Tumgik
amariahmad · 5 years
Text
Tawakul is such a beautiful concept. Everything around you could literally collapse but if you trust that Allah will protect you, no harm can come to you. You take by the means and have faith. You trust in His planning, better than your own. You trust that He will guide you towards what is best, again and again. What is doubt? What is pain? What is fear? Allah سبحانه و تعالى is near.
2K notes · View notes
amariahmad · 5 years
Text
Huft
Membangun visi misi keluarga itu berangkat dari memilih pasangan hidup.
Libatkan Allah terus, minta Allah untuk menuntun. Bersegera, tapi jangan tergesa. Pilihlah yang memiliki nilai dan prinsip yang tak berseberangan secara fundamental denganmu, apapun itu, yang menjadi peganganmu.
Sholeh/ah itu luas. Peranan yang mau diambil untuk berusaha menjadi alim atau takwa itu banyak. Yang wajib adalah wajib. Sisanya soal pemikiran, kedewasaan, karakter, keluarga besarnya, pekerjaan, dan lain-lain takarlah di takaran yang sekiranya bisa kita tolerir. Sesuai kemampuanmu menerima.
Bertanyalah saat proses, pelajari dirinya dari caranya memerlakukan keluarganya atau anak kecil, periksa hubungannya dengan teman dekatnya. Ikhtiar ini, bisa kita optimalkan.
Ini nasihat, buat teman-teman yang sedang berproses. Selanjutnya, sejak awal hingga akhir bertawakkallah kepada Allah..
Ingat, jangan dicari kesempurnaan itu. Tak bakal kamu temukan pun sampai habis daya kamu mencarinya.
Ingat-ingatlah, menikah ini ajang beribadah. Kalaupun kamu punya sedikit petunjuk tentang dia dari usahamu mencari, mengorek, sedang sudah istikharah, direstui, dan memiliki kemantapan hati, maka…selama kamu libatkan Allah dan restu kedua orangtuamu, Allah nanti yang akan menuntunmu dengan caraNya.
Berumahtangga itu tak mudah, tapi dengan kuasaNya, pasti kita sanggup melaluinya.
3K notes · View notes
amariahmad · 5 years
Text
Always keep your heart clean.
46K notes · View notes
amariahmad · 5 years
Text
Sebuah Perpisahan dengan Perasaan
Kita hanya akan sampai disini, di sebuah persimpangan jalan. Kita saling bersitatap sejenak, kemudian masing-masing menatap hamparan jalan di hadapan kita.
Kita saling melambaikan tangan, tanda memang inilah waktunya. Kita akan berdamai dengan keadaan, mengerti bahwa memang ada hal di dunia ini yang tak bisa kita paksakan.
Kita akan belajar untuk merelakan karena tersadar bahwa selalu ada pintu yang sampai kapanpun memang tak akan pernah terbuka. Sekuat apapun kita berusaha.
Lagipula ada hati lain yang harus dijaga, adapula hati ini perlu diberi waktu untuk memulihkan diri.
Maka, terima kasih atas kesempatannya. Terima kasih banyak.
Sampai jumpa, wahai perasaan.
1 note · View note
amariahmad · 5 years
Text
Percaya
Sembari nge-scroll timeline twitter, saya menemukan beberapa twit tentang ketidakpercayaan masyarakat terhadap penelitian potensi bencana di Indonesia—yang katanya itu hanya untuk menakut-nakuti masyarakat saja—dan bahkan pernyataan tersebut juga diamini oleh orang yang berpengaruh. Lantas, jadi terpikir, sebenarnya apa sih yang membuat kita memercayai sesuatu? Akal, logika? Atau ... hanya nafsu dan keinginan kita belaka?
Lagipula, sebenarnya kasus seperti ini bukan suatu hal yang jarang terjadi. Masyarakat awam acapkali lebih mudah menerima informasi yang entah dari mana datangnya—ketimbang menerima informasi dari para pakar di bidangnya.
Tidak mengagetkan sih, pasalnya, di dunia kesehatan ini juga merupakan suatu hal yang kerap terjadi. Orang awam akan lebih memercayai berbagai pengobatan alternatif yang entah bagaimana caranya, bisa mengobati penyakit mereka—entah dengan 'energi dalam', disentuh di bagian tertentu, atau bahkan mungkin sebagian dari kita masih ingat, dahulu negeri ini pernah dihebohkan oleh seorang anak yang memasukkan batu di tangannya ke dalam air, kemudian air tersebut diminum untuk mengobati berbagai penyakit—ketimbang berkonsultasi dengan dokter yang mengerti penyakit tersebut secara ilmiah. Tidak, tidak, bukan berarti karena saya mahasiswa kedokteran, saya serta-merta 'meninggikan' derajat dokter. Pasalnya, hal ini bukan hanya terjadi pada segelintir profesi saja, melainkan banyak sekali bisa kita temukan dalam keseharian.
Contoh lainnya adalah, yang agak saya gemas sekaligus miris juga, ketika informasi tersebut berbau agama. Bertahun-tahun seorang ustadz, yang kompeten di bidangnya, lulus dari jurusan agama dari universitas di Madinah sana, dengan predikat yang amat memuaskan—akan 'kalah' oleh segelintir orang yang entah dari mana asal muasalnya muncul di atas panggung, menggunakan topeng bertuliskan 'ustadz' dan bersembunyi di baliknya. Alhasil, banyak perkataan yang tidak sesuai dengan syari'at. Agama kemudian berubah menjadi komoditas yang menggiurkan. Ya, bagaimana tidak? Agama merupakan sebuah pondasi fundamental bagi seseorang, terlebih lagi di Indonesia—sehingga akan menjadi sangat mudah bagi masyarakat untuk dipengaruhi.
Dan, bagian yang menyedihkannya adalah, ya ... masyarakat awam akan dengan mudah memercayai orang tersebut ketimbang ustadz yang benar-benar berkompeten dalam menyampaikan perkara syari'at. Bahkan, ustadz yang kompeten ini, yang benar-benar menyampaikan dalil berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, dimaki habis-habisan karena dianggap kaku, tidak relevan, hanya bisa meng-kafir-kan orang lain (yang lucunya, orang yang memaki bahkan tidak pernah benar-benar datang menghadiri majelis ustadz tersebut) dan membandingkan ustadz tersebut dengan orang yang entah-dari-mana-datangnya tadi.
Lantas, kembali ke pertanyaan awal, sebenarnya apa sih yang membuat kita yakin akan sesuatu?
Kalau kita bertanya, kepada orang-orang pada contoh di atas, mungkin kita akan menemukan jawaban, seperti:
"Ah, kalo ke dokter tuh mahal padahal cuma buat ngobrol doang, tiba-tiba kasih obat—tuh tetangga saya, dateng ke pak X, cuma disembur aja besokannya sembuh, tuh"
"Buat apa juga percaya sama penelitian potensi bencana, kan ya belum tentu kejadian juga, ntar malah jadi parno deh,"
"Ah, ustadz yang A itu gaenak, masa katanya ini gaboleh, itu gaboleh. Mending yang ustadz B, dibolehin kok kata dia mah,"
—Ada sebuah pola yang mirip-mirip, di dalam ketiga jawaban tersebut. Ya, mengabaikan akal dan ilmu, serta menuruti hawa nafsu.
Padahal, nyatanya, dalam dunia kedokteran, ada sebuah istilah yaitu "anamnesis" dimana dokter akan menanyakan beberapa pertanyaan kepada pasien secara runut, yang dari sana mereka bisa menilai ke arah mana diagnosis yang paling tepat. Bukan hanya sembarang bertanya dan tiba-tiba memberi obat saja.
Para peneliti juga punya standar dalam setiap penelitian dan tidak boleh memalsukan data karena itu melanggar validitas data dan etik penelitian. Sehingga, seharusnya (dalam kasus ini), potensi bencana tersebut dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam merencanakan kebijakan mitigasi bencana sebagai bentuk ikhtiar untuk meminimalisir kerusakan akibat bencana.
Demikian pula para ustadz, mereka memiliki tanggungjawab yang amat berat agar tidak sesat dan menyesatkan manusia. Terlebih lagi, mereka-lah yang menjadi "perwajahan" umat agama ini. Sehingga, sudah seharusnya setiap perkataan mereka dilandasi oleh dalil yang shahih, berasal dari Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para Salafush-Shalih.
Dari sana bisa dapat kita simpulkan, bahwa rupanya, terkadang kita menyanggah suatu hal, bukan karena kita tahu itu "salah" tapi karena hal tersebut bertentangan dengan hawa nafsu dan keinginan kita. Sayangnya, keinginan dan hawa nafsu manusia akan cenderung mengikuti keburukan (yang memang terasa menyenangkan)—yang tentu akan bertolak belakang dengan kebenaran yang sebenarnya. Alhasil, banyak kerusakan yang timbul akibat orang-orang tidak berilmu yang diberi panggung serta didengarkan perkataannya (termasuk di media sosial), dan sebaliknya menyisihkan para ahli yang berbicara dengan ilmu.
Oleh karena itu, sebagai orang awam, penting sekali untuk "mencari ilmu" untuk memahami orang-orang berilmu. Karena sungguh, selain karena semata-mata mengikuti hawa nafsu, terkadang kita jatuh pada keburukan karena ketiadaan ilmu untuk membedakan yang baik/buruk. Dengan demikian, menjadi sangat penting untuk kita terus belajar dan memerhatikan dari mana kita mengambil informasi.
Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu syar'i, karena dengannya kita dapat memilah haq dan bathil, baik untuk perkara duniawi maupun akhirat. Hendaknya kita selalu teliti dalam menerima informasi, sehingga kita tidak menjadi orang yang sesat juga menyesatkan orang lain.
Semoga Allah selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai ilmu.
Wallahu'alam.
©amariahmad | 1/1/2019
__________
"Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara tiba-tiba dari hati-hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mencabut nyawa para ulama satu demi satu. Sampai datanglah suatu saat ketika tidak ada lagi orang yang alim maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh-bodoh. Maka mereka pun ditanya tentang berbagai masalah, kemudian merekapun berfatwa tanpa ilmu. Sehingga mereka sendiri sesat dan juga menyesatkan orang lain.” 
(HR. Al Bukhari dan Muslim di dalam kedua kitab Shahih mereka dari hadits Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma)
https://muslim.or.id/439-keutamaan-ilmu-dan-ahlinya-2.html
4 notes · View notes
amariahmad · 6 years
Text
Berhentilah
Berhentilah datang, aku bukannya hendak mengusirmu, tapi aku tak ingin ada harapan palsu dalam benakmu.
Berhentilah menyapa, aku bukannya hendak memalingkan wajahku, tapi aku tak ingin kamu menyalah-artikan senyum ramahku.
Berhentilah mengejar, aku bukannya hendak membiarkan dirimu lelah, tapi aku tak ingin kamu membuang-buang waktu untuk diriku.
Tenanglah, cukuplah berusaha dalam diammu. Tenanglah, aku disini, tak akan berlari jikalau kamu takut aku akan pergi. Tenanglah, senyumku pun tak akan kubagi-bagi. Bukan untukmu, bukan pula untuk yang lain.
Tetapi, jikalau kamu memang untukku, dan aku ditakdirkan untukmu, sungguh, kita akan bertemu. Entah hari ini, esok, lusa, atau kapanpun itu.
6 notes · View notes
amariahmad · 6 years
Text
Kita tak akan pernah saling bicara yang sejujurnya, karena kita terlalu takut bahwa saling jujur akan merusak segalanya.
Kita memilih untuk menyembunyikan segalanya di balik senyuman, karena kita ingin memastikan bahwa dengan begini semua dapat (tetap) baik-baik saja.
Kita bercerita, bahwa aku dan kamu bukanlah siapa-siapa. Barangkali kita hanyalah dua orang yang sedang kebetulan bertemu di tengah jalan, bertegur sapa, melempar senyum, dan kemudian hilang dibawa arus kerumunan.
Apakah barangkali hanya aku yang salah merasa? Ataukah kamu juga merasakan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang telah kita sembunyikan sejak dahulu?
Barangkali pertanyaan ini akan terjawab, jika salah satu dari kita tak lagi ada untuk salah satu yang lainnya.
0 notes
amariahmad · 6 years
Text
Hal-hal kecil dalam hidup kita; sebenarnya adalah hal-hal amat berarti yang seringkali kita abaikan. Kita terlalu terfokus pada hal-hal besar, dan lupa, bahwa ada banyak sekali hal kecil yang ada di sekitar kita, yang patut untuk kita syukuri. Kita kerap terlalu terburu-buru, hingga lupa menikmati setiap detik yang Allah telah karuniakan dengan rasa syukur.
0 notes
amariahmad · 6 years
Text
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa'fu ‘anni ”
— O Allah, You are Most Forgiving, and You love forgiveness; so forgive me
25K notes · View notes
amariahmad · 6 years
Text
Kebahagiannmu berawal, saat engkau berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain.
Flow with whatever is happening and let your mind be free…
147 notes · View notes
amariahmad · 6 years
Text
Dan pada akhirnya masing-masing kita akan menyadari. Bahwasanya langkah menuju pernikahan tak pernah semudah menjalaninya seperti drama di dunia hiburan.
Menapakinya membutuhkan ilmu, dalam proses menujunyapun membutuhkan ilmu. Sebab ini bukan perkara yang mudah. Berat. Ada tanggung jawab yang besar.
Cinta saja tidak cukup, yang penting menikah apa lagi. Tidak. Tidak demikian.
Sekufu, semanhaj apalagi. Barangkali ini menjadi pertimbangan yang perlu dipikirkan beberapa kali selain agama dan kebaikan akhlak yang dimiliki.
Sebab bagaimana mungkin kita akan menyerakan hidup kita pada seseorang yang dalam perjalanan mengarunginya saja kita akan kelelahan sebab berbeda dalam melewatinya. Kau lurus, dia berbelok. Dia melipir, kau tetap berjalan.
Karena setelah menikah, kau akan hidup dengannya. Bukankah akan sangat membahagiakan bila jalan dan tujuanmu adalah jalan dan tujuan yang sama dengannya ke JannahNya?
380 notes · View notes
amariahmad · 6 years
Photo
Tumblr media
1K notes · View notes
amariahmad · 6 years
Quote
Ambil yang baik, buang yang buruk.
Begitulah kalimat yang sering dilontarkan oleh kebanyakan orang, khususnya ketika berbicara kepada siapa kita menuntut ilmu agama. Berdalih bahwa ilmu dapat kita ambil dari siapapun dan dari manapun. Kalimat tersebut memang tidak sepenuhnya salah, tetapi hanya berlaku jika kita tahu dengan jelas; mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang shahih dan mana yang dhaif, mana yang sesuai sunnah dan mana yang termasuk bid’ah. Jika tidak, bagaimana kita tahu mana yang harus diambil dan mana yang harus dibuang? Bagaimana jika, kelak yang masuk ke dalam ingatan kita hanya yang buruk saja, sedangkan yang benar terlupa dari ingatan? Maka, di usia kita yang sedikit ini, dengan kesempatan yang terbatas ini, hendaknya kita sebagai penuntut ilmu memfokuskan diri untuk mencari ilmu yang benar dan menjauhkan diri dari syubhat. Karena hati kita ini lemah, ilmu kita sedikit--sedangkan hawa nafsu dan godaan syaithan tak pernah lengah. Semoga Allah mudahkan kita untuk berhati-hati, memilih kepada siapa kita mengambil ilmu. Semoga Allah istiqomahkan kita dalam mengamalkan ilmu.
2 notes · View notes
amariahmad · 6 years
Quote
🍁 O Allah. I seek refuge in You from Love without marriage, And marriage without love.
(via amatullah-hhh)
280 notes · View notes
amariahmad · 6 years
Text
Tanya kenapa sebaiknya ibu lebih banyak di rumah? Nah ini.
Semoga nanti bisa kayak gini heu.
mau repot
“mbak, kalau kamu mau anakmu jadi anak yang mandiri, berdaya, peka dengan sekitar, terasah empati dan emosinya, itu gampang. kuncinya satu, kamu harus mau repot.
membuat anak terus-menerus merasa terhibur dan memilih menghindarkan anak dari layar sebelum waktunya memang repot. lebih enak beri saja teve atau hape, biar nonton dan berhenti rewel. tetapi ini melatih anak untuk bisa membuat dirinya sendiri terhibur dengan yang ada di luar layar. ada banyak yang lebih menarik di sekitar.
membuat anak mau makan sambil duduk, apalagi makan sendiri, dengan rapi, tidak acak-acakan, dan makannya tetap banyak memang repot. lebih enak gendong dan suapi sambil jalan-jalan, makannya biasanya akan lebih banyak. tetapi ini melatih kesadarannya bahwa dia sedang makan. bahwa makan harus duduk. bahwa makan adalah bagian dari bersyukur.
membuat anak mau buang air di toilet, bisa duduk tenang, mencatur setiap pagi dan malam, memang repot. lebih enak pakai popok sekali pakai, biarkan saja buang air sesukanya. tetapi ini mengajarkan aturan dan menunjukkan bagaimana berperilaku yang baik. lebih sehat.
membuat anak memiliki jadwal yang rutin, jam tidur rutin, jam makan rutin, jam mandi rutin, memang repot. lebih enak biarkan saja anak semaunya. tetapi ini mengajarkan kebiasaan, yang saat besar akan memengaruhi perilakunya pula, kedisiplinannya.
mengikuti dunia anak dan tidak “memutus” begitu saja yang sedang dilakukan atau diinginkannya memang repot. harus menunggu sampai puas main air di kamar mandi, harus membuntuti sampai puas memanjat tangga, harus mengikhlaskan rumah berantakan, repot. tetapi ini memberikan sinyal kepadanya bahwa dirinya disayangi, didukung, dan boleh belajar.
mbak, intinya, menjadi ibu itu bisa saja tidak repot, tetapi jika ingin anaknya jadi anak yang berdaya kelak, ya harus mau repot. di tengah segala kemudahan yang ditawarkan zaman ini, menjadi ibu harus pintar-pintar memilih, harus banyak-banyak sabar, dan lebih banyak lagi memaafkan.“
demikian nasihat ibu untuk saya. sulit bagi saya membayangkan kerepotan yang saya timbulkan untuk ibu saat kecil dulu. ibu tidak pernah mengeluh, tidak pernah lelah. semoga Allah memberikan cinta-Nya untuk ibu.
2K notes · View notes
amariahmad · 6 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
172 notes · View notes
amariahmad · 6 years
Text
Bicara Soal Cinta
Dahulu, ketika baru memasuki masa remaja, aku mengartikan cinta sebagai sesuatu yang sederhana. Seperti perhatian-perhatian kecil yang dia berikan, atau sekedar senyuman untukku yang sedetik-dua detik aku tangkap ketika dia berada di antara kerumunan. Ya, sesederhana itu. Dahulu, ketika baru mengenal rasa, aku mengartikan cinta sebagai hadiah-hadiah kecil. Seperti sebuah gantungan kunci yang berkilauan, atau seperti es krim setengah cair yang ia berikan. Ya, hanya pemberian yang tak seberapa. Dahulu, ketika baru tahu apa itu rasanya berbunga-bunga, aku mengartikan cinta sebagai rasa saling menjaga, saling memahami, dan saling ada untuk satu sama lain. Ya, hanya perasaan yang dirasa-rasa. Namun, setelah beranjak cukup dewasa, aku baru mengerti bahwa arti cinta yang aku pahami selama ini tidaklah sepenuhnya salah. Tapi, aku baru mengerti, bahwa untuk mencapai “arti cinta” itu, ada pintu terkunci yang harus kita ketuk dan kita buka terlebih dahulu. Jika kita memaksa masuk, maka niscaya rusaklah pintu itu beserta “arti-arti” yang tersimpan di dalamnya. Satu-satunya jalan adalah dengan mengetuk pintu itu dengan perlahan, membukanya dengan kunci yang tepat dan cara yang benar. Maka, setelah belajar dari semua itu, aku mulai mengerti, pintu itu adalah hati.
Berbagai fragmen kehidupan mengajariku banyak hal. Semakin banyak yang kupelajari, semakin kompleks pula pengetahuanku mengenai pintu ini. Pintu ini adalah pintu yang dapat berunjung pada surga-Nya, dapat pula berujung pada neraka-Nya--maka kita amat perlu berhati-hati, kepada siapa kita membukakannya dan kepada siapa kita memberikan kunci yang tepat. Dan seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai berpikir. Orang yang seperti apakah yang akan aku persilahkan untuk masuk? Dan jika ada orang yang memaksa masuk? Apa yang harus aku lakukan? Berbagai pertanyaan itu mulai membayangiku, rasa-rasanya mungkin membayangi hampir semua perempuan yang sudah memasuki usia-usia dimana manusia dianggap sudah dewasa.
Yang lebih lucunya lagi, seiring berjalannya waktu, aku menjadi tak mudah jatuh cinta, semakin tak mudah terbawa perasaan. “Tampan” saja tidak bisa masuk kategori yang dapat membuat hatiku luluh--terlalu mudah. Bagiku, butuh banyak kriteria untuk menjadikan seseorang pantas aku sematkan tanda rasa. Dan urutan kriteria itu semakin jelas, seiring bertambahnya ilmuku tentang ini.
Maka kutemukan bahwa hal yang terpenting adalah agamanya--aqidahnya dan juga akhlaqnya. Mengapa? Karena Islam telah mengatur segala aspek dalam kehidupan dengan begitu adil, begitu rapih, dan begitu menentramkan. Aku percaya, bahwa ketika seseorang benar-benar takut pada Rabb-nya, maka ia akan berpikir berulangkali untuk melanggar syariat-Nya. Atas izin Allah, ia akan berlaku sebagai sebenar-benarnya mukmin--dia tak akan mendzholimi dirinya dan keluarganya--karena kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Ia akan menuntunku menjadi muslimah yang lebih baik, melahirkan anak-anaknya yang shalih dan shalihah, dan pastinya mencegah keluargaku dari siksa api neraka. Ia akan mencintaiku karena Allah dan aku pun akan mencintainya karena Allah.
Banyak pertanyaan tentangnya yang mungkin akan membayangiku. Tentang keluarganya, tentang kesehariannya, tentang pendidikannya, tentang teman-temannya. Tapi biarlah kusimpan pertanyaan itu nanti, hingga seseorang mengetuk pintu rumahku, bertemu dengan orangtuaku--kedua orang di dunia ini yang takkan mungkin menginginkan keburukan bagiku.
Lagipula, lucu sekali ternyata ketika membayangkan bahwa cinta ternyata sesuci dan sesakral ini, bukan seperti remah-remah yang aku bayangkan dahulu. Cinta dalam Islam menjadi sesuatu yang begitu terhormat dan bahkan menjadi sebuah ibadah hingga akhir hayat. Islam menjaga cinta sebagai fitrah manusia dengan begitu manis nan indah. Di dalamnya, tersimpan begitu banyak hikmah mengapa larangan mendekati zina itu begitu tegas. Allah tak ingin kita tertipu atas keindahan dan kenikmatan semu yang dihiasi oleh syaithan, menginginkan kita untuk menikmati cinta yang penuh dengan rahmat-Nya. Dalam urusan ini, Islam akan memberikan jubah kehormatan pada lelaki yang menjalankannya dan menyematkan mahkota bagi wanita yang mematuhinya.
Maka terkadang aku merasa sedih ketika melihat betapa banyak cinta yang diobral begitu saja saat ini. Membayangkan betapa banyaknya cinta yang disia-siakan, dihargai murah. Membayangkan betapa banyak pintu yang didobrak paksa, menghancurkan segala makna cinta yang tersimpan di baliknya.
Ada suatu logika sederhana yang aku pikirkan sejak dahulu--tentang lelaki yang baik untuk wanita yang baik (begitupun sebaliknya)--adalah ketika kita memilih untuk mengobral cinta kita begitu saja, membagi-bagikannya dengan begitu mudahnya, maka laki-laki/perempuan yang baik-baik akan “mencoret“ kita dari daftar orang yang akan mereka perjuangkan nantinya. Maka, akhlaq kita saat ini, akan menentukan seperti apa orang-orang yang akan mencoba untuk membuka pintu-pintu hati itu. Akhlaq kita yang buruk akan menjauhkan kita dari orang-orang yang baik, yang mungkin bisa jadi pada awalnya hendak memperjuangkan kita. Yah ... meskipun ini hanyalah sebuah logika manusia yang teramat pendek dan sederhana. Karena sungguh, apapun dapat terjadi atas izin Allah.
Maka, benarlah adanya bahwa cinta yang belum halal hanya akan dihadapkan pada dua pilihan: halalkan atau tinggalkan. Bagiku, dua pilihan ini luar biasa; tegas dan penuh kejelasan. Jika punya perasaan terhadap seseorang, tak ada celah untuk bermain-main atasnya. Jika sanggup, maka halalkan, datangi orangtuanya. Jika tidak, maka tinggalkan, jangan ganggu dirinya, jangan mainkan perasaan kita dan perasaannya, jangan dobrak pintu hatinya, jangan rusak makna cinta dibaliknya!--sibukkan diri kita dengan segudang hal bermanfaat di luar sana, jangan biarkan hati kita lalai termakan hasutan syaithan untuk melanggar syariat-Nya. Lupakan saja dirinya, toh jika memang berjodoh, Allah akan pertemukan kembali di masa depan, sejauh apapun jarak memisahkan. Tok, jelas sekali. Dengan begitu, tak ada yang tersakiti, tak ada yang menyakiti. Dan aku sendiri yakin, bahwa perasaan cinta itu adalah suatu rasa yang bisa Allah hadirkan dalam hati kita dan bisa juga Allah cabut dari hati kita. Maka, mengapa ragu untuk memilih? Berdoalah pada Allah, Yang Maha Membolak-balikan Hati--agar Allah hadirkan rasa cinta pada waktu yang tepat, pada orang yang tepat, dan pastinya pada saat akad telah terucap.
Tetapi ... menikah bukanlah sesuatu yang mudah. Dengan menikah, bukan berarti kita akan terbebas dari ujian dan rintangan--justru bisa jadi ujiannya akan semakin berat. Maka, Allah memerintahkan kita untuk menyegerakan pernikahan ketika kita sudah mampu, bukan untuk tergesa-gesa dan gegabah. Melihat fenomena “nikah muda” masa kini, banyak sekali kawula muda yang salah mengartikan pernikahan. Pernikahan malah dianggap sebuah “pelarian” atas larangan membina hubungan antar lawan jenis sebelum halal. Alhasil, banyak sekali kasus kekerasan antara suami-istri, ketidakrukunan rumah tangga, anak-anak yang terlantar dan berujung pada perceraian, karena kurangnya ilmu dan kesiapan sebelum menikah--naudzubillahimindzalik. Maka, penting sekali “menyegerakan diri” untuk belajar tentang bagaimana membina sebuah rumah tangga. Bagaimana menjadi seorang pemimpin dalam rumah tangga, bagaimana adab kepada seorang istri/suami, apa saja hak dan kewajiban suami/istri terhadap orangtua dan mertua, bagaimana menjadi ayah dan ibu yang baik sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam dan segudang “bagaimana-bagaimana” lainnya; mulai dari yang sifatnya keyakinan hingga praktikal--seperti memasak, menjahit, membenarkan pintu rumah yang rusak, dan sebagainya.
Maka, waktu yang kita miliki untuk mempersiapkan semuanya tidaklah banyak. Menjadi seorang suami/istri (ayah/ibu) adalah sebuah tanggung jawab yang amat besar, sebuah pilihan yang dapat memasukkan kita ke surga, ataupun menjebloskan kita ke dalam neraka. Oleh karena itu, waktu muda kita; saat kita masih bersekolah, saat kita masih dibiayai orang tua, saat kita belum dibebani pekerjaan, saat kita masih memiliki cukup waktu luang, saat ingatan kita masih tajam, dan saat tubuh kita masih bugar ... adalah waktu-waktu yang harus kita manfaatkan. Selagi Allah karuniakan nikmat sehat dan waktu luang, maka manfaatkanlah nikmat tersebut untuk menuntut ilmu agama, mempelajari bahasa arab, mempelajari dan menghafalkan Al-Qur’an, mengkaji berbagai kitab, menghadiri majelis ilmu, berguru langsung pada para asatidz dan asatidzah, memperbaiki akhlaq, dan memperbanyak teman-teman yang saling mengingatkan dalam kebaikan. Pada waktu inilah, belajarlah yang sungguh-sungguh, kejarlah cita-cita dan bahagiakan orangtua. Mulai bekerjalah dengan giat, coba merintis usaha kecil-kecilan, apapun asalkan halal. Rezeki kita memang telah ditentukan, bahkan setelah menikahpun, Allah telah jaminkan. Tinggal bagaimana kita yang membuka pintu-pintu rezekinya. Carilah berkah dari setiap rezeki yang kita usahakan. Karena bagi laki-laki sendiri, mencari nafkah adalah sebuah kewajiban dan sebuah ibadah yang penuh keutamaan. Sehingga, sebelum waktunya tiba, pastikanlah diri kalian sudah berusaha sebaik mungkin untuk mempersiapkannya. Tidak perlu banyak dan berlebih-lebihan, selagi cukup dan membawa keberkahan, insyaAllah akan membuat keluarga kecil kita nanti tenteram dan bahagia. Karena kekayaan dan rezeki hadir dalam berbagai bentuk, tidak harus dalam bentuk rumah dan mobil mewah, tapi dengan memiliki keluarga yang harmonis, rumah yang penuh dengan lantunan Al-Qur’an, anak-anak shalih-shalihah yang berbakti dan senantiasa mendoakan orang tuanya adalah sebuah bentuk rezeki yang tak akan bisa ditukar dengan uang. Namun, yang paling penting dari semua hal yang telah kita bicarakan ini adalah barangkali ... alih-alih dilamar oleh sang pujaan hati, kita malah dilamar terlebih dahulu oleh pemutus segala kenikmatan dan pemutus segala angan-angan yaitu kematian. Maka, niatkan segala persiapan dan perbaikan diri ini hanyalah karena Allah, karena Allah, dan karena Allah. Biarlah kita sibuk memperbaiki diri masing-masing--menunggu entah kapan, siapa dan dimana, dalam diam... hanyut dalam kesibukkan kita untuk meningkatkan kualitas keimanan, memperbaiki ibadah kita, dan mendekatkan diri kita pada Sang Pencipta.
Biarlah skenario Allah yang berkehendak, menyusun kisah cinta yang paling romantis versi-Nya, yang sangat jauh berbeda dengan kisah-kisah buatan manusia yang ada di novel dan film. Biarlah rahasia langit yang bercerita, bahwa ada dua insan di bumi yang saling menyimpan tanya, namun memilih menyerahkan segala urusannya pada Yang Maha Kuasa--hingga mereka bertemu atau dipertemukan.
Depok, dini hari, pukul 01.27. Di malam yang sunyi, setelah hujan gerimis mulai mereda. MR.
32 notes · View notes