Tumgik
#Fahmi Akbar
tangerangraya · 5 months
Text
Alasan Bukan PT, Dimsum Echodinno Somay Moni Abaikan Hak Pekerja
Hukum – Didampingi Kuasa Ilham Firmansyah salah satu mantan karyawan (HRD) UMKM/UKM Dimsum Echodinno/Somay Moni, mengungkapkan bahwa selama bekerja di tempat tersebut banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Dimsum Echodinno/Somay Moni. Ilham menyampaikan pelanggaran tersebut diantaranya adalah hak upah/gaji para karyawan yang belum dibayarkan dan kontrak kerja yang tidak pernah di…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
miftahulhudawk · 2 months
Text
Romi Hadiri Tabligh Akbar Sambut Ramadhan 1445 H
Penjabat Bupati Kayong Utara, Romi Wijaya, S.Sos, M.Si menghadiri Tabligh Akbar dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan 1445 H di Masjid Agung Oesman Alkhair, Senin (26/2/2024). Acara ini juga dihadiri oleh Habib Fahmi Al Muthahar sebagai penceramah. Dalam sambutannya, Romi Wijaya menyampaikan rasa syukur atas kesempatan yang diberikan untuk dapat menghadiri Tabligh Akbar ini. Ia juga…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
irfaaaaannnn · 2 months
Text
Tumblr media
Bersama observer acara penutupan Leadership Basic Training 2024 di PMIK
1. Fahmi Akbar
2. Irfan Amrullah Prasetyo
3. Jefri
4. Aliyah
5. Nanda
6. Mba Muthi
Kamis, 7 Maret 2024
1 note · View note
nupati · 1 year
Text
Tim Aset PBNU Koordinasi Pendataan aset Pendidikan LP Ma`arif Jawa Tengah
Tim Aset PBNU Koordinasi Pendataan aset Pendidikan LP Ma`arif Jawa Tengah
Semarang – Bertempat di Hotel Muria Semarang, Tim Aset PBNU melakukan koordinasi pendataan aset pendikan LP Ma`arif Jawa Tengah pada Sabtu (17/12/2022). Hal itu dilakukan oleh Ketua Tim Aset PBNU yang juga Wakil Bendahara PBNU, H Fahmy Akbar Idries bersama Sekretaris LP. Ma’arif NU PBNU Harianto Ogi. Pendataan tersebut dilakukan di sela-sela rapat koordinasi wilayah yang dihadiri Ketua LP.…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
baliportalnews · 1 year
Text
Penumpang Angkasa Pura I Melejit 46 Persen Sepanjang November 2022
Tumblr media
BALIPORTALNEWS.COM, JAKARTA - PT Angkasa Pura I melayani 4.890.392 pergerakan penumpang pesawat udara di 15 bandara sepanjang November 2022. Jumlah ini meningkat 46% dibandingkan periode yang sama pada 2021 yang melayani sebanyak 3.357.153 pergerakan penumpang pesawat udara. Direktur Utama PT Angkasa Pura I, Faik Fahmi mengatakan dua agenda besar yang dilaksanakan pada November 2022, yakni Kejuaraan Dunia Superbike Seri Mandalika di Lombok, NTB, dan KTT G20 di Bali, turut menyumbang terhadap jumlah pergerakan penumpang dan pergerakan pesawat udara pada November 2022. “Dua bandara Angkasa Pura I yakni Bandara Internasional Lombok dan Bandara I Gusti Ngurah Rai memiliki peran penting dalam penanganan kedatangan dan keberangkatan para peserta dan delegasi dari kedua agenda akbar tersebut. Bukan hanya menyumbang terhadap jumlah pergerakan penumpang, tetapi juga dalam pergerakan pesawat udara,” ujar Faik Fahmi. Berdasarkan data Angkasa Pura I, tercatat 44.085 pergerakan pesawat udara pada November 2022, naik 8% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 40.719 pergerakan pesawat udara. Sedangkan kargo mengalami penurunan sebesar 1% dari 40.691 ton pergerakan kargo pada November 2021 menjadi 40.370 ton pergerakan kargo pada November 2022. “Jumlah pergerakan penumpang mencapai 4,89 juta orang di November 2022 meneruskan tren positif jumlah pergerakan penumpang pesawat udara di atas angka 4 juta penumpang per bulan yang telah berlangsung sejak Mei lalu,” katanya. 15 Bandara Angkasa Pura I Layani 46,69 Juta Penumpang Hingga November 2022 Dengan tambahan jumlah pergerakan penumpang, pesawat udara, dan kargo pada November 2022, berarti Angkasa Pura I secara kumulatif telah melayani masing-masing sebanyak 46.691.780 pergerakan penumpang pesawat udara, 488.981 pergerakan pesawat udara, serta 420.454 ton pergerakan kargo pada periode Januari-November 2022. Sedangkan pada periode yang sama di tahun 2021 lalu, sebanyak 24.843.122 pergerakan penumpang, 366.321 pergerakan pesawat udara, serta 389.801 ton kargo telah dilayani oleh 15 bandara Angkasa Pura I. Jika dibandingkan dengan statistik di periode Januari-November 2021, maka periode Januari-November 2022 mengalami pertumbuhan jumlah pergerakan penumpang sebesar 88%, pertumbuhan jumlah pergerakan pesawat udara sebesar 34%, serta pertumbuhan jumlah pergerakan kargo sebesar 8%.(bpn) Read the full article
0 notes
kabartangsel · 1 year
Text
Wakil Ketua DPRD Banten H. Fahmi Hakim Hadiri Undangan HUT Desa Petir Ke-81
Wakil Ketua DPRD Banten H. Fahmi Hakim Hadiri Undangan HUT Desa Petir Ke-81
H. Fahmi Hakim,SE selaku Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten menghadiri acara istighosah akbar di Lapangan Ambarawa Selamet Desa Petir, Kamis (10/11/2022). Turut hadir dalam acara ini tokoh ulama Kabupaten Serang KH. Elang Mangkubumi, Plh Camat Petir Maman Sudirman,SE., jajaran Kepala Desa se-Kecamatan Petir, dan tokoh masyarakat Desa Petir. Adapun maksud dari istighosah akbar yang dihadiri oleh…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
newscakra · 1 year
Text
Di Acara Tablik Akbar Mega Maulid, Wali Kota Disebut Bapak Pesantren Lubuklinggau
Di Acara Tablik Akbar Mega Maulid, Wali Kota Disebut Bapak Pesantren Lubuklinggau
Lubuklinggau, Media Nasional cakrawala-Wali Kota (Wako) Lubuklinggau, H SN Prana Putra Sohe dijuluki sebagai Bapak Pesantren Lubuklinggau. Julukan tersebut disampaikan Pimpinan Ponpes Ar Risalah, KH Muhammad Atiq Fahmi di acara Tabligh Akbar Mega Maulid 2022 di Pesantren Modern Ar Risalah Kota Lubuklinggau pada Sabtu (12/11/2022). “Wali Kota Lubuklinggau, H SN Prana Putra Sohe disebut sebagai…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
baliwakenews · 2 years
Text
Dukung KTT G20, Bandara Ngurah Rai Siapkan Ini
Dukung KTT G20, Bandara Ngurah Rai Siapkan Ini
Kuta, baliwakenews.com PT Angkasa Pura I menyatakan salah satu bandara di bawah pengelolaannya, Bandara I Gusti Ngurah Rai – Bali, siap untuk mendukung perhelatan akbar antar bangsa Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) yang akan digelar di Bali pada akhir Oktober 2022 mendatang. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Utama Faik Fahmi di Bandara I Gusti Ngurah Rai – Bali di sela-sela acara…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
jbmnews · 2 years
Text
Menteri BUMN Tinjau Kesiapan Bandara I Gusti Ngurah Rai Jelang KTT G20 Tahun 2022
Menteri BUMN Tinjau Kesiapan Bandara I Gusti Ngurah Rai Jelang KTT G20 Tahun 2022
JBM.co.id, Mangupura – PT Angkasa Pura I menyatakan salah satu bandara di bawah pengelolaannya, Bandara I Gusti Ngurah Rai – Bali, siap untuk mendukung perhelatan akbar antar bangsa Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) yang akan digelar di Bali pada akhir Oktober 2022 mendatang. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Utama Faik Fahmi di Bandara I Gusti Ngurah Rai – Bali di sela-sela acara…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
buletinaufklarung · 3 years
Text
2021 gerakan aufklarung | buletinaufklarung.com
Tahun ini Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung kembali menggelar Reuni Akbar dan Halal bi Halal keluarga besar PKFT Tulunaggung yang dilaksanakan pada tanggal 6 Juni 2021 dan bertempat di Hotel Hayam Wuruk Trenggalek.
Reuni tahun ini kurang lebih dihadiri sekitar 80 kader aktif maupun alumni dimulai dari founding father sang pendiri PKFT sampai angkatan yang paling muda yaitu angkatan tahun 2020.
Pada reuni kali ini PKFT mengusung tema "21 Tahun PKFT: Manifesto Gerakan dalam Narasi Era Post-Pandemi". Dengan harapan, di usia ke-21 tahun ini PKFT terus mampu untuk meregenerasi dan menstabilkan gerakan yang padahari ini tergeser karena adanya pandemi global, maka harus lebih produktif dan adaptif terhadap pergeseran kebiasaan yang baru di era post-pandemi ini.
Namun, 21 tahun menjadi kawah Candradimuka yang mencetak mesin-mesin intelektual di Tulungagung bukan perkara yang mudah, sebuah organisasi yang besar tersebut tak luput tegak tanpa hempasan-hempasan permasalahan yang mengakibatkan harus berbenah kembali.
Pandemi global ini melumpuhkan segala lini aspek kehidupan manusia, untuk itulah yang menjadi tugas para kader PKFT adalah lebih adaptasi untuk melakukan segala bentuk kegiatan, formula-formula baru diciptakan demi menjaga api intelektual tetap membara tanpa adanya stagnansi dari efek pandemi.
Fahmi Solahunnuha selaku ketua pelaksana dalamsambutannya menyampaikan terima kasih yang dalam dan rasa syukurnya atas terselenggaranya acara tersebut. "Dengan adanya reuni ini semoga kekeluargaan terutama antar angkatan tetap terjalin dengan baik dan membawa PKFT kedepannya lebih baik lagi," ujarnya disela-sela sambutannya.
Sementara itu, Muhammad Hirzuddin Al-Bashor selaku direktur PKFT juga memaparkan harapan didalam sambutannya, "Pada intinya reuni 2021 ini mengangkat tema manifestasi gerakan pasca era pandemi.
Tema ini mengusung  tentang bagaimana cara mentransformasikan gerakan intelektual akademik, gerakan literasi serta  gerakan kajian ini bisa dibentuk sedemikian rupa, sesuai kebutuhan zaman. Walau bagaimana pun keadaan saat ini kaum intelektual harus mampu menjawab tantangan-tantangan dan problem-problem sosial, kita harus bertransformasi secara fisik maupun mental", terangnya.
Tak berakhir disitu saja, Gus Mustafid (pengasuh Ponpes Aswaja Mlangi) yang hadir ditengah-tengah kader dan alumni PKFT juga sedikit berpesan kepada seluruh kader dan alumni PKFT,
"intelektual yang sejati adalah ia yang memiliki kemampuan berpikir secara independen, arif dalam bertindak, memproduksi pengetahuan yang dibutuhkan publik, dosa terbesar dari seorang intelektual itu mereka yang hanya diam dan tidak ada pergerakan, seorang intelektual harus mampu terjun dan memecahkan permasalahan kemanusiaan".
Pesan tersebut mampu mengobarkan api yang selama ini tak pernah padam dalam jiwa kader PKFT.
Tak hanya itu, Beliau juga menyinggung soal era perkembangan digital saat ini. "Kalau kita gagap dengan perubahan era digital hari ini, kita akan gagal menjadi seorang subjek intelektual", pungkasnya.
Perkembangan intelektual dan teknologi pada era post-pandemi saat ini bukan hanya kita nikmati atau rasakan bersama, akan tetapi jugakita harus lebih adaptif untuk memanfaatkan dan berkembang kearah yang lebih baik lagi.
0 notes
ayojalanterus · 3 years
Text
Gugatan Maki Ke Puan Maharani Dianggap Keliru
Tumblr media
 KONTENISLAM.COM - Rencana Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menggugat Ketua DPR Puan Maharani ke PTUN Jakarta terkait seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dinilai keliru. Sebab, surat Ketua DPR tersebut belum bisa menjadi obyek Tata Usaha Negara (TUN). “Surat DPR belum bisa jadi obyek sengketa TUN, karena belum final dan mengikat, dan belum menimbulkan akibat hukum secara individual,” kata pengamat hukum yang juga mantan Sekjen DPP Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), Irfan Fahmi, kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (7/8). Terlebih, ujar Irfan, surat Ketua DPR yang akan dijadikan dasar gugat MAKI hanyalah surat pemberitahuan, bukan surat keputusan. “PTUN itu kan hanya mengadili semua keputusan Tata Usaha Negara yang sifatnya beschikking (keputusan), kalau baru surat pemberitahuan ya tidak bisa. Sangat keliru itu,” kata Irfan. Surat yang menjadi dasar rencana gugatan MAKI adalah Surat Ketua Dewan Perwakilam Rakyat Republik Indonesia nomor PW/09428/DPR RI/VII/2021 tanggal 15 Juli 2021 kepada Pimpinan DPD RI perihal Penyampaian Nama-Nama Calon Anggota BPK RI berisi 16 orang. “Perihal suratnya saja tentang penyampaian nama-nama calon anggota BPK, yang artinya itu surat penyampaian informasi atau pemberitahuan, bukan keputusan,” kata Irfan. Menurut Irfan, kalau akhirnya gugatan itu tetap dilayangkan, PTUN tetap akan menerima berkas gugatan, tapi tidak mudah begitu saja gugatan akan diperiksa pokok perkaranya. Karena ada tahap pemeriksaan pendahuluan yang akan menilai aspek formalitas dari gugatan TUN. Akan diuji terlebih dahulu apakah obyek gugatan merupakan keputusan TUN. Apakah penggugat dirugikan akibat keputusan TUN tersebut. “Saya yakin PTUN akan menolak gugatan TUN oleh MAKI di tahap pemeriksaan pendahuluan, karena memang bukan wewenang PTUN,” ujar Irfan, yang juga dosen pengajar hukum acara PTUN di Fakultas Hukum Unpam Tangsel. Surat Ketua DPR RI kepada Pimpinan DPD RI sesuai amanat Pasal 14 UU 15/2006 tentang BPK bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Adapun Tata Tertib DPR mengatur teknis pemberitahuan seleksi anggota BPK oleh Pimpinan DPR ke Pimpinan DPD sebagai bahan DPD untuk memberi pertimbangan. Komisi XI DPR akan menggelar fit and proper test terhadap satu calon anggota BPK pada September 2021. Pemilihan tersebut dilakukan karena berakhirnya masa jabatan Prof Dr Bahrullah Akbar yang merupakan anggota V BPK. Artinya dari 16 nama calon yang disampaikan dalam surat Ketua DPR RI hanya akan disetujui satu orang oleh DPR.(RMOL)
from Konten Islam https://ift.tt/3jBnJW2 via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/08/gugatan-maki-ke-puan-maharani-dianggap.html
0 notes
dugtrax · 4 years
Text
Tumblr media
DOWNLOAD
STREAM
DONATE
VIDEO
DOM 65 // SARAF // DR009 // 2020 // CC BY-NC LISENCE
DOM 65 kembali dengan cerita konyol. Kali ini tidak menampilkan sosok seseorang namun sebuah kisah nelangsa yang banyak dialami oleh sebagian besar warga kota Jogja. Menurut survei Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, sepertiga warga pusat peradaban Jawa ini mengidap depresi. Kondisi ini dipicu oleh keserakahan para elit pemangku adat itu sendiri. Lirik yang puitis kali ini menggambarkan betapa orang-orang yang mengaku waras sejatinya malah berperilaku layaknya orang tak berakal sehat. Warga yang semestinya menikmati kemakmuran justru gontai hilang ingatan dikoyak sistem investasi yang tak memihaknya. Drama getir ini disampaikan dengan irama yang sabar namun melolong. // DOM 65 come back with their bitter yet witty storyline. This time it's not about particular person but a miserable story that almost everyone who live in the city, Yogyakarta experience it. Based on their knowledge, Yogyakarta is ranked number 2 for the most depressed citizen in Indonesia. This is caused by the greedy government which also the highest cultural figure. This story told using an ironically steady beat but with howling and anger voice. [Wok The Rock]
Musik & lirik: Imam Senoaji Vokal & Gitar: Imam Senoaji Bass: Adnan D Kusuma Drum: Kemal Akbar Vokal latar: Fahmi Afriandi & Adnan D Kusuma Produser: Jimmy Mahardika & Tommy Ard Rekam, mixing, mastering di Jogja Audio School oleh Kemal Akbar 2019 Desain sampul: Wok The Rock Foto sampul: Angki Purbandono (hak cipta foto © 2004 BV by Angki Purbandono)
YOU ARE FREE TO DOWNLOAD AND DISTRIBUTE IT ONLY FOR NON-COMMERCIAL USE. THANKS FOR YOUR SUPPORTING TO OPEN-SHARING CULTURE MOVEMENT.
0 notes
baliportalnews · 2 years
Text
Menhub dan Gubernur Bali Tinjau Kesiapan Bandara I Gusti Ngurah Rai Jelang KTT G20
Tumblr media
BALIPORTALNEWS.COM, BADUNG – Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali menerima kedatangan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi dan Gubernur Bali, I Wayan Koster dalam agenda peninjauan kesiapan bandara jelang pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi G20 Bali 2022 (KTT G20 Bali) yang akan dilaksanakan pada 15-16 November mendatang. Dalam agenda peninjauan yang dilaksanakan pada Jumat (7/10/2022) pagi tersebut, Menhub Budi Karya dan Gubernur Koster meninjau progress pembangunan Gedung VVIP di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Gedung VVIP tersebut merupakan fasilitas yang dipergunakan sebagai lokasi transit dan penyambutan delegasi sekelas kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara peserta KTT G20 sesaat setelah mendarat di Bali. Dalam keterangannya, Menhub Budi Karya menyatakan peran penting Gedung VVIP Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali dalam menyambut delegasi peserta KTT G20 Bali. "Dalam waktu 3,5 bulan, bangunan yang menjadi kebanggaan baru bagi Bali kini sudah hampir jadi. Sebagai titik jumpa pertama, kita harus tampilkan satu tempat yang begitu anggun, begitu apik, hingga ini adalah impresi dari Bali sebagai kebanggaan Indonesia," ujar Menhub Budi Karya. "Saat ini sudah 99%, dan diharapkan selesai dalam waktu dekat, dan kita menerima tamu-tamu dengan kesiapan yang prima," lanjutnya. Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Koster turut menyampaikan apresiasinya terhadap pembangunan Gedung VVIP Bandara I Gusti Ngurah Rai. "Gedung VVIP di Bandara I Gusti Ngurah Rai dari arsitekturnya dan juga konsep keseluruhannya, bangunan ini menurut saya luar biasa, berkelas dunia, dengan memadukan antara kearifan lokal dan modern. Cocok dengan posisi Bali sebagai destinasi utama wisata dunia, sebagai tempat penyelenggaraan event baik lokal maupun internasional, terlebih yang sedang kita persiapkan yaitu Presidensi G20," ujar Gubernur Koster. Pembangunan Gedung VVIP merupakan salah satu bagian dari proyek revitalisasi infrastruktur di Bandara I Gusti Ngurah Rai dalam rangka mendukung pelaksanaan KTT G20 Bali. Selain pembangunan Gedung VVIP Baru, Bandara I Gusti Ngurah Rai yang dikelola oleh PT Angkasa Pura I juga turut melaksanakan revitalisasi Gedung VIP eksisting, beautifikasi Terminal Internasional dan General Aviation Terminal (GAT), serta pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di tiga titik dengan kapasitas 155 kilo watt peak (kWp). Direktur Utama PT Angkasa Pura I, Faik Fahmi yang juga turut mendampingi kunjungan Menhub Budi Karya dan Gubernur Koster, memberikan update terkait progres pekerjaan revitalisasi infrastruktur bandara. "Per awal Oktober ini, secara umum progres pekerjaan di Bandara I Gusti Ngurah Rai dapat dikatakan sudah memasuki tahap finishing. Gedung VVIP Baru sudah mencapai 99%, sedangkan untuk beautifikasi Gedung VIP Eksisting dan GAT sudah 100%. Begitu juga untuk pembangunan PLTS juga sudah rampung. Hal ini merupakan komitmen Angkasa Pura I dalam mendukung agenda Pemerintah dalam mensukseskan gelaran akbar KTT G20 Bali," ujar Faik Fahmi. "Selain mempersiapkan infrastruktur, kami juga menyiapkan skenario alur operasional penanganan delegasi VVIP, VIP, dan delegasi biasa, serta penanganan penerbangan VVIP. Untuk memastikan standar keamanan bandara, kami secara khusus memastikan kesiapan personel Aviation Security yang bertugas serta fasilitas pendukung keamanan seperti explosive trace detection system, CCTV, metal detector, dan fasilitas x-ray. Kami juga telah menjalin koordinasi dengan berbagai instansi stakeholder bandara seperti Kepolisian dan TNI AU untuk memastikan keamanan di lingkungan bandara selama masa persiapan hingga selesainya penyelenggaraan KTT G20 Bali," pungkas Faik Fahmi.(bpn) Read the full article
0 notes
jurusankuliah · 7 years
Text
Updated: Katalog (Cerita) Jurusan
Administrasi Bisnis: Andika Abdul Basith (Unpad) 
Administrasi Publik: Arsyad Azizi Iriansyah (Unibraw)
Agribisnis: Lika Lulu (Unpad), Dhion Ghafara Herputra (UNS)
Agronomi dan Hortikultura: Eska Ayu Wardani (IPB)
Agronomi: Citra Recha Sari (UGM)
Akuntansi: Annisa Padmasari (UI), Gita Swasti (Undip), Chairunnisya Wati (UI)
Analisis Keuangan: Melia Agustia (Polines)
Antropologi: Hanifati Alifa Radhia (Unibraw; bagian 1 | bagian 2)
Arkeologi: Niesa Izza Kumala (UI)
Arsitektur Lanskap: Azka Lathifa (IPB)
Arsitektur: Rofida Amalia (UNS), Satriyo Adhi Nugroho (Undip), Melinda Nurimannisa (UI), Putri Destari Besman (Unpar), Adiar Ersti Mardisiwi (ITS)
Bahasa dan Kebudayaan Korea: Margareth Theresia (UI)
Bea Cukai: Fandi Nurrohman (STAN)
Biologi: Amalia Nina Purwari (UBB)
Bioteknologi: Shafira Adlina (UAI)
Desain Interior: Indah Arifallah (Itenas)
Desain Komunikasi Visual: Fadhli Abdurrahman Zaky (UPN Surabaya), Zulfikar Firdaus (ITB)
Desain Produk: Jamika Nasaputra (ITB)
Ekonomi dan Admintrasi: Putri Agustina (UNJ)
Farmasi: Tika Rahmatillah Mustofa (Unair), Dian Bekti Murwati (Unwahas), Aldizal Mahendra (Unpad)
Filsafat: Gigay Citta Acikgenc (UI)
Fisika: Rizqi Arbie (ITB)
Fotografi: Salza Annisa Puspitasari (NTU)
Geofisika dan Meteorologi: Nadita Zairina Suchesdian (IPB)
Geografi: Ibnu Budiman (UI)
Hubungan Internasional: Mahran Ghalib Affandi (Unpad), Avina Nadhila Widarsa (UI)
Ilmu dan Teknologi Kelautan: Fahmi (IPB)
Ilmu dan Teknologi Pangan: Risqah Fadilah (UBakrie), Riska Fitriawati (UBakrie)
Ilmu Ekonomi: Nurul Wakhidah (UGM)
Ilmu Gizi: Irna Herawati (Poltekkes Bandung), Krystle Daniella (Adelaide)
Ilmu Hukum: Prita Purwanto (UI), Siti Nur Aisyah (Unri), Mandira Bienna Elmir (UGM), Nur Hadiyati (Unibraw), Muthmainnah (UI)
Ilmu Keluarga dan Konsumen: Arina Zuliany (IPB)
Ilmu Perpustakaan: Dina Oktaviana (UI)
Ilmu Peternakan: Istijaar Akbarok (Unpad)
Ilmu Politik: Iqra Anugrah (Ritsumeikan)
Ilmu Sejarah: Chintya Napitupulu (UI)
Kebidanan: Rafi'u Hafizhati (Poltekkes Permata), Luthfi Rizki Fitriana (Poltekkes Surabaya; Unair), Anggun Larasati Darwis (Malahayati) 
Kedokteran Gigi: Fadila Khairani (UI), Alfina Subiantoro (USU)
Kedokteran Hewan: Dimas Novianto (IPB)
Kedokteran: Primadhityo (Unibraw), Zakka Zayd (UNS), Tiara Kemala Sari (UI), Agatha Dinar (UNS), Rizki Amy Lavita (Unsri)
Kehutanan: Mahasiswa X (UGM)
Keperawatan: Nahla Jovial Nisa (UI)
Kesehatan Masyarakat: Nurbeyti Nasution (Unair, UI), Euis Ratna Sari (UI)
Kesejahteraan Sosial: Alfrojems (STKS)
Kimia: Kartika Trianita (ITB), Rahayuni Bahati (UNJ), Bening Tirta Muhammad (NTU)
Komunikasi: Siti Fatimah (Unisba), Devi Saufa Yardha (UI), Rona Mentari (Paramadina), Mutia Adia Risjad (Unpad)
Kriminologi: Muhammad Ridha Intifadha (UI)
Manajemen Destinasi Pariwisata: Riana Dwianny (STP)
Manajemen Keuangan: Fitri Safira (PPM)
Manajemen Rekayasa Industri: Dery Hefimaputri (ITB; ditutup]
Manajemen: Muhammad Ihsan Santoso (UI)
Matematika: Andy Riyan (UIN Yogyakarta)
Oseanografi: Audi Farizka (ITB), Hugo Samudra (ITB)
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan: Ajeng Fitri (Unibraw)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Arab: Nur Adibatul Lutfiyyah (UNJ)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia: Mirtasari Lia Prastiwi (UNY)
Pendidikan Bahasa Inggris: Regina Marsaulina (UMSU)
Pendidikan Geografi: Ahmad Sajali (UNJ)
Pendidikan Luar Biasa: Lisfatul Fatinah Munir (UNJ)
Pendidikan PAUD: Jazilatun Nawa (IKIP Jember)
Penyiaran: Dias Aziza Multisuspa (UGM)
Perbankan Syariah: Eka Widyaningtias (UIN Jakarta)
Perencanaan Wilayah dan Kota: Ria Erlani (UGM)
Perpajakan: Maya Aprilia Wijayanti (Unibraw), Ashlih Nur Muharom (STAN)
Psikologi: Arina Shabrina (Unpad), Joevarian Hudijana (UI), Nanan Nuraini (Unpad)
Rekayasa Hayati: Muhammad Fadhlullah (ITB)
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat: Annisa Amalia dan Syifa Sulistyoningrum (IPB)
Sastra Indonesia: Nadia Almira Sagitta (UI), Adik Apriliyadi (UI)
Sastra Inggris: Anisah Fathiroh (Unair)
Sastra Jepang: Diana Aprilia (Undip)
Sastra Jerman: Pandu Akbar (Unpad)
Sastra Perancis: Atma Dewita (UI)
Sastra Rusia: Perdana Putri (UI)
Sistem dan Teknologi Informasi: Azka Ihsan Nurrahman (ITB)
Sistem Informasi: Wahyudi Munthe (PCR), Andida Fatinah (Telkom), Dyah Hayu Parasati (Binus)
Sosiologi: Aufa Apriliani (UI)
Statistika: Resty Indah Sari (IPB)
Studi Asia Pasifik: Annisa Istighfari (Ritsumeikan)
Teknik Bioproses: Kenny Lischer (UI)
Teknik Dirgantara: Putra Arri Sandhi (ITB)
Teknik Elektro: Reka Inovan (UGM), Amicytia Nadzilah (UAI)
Teknik Fisika: Hasna Afifah (ITB), Achmad Rifdatul Hisan (Telkom), Anugrah Sudarsono (ITB)
Teknik Geodesi: Auliantya Ayurin Putri (UGM)
Teknik Geologi: Aveliansyah (Undip), Sukiato Khurniawan (ITB)
Teknik Industri: Anselma Basuki (UI)
Teknik Informatika: Shabrina Choirunnisa (ITS), Primawan Satrio Bindono (Telkom)
Teknik Kelautan: Julfikhsan Ahmad Mukhti (ITB)
Teknik Kimia: Rizky Ayu Nurmansyah (UII), Achmad Fauzi (UI)
Teknik Lingkungan: Farida N. Yusriyani (ITB), Akbar Syahid Rabbani (ITB)
Teknik Mekatronika: Dhiya Hanifa (Polman)
Teknik Mesin dan Biosistem: Bagus Dwi Utama (IPB)
Teknik Mesin: Rahim Isnan (Unand)
Teknik Nuklir: M. Rizki Oktavian (UGM)
Teknik Pengairan: Vita Ayu (Unibraw)
Teknik Perkapalan: Dadi Bangun (UI)
Teknik Pertambangan: Riyan Kamil (ITB)
Teknik Pertanian: Tri Yulni (IPB)
Teknik Sipil dan Lingkungan: Alfandias Seysna Putra (IPB)
Teknik Sipil: Marcel Tirawan (ITB), Ilma Alyani (UI)
Teknologi Industri Pertanian: Fatchul Rahman (Unibraw), Arief Alimudin Singkar (IPB)
417 notes · View notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
mymisykat · 6 years
Text
Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Pascamodern
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA.,M.Ed.
Tumblr media
Wacana mengenai agama dalam konteks situasi yang sekarang disebut modern dan pascamodern sangat marak di kalangan sosiolog, filosof, dan pemikir keagamaan. Akbar S Ahmed[1], Ernest Gellner[2], David Griffin[3], dan Houston Smith[4], adalah sedikit contoh dari mereka yang membahas masalah ini. Wacana ini menjadi marak bukan karena semakin meningkatnya peran agama dalam kehidupan masyarakat pascamodern. Akan tetapi karena pascamodernisme telah menjelma menjadi gerakan yang bermuatan doktrin-doktrin filsafat, bahkan ditunggangi oleh kepentingan politik. Yang jelas menurut Gellner, pascamodernisme telah mempengaruhi kajian antropologi, sastra, filsafat, dan agama[5].
Untuk memahami makna agama dalam pemikiran Barat pascamodern diperlukan elaborasi mengenai pemikiran yang berkembang di Barat era modern. Sebab seperti yang disinyalir Akbar, pemahaman tentang Barat modern merupakan pra-kondisi bagi pemahaman Barat Pascamodern[6]. Bahkan bagi Silverman, makna penting Pascamoernisme adalah memarginalkan (to marginalize), menidakbatasi (delimit), dan mengesampingkan (decentre) kerja-kerja yang telah dilakukan oleh moderni[7]s. Oleh sebab itu untuk memahami pemikiran pascamodern diperlukan kajian pemikiran modernis karena pemikiran pascamodernis menelan pemikiran modernis. Konsekuensinya, untuk mengaji konsep dan makna agama dalam pemikiran pascamodern perlu menrlusuri pandangan pemikir pascamodern yang dianggap menyerang pemikiran keagamaan modern Barat. Untuk itu akan dipaparkan pemikiran filosof pascamodern yang sangat berperan dalam meruntuhkan tradisi keagamaan melalui wacana-wacana filsafat mereka yang spekulatif itu. Filosof seperti Nietzsche (m.1900 EB), Wittgwnstein (m.1951) dan Heidegger (m.1976 EB) adalah tokoh penting yang memiliki pandangan cukup berpengaruh di masa itu dan karenanya cukup representatif untuk dirujuk.
MUNCULNYA PASCAMODERNISME
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pandangan para pascamodernis mengenai agama, perlu disinggung sedikit mengenai munculnya gerakan pascamodernisme di Barat. Pascamodernisme sebenarnya merupakan istilah yang masih kontroversial. Tonggak sejarah Barat dimulai dari aktifitas perubahan dan reformasi panjang dimana benih-benihnya telah ada pada zaman modern. Meskipun terjadi perdebatan tentang hal itu, asumsi yang diterima umum adalah pertanda bangkitnya pascamodernisme adalah berakhirnya modernitas. Pertanda yang menarik dicermati adalah pemikiran tentang agama. Perubahan keagamaan yang mencolok di era modern ke era pascamodern nampak dari beralihnya pendekatan teistik pada sekular ateistik. Artinya di era postmodern terjadi perubahan konsep Tuhan bila dibanding era pramodern dan modern yang sangat drastis.
Menurut Houston Smith (l.1919 EB), pendekatan teistik pemikir Barat hanya berjalan hingga abad ke-11 EB, ditandai tren pemikiran di kalangan teolog dan filosof yang memposisikan konsep Tuhan secara sentral dalam berbagai wacana[8]. Abad selanjutnya, pemikiran Barat yang kemudian disebut dengan akal modern (modern mind) membawa angin baru yang ditandai oleh “cara baru” dalam melihat sesuatu yang yang menghasilkan kelahiran sains modern. Pada saat itulah pandangan-alam orang Barat telah berubah secara mendasar.[9] Wacana yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada teolog, sedang filosof lebih tertarik pada sains. Modernisme terus berjalan dan berkembang pada abad-abad berikutnya. Habermas menyatakan, proyek modernisasi berkulminasi abad ke-18 EB saat model pemikiran rasional menjanjikan liberalisasi masyarakat dari mitologi irasional, agama, dan tahayul.[10] Inilah gerakan sekuler yang sebenarnya berusaha menyuntikkan gagasan desekralisasi ilmu dan organisasi sosial. Menurut James E Crimmins, proses desakralisasi-atau ‘disenchantment’ dalam istilah Weber (m.1920 EB)-memang sengaja diarahkan untuk menggeser dan menggusur agama tradisional.[11] Hasilnya adalah desakralisasi agama itu sendiri dan peminggiran agama dan fungsinya yang sentral dalam berbagai diskursus. Alan Finkielkraut menggambarkan kondisis agama pada era modern sebagai:
_What they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason…from now on God existed within human intelligence, not beyond it, guiding people’s action and shaping their thoughts without they knowing it. Instead communicating with all creatures, as Him namesake did, by means of Revelations, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke within him, in the language of nation.[12] _
Artinya apa yang disebut Tuhan bukan lagi Zat Yang Maha Kuasa, tapi merupakan akal kolektif. Maksudnya, Tuhan berada dalam akal manusia itu sendiri. Ia memberi bimbingan tanpa diketahui manusia itu sendiri. Sarana komunikasi dengan Tuhan bukan lagi wahyu. Tuhan tak berbicara dalam bahasa universal, namun berbicara dalam bahasa nasional. Ini berarti Tuhan tidak diperlukan lagi oleh manusia karena manusia telah merasa mampu menyelesaikan masalah dunia tanpa-Nya.
Gambaran ini menunjukkan bahwa dihapusnya nilai-nilai transedental telah mereduksi Tuhan menjadi semangat kebudayaan dan kebangsaan. Ini berimplikasi pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang ada di masyarakat. Pada zaman ini (baca: modern), pemikiran yang mendiskusikan apakah Tuhan ada atau tidak sudah semakin sedikit. Yang ada hanya diskusi yang menggugat agama. Meskipun demikian Alan sendiri percaya bahwa abad ke-18 EB masih dianggap abad metafisis.[13] Akan tetapi pondasi metafisis yang menjadi pembela kebenarana agama perlahan-lahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan menunggu penghapusan metafisika pada abad berikutnya.
Abad ke-19 EB adalah era dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat dipahami manusia. Ini adalah pengingkaran terhadap Absolutisme dan sekaligus serangan yang serius terhadap salah satu disiplin ilmu filsafat yang terpenting, yaitu metafisika obyektif. Kemunculan Eksistensialisme dan Filsafat Analitik, yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan pada kurun itu, adalah buah ciptaan akal pascamodern (postmodern mind). Inilah yang kemudian menggantikan sistem metafisika. Silverman menyatakan, penutupan jalan pemikiran metafisika bertepatan dengan berakhirnya era Modernisme[14]. Sistem inilah yang disebut dengan pascamodernisme, yaitu sistem tanpa metafisis.
Kemunculan pasccamodernisme ini tidak hanya ditandai oleh penghapusan metafisi obyektif dengan sistem baru, tetapi juga mengesampingkan atau malah meremehkan doktrin keagamaan yang berdasar pada metafisika. Titik perubahan metode berpikir metafisis terhadap metode berpikir analitis dapat dirujuk pada pandangan Karl Marx (m.1883 EB) dan Nietzsche (m.1900 EB) tentang agama. Jadi, agama di era pascamodern didekati dengan pemikiran ateistik, dimana hal itu tecermin dari doktrin-doktrin mereka tentang nilai.
KONSEP NILAI PASCAMODERN
Doktrin yang digunakan para pemikir pascamodern untuk menggugat agama adalah konsep mereka tentang nilai. Seperti disebut diatas, program pascamodernisme adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan mutlak (absolut) oleh agama dan masyarakat.[15] Doktrin penghapusan nilai didengungkan pertama kali oleh Nietzsche (1844-1900 EB) yakni doktrin Nihilisme. Dalam karyanya The Will to Power, Nietzsche menggambarkan Nihilisme sebagai situasi dimana,
“Manusia berputar dari pusat ke arah titik X”
Artinya, nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.[16] Heidegger (m.1976 EB) dengan nada sama mentakrif Nihilisme sebagai,
“Suatu proses dimana pada akhirnya tak ada lagi yang tersisa”.[17]
Keduanya memiliki mindset dan kecenderungan sama, dimana Nietzsche berpandangan Nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi yang membawa pada kesimpulan doktrin “Tuhan telah mati”, sedang Heidegger menunjukkan penghapusan Being sedemikian rupa hingga menjelma menjadi nilai. Disini realitas tidak lagi dipahami dalam bentuk susunan dimana Sang Pencipta berada pada puncak hierarki yang mutlak. Keduanya menuju suatu titik dimana manusia tak lagi berpegang pada struktur nilai atau nilai tak lagi memiliki makna. Suatu konsep tentang apapun tak lagi berdasar sesuatu yang metafisis, agamis, atau mengandung unsur ketuhanan (divine).
Doktrin-kemudian bernama Europan Nihilism-mengusung proyek devaluasi nilai, dimana mereka menganggap hal ini sebagai suatu jalan baru dalam menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan agama. Nilai tak lagi terkait agama dan kepercayaan. Jadi Nihilisme berhubungan dengan perubahan kebenaran ke dalam nilai, tetapi nilai yang diwarnai kepercayaan dan pendapat manusia[18]. Dalam istilah Nietzsche, perubahan kebenaran menjadi sekadar nilai, berbentuk apa yang ia istilahkan “will to power”.
Filsafat Nihilisme bertujuan mengaji dan menghapus seluruh klaim yang dilemparkan oleh pemikiran metafisik tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan menjadi pondasi pemikiran dan nilai, disingkirkan. Menurut Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu titik dimana kebenaran telah dianggap sebagai Tuhan, sebenarnya itu semua tak lebih dari nilai-nilai subyektif yang boleh jadi salah sebagaimana kepercayaan dan pendapat manusia yang lain. Jadi baginya, tak ada perbedaan antara benar dan salah. Keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang tidak dapat diandalkan. Ketika kita menolak kesalahan, kita pun harus menolak kebenaran. Membuang yang satu berarti membuang yang lain (to do away with one is to do away with other too).[19] Berdasar doktrin ini, Nietzsche mendefinisikan metafisika secara pejoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran yang fundamental. Serangan doktrin Nietzsche terhadap metafisika ini menujukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas moralitas.
Teori European Nihilsm dapat dilihat lebih jelas pada apa yang sekarang disebut ‘the philosophy of difference’ (dinisbatkan pada Nietzsche dan Heidegger). Segala perbedaan antara palsu dan benar, rasional dan tradisional, harus diletakkan di luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Difference adalah produk kehendak untuk berkuasa (will to power) yang ada dalam diri manusia atau kehendak menafsirkan (will to interpret). Ini berarti segala sesuatu yang yang dihadapi manusia sebagai pengalamannya di dunia tak lebih merupakan penafsiran; dimana segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsir sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam diri manusia. Kecenderungan pascamodernis untuk selalu menafsir menjadikan segala sesuatu yang dapat diketahui di dunia hanya dunia yang berbeda-beda atau dunia penafsiran. The philosophy of difference ini kemudian menjadi salah satu penghubung Nihilisme dan hermeneutika (filsafat penafsiran).
Nihilisme dan Filsafat Perbedaan (the philosophy of difference) merupakan tanda berkembangnya pascamodernisme yang pada perkembangan berikutnya menjadi penolakan kebenaran transenden. Ernest Gellner (m.1995 EB) menyatakan bahwa atmosfir pemikiran pascamodern dapat digambarkan melalui pernyataan:
“Segala sesuatu adalah teks dan materi dasar teks itu berupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu dipahami sebagai makna, dan makna itu harus dikonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai.”[20]
Rumusan Gellner diatas tepat sebab dalam wacana pemikir pascamodernis dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu dan hermeneutika adalah “nabinya”. Dalam kondisi ini, Gellner sampai pada kesimpulan bahwa pascamodernisme cenderung memihak pada relativisme dan menabuh peperangan terhadap ide kebenaran yang eksklusif, obyektif, dan transenden. Hal ini disebabkan pikiran pascamodern berpegang pada pendapat kebenaran adalah sesuatu yang internal dan subyektif. Sementara itu dunia ini bukan sebagai totalitas dari sesuatu tapi totalitas fakta.
Singkatnya, filsafat pascamodern melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan dan rujukan segala bentuk nilai sebagai pondasinya. Nilai baru yang dikenalkan pascamodernisme adalah nilai yang memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar karena ia memiliki status yang sama dalam wajah universal. Oleh sebab itu, bentuk segala macam nilai adalah nilai yang layak untuk saling tukar menukar antara satu peradaban dengan peradaban lain. Disini lagi-lagi metafisika tradisional melebur dan tenggelam.
Masalahnya, jika dalam pandangan pascamodernis segala sesuatu direduksi menjadi nilai relatif, implikasinya adalah kemungkinan penafsiran realitas menjadi tak terbatas. Alhasil tak ada lagi nilai yang diakui dan memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya, setiap orang akan terlibat dalam kerja penafsiran terhadap aspek wujud yang tiada habisnya. Agama tak lagi berhak mengklaim berkuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki manusia yang dirumuskan oleh para filosof. Agama dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang tak mempunyai kelebihan mutlak. Agama mempunyai status kurang lebih sama dengan filsafat. Jika demikian, agama dalam pemikiran pascamodern telah digambarkan dalam bentuk dan sifat yang sangat berbeda dari sebelumnya. 
PANDANGAN PASCAMODERNIS TENTANG AGAMA
Dalam uraian diatas dijelaskan pemikiran Barat tentang agama yang mengalami perubahan mencolok; pramodern teistik, era modern dipahami dengan pendekatan sekular, dan ateistik di era pascamodern. Pemikiran pascamodernis di Barat tidak hanya diwarnai oleh sikap ateistik, namun juga ditandai oleh kecenderungan di kalangan filosof mereduksi teologi menjadi antropologi[21]. Dengannya Tuhan dalam kristen digambarkan sebagai produk dan refleksi dari pikiran manusia yang luar biasa (supernatural human mind). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa gambaran Tuhan secara antropologis berkembang menjadi penjelasan situasi sejarah manusia. Karl Marx, misalnya, berhujah agama mengekspresikan penderitaan manusia yang disebabkan oleh perubahan ekonomi atau pemisahan kehidupan manusia yang egoistis dalam masyarakat sipil dari kehidupannya sebagai makhluk manusia dalam masyarakat politik.[22] Nietzsche juga beranggapan bahwa agama adalah ekspresi penderitaan, tetapi penderitaan yang jenisnya yang berbeda. Manusia menderita karena ia adalah makhluk hidup yang sakit (sickly animal); ia menderita karena internalisasi instingnya sendiri yang disebabkan kehidupan sosialnya. Apa yang membuat manusia menderita adalah eksistensinya yang tidak berarti. Dari situ mereka berkesimpulan manusia menderita karena masalah makna dirinya[23]. Ide ini menjelaskan bahwa realitas, nilai, dan kekuasaan yang mutlak, yakni Tuhan, telah diremehkan dan diganti nilai-nilai kemanusiaan.
Alfred North Whittehead (m.1947 EB) pun mencatat, tren pemikiran baru abad ke-20 adalah pemikiran yang jauh dari keimanan (away of faith). Kesimpulan yang sama digambarkan oleh Akbar, yaitu kecenderungan pemikiran pascamodern adalah penolakan terhadap agama yang telah mapan[24]. Foucault menggambarkan keadaan era pascamodern melalui konsekuensi-konsekuensi logisnya:
_Most of us no longer believe that ethic is founded in religion, nor do we want a legal system to intervene in our moral, personal, private life. Recent liberation movement suffer from the fact that they cannot find any principle on which to base the elaboration of of a new ethic. They need an ethic, but they cannot find any other ethic than an ethic founded on so-called scientific knowledge of what the self is, what desire is, what the unconscious is and so on. _
Artinya, kebanyakan kita tidak lagi percaya bahwa etika berdasar agama. Kita juga tak ingin jika suatu sistem hukum mengintervensi kehidupan moral dan pribadi. Gerakan liberalisasi yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa mereka tak dapat menemukan prinsip apapun untuk mengelaborasi prinsip etika baru. Mereka membutuhkan etika, namun tak dapat menemukan etika lain kecuali etika yang didasarkan pada apa yang disebut pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) tentang apa itu diri (self), hasrat (desire), kesadaran (unconscious) dan lain-lain.
Jadi gambaran yang menonjol tentang agama dalam pandangan pascamodernis adalah agama yang telah diputus dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Pendekatannya berubah menjadi konsep akal yang dipisahkan dari konsep kepercayaan atau konsep Tuhan hingga menjadi ateistik. Pendekatan ini menggoyang konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang selama ini dipegang masyarakat beragama.
Sebenarnya pendekatan ateistik terhadap agama disebabkan oleh kegagalan pemikir pascamodernis dalam memahami konsep Tuhan. Pernyataan Nietzsche tentang “kematian Tuhan”, yang lebih merupakan pernyataan filosofis ketimbang teologis, merupakan bukti jelas tentang kegagalan itu. Dalam buku Beyond Good and Evil, Nietzsche mengkritik konsep Tuhan para teolog yang kabur, bertanggungjawab terhadap teisme Eropa. Baginya, Tuhan dalam Kristen tak dapat mendengar, dan jika pun bisa, ia tak tahu bagaimana menolong. Tuhan juga tak dapat menjadikan dirinya mudah di mengerti dan ia sendiri kabur tentang diri-Nya dan tentang apa yang ia maksud[25].
Namun anehnya, karena Nietzsche tak dapat memahami Tuhan, ia pun merumuskan konsep Tuhan berdasar persepsinya sendiri. Menurut Nietzsche, Tuhan adalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat dan agung dalam dirinya (baca: manusia). Kata Nietzsche:
…religion is the product of a doubt concerning the unity of person, an alteration of the personality; in so far as everything great and strong in man has been conceived as superhuman and external, man has belittled himself – he has separated the two side of himself: one very paltry and weak, one very strong and astonishing into two sphere, and called the former ‘man’, the latter ‘God’.[26]
Artinya, agama adalah hasil dari sebuah keraguan tentang kesatuan seseorang, suatu perubahan kepribadian; segala sesuatu yang (dianggap) agung dan kuat oleh manusia telah dipahami sebagai manusia super (superhuman) yang berada di luar dirinya, manusia yang telah merendahkan dirinya–ia (baca: manusia) telah memisahkan dua sisi yang ada dalam dirinya menjadi dua bidang, yang satu remeh dan lemah, yang lain sangat kuat dan mengagumkan. Yang pertama disebut manusia, dan yang kedua disebut “Tuhan”.
Pernyataan di atas sangat jelas menggambarkan cara pandang yang sangat ateistik dan menunjukkan Nietzsche tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, nyata, dan berada berada di luar diri manusia. Bagi Nietzsche, Tuhan hanyalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat. Mengenai ajaran Kristen, seperti yang ia tulis dalam buku The Will to Power:
“The Christian way of life is no more a fantasy than the Buddist way of life. It is means to being happy.”
Menurut Nietzsche, keseluruhan ajaran Kristen yang harus diyakini dan juga keseluruhan “kebenaran” Kristen itu sebenarnya adalah kepalsuan dan penipuan yang tak berarti. Dan ini persis kebalikan dari apa yang menjadi inspirasi gerakan Kristen pada permulaannya. Pandangan alam Kristen kurang lebih sama dengan fantasi dalam pandangan hidup Budha: ia adalah jalan menuju kebahagiaan.
Nampaknya Nietzsche mencurahkan rasa frustasi terhadap agama dalam ide-idenya, dimana yang ia kemukakan tak jauh dari apa yang ia rasa. Kata Nietzsche lagi,
“Christianity is still possible at anytime, but it does not necessarily rely on dogma, require neither the doctrine of personal God nor that of immortality, nor that of redemption, nor that of faith, and it has absolutely no need of metaphysics.”
Menurutnya, agama Kristen masih dapat diterima kapanpun, namun ia tak mesti bergantung pada dogma, tak perlu doktrin tentang Tuhan yang personal dan doktrin tentang Tuhan yang azali, tak pula memerlukan doktrin pengampunan, doktrin keimanan dan sama sekali tak memerlukan metafisika. Jadi agama yang diinginkan Nietzsche adalah agama dalam bentuk pandangan-alam dan bukan sistem kepercayaan dengan konsep-konsep yang diberikan dalam bentuk doktrin, yakni agama yang memberitahu manusia bagaimana melakukan sesuatu, dan bukan apa yang harus dipercayai. Apa yang dilakukan hanya terkait masalah-masalah dunia ketimbang masalah akhirat.
Seperti Nietzsche, Heidegger juga melakukan penolakan Tuhan metafisis, sejalan dengan persepsinya tentang Tuhan non-metafisis. Baginya, akhir pemikiran teologis adalah berhenti berpikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yakni Tuhan yang dianggap kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut didepan-Nya. Inilah yang ia sebut Tuhan sebenar (Truly Divine God)[27]. Pandangan Heidegger tentang Tuhan metafisis dan non-metafisis sejalan dengan Wittgenstein (m.1951 EB). Ia mengaku bahwa ia memahami konsep Tuhan sejauh ini menyangkut kesadaran individu tentang dosa dan kesalahan pribadinya, tetapi ia tidak memahami konsep Tuhan sebagai Pencipta[28]. Sebagai seorang filosof, Wittgenstein tentu tahu apa konsekuensi filosofisnya memahami Tuhan sebagai pencipta, penjaga, dan penyebab terjadinya alam semesta. Penolakan konsep Tuhan sebagai pencipta telah ada sejak zaman Aristoteles dan Aristotelian di kalangan Muslim. Sejak jika Tuhan dipahami demikian akan mengakibatkan rusaknya sistem filsafat mereka.
Wittgenstein mengatakan dalam bukunya Notebooks (terbit tahun 1916 EB) bahwa berbicara tentang dunia adalah bicara tentang makna dan berdo’a adalah berpikir tentang arti hidup dan beriman kepada Tuhan sama dengan melihat bahwa hidup ini mempunyai makna. Sebab Tuhan tidak menampakkan diri-Nya di dunia ini[29]. Disini jelas sekali, Wittgenstein ingin mengganti keimanan kepada Tuhan dengan makna kehidupan, dan berdoa diganti dengan berpikir tentang makna kehidupan. Wittgenstein tak menjelaskan makna dan esensi berdoa dalam kegiatan keagamaan, khususnya makna berpikir itu sendiri.
Dalam karyanya yang lain Lecture and Conversation, Wittgenstein mengatakan bahwa pemikiran tentang kehidupan manusia yang ditemui dalam peribadatan berbentuk pujian dan pujaan tak mengarah atau merujuk kepada Tuhan, namun sekedar ibadah (worship) kepada Tuhan[30]. Yang janggal adalah di satu sisi ia mengakui kegiatan ibadah dalam agama namun di sisi lain menolak Tuhan yang menjadi obyek dan tujuan dari kegiatan itu. Menerima agama dan melaksanakan peribadatan tanpa percaya akan adanya Tuhan adalah tidak masuk akal. Selanjutnya yang janggal dalam pemikiran Wittgenstein dan Nietzsche adalah penolakan mereka terhadap konsep agama bergantung pada asas metafisika, tapi ketika mengaplikasikan penolakan ini dalam kehidupan beragama atau hal-hal yang non-metafis, argumentasi mereka tak dapat dipertahankan.
Cara-cara pemikir pascamodernis memahami Tuhan dan agama membawa berbagai konsekuensi. Artinya, jika agama dipahami seperti itu maka relijiusitas akan dimaknai selaras dengan pemahaman itu. Bagi Wittgenstein, relijius bukan sifat yang diambil dari kegiatan ibadah keagamaan yang biasanya ditandai oleh banyaknya doa namun ditandai oleh kegiatan sosial, seperti misalnya menolong orang lain:
But remember that Christianity is not a matter saying a lot of prayers; in fact we are told not to do that. If you and I are to live religious live, it must not be that we talk a lot about religion, but that our manner of life is different. It is my belief that only if you try to be helpful to other people will you in the end of your way to God.[31]
Konsep keberagamaan Wittgenstein secara kebetulan sama dengan pengertian Nietzsche tentang agama. Wittgenstein menganggap keberagamaan merujuk pada kegiatan sosial dan bukan ritual. Sementara Nietzsche menyatakan bahwa agama tak mesti berdasar pada keimanan, dogma, atau kepercayaan pada Tuhan yang personal. Namun pendapat ini tak dijelaskan apa yang menjadi asas kegiatan sosial itu. Jika kegiatan sosial hanya berdasar ketentuan manusia dan tak berhubungan dengan keseluruhan konsep agama, ia tak lagi disebut agamis sebab agama dan Tuhan tidak ada kaitannya dengan kegiatan itu. Jika menjadi sosial dimaksudkan sebagai ciri dari keberagamaan maka secara konseptual harus berdasarkan perintah agama. Perintah dalam agama mengharuskan adanya konsep keimanan kepada Tuhan. Disini konsep Wittgenstein menjadi bermasalah sebab ia sendiri memiliki keyakinan bahwa bukti filosofis tentang eksistensi Tuhan tidak dapat membawa seseorang kepada keimanan kepada-Nya. Meski seseorang dapat membuktikan eksistensi Tuhan dalam analisis ilmiah, ia sendiri tidak akan pernah percaya dengan pembuktian itu. Sebab, kilahnya, seseorang hanya dapat meyakinkan orang lain tentang eksistensi Tuhan melalui proses pendidikan dengan mengarahkan kehidupannya dengan jalan pengamalan[32].
Selain itu pernyataan ini mengindikasikan bahwa Wittgenstein melihat relijiusitas dari kuantitas kerja. Tapi masalahnya karena kerja-kerja itu dipisahkan dari konsep dan kepercayaan, maka ia tak lagi menjadi bagian konsep keimanan. Sejalan dengan konsepnya tentang pemisahan aktivitas sosial dari agama, ia memprediksi di masa depan kehidupan keagamaan tidak akan bergantung kepada Gereja dan pendeta lagi. Manusia harus hidup nyaman tanpa terikat dengan Gereja[33]. Disini sudah mulai dapat dibaca bahwa ia Wittgenstein menolak otoritas keagamaan. Suatu semangat pascamodern yang berakar pada doktrin Nihilisme.
Jadi pernyataan Synder bahwa kebenaran agama melebur menjadi nilai yang muncul dalam bentuk kepercayaan dan pendapat manusia, kini telah terbukti. Namun pandangan ini ditentang oleh Dupre, bahwa segala upaya rasional untuk mengukuhkan atau menggoyahkan kebenaran agama pada akhirnya membawa distorsi terhadap kebenaran itu sendiri[34]. Sekarang mari kita lihat bagaimana padangan pascamodernis tentang kebenaran agama.
Dalam karyanya Will to Power, Nietzsche menyatakan bahwa kebenaran dalam pengertian lama adalah benar hanya karena didukung oleh sistem moralitas lama. Saat ini kita tidak lagi memerlukan kebenaran yang berlaku di masa lalu. Kebenaran itu bergantung pada moral dan moral adalah nilai luhur yang ditetapkan oleh adanya dekadensi. Nietzsche menyimpulkan, kita harus menghapus nilai-nilai luhur dan kemudian moralitas itu sendiri. Sebagai pengganti nilai-nilai metafisis dan agamis, ia memperkenalkan apa yang ia namakan nilai alami (naturalistic value), yang dikukuhkan oleh presupposisi tentang apa dan seperti apa seharusnya nilai itu kita kenal.[35] Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan doktrin Nihilisme-nya, tapi usaha lain meleburkan kebenaran agama ke alam nilai atau mengganti kebenaran agama dengan kebenaran filosofis. Nietzsche ingin mengganti kualitas ontologis dan moral kebenaran dengan kualitas yang melulu kognitif.
Pandangan ini cukup dominan di kalangan filosof pascamodernis sehingga banyak yang pesimis dengan prospek kebenaran agama. Untuk menghindarkan masalah yang akan terjadi, mereka terpaksa mencari dukungan dari pengetahuan empiris dan memperkenalkan suatu teori baru tentang kebenaran yang disebut teori bahasa (lingustic theory). Reputasi Wittgenstein dalam teori ini sangat menojol melalui karyanya, Philosophical Investigation. Akan tetapi karena teori bahasa ini hanya membenarkan suatu wacana dalam lingkup kebahasaan saja dan terlepas dari wacana lain, maka teori-teori itu mesti dikaitkan dengan apa yang secara tradisional dipahami sebagai kebenaran agama. Untuk itu diperlukan beberapa syarat. Diantaranya adalah teori-teori itu harus koheren, bukan hanya dalam dirinya namun juga dengan teori lain. Penafsiran pengalaman hendaklah sejalan atau tidak bertentangan dengan sistem penafsiran yang lebih tinggi dibangun dari kebenaran agama. Disini para filosof itu menghadapi masalah, sebab kebenaran agama dan filsafat bagi mereka tidak dapat disatukan. Disatu sisi, agama tidak dapat membenarkan kebenaran filsafat dan disisi lain filsafat menolak untuk menerima kebenaran agama. Disini agama ditantang untuk berkongsi dalam beberapa asumsi dasarnya dengan wilayah kebenaran yang lain. Jika tidak, maka istilah kebenaran didalamnya tidak akan dapat dipertahankan lagi.
Untuk memenuhi tantangan itu, para filosof terpaksa kembali kepada wacana kebenaran ontologis. Karena itu, Heidegger berusaha untuk menformulasikan teori kebenaran agama yang mengutamakan kebenaran ontologis dari kebenaran epistemis. Heidegger menganggap kebenaran yang diambil dari pemahaman terhadap sesuatu, meskipun itu benar, tidak lebih penting daripada sikap “keterbukaan” (openness) atau dorongan (pretense) yang berkaitan dengan eksistensi kita. Berdasarkan ini, kita dapat membuat keputusan penting yang menentukan kemurnian hubungan kita dengan orang lain. Jadi kebenaran tidak mempunyai tempat dalam proposisi, namun ia ada dalam pengungkapan (disclosure) yang diwarnai oleh sikap keterbukaan[36]. Artinya, esensi kebenaran tidak berfokus pada subyek, tetapi pada sikap terbuka yang pada gilirannya mendekati esensi kebenaran agama dan dianggap berasal dari agama itu sendiri. Namun karena teori ini bergantung pada agama tradisional, filsafat tidak akan menerimanya, seakan-akan teori pengungkapan (disclosure philosophy) ini menunggu kedatangan atau perkembangan filsafat hermeneutika yang berupaya memberi pembenaran dengan suatu analisis cermat tentang model pemahaman (cognition) tanpa dibatasi syarat-syarat epistemologis sains positif.
Dari kondisi ini Houston Smith menyimpulkan, dalam pemikiran pascamodern tidak ada kebenaran realitas, bahkan para pascamodernis ragu, apakah kebenaran itu mempunyai arti?[37] Dari pembahasan diatas dan juga kesimpulan Smith dapat dinyatakan bahwa makna kebenaran dalam pemikiran pascamodern adalah bermasalah karena itu memerlukan suatu evaluasi dan perubahan sebab kebenaran tak lagi dianggap mutlak.
KESIMPULAN
Poin yang perlu dicatat disini adalah, pascamodernisme membangun suatu teologi berdasar pada asasnya sendiri, meski tak disebut teologi. Dalam “teologi” ini, Tuhan dimasukkan ke dalam sistem penjelasan rasional tertutup (closed system of rational explanation), seperti yang terdapat dalam pemikiran modern. Akal manusia dianggap tak dapat memahami hakikat Tuhan, karena itu pikiran pascamodern merubuhkan jalan berpikir metafisis. Akibatnya, pascamodernis memahami agama dengan cara yang sangat berbeda dan bertentangan dengan kepercayaan para teolog. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan, relijiusitas dan kebenaran agama tak sesuai lagi dengan doktrin-doktrin keagamaan. Sebenarnya seperti halnya modernisme, pascamodernisme dihadapkan secara vis-à-vis dengan agama dalam bentuk yang antagonistis dan bahkan berbentuk pertarungan. Kemenangan bukan pada keduanya, namun yang bertanggung jawab adalah keduanya. Filsafat pascamodern gagal memahami konsep agama tentang Tuhan, tentang kebenaran, dan tentang aktifitas keagamaan. Agama, dalam hal ini Kristen, tidak dapat menunjukkan dirinya dalam bentuk penjelasan rasional yang terbuka sehingga dapat dipertahankan dari serangan filsafat mana/apapun. David Harvey menunjukkan, akal dalam pikiran pascamodern dimaknai tanpa tujuan spiritual dan moral, hingga krisis yang terjadi di zaman ini disebabkan oleh absennya kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu, katanya, proyek teologis pascamodernisme adalah menegaskan kembali kebenaran Tuhan tanpa meninggalkann kekuatan akal[38]. Jadi rekonsiliasi antara teori kebenaran para teolog dan filosof adalah tugas yang perlu dikerjakan agar terhindar dari malapetaka.
Wallāhu a’lam bi al-shawāb.
[[1]](#_ftnref1) Akbar S Ahmed, _Postmodernism and Islam_, London: Routledge, 1992. Selanjutnya disingkat _Postmoderinism and Islam_.
[2] Ernest Gellner, Postmodernism, Reason, and Religion, London: Routledge, 1992. Selanjutnya disingkat Postmodernism.
[3] David Griffin, God and Religion in Postmodern World, Albany: NY State University of New York Press, 1989.
[4] Houston Smith, Beyond the Postmodern Mind, Illinois: Quest Book The Theosophical Publishing House, Wheaton, 1989. Selanjutnya disingkat Beyond the Postmodern Mind.
[5] Ernest Gellner, Postmodernis, 23.
[6] Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam, 6.
[7] Hugh J Silverman, “The Philosophy of Postmodernism” dalam Postmodernism-Philosophy and the Art, disunting oleh Hugh J Silverman, London: Routledge, 1990, 1. Selanjutnya disingkat The Philosophy of Postmoderism.
[8] Smith, Beyond The Postmodern Mind, 5.
[9] Ibid, 4.
[10] David Harvey, The Condition of Modernity, Cambridge: Blackwell, 1992, 12-13.
[11] James E Crimmins, (Peny.) Religion, Secularization, and Political Thought, London: Routledge, 1990, 7.
[12] Alan Finkielkraut, The Defeat of the Mind, (terj.) Judith Friedlander, NY: Columbia University Press, 1995, 18. Selanjutnay disingkat The Defeat.
[13] Finkielkraut, The Defeat, 19.
[14] Hugh J Silverman, “The Philosophy of Modernism”, 5.
[15] Vattimo, The End of Modernity, 167.
[16] Nietzsche, The Will to Power, 8-9.
[17] John R Synder, The End of Modernity,19.
[18] Jon R Snyder, The End of Modernity, xi.
[19] Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idol, (terj.) R.J. Hollingde, Harmondsworth: Penguin, 1968, 41. Dalam The Will to Power ia mengatakan, “Truth is the kind of error”, lihat Friedrich Nietzsche, The Will to Power, 493.
[20] Everything is text, that the basic material of text, societies, and almost anything is meaning, that meaning are there to be decoded or deconstructed that the notion of objective reality is suspect. Lihat Ernest Gellner, Postmodernism, 23.
[21] Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, (terj.) George Eliot, NY: Harper & Row, 1957, xii-xli.
[22] Karl Marx, Early Writing, (peny.) Quinton Hoare, (terj.) Gregor Benton dan Rodney Livingston, NY: Random House, 1975, 1:378.
[23] Nancy S Love, Marx, Nietzsche, and Modernity, 124.
[24] Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam, 27. 
[25] Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, (terj.) RJ Hollingdale, London: Penguin Classic, 1972, 62.
[26] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, 86-87.
[27] John D Caputo, Heidegger and Theology dalam The Cambridge Companion to Heidegger, (peny.) Charles B Guignon, Cambridge: Cambridge University Press, 1993, 285.
[28] Paul Engelmann, Letter from Ludwig Wittgenstein with a Memoir, (peny.) B F McGuinness, (terj.) Lfurtmuller, Oxford: Blackwell, 77. Bandingkan dengan Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, (peny.) Peter Winch, Ithaca: Cornell University Press, 1994, 9. Selanjutnya disingkat Wittgenstein: A Religious Point of View.
[29] Ludwig Wittgenstein, Notebooks 1914-1916, edisi ke-2, (peny.) G H Von Wright dan G E M Anscombe, (terj.) G E M Anscombe, Oxford: Blackwell, 1979, 74, dikutip dalam Norman Malcolm, _Wittgenstein: A Religious Point of View,_10.
[30] Ludwig Wittgenstein, Lecture and Conversation on Aesthetics, Psychology, and religious Belief, (peny.) C Barret, Oxford: Blackwell, 1966, 56.
[31] Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 11.
[32] Wittgenstein’s Vermischte Bemerkunguen, 85-86, dikutip oleh Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 19.
[33] Rush Rhees (peny.), Ludwig Wittgenstein’s Personal Collection, 129, dikuip Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 20.
[34] Louis Dupre, Truth in Religion and Truth of Religion dalam Phenomenology of the Truth Proper to Religion, disunting oleh Daniel Guerriere, NY: SUNY, 1990, 19,28.
[35] Nietzsche, Will to Power, 249-255.
[36] Martin Heidegger, “On the Essence of Truth” diterjemahkan oleh John Sallis dalam Basic Writing, (peny.) David F Krell. NY: Harper & Row, 1976, 129-33. Juga lihat dalam Magda King, Heidegger’s Philosophy, NY: The Mcmillan Company, 1964, 148-49. Bandingkan dengan Ernest Tugendhat, “Heidegger’s Idea of Truth” dalam Martin Heidegger, (peny.) Christopher McCann, Jilid lll: Language, London: Routledge, 1992, 80.
[37] Houston Smith, Beyond The Postmodern Mind, 233.
[38] David Harvey, The Condition of Postmodernity, 41.
2 notes · View notes