Tumgik
hakikikomori · 6 years
Text
Toxic
I feel depressed a few days, but I do not know why, or maybe I actually know but try not to want to know.
You must be confused, right? Me too.
I should feel grateful, i got a god job, I have the money to buy the book I like and I can go wherever I want. 
I'm a total jerk, sometimes. But to be honest, I do not want to be here. I want to feel free. Bad thoughts continue to haunt me while I'm alone. Like, I think I want to disappear from this world, I want to die.
I do not want to meet anyone, but I also do not want to be alone. Friendship is not enough to help me, I do not have a family that can understand. It's very difficult to face myself, to handle myself.
I’m really sick.
Please, help me...
0 notes
hakikikomori · 6 years
Text
The Things That I Never Realized
Good Morning,
I’s beautiful morning without rain, without clouds, but it’s still a terrible morning for me. As always, my home like hell of the world. But, i saw a beautiful sunrise when i sat on the bus and that’s enough to cheer me up.
Dan hal itu membuktikan meskipun di antara hal buruk, selalu ada hal-hal indah terjadi.
The time shows 7.56 AM, my Supervisor already arrive at Office, but it’s not entering the work time yet so i still have time to writing.
Saya takut lupa lagi seandainya saya menunda-nunda menulis. The one of my therapyst is writing. Writing is the where  i can run from depression, stress and sad when i can’t come to my friends.
Jadi seharusnya, hari Minggu tanggal 18 Februari 2018, saya pergi ke rumah Sesa, karena Fidza datang ke sana. Well, padahal hari Jum’at sudah bikin janji dan saya pun mengiyakan dengan catatan kalau revisi proposal skripsi saya sudah selesai. Jadi, saya membuat target agar Sabtu malam selesai, dan memang selesai. Tapi, di hari minggu (seperti yang selalu terjadi) mood saya berubah, saya mendadak tidak mau datang ke rumah Sesa. Walaupun jarak rumah saya sama Shesa adalah yang paling dekat ketimbang Fidza yang harus datang dari Depok.
Bukan, bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Something keeps me from moving. That’s day, i just want sleep, reading sad stories, drowned in negative thoughts, sambil bertanya-tanya pada sendiri apa yang sekiranya sedang mereka lakukan.
Sometime, i don’t understand myself.
Then at night, Sesa and Fidza sends me something that makes me crying. Yeah, because at that time I was very sensitive, so, the little thing that touched my heart could make me cry. Lol.
Taraaa, ini adalah persembahan dari mereka berdua
youtube
To be honest, in the first time i laugh so hard then after that i cried.
Ini receh ha ha ha, apalagi openingnya, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Tapi mereka jauuuuh lebih baik ketimbang saya yang tidak bisa menyanyi dan main gitar. Bisa sih nyanyi, tapi waktu direkam pasti suaranya jadi sumbang x’)
Thank’s a lot really.
Setelah melihat video mereka, saya chit and chat with Sesa, dan setelahnya saya baru berani confess. About evertything. Why I always run away, always disappear. Semata karena... I can not bear to see you two. I cried a lot last night, like crazy woman.
I'm sorry, really. I was too drowned in the problems I had. Until ignoring my friends who always kind enough to give their attention to me. I just want you to know, i always praying for you, walau dari kejauhan saya selalu memperhatikan kalian, selalu stalking media sosial kalian, saya selalu berharap kalian baik-baik aja.
I need time, to meet you, to face my problem, to organize my heart.
As Sesa said, these bad times will be pass, though not in the near future, although it may take a long time, but I also believe that this will be pass.
dan, seperti yang tertulis di dalam salah satu novel favorit saya,
‘Luka membekas jauh di dalam hati manusia, tempat di mana kau tidak bisa melihatnya. Tapi, luka itu akan sembuh meski membutuhkan waktu yang lama.’
Thank you for being my friend.
Manusia memang lebih mudah mengingat hal-hal sulit yang diberikan Tuhan kepadanya ketimbang hal-hal baik. Padahal, seberapa banyak Tuhan memberikan anugerahnya kepada kita, kepada saya, saya masih hidup, bernapas, saya memiliki apa yang mungkin orang lain ingin miliki, tapi saya tidak pernah sadar akan hal itu.
Jadi, pagi ini, mumpung otak saya masih positif thinking, dan kesempatan yang mungkin entah kapan datang lagi, i want to say thank you, thank you, thank you.
Ah, i should back to reality, i have to working, padahal masih banyak hal yang mau saya tuliskan. Lain kali, saya akan tulis surat cinta untuk kalian.
2 notes · View notes
hakikikomori · 6 years
Text
Blurry Like My Memories
Tumblr media
One of reasons beside i don’t like take photo, because i have you guys, itu sudah cukup buat saya. Foto cuma menuh-menuhin memori hp saya dan saya kurang suka akan hal itu. Saya bukan tipe orang yang tahan liat memori hp penuh, foto-fotonya jarang saya pindahin ke laptop tapi lebih sering saya hapus gitu aja.
Tapi, terkadang, sewaktu-waktu saya sempat menyesal karena lupa. Lupa momen apa aja yang pernah saya lewatin sama teman-teman saya, but it’s not a big problem to me because i think i can meet them anytime when we have spare time.
Sampai suatu hari salah satu teman saya menghilang... hilang tanpa ngucapin sepatah kata pun. Saya ingat terakhir saya ngobrol sama dia itu tanggal 1 Juli 2017 dan saya sama sekali gak menangkap gelagat aneh mengenai dia. Malam itu kita masih ngobrol dan bercanda seperti biasa.
Sampai detik di mana saya menulis blog ini... saya masih belum bisa ngontak dia, saya masih gak tahu apa alasan dia menghilang gitu aja. Tapi, saya tahu dia kuliah seperti biasa, dia baik-baik aja, itu kabar terakhir yang saya dapat setelah saya nanya sama salah satu teman kuliahnya lewat instagram.
Awalnya saya kecewa, sedih karena dia hilang gitu aja. Saya mikir keras, kesalahan apa yang udah saya perbuat?
Sikap jelek saya saat kecewa sama seseorang, saya mau lupain orang itu, saya gak mau ingat-ingat dia lagi. Jadi, semua foto saya sama dia, semuanya... semuanya saya hapus, saya sempat merasa menyesal pernah ketemu, dan udah ngerasa sebegitu dekatnya, atau mungkin cuma saya yang merasa demikian. Saya kecewa karena saya terlalu sayang. Dia salah satu sahabat yang pernah ngisi hari-hari suram saya, ha ha.
Tapi di antara perasaan itu, perasaan bahagia pernah kenal dia lebih dominan, saya sudah menganggap dia seperti adik saya. Dia selalu cerita banyak hal, dia tipe orang yang unik dan lucu, moodbooster buat saya yang selalu merasa mellow. Lalu setelahnya, saya menyesal karena sudah menghapus semua foto saya sama dia. Satu-satunya foto yang saya punya adalah foto yang saya upload di atas.
Her name is Febi Mulya Utami.
Halo Febi... aku beharap kamu baca tulisan ini, you know, i almost crying at the time when i write this story. I miss you so much, really. Aku sudah kerja di bidang yang sama dengan program studi kuliahku dan aku sudah belajar menerima hal itu, sebentar lagi aku bakalan menyandang gelar sarjana. I have a lot story to tell... you promised me you will attend my graduation ceremony with sist Adeline, right?
I hope you will come.
Setiap hari aku masih berharap kamu balas chat box aku, tahu gak rasanya, sedih... ha ha ha
Aku cuma mau kamu tahu, aku sayang kamu. Aku harap suatu hari nanti kamu akan muncul lagi dan kita main lagi sama kak Adel.
Di mana pun kamu berada, aku berharap kamu selalu dalam perlindungan Allah.
1 note · View note
hakikikomori · 7 years
Quote
Alih-alih bisa dengan mudah lupa begitu saja, kadang dia yang pernah menyakitimu justru jadi sosok yang tidak akan terlupakan; karena hal yang kita ingat dari orang itu adalah tentang bagaimana ia dengan hebatnya menggoreskan luka dan membuat kita kepayahan untuk bernapas.
1 note · View note
hakikikomori · 7 years
Text
Stuck
Tumblr media
WARNING: PLAGIARISM IS VERY STRICTLY PROHIBITED  
Stuck ©KikiMaylani
#Luciel #Vivian
*
Sydney, Australia
.
.
“Sayang, hari ini aku tidak bisa menemanimu pergi menemui Dokter Choi untuk konseling. Ada pertemuan mendadak dengan salah satu klien untuk membahas perihal pesta kebun pada musim semi nanti.” Jeda sejenak untuk menarik napas. “Apa kau bisa pergi sendiri?”
Vivian yang sejak beberapa saat lalu berdiri di dekat jendela masih terdiam, mata berwarna hijau miliknya yang selalu menarik untuk diselami memandang jauh ke halaman depan rumah.  Menatap ke arah kebun dengan bunga dan tanaman tumbuh dengan subur dan ditata dengan sedemikian indah.
Tadi, bibinya itu berkata kalau dia tidak bisa pergi untuk menemaninya konseling. Bukankah itu kabar baik? Itu artinya, ia juga tidak perlu datang ke sana untuk menjawab berbagai macam pertanyaan yang diajukan oleh Dokter Choi yang membuatnya lelah.
Vivian baru saja akan membuka mulut untuk mengatakan kebohongan; bahwa ia sama sekali tidak merasa keberatan jika harus pergi sendirian. Tapi, insting adik dari ibunya itu tak kalah hebat dari psikiater. Seolah bisa membaca isi pikiran Vivian, wanita itu kembali berkata dari seberang sana.
“Ah, tidak, tidak. Kau tidak akan pergi sendirian. Aku lupa, Sella akan pulang hari ini dan aku akan memintanya untuk menemanimu. Dia tidak akan keberatan.”
Mendengar perkataan itu, sontak Vivian mengalihkan atensi dari pemandangan di luar jendela ke arah telepon wireless di atas meja kaca kecil, menatap benda mati itu dengan tatapan sebal.  
“Tidak perlu, Mom.” Vivian menyuarakan protes namun tetap menjaga agar nada suaranya tetap datar dan tidak mencurigakan.  “Aku bisa pergi sendiri,” aku tidak sedang ingin dijadikan boneka oleh bocah itu. Perkataannya yang terakhir hanya bisa ia suarakan dalam hati, tidak ingin menyinggung perasaan wanita itu.
Sella, saudara sepupu yang sebaya dengannya dan memiliki obsesi aneh terhadap dirinya. Setelah berhasil menyelesaikan kuliahnya di Paris setahun yang lalu, ia kembali ke Australia dan bekerja sebagai perancang busana di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang fashion.
Samar-samar, Vivian bisa mendengar suara benturan sendok dan benda porselen di seberang sana. Pasti bibinya itu sedang menikmati teh dan sarapannya dengan pilihan sereal, roti panggang dengan olesan Vegemite, atau Meat Pie yang dibawanya dari rumah, ditambah dengan lembaran-lembaran sketsa rangkaian kebun bunga yang  cantik, bertebaran di atas meja. Kalau dia ada di sana, pasti bibinya itu akan meminta pendapat perihal desain mana yang paling menarik.  
“Hmm, terakhir kali kau bilang aku akan pergi sendiri, kau tidak datang untuk menemani Dokter Choi .” Sekali lagi, terdengar suara desahan napas, lalu nada suara wanita itu berubah khawatir. “Vivian, aku ingin kau selalu dalam keadaan baik-baik saja. Untuk saat ini, biarkan Dokter Choi menjalani tugasnya, kau hanya perlu mengatakan apa saja yang ada di dalam pikiranmu. Tolong dengar perkataanku, oke?”
Vivian diam lagi, enggan menjawab. Kalau bibinya sudah berbicara dengan nada memohon seperti itu, ia tidak bisa membantah. Tidak bisa dan tidak ingin.
“Sayang, ini demi kebaikanmu.” Karena Vivian tak juga bersuara, wanita itu kembali melanjutkan. “Kau percaya padaku kan?”
Vivian menunduk, menatap lantai marmer yang terasa dingin di telapak kakinya. Tapi, rasa dingin itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa dingin di dalam hatinya.
Tidak. Tidak sama.
Vivian tahu, bibinya itu sangat menyayanginya, dan ia sangat menghargai konfesi tulus yang selalu diucapkan wanita itu. Tapi baginya, rasa sayang itu berbeda dengan rasa sayang yang diberikan ibunya. Tidak sama. Karena sampai kapan pun, tidak akan ada yang bisa menggantikan sosok wanita yang paling ia cintai dan hormati. Sekalipun itu adik dari ibunya sendiri.
“Halo, Vi? Kau masih di sana?”
Vivian mendongak setelah kembali tersadar, “Ya.”
“Kau akan datang kan?
Vivian mengangguk, namun sedetik kemudian teringat jika wanita itu tidak bisa melihatnya “Ya. Aku akan datang.”
“Good girl. Aku akan pastikan Sella datang ke sana tepat waktu.”
Vivian mengernyit, ia lupa bagian itu; bagian di mana sepupunya akan datang untuk menemani. “Mom, sudah kukatakan aku bisa―”
“Aku hanya tidak ingin kau sendirian di sana.”
“Kalau, Mom, lupa. Rumah sakit itu selalu ramai dengan pasien, para dokter dan juga perawat.”
“Aku tidak lupa itu. Tapi  aku tetap ingin ada keluarga yang menemanimu di sana.”
Vivian mengerang kesal, terlalu malas berdebat akhirnya ia berdecak sebal. “Ck, terserah.”
“Oke, sebaiknya bersiaplah dan jangan lupa sarapan. Aku menyayangimu.” Lalu, telepon di seberang mati.
Suasana kamar yang cukup besar itu kembali hening. Keheningan yang sama besarnya seperti yang ia rasakan dua tahun belakangan ini. Banyak kenangan yang terselip di setiap sisi ruangan―yang potongan-potongannya akan muncul kapan saja setiap kali Vivian ingin mengingat.
Indah, tapi menyakitkan disaat yang bersamaan.
Vivian menggeleng pelan, berusaha mengenyahkan bayangan-bayangan masa lalu yang membuatnya enggan bergerak, seolah memaksanya untuk diam di tempat. Sesak, sakit, deru napasnya terasa berat.
Ia harus segera pergi untuk melakukan sesuatu, untuk membuat dirinya sibuk agar pikirannya teralihkan. Vivian memegang dadanya yang berdebar kencang, debaran yang menyakitkan, ia menarik napas dalam lalu menghembuskan napas perlahan. Perlahan dan tenang. Sebentar saja.
Ia harus segera bertemu dengan Dokter Choi .
….
Luciel menatap sejenak pada ponsel yang sejak beberapa saat lalu berkedip-kedip, lalu kembali fokus pada laptop yang sedang ia bongkar. Hari masih terlalu pagi bagi dirinya untuk dilanda rasa frustasi dan juga panik. Padahal, semalam laptopnya masih baik-baik saja saat digunakan untuk mengerjakan animasi tekstur untuk proyek game terbarunya. Tapi, pagi ini, selang lima belas menit setelah ia nyalakan kembali untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, layar laptop itu tiba-tiba berubah warna menjadi putih total. Ia tidak terlalu khawatir pada semua data yang ada di dalamnya, karena semua salinannya sudah disimpan di dalam hardisk external.
Penyebab rasa frustasi dan paniknya hanyalah, karena ia sudah terlalu nyaman dengan laptop ini, dan terlalu malas mengeluarkan anggaran untuk membeli yang baru.
Ponselnya berkedip lagi, kalau saja ia tidak mensetting ke mode silent, suaranya pasti akan sangat berisik. Luciel memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sejenak, menjauhkan laptop dan juga alat-alat yang digunakan untuk membongkar benda itu, lalu meraih ponsel yang sejak tadi ia abaikan. Suara ibunya menerobos masuk bahkan sebelum ia mengucapkan ‘Halo’. Ia bahkan belum benar-benar menempelkan ponselnya ke telinga.
“Anak nakal! Akhirnya kau menjawab panggilanku, ke mana saja kau dari tadi? Aku membutuhkan pertolonganmu sekarang juga. Tolong ambilkan rekam medis milik salah satu pasienku di dalam laci teratas meja kerjaku. Cepat ambilkan dan antarkan ke Rumah Sakit sekarang juga. Sekarang. Oke? Kau bisa kan? Aku sangat membutuhkan catatan itu karena hari ini adalah jadwal pertemuanku dengannya.”
Luciel memijat pelipisnya pelan, kepalanya yang sejak beberapa saat lalu sudah pusing karena laptop rusak, kini semakin bertambah pusing setelah mendengar perkataan ibunya. Ia menarik napas perlahan sebelum mulai berbicara, “Pelan-pelan, Bu. Aku sedang membongkar laptopku yang tiba-tiba rusak. Baik, akan kuantarkan sekarang juga. Ada lagi?”
“Tidak ada. Antarkan sekarang, oke? Maaf sudah mengganggu waktumu.”
“Tidak, Bu, sama sekali tidak mengganggu. Pekerjaanku bisa ditunda,” Luciel berdiri dan ke luar dari kamar, menuju ke ruangang lain yang menjadi ruang kerja ibunya. Menarik laci teratas, ia menemukan sebuah map snelhecter berwarna hijau muda dengan tulisan CONFIDENTIAL diatasnya dan mengeluarkannya dari sana.
“Luciel, apa kau sudah menemukannya? Mapnya berwarna hijau, saat kau membuka laci kau akan langsung melihatnya.”
Luciel membuka map tersebut, hal yang dilihatnya pada lembar pertama adalah formulir yang berisi identitas pasien. Tatapannya jatuh pada font Nama Lengkap.
Vivian.
“Luciel?”
“Sudah,” jawab Luciel setelahnya. “Apakah nama pasiennya, Vivian?” tanyanya untuk memastikan.
“Benar. Cepat antarkan ke sini ya.”
Luciel masih membaca dengan khidmat isi identitas pasien tersebut, hal-hal seperti ini sudah pasti membuat siapa saja penasaran. Yang bersifat rahasia memang selalu menimbulkan rasa penasaran. “Oke.”
“Oh ya, aku lupa. Tolong dimasukkan ke dalam tas seperti biasa. Jangan dijinjing sembarangan.” Ujar ibunya mengingatkan, entah untuk yang keberapa kali. Karena bukan kali ini saja Luciel diberi perintah semacam ini. Rekam medis adalah hal yang bersifat rahasia, dan karena ia bukanlah bagian dari Rumah Sakit tempat ibunya bekerja, hal tersebut tentunya akan menjadi masalah terutama untuk ibunya jika ketahuan lalai meninggalkan berkas penting semacam ini.
“Tenang saja. Ibu tidak perlu khawatir. Lima belas menit lagi aku akan tiba di sana.”
Yang selalu membuat Sella iri, sepupunya selalu terlihat luar biasa bahkan hanya dalam balutan dress sifon lusty-gallant lengan pendek bermotif bunga-bunga selutut yang tadi ia pilihkan, yang sebenarnya sangat sederhana. Warna apapun memang cocok dengan kulitnya yang putih pucat, rambut coklat sepunggung soft waves nya dibiarkan tergerai, dan yang paling menarik adalah warna matanya yang hijau alami, warna mata yang sama persis seperti milik Paman Christian Alois, ayah Vivian.
Fitur-fitur terbaik dari Ayahnya yang merupakan warga negara Jerman dan Ibunya yang merupakan warga negara Jepang berhasil dicuri dan terpahat jelas di wajah itu.
Tanpa sadar, Sella berdecak kagum. Ia jadi teringat kalimat yang diucapkan salah satu teman kantornya yang beragama Islam, dia selalu berkata Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? ―setiap kali melihat sesuatu yang menurutnya luar biasa.
“Kau kenapa?” tanya Vivian usai memandang Sella sekilas dengan kening berkerut heran karena sepupunya itu memasang raut wajah aneh dan mencurigakan. Lantas, ia melirik ke arah tangan gadis itu, Sella tidak sedang memegang ponsel dan kamera. Aman. Tidak ada acara potret memotret.
Sella mengerjap, sekali, dua kali dan akhirnya sadar, sepertinya ia terlalu lama memandangi wajah Vivian. Beruntung tidak ada tiang listrik di dekat sini, atau barangkali sudah mereka lewati? Karena kalau sampai menabrak, kakak sepupunya itu mana sudi membantu.
“Tidak apa-apa,” jawab Sella dengan cengiran khasnya.
“Perhatikan langkahmu, jangan ceroboh seperti waktu itu. Sampai menabrak sesama pejalan kaki.”
Sella memberengut, sebal karena kembali diingatkan pada kejadian memalukan itu. Waktu yang berbeda, momen yang sama, ia sedang terkagum-kagum karena hasil percobaannya sendiri. Saat itu, rambut Vivian yang digerai bebas ia beri sedikit sentuhan berupa kepangan-kepangan kecil yang menghiasi rambut dibagian sebelah kirinya. Mirip seperti salah satu koleksi boneka Barbie yang ada di dalam kotak kaca miliknya.
Ia tertegun, mirip boneka di dalam kotak kaca. Kalau dipikir-pikir, benar juga, sudah lama sekali ia tidak melihat Vivian benar-benar hidup.
Berusaha mencari topik untuk dibicarakan, Sella mengingat sesuatu, “Omong-omong, Mama bilang padaku kalau kau resign dari tempat kerja lagi?”
Tatapan Vivian mengikuti dua orang gadis yang mengendarai sepeda sambil bersenda gurau,  melewati mereka ke arah yang berlawanan. “Ya. Aku tidak tahan di sana tekanannya besar sekali.” Lalu menatap Sella dengan sorot ragu,  “Kau tahu sendiri, aku tidak bisa…”
Sella mengangguk paham, lalu mengulas senyum tipis, berusaha sedikit menghibur, walau mungkin tidak berpengaruh banyak, setidaknya ia mengerti apa yang dirasakan Vivian. “Nanti kubantu mencari pekerjaan baru, bagaimana?”
Vivian diam, tidak ingin menjawab iya ataupun tidak, ia tidak punya rencana ingin bekerja dalam waktu dekat. Tidak ada hal yang benar-benar ingin dia lakukan.
Sejak kecelakaan pada malam natal di Tokyo dua tahun lalu yang menimpa dirinya dan merenggut nyawa kedua orangtuanya, tidak ada lagi hal yang ingin Vivian lakukan, semua mimpi dan harapannya seolah ikut hilang, pergi bersama kedua orangtuanya.
Waktu berlalu seperti pasir di dalam jam pasir, dunia luar semakin maju, tapi dunia di sekitarnya seolah tak berubah, roda hidupnya berhenti pada satu fase tertentu karena rasa putus asa. Di awal waktu saat ia sadar bahwa orang tuanya sudah tiada, pikirannya menolak untuk menerima. Hal yang dilakukannya selama sebulan hanyalah berdiam diri di kamar, menutup diri dari dunia luar.
Kehilangan memang hal yang menyakitkan. Ia pikir, lebih baik mati dari pada ditinggal sendirian.
Seandainya saja bibinya tidak datang dan membawanya serta ke Australia, Vivian tidak tahu akan jadi apa dirinya. Meskipun sekarang, ia pun tidak jadi apa-apa, dan tidak tahu mau jadi apa. Ia tidak tahu lagi bagaimana caranya menjalani hidup, lupa caranya bermimpi dan berharap. Bisa dibilang, kehidupannya selama dua tahun ini pun karena menuruti keinginan bibinya. Seperti aktor yang melakoni peran sesuai naskah yang ada, begitulah dirinya sekarang.
Lamunannya buyar ketika pundaknya ditepuk dengan lembut, senyuman manis Sella menyapa netranya. Jenis senyuman yang membuat orang-orang yang melihatnya akan merasa nyaman dan tenang. “Jangan melamun, sebentar lagi kita menyeberang jalan.”
Benar juga, mereka sudah berada di pinggir jalan, bergabung bersama selusin pejalan kaki lain yang juga ingin menyeberang. Traffic light pelican crossing sudah berubah warna dari merah ke hijau. Semua pejalan kaki mulai menyeberang. Sella memperhatikan aspal jalanan yang dipenuhi dengan pecahan kaca bahkan sebuah kaca spion mobil tergeletak di sana, sepertinya baru saja terjadi kecelakaan. Sella baru saja ingin mempercepat langkah untuk segera sampai di seberang, namun pekikan dengan suara familiar di belakang sana refleks membuatnya menoleh dan seketika ia diserang rasa panik.
“AHH!”
“Vivian!”
Luciel sedang mengayuh sepeda ketika ponsel di saku celananya kembali berdering. Pasti dari ibunya, waktu lima belas menit yang ia janjikan molor menjadi tiga puluh menit karena Fye yang tiba-tiba datang ke rumah untuk meminjam kaset installer, lalu obrolan berujung pada rencana perancangan fitur game mereka. Demi mengejar waktu, Luciel memilih mengendarai sepeda, lagi pula jarak rumah dan rumah sakit tempat ibunya bekerja tidak terlalu jauh.
Sementara tangan kiri memegang kendali penuh, tangan kanannya meraih ponsel di dalam saku. Perhatiannya kini terbagi antara menatap jalanan di depan sana dan mendengar suara Ibunya di seberang sana.
“Sepuluh menit, Bu. Aku akan sampai ke sana sepuluh menit lagi, aku janji.” Jawabnya setelah ibunya bertanya ia berada di mana. Tepat setelah memasukkan kembali ponsel ke dalam saku, Traffic light pelican crossing sudah berubah warna dari merah ke hijau, Luciel mempercepat kayuhannya, yang tak diduga adalah ban sepedanya tersandung sesuatu hingga ia lepas kendali dan oleng ke sisi kiri. Menabrak seorang pejalan kaki dan menimpanya hingga gadis itu memekik.
“AHH!”
“Vivian!”
“Tidak, Sella! Jangan dijahit,” gadis di dalam ruangan itu tampak bergetar di dalam pelukan gadis lain yang dipanggil Sella, walau tidak sampai meraung-raung, Luciel melihat kalau gadis itu sudah menangis sejak lukanya mulai dibersihkan dengan cairan aseptik. “A-aku tidak mau dijahit lagi.”
Sella jadi bingung sendiri, tidak ada yang bisa ia lakukan selain memeluk sepupunya ini, ia sudah berusaha untuk menenangkan Vivian, tapi gagal. Vivian tidak mau dijahit, tapi dokter berkata kalau luka akibat kaca yang menancap itu cukup dalam dan terbuka lebar harus segera dijahit agar tidak menimbulkan resiko lain.
“Kalau tidak dijahit nanti infeksi.”
“Biarkan saja, yang penting aku tidak mau dijahit.”
Mana bisa begitu! Sella ingin menjerit, ia tidak terbiasa menghadapi situasi semacam ini. Jadi malah ikut-ikutan panik. Tatapannya beralih pada seorang pemuda berkaca mata yang berdiri kaku di dekat pintu, Sella ingin sekali memarahinya, menasehati agar lebih hati-hati ketika berkendara, tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat. Yang terpenting adalah menenangkan Vivian terlebih dahulu. Ibunya tidak bisa dihubungi, Sella teringat pesan ibunya tadi pagi, kalau wanita itu ada pertemuan dengan klien.
“Lengan anda akan dibius, jadi Anda tidak akan merasakan sakit, Miss.” Dokter wanita yang sejak tadi menangani Vivian mencoba membujuk gadis itu. Benar, Vivian akan dibius lokal, jadi tidak akan merasakan sakit saat proses penjahitan.
“Aku tahu rasanya, dok. Setelah obat biusnya hilang. Aku akan merasakan sakit.”
“Tapi kalau tidak dijahit, luka sobeknya akan semakin lebar dan―”
“Vivian!”
Semua orang menoleh ke asal suara, kecuali Vivian yang masih menenggelamkan wajahnya di perut Sella. Seandainya saja mereka semua melihat, bagaimana pucatnya wajah gadis itu.
Dokter Choi  dalam balutan jas dokter melangkah masuk, kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya yang cantik. Ia berbisik pada sesama rekan dokternya. Mengatakan bahwa Vivian memiliki semacam trauma pada alat-alat rumah sakit.
“Nanti akan kujelaskan padamu lebih lanjut.” Bisik Dokter Choi .
Lantas, ia mendekati Sella dan Vivian, tersenyum sekilas pada Sella sambil berkata bahwa dia akan mengambil alih. Rasa dingin menjalar ke telapak tangannya, orang-orang yang memiliki phobia memang cenderung seperti ini, bahkan sampai ada yang pingsan.
Dokter Choi  mengusap pelan rambut Vivian, “Lukanya harus segera dijahit―”
“Tidak perlu!”
“Tapi harus,” Dokter Choi  berkata dengan sabar dan penuh pengertian, “Kau akan dibius lokal, hanya sakit sedikit. Tidak perlu melihat jarumnya kalau kau takut, dan gigit bajuku jika merasa sakit. Setelah dijahit, kami akan memberikan salep, agar lukamu segera kering dan tidak terasa sakit lagi.”
Vivian diam. Dokter Choi  merasakan pelukan erat dibelakang bajunya. Ia tersenyum pada rekan sesama dokter yang sejak tadi menangani Vivian, memberi tanda untuk melakukan apa yang harus ia lakukan.
Luciel dan Sella yang entah sejak kapan sudah berdiri bersebelahan merasa takjub.
The power of psikolog.
Luciel menghembuskan napas untuk yang kesekian kali, berjarak satu bangku di sebelah kirinya gadis yang ia tabrak sedang duduk sambil terus menunduk, wajahnya pucat dan keringat tampak membasahi bagian poninya. Ada memar yang mulai terlihat jelas di lengan kirinya, akibat tertimpa sepeda. Tubuh kurus seperti itu, sudah pasti kesakitan ditimpa sepeda.
Sudah lima belas menit berlalu sejak mereka duduk di kursi tunggu ini dan empat puluh lima menit sejak keluar dari ruangan.
Sella masih di dalam sana, berbicara dengan dokter tadi.
Perasaan bersalah akan terus menggentayanginya jika tidak segera berbicara, “Hei, aku benar-benar minta maaf.” Luciel memulai, ia ingin menjelaskan jika sepedanya membentur sesuatu hingga oleng dan terjatuh, tapi itu hanya bagian alasan, bagaimanapun semua itu memang salahnya karena kurang hati-hati sampai melukai orang lain. “Miss, aku―”
Tepat saat itu, gadis itu menoleh padanya, segala macam bentuk kalimat yang sudah disusunnya di dalam kepala untuk diucapkan mendadak menguap, hilang, berkat sepasang mata berwarna hijau yang menatapnya dalam.
Ia baru sadar warna mata gadis itu, tadi ia tidak sempat memperhatikannya.
Sella muncul bersama ibunya, lalu menghampiri mereka.
Luciel memindai tatapannya, dan dihadiahi tatapan minta penjelasan oleh sang ibu. Mereka semua digiring ke ruangan Dokter Choi . Sesi pertanyaan dimulai, ibunya minta penjelasan. Luciel menceritakan semuanya.
Sekali lagi, ia menatap Vivian, lalu berkata, “Aku benar-benar minta maaf.”
Tapi Vivian hanya diam saja, tidak ada ekspresi berarti di wajahnya, matanya yang sejak tadi menatap ke arah meja pun tampak kosong.
“Vi?”
“Kepalaku pusing, aku mau pulang.”
Lagi-lagi diabaikan.
Sella menatap Dokter Choi  dan beliau mengangguk maklum, jadwal konsultasi antara dirinya dengan Vivian akan ia atur ulang.
“Luciel, tolong antarkan mereka dengan mobil Ibu.”
Luciel ingin menyanggah semata hanya untuk meminta waktu agar gadis itu mau mendengarkannya, namun ia pun sadar bahwa sekarang bukanlah saat yang tepat. Jadi, ia mengangguk patuh dan menuruti perintah sang ibu.
0 notes
hakikikomori · 7 years
Quote
Biarkan rasa sakit itu ada dalam dirimu. Saat kau mulai terbiasa, rasa sakit itu akan menjadi temanmu yang paling setia.
Chanyeol, LOTTO (Homonymous)
0 notes
hakikikomori · 7 years
Quote
Rasa benci hanya menghancurkanmu  secara perlahan. Seperti luka yang bernanah. Semakin parah dan bertambah parah.
0 notes
hakikikomori · 7 years
Quote
Selamat malam bintang, aku tak peduli walau sinarmu akan terlihat atau tidak, karena selama dia ada di sisiku, maka bintangku akan tetap bersinar dengan terang.
Dilema (Selamat Tinggal)
1 note · View note
hakikikomori · 7 years
Text
Noted
Joker Game © Yanagi Kouji
 *
Apa kau masih hidup?
Ataukah sudah mati?
Sederhana memang, tapi tulisan itu cukup membuat  Sakuma tertegun dalam senyap. Sudah lama ia tak membuka lembaran catatan dalam buku itu (yang sampulnya tertutup lapisan debu, pertanda bahwa benda itu sudah lama sekali tidak disentuh).
Bahkan sekadar untuk meliriknya pun ia tidak pernah, Sakuma sudah berhenti melakukannya, sudah lama sekali, sejak dia pergi. Walau begitu, banyak sekali kenangan yang ia lalui bersamanya.
Perlahan,  ia mencoba membuka setiap lembar kertas putih yang mulai menguning karena teroksidasi partikel udara, dan tulisan tinta hitam yang mulai pudar di makan waktu, satu, dua, tiga, sampai lembar yang entah ke berapa, jujur saja ia lupa. Namun kembali Sakuma tertegun, sebuah catatan kecil membuat pikirannya menerawang jauh menuju tempat tak bernama.
Sakuma ingat ―meski tidak mengingat secara spesifik kapan ia menulisnya karena tidak ada tanggal yang ia cantumkan di sana―sebuah catatan yang ia tulis bersama Miyoshi.
Sebuah catatan berjudul ‘Perjalanan Hidup dan Mati’.
Sakuma juga ingat, ketika ia melemparkan sebuah pertanyaan,“Bila hidup adalah tentang sebuah perjalanan, lantas tentang apa mati itu?”
Pertanyaannya membuat Miyoshi terdiam beberapa saat sebelum ia memutuskan untuk menjawab.
Hidup adalah sebuah perjalanan. Entah perjalanan panjang ataupun pendek, tapi hidup adalah perjalanan. Hidup adalah perjalanan menuju sebuah titik bernama kematian. Kita mungkin pernah berangan untuk bisa hidup abadi, tapi sayang itu tak akan pernah terjadi. Walau bagaimanapun, kematian sudah siap menjegal di depan sana, mungkin saja saat pagi hari ketika kita membuka mata pertama kali. Tak ada masa depan yang pasti selain kematian itu sendiri.
Bukankah kematian adalah masa depan? Dan masa depan adalah sesuatu yang indah, nyaman, damai dan penuh harapan. Jadi kita tak perlu risau karenanya, hal terpenting adalah bagaimana kita menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Agar kita dapat melalui perjalanan yang melelahkan ini, bukan malah tersesat di dalamnya.
Dan, Miyoshi benar, karena dia telah menuju masa depannya sendiri.
Kematian.
Sakuma menutup bukunya lalu menerawang, sejauh matanya menatap, entah mengapa yang ia lihat hanyalah kekosongan. Ia tidak bisa mencegah hatinya untuk bertanya.
“Benarkah, di sana jauh lebih indah ?”
Mengapa orang yang mati tidak pernah kembali lagi ?
Seandainya saja mereka kembali, setidaknya mereka atau mungkin Miyoshi sendiri pasti bisa menceritakan bagaimana rasanya. Mungkin, kematian tidaklah terlalu buruk seandainya saja ia bisa bertemu dengan rekan-rekannya yang telah tiada, dan juga Miyoshi.
0 notes
hakikikomori · 7 years
Quote
Kamu tidak akan pernah bisa benar-benar merasakan apa yang orang lain rasakan sebelum kamu merasakan sendiri apa yang ia alami dan hidup dengan cara ia hidup.
0 notes
hakikikomori · 7 years
Quote
I thought, “I want to die. I want to die more than ever before. There’s no chance now of a recovery. No matter what sort of thing I do, no matter what I do, it’s sure to be a failure, just a final coating applied to my shame. That dream of going on bicycles to see a waterfall framed in summer leaves—it was not for the likes of me. All that can happen now is that one foul, humiliating sin will be piled on another, and my sufferings will become only the more acute. I want to die. I must die. Living itself is the source of sin.
   Osamu Dazai, No Longer Human    
0 notes
hakikikomori · 7 years
Quote
Keindahan yang diinginkan kadang hanyalah imajinasi
0 notes
hakikikomori · 7 years
Quote
The more you try to impress, the more you become depressed, and the more they get tired of your coercion. It doesn't make them love you, instead, they'll see you as a little child, trying to draw a senseless picture on a piece of paper, begging people to look at it and admire it by force. You can persuade someone to look at your face, but you can't persuade them to see the beauty therein.
   Michael Bassey Johnson
0 notes
hakikikomori · 7 years
Quote
There are those hearts, reader, that never mend again once they are broken. Or if they do mend, they heal themselves in a crooked and lopsided way, as if sewn together by a careless craftsman.
Kate DiCamillo (The Tale of Desperaux)
3 notes · View notes
hakikikomori · 7 years
Quote
Mereka bilang menjalani hidup dengan baik adalah balas dendam terbaik. Tapi tahu tidak? Aku bahkan tidak ingin balas dendam. Oke deh, mungkin agak ingin. Tapi yang benar-benar kuinginkan adalah kedamaian. Aku ingin kehidupan lamaku kembali, kehidupan yang kumiliki sebelum aku bergaul dengan mereka. Andai aku bisa mengembalikan waktu. Atau mungkin juga tidak. Hatiku hancur berjuta-juta serpihan, tapi aku jauh lebih bijak daripada sebelumnya. Aku merasa sudah hidup seperti boneka china di dalam kotak kaca seumur hidupku. Aman, tapi membosankan.
Shannon
0 notes
hakikikomori · 7 years
Photo
Tumblr media
Dear ex –  [tidak ada].
Dear self  – belajarlah memaafkan, berdamailah dengan masa lalumu, hiduplah dengan baik, dan hargai dirimu sendiri.
Dear dad – kamu adalah laki-laki pertama yang saya cintai dan akan selalu menjadi raja di dalam hati saya. Terlepas dari semua permasalahan yang ada… terima kasih sudah mengajari saya bagaimana rasanya jatuh cinta. Saya akan selalu mencintai kamu, lebih dari yang kamu tahu.
Dear mom – terima kasih sudah melahirkan saya.
Dear crush – [tidak ada].
Dear school – terima kasih sudah menjadi salah satu tempat pelarian di mana saya bisa menemukan sahabat dan beberapa teman.
Dear siblings – terima kasih karena telah menjadi pendengar yang baik dan selalu bersabar menghadapi semua sikap kekanakan saya yang seringnya terlampau egois.
Dear future me – semoga masih tetap hidup dan jangan mengulangi kesalahan yang sama.
Dear guy best friend –  saya tidak tahu, apakah kamu masih menganggap saya sebagai salah satu temanmu? Tapi, tetap ingin saya katakan (semoga suatu hari nanti saya diberikan keberanian untuk mengungkapkannya secara langsung) bahwa saya sangat menyayangi kamu. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik, yang selalu mengajak saya berbicara. Tolong maafkan saya yang seringkali menyakiti perasaan kamu. Semoga kamu selalu bahagia.
Dear girl best friend – terima kasih karena selalu ada di setiap waktu yang saya butuhkan meskipun selalu saja ada hal-hal kecil yang kita ributkan dan berakhir dengan kesalahpahaman. Terima kasih karena sudah bersedia untuk menjadi tempat pelarian saya di setiap waktu ketika saya muak dengan permasalahan yang ada. Terima kasih. Tidak bisa saya ungkapkan bagaimana bersyukurnya saya karena sudah bertemu dengan kalian. Bahkan, saya tidak mau menukarnya dengan seluruh dunia. Saya mencintai kalian.
Dear future child – semoga kamu bisa mewujudkan cita-cita yang kamu impikan, apa pun itu, saya akan bekerja keras dan akan selalu mendukung kamu agar menjadi seseorang yang berguna.
Dear person I hate – semoga sudah tidak ada. Semoga. Saya sudah berdamai dengan kebencian. Kebencian hanya menyakiti hati saya sendiri.
Dear person I love – tetaplah hidup dan bahagia. Semoga kamu bisa mewujukan semua mimpi-mimpimu.
Dear ex best friend –  [tidak ada].
Dear celebrity crush – saya tidak peduli bagaimana dirimu, bagaimana kehidupanmu, tentang sudut pandang orang-orang terhadapmu.  Saya hanya peduli dengan apa yang kamu ciptakan, dan tetaplah menciptakan hal-hal yang kamu cintai.
Dear future husband /wife – {untuk seseorang} yang mungkin saya bakal menikah denganmu. Semoga kamu adalah tempat persinggahan saya yang terakhir, dan menjadi satu-satunya di dalam hati saya, begitu pula sebaliknya. Semoga kita sama-sama bahagia.
Dear girlfriend/boyfriend – [tidak ada].
Dear people that hate me – semoga diberikan jalan untuk berdamai.
Dear people that love me – terima kasih sudah mencintai saya apa adanya. Saya sadar seringkali berperilaku salah dan arogan, bertutur kata kurang baik. Tapi, semoga senantiasa dimaafkan.
Sign,
Kiki Maylani
8:16 PM          
Saturday, 3/112017
0 notes
hakikikomori · 7 years
Text
Enchanted
Enchanted © Kiki Maylani
#Gray #Violet
Inspired from Éclair; Pagi Terakhir di Rusia (Prisca Primasari)
I don’t take any profit from this story.
.
.
.
.
Sayup-sayup suara kereta yang datang dari arah timur menyadarkan Violet dari lamunannya.
Perubahan raut wajahnya terlihat kentara ketika suara interkom kembali menggema, berkata bahwa kereta akan segera tiba.
Ada banyak suara yang sering Violet dengar, tetapi ia tidak pernah menyukai ketika suara gemuruh kereta datang, karena itu adalah pertanda bahwa sosoknya akan berbaur bersama orang-orang dan menghilang dalam kerumunan.
.
.
.
.
.
Sore itu, setelah semua mata kuliahnya berakhir, Violet berjalan santai menuju stasiun kereta yang berjarak sekitar 0,8 km dari kampusnya. Ia hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke sana.
Di sisi kanan kiri jalan, terbentang pemandangan sungai Han yang luas juga taman-taman di setiap wilayah yang dialiri sungai ini, dan sering kali Violet menikmati pemandangan sore hari di sana untuk sekadar relaksasi dari kepenatan kegiatan sehari-hari.
Violet berdiri di dekat pagar pembatas, terdiam beberapa saat dan sesekali menatap warga kota yang melintas sebelum akhirnya memperhatikan matahari yang mulai terbenam, tanpa sadar, Violet merenung memandang kejauhan. Angin sore yang berhembus lembut menerpa wajahnya seolah turut melenyapkan semua kegelisahan.
Baru saja Violet ingin berbalik untuk melanjutkan perjalanannya menuju stasiun, suara seseorang menginterupsi agar ia tetap diam pada posisi awalnya, mencegahnya untuk berbalik.
“Jangan,” suaranya terdengar memohon. “Tolong jangan bergerak, tetaplah diam di sana.”
Violet bingung, tentu saja, namun ia tetap menuruti permintaannya. Lalu pemuda itu mulai memotretnya dari belakang, samping kiri, samping kanan. Setelah selesai, dan Violet berbalik, pemuda itu tersenyum begitu menawan, matanya tampak begitu dalam ketika memandang; seolah menyimpan banyak cerita. Saat ia tersenyum, ada lekukan di dekat pipinya yang terlihat lebih dalam, rupanya pemuda itu memiliki lesung pipi. Kamera DLSR yang baru saja digunakan untuk memotret terjuntai bebas dengan tali di lehernya.
“Thanks.” Ucapnya tulus, dan sekali lagi mengulas senyum tipis. “Kau datang di waktu yang tepat. The Golden Hour.”
Pandangan Violet masih tidak beralih dari pemuda di hadapannya. The Golden Hour ? Sepenggal kalimat itu terdengar asing bagi Violet, karena ia memang tidak akrab dengan dunia fotografi dan sebagainya. Dunianya dipenuhi dengan berbagai jenis resep kue dan masakan.
Pemuda itu berjalan mendekat dengan langkah tertatih, Violet mulai berasumsi bahwa kaki pemuda itu sepertinya terluka. Dia mengusak belakang rambutnya yang di cat berwarna abu-abu ketika mereka telah berdiri berhadapan sebelum akhirnya dia mengulurkan tangan untuk mengajak berkenalan, “Namaku  Gray. Maaf mengganggu waktumu, aku hanya,” ia tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. “―Ah, siapa namamu?”
Violet tersenyum tipis dan menyambut uluran tangan itu. “Namaku Violet. Tidak masalah, aku hanya tidak menyangka ada seorang fotografer yang akan mengambil gambarku.”
Gray mengangguk sekilas, “ Tentu saja, kurasa yang lain pun tidak akan melewatkan pemandangan semacam tadi untuk diabadikan dengan kameranya.”
Violet menelengkan kepalanya, menatap pemuda yang baru saja dikenalnya itu lamat-lamat. “Memangnya semacam apa?”
Gray mulai gugup karena ditatap sedemian lekat oleh Violet, jujur saja, kesan pertama yang ia sematkan ketika pertama kali melihatnya adalah ; Manis. Ia mencoba menghilangkan rasa gugupnya dengan menengadah ke atas; menatap langit sore yang mulai dihiasi dengan warna jingga dan merah muda, lambang warna dari senja yang telah mendominasi cakrawala berhiaskan sekawanan burung-burung yang terbang menuju sarang mereka. “The Golden Hour.”
Violet mengerutkan kening, lantas tertawa kecil dan tersenyum. “Kuharap, kau mau menjelaskan padaku apa itu The Golden Hour. Keberatan kalau kita bicarakan sambil berjalan ? Aku ingin ke stasiun.”
Gray mengangguk, menyetujui. “Tentu tidak. Kebetulan sekali, aku juga ingin ke sana.”
.
.
.
.
.
The Golden Hour, Gray begitu bersemangat ketika mulai menjelaskan salah satu istilah yang sering diucapkan seorang fotografer. Kalau ada satu faktor yang menentukan baik buruknya sebuah foto, faktor tersebut adalah cahaya. Sama-sama pemandangan gunung dan sawah, namun hasilnya bisa seperti bumi dan langit saat dipotret dalam dua kondisi pencahayaan yang berbeda.
“Golden hour adalah momen dengan kondisi pencahayaan terbaik, objek akan terlihat indah dan sangat impresif menjelang matahari terbit dan terbenam. Objek yang biasa saja bisa terlihat sangat luar biasa. Apalagi objek yang memang sudah luar biasa dari sananya.”
Violet mengangguk-angguk, ia mulai paham sekarang, tidak terlalu buta seperti tadi, “Begitu ? Lalu, seperti apa contoh objek luar biasa yang kau maksud.” Tanyanya lagi, penasaran.
Gray tersenyum, mata coklatnya menatap tulus. “Seperti seorang gadis manis yang berdiri di tepi sungai Han menjelang matahari terbenam.”
Violet terkekeh pelan bersamaan dengan semburat merah yang mulai menjalari pipinya. Malu, karena Gray baru saja memujinya. Perbincangan mereka terus berlanjut dengan Violet yang dipenuhi rasa penasaran akan dunia fotografi dan Gray yang dengan sabar menjelaskan.
Sering dikatakan sepanjang waktu bahwa sebuah foto bisa menceritakan ribuan kata; mereka menceritakan kisah yang kuat, baik itu tentang kebahagiaan ataupun kepedihan dan cukup untuk mengubah dunia dan merubah cara pandang kita.
Violet menutup mulutnya ketika Gray menunjukkan sebuah foto yang menangkap tragedi Gas di Bhopal ; di mana lensa memotret tubuh seorang balita yang hangus terbakar. Foto yang mengerikan namun tampak begitu hidup. Di sudut bawah kanan foto itu, terdapat sebuah tulisan ‘Omayra Sanchez, 1984.’
Sayang sekali, perbincangan mereka harus berakhir ketika suara interkom menggema, berkata bahwa kereta tujuan Ilsan akan segera tiba. Dalam hati, Gray merutuki karena kereta itu datang begitu cepat disaat ia baru saja menemukan teman baru untuk diajak berbincang. Tapi, yang namanya waktu tidak akan peduli akan hal semacam itu, karena mesin waktu tidak akan pernah mau menunggu.
“Itu keretaku,” Gray menyimpan kameranya ke dalam tas ransel serta beberapa lembar foto yang sudah dicetak. “Aku tinggal di Ilsan.” Ia meringis ketika beranjak berdiri, rasa sakit akibat luka dikakinya semakin terasa nyeri dan Gray hanya mengabaikannya saja. “Terima kasih untuk waktunya,”
Sama halnya dengan Violet, dalam hati ia merutuk pada sang waktu karena pertemuan mereka yang terasa singkat. “Sama-sama.”
Suara interkom stasiun kembali berbunyi memberi informasi tentang kereta tujuan selanjutnya serta himbauan kepada para penumpang agar berdiri di belakang garis aman untuk menunggu kereta berhenti.
Bersamaan dengan suara decit gesekan kereta pada lintasannya, Gray mengucapkan kalimat yang membuat Violet lega. “Sampai jumpa, Violet.” Sampai jumpa, sepenggal kalimat itu adalah kalimat penutup untuk mengakhiri pertemuan singkat mereka hari itu.
Violet mengangguk kecil. “Sampai jumpa di lain waktu, Gray.”
Sampai jumpa,  rangkaian frasa yang memberikan  harapan serta terbukanya kesempatan untuk mereka bertemu di waktu lainnya.
Itu adalah hari yang istimewa bagi keduanya, di mana momen antara Gray dan Violet ketika pertama kali berjumpa; dari pertemuan tak terduga, tanpa rencana dan berlangsung begitu saja serta perkenalan awal dalam waktu yang singkat. Tapi siapa sangka, itu semua adalah awal dari semua cerita cinta mereka.
.
.
.
.
Langit yang cerah menyambut Violet siang itu, namun tidak memberikan efek apa pun pada suasana hatinya yang sedang muram. Matahari yang bersinar cerah, malah Violet anggap seolah sedang meledeknya. Penyebabnya adalah skor TOEFL nya yang berada pada level terendah, karena jujur saja ia memang lemah untuk mata kuliah yang satu itu. Sebuah kamus Oxford Advanced Learned ia dekap di depan dada.
“Bagus sekali, Vi, hari yang menyedihkan untukmu,” gumamnya terus menggerutu sambil  melangkah dengan malas. “Kau memang bodoh dan kenapa bahasa inggris itu susah sekali…” katanya kesal sendiri.
Langkah kakinya terhenti saat melewati Ttukseom Hangsang Park yang begitu ramai karena sedang ada pertunjukan screenwater, sebuah pertunjukan yang menggunakan teknologi di mana cahaya akan memantulkan air. Violet berdiri di depan pintu masuk agak lama, sedikit ragu untuk masuk ke dalam sana.
Di tengah pikirannya untuk masuk atau tidak, seseorang memanggil namanya dari belakang, mengalihkan perhatiannya sejenak dan ketika ia menoleh suara jepretan kamera menyambutnya.
“Violet!”
Violet mengerjap sekali, dua kali, kemudian tersadar bahwa lagi-lagi dirinya dijadikan objek fotografi. Jarak tujuh langkah dari tempatnya berada, Gray berdiri dengan kamera DLSR kesayangannya.
Beruntung Violet bukan tipe orang yang anti pada kamera (karena sebagian orang tampak enggan ketika dijadikan objek dadakan), jadi Gray tidak perlu bersembunyi karena takut jika kehadirannya ketahuan untuk membidik figur Violet yang lagi-lagi ia jadikan objek pemotretan, karena gadis itu sama sekali tidak tampak keberatan.
Gray menatap hasil jepretannya, lalu tersenyum puas ketika foto yang ia bidik terlihat sempurna. Foto Violet yang diambil secara kandid dengan sweater berwarna merah muda serta snap back berwarna serupa.
Manis sekali.
“Lain kali, seandainya kau menjadikanku objek pemotretan, aku akan―” Belum sempat Violet menyelesaikan perkataannya, shutter sound kamera Gray kembali menginterupsi. Violet memberengut sebal, “Aku minta traktir!”
Gray tertawa kecil, menikmati setiap perubahan raut wajah Violet. “Dengan senang hati.”
.
.
.
.
.
Violet tak menyangka, Gray juga, karena pada akhirnya mereka kembali dipertemukan dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Kalimat ‘Sampai jumpa’ beberapa hari lalu benar-benar ampuh.
Mereka tidak ingin menganggap bahwa itu semua adalah kebetulan, seperti yang dikatakan oleh Orihara Ran;
Tidak ada yang namanya kebetulan. Kalau memang yang terjadi bukan disengaja, maka itu adalah―
Takdir.
Ya, semacam itu.
Gray tersenyum kecil kepada Violet setelah ia duduk di salah satu bangku yang berada di kafe di area Jabeolle (J-Bug). “Kenapa berdiri terus ? Ayo duduk.” Katanya sembari meletakkan ransel pada bangku kosong di sisi kanannya.
Violet menghembuskan napas lelah, ia ingin melupakan perihal skor TOEFL nya yang rendah untuk sejenak. Ia berjanji akan memperbaikinya pada tes perbaikan yang diadakan minggu depan.
“Violet, kau kenapa ?”
Pemuda itu menggeleng pelan, “Tidak apa-apa, hanya masalah kuliah.”
Gray terdiam sebentar, menatap ke dalam mata Violet, ingin sekali menembus isi pikiran gadis itu hanya untuk sekadar mengetahui apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan, sebelum pada akhirnya menanggapi. “Benarkah ? Hanya itu?”
“Iya.”
Itu adalah pertemuan mereka yang kedua. Tidak ada rasa canggung di antara keduanya, tidak ada karakter bisu ataupun malu-malu. Yang ada justru sebuah percakapan panjang, seolah keduanya sudah saling kenal dalam waktu yang lama.
Violet memperhatikan Gray yang meringis ketika menggeser kaki kirinya untuk keluar dari celah meja di bawah, dari raut wajahnya jelas terlihat bahwa dia kesakitan dan karena itu pula Violet tidak bisa menahan diri untuk melihat ke arah kakinya. Seperti yang ia duga, kaki Gray terluka dan luka itu dibiarkan saja terbuka. Gray terlihat sama sekali tidak peduli.
“Gray, kakimu terluka.” Ujar Violet, khawatir.
Pemuda itu hanya tersenyum tipis. “Tidak, ini hanya luka kecil.”
“Tapi―”
“Jangan khawatir, ini tidak apa-apa.” Gray berusaha meyakinkan, dan akhirnya Violet menyerah dengan sebuah anggukan walau perasaan khawatir itu tetap memenuhi benaknya karena luka itu jelas terlihat parah.
Setelah beberapa menit menunggu, minuman yang mereka pesan akhirnya datang. Violet memesan matcha green tea latte sedangkan Gray memesan kopi hitam.
Gray kembali berkutat dengan kamera dan beberapa lembar foto yang sudah dicetak, sesekali ia meminta Violet untuk menanggapi gambar-gambar hasil bidikannya. Hingga pada akhirnya sebuah foto yang terselip di antara puluhan lembar foto lain menarik perhatian Violet.
Sejenak ia terpana ketika mendapati dua objek serupa dalam lembar foto itu, saling merangkul bahu satu sama lain dengan senyuman lepas menghiasi wajah keduanya.
“Kau, punya saudara kembar ?” tanya Violet masih sambil memperhatikan foto dalam genggamannya. Bahkan ia tidak bisa membedakan mana Gray yang asli di dalam foto itu.
Pemuda itu tersenyum masam. “Ivory, kakakku.” Jawabnya.
Dan senyuman itu membuat Violet kembali bertanya-tanya, kenapa Gray menunjukkan raut wajah seperti itu; raut wajah sedih, kesal dan kecewa meski ditutupi oleh senyuman (yang nyatanya senyuman itu terkesan memaksa).
“Jadi, namanya Ivory ?”
Gray mengangguk, dan sepersekian sekon setelahnya raut wajahnya terlihat tegang, ia baru saja teringat sesuatu. Dengan gerakan cepat, ia buru-buru merapikan semua foto yang bertebaran di atas meja dan segera memasukannya ke dalam ransel.
“Violet maafkan aku, aku harus segera pulang.” Katanya sembari beranjak dari tempat duduk.
Violet ikut berdiri. “Kenapa buru-buru ?”
Sekilas, Gray melirik arloji di tangan kanannya. “Sudah sore. Ayahku akan segera pulang, kalau dia sampai tahu aku masih memotret, dia pasti akan sangat marah.”
Violet mengerutkan kening. “Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan memotret ?”
Gray menghela napas berat. “Ada sebuah tragedi yang membuat saudara kembarku fobia dengan foto, sejak saat itu, tidak seorang pun dari keluargaku yang pernah memotret ataupun memajang foto di dalam rumah lagi. Ayahku hanya tidak ingin kakak semakin sakit-sakitan. Tapi aku sangat mencintai fotografi, karena itu aku melakukannya diam-diam.”
Bahu Violet merosot lesu, lalu mengangguk mengerti. Sejenak, ia memperhatikan kopi hitam pesanan Gray yang masih mengepulkan asap tipis. Kopi hitam itu seperti Gray, yang penuh dengan misteri karena tertutupi warna hitam yang mendominasi dan aroma khas dari kepulan asapnya menarik Violet untuk mengenal lebih jauh tentang dirinya.
“Baiklah. Ayo pulang.”
.
.
.
.
Sama seperti beberapa hari lalu, ketika suara interkom memberikan informasi tentang kedatangan kereta tujuan Ilsan dan para penumpang dimohon untuk berdiri di belakang garis aman untuk menunggu kereta berhenti, Gray kembali mengucapkan sepenggal kalimat Sampai jumpa sambil mengulum senyum, lalu bergegas masuk dengan langkah tertatih untuk mengejar waktu.
Seandainya saja Violet bisa memperlambat sang waktu, karena sebenarnya ia tak ingin hari ini cepat-cepat berlalu.
fin
0 notes