Tumgik
sitihannahsekarwati · 7 months
Text
Suka malas melihat orang yang pura-pura bodoh demi mengamankan dirinya.
Ya memang mungkin cara bertahan hidupnya begitu ya.
0 notes
sitihannahsekarwati · 11 months
Text
Sudah lama tidak menulis di Tumblr. Halo, Tumblr! Hari ini aku mau mencoba menceritakan hidupku yg penuh hikmah ini. 😆
Beberapa bulan lalu, aku bertanya kepada teman kantorku, “Lo pakai pensil alis apa?” karena aku beli pensil alis dan sudah mau habis.
Lalu, dia menjawab, “Aku mah suka beli yg murah aja, Mba. Yang harga 5–6 ribuan.”
Sontak aku kaget ada pensil alis harga segitu. Kayanya aku mainnya kurang luas ya. Ngga tahu ada pensil alis harga segitu. Wkwkwk.
“Serius ada pensil alis harga segitu? Mereknya apa?” tanya aku lagi.
“Ada, Mba. Im**o**,” jawabnya.
Kemudian, aku cek e-commerce. Bener dong, ada pensil alis segitu.
Terus, beberapa hari kemudian, aku pergi ke mall. Masuklah ke toko belanja make up/skincare, sebutlah So**ol**. Lalu, aku carilah pensil alis merek yg disebut teman kantorku itu. Aku lebih suka belanja barang yg belum aku ketahui itu secara langsung. Kalau sudah tahu beli barang apa dan tahu itu bagus, baru beli online. Eh, ternyata pensil alis itu ngga ada dong.
Ketika sudah hari masuk kantor, aku ngobrol dong sama temanku di kantor.
“Eh, weekend kemarin gue ke So**ol**. Ngga ada merek pensil alis lo.”
Teman kantorku dan temanku lain yg mendengar malah menertawakanku. Wkwkwk.
“Hanooyy.. Lo ngga akan mungkin nemuin pensil alis Im**o** di So**ol**. Lo cari di toko kosmetik pinggir jalan atau kaya Dandan gitu, baru ada.”
Huahahaha.. Ya Allah..
Benar-benar aku masih buta ya ternyata tentang hal-hal kehidupan ini. Di usia 32 tahun, baru tahu ada pensil alis 5ribuan dan ngga dijual di mall. 😩
Beberapa hari lalu, aku cerita sama Akang tentang ketidaktahuan aku ini.
Kemudian, Akang menasihati begini.
“Sekarang perspektif kamu tentang hal-hal materiel dalam hidup lebih luas ya. Setiap orang, setiap keluarga, kebutuhan hidupnya sama. Sama-sama butuh makan, sama-sama butuh make up. Cuma bedanya, nilai kebutuhan antara satu orang dengan orang lainnya berbeda. Misalnya, nilai 100ribu di hidup keluarga kita hanya untuk makan satu hari, sedangkan di hidup keluarga orang lain mungkin 100ribu bisa untuk 2–3 hari makan. Yang sama apa sih antara kita dan mereka? Waktu. Waktunya sama, tapi cara hidup kita dan mereka berbeda-beda. Maka dari itu, ada agama yg menyamakan cara hidup manusia. Agama mengajarkan manusia untuk hidup merasa cukup dan bersyukur. Sabar kalau belum mendapatkan suatu hal.”
Ya Allah.. Terima kasih telah memberikanku hikmah terhadap kehidupan yg sangat luas ini. Manusia itu ilmunya terbatas. Teruslah belajar, teruslah menuai makna dalam hidup.
3 notes · View notes
sitihannahsekarwati · 2 years
Text
Tidak enaknya jadi anak paling bungsu itu semacam ngga enak kalau tidak mengikuti apa keinginan ibu dan kakak-kakak. Semacam merasa bersalah kalau tidak bisa mengiyakan keputusan mereka.
Sepertinya harus belajar untuk tidak mempunyai pikiran seperti itu. Kalau melihat keadaan dan kondisi keluarga kecilku saat ini, aku tidak sanggup. 🥲
Mba Ina bilang kalau tetap ada kumpul Hari H Lebaran pada siang hari walaupun ibu masih belum pulang umrah karena Bang Deddy hari H+1 Lebaran subuh sudah berangkat ke Padang.
Hari H Lebaran, kami berempat masih di rumah mertua Ciawi dan belum tentu ada saudara yang bisa diajak untuk membantuku ke Jakarta. Jujurlah, aku tak sanggup jika hanya kami berempat di jalan tanpa ada bantuan orang lain. Rempongnya ketika anak rewel di jalan atau sekadar membuat susu itu tidak mudah mengondisikannya. Ada 2 ncus saja, kalau lagi di jalan, aku tetap turun tangan bergantian memegang anak yg sedang rewel.
Semoga kakak-kakak bisa memahami kondisi adik bungsunya saat ini walaupun tetap aku merasa bersalah tidak bisa ikut kumpul.
Bukan Hannah kalau tidak menyusun solusi. Aku langsung chat Bang Deddy untuk meminta maaf jika Hari H tidak bisa ikut. Hari ini pun berusaha ketemu abang, tapi dia sedang di jalan ke rumah mertuanya. Hari H+2/ H+3, ketika ada keponakan dari Ciawi yang dapat membantuku lagi, aku keliling ke rumah kakak-kakak. Mudah-mudahan Allah ridha. 🥲🙏🏻
2 notes · View notes
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
Jika ingin dikatakan menyerah, aku memang ingin menyerah.
Jika ingin dikatakan aku lemah, aku memang lemah.
Jika ingin dikatakan terserah, aku memang sudah terserah.
Terserah Allah, insya Allah aku ridha apa pun yg terjadi. 🥺
Tidak semudah itu memang menjadi ibu. Sudah pernah merasakan hamil saja aku sudah sangat bahagia.
0 notes
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Bismillah.. Beberapa tahun ini, saya dan Mba Ina sering mengobrol, mengobrol apa saja, dari hal receh sampai hal berat. Dengan kakak laki-laki yang lain juga (jika ada momen berduanya, misal dalam perjalanan bersama). Pada saat itu, ada perkataan-perkataan mereka yg saya resapi setelahnya dan kadang menjadi sulaman terhadap berbagai pertanyaan saya dalam hidup.
Menuju usia kepala 3 ini, saya menjadi bersyukur memiliki kakak-kakak yang jarak usia jauh. Jarak usia saya dengan kakak yang persis di atas saya saja 5 tahun. Dengan begitu, hal-hal terkait pengalaman hidup, saya tidak perlu belajar terlalu jauh, bisa melihat dari pengalaman kakak-kakak saya.
Tulisan di gambar ini merupakan perkataan Mba Ina sekitar awal tahun 2020 ini. Mungkin Mba Ina tidak sadar juga bahwa perkataannya ini sangat membekas di hati saya dan menjadi salah satu bagian sulaman atas pertanyaan hidup saya.
Sepertinya, begitulah kita menjalani setiap fase hidup. Setiap ada kebahagiaan, akan ada ujiannya pula. Jangan berpikir jika kita sedang berikhtiar menggapai kebahagiaan yang kita inginkan, ketika kita sudah mendapatkannya, akan menambah kebahagiaan kita. Kita mungkin akan mengalami perasaan bahagia yang baru, tetapi kita pun akan mengalami ujiannya. Bisa dengan mengurangi kebahagiaan yang kita dapatkan hari ini atau ujian yang benar-benar baru.
Dalam menjalani hidup ini, ternyata banyak hal yang harus kita persiapkan, terutama terkait pola pikir/mental dan kedekatan dengan Rabb kita. Jadi, teruslah memperbaiki kualitas diri kita ini sehingga kita siap menghadapi berbagai fase hidup yang Allah berikan kepada kita nanti.
Terima kasih, Mba Ina @virna.dr , Mas Arwi @arwi.asrori , Bang Deddy, dan Kak Ikhsan @ikhsansilverio atas cerita pengalaman hidupnya yang tanpa kalian sadari membentuk pemikiran adik kalian ini. I love you all. Mewek. 😭❤️
.
#hnberopini #kebahagiaan #ujian #hikmahhidup #selfreminder😇
0 notes
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
Ya qowiyyu, kuatkanlah diriku. Ya syafii, sehatkanlah jiwa ragaku. Ya malik, Engkau pemilik luar dan dalam diri ini, Engkau Maha Mengetahui apa yang ada di dalam dada ini. Ya rabb ya mujiib, kabulkanlah permohonanku.
0 notes
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
Menyiasati Perbedaan Prinsip Kebiasaan dalam Berumah Tangga
Setelah bertahun-tahun menikah, ada beberapa kebiasaan pasangan yang masih tidak kita terima sampai saat ini. Misalnya, tidak langsung menjemur handuk di tempat gantungan handuk, tidak langsung membuang sampah pada tempat sampah, tidak langsung menaruh suatu benda pada tempatnya, atau tidak langsung menaruh baju kotor pada tempatnya.
Kebiasaan tersebut biasanya terngaruh dari kebiasaan di keluarganya. Ketika kita memutuskan sudah menikah dengannya, mau tidak mau, kita harus terima.
Seringkali saya berpikir, itulah kekurangan menikah tidak dimulai dengan berpacaran (mengenal lama) atau menikah di bawah usia 25 tahun. Hahaha :P. Ada kebiasaan-kebiasaan yang baru kita sadari ternyata sangat prinsip dan sangat terganggu jika tidak dilakukan juga oleh pasangan. Ya, mungkin juga karena saya baru menyadarinya setelah menikah :D.
Saya membenarkan bahwa usia minimal 25 tahun merupakan usia kesiapan mental seseorang untuk menikah. Pada usia segitu, biasanya seseorang telah mengenal karakter dirinya sendiri. Menyadari dan menerima bahwa saya mempunyai karakter seperti ini itu, jadi preferensi memilih pasangan lebih tepat. :P
Jadi, kalau sudah kadung menikah begini, apa yang harus dilakukan? Sementara, otak kita sudah terbiasa dengan berbagai prinsip kebiasaan tersebut.
Pertama, terima. Terima bahwa pasangan kita tidak mempunyai kesamaan kebiasaan dengan kita.
Keda, ungkapkan. Tidak ada salahnya mengungkapkan apa kebiasaan yang kita suka. Kalau dia akhirnya mau mengikuti kebiasaan kita, Alhamdulillah. Kalau tidak, bacalah urutan selanjutnya. :D
Ketiga, selow. Kerjakan kalau kita mau. Kalau tidak mau, jangan dibuat bete.
Keempat, ingat sisi baik pasangan yang tidak kita miliki. Ini koentji dalam merawat pernikahan banget sih. Ada masalah apa pun, ingat sisi baiknya.
4 notes · View notes
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
Perjalanan Mencari Topik Penelitian
H: Hannah
MI: Mba Ina
--
H: Mba, dulu gimana cara Mba terpikir topik disertasi tentang implan?
MI: Agak lama itu, De. Dulu dosen Mba di FK memberikan saran untuk meneliti gen glaukoma, cuma Mba kok seperti merasa ada yg kurang gitu.
H: Maksudnya kurang menantang? Kurang greget? 😝 *tahu bangetlah karakter kakaknya gimana untuk masalah akademis gini.
MI: Hehehe. *senyum tercengir 🙊
H: Lalu, Mba?
MI: Lalu Mba ada kesempatan ketemu sama Prof. Morgan (profesor dari Perth yg sangat dekat dengan Mba Ina sejak Mba pernah shortcourse di sana). Prof bertanya kepada Mba, “Bagaimana kalau kamu mencoba membuat implan?”
Tadinya Mba kaget, agak ragu apakah bisa. Lalu Prof. meyakinkan Mba untuk mencoba dulu.
H: Wiw.. Alhamdulillah bisa ya, Mba.
MI: Iya, De. Biidznillah.
Mengingat percakapan dengan Mba Ina dulu, ternyata mirip apa yg terjadi oleh saya ketika mencari topik tesis yg mengena di hati saya. Sebelum bertemu dengan Pak Totok, dosen pembimbing tesis saya, saya sudah bertemu dengan beberapa dosen. Namun, sepertinya kurang cocok dengan apa yg saya mau. Topik yg saya inginkan tentang kolokasi, tetapi belum tahu bagaimana memulainya. Ketika bertemu dengan Pak Totok, saya menceritakan kebingungan saya sampai membahas topik skripsi saya dulu. Intinya saya mempunyai keinginan agar topik tesis nantinya bisa sedikit relevan dengan topik skripsi saya dulu. Namun, saya masih bingung bagaimana agar datanya lebih terukur dan bagian mana yang akan diteliti agar lebih kompleks, tetapi masalahnya sederhana. Hahaha *songong. Pada saat saya menyusun skripsi, data yang digunakan adalah KBBI versi pdf dan saya kurang puas dengan data di KBBI. Hehehe. Ternyata, karakter kepuasan memilih topik ini mirip dgn karakter Mba Ina ya. Yaiyalah satu rahim Ibu. 😝
Kemudian, Pak Totok bertanya kepada saya. “Hannah tertarik dengan korpus?”
“Saya suka dengan kuliah korpus, Pak. Apa kira-kira bisa, Pak?”
Pertanyaan tersebut bukan berarti meragukan metode Linguistik Korpus, melainkan saya meragukan apakah diri saya mampu menggunakan metode ini. Di Indonesia, belum banyak penelitian bahasa Indonesia yang menggunakan metode korpus sehingga sumber literatur yang menggunakan bahasa Indonesia tidak banyak. Jadi, saya harus lebih banyak membaca jurnal dan buku berbahasa Inggris yang tentu saja kasus bahasa yang diteliti berbeda dengan kasus dalam bahasa Indonesia.
Pak Totok meyakinkan saya dengan menjawab, “Dicoba saja dulu.”
Berdasarkan kedua cerita percakapan di atas, ada hikmah yang dapat dipetik dari pertemuan Mba Ina dengan berbagai ahli dan pertemuan saya dengan berbagai dosen. Dalam proses pencarian topik penelitian, kita memerlukan petunjuk dari Allah. Petunjuk dari Allah itu dapat kita rasakan jika kita memiliki kepekaan hati dan pikiran yang jernih. Kepekaan tersebut dapat kita latih dengan berusaha mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Hati dan Pikiran Kita, yaitu Allah Swt. Klise ya. 
Saya mungkin masih jauh dari kata dekat dengan Allah. Dari segi ibadah pun, saya masih jauh dari kata sempurna. Yang saya yakini, Allah Mahabaik, Allah Maha Melihat. Jika kita berusaha memberikan terbaik dalam hal ibadah kepada-Nya, Allah tidak akan luput penghitungannya. Misalnya, ketika waktu dhuha, sebenarnya agenda kita padat sekali, tetapi kita tetap berusaha agar bisa melaksanakan salat dhuha walaupun hanya 2 rakaat. Atau, ketika kita merasa lelah beraktivitas seharian, baru tiba di rumah malam hari, kita berusaha melawan diri kita sendiri untuk tetap membaca Alquran walaupun hanya satu halaman. Jadi, bukan kuantitas ibadahnya yang dituju, melainkan kekonsistenan kita untuk melawan berbagai kesempitan dan keterbatasan waktu atau tenaga yang kita miliki. Dengan demikian, kita merasa dekat dengan Allah dalam kondisi apa pun. 
Kembali ke cerita tesis. Jika saya mencoba berpikir pada saat ini, pergerakan Mba Ina dan saya dapat bertemu dengan para ahli tersebut merupakan jalan yang sudah ditakdirkan oleh Allah. Hati dan pikiran kami berpikir untuk bertemu dengan dosen-dosen, tetapi kami tidak pernah tahu dosen yang mana yang pernyataannya mengena di hati kami. Kami juga tidak tahu siapa dosen yang harus kami ajak diskusi. Pada perjalanan saat itu, kami hanya berusaha mendatangi dosen-dosen yang sesuai dengan kata hati dan pikiran kami. Bahkan, ada juga pertemuan dengan dosen secara tidak sengaja. Di situlah tangan Allah bekerja.
Tidak berhenti sampai di situ. Setelah kami bertemu dengan para ahli tersebut, Allah juga yang memberikan takdir bertemu dengan dosen yang sesuai dengan preferensi penelitian kami. Tidak banyak orang yang mampu memancing potensi yang ada di dalam diri kita. Potensi itu belum tentu kita tahu, tetapi dosen tersebut (dalam cerita kami, Prof. Morgan dan Pak Totok) yang dapat memancing kemunculannya. Lagi-lagi bisa jadi itu merupakan jalan dari Allah. Jalan itulah jalan terbaik yang membuat kami bisa lebih bertumbuh. Allah Maha Mengetahui apa-apa yg ada di dalam hati kita.
0 notes
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
Memilih Teman Bercerita yang Tepat
Seseorang yang pernah mengalami proses menunggu mendapatkan pasangan atau keturunan tidak sama “rasanya” dengan orang lain yang dengan mudah mendapatkannya. Pengalaman perasaan tersebut pun, tidak mudah untuk diceritakan.
Sehebat apa pun kita memilih kosakata untuk disampaikan, si penerima cerita yang belum pernah mengalaminya, sulit untuk memahami gemuruh perasaannya. Bahkan, untuk bercerita dengan psikolog pun, menurut saya, harus berhati-hati memilihnya. Penting untuk mengetahui latar belakang seorang psikolog agar maksud yang disampaikan dapat dimaknainya dengan tepat.
Teman bercerita tidak sama dengan teman berdiskusi. Apa tema ceritanya pun berbeda teman ceritanya. Tidak semua sahabat dekat kita harus tahu masalah kita. Tidak semua keluarga besar harus tahu apa yang sedang kita alami. Di sinilah pentingnya mengasah kemampuan peka mengetahui masalah orang lain. Bukan kita untuk kepo, melainkan agar kita mengetahui orang mana yg kiranya tepat untuk diajak bercerita tentang masalah yang sama.
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa pengalaman adalah guru terbaik sehingga pengalaman orang lain dapat menjadi tempat kita belajar secara cuma-cuma. Mereka yang sudah berpengalaman mengatasi masalah/tantangan hidup yang sedang kita hadapi saat ini akan memberikan rangkaian kata yang lebih mendalam di hati kita dibandingkan dengan teman lain yang belum pernah mengalaminya.
Oleh karena itu, jika kita pernah mengalami masalah atau tantangan dalam hidup, janganlah sungkan untuk diceritakan sedikit permukaannya ke media sosialmu. Oleh karena, pengalamanmu dapat membuka pintu keluar masalah temanmu. Begitu pun sebaliknya, pengalaman temanmu dapat membuka pintu keluar masalah kita.
0 notes
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
Tahun 2020: Belajar untuk lebih bisa menahan mengungkapkan apa yang sedang atau akan direncanakan.
0 notes
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
“Keluarga adalah sumber kekuatan sekaligus kelemahanku.”
Setiap menonton film bergenre keluarga, aku sangat mudah menangis, sangat mudah untuk teringat sosok Bapak. Memori kebersamaan dengannya tanpa menyapa langsung terputar kembali, betapa hari-hariku terlampau bahagia bersamanya.
Aku hanya tinggal memiliki seorang ibu.
Ya Rabb. Aku mohon panjangkan usia ibuku, jaga ibuku selalu. Aku belum sanggup jika ketika aku kehilangannya, beliau belum sempat melihat cucu dari rahimku. Walaupun secara ideal, aku tahu, aku harus siap.
Namun, bolehkah aku tidak diberikan takdir seperti itu? Sudahlah cukup almahrum Bapak tidak melihatku ketika wisuda S1, ketika wisuda S2, dan menjadi wali akad nikahku. Sungguh, aku tak kuasa memikulnya.
1 note · View note
sitihannahsekarwati · 4 years
Text
Seseorang yang pintar biasanya lemah di masalah hati. (Unknown)
0 notes
sitihannahsekarwati · 5 years
Text
Hatiku sepertinya sedang beku. Beberapa pekan ini, aku menyadari bahwa aku mudah sekali kesal dengan orang-orang yg dulunya jarang aku kesali. Aku pun tidak mudah berempati atau peduli dengan teman-teman lamaku. Aku memilih diam dengan kabar kebahagiaan atau kesedihan mereka—yg aku ketahui dari akun media sosialnya. Sejujurnya, aku pun juga tidak berharap bahwa akun media sosialku dikomentari atau di-reply oleh teman-temanku. I just post what I want and go. Erreneous. Whereas, I am aware of the consequences of that. But, now, I really don’t care. See? Less empathy.
Aku pun menyadari bahwa saat ini aku hanya mudah berinteraksi dengan teman-teman yg baru. Berinteraksi dengan teman-teman yg baru dikenal lebih nyaman dibandingkan teman-teman yang sudah mengenal pribadiku sejak lama. Beberapa teman lama, aku batasi interaksinya. Semakin lama, sepertinya aku tidak butuh teman setia terlalu banyak. Dua atau tiga sudah cukup. Cukuplah, suami yg setia. Hehehe.
Namun, di sisi lain, ada sedikit kekhawatiran. Apakah itu termasuk tanda-tanda aku belum dewasa? Apakah arti usia 29 tahun ini jika malah tidak menjadi lebih dewasa? Apakah Allah sedang menguji mental dan imanku lagi? Kali ini, hikmah apa yg hendak Allah berikan kepadaku?
1 note · View note
sitihannahsekarwati · 5 years
Text
Tumblr media
Sumber gambar: https://pin.it/jlllmylb6t5pap
Rumah tangga sangat terasa setelah mengambil rumah. Saya benar-benar baru merasakan bahwa kebutuhan rumah tangga sebanyak itu sejak membeli rumah. Entah biaya cicilannya, listrik, pompa air, kebocoran, dan perintilan dapur lainnya. Belum lagi kalau mempunyai kendaraan. Ada biaya servis dan pajaknya. Jadi, mempunyai penghasilan tambahan itu sebuah keharusan sih kalau menurut saya.
“Hannah kok masih ngajar bimbel? Hari Sabtu lagi. Untuk aktualisasi diri atau cari uang?” tanya seorang teman.
Sebenarnya saya malas sih menjawab ini. Jadi, bergantung siapa yg tanya untuk menjawabnya. Kalau tidak terlalu dekat, saya jawab aktualisasi diri dan sharing ilmu. Kalau teman dekat, saya pasti katakan sangat jujur, cari uang. 😂
0 notes
sitihannahsekarwati · 5 years
Text
Jiwa Pemberontak
Ketika perjalanan kembali ke Depok dari Ciawi, ada hal yang membuat saya sangat bete. Mobil kami tidak bisa ke luar karena terhalang mobil lain (mobil Innova) yang sedang parkir.
Sebagai bayangan, di daerah rumah keluarga Akang terdapat pesantren tradisional. Pesantrennya sendiri punya kakak ipar Akang. Di sana ada tempat tinggal santri, majelis, dan masjid. Di depan rumah mimi itu tidak ada lahan parkir. Jadi, setiap kali kami berkunjung ke Ciawi, mobil kami harus parkir di samping majelis.
Momen Hari Raya Iduladha, tentu saja ramai sekali di pesantren itu. Banyak orang kota (khususnya Jakarta, dapat dilihat dari plat nomor mobilnya) yang kurban di pesantren itu. Mereka datang berkunjung untuk bersama-sama melihat pemotongan hewan kurban.
Yang membuat saya sangat bete adalah saudara-saudaranya Akang (yang terlibat dengan kepesantrenan) tidak berani menanyakan satu-satu kepada orang-orang kota tersebut--siapa yang membawa mobil Innova itu. Saya bingung dengan tingkah mereka yang mengelu-elukan orang kota. Atau, apakah merekatidak berani dengan kakak ipar Akang sebagai kepala pesantren.
Menurut saudara Akang, orang yang mempunyai mobil itu sedang makan. Jadi, kami diminta untuk menunggu sebentar. Beberapa menit kami menunggu, tidak kunjung ke luar. Kalau kasusnya di restoran, mau pengunjungnya sedang makan, pengunjung tersebut harus berhenti sejenak makannya, mengurus mobilnya, baru melanjutkan makan lagi. Tidak seperti ini, kami harus menunggu mereka selesai makan yang entah sampai pukul berapa.
Akhirnya, jiwa pemberontak saya ke luar, saya berjalan mendekati masjid, tempat pemotongan hewan kurban yang di sana terdapat sekumpulan orang kota yang sedang makan dan kepala pesantren. Akan tetapi, Akang mengejar dan mencegah saya untuk tidak ke sana. Saya terus berjalan dan sampai pada akhirnya Akang meninggikan suaranya, kemudian saya pun menghentikan langkah saya.
“Ade, ngga nurut dengan aku?”
“Nggak mau kalau tidak ada yang berani ngomong ke sana.”
“Ade, biar aku.”
“Sampai kapan? Dari tadi biar aku biar aku tidak ada hasilnya.”
“Ya, tunggu. Sabar.”
“Sabar sampai kapan? Memang kenapa kalau aku yang samperin?”
“Biar aku.”
“Ya sudah. Estimasi berapa menit?”
“10 menit.”
Baiklah, akhirnya saya tidak melanjutkan langkah saya. Saya menunggu sambil sok-sokan memundurkan mobil. Alhamdulillah tidak sampai 10 menit, si empu mobil Innova datang bersama Akang dan saudara Akang. Saya yang sudah bete, tidak mau Akang yang mengendarai mobil. Saya melajukan mobil tersebut sambil ngegas agak kencang di depan masjid itu. Biarlah orang berkata apa. Saya tidak peduli. Saya sangat menyayangkan mengapa orang desa itu terlalu menghormati orang kota. Atau, mengapa santri-santri/ saudara-saudara Akang itu tidak berani dengan kepala pesantren jika memang kalian melakukan sebuah kebenaran? #eh
Yang saya takutkan sebenarnya reaksi mimi dan teteh yang mungkin baru pertama kali melihat Akang ternyata dapat mengeraskan suaranya ketika marah dan beliau mengetahui bahwa saya bisa tidak menurut kepada Akang. Walaupun begitu, saya tidak peduli dengan omongan orang. Biarlah mereka tahu bagaimana saya yang sebenarnya. Saya pun menerima risiko diomongin orang dan orang tidak menyukai saya. Selama alasan yang saya lakukan benar, saya tidak pernah takut melakukannya.
1 note · View note
sitihannahsekarwati · 5 years
Text
Tumblr media
Terharu, Mba.. 😭
Semoga Allah selalu menjaga kebersamaan kita sampai surga ya, Mba. 😭
1 note · View note
sitihannahsekarwati · 5 years
Text
Hannah: Kang, kenapa sih ikat pinggang kamu ini ada di sofa? Aku kan ngga suka. Jadi berantakan.
Akang: Iya nih. Kenapa ya ikat pinggang itu ada di sofa? Aku juga ngga suka, De.
(Yang tadinya saya mau ngomel, Akang jawabnya gitu. Istrinya kan jadi ketawa. Itulah kecerdikan Akang agar istrinya ngga cerewet. 😌🤣)
1 note · View note