Tumgik
akirakf · 2 months
Text
Rokkugo!! Rokkugo!! Rokkugo!! Malhae mal!!!
0 notes
akirakf · 5 months
Text
#026
Tumblr media
Tahun baru, orang bilang, resolusi baru.
Banyak orang yang menuliskan harapan, keinginan, dan hal-hal yang hendak dicapai lainnya, diiringi dengan letupan petasan dan kembang api.
Namun bagiku, apa itu tahun 2024?
Aku baru saja menginjak usia 20 tahun, pada 11 November 2023 lalu. Ya, tepatnya, baru satu bulan lebih usiaku official 20. Dan kurasa, walau agak terkesan sombong, semakin dewasa, aku tak mengharapkan apapun di tahun yang baru ini.
Habisnya, tak ada bedanya, kan?
Tahun 2022-ku sangat buruk. Aku terpaksa mengambil jurusan ilmu hukum, jurusan yang sama sekali bukan minatku. Siapa lagi yang memaksa, kalau bukan ayahku tersayang.
Lalu, saat pergantian tahun 2022 menuju 2023, aku berharap 2023 hal baik akan datang padaku.
Tapi ternyata, harapan itu meleset.
Sampai akhir 2023, aku tak juga menemukan hal-hal yang berjalan lancar. Kuliahku semakin padat, sehingga membuatku jarang bertemu dengan teman-temanku di tahun ini. Kegiatan bermusik di cafe pun, sudah bisa dihitung jari selama tahun 2023.
Bisa dibilang, bukannya menjadi lebih baik dari tahun 2022, tahun 2023 malah menjadi buruk. Aku merasa jarang bersosialisasi dengan orang lain, selain keluargaku. Dan yang paling parah, intensitas ku melukai diri sendiri semakin banyak di tahun ini.
Lantas, apa 2024 benar-benar membawa kebahagiaan untukku? Atau malah semakin parah dari 2023?
Jakarta, 1 Januari 2024
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 6 months
Text
#Sosmed001
Tumblr media
0 notes
akirakf · 7 months
Text
#025
Tumblr media
"Udah November, ya?" keluhku sambil menghela napas panjang, sambil melepas helm-ku. Aku pun turun dari motor, dan melangkah ke dalam rumah dengan tanpa semangat.
"Assalamualaikum..."
"Adek, udah pulang?" jawab ibuku, yang tengah berkutat dengan laptopnya di ruang keluarga.
"Iya Ma," jawabku pendek. "Kakak sama Papa belum pulang?"
"Belum, kenapa?"
"Nggak papa," jawabku pendek, lantas segera pergi ke kamarku di lantai dua.
"Adek nggak makan dulu?" suara ibuku terdengar, saat aku tiba di pertengahan tangga.
"Kenyang Ma! Tadi makan dulu sama temen-temen," balasku.
Aku melempar ranselku pelan begitu tiba di kamar. Nggak berani kencang, karena ada tab di dalamnya. Lantas berbaring di kasur, sambil menatap lekat langit-langit kamarku.
"Tanggal 11, dikit lagi, ya?"
11 November, hari ulang tahunku. Namun entah kenapa, aku tak ingin melaluinya.
Karena tahun ini, aku berusia 20 tahun.
Jakarta, 6 November 2023
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#024
Tumblr media
Lagi nonton tv bareng keluarga, aku malah asik chattingan. Nggak peduli Mama, Papa, Kak Satoshi pada ghibah alur film.
"Adek asik banget sama hp, mana sambil senyum-senyum. Punya pacar nih sekarang?" tanya ibuku sambil menarik pelan hidungku.
"Mana ada pacar! Ini lho, Chiba Erii update," elakku.
"Punya pacar juga gapapa nak," tambah ayahku.
"KOK PAPA IKUTAN LEDEK AKU SIH?!"
"HAHAHAHA RASAKAN KAU KIR! Lagian bukannya nonton film, malah asik hp-an!" Si Bang Sat, kakakku, malah ikutan.
"HEH!"
"Pacarannya besok lagi dek, sekarang tidur sana. Udah mau jam 10," ibuku yang tadi mancing meledekku, kini menengahi. Lantas beliau bangkit dan mulai mematikan tv. Ayah pun turut membantu mematikan lampu rumah.
Sementara aku dan kakak, beranjak ke lantai dua. Membantu mematikan lampu disana sebelum ke kamar masing-masing.
Jakarta, 13 Juli 2023
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#023
Tumblr media
"Sebenernya, gue tuh dilahirkan cuma buat jadi people pleaser ya? Kenapa cuma gue yang berkorban, tapi orang lain enggak pernah berkorban buat gue?"
Aku berdialog sendiri, menatap tiga ikan cupangku yang berenang-renang di dalam akuarium kecil di kamarku.
"Gue cape, anj—!"
"Gue udah mau masuk tahun kedua, kuliah ilmu hukum sesuai obsesi papa. Tapi kenapa usaha gue nggak pernah diliat sama Takahiro Fujimine?"
Takahiro Fujimine, nama ayahku. Orang yang menjadikanku investasinya, hingga aku tertekan begini.
"Akira, stop. Stop harming yourself! 疲れた時には、休んでいいだよー"
"でも、僕なんか休んでいいの?"
"もちろん。君も人間、明。だから自分で傷しないでください!!"
Aku menghela napas. Kembali kusimpan benda yang tadinya hendak kupakai untuk melukai pahaku di dalam laci. Lalu aku memandang ikan-ikanku, sambil terus merenung.
"Enak ya, jadi kalian?"
Jakarta, 4 Juli 2023
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#022
Tumblr media
"Besok puasa ya...?" aku menatap langit menjelang siang Jakarta dari balkon rumahku, dengan gitar di pangkuanku. Pagi-pagi sudah gitaran di balkon rumah.
"Hmm, puasa kali ini kok agak beda ya? Gue kangen temen-temen gue..." kuusap gitarku, sambil memikirkan bagaimana puasa tahun ini akan berlangsung. Puasa pertamaku sebagai mahasiswa, tanpa kehadiran Ucup dan Udin. Biasanya, setiap sore kami akan pergi beli takjil bersama. Tapi sekarang? Ucup merantau ke Purwokerto, Udin merantau ke Bandung. Benar-benar pisah.
Aku pun kembali memainkan gitarku, dan mulai menyanyi lagu buatanku.
"これから先何が起きても
ずっと変わらずにいよう"
"Adekk!" panggilan dari ibuku, sukses menghentikan aktifitasku. Cih, padahal baru garap dua bait.
"Iya Ma?"
"Mandi dek, temenin mama beli bahan makanan buat sahur besok!"
Kalau begini, au tak bisa menolak. Maka kusimpan gitarku, lalu beranjak menuju kamar mandi. Menjadi supir ibuku untuk berbelanja keperluan ramadhan.
Jakarta, 22 Maret 2023
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#021
Tumblr media
"Lo stres apaan sih? Ortu lo kaya, lo pinter, kuliah di univ top three pula."
"Memang stres itu harus punya standar tertentu, ya? Memangnya, orang pinter tuh nggak boleh stres ya?"
Aku bergumam sendiri, menatap tiga ikan cupangku yang sedang asyik rebutan makanan sambil memikirkan kata-kata orang yang selalu mengusik pikiranku.Ditemani lagu Zunea Zunea yang mengalun di kamarku sebagai backsound kegalauanku. Agak gak nyambung memang, tapi playlistku menyetel itu.
"Makanya, sholat!"
Kayaknya, enak banget orang ngomong gitu. Padahal, sholat lima waktuku juga nggak pernah ditinggal lho. Aku gak mungkin bilang ini, karena nanti jatuhnya aku pamer ibadahku.
Makanya, hanya kubalas dengan senyuman.
"Eh Loyo, Mleyot, Letoy, emang gue kalo stres tuh keliatan banget, ya? Perasaan, gue udah nutupin itu dengan selalu ngebadut depan orang-orang deh," tanyaku pada tiga ikan cupangku.
Ya mana mungkin mereka bisa jawab, sih. Mereka malah asyik makan.
Atau gara-gara aku selalu melukai diri sendiri di bagian lengan kiri? Sampai meninggalkan bekas luka dan orang-orang melihatnya?
Tapi selain main di lengan, aku juga main di kedua pahaku. Kalau disana, seharusnya aman kan? Apalagi aku selalu pakai celana panjang saat keluar rumah, selain kalau saat main badminton.
"Apa menurut kalian, stres gue karena gue kurang ibadah?" lagi-lagi, aku bertanya pada ikan-ikanku.
Entah kenapa, bercerita pada mereka lebih baik dibanding bercerita pada teman ataupun kakakku sekalipun. Karena ikan-ikanku, tidak pernah men-judge apapun. Mereka hanya mendengarkan sambil makan tanpa memberi komentar apapun.
Dan inilah, yang benar-benar kuinginkan.
Aku paling benci, kalau stres sampai depresiku kambuh dikaitkan dengan urusan agama. Seperti yang tadi kubilang, aku tidak pernah meninggalkan ibadah wajib lima waktuku. Bahkan, kadang aku melakukan puasa senin-kamis juga. Yang tentu saja, aku tak akan bilang karena terkesan pamer. Walau untuk membela diri sekalipun.
Pernah ada seorang teman kuliahku yang berkata, "Akira masuk UI selain jalur SNMPTN, juga ada jalur ortu kan? Nyokapnya kan dosen UI."
Yang tentu saja, ucapan itu lagi-lagi kubalas dengan senyuman. Walau aslinya aku benar-benar ingin menampol karena bawa-bawa ibuku.
Ibuku memang dosen di kampusku, tapi ibuku dosen di FISIP, dan lebih tepatnya jurusan HI. Sangat beda denganku yang ada di jurusan hukum. Walaupun ibu punya kenalan dekan di FH, tapi aku tahu betul ibuku tak akan meminta tolong dekan FH untuk meloloskanku hanya karena aku anak dosen. Ibuku tak akan melakukan hal serendah itu, dan ibuku percaya kalau nilai-nilaiku mampu bersaing untuk mendapatkannya.
"Susah banget ya, jadi gue? Stres, dibilang kurang ibadah. Kuliah di kampus top three, dituduh masuk jalur emak. Gue mau jadi spesies kalian aja boleh gak?"
Pikiran untuk menenggelamkan diri di danau kampus yang legend sangat tinggi. Siapa tahu, aku bisa jadi penghuni sana dan bermain dengan biawak-kun selamanya. Tapi aku tak punya keberanian untuk itu.
Aku memang hobi menyakiti diriku. Tapi aku terlalu takut untuk mengakhiri hidupku.
"Adek!!! Makan dulu!!"
Suara panggilan ibuku membuyarkan lamunanku. Aku tahu, tapi aku tak lekas menjawab maupun menghampiri.
"Kira!!!"
Karena tak lekas menjawab, teriakan itu terdengar lebih keras.
"Iya Ma! Otw!"
Maka kusudahi adegan curhat dengan tiga ikan cupangku, dan beranjak ke ruang makan.
Jakarta, 29 Januari 2023
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#020
Tumblr media
Huft, liburan semester ini, aku malah gabut alias gak ada kerjaan. Mau main, enaknya kemana dan ajak siapa ya?
Ke mall? Hmm, skip dulu deh. Masih jam 10 kurang, kayaknya belum ada yang buka juga.
Maka aku melihat-lihat linimasa twitterku, siapa tahu nemu tempat menarik buat dikunjungi. Dan benar saja, kafe langgananku di daerah tebet, akan buka jam 10 nanti dan sedang ada promo natal. Namun daripada kesana cuma makan dan ngopi lalu pulang, mending sekalian nge-busking. Itu artinya, aku bisa mengajak anak Sowon, minus Ucup yang masih merantau di Purwokerto sana. Karen, kayaknya masih natalan juga sama keluarganya. Coba deh, aku ajak di grup Sowon yang bertiga
Tumblr media
Tumblr media
Tumblr media
Nah sip, Alex bisa. Dan aku pun sama sekali tak keberatan kalau harus menjemput Alex. Toh, berkendara lebih enak kalau ada temannya, kan? Maka aku pun bergegas mandi, lalu meluncur ke TKP janjianku dengan Alex.
<>
“Alex!” panggilku kala melihat kawanku itu sudah menunggu di depan stasiun Tebet. Pemuda itu, dari yang awalnya hanya menatap layar ponsel, kini beralih padaku sambil memasang senyum. Senyum tipis di mukanya yang datar itu, memang khas Alex banget.
“Kok lo gak ngabarin sih kalo udah sampe duluan?” protesku sambil memberikan helm pada Alex.
“Gue ngabarin kok, cuma emang baru sampe aja,” kata Alex. Ia pun menunjukan layar ponselnya yang sudah mengirim pesan padaku, setelah memakai helmnya.
“Oh iya, bener juga,” tanggapku sambil nyengir.
Aku pun lantas membawa motorku hingga di kafe tujuan. Tak butuh waktu lama, sekitar 10 menit dari stasiun. Dan usai bicara pada si pemilik kafe kalau kami mau nge-busking sampai malam, pemilik kafe pun setuju dan mempersilakan kami memakai panggung sepuasnya. Mungkin karena kami sudah sering ‘konser’ disini dan pengunjung jadi lebih banyak kalau kami konser, pemilik kafe pun merasa senang karenanya.
Yah, siapa yang gak senang dengan cowok-cowok ganteng main band gratis tapi membawa rejeki lebih, kan? Hehehe. Lagipula, bermain musik bagiku, Alex, dan Ryan hanya sekadar hobi dan mengisi waktu luang kok, tidak mengharap bayaran. Kami ketagihan nge-band setelah pentas seni waktu SMA.
Usai aku mengeset gitarku dan Alex siap dengan keyboard-nya, instrumen pun kami mainkan. Kali ini kami meng-cover lagu Souvenir yang dipopulerkan oleh Bump Of Chicken. Itu lho, yang jadi lagu opening anime yang sedang hitz saat ini, Spy x Family.
“Osoraku kidzuite shimatta mitai
Akubi no iro shita mai nichi wo
Marugoto eiga no you ni kaeru
Tane to shikake ni deaeta koto”
Rasanya memang agak kurang sih, meng-cover lagu ini tanpa gebukan drum-nya Ryan. Tapi mau bagaimana lagi. UAS lebih penting dari kegiatan mengisi waktu luang ini. Aku dan Alex sih, memang satu kampus, sama-sama anak UI. Jadi libur kami pun bareng.
Sambil melantunkan lirik lagu, aku memperhatikan si owner sedang merekam kami. Mungkin sedang mempromosikan kalau aku dan Alex mengadakan konser dadakan di sosial media kafe ini? Entahlah. Yang jelas, tak beberapa lama, pengunjung pun mulai datang.
Kan, kubilang juga apa. Kami ini memang pembawa rejeki, hehehe.
“Kono me ga eranda keshiki ni hitotsu zutsu ribon kakete
Omiyage mitai ni atsume nagara tsudzuku yo kaerimichi
Kisetsu ga aisatsu kureta yo namida mo chotto hirotta yo
Doko kara hanasou anata ni moratta kono kaerimichi”
Namun, sedang asyik aku menyanyikan lagu ini, tahu-tahu saja dari arah pintu masuk, muncul sosok yang sangat aku kenal.
Seseorang yang kehadirannya tak pernah aku sangka.
Dia adalah…Takahiro Fujimine, alias ayahku.
Panik? Jelas. Namun aku masih berusaha profesional membawakan lagu ini sampai selesai.
“Aruite aruite koronde heiki na furi shite anata ni mukau michi wo
Hashitte hashitte mune ippai de aruite anata ni mukau michi wo”
Ayahku mengambil tempat di pojokan, meja untuk banyak orang. Lalu bisa kurasakan, dari tempatnya duduk, beliau tengah mengamatiku yang tengah melakukan konser abal-abal ini.
Sudah kubilang bukan, ayahku tidak mendukungku dalam bermusik. Namun, kukira aku akan langsung diseret pulang saat ini juga. Namun ternyata tidak.
Apa beliau menungguku selesai bernyanyi agar tidak mempermalukanku?
Satu lagu usai, aku langsung menyeret Alex untuk turun dari area bermusik.
“Kenapa Kir?” tanya Alex heran.
“Bokap gue…” jawabku setengah panik. “Bokap gue kesini Lek!!!”
“Bokap lo?” tanya Alex heran. “Jangan bilang, bokap lo lihat sosmed kafe ini pas owner lagi ngerekam kita tadi?”
“Nah itu, gue gak tahu.”
“Mending kita samperin aja. Kalo lo diomelin, ntar gue bilang kalo gue yang ngajak elo.”
Ah, Alex memang kawanku yang sangat pengertian. Ia bijaksana, juga pikirannya dewasa. Maka dengan ragu-ragu, aku dan Alex pun menghampiri meja ayahku.
“Papa?” sapaku takut-takut. “Papa tumben ke kafe? Ada apa?”
“Oh Akira. Duduk dulu nak,” alih-alih memarahiku, ayahku justru memberi isyarat agar aku duduk di hadapannya. Aku dan Alex saling pandang, lalu duduk di hadapan ayah.
“Ini teman kamu?” tanya Ayah basa-basi. Dari nada bicaranya, tak ada sedikitpun beliau kecewa atau akan marah padaku. Sejak 19 tahun aku hidup di keluarga Fujimine, aku sudah hafal gelagat ayahku kalau marah.
“Kenalin om, saya Alex,” kawanku memperkenalkan diri dengan sopan, sambil menyalami tangan ayahku. “Saya kenal Akira dari SMA. Kuliah juga kebetulan satu kampus, walau beda jurusan.”
“Nak Alex jurusan apa?”
“Sastra Indonesia, Om.”
Ayahku hanya mengangguk. “Penampilan kalian tadi, bagus. Kalian hanya berdua?”
“Harusnya bertiga Pa, cuma yang satu datangnya nanti sore,” jawabku.
“Oh, begitu. Papa ada janji dengan klien di kafe ini. Gak nyangka bisa lihat kamu perform,” ujar ayahku. “Kalo gak salah, Satoshi dan mamamu pernah bilang kamu pernah perform di acara saat SMA, benar?”
“Kakak sama Mama cerita ke Papa?” tanyaku heran.
“Iya, mereka bilang, permainan gitarmu bagus. Papa udah lihat di video yang diberikan Satoshi, memang bagus. Namun baru kali ini Papa lihat kamu secara langsung.”
“Makasih Pa… waktu itu sama Alex ini. Dia juga main keyboard.”
“Pantas, mukanya kayak familiar. Ternyata benar, dia yang perform sama kamu saat SMA.”
“Iya om. Buat perform disini, saya juga yang ajak Akira,” kata Alex, masih dengan pembelaan kalau dia yang mengajakku. “Soalnya permainan gitar sama suara Akira, bagus. Saya suka main musik sama Akira. Dia juga jago bikin lagu.”
“Lek!” protesku sambil menendang pelan kaki Alex.
Kenapa dia harus memujiku depan ayahku begini, sih?! Aku kan malu!!!!
“Kalian cuma tampil satu lagu disini?” tanya ayahku.
“Rencananya kami sampai malam disini, om. Owner-nya udah setuju.”
Ayahku mengangguk. “Kalau begitu, saat kalian perform, tolong bawakan lagu yang dibuat Akira ya.”
Mendengar itu, aku bagai disambar listrik saking terkejutnya. Habis, ini keajaiban dunia banget! Ayahku mau mendengarkan lagu buatanku—
Alex pun langsung menyetujui. Ia dengan sopan undur diri dari hadapan ayahku, lalu segera menarikku kembali ke area bermusik.
“Yok, Kir. Tunjukin ke bokap lo kalo bakat musik lo gak kaleng-kaleng,” ujar Alex.
“Bentar, gue mikir dulu,” sahutku. “Bokap gue— jarang banget denger lagu gue! Apa karena ada elo ya, makanya bokap gue baik kayak tadi?”
“Bisa jadi iya, bisa jadi enggak. Pokoknya ayo bawain lagu lo! Yang mana nih? Suka?”
“Jangan yang Suka!” protesku. “Itu lagu udah klop si Ucup sama Karen vokalisnya.”
“Trus yang mana?”
“Suaramu, yang itu.”
Alex pun mengangguk setuju. Kami pun memainkan instrumen laguku yang berjudul Suaramu. Lagu yang kubuat beberapa bulan sebelum lulus SMA. Aku buat sebelum lagu Suka, dan sudah sering kunyanyikan di kafe-kafe. Bahkan sudah ada di youtube-ku juga walau subcriber-nya baru 100an.
“Aku tak akan pernah lupa hari kita bertemu
Sejak saat itu masa depan kami berubah
Semakin aku mengenalmu semakin aku tertarik padamu
Aku tak bisa menghentikan detak jantungku”
Aku menyanyikan lirik sambil bermain gitarku, sambil sesekali melihat ke arah ayahku. Ayahku masih memperhatikanku dengan tatapan yang tak bisa kudeskripsikan. Namun, melihat ayahku yang sama sekali tak berpaling, membuatku semakin ingin mengeluarkan semua bakatku.
“Suaramu aku ingin mendengarnya
Aku tidak ingin apapun
Suara itu yang tertarik
Aku tidak bisa berhenti memikirkannya”
Para pengunjung pun mengarahkan ponselnya, pun dengan si owner kafe. Mungkin kembali mempromosikan kami. Terlebih, saat ini kami membawakan lagu buatanku, bukan lagi lagu coveran.
Usai aku membawakan laguku, bisa kulihat meja ayah tidak diisi oleh ayah sendiri lagi. Sepertinya itu kliennya, dan pembicaraan mereka tampak serius. Maka aku dan Alex pun mengambil meja lainnya yang masih kosong, dan memesan makan siang.
“Gue gak pernah segugup ini kalo tampil di depan kakak sama nyokap gue,” kataku sambil memarkir kepalaku di meja. Lemas sekali rasanya, setelah tampil dan disaksikan langsung oleh ayahku sendiri. Alex dengan usil menusuk-nusuk pipiku dengan tusuk gigi. Nemu tusuk gigi di meja, dan untungnya masih tersegel rapi.
“Emang kalo di rumah, lo gak pernah pegang alat musik lo? Trus gimana lo bikin instrumen lagu?”
“Kalo di rumah, gue gitaran mulu kok. Dari awalnya cuma nge-cover, tahu-tahu jadi lagu baru,” aku memulai ceritaku. “Kadang gue juga suka nge-cover soundtrack anime bareng kakak gue. Nyokap gue tahu itu. Cuma ya… Bos Fujimine itu sibuk. Beliau lebih sering di ruang kerjanya di lantai satu, sementara gue sama Bang Sat, kalo nge-cover soundtrack anime selalu di lantai dua.”
Alex hanya menyimak ceritaku, dengan tangannya yang masih memegang tusuk gigi itu. Mungkin berniat mengisengiku lagi.
“Tapi gue rasa, bokap lo tuh sebenernya dukung hobi main musik lo.”
“Masa’?”
“Yaaa gak tahu juga sih, cuma asumsi sotoy gue aja,” kata Alex sambil menggendikan bahu. “Buktinya, beliau mau dengar lagu yang lo buat, kan?”
“Bener juga.”
Makanan pesanan kami pun tiba. Aku pesan spaghetti carbonara dan es cappucino, sementara Alex pesan strawberry shortcake dan es espresso. Aku hanya heran melihat menu makan Alex, sungguh kombinasi pahit dan manis yang unik. Namun, cocok sih.
“Kenapa? Mau?” tanya Alex.
“Nggak, gue cuma heran aja. Lo bisa kenyang makan kue doang?”
“Nggak kenyang, ntar gue pesen lagi.”
Aku tidak menanggapi, karena cacing di perutku meronta-ronta untuk segera memberi mereka dengan asupan carbonara ini. Karena kasihan, aku segera makan dengan lahap.
“Akira, Papa duluan ya,” ujar ayahku sambil menepuk pundakku. Buru-buru aku menelan makanku.
“Oh, iya Pa. Hati-hati.”
“Hati-hati om.”
Ayahku mengangguk sambil tersenyum, lantas meninggalkan kafe bersama kliennya. Tanpa sadar, aku menatap kepergiannya sambil melamun.
“Kir? Kalo lo udah gak mau, gue siap habisin,” kata Alex membuyarkan lamunanku.
“Woi!!! Jangan!!”
<>
Pada akhirnya, kami benar-benar sampai malam walau Ryan bilang tidak jadi menyusul. Tak apa, aku dan Alex puas bermain musik berdua. Hingga pukul delapan malam, kami memutuskan untuk pamit pada owner.
“Oh, sebentar,” Owner merogoh sakunya, dan memberikan dua amplop putih pada kami. “Tadi ada bapak-bapak nitip ini buat kalian. Pesanan makan siang kalian juga udah dibayar sama beliau.”
“Bokap lo Kir?” tanya Alex. Aku hanya terheran-heran sambil menerima amplop tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih pada owner, aku memberikan selembar amplop pada Alex sambil berjalan menuju parkiran. Alex pun mengintip isi amplop, sementara aku sibuk mengeluarkan motorku.
“Kir, kayaknya beneran dari bokap lo. Sampaikan makasih gue buat beliau ya,” kata Alex sambil naik ke boncengan motor.
“Emang isinya apaan?” tanyaku sembari menjalankan motor.
“Cuan Kir! Cuan! Kita dibayar bokap lo!”
Aku tak menjawab, pura-pura tak mendengar ucapan Alex karena bisingnya kendaraan malam ini. Namun sampai rumah, aku berniat menanyakannya langsung pada Papa.
<>
Usai mengantar Alex ke stasiun, aku langsung buru-buru pulang, menanyakan perihal amplop tadi. Namun ibuku bilang, ayah belum pulang dan kemungkinan akan pulang larut malam. Jadi yasudah, aku akan menunggu ayahku sambil nonton drakor. Menamatkan serial 2521 yang baru sempat aku tonton.
Jam menunjukan pukul 12 lewat 15 menit, kala aku mendengar pintu rumah terbuka. Ibuku sudah tidur, dan si Bang Sat bilang dia mau lembur pekerjaannya di kamar, jangan diganggu gugat.
“Akira? Belum tidur nak?” sapa Papaku.
“Belum, masih drakoran hehe,” jawabku sambil buru-buru mem-pause drakor yang tengah kutonton. “Kok baru pulang Pa?”
“Iya, tadi abis ketemu klien di kafe tempat kamu perform, kita langsung bahas kasus dan ngurus buat persidangan besok,” jawab Papa.
Aku mengangguk, lantas teringat hal yang ingin kutanyakan. Yang membuatku menunggu Papa sambil drakoran ini.
“Papa… tadi bayarin makanku sama Alex? Cuma mastiin aja.”
“Benar. Papa juga tadi titip sesuatu untukmu dan Alex ke si pemilik. Uudah kamu terima?”
“Udah, Pa. Alex bilang, makasih.”
“Dou itashimashite.”
“Papa— kenapa lakuin ini? Maksudku, Papa kan gak pernah dukung aku main musik, tapi kok sampe bayar kami? Apa ini peringatan untuk terakhir kali aku main musik?”
“Mikirmu kejauhan nak,” ujar ayahku sambil mengusap kepalaku. Lantas beliau pun duduk di sampingku.
“Enggak, Papa gak minta kamu buat berhenti. Sebaliknya, kamu boleh menekuni hobimu itu. Itu bayaran atas kerja kerasmu perform. Kalau soal makan, gak salah kan seorang ayah bayarin makan anaknya?”
“Iyasih…”
“Papa bukannya gak suka kamu jalanin hobi kamu. Cuma, Papa gak mau kamu terlalu terpaku sama musik sampai jadiin itu cita-citamu. Main musik boleh, tapi hanya sebagai selingan. Waktu kamu bayi, kamu lebih suka mainan yang ada suara-suaranya dibanding mobil-mobilan. Kamu juga lebih suka piano mainan dibanding robot mainan seperti kakakmu.”
“Papa cuma gak mau, kamu stres karena musik. Musik sesuatu yang kamu sukai, bukan sesuatu yang bikin kamu terpuruk karena kalah saing dengan musisi lainnya. Kamu mengerti maksud Papa kan?”
Aku terdiam mendengar ucapan ayahku. Memang selama ini, aku hanya melihat larangan ayah sebagai sesuatu yang jelek. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ayah tak pernah memarahiku saat aku membeli gitar, bass, dan bahkan piano mini untuk membuat arasemen lagu.
Artinya, Papa mendukungku?
Dan hanya melindungiku dari hobiku, karena pekerjaan sebagai musisi memang tak menjanjikan?
Agar aku tidak membenci hobiku di kemudian hari?
“Papa… makasih…” ujarku sambil memeluk ayahku. Aku tidak tahu harus berkata apalagi, intinya aku sangat berterima kasih pada ayahku.
Terima kasih sudah mendukungku.
“Tapi, aku dapet gen suka musik darimana ya? Kakak kan dapet gen jago basket dari Mama. Kalo kulihat-lihat, Papa gak ada bakat musik,” tanyaku, dengan gurauan di akhir kalimat.
“Hahaha, Papa emang gak bakat musik. Tapi kakekmu, ayahnya Papa, dulunya pemain shamisen handal lho.”
“Masa’?”
Ayahku mengangguk, “Kakekmu meninggal waktu kamu masih dua tahun, wajar kamu gak tahu.”
“Hehehe, iya juga sih.”
“Sana tidur, besok ada acara lagi sama Alex?”
“Ada Pa.”
“Yasudah, semangat. Sekarang istirahat.”
Aku mengangguk, lantas beranjak menuju kamarku.
Jakarta, 26 Desember 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
1 note · View note
akirakf · 8 months
Text
#019
Tumblr media
Seharusnya, hari ini UAS. Tapi, karena UAS mata kuliah pengantar hukum Indonesia dikerjakan take home karena harus membuat essay, jadinya hari ini aku menggabut di rumah.Kakakku sudah pergi kerja. Mbak Inah, ke pasar. Gak ada yang bisa diajak ngobrol atau sekadar kuganggu. Mau garap essay, masih mager pol. Toh, deadline-nya besok jam 23:59, jam favorit dosen.
Maka kuputuskan untuk merapikan laci meja belajarku, dan kutemukan buku diary jaman SMP-ku. Iseng, aku membacanya. Mau mengenang diriku di jaman jahiliyah.
Baru juga buka halaman pertama, aku sudah tersedak ludah sendiri. Pasalnya, aku disambut tulisan alay banget.
Kira ❤️ Elan
Itu. Tulisan yang ada di halaman paling depan. Jaman aku masih jadi bucin.
Elan adalah cinta pertamaku, sekaligus pacar pertama dan mantan pertamaku. Hebat banget ya, si Elan. Merebut semua tempat pertama di hatiku.
Kami dulu putus baik-baik kok. Hubungan kami, berapa lama ya? Mungkin sekitar satu tahun.
Aku mengenal Elan, saat MOS SMP. Saat itu, aku tertarik karena senyumnya yang manis. Dia adalah gadis mungil nan imut. Tingginya hanya sekitar 145 cm saat itu.
Namun selain keimutan dan senyum manisnya, ada lagi yang membuatku jatuh cinta pada Elan. Yaitu keberaniannya.
Saat itu, dia memarahi orang-orang yang menggangguku. Err, yes, aku pernah di-bully walau gak sampai parah.
Aku punya fobia terhadap kucing. Fobia itu terjadi saat aku masih TK di Kyoto, aku pernah dicakar kucing sampai nyaris buta. Nah, saat pindah ke Indonesia, teman-temanku menganggap fobiaku adalah lelucon. Mereka selalu sengaja mendekatkanku pada kucing.
Namun, Elan berbeda. Dia paham kalau fobiaku bukanlah hal spele, dan dia berani memarahi teman-teman yang sengaja mendekatkan kucing padaku.
Walau kecil dan terlihat anggun, namun dia cukup kuat.
Hal itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.
Namun saat awal-awal kami sekelas, aku bahkan tak berani menyapanya.
Yang mendekatkanku pada Elan, adalah Udin. Singkat cerita, aku bisa dekat dengan Elan melalui Udin. Dan, akhirnya aku berani menyatakan cinta pada Elan saat kelas 2 SMP.
Cinta monyet ala anak SMP itu, harus berakhir saat kelulusan SMP. Lulus SMP, alih-alih meneruskan ke SMA yang sama denganku, Elan justru pindah ke Korea Selatan. Bukan karena dia nge-fans BTS sampai harus pergi menyusul oppanya. Melainkan karena ibunya yang seorang diploma harus pindah tugas ke Korea Selatan. Elan hanya tinggal dengan ibunya setelah neneknya meninggal. Jadi, mau tak mau ia harus ikut ibunya ke Korea Selatan.
"Kiruy itu orang baik, ramah pula. Pasti ada yang lebih baik dari aku, yang bisa gantiin posisi aku jadi pacar Kiruy."
Itulah kalimat terakhir yang dilontarkan Elan, di hari perpisahan kami. Tunggu, kenapa aku jadi keingat mantanku ya? Bukan berarti aku gagal move on. Aku hanya... rindu kenangan kami berdua.
Lagipula, kami masih suka berkirim pesan kok, sekadar menanyakan kabar. Dan dari cerita terakhirnya, kini ia sudah kelas 3 SMA. Memang telat setahun, karena dia harus belajar bahsa Korea dulu sebelum mulai masuk sekolah. Tidak sepertiku, yang sejak kecil sudah dilatih memakai bahasa Indonesia dan Jepang.
Kubuka lembar demi lembar diary jaman jahiliyahku, dan aku semakin teringat atas kebaikan Elan selama 3 tahun aku mengenalnya.
Elan, semoga kau selalu sehat di Korea, ya. Semoga perpisahan tempo hari, bukanlah pemutus hubungan pertemanan kita.
Jakarta, 14 Desember 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#018
Tumblr media
Huaaaa bosan!! Entah kenapa, selasa ini semua dosen kompak mengadakan kelas asinkronus, dimana kami hanya mengerjakan tugas di rumah dan tidak perlu datang ke kampus. Aku kan, jadi bingung mau ngapain di rumah.
Kalau kau bilang 'ya kerjain tugasnya dong' oh, enggak dulu ya bestie. Selain ada dosen yang belum ngasih tugas, aku belum ada ide buat menulis essay tentang pengantar ilmu hukum. Masih mampet otakku, chuy.
Maka aku keluar kamar, dan pergi ke dapur. Mama dan Papa pasti sudah berangkat. Kalau si Bang Sat, kayaknya sih masih tidur. Tadi kamarnya masih tutupan sih. Dan aku baru ingat, hari ini Mbak Inah--asisten rumah tangga kami--sedang pulang kampung. Makanya, kulihat ada tumpukan cucian piring di wastafel, dan juga dua piring nasi goreng di atas meja makan. Sepertinya, Mama habis masak buru-buru pergi ke kampus untuk melaksanakan tugasnya sebagai dosen killer.
Maka sebagai anak yang baik, aku langsung membereskan cucian piring usai menyantap nasi goreng milikku. Eits, tak cuma cuci piring. Dapur dan meja makan pun aku bersihkan.
Dan, jeng jeng! Dapur sudah bersih. Siap untuk kupakai eksperimen nanti siang.
Tumblr media
Hmmm, tapi kok kayaknya bersih-bersih dapur aja nanggung ya. Maka aku langsung menyetel musik keras-keras, mengambil sapu dan berniat untuk membersihkan setiap sudut rumah Fujimine.
Lagu yang diputar, agar semangat ngebabu.
Saat anthem ngebabu mulai terdengar di penjuru rumah, aku mulai membereskan ruang tamu lebih dulu. Tidak begitu berantakan sih, hanya ada bekas koran yang tadi pagi dibaca Papa sambil ngopi. Iya, cangkir kopi kosongnya masih di meja.
"Chan chan~ ai chiki chiki bang bang~" aku bernyanyi mengikuti irama, sambil membereskan sisa ritual paginya Papa itu.
Dan, chan chan! Ruang tamu kini sudah bersih!
Tumblr media
Pindah ke ruang keluarga, lagu pun berganti. Untung, ruang tengah tidak begitu berantakan. Yah, Mama itu orangnya rapi banget sih.
"Kolak kolak kolak sop fanta sprit~ Kolak kolak kolak es plastik~ Fanta spirt fanta sprit es plastik es plastik~"
Sambil bersenandung ngawur, kubereskan apa yang bisa kubereskan di ruang keluarga ini.
Tumblr media
Oke, minus kamar mandi, lantai satu beres. Bersihin kamar mandi tugasnya Kakak aja. Kalau kamar orangtua serta ruang kerja mereka di lantai satu, tanggung jawab mereka aja. Kalau ada barang hilang, aku gak mau disalahkan.
Anthem pun berganti.
"Kudengar gosip gosip tentang dirimu~ Oh aku tahu itu hanya bohong~"
Sambil bernyanyi dengan terjemahan Indonesia sok tahu, aku mulai membereskan ruangan favoritku dan Kakak di lantai dua. Iya, ruang nonton ala-ala.
Tumblr media
"Dakara rumor rumor oh make a rumor~ Boku wa gak percaya~"
Dilanjut dengan membereskan spot favoritku, yang masih banyak buku berserakan karena semalam aku malas membereskan.
Tumblr media
Sip, spot favorit di lantai dua udah, sekarang tinggal membereskan mushola rumah.
Iya bestie, rumahku ada musholanya. Cuma ruangan seukuran kamar tidur yang memang khusus ibadah kok.
Karena mau beresin mushola, aku mengganti anthemku.
Kan, Kakakku habis sholat subuh, sarungnya gak dilipat lagi. Jadinya aku, yang membereskannya. Tentu saja sambil nyanyi.
"Adaaa sajadah panjang membentanggg~"
Dan mushola pun kembali rapi!
Tumblr media
Oke, kini spot terakhir yang harus kubersihkan. Apalagi kalau bukan kamarku sendiri. Kamar kakak juga bodo amat lah, orangnya belum bangun. Padahal sudah jam 9 pagi.
Anthemnya pun bisa pas, lagu kesukaanku!
"Eungdaphara over! Junbi hara over~!"
Sambil bernyanyi, aku mulai melipat selimutku, serta membereskan bantalku yang rada bau iler. Nanti deh, aku ganti sarung bantalnya.
Kasur beres, kini ke spot yang paling berantakan di kamarku. Apalagi kalau bukan meja belajar. Buku materi dimana-mana, kertas modul juga. Belum lagi kertas coretan lirik laguku.
"Urineun jijijik yeogineun jijijik NO CONTROL~"
"Dek, kok pagi-pagi kamu udah karaokean?" tanya kakakku, yang entah sejak kapan sudah di depan kamarku. Apa dia kebangun karena aku berisik karaokean sambil bersih-bersih?
"Produktif dong! Karaoke sambil ngebabu. Sana sarapan, piringnya mau gue cuci!" usirku.
"Lah tumben lo pagi-pagi ngebabu?"
"Gak usah komen, sana makan!" omelku. Kak Satoshi pun tidak membantah, dan langsung menghilang begitu saja.
Dengan beresnya meja belajarku, maka kegiatan bersih-bersihku selesai!
Tumblr media
Minus cangkir kopinya Papa sama piring nasi gorengnya Kak Satoshi sih.
Jakarta, 29 November 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#017
Tumblr media
"Kira, kamu mau kemana, dek?” tanya ibuku, saat aku baru saja menuruni tangga di rumah. Ruang keluarga di rumahku memang dekat dengan tangga menuju lantai dua. Wajar saja, saat aku turun kedua orang tuaku tengah bersantai sambil menonton televisi.
“Makan-makan, Ma. Sama Udin, Ucup, Karen. Mumpung Udin sama Ucup di Jakarta,” jawabku singkat. “Aku baru mau pamit ke Mama sama Papa.”
“Oh ya, ngerayain ultahmu kemarin, ya?” tanya ibu. Aku hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.
“Gak bisa besok aja, dek? Hari ini makan-makan sama keluarga di rumah aja.”
“Maaf Ma… udah janji dari semalem.”
“Biarkan Akira pergi dengan temannya,” ayahku yang daritadi diam saja, akhirnya angkat bicara.
“Tapi Pa—”
“Besok kan masih hari minggu, jadi dengan kita besok aja. Satoshi hari ini juga gak di rumah kan?”
Ibuku mengangguk, “iya, Toshi bilang mau main basket sama temennya.”
“Yasudah, Akira juga biar bersenang-senang sama temannya.”
Mau tak mau, ibuku pun setuju. Setelah berpamitan pada kedua orang tuaku, aku pun langsung menjalankan motor beat kesayanganku menuju restoran tempat janjian dengan kawan-kawanku.
“Pulangnya jangan kemaleman dek,” pesan ibuku sebelum pergi.
Tapi, kalau sudah berkumpul dengan teman-teman, mana bisa aku tidak pulang terlalu larut. Lagipula, ini malam minggu. Bebas kan, aku mau pulang jam berapa?
<>
Aku sampai di rumah pukul 23:45, lima belas menit sebelum berganti hari. Suasana rumahku sudah gelap dan sepi, hanya lampu teras dan garasi saja yang masih menyala. Aku membuka tas kecilku, mencari-cari sesuatu di dalamnya. Namun, sesuatu yang kucari, tak kunjung kutemukan.
“Oh sheet, gue gak bawa kunci rumah,” gerutuku pada diri sendiri. Terpaksa, aku menelepon Bang Sat, kakakku, untuk dibukakan pintu.
Namun, tidak ada jawaban. Kakakku ini punya kebiasaan yang jelek. Kalau sudah tidur, sangat sulit untuk dibangunkan. Bahkan ada gempa bumi pun, sepertinya dia akan tetap tidur pulas.
Sambil mendengus, aku membuka pintu rumah, dan…
Ceklek….
Terbuka.
Pintu tidak dikunci.
Khawatir ada apa-apa, aku pun pelan-pelan masuk ke dalam rumah.
“Akira? Okaerinasai.”
Sebuah suara menyapaku, diiringi dengan lampu ruang tamu yang menyala.
“Papa… belum tidur?” tanyaku heran.
“Belum. Papa pikir, kamu gak bawa kunci rumah. Jadi Papa tunggu kamu.”
Aku terdiam mendengar ucapan ayah. Kuperhatikan wajahnya yang tampak lelah dan mengantuk, namun masih memaksakan diri untuk menungguku pulang. Pria yang kini berusia 55 tahun, seharusnya sudah beristirahat, kan?
“Kenapa Papa repot-repot nunggu aku?” tanyaku heran.
“Mana tega Papa biarin kamu tidur di luar kalo kamu gak bawa kunci, nak?”
Aku terdiam mendengar ucapan ayahku. Sejujurnya, aku memang tidak mengenal ayahku. Sosok ayah yang dipikiranku adalah pria yang tegas, galak, dingin, dan berbagai imej jelek lainnya. Orang yang selalu memaksakan kehendaknya padaku.
Dan menjadikanku investasinya, untuk menjadi pewaris firma hukum yang beliau kelola.
Namun, siapa sangka ayahku memiliki hati yang hangat seperti ini? Yang rela menunggu anak bungsunya pulang ke rumah?
Atau, ayahku memang sosok tsundere yang jarang menunjukan kasih sayangnya?
“T-tadaima,” ujarku, sambil memeluk ayah. “Selamat hari ayah, omong-omong.”
“Akira, kamu gak mabuk, kan? Kamu memang sudah 19 tahun, tapi—”
“—aku gak mabuk!” potongku cepat. “Pokoknya, aku sayang Papa.”
Bisa kulihat wajah ayahku yang sedikit salah tingkah, “yasudah, sana tidur. Sudah larut malam!”
Maka aku bergegas menuju kamarku, lalu pergi ke alam mimpi.
Jakarta, 12 November 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#016
Tumblr media
Waktu usiaku 16 tahun, aku pernah bermimpi bertemu ibuku yang baru berusia 16 tahun. Kira-kira, ibuku saat seumuranku seperti apa ya?
25 Oktober 2019
“Kira! Dari mana aja kamu?!”
Suara lantang ibuku menyambut, kala aku baru saja membuka pintu rumahku. Kukira ibuku sudah tidur, sebab rumah sudah gelap. Maklum saja, ini sudah pukul setengah dua belas malam.
“Errr— biasa kok, Ma. Gitaran di kafe,” jawabku.
“Mentang-mentang Papamu lagi pergi ke luar kota, kamu bisa pulang hampir tengah malam gini ya? Bagus banget! Kamu pikir, Mama gak akan marah, gitu?!”
Sarkasan ibuku, sukses membuatku diam tak berkutik. Ayahku memang galak, dan dengan mudah main tangan jika aku melakukan kesalahan. Namun, ibuku dengan kata-kata sarkasnya justru yang membuatku takut.
“Gak gini, Ma—”
Justru, aku lebih takut kalo Mama yang marah, lanjutku dalam hati.
“Trus gimana?”
“Aku kan pulang telat baru kali ini—”
“—ya itu! Karena kamu tahu hari ini Papamu lagi menangani kasus di luar kota, kamu merasa bebas hari ini, kan? Chat Mama gak dibalas! Ditelepon hp-mu gak aktif! Kamu nge-club ya?!”
Tuduhan ibuku, sukses membuatku sesak. Hatiku sakit. Kenapa ibu bisa-bisanya menuduh aku melakukan hal yang jelas saja tak akan kulakukan? Apalagi, aku masih 16 tahun.
“Enggak, Ma! Beneran aku cuma nge-busking di kafe!” sanggahku dengan nada tinggi. “Hpku mati, Ma. Aku lupa bawa charger sama power bank, makanya gak bisa ngabarin Mama kalo pulang telat.”
“Makanya hp tuh jangan dipake game aja! Gunakan hp sesuai fungsinya, yaitu buat komunikasi!” suara ibuku pun tak kalah meninggi.
“Lagian Mama harusnya tahu, dong, kalo jumat itu jadwalku nge-busking di kafe. Biasanya juga gini kan?”
“Kira! Kok kamu jadi ngebantah Mama gini, sih?! Biasanya jam 10 kamu udah di rumah. Ini udah telat satu setengah jam dari jam pulangmu. Hp-mu gak aktif, gimana Mama gak mikir aneh-aneh?”
Oke, cukup. Aku tidak ingin berdebat dengan ibuku lagi. Maka sambil menghela napas panjang, aku beranjak menaiki tangga, menuju ke kamarku di lantai dua.
“Kira! Makan mandi dulu, baru tidur!” seru ibuku untuk yang terakhir kali, sebelum ibu masuk ke kamarnya.
Usai mandi, aku langsung membuka tab-ku dan menonton ulang drama kesukaanku, Reply 1988. Tak kuindahkan pesan ibuku untuk makan dulu, karena aku sudah kenyang dengan omelannya.
“Padahal biasanya juga udah tidur jam segitu. Mama lagi kenapa sih?” gerutuku sambil rebahan. Daan tanpa kusadari, aku pun tertidur saat drama yang kutonton masih setengah jalan.
Dalam tidurku, aku bermimpi…
Aku berada di situasi kota yang cukup asing. Orang-orang yang berlalu lalang memakai style ala 80-an, kendaraan bermotor pun tidak banyak.
Jangan-jangan…
Aku pun segera mengecek style pakaianku. Aku, tetap memakai kaos biru, jeans hitam, dan lengkap dengan jaket hitam kesayanganku. Style yang biasa saja dari jaman ke jaman. Dan aku pun merogoh saku celanaku. Mendapati aku tetap membawa ponselku, aku menghembuskan napas lega.
Aku pun mengecek ponselku, langsung terkejut dibuatnya. Bukan, bukan karena baterainya yang full. Bukan juga karena tidak ada sinyal disini. Melainkan melihat tanggal yang tertera di layar ponselku.
25 Oktober 1988
Apa benar— aku sedang di tahun 1988? Apa karena sebelum tidur, aku menonton drama Reply 1988?
Berarti, aku sedang berada di Ssangmundong? Nama gang yang menjadi latar tempat drama kesukaanku ini?
Namun, sepanjang aku menyusuri jalanan kota asing di tahun 1988 ini, aku menyadari kalau aku bukan berada di Ssangmundong, tetapi aku berada di Indonesia. Terlihat dari papan iklan yang berbahasa Indonesia, lagu-lagu Indo tahun 80-an yang mengalun dari radio yang diputar di warung kopi saat aku lewat, dan juga percakapan orang-orang yang sekilas kudengar. Jelas sekali, ini bukan di Korea.
Tapi, aku ada dimana?
Buagh!
Sedang serius berpikir, tiba-tiba saja ada bola basket yang menghantamku dari samping, hingga aku pun terjatuh dibuatnya.
Kuat sekali. Siapa yang melempar, ya?
“Maaf!!” ujar seorang gadis, sambil mengulurkan tangannya padaku. Dengan kepala yang masih sedikit pusing, kuterima uluran tangan darinya. “Kamu ndak papa?”
Pelan-pelan, kuperhatikan wajah gadis itu. Rambutnya yang panjang, diikat rapi di belakang. Bentuk matanya, bibirnya yang mungil, seperti tidak asing.
Namun, dimana aku pernah melihatnya?
“Arin!!!” kumpulan anak laki-laki dari arah lapangan basket memanggil namanya. Gadis itu pun menoleh ke sumber suara, lalu melambaikan tangannya.
“Ngko sek yo, ta selesaiin permainane ndisik. Buat permintaan maaf, ngko ta traktir es teh!”
(Nanti dulu ya, aku selesaikan permainan dulu. Buat permintaan maaf, nanti aku traktir es teh!)
Usai berpamitan padaku, gadis itu kembali ke lapangan basket dan bermain bersama teman-temannya. Masih setengah bingung, aku pun memperhatikan gadis itu. Ia satu-satunya perempuan di timnya, dan melawan tim yang semuanya laki-laki. Namun, gadis itu bermain dengan sangat lincah, hingga ia berhasil mencetak skor berkali-kali.
Kalau tidak salah, tadi namanya Arin? Dan dengan logat jawanya, jangan-jangan—?
Nama ibuku, Arinda Kusumawardhani. Ibuku lahir dan besar di Surabaya. Walau sekarang logat jawanya sudah tidak kental efek lama tinggal di Kyoto dan Jakarta, tapi melihat bentuk mata dan bibir mungilnya tadi, aku semakin yakin kalau gadis itu adalah ibuku di masa lalu.
Kalau ini tahun 1988, berarti usia ibuku 16 tahun, kalau tidak salah. Seusia denganku sekarang.
Karena keasikan mencocokan gadis yang tengah bermain basket dengan ibuku di masa depan, tak terasa permainan basket mereka selesai. Dan tentu saja, tim gadis yang diduga adalah ibuku di masa lalu ini yang menang.
“Mas!” terduga ibuku ini menghampiriku, dengan tubuh yang dibasahi keringat. Aku masih belum bisa memercayai kalau gadis ini adalah ibuku. Habisnya, gadis ini sangat tomboy, sementara ibuku yang kutahu, terlihat sangat feminim dan anggun.
“Oh— selamat! Kamu menang!!” ujarku terbata-bata, lalu tertawa kecil.
“Hehehe, makasih Mas!” si terduga ibuku tersenyum. Senyumnya, memang benar senyum ibuku. Senyum cerah yang menenangkan. “Yuk, ke warung. Aku janji mau traktir es teh tho?”
Jemari lentik milik gadis itu pun menarik tanganku tanpa ragu. Menuntunku melangkah menuju warung yang dimaksud.
“Bu, es teh dua!" serunya pada si ibu penjaga warung. Kami pun duduk di kursi panjang depan warung, sambil menunggu es teh sedang dibuat.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanyaku memastikan, siapa tahu dia benar ibuku, kan?
“Arinda, biasa dipanggil Arin, hehehe,” jawabnya.
Kan, benar.
Ini ibuku, waktu usianya seusia denganku. Aku masih sedikit tidak percaya, kalau ibuku dulu adalah gadis yang tomboy dan jago bermain basket. Kukira hanya otaknya yang cerdas karena bisa sampai tamat S3 di Kyoto Daigaku. Ternyata kemampuan basket ibuku tidak bisa diremehkan.
Pantas saja, kakakku sangat jago main basket. Ada gen jago basket dari ibu, rupanya. Pikirku.
“Kamu anak baru, ya? Aku baru pertama kali lihat kamu disini,” tanya ibuku.
Mampus, jawab apa ya? Kalo aku jawab, ‘aku anakmu, dari masa depan,’ bakal percaya gak, ya?
Belum sempat aku memikirkan jawaban lain, es teh pesanan kami pun sudah tersedia di meja kayu. Dengan lahap, ibuku meminum semuanya hingga isi gelas tinggal setengahnya.
Benar-benar tidak seperti ibuku yang anggun. Pepatah manusia pasti berubah, ternyata benar adanya.
“Fyuhhh! Es teh abis main basket itu emang terbaik!” ujar ibuku. Ia pun menoleh ke arahku. “Kok kamu ndak minum?”
“Ehh— a-aku minum!!” sedikit salah tingkah, buru-buru aku meminumnya. Es teh tahun 88 enak juga, pikirku.
“Oh, kamu disini tho? Dicariin daritadi!”
Seorang gadis pun tiba-tiba datang menghampiri kami. Kalau dilihat-lihat, perawakannya seperti seorang mahasiswi. Terlihat dewasa, dan ada aura sendiri. Namun, saat aku menoleh ke arah ibuku, entah kenapa wajah ibuku mendadak pucat.
“Eh— ada Mbak Rina… Mau minum, Mbak—?” ujar ibuku sambil menyodorkan es tehnya yang tinggal setengah itu.
Mbak Rina? Kakaknya ibuku? Yang artinya, ibunya Mbak Hafsa?
“Pulang. Ini udah mau maghrib. Dicariin sama Ibuk, kamu malah pacaran disini,” omel kakaknya ibuku.
“Es tehku belum habis, Mbak.”
“Yaudah habisin, abis itu pulang.”
“Mbak pulang duluan aja.”
“Nggak, Mbak tungguin. Takutnya kamu kabur lagi.”
Ibuku hanya nyengir dibuatnya, lalu menghabiskan es tehnya yang tinggal setengah itu. Sementara aku, hanya tersenyum melihat perdebatan kakak adik ini.
“Aku pulang duluan ya!” pamit ibuku. Usai membayar es teh kami, ia pun langsung pergi bersama kakaknya meninggalkan warung.
“Cah lanang kui sopo?” (Anak cowok itu siapa?)
“Mboh,” (Gak tahu)
“Lha kok mboh?”
“Ya aku emang ndak tahu. Anak pindahan kali.”
Samar-samar kudengar percakapan kakak adik yang sedang menuju rumah itu. Aku hanya terdiam, bingung harus pergi kemana. Namun, aku sedikit penasaran dengan rumah eyang di tahun ini. Apa rumah eyang sejak dulu tak ada perubahan?
Maka, setelah kedua kakak adik itu agak jauh, aku pun perlahan-lahan mengikuti mereka. Sambil tetap menjaga jarak, agar tidak kehilangan jejak maupun ketahuan oleh keduanya.
Rumah eyang masih sama, masih asri dan terlihat menenangkan. Halaman luas tempatku bermain saat berkunjung itu masih sama. Masih beralaskan rumput yang dipangkas rapi, dengan deretan bunga mawar sebagai pagarnya.
Yang tak sama adalah, pemandangan di depan pintu rumah.
Kulihat eyang putri yang tengah memarahi ibuku, lengkap dengan sapu di tangannya.
“Anak gadis baru pulang jam segini! Mana bau keringat! Kamu main basket sama cowok-cowok lagi ya?”
Pemandangan itu— persis seperti pemandangan di rumahku saat aku pulang tadi. Bedanya, ibuku tidak membawa sapu sebagai senjata.
Aku hanya terkikik geli, lalu memutuskan untuk meninggalkan area rumah eyang. Lucu juga melihat ibuku dimarahi seperti itu.
<>
Aku hanya melamun di pos ronda. Suasana Surabaya tahun 1988 dengan tahun 2019 rasanya berbeda sekali. Padahal ini masih jam 7 malam, tapi suasana rasanya sudah seperti jam 10 keatas. Tak ada tukang nasi goreng atau tukang sate mangkal di pos ini. Biasanya kalau aku ke rumah eyang, pos ronda ini masih ramai. Lalu, gunanya pos ronda ini untuk apa ya kalau tidak dipakai untuk ngeronda?
“Lho? Kamu gak pulang?” suara seorang perempuan sukses membuyarkan lamunanku. Sosok itu pun duduk di sampingku sebelum kupersilakan.
“Lho? Ma— eh, Arin? Kamu sendiri kenapa kesini? Nanti ibu kamu marah?” HAMPIR. Hampir saja aku memanggilnya Mama.
“Huft, justru itu! Aku lagi marah sama Ibuk sama Bapak, makanya aku kesini!” ibuku menghembuskan nafas kesal.
“Berantem kenapa?” tanyaku penasaran. Kupikir, ibuku dulunya anak yang baik dan penurut. Ternyata ibu pernah ada di fase pemberontak juga.
Namun alih-alih menjawab, ibuku justru menatapku heran dan penuh kecurigaan. Seolah-olah aku ini adalah mata-mata yang disewa oleh eyang.
“Aku ndak tahu siapa kamu, jadi aku ndak bisa ceritain. Kecuali, kalo kamu ngasih tahu. Minimal, namamu.”
“Nama aja, kan? Namaku Akira.”
“Akira? Nama yang unik, kayak di anime-anime gitu.”
‘Bukannya kamu sama si Bos Fujimine yang kasih aku nama begini?’ Protesku dalam hati. “Begitulah,” akhirnya jawaban singkat itu yang kuberi.
“Asalmu dari?”
“Jakarta.”
“Kok bisa kesini?”
“Kalo kuceritain, kamu gak akan percaya, sih,” jawabku pendek.
“Emangnya kenapa?”
“Karena kedengerannya gak mungkin banget.”
“Huft, yaudah terserah,” ibuku akhirnya pasrah. “Aku ketahuan nyimpen buku belajar bahasa Jepang, trus dimarahin. Kata Bapak, ngapain aku belajar bahasa penjajah? Buang-buang waktu aja. Abis itu, buku sama komik-komikku disita Ibuk. Aku kesel, jadi cari udara segar. Trus ketemu kamu.”
Aku sedikit terkejut mendengar cerita ibu, yang baru pertama kali kuketahui. Ibuku bercerita kalau dia dapat beasiswa S2 di Jepang, lalu bertemu ayahku dan menikah satu tahun kemudian. Kupikir, eyangku menyetujui kalau ibuku bersekolah di Jepang. Ternyata sempat ditentang ya? Ibu sama sekali tidak pernah menceritakan hal ini.
“Akira? Kok kamu jadi bengong?”
“Oh— gapapa kok!! Cuma agak heran—”
“Heran kenapa? Karena aku suka anime dan hal-hal yang berbau Jepang?”
“Enggak, bukan itu.”
“Terus?”
“Gak apa!! Nanti, di masa depan, kamu bisa kuliah di Jepang kok!” jawabku pada akhirnya. “Semangat ya!!”
“Ahahahaha!! Kuliah di Jepang itu cuma mimpi!!” sahut ibuku sambil tertawa terbahak-bahak. “Gak akan jadi kenyataan, tapi makasih semangatnya!”
“Jadi kenyataan. Kamu dapet beasiswa kuliah S2 di Jepang. Bahkan kamu bisa sampe S3 di Jepang.”
“Kok kamu bisa seyakin itu sih?”
“Karena… aku anakmu, dari masa depan,” akhirnya kubilang juga, karena tidak tahan menahan diri terus. Toh, ini mimpi. Tak akan mengubah apapun di masa depan.
“Anakku— ANAKKU?!” ekspresi terkejutnya ibuku membuatku tertawa. Ibu pun mendekatkan wajahnya pada wajahku, mengamati setiap detail dari wajahku.
“Matamu, sama bibirmu emang mirip aku sih—” gumamnya sambil mengusap pipiku.
“Mirip. Eyang bilang, aku ini versi cowoknya Mama,” kataku sambil terkikik.
“Eyang— orang tuaku ya berarti? Trus, kamu manggil aku mama?”
Aku hanya mengangguk.
“Aku jadi punya banyak pertanyaan buat kamu.”
“Apa itu?”
“Kok kamu bisa dateng dari masa depan?”
“Kalo ini, aku juga gak tahu.”
“Trus, namamu Akira? Apa saking sukanya aku sama Jepang, aku namain anakku pake nama Jepang? Trus nama lengkapmu siapa?”
“Karena papaku, alias suami mama orang Jepang. Namaku Akira Kusumawardhana Fujimine. Kusumawardhana dari Kusumawardhani-nya nama mama, Fujimine marganya papa.”
“Hah?! Aku nikah sama orang Jepang?! Kok bisa?! Restunya gimana tuh?”
“Aku gak tahu detailnya. Cuma yang kutahu, Papa mualaf waktu mau menikah.”
“Ohh gitu. Hebat juga ya aku, bisa kuliah sampe ke Jepang, trus punya suami orang Jepang.”
“Iya! Mama itu wanita yang hebat!!”
“Kok jadi malu ya, dipuji anak sendiri,” wajah ibuku yang tersipu salah tingkah itu, mirip aku. “Oh ya? Kamu lahir tahun? Anakku cuma kamu, atau ada lagi?”
“Anak Mama cuma 2. Yang sulung cowok, lahir tahun 1997. Aku yang kedua alias yang bungsu, lahir tahun 2003. Tepatnya, aku lahir pas Mama lagi sibuk-sibuknya kuliah S3 di Kyoto.”
“Oh, anakku cowok semua. Pasti karena aku sering main sama cowok ya?”
Aku hanya tertawa kecil mendengar jawaban itu. Apa hubungannya sirkel pertemanan dengan jenis kelamin anak ya. Aku pun menjawab semua hal yang ingin diketahui ibuku di masa depan. Sebaliknya, aku jadi mengetahui masa lalu ibuku yang tidak pernah kuketahui.
Aku jadi merasa bersalah karena bertengkar dengan ibu saat sebelum tidur.
“Kamu— ada foto keluarga kita gak? Aku penasaran, saat dewasa aku kayak apa ya? Masih tomboy kah?”
Untuk menjawab pertanyaan ibuku, aku pun mengeluarkan ponsel dari saku jakteku. Menunjukan foto saat keluargaku mudik ke Kyoto saat festival Obon bulan lalu.
“Yaampun… perempuan cantik ini aku? Suamiku ganteng juga ya. Anak-anakku lebih ganteng,” ibuku berceloteh sambil tersenyum sendiri. Selama lima menit, ibu hanya memandangi foto di ponselku, lalu menatap ponselku dengan tatapan heran.
“Oh ya, ngomong-ngomong ini apaan? Bentuknya kayak walkman, tapi tipis. Trus ada foto juga. Di belakangnya, bulat-bulat ini apa?”
Aku tertawa lebih dulu, sebelum menjelaskan, “ini namanya ponsel, Ma. Alias telepon seluler. Bisa buat nelpon, nulis surat, dengerin lagu, dan yang bulet ini kamera. Jadi bisa buat motret foto.”
“Kamera, walkman, dan telepon jadi satu di benda ini? Masa depan canggih banget!! Pasti harganya mahal?”
“Lumayan. Tapi karena kerja keras Mama sama Papa, kalian bisa beliin benda ini buat aku sama Kakak,” jawabku.
Ibuku tersenyum, lalu mengembalikan ponselku, “Akira… makasih banyak ya. Makasih udah datang dari masa depan. Boleh aku peluk?”
Tanpa menjawab, lebih dulu aku memeluk tubuh mungil ibu waktu muda. Kurus, lebih kurus dari tubuh ibuku di masa depan yang cenderung berisi, namun tetap hangat. Pelukan dari tubuh yang sangat aku sukai sejak lahir.
“Akira… makasih… Makasih udah tumbuh dengan sehat begini. Makasih udah jadi anakku…”
“Aku juga Ma, maaf ya. Sebelum kesini, aku berantem sama Mama karena pulang hampir jam 12 malam. Maaf ya Ma…”
Bisa kudengar, ibuku tertawa kecil di antara pelukan kami, “ternyata kamu hobi pulang telat juga ya, sama kayak aku. Apa ini gen ibu dan anak?”
Mau tak mau aku tertawa dibuatnya.
Aku terbangun sebelum adzan subuh, dengan mata sembab. Mimpi itu… seperti nyata. Sukses membuat emosiku terkuras. Tenggorokanku pun rasanya kering karenanya.
Maka aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Kulihat ibuku sudah sibuk di dapur pagi-pagi begini. Padahal ini hari sabtu, seharusnya ibu libur.
“Ma…” kupeluk tubuh ibuku dari belakang, lalu membenamkan wajah di punggungnya. Rambut panjangnya yang diurai sepinggang pun menyapa wajahku. Namun aku tak peduli. “Kira minta maaf ya Ma. Kira janji, selalu ngabarin Mama kalo mau pulang telat.”
“Adek mimpi apa semalem?” tanya ibuku keheranan, lalu mengusap tanganku dengan lembut. “Jangan diulangi lagi ya dek? Kamu mau susu apa teh?”
“Susu.”
“Iya, sana bangunin kakakmu! Kalian sholat dulu!”
Kulepas pelukanku, lalu mengecup pipi ibuku sebelum beranjak ke kamarnya Kakak.
Jakarta, 25 Oktober 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#015
Tumblr media
“Chanchan! Ai chiki chiki bang bang!”
Sambil menyetir, aku melantunkan lagu Chiki Chiki Bang Bang yang kuputar di music player mobilnya kakak. Tentu saja, aku tidak sendirian disini. Bersama Ucup, Udin, dan Karen, kami sedang dalam perjalanan menuju Bandung. Apakah orangtuaku mengizinkan? Yap, tentu saja. Toh, kami sedang liburan sebelum masuk kuliah. Dan untungnya, aku sudah punya SIM, jadi bisa menghemat ongkos liburan kami.
“Jajang! Ai chiki chiki bambang!” si Ucup bernyanyi dengan lirik yang asal-asalan, membuatku tertawa kecil.
“Nyanyi liriknya yang bener dong, Cup!” protes Karen.
“Lah itu udah bener?”
“Mana ada bambang!”
“Liriknya begitu kok!”
“Dah lah, daripada jadi bahan debat, mending lagunya gue ganti.” Udin, yang duduk di sampingku, langsung menekan tombol next pada music player.
“Bentar, biar gue yang ganti.” Ucup pun mengambil ponselku, memilah-milah lagu yang hendak diputarnya.
Yup, music player ini terhubung dengan ponselku, sehingga semua lagu yang diputar di dalam mobil berasal dari ponselku. Tak banyak komentar kala teman-temanku mempermasalahkan lagu, karena fokusku terpusat pada tol Cipularang yang cukup damai Jumat pagi ini. Tidak ramai, tidak juga sepi.
Kipas angin kesedot sampah
Oh kipas angin kesedot sampah
“UCUP!!!” mengetahui lagu yang diputar adalah Kipas Angin Kesedot Sampah, alias lagu favoritnya Ucup, Karen langsung naik darah.
“Kenapa? Lagunya bagus tahu!” protes Ucup.
“Bagus darimana?! Liriknya aneh!”
Ucup dan Karen sibuk berdebat, sementara Udin langsung mengambil ponselku.
“Dahlah, emang payah kalo Ucup yang milih lagunya,” kata Udin.
“Din, tolong puterin AKB48 dong,” pintaku.
“Yang mana?”
“Kimi no koto ga suki dakara.”
Udin langsung mencari lagu itu, dan tak sampai satu menit lagu itu pun berkumandang di mobilku.
“Kimi ga shiawase dattara, kono jikan ga tsudzuku you ni~” aku mulai melantunkan lagu tersebut, sambil tetap menyetir agar tidak mengantuk.
“Zutto zutto zutto inotte iru yo~” Ucup pun ikut bernyanyi, setelah mendapat satu jitakan dari Karen.
“Kaze ni fukaretemo, boku ga sono hana wo mamoru~”
Dan kami berempat pun langsung menyanyikan lagu ini. Kan, memang AKB48 itu menyatukan kami.
<>
“Ruy,” panggil Karen sambil menepuk pundakku.
“Kenapa, Ren?”
“Kalo ada rest area, bisa mampir dulu? Gue kebelet pipis.”
Mendengar ucapan Karen, aku langsung menepikan mobil ke bahu jalan.
“Kok berhenti?” tanya Karen heran.
“Pipis disana aja, semak-semak,” kataku polos. Ucup dan Udin pun langsung tertawa dibuatnya.
“Heh!! Emangnya gue cowok apa bisa pipis di semak-semak?!” protes Karen sambil memukul bahuku.
“Lah kan elo emang cowok,” kata Udin polos, yang langsung mendpat jitakan dari Karen. Aku hanya tertawa kecil, lantas kembali mengemudi menuju rest area terdekat.
Untungnya, tidak jauh. Tidak butuh waktu 10 menit bagi kami untuk menemukan rest area tersebut. Karen pun buru-buru turun dari mobil, sementara aku membuka ponselku untuk mengecek notifikasi. Ucup dan Udin sepertinya juga pergi ke toilet.
Hmm, sepertinya aku juga harus ke toilet, agar nanti tidak mampir-mampir lagi.
<>
Tepat pukul 12 siang, kami keluar tol dan sudah tiba di Bandung. Suasana kota Bandung di senin pagi ini, tidak begitu beda jauh dengan Jakarta. Hanya saja, kemacetan di kota kembang tidaklah separah di ibu kota negara. Cuacanya pun, sama-sama terik.
“Mending kita makan siang dulu,” kata Udin. “Mau coba ke Delapan Padi gak? Katanya disana enak, murah, trus tempatnya instagramable. Karen pasti suka.”
“Eh, boleh tuh! Gue mau foto-foto!” sahut Karen antusias.
“Tunjukin aja jalannya, gue kan buta arah daerah Bandung,” jawabku. Semenjak kakakku lulus dari ITB, aku memang sudah jarang main ke Bandung.
Maka dengan instruksi dari Udin, aku menyetir ke arah tempat yang dimaksud. Tempat parkir yang cukup luas, dan dalamnya pun instagramable seperti kata Udin.
Puas makan dan berfoto-foto, kami pun melanjutkan perjalanan ke gunung Tangkuban Perahu. Berbeda dengan di Bandung kota, udara disini cukup sejuk. Tak lupa, kami mengambil banyak foto, makan bakso, sebelum akhirnya mengakhiri perjalanan kami dengan ke rumah neneknya Udin di daerah Lembang.
Rumah neneknya Udin cukup asri. Rumah sederhana bergaya kolonial dua lantai, dengan dikelilingi kebun bunga dan pohon mangga. Persis rumah eyangku di Surabaya, hanya saja rumah eyang hanya satu lantai dan cuacanya panas. Halaman rumah yang luas pun membuat mobilku bisa diparkir di sana.
“Assalamualaikum, nenek!” panggil Udin sambil mengetuk pintu rumah yang terbuka. Nenek Udin pun keluar, dan menyambut kami dengan hangat.
“Nek, kenalin, ini temen-temen Udin yang Udin ceritain. Ini Akira, Ucup, sama yang cewek Karen,” Udin memperkenalkan kami. Setelah diperkenalkan, kami beramai-ramai menyalami tangan nenek.
Ah… aku jadi rindu eyang.
Nenek pun mempersilahkan kami masuk, lalu menjamu kami dengan teh hangat.
“Macet gak?” tanya nenek.
“Alhamdulillah enggak kok nek. Lancar jaya,” jawabku.
“Nenek tinggal sendiri?” tanya Karen.
“Iya, tapi sesekali omnya Udin datang kesini, rumahnya di Dago,” jawab nenek. “Nenek seneng kalian main kesini, jadi Nenek ada temennya. Istirahat dulu, abis ini kita makan malam.”
Nenek sudah menyediakan dua kamar untuk kami di lantai dua. Tentu saja, Karen tidur sendiri sementara sisanya dalam satu kamar.
Sambil menunggu giliran mandi, aku merebahkan diriku di sofa, dan membuka twitterku. Kulihat semua temanku bersenang-senang dengan mengupdate di twitter mereka.
Tumblr media
Tumblr media
Tumblr media
Tumblr media
“Ruy, mandi sana! Trus makan!” kata Udin sambil melempar handuk bersih padaku. “Ucup sama Karen udah di bawah, lagi ngobrol sama nenek. Abis makan, ayo kita nonton horor.”
“Anjir nonton horor,” komentarku sambil mengambil baju ganti. “Tapi kebetulan sih, gue baru langganan netpliks. Lo bawa proyektor mini?”
“Bawa. Ucup sama Karen bagian sediain cemilan.”
“Sip!”
Usai mandi dan makan malam, kami berempat pun kembali mengobrol dengan nenek. Saat jam menunjukan pukul 10 malam, nenek izin untuk pergi tidur duluan. Dan kami berempat pun langsung mengubah lantai 2 menjadi bioskop mini. Dengan layar seadanya, dan jagung rebus serta teh hangat buatan nenek sebagai cemilannya.
Bandung, 4 Juli 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#014
Tumblr media
Tik… tik… tik…
Kupandangi jam dinding di ruang keluarga rumah Fujimine dengan perasaan galau. Waktu menunjukan pukul 02:45 siang, dan aku tengah menunggu pengumuman SNMPTN pada pukul 3 sore nanti.
Harap-harap cemas. Semoga aku tidak lolos.
Mungkin kalian akan mengutukku, kenapa justru aku berharap tidak lolos? Tentu saja, ada alasannya.
Ayahku memintaku untuk mengisi ilmu hukum sebagai pilihan pertama. Pilihan keduanya, baru sastra Korea, jurusan impianku. Aku memang sudah diizinkan untuk mengambil jurusan yang sesuai minatku. Namun, untuk pilihan pertama, wajib mengambil ilmu hukum.
Tidak adil ya?
Makanya, aku berharap tidak lolos saja. Aku akan mengejar sastra Korea di UTBK nanti.
Aku menghela napas panjang. Jarum panjang jam itu baru bergeser lima menit.
"Kenapa sih dek, daritadi lihat jam terus?" tanya ibuku.
"Pengumumannya bentar lagi, Ma."
"Terus? Pede aja, kamu pasti lolos."
"Justru Ma…" lagi-lagi, aku menghela napas panjang. "Aku gak pengen lolos… aku gak pengen belajar hukum kayak yang dimau Papa."
"Hus! Gak boleh gitu!" Ibuku mencubit pahaku pelan. "Omongan itu doa! Kalo emang rejekinya disana, gak mau dicoba dulu?"
Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan ibu. Ibuku kembali fokus mengoreksi hasil pekerjaan mahasiswanya. Tumben memang, jam segini ibu sudah di rumah. Nggak biasanya.
Kuputuskan untuk mengirim pesan pada teman-temanku
Tumblr media
Melihat jam di layar ponselku sudah menunjukan pukul 3 sore, aku buru-buru membuka laman pengumuman SNMPTN di ponselku. Dan ternyata hasilnya…
Lolos.
Aku lolos.
Aku hanya mematung. Tanpa sadar, aku menjatuhkan ponselku saking shock-nya.
"Gimana hasilnya dek?" tanya ibu. Lantas ibuku mengambil ponselku, dan langsung mengetahui jawabannya dari sana.
"Alhamdulillah… kamu lolos ilmu hukum! Selamat adek!" seru ibuku sambil memelukku.
Aku hanya terdiam. Tanpa sadar, airmataku mengalir. Tentu saja, bukan airmata kebahagiaan. Airmata kesedihan.
"Ma…" ujarku lirih. "Aku beneran gak mau ambil hukum, Ma…"
Aku pun menangis sejadi-jadinya di pelukan ibuku. Ibuku tak berkomentar apa-apa, hanya memelukku sambil mengusap punggungku dengan lembut.
"Nggak apa sayang… gak apa… dicoba dulu ya?"
Justru itu, aku tak mau mencobanya.
Keheningan muncul di ruang keluarga, hanya isak tangisku yang terdengar. Ibuku, masih dengan sabar, memelukku sambil mengusap punggungku dengan lembut.
Kapan ya, aku terakhir kali merasakan ini?
Notifikasi ponselku pun berbunyi. Tak aku hiraukan. Sudah kutebak, pasti grup chat dari teman-temanku.
“Itu chat temennya dibalas dulu?” tanya ibuku sambil melepas pelukannya. Aku hanya menggeleng. Akan aku balas, kalau suasana hatiku mulai membaik.
“Yaudah, ayo sholat ashar dulu.”
Aku mengangguk, lantas beribadah bersama ibuku.
<>
“Hari ini pengumumannya? Bagaimana hasilnya?” tanya ayahku. Kini kami tengah berada di ruang makan. Meja makan masih kosong, hanya ada sebakul nasi. Ibuku masih memasak lauk untuk makan malam ini.
“Lolos Pa. Di ilmu hukum,” jawabku lesu.
“Alhamdulillah. Sudah Papa duga, kamu pasti bisa.”
Aku hanya mengangguk lesu. Hidangan udang balado sudah tersaji di meja, namun aku tak nafsu untuk memakannya. kuambil nasi dengan porsi sedikit.
Aku tidak bisa mundur. Ayahku terlihat senang dengan hal ini.
Kehidupan bagai nerakaku, dimulai sekarang, kan?
<>
“Nah, jadi, kenapa kalian pada kumpul di rumah gue begini?”
Kutatap Ucup, Udin, dan Karen bersamaan. Pukul sembilan pagi, saat aku masih terlelap di kasur, Mbak Inah–asisten rumah tangga kami–memberi tahu kalau teman-temanku datang berkunjung. Mukaku terlihat jelas masih muka bantal, sementara tiga temanku hanya nyengir menjawab pertanyaanku barusan.
“Gue khawatir sama elo, Ruy. Abis, dari kemarin lo gak nongol di grup,” kata Karen. “Kita pikir, lo kenapa-napa karena gak lolos.”
Aku tertawa kecil mendengar perkataan Karen, “Hahahaha, lo peka aja. Tapi, bukannya masih ada yang lebih mengkhawatirkan dibanding gue?” kini aku melirik Udin dan Ucup.
“Kita? Kita sih jelas gak lolos,” ujar Ucup.
“Kan sejak awal, kita gak masuk eligible,” tambah Udin.
“Bener juga.”
“Jadi, lo beneran gak lolos, Ruy?” tanya Karen.
“Gue lolos, di pilihan bokap gue.”
Seketika suasana kamarku langsung hening. Yah, ketiga sahabatku ini, memang tahu kalau aku sangat membenci pilihan pertamaku. Setelah lolos, aku tak bisa mundur lagi.
“Ruy… mau jalan-jalan ke Gancit?” tawar Ucup.
Aku mengangguk setuju. Lantas pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Meninggalkan ketiga temanku yang menunggu di kamar.
<>
“Selamat Karen dan Kiruy! Kalian udah unofficial lulus karena udah dapet kampus!” Ucup mengangkat gelas frappe-nya, seolah hendak mengajak bersulang.
“Omedetou!” kata Udin dalam bahasa Jepang. Dia kan, wibu.
Kuangkat gelas espresso-ku diikuti Karen yang mengangkat gelas matcha-nya. Kami memutuskan untuk minum-minum dulu di kafe ternama.
“Karen lolos?” tanyaku. “Sori, kayak yang lo tahu, gue belum pegang ponsel.”
“Iya, di HI UI, hehehe.”
“Wih, jurusan yang lo mau! Selamat, Ren!”
“Thanks!”
“Nah, sekarang tugas kalian adalah…” kata Udin setelah meminum cappucino-nya. “...ajarin gue dan Ucup belajar buat UTBK.”
“Gampang, kayak pas lulus SMP mau masuk SMA, kan? Kita belajar bareng, dan lo lolos,” sahutku.
“Tapi ini level, up Ruy! Saingannya banyak!”
“Betul! Saingannya udah bukan satu Jakarta lagi. Tapi satu Indonesia!” tambah Ucup.
“Ya asal kalian niat, kayaknya bisa aja,” komentar Karen. “Kita belajar, senin sampe jumat. Nggak ada protes, oke?”
“Belajarnya dimana? Mulai jam berapa?”
“Kita ke sekolah cuma setor muka aja kan? Nah, abis itu ke rumah gue, kita belajar di rumah gue,” usulku. “Berarti… sekitar jam 10an. Sampe jam 5, gamau tahu.”
“Anjir– tujuh jam?! Meledak otak gue!” protes Ucup.
“Lo mau masuk PTN, gak?” tanya Karen galak.
“Iya… mau…”
“Jangan di rumah Kiruy mulu, gak enak. Sesekali, boleh di rumah gue,” tawar Udin.
“Rumah lo gapapa? Kan adik lo masih kecil-kecil. Ada nenek lo juga kan?” tanya Karen dengan ragu.
“Gapapa, di kamar gue ini. Nenek gue kan di lantai satu. Lantai tiga juga isinya anak kost ibu gue empat orang. Atau kalian malah keganggu, rumah gue rame?”
“Nggak sih, cuma agak gak enak aja sama nenek lo,” ujarku. “Kalo anak kost emak lo, siang-siang mereka gak ada kan?”
“Iya, mereka kerja.”
“Kalo gitu, gimana kalo gini? Senin rumah Kira, selasa rumah gue, rabu rumah Udin, kamis rumah Karen?” usul Ucup. “Jumat, di cafe. Jadi terjadwal gitu.”
“Eh boleh! Rumah gue sepi, jadi aman,” kata Karen. “Asal kalian gak macem-macemin gue!”
“Siapa juga mau macem-macemin sesama laki?” gurau Udin, yang langsung dapat pelototan galak dari Karen.
Dan begitulah, misi baru untuk menyelamatkan Ucup dan Udin lolos UTBK, dimulai.
<>
Jadwal belajar, dimulai di rumahku. Aku sudah bilang pada orangtuaku, dan ibu berpesan pada Mbak Inah untuk delivery makanan untuk makan siang kami. Padahal, aku bilang gak usah repot-repot. Toh, teman-temanku juga tak ingin jamuan yang gimana-gimana.
Tapi yah, sesekali, gak apa.
“Gue mau diajarin sama Kiruy!” pinta Ucup. “Gue bosen sama Karen!”
Aku hanya mengangguk, “bebas.”
Maka, grup belajar yang dibagi dua ini pun dimulai. Namun, baru lima menit….
“Kan udah gue bilang, caranya bukan yang ini!”
“Ya maaf, Ren. Abis mirip-mirip.”
“Minusnya jangan lupa, Din. Hadeuh!”
“Ampun!”
“Ini bahkan gak mendekati! Kok lo bisa kepikiran pake rumus inii?”
Aku dan Ucup hanya saling pandang, lalu menatap Udin yang tengah tertekan diajari oleh Karen yang rada galak.
“Ini… alasan kenapa gue gak mau diajarin Karen…” kata Ucup dengan wajah ketakutan.
<>
Setelah dua bulan lebih kami belajar bersama, ditambah Ucup dan Udin sudah melalui UTBK-nya, hari pengumuman ini pun tiba. Kami berkumpul di rumah Ucup dengan was-was. Laptop Ucup dibiarkan menyala, walau tidak ada yang memakainya.
“Muka kalian tegang banget, kayak nunggu eksekusi,” komentar Kak Sarah, kakak perempuan Ucup saat masuk rumah. Sepertinya Kak Sarah baru pulang kerja, kalau dilihat dari blouse dan celana panjang yang dikenakannya.
“Ini pengumuman hidup dan mati. Lo pergi sana!” protes Ucup sambil melempar bantal sofa ke arah Kak Sarah. Sang kakak hanya tertawa kecil, lantas berjalan menuju bagian dalam rumah.
“Udah jamnya!” kata Karen. “Cepat, di-cek!”
Buru-buru Ucup mengetik nomor pesertanya di laptop yang sedari tadi menganggur itu. Apa yang kami lihat, membuat kami bersorak kegirangan.
Muhammad Yusuf Abrisam, lolos di Universitas Soedirman, jurusan sastra Jepang.
“SELAMAT UCUP!!” kataku sambil menepuk punggung si Ucup.
“Giliran gue!” kata Udin sambil mengetik nomor pesertanya.
Bagasditya Syarifudin, lolos di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan pendidikan sosiologi.
“HAHAHA, SELAMAT CALON GURU!” kata Karen sambil mengusap rambut Udin.
“Thanks, Ren. Ini semua berkat lo yang ngajarin gue sambil marah-marah.”
“Gue? Kapan marah-marah?” tanya Karen bingung. Aku dan Ucup hanya tertawa kecil dibuatnya.
“Sepanjang pelajaran!” jawab Udin.
“Yaudah Din, karena lo calon guru, lo jangan ngajarin murid lo kayak Karen ya,” nasehat Ucup sambil menepuk pundak Udin.
“Nggak lah. Yang ada murid gue lari semua. Spek guru kayak Karen, cuma cocok di gue haha.”
“Guys, karena kita semua udah dapet univ, gimana kalo kita pergi liburan? Perayaan kelulusan, gitu,” usulku.
Tanpa bertanya lagi, ketiga temanku pun setuju.
Jakarta, 23 Juni 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#013
Tumblr media
Sudah lewat sekitar dua bulan sejak pengumuman SNMPTN, dan kini aku benar-benar tidak ada kegiatan apapun. Yah, walau aku lolos di bukan jurusan impian, setidaknya aku tidak usah berpusing-pusing memikirkan UTBK, seperti teman-temanku.
Tapi serius deh, momen gak ngapa-ngapain ini tuh benar-benar membuatku mati. Mati karena terbunuh dengan rasa bosan.
Semua drakor yang masuk list yang wajib kutonton, sudah aku habiskan semua. Pun, beberapa anime yang direkomendasikan Kak Satoshi juga sudah kutonton, selain yang masih on going.
"Oh iya!"
Mumpung, nih, mumpung. Ayah tak akan protes karena aku sudah mengambil kuliah jurusan yang beliau mau, kenapa aku tidak melakukan itu saja?
Kuambil gitar, dan mulai memainkan. Lagu lama yang biasa kita mainkan.
Eh, bacanya jangan pakai nada, ya. Hehehe.
Awalnya sih, aku bermain gitar hanya mengcover lagu-lagu galau favoritku. Tapi lama-lama, aku jadi membuat instrumen laguku sendiri.
Lagu yang menggambarkan hatiku yang tengah berbunga-bunga.
Tapi ya, kapan sih aku tidak berbunga-bunga? Padahal jomblo haha.
Yaudahlah ya, yang penting aku produktif. Bikin lagu baru, hal yang sudah tidak aku lakukan selama 6 bulan terakhir. Selain karena kesibukanku mempersiapkan ujian kelulusan, aku selalu dipelototi ayah kalau memegang gitar di saat ujian tengah berlangsung.
Setelah fix dengan nadanya, aku pun membuat lirik lagu tersebut. Yang tentu saja, pakai bahasa Jepang hehe. Minder mau pakai bahasa Indonesia.
Untaian lirik yang ada di kepalaku, kutuangkan semua keatas kertas putih. Dan setelah seharian, akhirnya jadi juga karya seni perdana setelah enam bulan tidak produktif.
⠀⠀夏色の朝の日差しと
澄み渡る鳥のさえずり
太陽をそっと見上げる
向日葵が風に揺れてる
Cahaya mentari di musim panas
Langit yang cerah dan kicauan burung
Kulihat mentari yang menghiasi langit
Seperti bunga matahari yang berayun ditiup angin
Nah, daripada lagu baru ini berjamur di memoriku, lebih baik aku sekalian menyuarakannya, kan?
Maka aku bergegas ke kafe langgananku, biasa aku mangkal untuk bermain musik. Apalagi kalau bukan untuk mementaskan lagu baruku.
Kalau produktif, jangan setengah-setengah. Mumpung ayah mengizinkan dan tidak ada kerjaan.
Jakarta, 8 Juni 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes
akirakf · 8 months
Text
#012
Tumblr media
Keluarga.
Definisi menurut KBBI adalah seisi rumah yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Atau bisa juga merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat.
Yah, definisi itu tidak salah sih. Di rumahku memang ada ayah, ibu, kakak, aku, dan juga asisten rumah tangga kami. Namun jika kau bertanya pada orang-orang, mereka pasti berpendapat kalau keluarga adalah sosok orang yang membuatmu nyaman dan menenangkanmu kala dunia sedang tidak berpihak padamu.
Namun, benarkah begitu?
Justru menurutku, keluarga adalah sosok yang menghancurkan diriku. Dimana ayahku selalu melampiaskan ambisinya yang tak bisa ia wujudkan di anak pertamanya padaku. Aku tidak bisa melakukan hal-hal yang kusukai secara bebas. Jika aku ingin bermain badminton, voli, atau basket bersama teman-temanku, aku harus mendapat nilai sempurna dulu. Atau aku harus menyelesaikan tugas sekolahku kalau aku mau nonton drama Korea sepuasku.
Sebenarnya terlihat baik, namun pernahkah kau dipukuli karena terlalu asyik bermain badminton sampai lupa waktu?
Yeah, aku tahu aku salah, main sampai lupa waktu. Tapi tidak perlu sampai dipukuli kan?
Dan kata-kata ayah yang selalu terngiang-ngiang di kepalaku adalah, "jangan seperti kakakmu."
Padahal kalau dilihat-lihat, kakakku bukanlah anak nakal. Ia memang suka memberontak, dan seorang otaku garis keras. Namun ia adalah sosok yang bertanggung jawab dan rajin belajar kok. Hanya karena ia tak mengambil jurusan hukum saat kuliah membuat ayah menganggapnya anak nakal dan tidak tahu terima kasih.
Dan kini, ayah menekankan hal itu padaku. Padahal aku sama sekali tidak berminat untuk mempelajari ilmu hukum. Melihat kasus-kasus hukum di Indonesia.... ah sudahlah.
Karena sikap ayah yang selalu menekanku, ditambah ibuku sama sekali tidak pernah berada di pihakku, membuatku stres dan selalu ingin melukai diriku sendiri.
Hanya kakakku yang selalu mendukungku. Namun, kadang aku benci pada kakak. Kalau dia menuruti ayah, aku pasti tidak akan ditekan seperti ini, kan? Aku masih bisa mengejar mimpiku sebagai komposer lagu, kan?
Makanya, kadang aku berpikir tidak ingin terlahir di keluarga Fujimine. Keluargaku memang harmonis karena ayah dan ibu jarang sekali bertengkar. Namun, entah kenapa aku merasa keluargaku adalah keluarga broken home. Apa karena perlakuan mereka yang terlalu keras padaku? Mereka yang selalu menekanku? Mereka yang selalu melampiaskan ambisi mereka padaku?
Entahlah.
Tok tok!
Sebuah ketukan terdengar di pintu kamarku, disusul oleh suara berat yang memanggil namaku kala aku sedang menulis buku harian ini.
"Akira? Udah tidur?"
Bukan, tentu saja bukan suara kakakku. Kalau kakak kan, main masuk kamarku tanpa permisi karena ia tahu aku tak pernah mengunci kamarku. Bukan pula suara ibuku karena ibuku adalah satu-satunya wanita di rumah kalau asisten rumah tangga kami sudah pulang.
Itu suara ayahku.
Entah kenapa, aku jadi takut sendiri.
Buru-buru aku menutup buku harianku dan membukakan pintu untuk ayah. "Ada apa, Pa?"
"Papa bangunin kamu?"
"Err, enggak kok. Aku lagi nulis diari. Ada apa?"
"Belakangan ini Papa perhatiin, kamu sering mengurung diri di kamar. Ada apa?"
Sebentar, ayahku menanyakan keadaanku? Ayahku kerasukan apa?
"Errr, karena aku harus belajarー bukannya Papa sendiri yang bilang aku harus mempertahankan nilai-nilaiku?" tanpa sadar, pertanyaan itu kuucapkan dengan nada tinggi.
Mampus.
"Iya, itu benar. Baguslah kamu sadar diri," jawab ayah sinis.
Deg.
"Tapi maksud Papa, kamu sakit? Sebelum bagi rapor kemarin kamu seharian di kamar. Disuruh makan sama Mamamu gak mau."
Mampus. Jawab apa nih? Haruskah aku bilang kalau aku stres memikirkan nasib ujianku?
No. Jangan ngadi-ngadi. Yang ada nanti berbagai macam makian dan kata-kata menusuk hati masuk ke dalam telingaku.
"Errrー gak sakit kok. Akuー cuma drakoran aja, hehehe. Mama selalu nyuruh makan pas adegannya nanggung. Buat refreshing gitu," jawabku yang 100 persen berisi kebohongan. Padahal aku belum lanjut nonton drakor favoritku, Secret Royal Inspector and Joy.
Semoga kebohonganku tidak ketahuan.
"Oh," jawab ayahku pendek, lalu berbalik.
"Besok mamamu dan kakakmu minta ke pantai Pangandaran. Mumpung mamamu sedang libur. Papa udah ambil cuti. Jadi kamu juga ikut. Sekarang tidur," ujar ayahku sebelum benar-benar pergi dari kamarku.
"I-iya pa..." jawabku canggung.
Kalau ayah sudah ambil cuti, artinya...
Apa keluargaku juga bisa jadi tempat aku pulang ketika aku sedang lelah?
Aku memang sedang ingin ke pantai. Kenapa bisa kebetulan?
Jakarta, 20 Desember 2021
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes