Tumgik
Text
Mylog: Tips dapat Jodoh
Uda clickbait banget belum judulnya? Haha. Masuk bulan syawal banyak yang resah, sama seperti tahun tahun sebelumnya.
Rangorang sibuk bertanya pada Tuhan,
"Aing kapan gustii????"
Yang belum ada kepengen nikah atau uda punya pasangan skip ajaaa
Jadi gini,
Aink dulu punya temen cewek yang sering curhat soal jodoh ke aink. Tiap kali ketemu dan ngobrol, pertanyaannya ituuu mulu
"Urang ga dapet dapet jodoh aja,"
Tentu, sebagai teman yang baik aink ngasi beberapa tips based on experience yang mungkin bisa dicoba. Tapi sayang, selama periode curhat, satu pun tips yang aink kasi ga dia lakuin.
Jadi gini, dia nanya. Gimana nih, bla bla bla. Trus aink jawab kan, coba gini gini gini,..
Pertemuan berikutnya, dia nanya lagi. Same question,. Aink nanya dong, uda ngapain aja? Yang aink saranin ada yang dicoba ga?
Engga, katanya. Jadi dia, ga ngelakuin apa apa, rutinitas harian ya itu itu aja, tapi keukeuh ngarepin ada yang berubah.
Hingga akhirnya lose contact, dia tetep gitu gitu aja. Ga nyoba apa apa, ngelakuin hal yang sama tiap harinya, but still hoping something different
Di postingan ini, aink mau share apa yang dulu aink share ke temen. Siapa tau bermanfaat kan yah, who knows..
Jaman aink baper nikah rasa rasanya ga ada tinder dan aplikasi sejenisnya (atau aink yang ga tau) jadi effort aink ya jalur darat banget (selain berdoa biar cepat laku).
Biar ga kepanjang aink to the point aja yes. Oke tips pertama
Jadilah orang yang gampang ditemukan
Baik secara fisik atau nama. Maksudnya secara fisik gini,
Situ, keluar, cari kegiatan baru, mulai dari sekarang.
Kamu kalo ditakdirin punya jodoh, ya tentu akan saling menemukan. Nah ketemunya dimana ya ga tau. Dengan kamu nambah kegiatan baru, nambah circle baru, probabilitas ketemunya akan makin tinggi. Peluang ditemukan dan menemukan akan semakin tinggi.
Buang impian ada lawan jenis oke banget yang ke rumah ngajak kenal dan bla bla bla,. Dan kamu tinggal duduk manis lalu bilang "nama saya,..."
Kamu bukan anak raja kan?
Ini agak susah emang, and ga semua orang niat banget buat nambah circle/kegiatan baru di luar rutinitas hariannya.
Kecuali kamu jodohnya orang yang uda ada di rutinitas kamu atau mamang gofood, baiknya kamu keluar, mungkin jodoh kamu lagi nyari..
Di tempat gym,...
Perpustakaan,..
Klub pecinta burung, maybe,...
Nah kalo yang gampang ditemukan secara nama tuh gini maksudnya, tapi ini lebih sulit lagi.
Kamu, berprestasi gih. Jadi karyawan teladan kek, dapet penghargaan apa gitu. Apa pun lah yang bikin nama kamu terdengar ke luar circle kamu.
Siapa tau, jodoh kamu adalah orang yang ga sengaja nemu karya kamu dan penasaran sama kamu.
Be somebody, be someone that can be recognized
Biarkan jodoh kamu liat kamu, denger nama kamu
Next,
Tips, terakhir..
Lah uda yang terakhir aja nih. Iya aink ga banyak berteori, emang yang penting tuh praktek. Nah tips ini lebih sulit lagi,
Be love-able
Jadikan diri kamu bisa dicintai. Kalo kamu uda baca sampai sini dan ngerasa ga cinta sama diri kamu sendiri. Mending stop dulu
Mikir dulu gih,.
Bayangin kamu punya pasangan yang ga sayang sama dirinya sendiri, yang selalu nganggep dirinya worthless. Bayangin kamu harus berpasangan dengan orang yang ga bisa ngasi 'harga' ke dirinya sendiri.
Kerasa ancur banget ga sih selera kamu? Gimana perasaan kamu coba?
Yes, tahap pertama dalam mencintai orang lain adalah mencintai diri sendiri, ngasi value ke eksistensi kamu sendiri.
Ketika kamu ketemu jodoh kamu, kamu bisa dengan bangga bilang "ini loh saya, saya adalah orang yang bla bla bla"
Pun ketika yang kamu anggap jodoh kamu ternyata bukan jodoh, kamu masi tetap punya value. Kamu adalah bla bla bla, and you can love yourself for being that bla bla bla.
Dua tips diatas bisa dipake jika dan hanya jika, calon jodoh kamu ga lagi diuber sama orang yang mungkin jadi calon jodohnya dari calon jodoh kamu.
Anjay belibet
Yaa, jangan mikir bersaing dulu lah yang penting ikut daftar dulu aja.
Gitulah kurang lebih, semoga membantu
goodluck!
644 notes · View notes
Text
Can i save it :')
Bersiap Itu Melegakan, Berdiam Itu Melenakan
Tulisan ini panjang, tapi semoga menjelaskan banyak hal yang akan menggerakkanmu mengubah sesuatu terkait bagaimana kamu memandang pernikahan dan pengasuhan.
Bismillah!
Di penghujung tingkat akhir beberapa waktu yang lalu, ajakan kebaikan dari seorang sahabat telah mengubah banyak hal dalam hidup saya. Apa pasal? Sahabat saya menanyakan sebuah pertanyaan yang sepertinya dia sudah tahu bagaimana saya akan menjawabnya, “Nov, kemarin temanku ngajak aku untuk ikutan komunitas, namanya NuParents. Disana katanya sih akan belajar kesiapan mengasuh pra-nikah gitu. Aku langsung keinget kamu, ikutan yuk!” Tanpa pikir panjang, saya langsung sepakat.
Saat itu, bayangan saya mengenai parenting sangatlah sempit, sesempit seputar mengurus anak saja. Tapi ternyata, NuParents membentuk dan meluaskan persepsi saya sedemikian rupa, hingga saya menyadari bahwa kata ‘parenting’ memiliki makna yang begitu luas, juga dalam. Ibarat garis bilangan, NuParents mengajak orang-orang untuk kembali dulu ke titik nol atau bahkan minus sebelum melakukan pengasuhan, dan melakukan banyak rekonstruksi terlebih dahulu untuk kemudian melaju ke angka-angka bermuatan positif. 
Ada Apa dengan Kesiapan Mengasuh Pra-Nikah?
Mungkin ada yang bertanya-tanya tentang kalimat ‘kesiapan mengasuh pra-nikah’ seperti juga saya mempertanyakannya di awal-awal ketergabungan dengan mereka. Tapi lama-lama, saya jadi memahami bahwa kalimat itu benar adanya, sebab ternyata,
kesiapan mengasuh perlu diawali sebelum menikah, sebab ada banyak hal terkait diri sendiri, pengalaman masa lalu, dan bagaimana kita mempersepsikan sesuatu, yang akan berpengaruh pada bagaimana kita kelak mengasuh anak-anak kita.
Bagaimana kami belajar tentu tidak langsung membahas mengenai teknis mendidik anak seperti misalnya tentang bagaimana bersikap kalau anak sedang tantrum, bagaimana memilihkan sekolah, bagaimana pola kurikulum di dalam rumah, atau yang sejenisnya. Sebaliknya, kami mundur jauh terlebih dahulu hingga pembahasan mengenai diri sendiri seringkali menjadi dominan. Rasanya seperti naik roller coaster, sebab banyak hal di dalam hati dan pikiran saya (dan juga teman-teman lainnya) yang terobrak-abrik hampir di setiap sesi meet up rutinan. Tidak hanya itu, kami juga disadarkan untuk tidak terlalu mengedepankan perasaan dalam memikirkan pernikahan sehingga atmosfer yang terbentuk adalah atmosfer persiapan. Masa muda dengan segala kekhawatiran terkait masa depan ini memang tidak mudah untuk dilalui, tapi, setidaknya, NuParents adalah lingkaran yang menjaga kami agar tetap waras dalam memikirkan pernikahan.
Tumblr media
Tidak seperti ‘kompor-kompor’ di luar sana yang seolah ramai mempropagandai anak muda agar cepat menikah, NuParents justru menjadi ‘kompor’ yang seolah mempropaganda kami untuk cepat-cepat belajar dan mempersiapkan pernikahan dan pengasuhan. Bukan hanya untuk calon isteri/ibu saja, tapi juga untuk calon suami/ayah.
Bagi saya pribadi, jika sedang merasa pertahanan mulai goyah karena godaan-godaan dari luar, atau jika kantong emosi mulai hampir meledak, NuParents selalu berhasil menjadi lingkaran sehat yang mengembalikan kewarasan saya dan mengingatkan untuk tetap bersikap benar. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membuat saya tercebur dalam lingkaran kebaikan ini.
Lalu, Mengapa Perlu Belajar dan Mempersiapkan (Sejak Dini)?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang dulu berkali-kali saya tanyakan. Ternyata jawaban yang saya dapat di NuParents cukup membuat saya tercengang, sebab, pengetahuan tentang hal itu bukanlah sesuatu yang pernah saya dapatkan sebelumnya perkuliahan. Memangnya apa yang terjadi?
Sebagai generasi milenials, saat ini kita sedang menghadapi tantangan besar, yaitu gap generasi dan perbedaan persepsi mengenai kesiapan mengasuh. Kebanyakan orangtua kita dulu membesarkan anak-anaknya dengan pengetahuan seadanya karena menganggap bahwa pengasuhan adalah hal natural yang bisa didapatkan seiring dengan berjalannya waktu. Dampaknya, saat ini kita tidak tumbuh sebagai individu yang dipersiapkan untuk menjadi isteri, suami, bahkan orangtua. Padahal, perkembangan zaman dan situasi dunia hari ini menuntut kita untuk siap dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam mengasuh anak sebagaimana pesan Ali bin Abi Thalib agar kita mendidik anak-anak sesuai zamannya. 
Selain itu, satu hal yang baru saya ketahui dari NuParents adalah parenting is all about wiring, sehingga sangat masuk di akal apabila kesiapan mengasuh memang perlu diawali dengan berdamai dengan diri sendiri, memaafkan masa lalu, serta memaafkan juga kesalahan-kesalahan orangtua yang mungkin dulu pernah dilakukannya tanpa sengaja, agar rantai kesalahan itu tidak menjadi kasus berulang yag kita tularkan kepada anak-anak kita.
Tapi, di atas semua itu, motivasi terbesar tetaplah bersumber dari surat cinta-Nya, sebuah ayat yang hampir selalu dibacakan sebelum kami memulai belajar,
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S An-Nisa : 9)
Nah lho! Tidakkah peringatan itu membuat kita takut dan bersegera bergerak untuk mempersiapkan? Ayo belajar, yuuuuk :”)
Tapi, Bukankah Belajar Itu Terkadang Melelahkan?
Iya, benar sekali! Saya sepakat bahwa belajar itu suatu ketika akan menemui titik jenuh yang melelahkan. Disitulah barangkali memang letak ujiannya. Sejak awal sampai sekarang, beberapa kali saya mengalami maju mundur, lelah, dan bahkan merasa flooded karena pembahasan mengenai hal ini seolah dibahas dimana-mana. Hingga suatu hari, saya pernah bertanya pada senior yang sudah menikah, “Teh, aku capek banget belajar. Lama-lama aku pusing dan rasanya pengen engga belajar lagi meski aku sadar kalau aku mikir kayak gitu berarti aku lagi salah banget. Aku harus gimana, sih?” Lalu, teteh itu menjawab,
“Nov, kesiapan hadir karena ilmu, ketakutan hilang karena ilmu, kekhawatiran juga pergi karena ilmu. Capek belajar wajar, tapi memilih berhenti itu engga wajar. Diorganisir lagi aja waktu dan energinya, dan coba bikin ketersambungan antara hal-hal yang dipelajari itu, biar jadi sistematis juga mikirnya.”
Aha! Ternyata teteh itu benar. Rupanya, kelelahan belajar itu tidak pernah bersumber dari materi yang dipelajari, tapi lebih bersumber pada apa-apa yang ada di dalam diri.
Akankah Semua Ini Bermuara pada Bahteranya?
Pada prinsipnya, tidak ada seorang pun dari kita yang akan bisa mengetahui atau minimal menebak-nebak apa yang akan terjadi di masa depan. Pena telah mengering dan takdir telah tertuliskan. Tidak pernah ada yang tahu apakah pengalaman pernikahan dan pengasuhan ini akan kita rasakan atau tidak, meski kita sudah belajar. Tapi, tidak pernah ada yang salah dengan belajar dan mempersiapkan, bukan? Seperti yang ditulis oleh Kang Canun dan Teh Fufu dalam salah satu bukunya, kurang lebih begini, 
“Belajar dan mempersiapkan adalah tentang bagaimana kita berjuang untuk menjadi orang yang beruntung, yaitu orang yang hari esoknya akan lebih baik dari hari kemarinnya.”
Yup! Kalimat itu bisa menjadi penguat bagi kita, bahwa pembelajaran dan persiapan yang dilakukan adalah dalam rangka menjadi manusia yang lebih baik, yang mengupayakan ibadah kepada-Nya dengan upaya terbaik.
Tentang hal ini, pernah ada air mata yang beberapa kali terjatuh. Seperti misalnya ketika meet up selesai lalu terlintas di pikiran, “Akankah yang tadi dipelajari itu akan bertemu dengan kesempatan perwujudannya?” Sedih, tapi bagaimana pun pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang perlu susah payah dicari-cari jawabannya, sebab semua sudah ada dalam ketetapan-Nya.
Sore tadi, saat sedang membicarakan sesuatu terkait NuParents, saya dan @likalulu tiba-tiba saja saling bercerita, “Lika, engga kebayang ya gimana nanti ke depan. Kadang aku sedih kalau abis selesai belajar karena engga kebayang banget apakah nanti Allah akan kasih kesempatan untuk mengamalkannya atau engga. Sejujurnya sepulang dari belajar KBBM itu aku nangis, tiba-tiba gemeter gitu karena bertanya-tanya apakah aku akan sampai kesana atau engga. Lalu aku merasa alay kenapa aku nangis~”
Entah apa yang sedang dipikirkan Lika saat itu, tapi kami merasakan hal yang sama. Lalu Lika menjawab, kurang lebih begini,
“Sama Nov, tapi insyaAllah selalu berbaik sangka sama Allah, ya! Allah kasih ilmunya, insyaAllah dikasih kesempatan juga buat mengamalkannya. Aku hanya ingin memastikan ada di lingkaran yang baik dalam rangka mempersiapkan diri. Kita engga tau mana yang duluan datang, mati atau nikah. Tapi selagi menuju itu dijalani buat Allah, semoga Allah selalu ridho.”
Duar! Meletus balon hijau~ 
Pada intinya, entah nanti Allah akan pertemukan dengan pernikahan dan pengasuhan atau tidak, semoga kita terus belajar, mempersiapkan diri, dan berbaik sangka kepada Allah, agar semoga setiap upaya itu bisa menjadi amal shalih dan kebaikan yang berantai-rantai meski mungkin kita nanti telah berpulang.
Tulisan ini adalah pemantik yang semoga menggerakkanmu untuk belajar dan bersiap sejak dini, bahkan mungkin sejak belum terpikir olehmu tentang dengan siapa kamu akan menikah nanti. Belajarnya tidak perlu hanya di NuParents, kamu bisa belajar dimana pun dan dari mana pun, tentunya asal dari sumber yang benar dan terpercaya, ya! Tapi, kalau ingin belajar dengan NuParents, insyaAllah kita bisa belajar bareng hari Sabtu tanggal 21 Oktober 2017 di Bandung. Cek info lengkapnya di tautan berikut ini.
Selamat belajar, selamat mempersiapkan (kedatangan)! Sebab, bersiap itu melegakan, sementara berdiam itu melenakan karena kemungkinan paling mungkinnya adalah berujung pada kegalauan. Semoga Allah memudahkan setiap niat baik dan mempertemukannya dengan jalan-jalan terbaik. InsyaAllah, semoga sebentar lagi sampai :”)
517 notes · View notes
Photo
Tumblr media
man sara 'ala darbi wa shala, barang siapa yang berjalan di atas jalannya, ia akan sampai. don't stop, keep going.
1 note · View note
Photo
Tumblr media
Bahwa benar. Memang benar. Idealitas tak selamanya bisa berdiri kokoh, bahkan sekedar bersemayam bahwa ia ada, dan mampu berhadapan dengan subject keras, berbingkai nyata, realitas.
ah, hidup.
0 notes
Photo
Learn, Love, Love Learn.
Tumblr media
Belajar dan ilmu pengetahuan adalah investasi masa depan yang bisa terus kita upayakan melalui banyak jalan, sebab darinya kita bisa belajar tentang kebijaksanaan. Selamat belajar!
_____
Pict: Pinterest
46 notes · View notes
Photo
Tumblr media
“Aku ingin berjalan ke sana!”
Sebab bagiku, jalan yang tak berarah itu seperti menggoda adrenalin menjelajahku.
“Ada jalan yang lebih indah, yang dari dua cabang ini akan bertemu kebenaran, Al Qur’an dan As-Sunnah menuju Jannah. Pilih yang mana?”
Tuntun aku ke Jannah-Nya.
2 notes · View notes
Photo
Tumblr media
Aku seorang guru. Tidak ada keajaiban di dalam pekerjaanku. Aku tidak berjalan di atas air, aku tidak membelah lautan. Aku hanya mencintai anak-anak.
-Marva Collins-
2 notes · View notes
Text
sudahkah kita bersyukur hari ini?
Bersyukur dan Berbahagia
Hidup itu kalo bersyukur enak banget rasanya. 
Tumblr media
Sumpah. Cobain deh. Kok bahagianya kerasa banget; bawaannya mau senyum terus, kepala rasanya ringan dan jernih, dan bibir tuh ga henti-henti ngucap hamdalah.
Ternyata ya bahagia itu kuncinya cukup bersyukur aja.
Bersyukur karena sudah dikasih kehidupan, dikasih keluarga dan teman, dikasih akal pikiran, dikasih kesempatan. Bersyukur karena sudah dipercaya Tuhan untuk punya apa yang kita punya sekarang. Bersyukur, bersyukur, bersyukur, ternyata bahagianya bisa dalam sampai kerasa di tulang sumsum. 
Call me naive, tapi kalo sulit bahagia, kemungkinan besar karena belum mempraktikan bersyukur. Belum melihat bahwa hidup ini sudah hebat sekali Tuhan kasih dengan segala fitur-fiturnya. Masih terjebak dengan perbandingan-perbandingan sama kehidupan orang lain.
Kata orang tua, jangan pernah kejar dunia, karena dunia itu ga akan ada habisnya. Punya pasangan cantik, masih banyak yang lebih cantik. Punya mobil mewah, masih banyak yang lebih bagus dan mahal. Punya jabatan ini itu, masih banyak yang lebih tinggi lagi di atasnya. Akhirnya mengejar sesuatu yang tidak ada habisnya. 
Tapi kalo kita bersyukur, wah bahagia itu datang sendiri. 
Sadari deh apa yang sudah kita punya sekarang; lalu pahami bahwa semua yang kita punya itu bukan datang tiba-tiba. Itu semua pemberian. Semua dari Tuhan, tapi jalurnya saja yang berbeda-beda. Ada yang melalui orang tua, keluarga, teman, bahkan orang asing yang belum pernah kita temui sebelumnya. 
Jika sudah sadar bahwa semua hanya pemberian, kita akan sampai di titik kesadaran bahwa kita sebenarnya tidak pernah punya apa-apa. 
Jadi apalagi alasan untuk tidak bersyukur dan berbahagia?
577 notes · View notes
Photo
Tumblr media
Kau yang panas di kening Kau yang dingin dikenang -M Aan Mansyur,
Aku terlanjur dalam meresapi kehadiranmu meski itu hanyalah asumsi, lalu pada titik tertentu, detak hati kita tidak pernah bertamu, ataupun bertemu.
Puisi adalah cara pelampiasan perasaan terefisien, ataupun aku bisa merasakan penidasan paling dalam, dalam luka, penekanan perasaan. Aku membaca puisi aan mansyur diatas ketika aku membaca buku “Tidak Ada New York Hari Ini” yang kebetulan aku pinjam dari salah satu perpustakaan dimana aku menjadi anggotanya (sayangnya, sejauh ini aku masih mencari dan belum bisa menemukan perpustakaan komunitas). Awalnya, dua baris kalimat itu hanyalah tanpa makna, karna aku menganggap hanyalah orang patah hati yang bisa merasakan kedalaman puisi tersebut, atau orang yang ditolak cintanya.
Kau yang panas di kening
Pilihan kata yang kemudian menusuk hatiku ketika tadi aku baca lagi, melalui caption seseorang. Bukan karena aku mencintai orang tersebut, tetapi karena aku yang sedang memikirkan suatu hal yang sangat aku cintai, yang membuat keningku menjadi panas, yang membuat aku patah hati.
Sesakit itukah membaca puisi? Kemudian aku melanjutkan baris selanjutnya,
Kau yang dingin dikenang
Bagian ini yang kemudian lebih menyayat dan menyayat. Ini adalah realita yang membuat semakin sakit hati, karena penekanan pemaknaanku disini bukan melulu karena seseorang ataupun suatu hal telah mengganggu kita ataupun menyita pemikiran dan pikiran kita untuk terus memikirkannya hingga kening kita panas, perasaan kita membuncah, akan tetapi kalimat selanjutnya ini adalah realita “penolakan” atau titik dimana seseorang (misal saya) yang memaknai akan semakin terluka karena orang atau sesuatu yang kita pikirkan cenderung dingin dikenang, atau tidak mau dimiliki
Tuhan, jika meminta tidaklah berdosa Ijinkan kami bertamu dan bertemu -Atika Anifarka, Harapan Biru
Pada kalimat ini, aku meminta (lagi), agar Tuhan mau mempertemukanku dengan yang membuat panas dikening. Sedang realitanya adalah dingin dikenang.
Tuhan, jika menolak bukanlah dosa Ijinkan aku pergi, aku ingin menolak takdir-Mu -Atika Anifarka, Kecamuk Hati
Ini adalah bagian terakhir, ketika realita adalah dingin dikenang, dan aku mulai meminta apa yang dulu sebenarnya adalah aku harap-harapkan, hingga kemudian, ada rasa dan rasa ini berlaku ‘jika dan hanya jika’ Tuhan memperkenankan, ‘aku ingin pergi dan menolak takdir’ jika aku bertemu realita bahwa harapan itu masih dingin dikenang. Sedang keningku masih terus panas, karna memikirkannya, karna mengharapkannya, karna menginginkannya.
Peluklah takdir, peluklah mimpi -Ibu dan Bapak, persimpangan kedua.
“dan kemudian aku diam, mencerna kalimat ibu, mencerna kalimat bapak, keningku masih panas, dan hatiku masih membuncah dan aku, memilih memeluk takdir dan memeluk mimpi”
29 Juli 2017
5 notes · View notes
Text
Merantau; Menikmati Jeda
“Yats, kuliah dimana?” “Di Solo. “UNS?” “Bukan UMS. Muhammadiyah Surakarta.” “Lha ngapain kuliah jauh-jauh ke sana. Swasta disini kan banyak. Muhammadiyah Tangerang ada, Muhammadiyah Jakarta aja. Nyusahin diri sendiri lu.”
Sebenarnya, sampai saat ini, sampai semester enam hampir kunjung usai, jangankan sering, sekalipun gak pernah nyesel buat keputusan ngerantau ke Solo buat belajar. Satu-satunya penyesalanku adalah kesempatan pulang dan bersua dengan orang tua semakin sedikit, padahal mereka semakin tua, tapi baru setiap di penghujung semester ada kesempatan pulang.
Pasti ada yang tanya, “Lha kan Tangerang-Solo deket. pulang setiap bulan juga bisa.”
Betul. Aku sebenarnya bukan tidak mampu, tidak ingin ataupun tidak sempat. Tapi, malam itu, di stasiun Pasar Senen, bapakku sebelum keberangkatan berpesan, “Laki-laki harus kuat. pundakmu tidak diciptakan hanya untuk menampung beban masalahmu sendiri, masih ada keluargamu, yang sekarang ataupun yang akan datang, beban negaramu, pekerjaanmu, kehidupanmu, dan beban lainnya. Jadilah lebih kuat dan lebih kuat lagi.”
Dari situ, ada pesan bapak yang sebenarnya tersembunyi, “Sebenarnya, akan ada saatnya kau kehilangan kami, kehilangan beberapa orang yang kau cintai, yang kau sayangi. Dan, kau harus tahu bagaimana cara bangkit meskipun kau seorang diri.”
Maka dari itu, aku pikir caraku untuk jarang pulang adalah caraku yang paling kejam terhadap diri sendiri untuk bisa sesuai dengan pesan bapak.
Solo, beserta isinya; siang harinya yang panas, malam harinya yang romantis, angkringan setiap lima ratus meter, lampu neon yang tak terlalu gemerlap, Slamet Riyadi yang panjang, Ngarsopuro yang menyenangkan, Manahan yang berkelipan, Laweyan yang berkebudayaan, Balekambang yang sederhana, Kotabarat yang penuh manusia, makanan yang tiada matinya, harga murah yang tidak pernah aku habis pikir, keramahan dan sopan santun yang lekat dan dekat, timlo Sastro di Pasar Gede, Selat Vien dekat Solobalapan, bakso patung kuda, simbok-simbok sepanjang Sriwedari dengan jadah bakar serta (aih) perempuan-perempuan yang dalam setiap panorama menampilkan senyum anggun dengan kerudungnya cukup mampu sampai sekarang… membuat aku mencintai kota kecil ini.
Tapi, bahwa kebenaran yang paling aku hindari adalah; kenyataan bahwa aku lebih mengenal tanah rantau ketimbang tanah kelahiran adalah satu-satunya kebenaran yang paling tidak ingin aku akui.
Meskipun begitu, kemanapun langkah kaki ini berjalan, ke kota serta negara lain aku berlayar, kepada rumah pula lah aku berlabuh.
Merantau (terutama ketika kuliah) adalah cara paling asyik menikmati jeda dalam hidup yang maya ini. Meski tidak jauh tanah rantaumu tapi tak mengapa, bepergianlah, kau akan tahu bahwa meme meme anak kos dan mahasiswa ternyata benar-benar ada.
Setidaknya meskipun kau tidak bisa menulis untuk dibagikan ke orang banyak. kau masih bisa membagikan ke anak anakmu kelak dan bilang, “Dulu bapak ngaduk kopi seduh pake bungkusnya,” atau “Dulu bapak balik celana dalam karena lupa nyuci,” atau “Dulu mamah pergi KFC tapi bawa nasi sendiri dari rumah.”
Dimanapun dan kapanpun, hijrah itu adalah nikmat.
Nikmat dimana pada akhirnya menyadarkan kita bahwa berpindah-pindah tempat, berganti-ganti kota adalah latihan yang tepat sebelum kita menetap setelah akhir hayat.
yang sedang pulang dan akan kembali pergi Tangerang, 30 Juni 2017.
179 notes · View notes
Photo
Tumblr media
dan pada akhirnya terdampar di labirin beranda, mu. 
2 notes · View notes