Tumgik
#hamidfahmyzarkasyi
mymisykat · 6 years
Text
Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Pascamodern
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA.,M.Ed.
Tumblr media
Wacana mengenai agama dalam konteks situasi yang sekarang disebut modern dan pascamodern sangat marak di kalangan sosiolog, filosof, dan pemikir keagamaan. Akbar S Ahmed[1], Ernest Gellner[2], David Griffin[3], dan Houston Smith[4], adalah sedikit contoh dari mereka yang membahas masalah ini. Wacana ini menjadi marak bukan karena semakin meningkatnya peran agama dalam kehidupan masyarakat pascamodern. Akan tetapi karena pascamodernisme telah menjelma menjadi gerakan yang bermuatan doktrin-doktrin filsafat, bahkan ditunggangi oleh kepentingan politik. Yang jelas menurut Gellner, pascamodernisme telah mempengaruhi kajian antropologi, sastra, filsafat, dan agama[5].
Untuk memahami makna agama dalam pemikiran Barat pascamodern diperlukan elaborasi mengenai pemikiran yang berkembang di Barat era modern. Sebab seperti yang disinyalir Akbar, pemahaman tentang Barat modern merupakan pra-kondisi bagi pemahaman Barat Pascamodern[6]. Bahkan bagi Silverman, makna penting Pascamoernisme adalah memarginalkan (to marginalize), menidakbatasi (delimit), dan mengesampingkan (decentre) kerja-kerja yang telah dilakukan oleh moderni[7]s. Oleh sebab itu untuk memahami pemikiran pascamodern diperlukan kajian pemikiran modernis karena pemikiran pascamodernis menelan pemikiran modernis. Konsekuensinya, untuk mengaji konsep dan makna agama dalam pemikiran pascamodern perlu menrlusuri pandangan pemikir pascamodern yang dianggap menyerang pemikiran keagamaan modern Barat. Untuk itu akan dipaparkan pemikiran filosof pascamodern yang sangat berperan dalam meruntuhkan tradisi keagamaan melalui wacana-wacana filsafat mereka yang spekulatif itu. Filosof seperti Nietzsche (m.1900 EB), Wittgwnstein (m.1951) dan Heidegger (m.1976 EB) adalah tokoh penting yang memiliki pandangan cukup berpengaruh di masa itu dan karenanya cukup representatif untuk dirujuk.
MUNCULNYA PASCAMODERNISME
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pandangan para pascamodernis mengenai agama, perlu disinggung sedikit mengenai munculnya gerakan pascamodernisme di Barat. Pascamodernisme sebenarnya merupakan istilah yang masih kontroversial. Tonggak sejarah Barat dimulai dari aktifitas perubahan dan reformasi panjang dimana benih-benihnya telah ada pada zaman modern. Meskipun terjadi perdebatan tentang hal itu, asumsi yang diterima umum adalah pertanda bangkitnya pascamodernisme adalah berakhirnya modernitas. Pertanda yang menarik dicermati adalah pemikiran tentang agama. Perubahan keagamaan yang mencolok di era modern ke era pascamodern nampak dari beralihnya pendekatan teistik pada sekular ateistik. Artinya di era postmodern terjadi perubahan konsep Tuhan bila dibanding era pramodern dan modern yang sangat drastis.
Menurut Houston Smith (l.1919 EB), pendekatan teistik pemikir Barat hanya berjalan hingga abad ke-11 EB, ditandai tren pemikiran di kalangan teolog dan filosof yang memposisikan konsep Tuhan secara sentral dalam berbagai wacana[8]. Abad selanjutnya, pemikiran Barat yang kemudian disebut dengan akal modern (modern mind) membawa angin baru yang ditandai oleh “cara baru” dalam melihat sesuatu yang yang menghasilkan kelahiran sains modern. Pada saat itulah pandangan-alam orang Barat telah berubah secara mendasar.[9] Wacana yang meletakkan Tuhan secara sentral hanya terbatas pada teolog, sedang filosof lebih tertarik pada sains. Modernisme terus berjalan dan berkembang pada abad-abad berikutnya. Habermas menyatakan, proyek modernisasi berkulminasi abad ke-18 EB saat model pemikiran rasional menjanjikan liberalisasi masyarakat dari mitologi irasional, agama, dan tahayul.[10] Inilah gerakan sekuler yang sebenarnya berusaha menyuntikkan gagasan desekralisasi ilmu dan organisasi sosial. Menurut James E Crimmins, proses desakralisasi-atau ‘disenchantment’ dalam istilah Weber (m.1920 EB)-memang sengaja diarahkan untuk menggeser dan menggusur agama tradisional.[11] Hasilnya adalah desakralisasi agama itu sendiri dan peminggiran agama dan fungsinya yang sentral dalam berbagai diskursus. Alan Finkielkraut menggambarkan kondisis agama pada era modern sebagai:
_What they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason…from now on God existed within human intelligence, not beyond it, guiding people’s action and shaping their thoughts without they knowing it. Instead communicating with all creatures, as Him namesake did, by means of Revelations, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke within him, in the language of nation.[12] _
Artinya apa yang disebut Tuhan bukan lagi Zat Yang Maha Kuasa, tapi merupakan akal kolektif. Maksudnya, Tuhan berada dalam akal manusia itu sendiri. Ia memberi bimbingan tanpa diketahui manusia itu sendiri. Sarana komunikasi dengan Tuhan bukan lagi wahyu. Tuhan tak berbicara dalam bahasa universal, namun berbicara dalam bahasa nasional. Ini berarti Tuhan tidak diperlukan lagi oleh manusia karena manusia telah merasa mampu menyelesaikan masalah dunia tanpa-Nya.
Gambaran ini menunjukkan bahwa dihapusnya nilai-nilai transedental telah mereduksi Tuhan menjadi semangat kebudayaan dan kebangsaan. Ini berimplikasi pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang ada di masyarakat. Pada zaman ini (baca: modern), pemikiran yang mendiskusikan apakah Tuhan ada atau tidak sudah semakin sedikit. Yang ada hanya diskusi yang menggugat agama. Meskipun demikian Alan sendiri percaya bahwa abad ke-18 EB masih dianggap abad metafisis.[13] Akan tetapi pondasi metafisis yang menjadi pembela kebenarana agama perlahan-lahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan menunggu penghapusan metafisika pada abad berikutnya.
Abad ke-19 EB adalah era dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat dipahami manusia. Ini adalah pengingkaran terhadap Absolutisme dan sekaligus serangan yang serius terhadap salah satu disiplin ilmu filsafat yang terpenting, yaitu metafisika obyektif. Kemunculan Eksistensialisme dan Filsafat Analitik, yang merupakan dua gerakan yang sangat dominan pada kurun itu, adalah buah ciptaan akal pascamodern (postmodern mind). Inilah yang kemudian menggantikan sistem metafisika. Silverman menyatakan, penutupan jalan pemikiran metafisika bertepatan dengan berakhirnya era Modernisme[14]. Sistem inilah yang disebut dengan pascamodernisme, yaitu sistem tanpa metafisis.
Kemunculan pasccamodernisme ini tidak hanya ditandai oleh penghapusan metafisi obyektif dengan sistem baru, tetapi juga mengesampingkan atau malah meremehkan doktrin keagamaan yang berdasar pada metafisika. Titik perubahan metode berpikir metafisis terhadap metode berpikir analitis dapat dirujuk pada pandangan Karl Marx (m.1883 EB) dan Nietzsche (m.1900 EB) tentang agama. Jadi, agama di era pascamodern didekati dengan pemikiran ateistik, dimana hal itu tecermin dari doktrin-doktrin mereka tentang nilai.
KONSEP NILAI PASCAMODERN
Doktrin yang digunakan para pemikir pascamodern untuk menggugat agama adalah konsep mereka tentang nilai. Seperti disebut diatas, program pascamodernisme adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan mutlak (absolut) oleh agama dan masyarakat.[15] Doktrin penghapusan nilai didengungkan pertama kali oleh Nietzsche (1844-1900 EB) yakni doktrin Nihilisme. Dalam karyanya The Will to Power, Nietzsche menggambarkan Nihilisme sebagai situasi dimana,
“Manusia berputar dari pusat ke arah titik X”
Artinya, nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.[16] Heidegger (m.1976 EB) dengan nada sama mentakrif Nihilisme sebagai,
“Suatu proses dimana pada akhirnya tak ada lagi yang tersisa”.[17]
Keduanya memiliki mindset dan kecenderungan sama, dimana Nietzsche berpandangan Nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi yang membawa pada kesimpulan doktrin “Tuhan telah mati”, sedang Heidegger menunjukkan penghapusan Being sedemikian rupa hingga menjelma menjadi nilai. Disini realitas tidak lagi dipahami dalam bentuk susunan dimana Sang Pencipta berada pada puncak hierarki yang mutlak. Keduanya menuju suatu titik dimana manusia tak lagi berpegang pada struktur nilai atau nilai tak lagi memiliki makna. Suatu konsep tentang apapun tak lagi berdasar sesuatu yang metafisis, agamis, atau mengandung unsur ketuhanan (divine).
Doktrin-kemudian bernama Europan Nihilism-mengusung proyek devaluasi nilai, dimana mereka menganggap hal ini sebagai suatu jalan baru dalam menentukan konsep nilai yang berbeda dari kepercayaan agama. Nilai tak lagi terkait agama dan kepercayaan. Jadi Nihilisme berhubungan dengan perubahan kebenaran ke dalam nilai, tetapi nilai yang diwarnai kepercayaan dan pendapat manusia[18]. Dalam istilah Nietzsche, perubahan kebenaran menjadi sekadar nilai, berbentuk apa yang ia istilahkan “will to power”.
Filsafat Nihilisme bertujuan mengaji dan menghapus seluruh klaim yang dilemparkan oleh pemikiran metafisik tradisional. Metafisika, dimana konsep Tuhan menjadi pondasi pemikiran dan nilai, disingkirkan. Menurut Nietzsche, ketika metafisika telah mencapai suatu titik dimana kebenaran telah dianggap sebagai Tuhan, sebenarnya itu semua tak lebih dari nilai-nilai subyektif yang boleh jadi salah sebagaimana kepercayaan dan pendapat manusia yang lain. Jadi baginya, tak ada perbedaan antara benar dan salah. Keduanya hanyalah kepercayaan yang salah (delusory) yang tidak dapat diandalkan. Ketika kita menolak kesalahan, kita pun harus menolak kebenaran. Membuang yang satu berarti membuang yang lain (to do away with one is to do away with other too).[19] Berdasar doktrin ini, Nietzsche mendefinisikan metafisika secara pejoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental, seakan-akan semua itu kebenaran yang fundamental. Serangan doktrin Nietzsche terhadap metafisika ini menujukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas moralitas.
Teori European Nihilsm dapat dilihat lebih jelas pada apa yang sekarang disebut ‘the philosophy of difference’ (dinisbatkan pada Nietzsche dan Heidegger). Segala perbedaan antara palsu dan benar, rasional dan tradisional, harus diletakkan di luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Difference adalah produk kehendak untuk berkuasa (will to power) yang ada dalam diri manusia atau kehendak menafsirkan (will to interpret). Ini berarti segala sesuatu yang yang dihadapi manusia sebagai pengalamannya di dunia tak lebih merupakan penafsiran; dimana segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsir sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam diri manusia. Kecenderungan pascamodernis untuk selalu menafsir menjadikan segala sesuatu yang dapat diketahui di dunia hanya dunia yang berbeda-beda atau dunia penafsiran. The philosophy of difference ini kemudian menjadi salah satu penghubung Nihilisme dan hermeneutika (filsafat penafsiran).
Nihilisme dan Filsafat Perbedaan (the philosophy of difference) merupakan tanda berkembangnya pascamodernisme yang pada perkembangan berikutnya menjadi penolakan kebenaran transenden. Ernest Gellner (m.1995 EB) menyatakan bahwa atmosfir pemikiran pascamodern dapat digambarkan melalui pernyataan:
“Segala sesuatu adalah teks dan materi dasar teks itu berupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu dipahami sebagai makna, dan makna itu harus dikonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai.”[20]
Rumusan Gellner diatas tepat sebab dalam wacana pemikir pascamodernis dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu dan hermeneutika adalah “nabinya”. Dalam kondisi ini, Gellner sampai pada kesimpulan bahwa pascamodernisme cenderung memihak pada relativisme dan menabuh peperangan terhadap ide kebenaran yang eksklusif, obyektif, dan transenden. Hal ini disebabkan pikiran pascamodern berpegang pada pendapat kebenaran adalah sesuatu yang internal dan subyektif. Sementara itu dunia ini bukan sebagai totalitas dari sesuatu tapi totalitas fakta.
Singkatnya, filsafat pascamodern melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan dan rujukan segala bentuk nilai sebagai pondasinya. Nilai baru yang dikenalkan pascamodernisme adalah nilai yang memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar karena ia memiliki status yang sama dalam wajah universal. Oleh sebab itu, bentuk segala macam nilai adalah nilai yang layak untuk saling tukar menukar antara satu peradaban dengan peradaban lain. Disini lagi-lagi metafisika tradisional melebur dan tenggelam.
Masalahnya, jika dalam pandangan pascamodernis segala sesuatu direduksi menjadi nilai relatif, implikasinya adalah kemungkinan penafsiran realitas menjadi tak terbatas. Alhasil tak ada lagi nilai yang diakui dan memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Akibatnya, setiap orang akan terlibat dalam kerja penafsiran terhadap aspek wujud yang tiada habisnya. Agama tak lagi berhak mengklaim berkuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki manusia yang dirumuskan oleh para filosof. Agama dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang tak mempunyai kelebihan mutlak. Agama mempunyai status kurang lebih sama dengan filsafat. Jika demikian, agama dalam pemikiran pascamodern telah digambarkan dalam bentuk dan sifat yang sangat berbeda dari sebelumnya. 
PANDANGAN PASCAMODERNIS TENTANG AGAMA
Dalam uraian diatas dijelaskan pemikiran Barat tentang agama yang mengalami perubahan mencolok; pramodern teistik, era modern dipahami dengan pendekatan sekular, dan ateistik di era pascamodern. Pemikiran pascamodernis di Barat tidak hanya diwarnai oleh sikap ateistik, namun juga ditandai oleh kecenderungan di kalangan filosof mereduksi teologi menjadi antropologi[21]. Dengannya Tuhan dalam kristen digambarkan sebagai produk dan refleksi dari pikiran manusia yang luar biasa (supernatural human mind). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa gambaran Tuhan secara antropologis berkembang menjadi penjelasan situasi sejarah manusia. Karl Marx, misalnya, berhujah agama mengekspresikan penderitaan manusia yang disebabkan oleh perubahan ekonomi atau pemisahan kehidupan manusia yang egoistis dalam masyarakat sipil dari kehidupannya sebagai makhluk manusia dalam masyarakat politik.[22] Nietzsche juga beranggapan bahwa agama adalah ekspresi penderitaan, tetapi penderitaan yang jenisnya yang berbeda. Manusia menderita karena ia adalah makhluk hidup yang sakit (sickly animal); ia menderita karena internalisasi instingnya sendiri yang disebabkan kehidupan sosialnya. Apa yang membuat manusia menderita adalah eksistensinya yang tidak berarti. Dari situ mereka berkesimpulan manusia menderita karena masalah makna dirinya[23]. Ide ini menjelaskan bahwa realitas, nilai, dan kekuasaan yang mutlak, yakni Tuhan, telah diremehkan dan diganti nilai-nilai kemanusiaan.
Alfred North Whittehead (m.1947 EB) pun mencatat, tren pemikiran baru abad ke-20 adalah pemikiran yang jauh dari keimanan (away of faith). Kesimpulan yang sama digambarkan oleh Akbar, yaitu kecenderungan pemikiran pascamodern adalah penolakan terhadap agama yang telah mapan[24]. Foucault menggambarkan keadaan era pascamodern melalui konsekuensi-konsekuensi logisnya:
_Most of us no longer believe that ethic is founded in religion, nor do we want a legal system to intervene in our moral, personal, private life. Recent liberation movement suffer from the fact that they cannot find any principle on which to base the elaboration of of a new ethic. They need an ethic, but they cannot find any other ethic than an ethic founded on so-called scientific knowledge of what the self is, what desire is, what the unconscious is and so on. _
Artinya, kebanyakan kita tidak lagi percaya bahwa etika berdasar agama. Kita juga tak ingin jika suatu sistem hukum mengintervensi kehidupan moral dan pribadi. Gerakan liberalisasi yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa mereka tak dapat menemukan prinsip apapun untuk mengelaborasi prinsip etika baru. Mereka membutuhkan etika, namun tak dapat menemukan etika lain kecuali etika yang didasarkan pada apa yang disebut pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) tentang apa itu diri (self), hasrat (desire), kesadaran (unconscious) dan lain-lain.
Jadi gambaran yang menonjol tentang agama dalam pandangan pascamodernis adalah agama yang telah diputus dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Pendekatannya berubah menjadi konsep akal yang dipisahkan dari konsep kepercayaan atau konsep Tuhan hingga menjadi ateistik. Pendekatan ini menggoyang konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang selama ini dipegang masyarakat beragama.
Sebenarnya pendekatan ateistik terhadap agama disebabkan oleh kegagalan pemikir pascamodernis dalam memahami konsep Tuhan. Pernyataan Nietzsche tentang “kematian Tuhan”, yang lebih merupakan pernyataan filosofis ketimbang teologis, merupakan bukti jelas tentang kegagalan itu. Dalam buku Beyond Good and Evil, Nietzsche mengkritik konsep Tuhan para teolog yang kabur, bertanggungjawab terhadap teisme Eropa. Baginya, Tuhan dalam Kristen tak dapat mendengar, dan jika pun bisa, ia tak tahu bagaimana menolong. Tuhan juga tak dapat menjadikan dirinya mudah di mengerti dan ia sendiri kabur tentang diri-Nya dan tentang apa yang ia maksud[25].
Namun anehnya, karena Nietzsche tak dapat memahami Tuhan, ia pun merumuskan konsep Tuhan berdasar persepsinya sendiri. Menurut Nietzsche, Tuhan adalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat dan agung dalam dirinya (baca: manusia). Kata Nietzsche:
…religion is the product of a doubt concerning the unity of person, an alteration of the personality; in so far as everything great and strong in man has been conceived as superhuman and external, man has belittled himself – he has separated the two side of himself: one very paltry and weak, one very strong and astonishing into two sphere, and called the former ���man’, the latter ‘God’.[26]
Artinya, agama adalah hasil dari sebuah keraguan tentang kesatuan seseorang, suatu perubahan kepribadian; segala sesuatu yang (dianggap) agung dan kuat oleh manusia telah dipahami sebagai manusia super (superhuman) yang berada di luar dirinya, manusia yang telah merendahkan dirinya–ia (baca: manusia) telah memisahkan dua sisi yang ada dalam dirinya menjadi dua bidang, yang satu remeh dan lemah, yang lain sangat kuat dan mengagumkan. Yang pertama disebut manusia, dan yang kedua disebut “Tuhan”.
Pernyataan di atas sangat jelas menggambarkan cara pandang yang sangat ateistik dan menunjukkan Nietzsche tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, nyata, dan berada berada di luar diri manusia. Bagi Nietzsche, Tuhan hanyalah persepsi manusia tentang sesuatu yang kuat. Mengenai ajaran Kristen, seperti yang ia tulis dalam buku The Will to Power:
“The Christian way of life is no more a fantasy than the Buddist way of life. It is means to being happy.”
Menurut Nietzsche, keseluruhan ajaran Kristen yang harus diyakini dan juga keseluruhan “kebenaran” Kristen itu sebenarnya adalah kepalsuan dan penipuan yang tak berarti. Dan ini persis kebalikan dari apa yang menjadi inspirasi gerakan Kristen pada permulaannya. Pandangan alam Kristen kurang lebih sama dengan fantasi dalam pandangan hidup Budha: ia adalah jalan menuju kebahagiaan.
Nampaknya Nietzsche mencurahkan rasa frustasi terhadap agama dalam ide-idenya, dimana yang ia kemukakan tak jauh dari apa yang ia rasa. Kata Nietzsche lagi,
“Christianity is still possible at anytime, but it does not necessarily rely on dogma, require neither the doctrine of personal God nor that of immortality, nor that of redemption, nor that of faith, and it has absolutely no need of metaphysics.”
Menurutnya, agama Kristen masih dapat diterima kapanpun, namun ia tak mesti bergantung pada dogma, tak perlu doktrin tentang Tuhan yang personal dan doktrin tentang Tuhan yang azali, tak pula memerlukan doktrin pengampunan, doktrin keimanan dan sama sekali tak memerlukan metafisika. Jadi agama yang diinginkan Nietzsche adalah agama dalam bentuk pandangan-alam dan bukan sistem kepercayaan dengan konsep-konsep yang diberikan dalam bentuk doktrin, yakni agama yang memberitahu manusia bagaimana melakukan sesuatu, dan bukan apa yang harus dipercayai. Apa yang dilakukan hanya terkait masalah-masalah dunia ketimbang masalah akhirat.
Seperti Nietzsche, Heidegger juga melakukan penolakan Tuhan metafisis, sejalan dengan persepsinya tentang Tuhan non-metafisis. Baginya, akhir pemikiran teologis adalah berhenti berpikir tentang Tuhan sebagai cause sui, yakni Tuhan yang dianggap kekuatan penyebab yang mencipta dan menjaga alam kosmos, dan sebagai gantinya Tuhan yang manusia dapat menari dan melutut didepan-Nya. Inilah yang ia sebut Tuhan sebenar (Truly Divine God)[27]. Pandangan Heidegger tentang Tuhan metafisis dan non-metafisis sejalan dengan Wittgenstein (m.1951 EB). Ia mengaku bahwa ia memahami konsep Tuhan sejauh ini menyangkut kesadaran individu tentang dosa dan kesalahan pribadinya, tetapi ia tidak memahami konsep Tuhan sebagai Pencipta[28]. Sebagai seorang filosof, Wittgenstein tentu tahu apa konsekuensi filosofisnya memahami Tuhan sebagai pencipta, penjaga, dan penyebab terjadinya alam semesta. Penolakan konsep Tuhan sebagai pencipta telah ada sejak zaman Aristoteles dan Aristotelian di kalangan Muslim. Sejak jika Tuhan dipahami demikian akan mengakibatkan rusaknya sistem filsafat mereka.
Wittgenstein mengatakan dalam bukunya Notebooks (terbit tahun 1916 EB) bahwa berbicara tentang dunia adalah bicara tentang makna dan berdo’a adalah berpikir tentang arti hidup dan beriman kepada Tuhan sama dengan melihat bahwa hidup ini mempunyai makna. Sebab Tuhan tidak menampakkan diri-Nya di dunia ini[29]. Disini jelas sekali, Wittgenstein ingin mengganti keimanan kepada Tuhan dengan makna kehidupan, dan berdoa diganti dengan berpikir tentang makna kehidupan. Wittgenstein tak menjelaskan makna dan esensi berdoa dalam kegiatan keagamaan, khususnya makna berpikir itu sendiri.
Dalam karyanya yang lain Lecture and Conversation, Wittgenstein mengatakan bahwa pemikiran tentang kehidupan manusia yang ditemui dalam peribadatan berbentuk pujian dan pujaan tak mengarah atau merujuk kepada Tuhan, namun sekedar ibadah (worship) kepada Tuhan[30]. Yang janggal adalah di satu sisi ia mengakui kegiatan ibadah dalam agama namun di sisi lain menolak Tuhan yang menjadi obyek dan tujuan dari kegiatan itu. Menerima agama dan melaksanakan peribadatan tanpa percaya akan adanya Tuhan adalah tidak masuk akal. Selanjutnya yang janggal dalam pemikiran Wittgenstein dan Nietzsche adalah penolakan mereka terhadap konsep agama bergantung pada asas metafisika, tapi ketika mengaplikasikan penolakan ini dalam kehidupan beragama atau hal-hal yang non-metafis, argumentasi mereka tak dapat dipertahankan.
Cara-cara pemikir pascamodernis memahami Tuhan dan agama membawa berbagai konsekuensi. Artinya, jika agama dipahami seperti itu maka relijiusitas akan dimaknai selaras dengan pemahaman itu. Bagi Wittgenstein, relijius bukan sifat yang diambil dari kegiatan ibadah keagamaan yang biasanya ditandai oleh banyaknya doa namun ditandai oleh kegiatan sosial, seperti misalnya menolong orang lain:
But remember that Christianity is not a matter saying a lot of prayers; in fact we are told not to do that. If you and I are to live religious live, it must not be that we talk a lot about religion, but that our manner of life is different. It is my belief that only if you try to be helpful to other people will you in the end of your way to God.[31]
Konsep keberagamaan Wittgenstein secara kebetulan sama dengan pengertian Nietzsche tentang agama. Wittgenstein menganggap keberagamaan merujuk pada kegiatan sosial dan bukan ritual. Sementara Nietzsche menyatakan bahwa agama tak mesti berdasar pada keimanan, dogma, atau kepercayaan pada Tuhan yang personal. Namun pendapat ini tak dijelaskan apa yang menjadi asas kegiatan sosial itu. Jika kegiatan sosial hanya berdasar ketentuan manusia dan tak berhubungan dengan keseluruhan konsep agama, ia tak lagi disebut agamis sebab agama dan Tuhan tidak ada kaitannya dengan kegiatan itu. Jika menjadi sosial dimaksudkan sebagai ciri dari keberagamaan maka secara konseptual harus berdasarkan perintah agama. Perintah dalam agama mengharuskan adanya konsep keimanan kepada Tuhan. Disini konsep Wittgenstein menjadi bermasalah sebab ia sendiri memiliki keyakinan bahwa bukti filosofis tentang eksistensi Tuhan tidak dapat membawa seseorang kepada keimanan kepada-Nya. Meski seseorang dapat membuktikan eksistensi Tuhan dalam analisis ilmiah, ia sendiri tidak akan pernah percaya dengan pembuktian itu. Sebab, kilahnya, seseorang hanya dapat meyakinkan orang lain tentang eksistensi Tuhan melalui proses pendidikan dengan mengarahkan kehidupannya dengan jalan pengamalan[32].
Selain itu pernyataan ini mengindikasikan bahwa Wittgenstein melihat relijiusitas dari kuantitas kerja. Tapi masalahnya karena kerja-kerja itu dipisahkan dari konsep dan kepercayaan, maka ia tak lagi menjadi bagian konsep keimanan. Sejalan dengan konsepnya tentang pemisahan aktivitas sosial dari agama, ia memprediksi di masa depan kehidupan keagamaan tidak akan bergantung kepada Gereja dan pendeta lagi. Manusia harus hidup nyaman tanpa terikat dengan Gereja[33]. Disini sudah mulai dapat dibaca bahwa ia Wittgenstein menolak otoritas keagamaan. Suatu semangat pascamodern yang berakar pada doktrin Nihilisme.
Jadi pernyataan Synder bahwa kebenaran agama melebur menjadi nilai yang muncul dalam bentuk kepercayaan dan pendapat manusia, kini telah terbukti. Namun pandangan ini ditentang oleh Dupre, bahwa segala upaya rasional untuk mengukuhkan atau menggoyahkan kebenaran agama pada akhirnya membawa distorsi terhadap kebenaran itu sendiri[34]. Sekarang mari kita lihat bagaimana padangan pascamodernis tentang kebenaran agama.
Dalam karyanya Will to Power, Nietzsche menyatakan bahwa kebenaran dalam pengertian lama adalah benar hanya karena didukung oleh sistem moralitas lama. Saat ini kita tidak lagi memerlukan kebenaran yang berlaku di masa lalu. Kebenaran itu bergantung pada moral dan moral adalah nilai luhur yang ditetapkan oleh adanya dekadensi. Nietzsche menyimpulkan, kita harus menghapus nilai-nilai luhur dan kemudian moralitas itu sendiri. Sebagai pengganti nilai-nilai metafisis dan agamis, ia memperkenalkan apa yang ia namakan nilai alami (naturalistic value), yang dikukuhkan oleh presupposisi tentang apa dan seperti apa seharusnya nilai itu kita kenal.[35] Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan doktrin Nihilisme-nya, tapi usaha lain meleburkan kebenaran agama ke alam nilai atau mengganti kebenaran agama dengan kebenaran filosofis. Nietzsche ingin mengganti kualitas ontologis dan moral kebenaran dengan kualitas yang melulu kognitif.
Pandangan ini cukup dominan di kalangan filosof pascamodernis sehingga banyak yang pesimis dengan prospek kebenaran agama. Untuk menghindarkan masalah yang akan terjadi, mereka terpaksa mencari dukungan dari pengetahuan empiris dan memperkenalkan suatu teori baru tentang kebenaran yang disebut teori bahasa (lingustic theory). Reputasi Wittgenstein dalam teori ini sangat menojol melalui karyanya, Philosophical Investigation. Akan tetapi karena teori bahasa ini hanya membenarkan suatu wacana dalam lingkup kebahasaan saja dan terlepas dari wacana lain, maka teori-teori itu mesti dikaitkan dengan apa yang secara tradisional dipahami sebagai kebenaran agama. Untuk itu diperlukan beberapa syarat. Diantaranya adalah teori-teori itu harus koheren, bukan hanya dalam dirinya namun juga dengan teori lain. Penafsiran pengalaman hendaklah sejalan atau tidak bertentangan dengan sistem penafsiran yang lebih tinggi dibangun dari kebenaran agama. Disini para filosof itu menghadapi masalah, sebab kebenaran agama dan filsafat bagi mereka tidak dapat disatukan. Disatu sisi, agama tidak dapat membenarkan kebenaran filsafat dan disisi lain filsafat menolak untuk menerima kebenaran agama. Disini agama ditantang untuk berkongsi dalam beberapa asumsi dasarnya dengan wilayah kebenaran yang lain. Jika tidak, maka istilah kebenaran didalamnya tidak akan dapat dipertahankan lagi.
Untuk memenuhi tantangan itu, para filosof terpaksa kembali kepada wacana kebenaran ontologis. Karena itu, Heidegger berusaha untuk menformulasikan teori kebenaran agama yang mengutamakan kebenaran ontologis dari kebenaran epistemis. Heidegger menganggap kebenaran yang diambil dari pemahaman terhadap sesuatu, meskipun itu benar, tidak lebih penting daripada sikap “keterbukaan” (openness) atau dorongan (pretense) yang berkaitan dengan eksistensi kita. Berdasarkan ini, kita dapat membuat keputusan penting yang menentukan kemurnian hubungan kita dengan orang lain. Jadi kebenaran tidak mempunyai tempat dalam proposisi, namun ia ada dalam pengungkapan (disclosure) yang diwarnai oleh sikap keterbukaan[36]. Artinya, esensi kebenaran tidak berfokus pada subyek, tetapi pada sikap terbuka yang pada gilirannya mendekati esensi kebenaran agama dan dianggap berasal dari agama itu sendiri. Namun karena teori ini bergantung pada agama tradisional, filsafat tidak akan menerimanya, seakan-akan teori pengungkapan (disclosure philosophy) ini menunggu kedatangan atau perkembangan filsafat hermeneutika yang berupaya memberi pembenaran dengan suatu analisis cermat tentang model pemahaman (cognition) tanpa dibatasi syarat-syarat epistemologis sains positif.
Dari kondisi ini Houston Smith menyimpulkan, dalam pemikiran pascamodern tidak ada kebenaran realitas, bahkan para pascamodernis ragu, apakah kebenaran itu mempunyai arti?[37] Dari pembahasan diatas dan juga kesimpulan Smith dapat dinyatakan bahwa makna kebenaran dalam pemikiran pascamodern adalah bermasalah karena itu memerlukan suatu evaluasi dan perubahan sebab kebenaran tak lagi dianggap mutlak.
KESIMPULAN
Poin yang perlu dicatat disini adalah, pascamodernisme membangun suatu teologi berdasar pada asasnya sendiri, meski tak disebut teologi. Dalam “teologi” ini, Tuhan dimasukkan ke dalam sistem penjelasan rasional tertutup (closed system of rational explanation), seperti yang terdapat dalam pemikiran modern. Akal manusia dianggap tak dapat memahami hakikat Tuhan, karena itu pikiran pascamodern merubuhkan jalan berpikir metafisis. Akibatnya, pascamodernis memahami agama dengan cara yang sangat berbeda dan bertentangan dengan kepercayaan para teolog. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan, relijiusitas dan kebenaran agama tak sesuai lagi dengan doktrin-doktrin keagamaan. Sebenarnya seperti halnya modernisme, pascamodernisme dihadapkan secara vis-à-vis dengan agama dalam bentuk yang antagonistis dan bahkan berbentuk pertarungan. Kemenangan bukan pada keduanya, namun yang bertanggung jawab adalah keduanya. Filsafat pascamodern gagal memahami konsep agama tentang Tuhan, tentang kebenaran, dan tentang aktifitas keagamaan. Agama, dalam hal ini Kristen, tidak dapat menunjukkan dirinya dalam bentuk penjelasan rasional yang terbuka sehingga dapat dipertahankan dari serangan filsafat mana/apapun. David Harvey menunjukkan, akal dalam pikiran pascamodern dimaknai tanpa tujuan spiritual dan moral, hingga krisis yang terjadi di zaman ini disebabkan oleh absennya kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu, katanya, proyek teologis pascamodernisme adalah menegaskan kembali kebenaran Tuhan tanpa meninggalkann kekuatan akal[38]. Jadi rekonsiliasi antara teori kebenaran para teolog dan filosof adalah tugas yang perlu dikerjakan agar terhindar dari malapetaka.
Wallāhu a’lam bi al-shawāb.
[[1]](#_ftnref1) Akbar S Ahmed, _Postmodernism and Islam_, London: Routledge, 1992. Selanjutnya disingkat _Postmoderinism and Islam_.
[2] Ernest Gellner, Postmodernism, Reason, and Religion, London: Routledge, 1992. Selanjutnya disingkat Postmodernism.
[3] David Griffin, God and Religion in Postmodern World, Albany: NY State University of New York Press, 1989.
[4] Houston Smith, Beyond the Postmodern Mind, Illinois: Quest Book The Theosophical Publishing House, Wheaton, 1989. Selanjutnya disingkat Beyond the Postmodern Mind.
[5] Ernest Gellner, Postmodernis, 23.
[6] Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam, 6.
[7] Hugh J Silverman, “The Philosophy of Postmodernism” dalam Postmodernism-Philosophy and the Art, disunting oleh Hugh J Silverman, London: Routledge, 1990, 1. Selanjutnya disingkat The Philosophy of Postmoderism.
[8] Smith, Beyond The Postmodern Mind, 5.
[9] Ibid, 4.
[10] David Harvey, The Condition of Modernity, Cambridge: Blackwell, 1992, 12-13.
[11] James E Crimmins, (Peny.) Religion, Secularization, and Political Thought, London: Routledge, 1990, 7.
[12] Alan Finkielkraut, The Defeat of the Mind, (terj.) Judith Friedlander, NY: Columbia University Press, 1995, 18. Selanjutnay disingkat The Defeat.
[13] Finkielkraut, The Defeat, 19.
[14] Hugh J Silverman, “The Philosophy of Modernism”, 5.
[15] Vattimo, The End of Modernity, 167.
[16] Nietzsche, The Will to Power, 8-9.
[17] John R Synder, The End of Modernity,19.
[18] Jon R Snyder, The End of Modernity, xi.
[19] Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idol, (terj.) R.J. Hollingde, Harmondsworth: Penguin, 1968, 41. Dalam The Will to Power ia mengatakan, “Truth is the kind of error”, lihat Friedrich Nietzsche, The Will to Power, 493.
[20] Everything is text, that the basic material of text, societies, and almost anything is meaning, that meaning are there to be decoded or deconstructed that the notion of objective reality is suspect. Lihat Ernest Gellner, Postmodernism, 23.
[21] Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, (terj.) George Eliot, NY: Harper & Row, 1957, xii-xli.
[22] Karl Marx, Early Writing, (peny.) Quinton Hoare, (terj.) Gregor Benton dan Rodney Livingston, NY: Random House, 1975, 1:378.
[23] Nancy S Love, Marx, Nietzsche, and Modernity, 124.
[24] Akbar S Ahmed, Postmodernism and Islam, 27. 
[25] Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, (terj.) RJ Hollingdale, London: Penguin Classic, 1972, 62.
[26] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, 86-87.
[27] John D Caputo, Heidegger and Theology dalam The Cambridge Companion to Heidegger, (peny.) Charles B Guignon, Cambridge: Cambridge University Press, 1993, 285.
[28] Paul Engelmann, Letter from Ludwig Wittgenstein with a Memoir, (peny.) B F McGuinness, (terj.) Lfurtmuller, Oxford: Blackwell, 77. Bandingkan dengan Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, (peny.) Peter Winch, Ithaca: Cornell University Press, 1994, 9. Selanjutnya disingkat Wittgenstein: A Religious Point of View.
[29] Ludwig Wittgenstein, Notebooks 1914-1916, edisi ke-2, (peny.) G H Von Wright dan G E M Anscombe, (terj.) G E M Anscombe, Oxford: Blackwell, 1979, 74, dikutip dalam Norman Malcolm, _Wittgenstein: A Religious Point of View,_10.
[30] Ludwig Wittgenstein, Lecture and Conversation on Aesthetics, Psychology, and religious Belief, (peny.) C Barret, Oxford: Blackwell, 1966, 56.
[31] Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 11.
[32] Wittgenstein’s Vermischte Bemerkunguen, 85-86, dikutip oleh Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 19.
[33] Rush Rhees (peny.), Ludwig Wittgenstein’s Personal Collection, 129, dikuip Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 20.
[34] Louis Dupre, Truth in Religion and Truth of Religion dalam Phenomenology of the Truth Proper to Religion, disunting oleh Daniel Guerriere, NY: SUNY, 1990, 19,28.
[35] Nietzsche, Will to Power, 249-255.
[36] Martin Heidegger, “On the Essence of Truth” diterjemahkan oleh John Sallis dalam Basic Writing, (peny.) David F Krell. NY: Harper & Row, 1976, 129-33. Juga lihat dalam Magda King, Heidegger’s Philosophy, NY: The Mcmillan Company, 1964, 148-49. Bandingkan dengan Ernest Tugendhat, “Heidegger’s Idea of Truth” dalam Martin Heidegger, (peny.) Christopher McCann, Jilid lll: Language, London: Routledge, 1992, 80.
[37] Houston Smith, Beyond The Postmodern Mind, 233.
[38] David Harvey, The Condition of Postmodernity, 41.
2 notes · View notes
mymisykat · 8 years
Text
Hati yang Berpikir
Bangunan trilogi iman, ilmu, amal adalah paradigma keilmuan Islam yang kuat. Karena itu ilmu dalam Islam berdimensi amal dan amal berdimensi ilmu, keduanya bersumber pada iman.
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Suatu ketika al-Ghazzali melakukan perjalanan panjang. Dalam perjalanannya itu ia membawa serta seluruh buku bacaannya. Konon di tengah jalan tiba-tiba datang segerombolan orang merampok seluruh bawaan al-Ghazzali, termasuk buku-bukunya. Padahal ia belum membaca seluruh isi buku itu. Yang telah ia baca pun belum seluruhnya dihafal.
Kejadian itu benar-benar telah menyadarkan al-Ghazzali, bahwa ilmu itu ada di dalam dada dan bukan dalam tulisan (al-‘ilm fi-s-sudur la fi-s-sutur). Sejak kejadian itu al-Ghazzali bertekad untuk selalu mengingat apa yang telah ia baca. Yang menarik tentu bukan peristiwa perampokannya, tapi kesimpulan al-Ghazzali tentang letak ilmu. Benarkah mengetahui dan pengetahuan itu ada di dalam dada? Apa bedanya ilmu dari ma’rifah.
Bicara ilmu adalah bicara obyeknya (realitas atau wujud) dan luas obyek ilmu adalah seluas realitas atau wujud. Maka dari itu realitas bagi Ghazzali dan juga para ulama adalah empiris dan non-empiris.
Realitas empiris pun dibagi sekurangnya menjadi tiga: (1) realitas individual, (2) realitas pembicaraan, dan (3) realitas pikiran. Yang pertama, adalah wujud yang riil dan empiris, yang kedua adalah wujud dalam pembicaraan yang bersifat verbal dan indikatif, dan yang ketiga adalah wujud dalam pikiran yang bersifat kognitif dan formal. Diatas dari segala realitas tersebut diatas adalah Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak.
Lalu bagaimana proses mengetahuinya? Bagi al-Ghazzali untuk realitas empiris dimulai dari kajian terhadap hal-hal yang khusus yang dapat dipahami dan dikomunikasikan dengan bahasa.Ketika wujud individual dipahami oleh akal kita, bentuk (surah) dari realitas individual tersebut tercetak dalam mata, lalu pada imaginasi kita dan kemudian menjadi wujud dalam pikiran kita.
Ketika bentuk realitas atau wujud individual itu hadir dalam pikiran, ia menjadi ilmu, sebab obyek yang diketahui berhubungan dengan representasi dalam pikiran tersebut, persis seperti bayangan kita yang tercermin dalam kaca.
Jadi proses mengetahui mengharuskan adanya tiga hal yaitu: (1) obyek ilmu (2) pengetahuan, (3) penerima dan proses kognisinya yang melibatkan penginderaan. Ketika realitas atau wujud empiris ada dalam pikiran ia tetap bernama realitas.
Demikian pula keimanan yang tidak empiris di dalam dada itu dapat disebut realitas juga. Jika realitas empiris – melalui proses – dapat tercermin dalam pikiran, maka Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak, yaitu Tuhan dapat pula tercermin dalam diri manusia.
Dengan jalan empiris saja manusia telah dapat mengetahui dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhannya. Wujud Tuhan dapat diketahui secara induktif dari ciptaanNya. Ilmu-ilmu empiris itu tentang ciptaan Tuhan itu merupakan aspek-aspek yang saling berhubungan dan membentuk kesatuan.
Pada maqam yang tertinggi orang akan sampai pada pandangan bahwa realitas dan kebenaran itu hanya satu dan tidak plural. Artinya dalam akalnya hanya ada satu realitas atau wujud, yaitu Wujud Mutlak, Aktor (fa’il) dari segala wujud yang plural yang nisbi.
Jikapun tidak dengan jalan empiris Tuhan dapat diketahui dengan mata hati. Sebab dalam diri manusia telah terdapat naluri (fitrah) mengenal tuhan (ma’rifatullah). Naluri itu diciptakan oleh Tuhan sebelum manusia lahir melalui syahadah awal (mithaq).
Syahadah inilah bekal manusia memperoleh ma’rifah. Nietzsche menuduh fitrah ini hanya pikiran dan khayalan. Dan khayalan itu, menurutnya, harus dibunuh agar orang dapat berpikir saintifik. God is dead artinya fitrah itu telah mati. Memang pengetahuan tentang ini bagi al-Ghazzali tidak dimiliki orang awam, termasuk Nietzsche.
Pengetahuan tentang Tuhan dengan jalan non-empiris dicapai dengan mata hati yang penuh cinta. Dalam Ihya ia menyatakan:
“…metode terbaik untuk memperoleh kebenaran dan sekaligus kecintaan pada Allah adalah dengan metode deduktif dari ma’rifah tentang Allah kepada pengetahuan tentang realitas. Tapi ini adalah metode yang rumit dan tidak dipahami orang awam” (Ihya’, hal. 2619, vol. IV).
Jadi ternyata tempat ‘ilm dan ma’rifah adalah sama, yaitu di dalam hati (qalb), di dada. Berarti tempat aktifitas zikir, fikir, ‘ilm, iman, amal, cinta dan akhlaq adalah sama yaitu qalb.
Jika semua aktifitas itu seimbang maka sampailah seseorang itu pada derajat yaqin. Bangunan trilogi iman, ilmu, amal adalah paradigma keilmuan Islam yang kuat. Karena itu ilmu dalam Islam berdimensi amal dan amal berdimensi ilmu, keduanya bersumber pada iman.
Maka al-Ghazzali tegas “Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong”. Jadi, Muslim yang mengatakan “Hatinya di Mekkah otaknya di Jerman atau di New York”, berarti imannya tanpa ilmu, ilmunya tanpa iman. Hatinya berzikir tapi pikirannya (boleh jadi) sekuler-liberal.
0 notes