia, dan FPI. Sesungguhnya, wacana negara syariah tersebut akan menimbulkan diskursus baru dari ijtihad para ulama NU, Muhammadiyah, SI, dan the founding fathers kita.
Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan kehidupan bangsa, dan negara. Di mana empat pilar kebangsaan itu. Pancasila ada dalam rentetan pertama. Artinya, dengan Pancasila dijadikan sumber hukum tertinggi ideologi negara, hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi seluruh agama, bangsa, dan negara. Dengan meletakkan Pancasila sebagai ideologi, dan dasar yang final merupakan bentuk dari hasil ijtihad dalam meningkatkkan pemahaman kita kepada nasionalisme dan agama. Dengan hal itu, negara Indonesia yang didasarkan Pancasila kita harus mengakui bersama (Islam, Budha, Hindu, Kristen, Katolik, Konguchu). Dalam perbandingan ini, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah merespon final adanya negara Pancasila. Oleh sebab itu, dalam kitab sucinya tegas bahwa. Tak ada paksaan dalam agama “la iqraaha fiddin”. Sebaliknya tak ada pula daulat kuasa upaya HTI, dan FPI dalam mewacanakan berdirinya NKRI Bersyariah.
Pancasila Vs Wacana NKRI Syariah
Penulis bertanya, lantas bukankah wacana NKRI Bersyariah pelan-pelan menghancurkan empat pilar kebangsaan. Yaitu, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika? Jawabannya, jelas merusak bangunan kebangsaan, dan cerminan toleransi pluralitas agama, sehingga “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah hidayah yang tak terbantahkan untuk kita yakini bersama atas dasar keyakinan masing-masing. Hal yang tak rasional ketika ada ormas Islam mewacanakan NKRI Bersyariah dengan hanya melihat kelompok mayoritas, sehingga memandang minoritas sebelah mata. Dalam konteks ini, ideologi Pancasila dipersepsikan tak selaras dengan doktrin agama (thaghut). Faktor kontradiksi ini potensial memicu kerusuhan. Padahal, Pancasila, dan demokrasi merupakan esensi penting dalam membangun pilar negara kebangsaan tanpa setengah dipaksakan dengan wacana provokatif itu. Oleh demikian, pluralitas agama tentu bukan suatu alasan untuk mengganti sebuah ideologi negara yang telah final disepakati oleh bangsa yang majemuk ini. Peran HTI, dan FPI dalam upaya membentuk ide NKRI Bersyariah merupakan problem, dan ancaman kepada bangunan kebangsaan (Pancasila). Dan itu sebagai rumah kita bersama dalam membangun bangsa yang harmonis, ramah, dan kondusif. Walaupun, persepsi kelompok ekstrem didasarkan atas faktor ketidakadilan, dan kedzaliman.
Hal itu hanya sebuah tafsir subjektif yang dikobar-kobarkan dengan menampilkan wajah radikalisasi agama mengatasnamakan Islam sebagai suatu legitimasi. Lebih dari itu, kelompok ekstrem seperti HTI, dan FPI dengan mudah memanfaatkan situasi ini untuk mengganti negara Pancasila dengan NKRI Bersyariah. Wacana NKRI Bersyariah, adalah keadaan yang terus menerus melunturkan negara Pancasila dari nilai-nilai toleransi perbedaan, pluralitas agama, kebersamaan, persatuan, dan bahkan manjadi masalah yang mereduksi kesadaran sosial kepada bangunan kemasyarakatan, keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan. Label syariah menampilkan motif bahwa akan ada negara yang menjadi penindas agama, merusak pengamalan etika sosial dan moralitas masyarakat yang bersumber dari agama. Di satu sisi, NKRI Bersyariah secara berlangsung menyudutkan agama di luar Islam dengan putusan sepihak menjadi tembok pembatas antara Islam dengan agama lain. Wacana NKRI Bersyariah yang diupayakan Ormas Islam radikal itu, tampaknya membuat perasaan kita semakin resah, risau, dan galau-gundah. Maka dari itu, langkah preventif yang paling positif dengan cara mengupayakan deradikalisasi gagasan anti-Pancasila, sehingga negara menjadi tentram, kondusif, aman, dan bisa hidup bahagia.
Peran Sinergis
Selama Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, BNPT, dan BPIP yang diinisiatori Presiden Joko Widodo tentu wacana NKRI syariah akan berhenti di tengah jalan. Sebab kebijakan politik penjagaan ideologi sangat berperan penting dalam banyak melahirkan ulama-ulama penjaga Pancasila, dan generasi yang Pancasilais. Bahkan NU, dan Muhammadiyah sebagai lokomotif Islam yang merespon positif akan tegaknya Pancasila sebagai ideologi negara. Tampaknya keduanya telah memiliki komitmen bersama-sama dengan negara, dan pemerintah untuk tidak lagi mempersoalkan atau bahkan mempertentangkan status ideologi Pancasila ini. Dalil Muhammadiyah terkait negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al 'ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Artinya, label syariah telah terwakili dari substansi tersebut. Sedangkan dalil NU dalam merespon ideologi Pancasila adalah “waliyul amri daruri bis syaukah”, dimana pemberian gelar ini kepada Soekarno telah membuktikan komitmen kebangsaan yang ditandai oleh politik jalan tengah untuk kerja sama seluruh bangsa dengan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi, dan dasar negara.
Sikap politik, dan komitmen semua elemen itu tampak membawa angin segar dalam rumah kebangsaan. Dan hikmah dari eksistensi Pancasila dapat kita jadikan pelindung kita semua dari bahaya laten radikslime agama, dan juga melindungi negara dari wacana NKRI Bersyariah yang telah digagas oleh HTI, dan FPI. Penulis sepakat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan “apabila ada ormas yang anti Pancasila maka tidak akan diperpanjang perizinannya”. Artinya, jalan yang harus kita tempuh dengan cara meminta peran negara, ketegasan, dan keberanian pemerintah agar mencabut izin dari gerakan atau ormas yang anti Pancasila, terutama yang mewacanakan NKRI Bersyariah. Read the full article
0 notes