Tumgik
rumahnomorlima · 2 years
Text
Jika Aku Berbeda
Saat kita dicintai, kita pasti mengharap seseorang yang mencintai kita itu bisa menerima kita. Dan di saat yang sama, selain menerima, mungkin ia pun memiliki harapan-harapan kecil pada diri kita.
“Semoga ia adalah orang yang bisa menyayangiku.”
“Semoga ia bisa menjadi tempat mereda-lelahku.”
“Semoga ia bisa setia.”
“Semoga ia bisa menjadi teladan yang baik untuk anak-anakku nanti.”
Dan lain sebagainya.
Nyatanya, kita tidak pernah benar-benar menerima seseorang apa adanya.
Maka kemudian, pikiran ini berkelana di kepala saya. Apabila, suatu hari nanti saya dicintai dan mencintai, bisakah saya diterima dan menerima seseorang sebagai dirinya apa adanya, utuh. Menerimanya dengan setiap kurangnya dan lebihnya. Bisakah nanti saya tidak kecewa dengan segala kurangnya, sisi anehnya, sisi buruknya. Bisakah nanti saya tetap berpegang pada penerimaan yang saya idam-idamkan di awal.
Mencintai dan dicintai tanpa syarat. Tanpa aba-aba. Dan hanya sebab satu ‘karena’.
“Karena Allah. Karena Allah memilihmu untukku. Karena Allah memilihku untukmu.”
T-tapi, terdengar klasik bukan? Lantas di mana letak perbaikan diri? Katanya, sosok yang baik hanya untuk mereka yang baik. Karena ia baik, maka kamu jatuh hati. Karena kita baik, maka kita dicintai. Maka lucu sekali, saat ternyata, kita memperbaiki diri hanya karena seseorang yang ingin kita dapatkan hatinya. Dan kocak sekali, saat suatu hari kita dapati ia berbeda seperti yang kita kira, kita kecewa setengah mati.
Sudah paham kan, meletakkan harap di diri manusia itu pangkalnya kecewa. 
Maka berharap paling luar biasa itu letaknya hanya pada Allah Ta’ala.
Cinta paling besar itu sudah sewajibnya jadi milikNya.
Sebab pun, jika suatu hari aku berbeda, tidak sebaik hari ini, Allah tetap menerimaku, mendekap dengan cinta yang sama. Cinta yang tak pernah lari meski aku kabur berkali-kali.
5 notes · View notes
rumahnomorlima · 3 years
Quote
Without putting ourselves in their shoes, we never know how they truly feel about the path they walked on.
rumahnomorlima
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Perihal: Menjadi ‘Aku’
Dulu sekali, saya pernah melakukan satu hal yang kadang masih saya sesali hingga detik ini. Yaitu, menyalahkan teman saya, mengkerdilkan ia atas perasaan dan emosinya. Saya berucap padanya seolah saya lebih menderita. Saya tahu itu keliru sekali. Mereka yang terluka memang benar sering kali mati rasa dan merasa perih pada saat yang sama. Mati rasa akan nasehat orang, mati rasa akan akal sendiri, namun perasaan perih dan sedih itu pun valid, tidak main-main dan bukan mereka-reka.
Lantas mengapa dahulu saya bisa tidak menyadari itu? Mungkin, karena saat itu pun saya sedang sangat mati rasa. Alih-alih peduli terhadap orang lain, saya pun saat itu tidak bisa peduli pada diri saya sendiri. Dan sungguh, rasanya keliru sekali ketika kita tidak bisa memposisikan diri sebagai mereka, tapi kita kemudian sok tahu dan tidak memvalidasi perasaan atau emosi mereka. Merasa paling sedih, merasa paling benar. Sadar, dunia itu tidak hanya berputar untuk diri sendiri. Tapi juga berlaku buat orang lain. Saat kita ada di bawah, ada orang lain juga yang merasakan itu. Semua emosi dan perasaan, semua masalah yang mereka hadapi, semuanya nyata. Kita hanya berperang pada medan yang berbeda dengan senjata yang berbeda. Tak bisa kita memaksakan bagaimana mereka harus bertempur, memakai cara kita, padahal musuh mereka tak sama. Without putting ourselves in their shoes, we never know how they truly feel about the path they walked on. Melalui kejadian di masa lalu itu, saya belajar bahwa untuk memahami dan memvalidasi perasaan orang lain, saya (paling tidak) harus memposisikan diri pada sudut yang sama dengan orang itu. Tidak melihat dari sisi saya sendiri. Tidak memaksakan senjata saya untuk ia genggam. Alih-alih, memberinya ruang dan memberitahuya bahwa apapun permasalahannya, saya akan berusaha ada untuknya.
Sebab kadang, mereka sudah paham harus bagaimana. Mereka hanya mencari tempat berlari, serta sebuah ruang kosong yang menyerap gema-gema teriakan mereka yang lantang. Mereka hanya butuh ditemani.
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Quote
Memoar pahit dan manis duduk berdampingan Keduanya tidak mau saling mengalah, tentang siapa yang pergi dan siapa yang harus tinggal Tapi kalau memang pahit dan manis berdampingan seperti saat kita menyuguhkan sepiring nasi lauk lalap dan sambal, setidaknya yang pahit hanyalah sayur lalapan yang membuat kita kenyang, yang membuat kita paham syukur dan ikhlas adalah tentang menerima keduanya, dan mengolahnya menjadi energi luar biasa untuk berjalan dengan lebih lega
Memoar Sepiring Nasi
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Memoar Sepiring Nasi
Kota ini kecil, tapi begitu besar bagi perempuan itu. Setiap telisiknya memiliki cerita yang ia simpan rapi di peti kayu yang ada di dalam hatinya. Peti itu berisi begitu banyak harta karun berharga. Sekalipun sebagiannya sudah mulai usang termakan usia, tapi tetap rapi dan memiliki aroma hangat yang siap ia sajikan kepada siapapun yang mengetuk pintu hatinya. Salah satunya adalah potret sepiring sarapan dari Ibu.
Hari ini, perempuan itu bertemu dengan seorang kawan lama yang pernah menjadi bagian dari masa kecilnya.
“Saka, apa kabar?” sapanya kepada lelaki berwajah tegas yang kini berdiri di hadapannya. Di antara rak-rak buku, kepala Saka menyembul, mengintip siapa yang berdiri di seberang rak buku itu.
“Ara! Lama ngga ketemu! Apa kabar kamu?” Saka menyapa perempuan itu kembali.
Mata Saka berkaca-kaca, semacam ada perasaan rindu yang tiba-tiba membuncah. Kemudian mereka saling menarik diri dari toko buku di salah satu sudut kecil Braga itu dan bergegas pergi ke coffee shop di seberangnya—yang tak kalah kecil dari toko buku tadi.
“Ra, aku kangen sama nasi sambel buatan Ibu kamu. Serius! Baru banget dua hari lalu, aku mimpi makan itu. Lucunya, di mimpi itu aku masih jadi bocah umur 9 tahun. Kita sarapan bareng di saung belakang rumah kamu itu. Ya Tuhan, kangen banget urang. Asli euy!” Saka langsung nyerocos begitu duduk di café itu. Sedang hot americano yang ia pesan belum juga dicicipi. Ara memperhatikan cangkir kopi Saka, melihati kepulan asap yang saling antri menguap.
“Lo tuh ya.. cerewetnya ngga ilang-ilang. Bahasa masih campur-campur. Gue kalau denger lo ngomong pake aku-kamu gitu suka geleuh ih,” kata Ara judes.
“Yeu, kamu sendiri juga masih sama, ngga ilang judesnya dari bocah. Sekarang malah tambah pake lo-gue. Da urang mah ngga terbiasa pake lo-gue. Udah terima aja deuh geleuh-geleuhnya denger kata aku-kamu,” Saka menjawab sambil merengut kemudian mengangkat cangkirnya. Jari-jarinya sempat kaget menyentuh cangkir panas itu, tapi kemudian tetap ia lanjutkan menyeruput.
“Hahahaha lo ya! Masih panas kopinya itu. Gaya banget sih sok-sok tahan panas ya,” sindir Ara.
Saka melihatnya dengan tatapan sinis, tampak kesal pada kawan kecilnya itu. Ia pun menyindir dengan logat sundanya, “Kieu nya. neng Udara Sandikala Jingga, mun kopi mah emang enak na di inum ker haneut-haneut na, pun di tungguan teupi ka tiis mah geus teu sae deui. (Gini ya, Udara Sandikala Jingga, kalau kopi tuh memang enaknya diminum pas hangat-hangat, kalau ditunggu sampai dingin udah ngga enak lagi.)
Semacam nasi sambel buatan Ibu kamu tuh. Beuh, enak pisan kalau disantap haneut-haneut.”
“Duh, lagi-lagi ngomongin nasi sambel ya. Haha. Gue juga kangen by the way. Udah lama ngga nikmatin itu. Tapi tiap gue kepengen makan itu, gue inget-inget lagi kalau gue ngga bisa semena-mena minta Ibu buat masakin itu. Lo tahu kan ceritanya. Gue ngga mau lagi bikin Ibu sedih,” Ara menatap gelas ice matcha latte-nya dengan tatapan kosong. Ia mengaduk-aduk minumannya dan membuat berisik sendok dan pinggiran gelas, memecah hening di café itu.
“Ara, udah ya.. insyaa Allah, Ibu kamu sudah ikhlas. Kenapa ngga coba kamu ajak Ibu buat memasak lagi?”
Ara terdiam. Semenit-dua menit. Matanya menerawang jauh ke ingatan pada pagi usai hujan lima tahun yang lalu.
Malam sebelum hari itu, Bandung diguyur hujan deras. Tapi derasnya kalah dengan air mata Ibu. Lemas sudah kaki Ara, menopang beratnya kesedihan yang dirasakan Ibu. Sehari semalam, Ibu tertidur di pangkuan Ara, kadang Ibu mengigau mencari Ayah. Esoknya Ibu kembali tegar. Lalu malam kembali sesenggukan lagi. Begitu terus-menerus, berlangsung sampai seminggu lebih. Dan seolah paham, Saka datang setiap pagi, mengantarkan sarapan untuk Ara dan Ibu yang saat itu hanya tinggal berdua.
Ayah Ara pergi entah kemana. Sebelum itu memang ada pertengkaran hebat di rumahnya. Hingga sampai detik ini, Ara masih tak paham apa yang diperdebatkan kedua orang yang disayanginya itu, sampai-sampai Ayah memilih pergi.
“Ara, hus, ulah ngelamun atuh,” kata Saka sontak membuyarkan lamunan Ara.
“Udara, ada banyak hal yang kita tidak pahami. Apa yang sudah terjadi, ya sudah. Mungkin sekarang, waktunya kamu yang berperan untuk membantu Ibu untuk bangkit. Bangkit dan hidup pada kesempatan kedua. Buat apa mencari-cari siapa yang salah dan siapa yang benar. Dua-duanya hanya akan beradu di kepalamu, tidak jelas bagaimana akhirnya.
Ikhlas dan sabar. Dan itu tidak serta-merta berarti kamu melupakan yang lalu. Memaafkan juga bagian dari ikhlas, menerima keadaan juga bagian dari ikhlas. Kenapa aku bilang begini ke kamu, Ra?
Karena hanya kamu yang sekarang dimiliki Ibu, kamu yang bisa menguatkan Ibu. Tapi, sebelum kamu menguatkan orang lain, bukankah lebih baik kamu menguatkan diri sendiri terlebih dahulu? Bukankah kita harus lega baru bisa melegakan. Kita harus memahami cara bahagia biar bisa membuat orang lain merasakan bahagia yang serupa.”
Ara lagi-lagi terdiam. Tanpa sadar, kalimat Saka tadi mengetuk peti kayu yang ada di dalam hatinya. Potret sepiring nasi sambal buatan Ibu kembali ia ambil dari ingatan. Betapa makanan kesukaan Ayahnya itu menjadi bagian kenangan paling pahit dalam hidupnya. Piring-piring pecah, nasi yang berceceran, dan Ayah yang tiba-tiba hilang.
Sepiring nasi itu yang biasa Ibu suguhkan untuk makan siang Ayah. Sepiring nasi itu yang biasa Ayah puji, karena katanya itulah yang membuat Ayah jatuh hati pada Ibu. Tapi sepiring nasi itu juga yang menjadi alat tempur Ayah saat memarahi Ibu. Sepiring nasi itu juga yang melayang terbang dan menabrak ubin, bercampur dengan amarah Ayah yang memuncak pada hari itu. Sementara Ibu bersikeras menenangkan Ayah yang sedang kalut, terluka karena hidangan yang tadinya ia cipta penuh cinta. Ibu terluka oleh cintanya sendiri.
Lucu ya, betapa kenangan manis dan pahit bisa saling berdampingan. Keduanya berhimpitan dan saling desak. Kadang saat kenangan pahit muncul, ada kenangan manis yang turut datang. Begitu pun sebaliknya. Tidak jelas manakah yang sebenarnya harus mengalah untuk tinggal di peti kayunya.
“Ara, es di minuman kamu hampir mencair,” sekali lagi, Saka membangunkan Ara dari lamunannya.
“Well, makasih ya Saka. Gue ngga tahu kenapa, sejarang itu gue ketemu sama lo. Tapi sesering itu lo kasih wejangan baik ke gue. Sesingkat apapun kita ketemu, selalu ada hal yang gue pelajari. Gue bersyukur banget punya lo di hidup gue,” kata Ara yang mendadak berkaca-kaca. Melihat itu Saka hampir panik.
“Neng Ara, hari ini maneh yang traktir.. Mbaaaaak, pesen tiramisunya satu ya,” Saka ngeloyor pergi memesan kue. Membiarkan Ara yang mulai memaki-maki kawan baiknya itu
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Quote
kalau riuh di kepalamu belum juga hilang, barangkali yang kamu butuh bukan lagi telinga untuk mendengar, tapi hati yang lapang.
rumahnomorlima
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Memahami Jalan Pulang
Sebenarnya, apa sih tujuan diri ini belajar agama? Apa tujuan saya beribadah? Apa tujuan saya mencari kebaikan? Hari ini tiba-tiba, rasanya saya ingin menulis ini. Semoga bisa menjadi pengingat untuk diri saya sendiri suatu hari nanti. Siapa tahu juga, ada yang sedang membaca ini (entah siapapun itu), dan kemudian teringatkan juga. Well, ya, kita saat ini sedang berjalan-jalan kemana-mana. Bisa diartikan secara harfiah, bisa juga diartikan secara analogi. Kita berjalan kemanapun kaki membawa kita, entah itu pada pekerjaan kita saat ini, entah itu pada seseorang yang dekat dengan kita, atau pada tempat yang kita datangi. Bisa juga pikiran kita yang sedang berkelana, mungkin ia berada pada suatu tempat (dimanapun itu, bad place or the good one). Sedang kaki, badan, dan pikiran kita jarang sekali beristirahat. Bahkan saat beristirahat pun, isi kepala kadang masih saja belum mau diam.
Maka akan sangat ngeri kalau perjalanan ini tidak kita iringi dengan kompas dan peta. Rumah-rumah tanpa pagar akan sering kita masuki dan bisa saja kita tersesat di sana. Bisa saja kita menemui jalan buntu. Karenanya, kita perlu mengenal Allah. Kita perlu tahu arah jalan pulang. Biar kalau-kalau nanti kita tersesat, alih-alih panik dan ketakutan, kita paham harus apa. Kembali kepada jalan pulang, beristighfar, memohon ampun, bersimpuh lagi, bersujud lagi. Memohon lagi ditunjukkan jalan yang benar. Sehingga setelahnya, ketika kita berjalan-jalan lagi, kita paham kemana harus kembali. Beristirahat padaNya pada sepertiga malam lagi. Bukankah selelah-lelahnya kita, perjalanan pulang selalu menyenangkan? Mengetahui bahwa kita akan benar-benar bisa meletakkan kaki, badan, dan pikiran kita pada sleep-mode. Sebab kita percaya, di ujung perjalanan itu ada Allah yang senantiasa mau memeluk kita. Rumah yang mau menerima kita apa adanya.
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Imaji dari Ketinggian Ribuan Kaki
Kalau dari ketinggian ini bisa kusebarkan butir-butir rinduku padamu, maka sebelum perjalanan ini aku akan persiapkan berkarung-karung butiran itu. Sayangnya, petugas maskapai pesawat pasti akan menolaknya. Aku pasti akan ketahuan merindukanmu dengan ilegal. Karung-karung itu akan dibuang. Kemudian aku akan kehilanganmu jauh sebelum aku mampu merengkuh.
Kalau saja, kalau saja semesta bekerja sama, pesawat ini akan membawaku kepadamu dan kantong-kantong itu sudah dibawa truk ke rumahmu, melesat seperti kurir sehari sampai. Aku akan berdiri di hadapanmu dan mendapatimu yang saat itu tersedu sebab pergiku yang tiba-tiba. Dan tanpa aba-aba, pelukanku akan mendarat di sana.
Bagaimana caranya memberitahumu ya? Apakah lewat ketinggian ini aku bisa menjamah Tuhan lebih dekat? Jika ya, tak apa tak kubawa kantong-kantong itu. Kutitipkan saja doaku ini padaNya. Tangan Tuhan begitu panjang bukan? Maka, aku percaya doaku akan digenggamNya, dan itu akan sampai. Bahkan lebih cepat dari kurir yang sehari sampai.
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Kita Ini, Tahu Apa
I’m currently watching a Kdrama, titled The Witch’s Diner. Sesuai dengan judulnya, Kdrama ini menceritakan seorang penyihir yang memiliki sebuah restoran. Di mana di restoran itu, makanan yang disajikan disesuaikan dengan permintaan pelanggan yang meminta permohonannya dikabulkan (kalau kata teman saya, semacam pesugihan modern? hahaha).
No, what I’m trying to share is not about the review of that Kdrama actually, instead, I’m touched by the message of each stories. Jadi, setiap episode memiliki cerita dan pesan yang berbeda-beda, tapi intinya sama. Nah gimana deh itu. Anyway, ada satu scene yang berhasil membuat saya tertohok  dan tertampar.
Pada suatu hari, ada seorang Nenek yang memohon kepada Penyihir agar anaknya yang masih bujang untuk segera menemukan pasangan hidup. Si Nenek ini tidak tega melihat anaknya yang semakin menua dan tidak memiliki siapa-siapa selain dirinya. Khawatir jika suatu hari ketika ia ‘pergi’, anaknya harus sendirian menjalani hidup.
Sang Penyihir mengiyakan permohonan tersebut, namun ada harga yang harus dibayar. Yaitu dengan semua ingatan yang dimiliki oleh Nenek itu, ingatan saat mudanya, sedihnya, senangnya, semua ingatan yang dimiliki sedari muda. Dan tanpa ragu-ragu, si Nenek setuju dengan syarat itu.
Esok harinya, Nenek kembali ke restoran itu, terduduk di depan pintu, dalam keadaan berbeda. Ia mendadak mengidap demensia. Seorang pegawai muda di restoran itu sedih melihat keadaan Nenek ini, dan protes kepada Penyihir. Katanya, “Kenapa kau menghilangkan kebahagiaan yang dimiliki Nenek? Kenapa kau harus membuatnya seperti itu?” Penyihir menjawab, “Jangan sembarangan menilai kebahagiaan seseorang dengan penilaianmu.” Singkat cerita, Nenek harus dirawat. Anak si Nenek ini, mempekerjakan seorang perawat di rumah, yang ternyata adalah seseorang yang ia kenal 10 tahun lalu. Keduanya pernah tertarik satu sama lain dahulu. Melihat itu, Nenek yang sudah demensia ini terlihat bahagia dan lega. Dan singkat cerita (lagi), sang Anak menikah dengan perawat tersebut, dan berdua menemani Nenek bersama-sama.  Tersebab itu, kekhawatiran Nenek pun sirna. Baginya, anaknya walaupun sudah berumur 50 tahun, tetaplah bayi untuknya. Baginya, kebahagiaan anaknya lebih penting daripada ingatan-ingatannya.                                                     ****** What we can learn is..
Kita ini seringkali menghakimi keadaan yang terjadi. Sebal sendiri, kesal sendiri. Lalu terburu-buru bilang menyerah dan tidak sanggup lagi. Cepat-cepat ingin jawaban terbaik dan mendapat kebahagiaan dengan instan.
Sedangkan kita sendiri tidak pernah tahu, bagaimana kebahagiaan itu akan datang.
Remember, bad times is followed by good times. Sudah diingatkan sama Allah di surah Al Insyirah ayat 5:
فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ
“Maka sesungguhnya, bersama kesulitan itu ada kemudahan,” Dan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 216:
وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.“
Lalu perlahan memahami, kita ini sebenarnya... tahu apa?
Kita tidak pernah tahu, bisa jadi sulitnya keadaan saat inilah yang akan membawa kita pada kebahagiaan. Kita baru akan sadar semua itu, saat kita sudah mendapatkan kebahagiaan itu sendiri dan kita baru bisa berkata pada diri, “Kalau saja bukan karena apa yang ku alami dahulu, aku tidak akan bisa merasakan kebahagiaan seperti ini.” Sekarang kita bisa saja, bersedu-sedan karena semua hal yang menyulitkan. Tapi percaya, selama kita sudah berjalan lewat jalan yang baik, selama kita sudah berdoa serta memohon yang baik-baik, maka serahkan semuanya pada Tuhan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Yakin bahwa Allah telah mengatur pionmu dengan begitu adil dan bijaksana. Yakin bahwa bersama kesulitan akan ada kemudahan, bersama kesedihan akan ada kebahagiaan. :)
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Bertamu atau Tinggal
Ketika kita memilih menjadi rumah dan kita menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menjadi tempat ternyaman bagi seseorang, kita pun harus ingat, bisa saja ia memiliki tujuan bukan untuk tinggal, melainkan hanya bertamu. Bisa saja, ia hanya ingin istirahat sebentar, menengok apa-apa yang kamu miliki, bukan untuk merawatnya bersama-sama, dan bukan untuk bertumbuh di sana. Tetap saja, jangan biarkan rumah itu usang sekalipun kamu belum sepenuhnya percaya pada siapa yang kelak akan tinggal dan tidak pergi. Tetap saja, siapkan rumah itu serapi mungkin, senyaman mungkin. Yang pergi biar saja pergi. Siapkan dan niatkan semua itu, untuk ia yang mau tinggal. Jangan biarkan yang bertamu, membuat rumahmu berantakan. Jangan biarkan yang bertamu, membuat rumah nyamanmu usang.
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Quote
Seorang teman baik bilang, "Kamu harus belajar menerima, semua orang punya sisi baik dan buruknya sendiri". Dan saya tertampar. Sangat.
rumahnomorlima
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Quote
Yaa Allah, bila kelak yang Engkau tuang pada gelasku adalah sirup yang manis, aku mohon jangan biarkan aku terlena karenanya. Apabila itu adalah jamu yang begitu pahit, aku mohon jangan biarkan aku terlalu getir karenanya. Dan apabila itu adalah air putih, aku mohon mampukan aku untuk tidak tergantung kepadanya. Pautkan hatiku, diriku, jiwaku, sepenuhnya hanya kepadaMu. KepadaMu aku berserah. KepadaMu aku berpasrah.
rumahnomorlima
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Gelas
Diri kita ini seperti gelas, bukan? Apa yang kita tuang, itulah yang akan menjadi jamuan untuk kita sendiri dan orang lain yang ada di sekitar kita. Menulis begini, karena sedang sangat merasakannya sekali.
Ada masanya, saya hobi sekali mendengarkan lagu-lagu ceria, seketika apa yang saya suguhkan pun berupa postingan penuh optimistis dan semangat, seolah saya orang yang penuh dengan energi positif. Semua orang (paling tidak, beberapa teman) menyukai apa yang saya bagi seraya berkomentar, “seneng deh mba liatnya, positif banget vibe nya”. Kemudian kalimat-kalimat itu membuat saya percaya, bahwa saya memang orang yang positif.
Lalu tak lama, ada masanya saya benar-benar sedih dan down hingga membuat postingan saya hampir sering tentang puisi-puisi sedih. Dan komentar pun turut berubah, “mba apaan sih, lu posting ginian mulu, udah deh.. jangan keliatan banget kalau lagi sedih.” Lagi-lagi, kalimat-kalimat seperti itu membuat saya percaya, bahwa saya orang yang mudah galau. Dan kemudian, ada masanya, saya sering sekali menyimak kajian, ikut forum halaqah, dan lain-lain. Postingan saya ikut berubah, dari puisi galau menjadi sedikit menjurus ke ceramah (yang sebenarnya saya kutip dari kajian yang saya ikuti). Well, then I do somehow lost myself, I do ask myself about who am I actually, what kind of person I am, I really did not know. And for some moment, I let my glass to be empty. I actually still do. Saya biarkan dulu gelas saya kosong, saya ingin serahkan sepenuhnya pada Tuhan, meminta yang terbaik untuk apapun yang hendak Ia berikan kelak. Apakah itu sirup yang begitu manis, jamu yang pahit, atau air putih. Saya benar-benar tidak tahu. Biar gelas ini kosong terlebih dahulu, sembari berserah dan kembali kepada Yang Maha Tahu.
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Quote
pada tiga sepertiga, ia memohon kepada Rabb-nya, untuk menjaga hatinya agar senantiasa utuh sekalipun ruangnya mulai terasa hampa, untuk menggiring kaki-kakinya yang mudah lelah agar selalu berpijak di jalanNya
rumahnomorlima
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Menjadi Rumah
Sederhana,  aku hanya ingin menjadi rumahmu yang selalu kau rindu. Itu saja.
Tempat kamu menengok di saat peluh dari dunia membuatmu sesak. Pulang pada pelukku, pulang pada pundakku.
Tempat yang paling kau cari setelah seharian pergi. Di mana kau bisa kembali menjadi dirimu sendiri.
2 notes · View notes
rumahnomorlima · 3 years
Text
Kehilangan dan Kosong
Keduanya adalah kata-kata yang seringkali diartikan sebagai perasaan negatif. Perasaan yang bersamanya, muncul kalimat dari mereka sekeliling, "kamu harus kuat", "jangan cengeng", dan lain-lain. Seolah rapuh adalah hal yang salah dan harus cepat-cepat kita sudahi. Padahal setiap diri memiliki cara menyeduh sedih yang berbeda-beda. Ada yang harus dibiarkan dulu, biar lama-lama menguap. Ada juga yang mengaduk-aduknya, biar kemudian larut dan bisa diteguk. Seperti pada tulisan yang saya baca kemarin, bahwa untuk menjadi tenang dan kembali ikhlas butuh proses yang berjalan pelan-pelan dan tidak serta-merta melompat begitu saja. Ditambahkan oleh salah satu teman baik: katanya kalau merasa kosong itu ngga apa-apa. Kalau bisa sekalian dibersihin, biar bisa terisi lagi. Percaya saja bahwa nanti, suatu hari, ketika kotak yang berisi perasaan kehilangan (dan sedih) itu mulai benar-benar kosong, maka ruang itu sedang dipersiapkan untuk menerima perasaan-perasaan lain yang bisa saja membawa arti baru. Sesuatu yang bisa kamu simpan pada kotak kosong itu. Ingat bahwa karena kehilangan, kita menemukan. Karena sedih, kita menjadi peka. Karena kosong, kita bisa kembali terisi. Percaya, bahwa Allah selalu memberi kebaikan pada setiap sisi. Jadi, selamat bersih-bersih, selamat kembali kosong. Bersiaplah untuk terisi lagi. :)
0 notes
rumahnomorlima · 3 years
Quote
Tidak ada yang lebih manis dari jatuh hati bahkan sebelum bertemu. Seperti ibu yang menanti sang bayi. Seperti aku yang menanti kamu.
rumahnomorlima
0 notes