Tumgik
scholasticags · 4 years
Text
Apa yang kurasakan sebetulnya bisa dibilang tidak baru juga. Aku mengenal perasaan ini. Hanya saja periodenya tidak begini lama.
Bendunganku sedang rusak. Awalnya retak, lalu muncul lubang kecil, lama kelamaan membesar. Berulang kali aku berusaha menambalnya, tapi ia akan retak lagi dan malah memunculkan lubang yang lebih besar. Keretakannya makin menjalar tak tertebak arahnya. Kucoba tambal lagi dan lagi dan lagi, terus berkejaran dengan kerusakan yang semakin membandel. Jebol.
Kini, apa yang ada dibalik bendungan itu luber. Ia yang kucoba kontrol, kelola, tutupi, sembunyikan, abaikan, dan tak kuakui, terasa semakin nyata. Ia selalu ada dan sekarang mengambil alih bagian-bagian lain dari diriku.
Aku takut. Meski semua ini terasa familiar, tapi ia yang tinggal dan menggelayut selama ini membuatku frustrasi.
Aku bahkan tak bisa mendekat ke bendunganku. Aku pun bingung cara untuk mengembalikan ia masuk ke balik bendungan.
Aku merasa putus asa.
1 note · View note
scholasticags · 4 years
Text
Lawan sepadanku sejak aku mampu mengingat kehadiranmu sebagai ibu.
Yang sehari-hari mesti kuhadapi; tumpahan emosi yang bleber sampai ujung kakiーberserak helai rambut yang kau paksa lepas dari akar kepalamu, atau mampet hidung hingga megap-megap kerongkongan kita, atau suara pintu dan benda pecah berisik yang mesti dipungut kembali, atau telunjuk yang menunjuk serasa ingin melubangi jantung.
Kegilaan. Semua yang tak masuk akal. Akal-akalan. Otot leher yang siap mengeras kapan pun. Pertempuran. Adu kuat mental menunggu siapa yang jatuh terduduk duluan di tengah tangis yang membasahi baju.
Ompol dan rengek semenjak orok. Ingatan tentang dongeng Timun Masーperempuan yang kalahkan buto. Atau Kancil yang cerdik dan Bawang Putih baik hati yang mesti dicontoh. Tembang pengantar tidur, melagukan Ambilkan Bulan Bu. Kidung, Bapa Kami, Malaikat Tuhan, dan Salam Maria, kau akhiri dengan salib di dahi.
Selamat Hari Ibu. 
Sebentar lagi aku pulang.
0 notes
scholasticags · 5 years
Quote
Who decides limits? And based on what? You said you worked hard? Well, maybe you need to work a little harder. Is that really the limit of your strength? Could the you of tomorrow beat you today? Instead of giving in, move forward.
Saitama
0 notes
scholasticags · 5 years
Text
Cerita Kucing
Bangunan kantorku seperti rumah. Bercat putih dengan pagar putih yang selalu terbuka. Ini membikin kucing-kucing liar mudah masuk ke dalam kantor. Ada empat kucing yang singgah sejak aku bekerja. Di tempat berbeda aku yakin mereka punya nama lain, tapi di kantorku mereka dikenal sebagai Johan, Wiranto, Megawati, dan Belen.
Johan, si alfa.
Kucing liar jantan berbulu putih dengan leher lebar dan kuping sebelah kiri yang terkulai. Kedua warna matanya berbeda. Mata kanan berwarna biru langit, sedang yang kiri kuning lembut.
Aku yakin Johan itu kucing petarung. Dia sering punya luka baru. Dia seperti jagoan, dengan banyak luka di tubuhnya.
Alasanku menamainya Johan karena dia mengingatkanku dengan satu tokoh bikinan Naoki Urasawa di seri manga Monster;  Namanya kupinjam dari si psikopat Johan Liebert yang digambarkan tampan dan berkelakuan baik. Bedanya dengan Liebert, Johanku adalah seekor kucing, nyata, dan tidak pernah memperlihatkan kesukaannya untuk membunuh.
Johan selalu main ke kantor menjelang tengah malam. Johan tidak pernah buang air sembarangan. Johan juga anteng. Tidak bandel naik ke atas meja, juga tidak mencuri makanan.
Sudah berbulan lebih Johan absen masuk kantor. Johan sudah tua. Aku khawatir dia mati.
Wiranto dan Megawati, dua sejoli.
Di mana ada Wiranto, di situ ada Megawati. Wiranto datang hampir bersamaan dengan Johan. Sedang Megawati baru datang belakangan.
Bukan aku yang menamai mereka, melainkan kawanku. Aku juga tidak tahu alasannya menjuluki mereka dengan nama dua politisi Indonesia. Hanya saja, rasanya lucu bisa memanggil nama Wiranto dan Megawati seperti ‘Eh, Wiranto, sudah makan belum?’ atau ‘Megawati! Kamu kok bandel banget sih!’.
Berbeda dengan Johan, Wiranto sombong, enggan disentuh. Dia selalu waspada, kerap membuat jarak dengan orang —bahkan dengan kucing lain. Susah sekali membuat ia percaya padaku. Padahal, aku cuma ingin memberinya makan.
Tapi Wiranto mau dekat-dekat Megawati. Malah seringnya Wiranto yang memepetkan diri duluan. Sepertinya mereka cinlok. Hampir setiap malam nempel terus.
Megawati kucing cantik, genit, dan nakal. Manjanya minta ampun. Perhatian cuma boleh buat dia. Jadi, kalau ada betina lain datang, dia akan mengajak tengkar. Kalau sudah begitu, cuma Wiranto yang bisa bikin Megawati kalem.
Belen, si lemu.
Belen datang saat aku sedang senang-senangnya mengikuti seri drama Spanyol Gran Hotel. Salah satu tokoh perempuannya bernama Belén Martín. Nama Belen lucu, terdengar gendut. Kuputuskan untuk menamai si anak baru ini Belen.
Kupikir cocok sekali, soalnya kucingnya gendut banget, kakinya agak pendek, badannya juga tidak sepanjang kucing lain. Belen terlihat seperti buntalan yang berjalan. Bulat seperti snowman. Orang-orang sering mengira dia hamil.
Hari-harinya selalu sama: tidur, minta makan, pergi jalan-jalan keluar kantor, balik ke kantor buat tidur, minta disayang, minta makan, jalan-jalan lagi, dan tidur lagi. Semakin hari Belen bertambah berat. Aku tahu ini karena sering menggendongnya.
Meski gendut, Belen lincah. Larinya cepat. Tatapan matanya fokus saat mau berlari. Bokongnya akan naik dan kupingnya membuat gerakan kecil. Tahu-tahu dia melompat dan seperti mencoba mengejar dan menangkap sesuatu.
Tiap kali Belen seperti itu, aku merasa dia sedang bermain petualangan sendirian.
Belakangan Belen punya hobi baru: di malam hari, kalau sudah kenyang dan disayang, Belen akan memantau dan mengejar tikus-tikus di kantor.
Pernah satu kali Belen berjalan sambil menggigit tikus. Tikus di mulutnya tidak mati, cuma dimain-mainkan. Belen akan melepas si tikus, dan ketika tikusnya kabur, Belen akan mengejarnya.
Johan, Wiranto, dan Megawati tak pernah main ke kantor lagi. Namun, seperti pepatah bilang, gugur satu tumbuh seribu, kalau ada satu kucing yang pergi, akan selalu datang lagi kucing baru. Seperti Belen, yang sekarang sedang asyik berpetualang menjelajahi ruangan-ruangan di kantor.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
scholasticags · 7 years
Text
Ibu bilang tuk sekian kali; Pulang. Tapi ke mana?
0 notes
scholasticags · 7 years
Photo
Tumblr media
0 notes
scholasticags · 7 years
Text
Bahwa apa yang telah dilakukan selama ini sudah baik. Tidak perlu tepat sempurna, tetapi cukup. Tidak perlu begitu berdampak, tetapi penting. Bahwa mungkin, adakalanya, yang telah diperbuat sia-sia, tetapi masih ada 18 menit atau 43 jam ke depan untuk memperbaikinya.
Sebab, kadang, kadar bicara sendiri sudah terlampau jenuh. Lantaran yang mendengar hanya diri sendiri, malah memunculkan keraguan dan kecemasan.
Meski seringkali bermonolog, sedang satunya menanggap dengan bergumam atau senyum, melaluinya, teman bicaranya ketika malam, ia bisa tidur lebih pulas.
Dan satu malam telah berhasil dilalui dengan sebaik-baiknya.
1 note · View note
scholasticags · 7 years
Text
Ia suka sekali bila bau-bauan manis menempel di kulitnya. Terutama vanili. Bau vanili mengingatkannya dengan kue dan gula-gula yang selalu dibuat ibunya tiap Kamis sore.
Maka, ketika hal-hal menyebalkan yang membikin kepala menjadi pening atau persoalan-persoalan datang merisak hati, ia akan menyemprotkan parfum berbau manis itu ke udara sampai jatuh melekat di kulitnya.
Sebab bau itu mengembalikan dirinya pada ingatan masa kecilnya; menyenangkan sekaligus menenangkan.
1 note · View note
scholasticags · 7 years
Text
Ditelanjangkannya si perempuan dan genaplah keduanya. Meski demikian, ditentangnya puja-puji dari si perempuan sampai patah hatinya menjadi luka. Ia harus tahu diri. Sebab kekasih yang hilang timbul itu sudah berpunya.
0 notes
scholasticags · 7 years
Text
Seperti anai-anai bersayap, tanpa ragu ia terbang menuju cahaya lampu. Katanya, penuh harap, aku tak sabar membangun koloni baru. Sayang, nasib baik enggan memihak dirinya. Ia singgah dekat cahaya hanya untuk mati saat fajar.
0 notes
scholasticags · 7 years
Text
Menanti waktu lunasi kaulnya. Meski sebenarnya ia tak pernah menjanjikan apa-apa padamu. Ia cuma setia pada putarannya. Pada dirimu sendiri kemestian itu harus kamu tagih.
0 notes
scholasticags · 7 years
Text
purnama di bulan dua belas
pada bulan yang tengah bermegah, aku rebah menatap takjub.
0 notes
scholasticags · 7 years
Text
Perkara rambut pendek
Ma Rani suka sekali memangkas rambutnya hingga pendek. Buatnya rambut pendek itu praktis dan simpel. Keramas cuma sebentar, pasokan shampo pun tidak perlu banyak. Tidak perlu sisiran dan catok-mencatok, cukup dengan jemarinya rambut akan rapi. Singkatnya, rambut pendek jauh dari kata ribet. Pernah suatu kali Ma Rani ditodong pertanyaan: kamu feminis ya? Ditanya begitu dahinya mengernyit. Dijawabnya, kenapa kamu bisa bilang begitu? Karena rambutmu pendek, minum kopi hitam, dan kamu merokok. Ma Rani semakin bingung. Memahami konsep feminis kok sedangkal itu? Bagi banyak orang, rupanya Ma Rani dianggap sebagai perempuan feminis. Ia disebut begitu karena berani bersuara tidak pada hal yang menurutnya salah. Ia terlihat mampu sendiri, tak perlu dibantu. Ia berpikir dan mempertanyakan segala sesuatu, padahal itu karena ia bingung dalam banyak hal. Kata orang, ia juga enggan diatur dan ditundukkan. Meski begitu Ma Rani mau dibuat mengerti. Ma bilang: soal atur mengatur, biar aku yang melakukannya sendiri. Betul ia sesekali merokok dan gemar memasangkannya dengan kopi hitam pakdé warung langganannya. Juga betul bahwa ia membela perempuan korban kekerasan --ia sendiri penyintas kekerasan dalam berhubungan. Namun demikian, hal tersebut tidak segera membuatnya menjadi seorang feminis.  Rambut pendeknya kerap dianggap sebagai pernyataan politik identitas. Padahal Ma Rani tak memikirkannya sampai serumit itu. Rambut pendek praktis dan hemat. Itu sudah. Orang terlampau jauh menafsirkannya. Padahal Ma masih merasa bahwa dirinya adalah kanak-kanak. Maka, seperti kata Pram: hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.
1 note · View note
scholasticags · 7 years
Photo
Tumblr media
Malam kian mendalam. Jangkrik-jangkrik ribut beradu. Perempuan di ujung sana beradun begitu cantik. Sedang pojok sini si anak rebah di serambi masjid. Keduanya sama menatap pohon di kejauhan. Malam itu, di waktu yang sama, di tempat yang itu-itu juga, ada yang lain. Sesekali muncul kilap kuning, biru, hijau; kena sorot lampu. Rupa-rupanya ada perayaan. Si perempuan dan si anak mengulum senyum.
Semoga peruntunganku baik malam ini.
0 notes
scholasticags · 7 years
Text
lalu kamu jentikkan rokokmu, abunya jatuh. merah lalu lenyap. senyap.
kemudian sama-sama menertawai kedunguan kita.
apa sih yang mau kamu bicarakan? aku juga ndak tahu. coba bantu aku. aku pusing dengan isi kepalaku. tapi aku bukan cenayang. jadilah cenayang kali ini. aku cuma bisa lihat kembang api di kepalamu. muncul di binar matamu. hus jangan kamu tatap lama-lama. nanti hatimu buncah karenaku. matamu mengikat. aku sudah telanjur terpikat. boleh ya? bukan salahku kamu kena kutuk. salahmu pelihara pesta kembang api itu.
dibakarnya lagi batang rokok baru.
bodoh kamu. lupa dengan apa kataku? jangan letakkan mimpi-mimpimu pada bibirku. awalnya kukira hatiku tidak akan raib. rupanya aku salah. sudahlah, biar aku yang bermasalah dengan hal ini. aku pikir orang seringkali lucu. dikiranya mereka sedang bermain dengan hati orang lain. mereka lupa bahwa mereka pun tengah bermain dengan hati sendiri. ini yang ingin kamu bicarakan? bahkan aku saja tidak mampu jinakkan hatiku yang liar. sesederhana aku tidak mau menyesal karena hilang kesempatan untuk merasa.
sekian kali aku bicara dengannya, memahaminya adalah kesenangan tersendiri untukku.
temani sampai matahari muncul ya. tak bisakah kita tidur dulu malam ini? besok aku temani. janji. kemarin aku sudah kehilangan malam. jangan biarkan aku kehilangan dirinya lagi sekarang.
kamu, aku sudah dimarahi banyak orang cuma karena punya rasa kagum dan naksir kamu.
0 notes
scholasticags · 7 years
Text
Pelesir
Berangkat dari obrolan bersama seorang teman, saya memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta. Obrolan dimulai dari cerita jalan-jalan teman saya ini, sampai akhirnya ngebahas soal wayang orang. Saya suka wayang orang, suka sekali. Meski belum sepenuhnya kenal dan paham tapi sudah jatuh hati di kali pertama saya menontonnya.
“Uda pernah nonton yang di Prambanan belum?” katanya.
Lalu ia mulai bercerita soal jalan-jalannya ke Prambanan. Ia sempat menonton Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Katanya bagus, bagus banget. Dan ia menyaksikan pagelaran itu di malam purnama. Saya langsung membayangkan purnama yang menggantung di dekat Candi Prambanan dan di bawah pendarnya ada pemain-pemain yang menarikan kisah perwayangan. Haduh, detik itu saya langsung kepengin nonton sendratarinya.
Mulai dari hari itu, saya langsung cari tahu tentang sendratari; mulai dari harga tiket, tempat, dan jadwalnya. Rupanya bulan Oktober adalah bulan terakhir pementasan tersebut (untuk pementasan yang terbuka/outdoor) dan baru ada lagi di tahun depan. Masih lama sekali, saya-nya sudah kebelet pengin nonton. Membulatkan tekad, saya langsung pesan tiket kereta dan tiket Sendratari Ramayana. Soal izin orangtua dan kerjaan kantor bisa dipikirkan belakangan. Impulsif memang. Tapi kapan lagi bisa memanjakan hati?
24 Oktober 2016, berangkatlah saya ke Yogyakarta.
Menyasarkan diri, memekakan indera.
Tiba di Yogyakarta, isi kepala sudah sibuk sendiri. Pikiran melantur ke mana-mana. Ngapain jalan-jalan sendirian, ‘ndak jelas begini. Mungkin karena sudah lama tidak jalan-jalan sendiri. Mungkin juga karena di perjalanan ini saya membawa banyak persoalan yang —sebenarnya— menunggu untuk direnungkan. Masih ada jam-jam kosong untuk menunggu Sendratari besok malam.  Tapi sudah telanjur sampai di Yogyakarta, rugi juga kalau hanya diam di satu tempat.
Saya menginap di rumah pakdé dan budé dari keluarga bapak. Lumayan menghemat pengeluaran untuk menginap dan makan. Lucunya, saya ‘ndak ingat dengan pakdé dan budé saya ini karena terakhir kami bertemu itu (katanya) pas saya masih kecil sekali. Turun dari kereta, saya jalan kaki ke rumah pakdé. Jalan kaki sekitar 30 menit, lewat Malioboro. Rumahnya dekat dengan Alun-alun Utara, tepatnya di dekat deretan gudeg jalan Wijilan.
Hari pertama saya habiskan untuk berkenalan dan ngobrol dengan pakdé dan budé saya. Dari obrolan itu, saya baru tahu kalau mbak Dhaning dan mas Dhanung (anak pakdé dan budé saya) bisa bermain keroncong! Selama ini saya cari-cari keroncong, ternyata sepupu saya sendiri bisa bermain keroncong.
Saya tutup malam dengan kepala yang masih saja ribut: besok ke mana ya sambil nunggu sendratarinya?
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Menjadi kanak-kanak, lagi.
Setelah makan pagi bersama pakdé dan budé, saya berangkat jalan-jalan. Sudah diputuskan, saya akan ikut ke mana-pun mata penasaran. Jadilah, jalan-jalan siang itu banyak diamnya. Jalan. Berhenti. Diam. Lihat orang-orang sedang ngapain. Jalan lagi. Berhenti. Sentuh pagar. Pegang pohon. Duduk. Lihat tulisan Titik Nol: oohh ini toh yang namanya Titik Nol. Setelah ke-sekian kalinya datang ke Yogya, baru ngeh dengan persimpangan itu. Jalan lagi. Mikir ini itu. Berhenti. Saya berhenti di depan pintu masuk Taman Pintar. Penasaran maka saya masuk.
Tempat itu menarik. Taman Pintar adalah tempat belajar sains bagi anak-anak yang dikemas dengan menarik (untuk tahu lebih lanjut sila kunjungi websitenya). Saya pikir, di sini banyak mainannya. Saya bebas menyentuh benda-benda itu. Diraba, diputar-putar, didorong, ditarik. Setiap benda menghasilkan reaksi berbeda dan hal tersebut terasa sangat menyenangkan. Saya merasa seperti anak kecil lagi. Saya bebas untuk penasaran dan cari-cari tahu; ini maksudnya apa dan itu buat apa. Beruntungnya saya, tempat itu sedang sepi. Tidak banyak pengunjungnya. Dan karena sendirian saya jadi betah diam lama-lama di tiap benda.
Bosan di Taman Pintar, saya putuskan untuk langsung ke Prambanan. Naiklah saya ke Trans Jogja. Lumayan jauh ternyata, perjalanannya satu jam. Jam dua siang saya sampai di halte Prambanan. Gerimis turun dan saya mulai cemas, jangan sampai gajadi nonton cuma karena hujan turun. Tapi toh siapa yang tahu soal nanti malam? Semoga Semesta berpihak pada saya.
Gerimis membuat saya jadi lebih nyaman untuk berjalan kaki. Masih ada lima jam untuk dihabiskan. Jalan terburu-buru bukan usulan yang menarik untuk dilakukan. Setelah sekian bulan penuh ketergesaan, hari itu saya berjalan pelan bersama waktu.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Prambanan.
Ini kali kedua saya ke Prambanan, yang pertama saat field trip sekolah kelas satu SMA. Pertemuan saya dengan Candi Prambanan kali ini lebih menyenangkan karena saya bisa menikmatinya sendirian. Bicara soal sendiri, di Prambanan beberapa orang menegur dan menyapa saya. Lucu, saya selalu ditanya: Kok sendirian? Temannya mana? Loh, kenapa sendiri? Ditanya seperti itu, sambil senyam-senyum, saya jawab: iseng saja.
Gerimis berhenti dan Candi Prambanan semakin menyenangkan untuk ditelusuri. Terlebih, sehabis gerimis, langit sore menjadi merah jambu. Makin giranglah saya. Sepertinya Semesta memang berpihak pada saya.
Menjelang jam lima sore, saya pindah menuju tempat sendratari. Daaan tiba-tiba hujan turun. Kali ini deras. Berteduhlah saya di warung bakso. Dua jam saya habiskan di warung sambil harap-harap cemas. Semoga hujan mereda. Meski begitu, kemujuran masih ada di tangan saya, masa tunggu saya cukup menyenangkan. Di warung bakso itu ada dua anak kecil yang senang betul di foto. Saya main-main dengan mereka. Bapak dan ibu pemilik warung juga menjadi teman ngobrol saya.
Lalu hujan reda. Saya ingat, waktu itu menjelang jam tujuh malam. Setengah jam lagi pementasan akan mulai. Saya minta diri kepada bapak dan ibu pemilik warung, cubit pipi adik kecil, dan berjalan  menuju tempat sendratari.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Belum dimulai, saya sudah jatuh hati.
Jatuh hati termudah, menurut saya, memang ke ruang ya. Mungkin karena energi-energi yang berkumpul sejak lama membuat ruang itu menjadi sangat —sangat— memabukkan, hingga membuat jantung saya berdebar-debar. Kali ini, saya jatuh hati pada pelataran sendratari itu.
Suara gamelan. Candi Prambanan yang disinari lampu hingga kelewat megah. Udara malam yang basah sehabis hujan. Lebih dari cukup untuk membuat saya tergila-gila dengan pelataran itu. Bahkan tanpa perlu berusaha. Mau gimana lagi? Saya suka kisah wayang. Saya suka gamelan. Subjektif? Tak perlu diragukan lagi! Tapi ketika kamu jatuh hati, kamu akan jadi super subjektif ‘kan?
Ketika suara gamelan mulai berdengung, lalu lampu disorotkan ke panggung, saya sudah berjingkrakan di tempat duduk. Kemudian masuk para penari satu per satu, bibir saya mulai tersenyum. Saya ingat betul, pakaian para penari itu rasanya berkilauan di mata saya. Belum lagi gerakan tarinya, saya ‘ndak habis pikir perlu latihan berapa tahun supaya bisa se-kenés itu. Duh gusti, itu yang laki-laki gantengnya bukan main; dililit kain batik dan tubuhnya itu kok bisa lenggak-lenggok demikian gagahnya. Belum lagi yang perempuan, ayunya ‘ndak kira-kira! Mulai dari dandanannya, senyum malu-malunya, lembut tutur tubuhnya. Apik!
Hingga di satu titik saya sadar: saya lupa bernapas.
Menjelang babak dua, gerimis turun. Satu-dua penonton mulai membuka payung atau memakai jas hujan, tetapi tidak ada yang beranjak pergi dari tempat duduk. Saya pun kagum dengan para penari itu, mereka tetap menari dalam gerimis. Cerita Ramayana mereka tuntaskan hingga Rama dan Shinta dipertemukan kembali. Meski telah usai, saya masih duduk dan senyam-senyum sendiri. Lumayan juga jalan-jalan kali ini.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Hari ketiga saya habiskan dengan bersantai di rumah pakdé dan budé. Sesekali mengobrol dengan mereka, tapi seringkali mengecek handphone karena kerjaan kantor sudah mulai memanggil-manggil dan menumpuk. Setelah dua malam yang menyenangkan, saya mesti pulang ke Jakarta. Sorenya saya bersiap menuju Stasiun Tugu untuk pulang.
Cerita sedikit kekonyolan saya menjelang pulang ya: sebenarnya saya tidak terlambat sampai di stasiun. Hanya saja saya menyempatkan diri ke toilet. Di detik itulah saya tertinggal kereta. Keluar dari toilet, saya melihat kereta saya sudah jalan. Saya cuma bisa bengong. Diam. Lalu tertawa. Untung saja masih ada tiket ke Jakarta di hari itu, sekitar 15 menit lagi keretanya akan tiba. Segera saya beli tiketnya dan ternyata hanya tersisa kereta kelas bisnis. Mahaaaalll. Lumayan sedih pas beli tiketnya. Yaa tapi sisi baiknya saya bisa pulang ke Jakarta hari itu juga dan karena kebetulan keretanya sedang sepi saya jadi bisa tidur angkat kaki dengan leluasa. 
Berbantal handuk dan berselimutkan jaket saya siap untuk tidur. Tahun depan harus nonton lagi. Kala itu saya akan datang di malam purnama. 
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
scholasticags · 8 years
Text
Mari bertaruh,
awan kelabu atau purnama yang akan muncul di langit Oktober.
Gendis sayangku, Aku yang dipanggil sundal ini ternyata sanggup mengaku dosa karena menyayangimu.
Karena itu, aku merasa berdosa. Tetapi ini lingkaran dan napasku, Gendis. Kemunculanmu membikin duniaku jungkir balik.
Gendis, kamu semanis gula-gula. Manismu tak habis-habis. Ah, kamu tertidur di dadaku. Hidungmu mungil, ingin kugigit rasanya.
Aku tidak pernah sengaja menyukaimu. Tiba-tiba saja aku sudah jatuh hati padamu. Kamu kecil, aku mencintaimu.
Gendis, aku tidak bisa melangkah keluar dari lingkaran ini. Aku mau kamu hidup. Hanya ini cara yang kumengerti. Entah aku yang keparat, entah mereka. Bila begitu adanya, masih maukah kamu tidur bersamaku?
Gendis, jatuh cintakah kamu kepadaku? Coba lihat aku, tatap aku dengan mata bulatmu. Ah, kamu lucu Gendis. Kamu manis. Kamu gula-gulaku. Aku yakin kamu juga mencintaiku.
Jangan jauh-jauh, tenang-tenang dalam rangkulku. Kita ini tengah jatuh cinta. Dan cuma ingin bersama-sama. Apa yang salah dengan itu?
Aku mencintaimu, tetapi mereka tidak tahu apa yang aku bicarakan.
Udara agak basah malam ini. Sebentar lagi, entah awan kelabu atau purnama yang muncul. Antara dua itu, satu akan membawamu jauh dariku.
Di langit Oktober ini, aku bertaruh.
1 note · View note