Tumgik
kokipaste · 2 years
Text
Pria Misterius
Seorang pria berbadan tegap dengan hoodie hitam pekat dari tadi melihatku. Topi yang juga berwarna hitam terpasang menutupi alisnya membuatku sulit melihat matanya. Kedua tangannya sembunyi di saku. Celana jeans berwarna biru yang bagian kedua lututnya sengaja dirobek, itu terlihat jelas dari bentuk bolongannya yang tidak beraturan dan sama besar. Pria itu bersandar di tiang penyangga halte dan menghadap ke arahku yang berdiri sendirian di depan jalan. Pria itu bersandar dan menghadap ke arahku, bukannya menghadap jalan, seperti memang sengaja dilakukan. Itu membuatku benar-benar risih. Lima langkah ke samping terlihat pria itu tak henti-hentinya menatapku, sesekali ia benturkan kakinya di tiang pembatas halte dan membuatku merasakan betul getaran dari atap halte yang tepat berada di atasku. Kalau saja atap itu roboh, mungkin besi-besi penyangganya akan menancap di kepalaku secara langsung seperti pada adegan film final destination. Ujung mataku jelas melihat gerak-geriknya meski badanku sangat kaku ke depan dan tak bisa memutar ke samping, karena jika itu terjadi artinya kami akan saling berhadapan. Aku akan bisa lebih leluasa melihatnya secara utuh. Namun, aku hanya tertunduk atau menghadap saja terus ke depan dan melirik sedikit untuk mengecek setiap gerak-geriknya yang seakan-akan mengancam keberadaanku.
Aku sudah terbiasa pergi dan pulang kantor dengan menggunakan bus. Dan di halte bus tempatku berdiri saat ini sebenarnya masih cukup banyak orang. Suami istri duduk tidak jauh di belakangku, disampingnya lagi ada dua wanita separuh baya dengan seorang anak kecil, juga empat orang karyawan bank yang asik berbincang sambil berdiri. Belum terlalu larut dan orang-orang masih lalu lalang di sekitar. Aku menunggu bus malam itu seperti hari-hari biasa. Aku juga sendirian malam itu seperti yang sudah-sudah.
Namun, akhir-akhir ini aku memang cukup cemas setiap pulang malam. Bagaimana tidak, temanku di kantor selalu bercerita kalau sekarang ini sedang marak terjadi penculikan wanita saat pulang kerja di malam hari oleh pria tak dikenal. Kabarnya, ia akan membuntuti wanita-wanita yang pulang kerja sendirian. Dan baru-baru ini salah seorang karyawan wanita dari divisi HRD di kantorku menjadi korban. Ia dikabarkan hilang dan tak lama mayatnya ditemukan di jembatan penyebrangan. Polisi masih berusaha mencari pelaku, diduga seorang laki-laki dengan motif yang belum diketahui masih berkeliaran dan mencari korban berikutnya.
“Pria ini sangat mencurigakan. Apakah dia pelakunya? Apakah aku akan jadi korban selanjutnya?”
“apa yang harus aku lakukan, apakah aku harus lari, atau bagaimana? Bus nya lama sekali datang”  gumamku dalam hati yang berkecambuk.
Malam itu kuperhatikan tampak semua orang biasa saja, sibuk dengan aktivitas masing-masing. Saat melihat ponselku yang berbunyi karena notifikasi dari berita online yang kuikuti, aku langsung melongo dan menelan ludah banyak-banyak. Berita online mengupload di laman akunnya jika polisi sudah merilis sketsa wajah pelaku dari rentetan penculikan sekaligus pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Ada dua kasus setidaknya yang terjadi dua minggu terakhir, sebelumnya sebulan lalu juga terjadi kasus yang sama di lokasi yang berbeda dan ternyata diketahui dilakukan oleh pelaku yang sama. Sayangnya, polisi baru bisa menggambarkan satu sketsa pelaku saja meski menduga kasus ini dilakukan oleh komplotan. Polisi megeluarkan edaran bagi pengguna transportasi publik untuk tidak bepergian sendiri saat larut malam. Polisi juga mulai akan meningkatkan keamanan di ruang publik serta menghimbau kepada instansi atau perusahaan agar tidak membiarkan karyawannya lembur setidaknya sampai kasus ini terungkap.
Belum selesai kubaca semua beritanya, saat itu juga segera kupeluk tasku erat-erat, keringatku mulai menetes satu-satu, jantungku berdebar kencang dan kakiku mulai tak berdaya. Kurasakan tatapan tajam dari pria yang sedari tadi sejak aku berdiri tak sedikit pun melepas pandangannya padaku. Kulihat lagi secara saksama gambar sketsa pelaku yang dirilis polisi: seorang pria tegap, rambut cepak, mata tajam, hidung besar tanpa senyum. Membulatkan pikiranku bahwa pria mencurigakan yang sedari tadi  menatapku  itu sama dengan sketsa wajah yang dirilis polisi. Aku bisa merasakan nafas kekejaman dalam dirinya, dan aroma kejahatan yang siap mengincar korban selanjutnya. Aku benar-benar tidak bisa membendung jantung yang semakin berdegup kencang. Keringatku pun tak lagi menetes satu-satu melainkan jatuh mengalir ke badanku. Aku benar-benar merasa terancam sekaligus mencoba memikirkan apa yang harus aku lakukan dalam sepersekian detik ditengah orang-orang yang tampak tidak menyadari keberadaannya.
“Mbak, jangan takut!” tiba-tiba seorang pria kurus dengan kaos oblong menepuk pundak kiriku.
“Hoh!” ucapku terkejut sampai suaraku terdengar parau. Ia menyadarkanku dari ketakutan dan menghentikan usahaku berfikir keras untuk menyelamatkan diri.
“Tenang…  Mbak sekarang tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan perlahan.”
Kuikuti intruksinya dan benar saja aku sedikit jauh lebih tenang. Seorang pria yang entah datang dari mana seakan diutus untuk menjadi penyelamatku malam itu.
“Kutemani disini sampai busnya datang dan biar kucegah agar pria di sana tidak ikut naik ke bus. Jika benar, ia memang pria yang dicari-cari polisi di berita, pasti ia akan segera pergi kalau tahu seseorang mengenalinya di tempat umum,” jelas pria ini dengan tutur kata yang lugas dan nada bicara lemah lembut.
“Mbak, ikuti saja apa kata saya,” ucapnya lagi. Kali ini tatapannya sangat dalam kepadaku sambil tersenyum. Aku benar-benar lega dengan ucapan pria ini. Sangat menenangkan dan membantu saya menghadapi situasi yang menegangkan dalam hidupku. Kuikuti setiap ucapannya kata demi kata, kudengar baik-baik apa yang dibicarakan demi keselamatanku, sepertinya memang hanya kami berdua yang menyadari keberadaan pria bertopi hitam itu. Ia sengaja mengajakku bicara seakan-akan kita akrab dan berkawan agar pria misterius itu merasa bahwa aku bukanlah orang yang tepat dijadikan korban selanjutnya. Ia juga dengan senang hati memegangi tasku seraya membiarkanku rileks sejenak dan meluruskan pergelangan tangan dan kakiku yang cukup kaku sedari tadi. Keteganganku benar-benar hilang dan terasa lega hingga aku sendiri tidak menyadari lagi keberadaan pria mencurigakan yang terus-menerus menatapku tadi.
“Mbak, bus nya sudah datang. Pria tadi juga sudah pergi. Hati-hati di jalan,” ucapnya sambil menepuk pundakku lagi dan menyodorkan tasku. Senyumnya simpul dengan tatapan mata yang lebih dalam lagi.
“lain kali jangan pulang sendirian, Mbak!” ucapnya lagi mengikuti langkahku naik ke dalam bus.
Aku lalu naik ke dalam bus tanpa mengucap sepatah kata pun. Bahkan terimakasih tak sempat kusampaikan kepadanya tetapi senyumannya masih terngiang diingatanku dan tatapan dalam matanya masih membekas di kepalaku. Namun, aku masih bingung karena perasaanku seperti tidak sedang baik-baik saja padahal aku baru saja lolos dari seorang pria misterius buronan polisi dan diselamatkan oleh pria kurus dengan senyum simpul. Aku masih saja bingung dengan perasaanku. Kulihat sekitar, di dalam bus tidak ada hal yang mencurigakan. Tidak beberapa lama kemudian, saat aku akan menghubungi adikku di rumah, kuraba isi tasku mencari ponsel yang tadi kupegang selama di halte. Namun, isi tasku kosong kelontang. Sangat luang bahkan  dompet, tisu, parfum dan semua barang-barang di dalam tasku pun tidak ada. Lalu kucoba untuk melihat jam bermaksud memvalidasi sekarang sudah jam berapa malam ini tetapi pergelangan tanganku tak melekat jam tangan satu pun. Mungkin di tangan kananku, tetapi keduanya kosong. Aku tidak pernah lupa mengenakan jam tangan setiap bepergian dan malam ini tak kukenakan. Tadi pagi, seharian di kantor aku bahkan masih memakainya. Kuperhatikan lagi sekitar, memandang ke luar jendela dan kepalaku mulai sedikit pusing, satu per satu ingatanku kembali meski samar-samar. Aku mengingat seorang pria tegap berpakaian serba hitam terus menatapku selama di halte. Aku juga mengingat aku mengobrol dengan seorang pria kurus kaos oblong. Tapi aku belum mengingat secara rinci apa yang kulakukan dengan pria itu. Apa yang aku obrolkan dan apa kedua pria itu saling mengenal atau tidak. Yang pasti kedua pria itu benar-benar misterius bagiku.
Aku menatap lagi ke luar jendela, bus yang kutumpangi semakin melaju kencang mengikuti ingatanku yang perlahan semakin jelas. Meski aku tahu aku tak bisa berbuat      apa-apa lagi, aku menghindari seorang pria mencurigakan dengan tatapan kekejaman di matanya. Pria yang kusangkakan sebagai buronan polisi, jika itu benar aku telah berhasil menghindari takdir sebagai korban penculikan dan pembunuhan selanjutnya. Lalu aku bertemu pria dengan tutur kata lugas, tatapan dalam dan nada bicara lemah lembut yang kusangkakan sebagai penyelamatku dari pria sebelumnya tetapi ternyata ia telah mengambil barang-barang bawaanku, dompet, kartu atm, termasuk jam tangan kesayanganku, yang kubeli dari usaha menyisihkan gajiku selama dua tahun. Ia mengambil semuanya. Setidaknya ia meninggalkanku satu, sebuah pesan “Lain kali jangan pulang sendirian, Mbak!”
8 notes · View notes
kokipaste · 2 years
Text
Sepeda
Aku buru-buru mengayuh sepedaku berharap pertandingan sepakbola klub favoritku belum dimulai. Awan dan Fikrul sudah menungguku di stadion dan tak henti-hentinya menghubungi ponselku. Sepersekian detik ketika aku sampai pertandingan pun baru dimulai. Kami larut dalam permainan olah kaki yang tampak memukau ditunjukkan. Teriakan penonton riuh gemuruh semakin membakar aksi para jagoan lapangan hijau. Dan, pertandingan berakhir dengan kemenangan telak 3-0 untuk klub kebanggaanku. Aku, Awan dan Fikrul pulang sambil bernyanyi, bertepuk tangan, juga menari-nari sebagai bentuk perayaan kemenangan tim, kemenangan kami. Berpelukan dan menyapa supporter lain yang papasan di jalan.
“Martinus mengumpan ke Balawan, berlari melewati dua pemain, mengecoh satu pemain lagi, mengumpan lagi ke Martinus, empuk sekali umpannya dan Martinus, Martinus, Ooo Martinus, Shoot! Golllllll Gol Gol Gol Gol Gol,” kata Awan bak menirukan komentator bola diikuti gelak tawa kami.
“Hola.. hola… yoo… Win Win Win. Kami datang memberi dukungan, bernyanyi, menari, dan Menang, Menang, Menang...Hobah!”
Kami bernyanyi percaya diri tiada henti sambil bergegas masuk ke gerbong kereta, disambut supporter lain dan saling menyahut merayakan kemenangan bersama. Solidaritas sesama supporter makin terasa setelah klub kesayangan baru saja menjadi juara. Kereta mulai berangkat dan aku baru teringat satu hal.
“Maaaakk, sepedaku!” teriakku sambil menepuk jidat.
“Mak! Kenapa pula kau ikut naik kereta dengan kami?” timpal Fikrul yang ikut-ikutan  menepuk jidatku.
“Rumah kau kan di belakang stadion,” kata Awan. Ia juga menepuk jidatku berkali-kali sambil tertawa terkekeh-kekeh. Sementara kereta terus melaju, aku hanya memandangi pohon-pohon dari jendela dan mengusap-usap jidatku yang sedikit perih.
1 note · View note
kokipaste · 2 years
Text
Coach 😻😻
18K notes · View notes
kokipaste · 2 years
Text
Sebentar lagi, Bu
Aku tidak sengaja mendengar obrolan ibuku dengan paman. Ia memang sering datang ke rumah kami kalau sudah sore, rumahnya tidak jauh. Ia berbicara tentang  anaknya yang baru saja naik jabatan. Katanya, kini ia hanya menuai apa yang telah ia tanam. Menyekolahkan anak-anaknya dan ia bahagia dengan kehidupannya sekarang karena anak-anaknya telah bekerja dan menempati posisi jabatan yang tinggi. Lalu kulihat ibu hanya tersenyum dan berucap syukur. Aku benar-benar melihat mata ibu yang penuh harap. Mata yang memancarkan binar harapan yang besar. Mata yang menunjukkan ada doa-doa khusyuk sengaja dipanjatkan.
Dan, aku adalah harapan besar yang kulihat dalam palung mata ibu hari itu. Aku lah orangnya. Meski  ibu tidak pernah memintaku untuk menjadi apa pun atau seperti siapa pun tetapi aku, aku lah yang ingin menjadi orang yang mampu membahagiakan ibu, aku  yang bertekad bulat untuk berusaha keras mencapai setiap keinginan dan mimpi-mimpiku. Aku lah yang sangat ingin membuat ibu bangga. Aku ingin ibu juga membicarakan pencapaianku di hadapan paman, tetangga dan orang-orang yang ia temui. Semua  karena ibu. “Aku melakukannya karenamu, Bu.”
“Sedikit lagi aku akan buat  ibu bangga. Sebentar lagi, aku akan mewujudkan doa-doa  sederhanamu. Ya, tidak lama lagi. Mohon panjang umur dan sehat terus ya Bu” kataku dalam hati lalu berlalu masuk ke kamar sambil memegangi amplop coklat yang tertolak dari tiga perusahaan hari itu.
1 note · View note
kokipaste · 2 years
Text
Ayah yang Marah
Ayah sudah menunggu di mobil setelah sedari subuh sudah memanaskan mesin mobil tuanya. Istri dan anak-anaknya masih berjibaku dengan mempersiapkan semua kebutuhan. Anak laki-lakinya baru usai mandi, anak keduanya masih sarapan dan putri bungsunya masih tertidur pulas di depan tv meski sudah mengenakan pakaian siap berangkat. Sementara istrinya kesana kemari mengurusi tiga anak-anaknya sekaligus memastikan barang bawaan mereka. “Lama sekali!  Jadi berangkat atau tidak?” teriak ayah yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah.
Ibu segera memasukkan selimut ke dalam tas. Anak-anak buru-buru memakai pakaiannya dan segera menghabiskan makanannya. Ibu memilih tetap fokus menyiapkan semuanya dan anak-anak terdiam kaku ketika ayah sudah mulai marah. Mereka sudah tahu apa yang harus ia lakukan ketika ayah sudah tersulut emosinya.
“Ayo, cepat!” teriaknya lagi. Emosinya makin menjadi ketika melihat setumpuk makanan ringan belum juga dimasukkan ke dalam kotak. Sambil menendang lemari dekat ia berdiri yang berisi panci-panci alat masak ibu, ayah berteriak lagi “Lama sekali, sih!” Teriakannya kini lebih besar dari suara toa masjid dekat rumah. Anak-anak kaget, ibu terhenti. Lemari besar yang di atasnya juga disimpan beberapa toples makanan tiba-tiba terjatuh dan menimpa ayah. Ia tersungkur tidak bisa menghindar, kaki ayah tidak bisa lepas dari lemari yang terbuat dari kayu itu, kedua tangannya mencoba mengangkat beratnya beban lemari tetapi apa daya tenaganya tidak sekuat itu. Ibu dan anak-anak segera membantunya, lalu membereskan isi lemari yang berserakan. Hari itu kami sekeluarga pun tidak jadi berangkat. Dan tidak ada juga yang berani membahas kejadian hari itu. Yang jelas, semenjak itu, setiap ayah mulai tersulut emosinya lagi, ia memilih diam dan memperhatikan sekitar karena sungguh banyak sekali lemari di rumah mereka.
0 notes
kokipaste · 2 years
Text
Bermuka Dua
Aku bertemu Kinara saat pesta ulang tahun adikku. Aku tidak menduga kehadirannya yang datang bersama Kak Adit, kakak pertamaku yang bekerja di Jogja. Dan setahuku Kak Adit sudah memiliki pacar di sana. Kinara adalah rekan kerjaku, hubungan kami tidak begitu akrab di kantor, cenderung dingin. Setiap papasan, ia hanya melirikku tajam tanpa senyum sama sekali. Dan aku memilih berlalu sambil menunduk tanpa menyapanya. Apalagi setelah kuketahui jika ia sering menceritakanku di kantor. Meski tidak mendengar secara langsung, tapi orang-orang di kantor bahkan atasanku saja pernah meminta konfirmasi atas apa yang Kinara ceritakan tentangku. Terakhir, ia mengatakan jika aku berselingkuh dengan salah seorang karyawan dari divisi lain. Belum lagi, jika ia mengolok penampilanku, apa yang kukenakan sampai jepitan ramputku pun ia pergunjingkan. Mungkin karena ia merasa senior, sementara aku anak bawang yang baru saja diangkat sebagai ketua tim divisi.
“Kak, pacar barunya Kak Adit,” bisik adikku.
“Hai, Lis!” sapanya mendekatiku dengan raut muka sumringah, senyum lepas, tatapan hangat dan gestur lembut.
“Oh iyah. Hai juga, Kak,” jawabku kikuk karena tidak berhasil menghindar. Kalau saja Monica tidak menahanku mungkin aku sudah terbebas darinya.”
 “Gimana hasil presentasi pengembangan? Menurutku kamu melakukannya dengan baik dan dengar-dengar manager divisi akan menerima proposal timmu untuk project kedepan.” kata Kinara, konsisten dengan muka sumringah ramah tamahnya. Terlihat jelas sekali membangun keakraban denganku di depan Monica dan Kak Adit.
“Wah, Good Job, Dek. Kamu terbaik seperti biasanya,” kata Kak Adit sambil mengelus rambutku.
“Kalau proposalmu diterima kamu akan sangat sibuk nantinya. Bisa lembur semalaman. Mesti jaga kesehatan, jangan sampai kelelahan dan kurang minum.” katanya lagi menunjukkan perhatian. Aku ingin sekali memuntahkan semua isi perutku saat itu.
“Yuk, aku antar pulang. Nanti kemalaman,” kata Kak Adit ke Kinara.
“Oh, iya. Aku pamit yah, Mon. Sekali lagi selamat ulang tahun. Lis, sampai ketemu di kantor besok,” kata Kinara yang lagi dan lagi dengan muka sumringahnya tidak bisa lepas.
Kinara lalu pergi bersama Kak Adit dan saat itu kulihat di tempat ia berdiri tadi tertinggal sesuatu tergeletak di tanah. Bentuknya seperti muka, muka yang berbeda, muka dengan bibir dikulum, tanpa senyum, alis naik dan mata menukik kejam. Raut muka yang sehari-hari menemuiku di kantor. Rupanya Kinara pergi tanpa membawa mukanya yang satu lagi.
0 notes
kokipaste · 2 years
Text
Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
kokipaste · 2 years
Text
yes !!!
4 notes · View notes
kokipaste · 2 years
Text
Jam dinding bergerak lambat
Pelan-pelan tak mau berpaling
Hidung tersumbat
Tubuh mencari guling,
Suara jangkrik terdengar samar-samar
Suara angin terasa makin halus
Derita di dalam kamar
Manusia ringkih semakin kurus,
Bulan semakin bosan, Redup ikut tertidur
Malam makin malam
Mata jadi kiasan, Otak tak mau diatur
Lampu-lampu padam
Wajah terlihat masam
Hati tak mau paham
Bintang jatuh tak terasa
Sepi sunyi luar biasa
Dada sesak, dingin memuncak
Malam demi malam semakin mendesak
Gelap tambah gelap
Jatuh merayap-rayap
Mata berubah sembab
Tidur yang kuharap
(hari- hari di dalam kamar)
1 note · View note
kokipaste · 2 years
Text
terlalu banyak suara, si bungsu kebingungan...
0 notes
kokipaste · 2 years
Text
Senyum jadi senjata, tawa jadi peluru
Wajah yang ditata, hati yang membiru
Terpingkal-pingkal mengolok perut
Gembira riang tak mau surut
Bayangan diam, kepala semrawut
Gundah gulana hati si Badut
Suara nyaring ramai berdering
Celoteh lakon tidaklah penting
Tubuh si Badut semakin sepi
Cemas berlebih berapi-api
Si Badut yang menghibur,
Tak pernah tidur, butuh dihibur
Tawa terjurai dalam tangis memilu
Senang melambai dalam jiwa membisu
Ramai yang haus dalam sepi yang membungkus
Wajah berseri dalam sukar yang mengiringi
Si Badut yang malang
Dibelenggu derita, ditertawai dunia,
Peluk erat dalam-dalam
Semakin kuat  semakin erat
di pusat keramaian, 2022
1 note · View note
kokipaste · 2 years
Text
Tumblr media
Perempuan Tua dan Kenangannya
Masih jelas di ingatanku, seorang perempuan tua tinggal sendirian setelah kepergian suaminya. Anak dan cucu-cucunya tinggal jauh di kota, hanya setahun sekali datang mengunjunginya ketika Ramadan, seminggu atau dua minggu sebelum lebaran. Hari-hari biasanya dilakukan dengan penuh kesunyian, dengan dirinya sendiri. Bangun tidur kemudian duduk berjam-jam hingga kembali tidur lagi. Sesekali ia buka jendela kamarnya, membuat pantulan cahaya masuk menampakkan sarang laba-laba yang bertumpuk di dinding. Nafas pendeknya bahkan langkah kakinya samar-samar bisa kudengar.
Berbeda ketika Ramadan tiba, Ia keluar dari persembunyiannya lalu senantiasa  menghabiskan waktu berjam jam di dapur, di perapian, dan menyiapkan segala macam hidangan favorit cucu-cucunya, masakan dengan aroma khas kayu bakar. Ada janji dari anak dan cucu-cucunya setiap Ramadan tiba maka itu membuatnya penuh antusias menyambut bulan suci. Orang-orang yang dicintainya datang dan menusuk sepi yang selama ini ia rasakan. Suara napas dan langkahnya sangat nyaring bisa kudengar.
Ramadan memang memberi rahmat dan keberkahan, pun bagi perempuan tua itu. Makna yang tersirat dari bulan penuh ampunan. Hanya ketika Ramadan, aku dapat melihat seluruh lampu di rumahnya dinyalakan ketika gelap. Hari biasanya, hanya lampu dari  kamarnya saja yang dibiarkan terang.
Barang barang di lemari dikeluarkan, piring motif buah kemuning dan cangkir keramik yang biasa hanya jadi pajangan di sudut rumah akhirnya memberi noda bekas makanan. Anak dan menantunya turut membersihkan lantai dan perabot, mengganti gorden yang usang juga menata meja kursi. Tidak lupa mengganti seprai di kamar depan. Lalu kaki-kaki kecil berlarian di halaman, bermain dan mengelilinginya. Sukacita terlihat jelas terpancar di wajah keriputnya. Tanpa ia sadari air mata haru sudah menggenangi pipi kopongnya. Raut wajah yang hanya bisa kulihat setahun sekali ketika Ramadan.
Kini, saat udara terasa sangat jauh lebih dingin di malam hari dan ketika Ramadan bersiap menemui ujungnya, Perempuan tua itu tidak lagi pernah kulihat. Tampak hanya lampu redup yang membungkus kamarnya. Napas dan langkah dari sandal kayunya pun hilang dari pendengaranku. Lalu kusadari, anak dan cucu-cucunya juga belum datang mengunjunginya. Meja-meja jadi berdebu, piring dan cangkir berserakan, aroma khas masakannya tidak lagi tercium oleh batang hidungku. Sisa sisa kayu bakar dibiarkan begitu saja di perapian, sarang laba-laba makin menumpuk di dinding setiap ruangan. Perempuan tua yang Ramadan kali ini tengah bersama suaminya. Tanpa berkabar, ia menghilang bersama napas dan jejak langkah kakinya yang pelan. Dan satu-satunya yang tertinggal hanyalah ingatanku tentangnya.    
1 note · View note
kokipaste · 3 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
2 notes · View notes
kokipaste · 3 years
Conversation
Self love
Udin : I love you..
Marni : Yes, I love me too
...
1 note · View note
kokipaste · 3 years
Video
who ?
10 notes · View notes
kokipaste · 3 years
Conversation
Obrolan pagi-pagi buta
A: Aku ingin bahagia seterusnya
B: Tidak bisa. Kau harus menerima bahagia dan juga sedihmu. Mereka datang bergantian
A: Aku tidak bisa menikmati bahagiaku jika aku tahu suatu saat sedih pun akan menemuiku
B: Bahagialah secukupnya.Dan jika sedihmu datang, janganlah berlarut di dalamnya!
2 notes · View notes
kokipaste · 3 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Meyakini jika situasi yang tidak baik-baik saja hari ini,  akan menjadi baik kemudian,..
5 notes · View notes