Untold Story; “Bolehkah Kami Bermimpi”
Kisah ini, sudah saya simpan dalam-dalam di ujung pikiran dan hati saya yang paling dalam. Menjadi salah satu motivasi paling sederhana dan paling mudah untuk tidak berhenti bermimpi sambil berbuat baik. Sebelum bercerita dan tahu kenapa saya angkat ini di Hari Pendidikan Nasional 2020, kita kembali ke 2018 sebentar ya.
April 2018, beberapa teman yang akhirnya saya kenal, menuntaskan sebuah projek konser amal untuk sebuah yayasan pendidikan Kristen. Pada prosesnya sekitar dari 4 bulan sebelum acara berlangsung, saya pun terlibat. Tidak pernah sebelumnya, saya menjadi salah satu anggota Tim Kreatif, yang lingkupnya kurang lebih desain bahan-bahan posting di sosial media, poster, dan lain-lain. Namun yang tidak saya perkirakan sebelumnya: saya harus membuat video dokumentasi untuk teaser acara tersebut. Hmm, kalau tidak salah sih, ketika tugas itu harusnya dilakukan, saya minim partner alias emang gak ada orang lain yang bisa dampingin.
Pendek cerita, saya ditemani papa pergi ke sekolah yang akan dijadikan lokasi shooting. Letaknya di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Please keep in mind, saya belum pernah ke sana sebelumnya. Tahu bentuknya seperti apa pun, gak.
Saya tiba di sekolah itu sekitar pukul 9.30 pagi. Sudah janjian sama ibu Kepala Sekolah, saya bilang akan datang sebelum jam bubaran adik-adik. Melewati beberapa proses, akhirnya saya berhasil mengumpulkan footage untuk video di bawah ini dan kembali ke rumah. Kembali menjadi panitia seperti biasa, dan melanjutkan kegiatan bersama teman-teman. Tapi ada cerita kecil yang tidak pernah saya bagi ke orang banyak, mungkin hanya 2-3 teman. Karena rasanya intim sekali dan sangat menggunggah saya pribadi.
Supaya sedikit jelas rasa yang saya alami waktu itu, mungkin teman-teman bisa lihat video ini yang menjadi teaser final untuk acara konser amal tersebut.
“Story of Us” adalah sebuah konser amal untuk sebuah yayasan pendidikan yang saat itu sedang berjuang keras agar beberapa sekolahnya tidak ditutup. Karena apa? Faktor ketidaklayakan.
Mengusung tema "Bolehkah Kami Bermimpi?" kami berusaha menyampaikan pesan tersirat dari pihak yayasan kepada masyarakat, bahwa mereka masih ingin anak-anak ini terus bersekolah dan menggapai cita-cita mereka apapun itu pada akhirnya. Tapi biayanya terlampau besar untuk mengcover yang ingin mereka lakukan; merenovasi beberapa sekolah, membayar tempat sewa (karena mereka gak sanggup beli tanahnya), menggaji guru, membelikan buku paket untuk anak-anak, dll.
__________
Saya sedang menyiapkan kamera untuk shooting, lalu ibu Kepala Sekolah datang menghampiri saya:
“Halo, Kak Kila ya dari pusat?”
“Iya, betul Bu,” saya senyum simpul. Karena si Kila ini anaknya emang agak susah multi-tasking.
“Wah senang deh ada acara ini. Bisa bantu-bantu kita. Semoga sukses ya,” lanjut si Ibu Kepala Sekolah yang ketika saya lihat wajahnya senyum lega bukan main.
“Iyaaa, amin ya Bu. Hmm.. Kalau boleh tahu, di sini gurunya ada berapa?”
“Oh, cuma 3. Kadang juga 2. Karena yang satu lagi sedang proses pindah ke sekolah lain.”
Saya tersentak, sekolah ini punya anak-anak kelas 1-6 SD, tapi gurunya hanya dua. Gimana bisa deh?
“Hah? Seriusan cuma dua?”
“Iya, udah susah bayarnya kalau dari iuran sekolah anak-anak. Sebulan mereka bayar (saya lupa kalau tidak salah) Rp50.000 itu sudah harus termasuk bahan pelajaran, fotocopyan, dan lain-lain.”
“...” pikiran saya lari entah kemana selama beberapa detik karena sesak membayangkan kesulitan yang diceritakan ibu ini.
“Itu juga kadang beberapa dari mereka ada yang ngutang karena gak sanggup bayar. Baju seragam mereka juga sumbangan. Malu kalau mau numpang ujian praktek ke sekolah lain, gak pakai seragam.”
Di situ rasanya tangis saya sudah di ujung tenggorokan. Maklum sensitif banget kek tespek.
“Emangnya sering ke sekolah lain buat numpang ujian?”
“Iya, kan sekarang UN-nya pakai komputer.. Karena kita tidak punya, harus numpang ke sekolah lain kalau mereka sudah selesai. Dari try-out kemarin sudah begitu, kak..”
“Oh.. Iya iya..”
Sekolah yang saya datangi, sudah menyewa bagian gudang sekolah lain selama 3 periode di tempat yang berbeda karena tidak sanggup membeli tanah dan gedung sendiri. Jumlah anak-anak yang semakin sedikit tiap tahunnya (karena kualitas sekolah menurun dari segi fasilitas, dan ketidakmampuan orang tua membayar iuran), membuat sekolah ini semakin sulit bertahan. Mereka tidak lagi bisa menggaji penuh guru, atau membelikan buku paket untuk masing-masing anak.
___________
Kalau sudah kebayang rasa nyesss-nya kayak apa, kita sampai ke bagian ke paling “seru”nya. Sebelum saya pulang ke Bogor, ini yang membuat saya gak akan lupa sama mereka semua.
Adik A: “Kakkk! Sini dulu sini dulu,” salah satu anak menarik tangan saya ke tempat duduk di depan kelas, yang kalau dilihat di video, lokasinya ada di lorong. 2 buah kursi panjang, di depan toilet.
Adik A: ”Kakak, udah mau pulang?”
Saya: “Iya nih, bentar lagi abis beresin kamera, kayaknya aku pulang. Kalian pulang juga kan?”
Adik B: “Yahhh, bentar lagi donggg. Hehehehehe foto-fotoin lagi.”
Saya: “Kan tadi udah? Hahaha. Nanti ya kalau udah jadi, kalian pasti lihat videonya deh! Kan nanti pas konser kalian bakal diundang ke sana.”
Adik A: “Ah emang iya? Tempatnya dimana sih kak?”
Saya: “Iyaa donggg, masa ada di videonya, tapi nanti orang-orangnya gak keliatan? Hahaha,” lalu saya menerangkan singkat bahwa tempat mereka datang nanti akan berada di sebuah mall besar di Jakarta.
Adik-adik: “Ihh asikk ke mall!”
Hening sejenak. Lalu muncullah obrolan di antara mereka. (Seperti membahas kolam renang dekat sekolah yang harga masuknya Rp15.000 dan untuk mereka sangat mahal alias mendingan dipake buat jajan berapa hari.)
Lalu, inilah saat saya tersentak dan tersentuh bukan main.
Adik C: “Kak, berdoa dulu yuk. Sebelum kakak pulang.”
Saya: “Hah? Oh.. Boleh.. Siapa yang pimpin doa.”
Lalu seperti biasa tunjuk-tunjukkan yang kerap dilakukan bocah, berujung dengan seorang adik perempuan yang ditugaskan berdoa, sebuah doa yang sederhana:
“Tuhan Yesus, makasih udah kumpulin kami hari ini. Makasih kami udah belajar dengan baik. Hmm makasih karena Kak Kila udah dateng ke sini. Semoga hmm acaranya nanti bisa jalan dengan baik, dan bantu sekolah kita. Sekarang kami dan kak Kila mau pulang, Tuhan pimpin kami masing-masing sampai selamat dan ketemu lagi nanti. Makasih ya Tuhan, Amin.”
Saat berdoa sambil tutup mata, saya menangis. Sambil jaga image, takut kalau-kalau ada mereka yang ngintip, jadi ngapus air matanya kayak lagi kelilipan. Selesai berdoa, saya bilang terima kasih buat doanya. Saya beres-beres dan mereka lanjut bermain. Wajah-wajah ketawanya, bisa seperti yang kalian lihat di video: gak ada beban. Meskipun mereka belum tahu, besoknya bisa masuk sekolah atau gak karena mungkin harus bantu ayah/ibunya kerja.
Sampai hari ini, kertas-kertas yang mereka tulis, ada di meja belajar saya. Tidak akan saya hilangkan, sebisa mungkin akan saya simpan. Saya ingin selalu ingat, bahwa di tengah kesulitan dan bermimpi, kita masih bisa berharap, berbuat baik kepada orang lain, dan berterima kasih kepada Sang Pencipta.
__________
Dari lubuk hati saya paling dalam, ketika saya mengetik tulisan ini, saya sangat ingin mereka bisa terus bersekolah. Sampai tuntas. SMA, bahkan kalau bisa sampai perguruan tinggi. Pendidikan seharusnya tidak mahal. Pendidikan seharusnya bisa didapatkan semua orang. Guru harusnya berkecukupan dan sejahtera karena telah mengajar banyak orang.
Tapi saya sadar itu tidak mudah. Tidak serta-merta dapat dilakukan serentak oleh pemerintah. Maka, untuk sebagian orang, mereka akan terus bermimpi.
Mereka boleh terus bermimpi sambil tetap berbahagia seperti adik-adik.
Dan kalau, kalau saja, kalian dan saya bisa bantu mewujudkan mimpi itu, kita juga pasti bahagia.
0 notes
28 April.
Di Instagram, tepat pada tanggal di atas, saya sudah sempat unggah segelintir cover-an lagu yang sudah lama sangat ingin saya utarakan. Pesannya yang klise namun sungguh betul. Selalu mengingatkan saya mungkin sejak dua tahun lalu, kemudian setahun lalu, atau setiap saat saya tahu ketika kamu kembali, kamu akan hilang.
Karena saya tahu, kamu hilang bukan karena kamu harus. Tapi karena kamu mau.
Berkali-kali sejak 2 tahun lalu itu, saya merangkak dan menyeret diri sendiri ke dalam mimpi-mimpi yang pernah dibuat, lalu berusaha berdiri lagi seakan mimpi-mimpi itu tidak ingin berada dekat-dekat saya. Atau karena sebaliknya. Saya berusaha menjauh dari mereka, karena semakin dekat dan terlihat nyata, mereka yang tak salah apa-apa jadi sungguh menyakiti hati saya.
___________
Beberapa minggu sebelum tanggal di atas, ponsel saya berbunyi lagi dan pesan dari kamu muncul. Bertahan dengan banyak obrolan mengalir ketika ngobrol via telefon, sampai di satu titik obrolan itu saya pergi ke alam lain di mana di sana saya sadar entah cepat atau lambat kamu akan hilang lagi. Rupanya, kali ini kehilangan itu datang lebih cepat dan saya tidak siap.
Beberapa hari sebelum tanggal di atas, pesan sesungguhnya yang ingin saya sampaikan, telah saya kirimkan namun tidak sampai di ponselmu dan tidak akan pernah. Saya sadar, bahwa bermain layangan saat angin tidak ada, hanya akan melelahkan dan membuat seseorang kecewa. Karena angin tidak selalu ada, saya tidak ingin bermain layangan lagi.
___________
28 April, 2020. Saya pikir, semua yang pernah saya katakan;
bahwa semua bisa berjalan baik-baik saja meskipun kita bukan yang semula, bahwa menjalin hubungan yang baik bisa dengan menjadi teman atau sahabat, bahwa saya akan selalu ada:
salah.
Saya salah. Saya hanya ingin semua baik-baik saja. Tapi ketika saya selalu bergulat dengan itu semua, saya menjadi tidak baik-baik saja. Maka saya harus hilang juga dari kamu. Saya juga harus menjadi angin untuk kamu. Saya harus, bukan karena saya mau.
Kamu, semoga sampai kapan kita bertemu lagi dan seterusnya, menjadi angin yang sejuk bagi orang lain. Menjadi yang baik dan terus bertumbuh.
Saya, semoga sampai kapanpun, bisa memaafkan kamu.
Kita, semoga sampai waktunya bertemu, sudah baik-baik saja dan bisa memanggil satu-sama lain karena sadar masih tersisa yang tidak asing: senyum dan salam yang kita lontarkan pertama kali bertemu.
0 notes
Desember.
Ada yang deras tapi tidak sempat tumpah.
Muka yang lemas tapi entah kenapa.
Api yang terbakar tapi tidak tahu ingin meniup baranya ke mana.
Membungkam kamu sama saja menyalakan tungku api di tengah hutan kering. Aku dan seluruhnya akan terbakar. Tapi kamu selalu kedinginan.
Lalu kantong mataku selalu menjadi dam yang menampung beribu cerita tapi tidak bisa berkelana sendiri. Karena semakin ia tumpah, ia deras dan habis.
Aku benci tidak bisa menjadi yang menghangatkan lagi. Aku tidak suka melihat kamu kedinginan, namun separuhku telah hangus dibakar egomu.
Di suatu musim dingin, aku ingin menjadi yang kedinginan. Supaya kamu tahu rasanya terbakar.
Supaya kamu tahu bagaimana rasanya,
ada yang deras tapi tidak bisa lagi tumpah.
2 notes
·
View notes