Tumgik
zainbooks-blog · 8 years
Text
CERPEN: HILANGNYA CALON KETUA DEMA (Bagian III/Selesai)
Belum lama Fahmi menikmati hasil kerja kerasnya menyelamatkan Bayan, handphonenya berdering. Fahmi mengangkat panggilan itu lalu terdengar suara laki-laki yang sudah tidak asing di telinganya.
“Halo, Mi, kamu di mana?”
“Di lantai 2 gedung Tarbiyah. Ada apa, Bud?”
“Kamu pasti sudah melihat apa yang terjadi di taman itu kan, Mi? Ada yang aneh.”
“Aneh? Kita ketemu di gazebo saja, gimana?”
“Baiklah,” ucap Budi mengakhiri panggilannya.
Perut gemuk Budi bergerak-gerak ketika berlari ke arah sebuah saung terbuka berukuran tiga meter persegi yang terletak di sudut parkiran gedung Tarbiyah. Di saung itu, Fahmi terlihat berdiri memandang ke arah Budi dengan tatapan penuh selidik.
“Ada apa Bud?” tanya Fahmi yang sedang berdiri keheranan.
“Sebentar.” Budi berjuang melawan napasnya yang tersengal . “Kamu sudah tahu kan, Bayan sudah kembali.”
“Ya, aku melihatnya dari jendela sana.” jawab Fahmi mengarahkan tangannya ke lantai 2 gedung Tarbiyah.
“Baca ini!” seru Budi menyerahkan selembar kertas.
Sehelai kertas yang Budi serahkan berhasil menarik perhatian Fahmi, didalamnya menjelaskan pengunduran diri Bayan dari pemilu Dema. Fahmi melebarkan matanya ketika membaca untaian kata yang termaktub dalam kertas itu. Setelah sampai pada akhir paragraf, mata Fahmi berbinar memancarkan kegembiraan
“Dari awal, aku sudah mencurigainya.” ucap Fahmi tiba-tiba.
“Maksudmu, Mi? Aku tak mengerti, untuk apa Bayan membuat surat pengunduran diri, lalu ia sendiri yang membatalkan surat pengunduran dirinya itu.”
“Semuanya akan terjawab, Bud, setelah dua orang lelaki yang akan aku hubungi, hadir di sini,” ujar Fahmi mengeluarkan handphone.
Fahmi terlihat menuliskan beberap pesan singkat dan mengirimkannya ke alamat yang berbeda. “Kita tinggal menunggu,” ucap Fahmi setelah mengirimkan pesan singkat.
“Ngomong-ngomong, Mi, si Bayan itu selama ini ke mana ya? Mungkin saja ia sengaja menghilang hanya untuk menarik perhatian orang-orang. Seperti biasa, politik.”
“Tidak mungkin, Bud. Kamu lihat kan luka di kepalanya, itu jelas bukan rekayasa. Mana mungkin seseorang mau menghancurkan kepalanya sendiri hanya untuk alasan politik. Aku yang menyelamatkannya.”
“Apa? Jadi, selama ini…”
“Sejak mengetahui Bayan tak hadir pada verifikasi perayaratan calon ketua Dema, aku sudah curiga sesuatu yang tidak baik telah menimpanya,” ujar Fahmi memotong. “Setelah itu, aku mendatangi beberapa narasumber. Dari informasi yang kudapat, aku semakin yakin bahwa Bayan benar-benar telah disembunyikan.”
“Siapa pelakunya, Mi?” tanya Budi tak sabar.
“Bud, ketika terjadi pembakaran hutan, yang pertama harus dilakukan adalah memadamkan hutanya, bukan mencari pelakunya.”
“Maksudnya?”
“Keselamatan Bayan adalah prioritas utama, jadi aku tak peduli siapa pelakunya sebelum Bayan ditemukan.”
“Bagaimana kamu menemukannya, Mi?
"Kemarin aku berhasil menemukan tempat di mana Bayan selama ini disembunyikan. Ternyata penculiknya tidak sepintar yang kubayangkan. Si penculik mengurung Bayan di sebuah toilet tak berfungsi yang berada di gedung Lecture Hall (LH). Aku kira si penculik akan menyembunyikan korbannya di sebuah ruang bawah tanah atau tempat misterius lainnya.”
“Setelah aku membuka paksa pintu toilet itu, aku melihat Bayan meringkuk mengerikan di sudut toilet. Tangannya diikat ke pipa besi yang berada di dekatnya, mulutnya diplester sehingga ia kesusahan untuk bernapas. Dan seperti yang telah kamu lihat, kepalanya terluka, Bayan pasti dibuat tak sadarkan diri oleh si pelaku. Setelah mengeluarkannya dari toilet, aku langsung membawanya ke dokter.”
“Aku penasaran, Mi, dari mana kamu tahu kalau Bayan disembunyikan di gedung LH?” Budi mengernyitkan dahinya.
“Kamu ingat kenapa Bayan masih bisa mengikuti pemilu raya?” tanya Fahmi.
“Ya, ada seseorang yang memberikan berkas persyaratan Bayan ke panitia pemilu raya. Jadi, orang itu yang menyembunyikan Bayan?” ucap Budi kebingungan.
“Oh, Bud, mana mungkin si penculik menampakkan dirinya di tengah orang-orang yang sedang mencari-cari si korban, orang itu hanyalah umpan.”
“Umpan?” gumam Budi.
“Aku yakin lelaki misterius itu menerima imbalan yang pantas, dan ia tidak sadar bahwa dirinya telah dijebak oleh si pelaku.”
“Hebat, cerdik juga, ya!” ucap Budi.
“Memang cerdik, tapi tidak teliti.”
“Tidak teliti?” Budi berusaha memahami perkataan temannya.
“Sedikit saja, si pelaku tidak memperhatikan kalau sepatu yang digunakan suruhannya pada waktu itu sangat basah,” tutur Fahmi.
“Memangnya kenapa?” tanya Budi.
“Baiklah, aku jelaskan. Seorang lelaki dewasa, sekitar pukul 09.00, di kampus, sepatunya basah dan waktu itu sudah dua hari tidak turun hujan, dapat dipastikan orang itu berprofesi sebagai petugas kebersihan.”
“Jika si pelaku ingin menjebak seorang petugas kebersihan, tempat yang tepat untuk menyembunyikan korban adalah tempat yang sangat berhubungan dengan profesi orang itu.”
“Toilet?” ucap Budi tiba-tiba.
“Tepat sekali!” timbal Fahmi.
“Toilet di kampus kan banyak, Mi, bagaimana kamu menemukan toilet yang digunakan si pelaku untuk menyembunyikan Bayan?”
“Di kampus UIN Bandung ini terdapat 157 toilet, yang berfungsi ada 150 buah. Tidak mungkin si penculik menyembunyikan Bayan di toilet yang masih berfungsi, aku tinggal memeriksa 7 toilet lainnya yang tidak berfungsi. Nah, lihat! Dua orang yang aku hubungi sudah tiba.”
Kemeja hitam yang Bayan gunakan sangat kontras dengan perban putih yang membalut kepalanya. Di sampingnya, pria kriting berjalan dengan kepala tertunduk seperti berusaha menyembunyikan mukanya. Mereka berdua menghampiri Fahmi dan Budi.
“Ini temanku, Adi,” ucap Bayan sambil menyalami Fahmi dan Budi.
“Aku sengaja memanggil kalian berdua demi kabaikan kalian juga,” ujar Fahmi dingin. “Tak akan lama, aku hanya akan menunjukkan ini,” Fahmi mengangkat sehelai kertas ke hadapan Bayan dan Adi.
“Hah, aku tak pernah menulis surat pengunduran. Tanda tangannya mirip sekali, tapi ini jelas bukan tanda tanganku,” Bayan tampak kaget.
Awalnya Bayan tampak bingung melihat surat pengunduran palsu yang berada di hadapannya, namun seketika dirinya menyadari bahwa satu-satunya orang yang bisa meniru tanda tangannya adalah Adi. Ia menoleh ke arah temannya yang berdiri gugup di sampingnya.
“Maafkan aku! Aku melakukan ini hanya untuk melunasi bayaran kuliahku. Aku tak bisa menyebutkan siapa yang membayarku, dia akan membatalkan pembayaran itu jika aku membocorkan rahasianya, dan aku bisa berhenti kuliah,” ucap Adi menahan malu.
Bayan memandang temannya penuh amarah, kekesalannya membuat dirinya tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Sudahlah! Sekarang permasalahannya sudah jelas, tinggal kalian putuskan, apakah lanjut ke meja hijau, atau menggunakan cara kekeluargaan. Urusanku sudah selesai,” ucap Fahmi sambil memandangi dua orang pria di hadapannya.
Budi yang berada di samping Fahmi mengerutkan keningnya, ia berusaha memahami apa yang tengah terjadi, namun ia tak berhasil. Ia kemudian mengikuti Fahmi yang tiba-tiba berjalan meninggalkan gazebo.
*** Selesai.
0 notes
zainbooks-blog · 8 years
Text
CERPEN: HILANGNYA CALON KETUA DEMA (BAGIAN II)
Hilangnya Calon Ketua Dema (Bagian II)
Matahari mulai tergelincir ketika Fahmi menurunkan standar motornya, seketika Vespa butut itu condong ke sebelah kiri menghadap sebuah sekretariat berlantai dua. Dari lantai dua sekretariat itu, terlihat seseorang melambaikan tangannya sambil menyahut ke arah Fahmi, Fahmi menyambut sahutan itu, dan lelaki yang berdiri di lantai dua pun menuruni tangga, menemuinya.
“Woy, jurnalis! Mau kemana?” tanya lelaki yang tadi berdiri di lantai dua sambil menepuk pundak Fahmi.
Di bawah rambutnya yang rapi, Herman mengenakan baju hijau-hitam yang di punggungnya tertulis tiga huruf kapital, HMI. Dia adalah kandidat ketua Dema dengan nomor urut dua, karakternya yang terbuka dan banyak bicara membuat Herman dikenali banyak mahasiswa dari berbagai jurusan.
“Man, sibuk kampanye yah?” ucap Fahmi mengawali pembicaraan. “Kau yakin bisa mengalahkan sainganmu di pemilu raya nanti?”
“Kalau anak PMII itu, aku tidak khawatir, justru yang membuat aku tak tenang adalah saingan keduaku, Bayan. Dia kan dari netral, kalau dia bisa menghimpun suara, matilah aku,” ujar Herman tersenyum.
Fahmi terdiam membaca raut muka Herman beberapa saat, kemudian kembali bicara, “aku dengar Bayan tidak hadir saat verifikasi persyaratan beberapa hari yang lalu, bukankah kalau begitu rivalmu berkurang satu? Itu jelas akan memudahkanmu, Man.”
“Ya, Bayan seperti menghilang begitu saja, pendukungnya pun tak tahu keberadaannya. Jujur saja, aku sempat senang, kukira panitia pemilu raya akan mendiskualifikasi Bayan karena ketidak-hadirannya pada verifikasi akhir waktu itu,” ujar Herman.
“Memangnya Bayan masih diberi kesempatan?” tanya Fahmi.
“Jika saja tidak ada yang menyerahkan berkas pencalonannya, Bayan pasti sudah gugur. Karena syaratnya lengkap, ketidak-hadiran Bayan hanya membuat panitia pemilu raya mewajibkan dirinya untuk melapor satu hari sebelum pencoblosan, kalau tidak melapor, barulah panitia mencoret nama dia.”
“Apa kau tahu siapa yang menyerahkan berkas persyaratan Bayan itu?"tanya Fahmi.
"Aku tidak tahu, yang jelas lelaki itu mengenakan jaket hitam.”
“Apa tidak ada yang aneh dari lelaki misterius itu?”
“Tidak… tapi… aku melihat sepatu yang dipakai lelaki itu sangat basah, sehingga mengotori lantai yang ia pijak. Memangnya ada apa, Mi?”
“Tidak ada apa-apa, maklum, aku kan dilatih untuk mencari data,” ucap Fahmi menutupi rasa herannya.
“Ayo, Mi, kita ngopi di sekre! Tenang, aku tak bermaksud merekrutmu jadi tim suksesku,” tutur Herman sinis.
“Soal ngopi, maaf aku tak bisa, aku ada urusan di kampus. Soal pencalonanmu, aku tak peduli,” timbal Fahmi.
Setelah percakapannya dengan kandidat ketua Dema dari kubu HMI itu, Fahmi meluncur menuju kampus UIN Bandung yang sore itu masih dipadati kendaraan. Fahmi memarkir Vespanya di depan Fakultas Saintek dan melangkah menuju kantin.
Segelas kopi di atas meja panjang dari kayu menemani Fahmi yang termenung tak bergerak sama sekali, Fahmi seolah tak peduli akan riuhnya kantin di sekelilingnya. Adi, teman satu kosan Bayan telah berjanji akan menemui Fahmi di kantin pukul tiga sore. Namun, jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih seperempat, dan orang yang Fahmi tunggu belum juga datang.
Setelah lama menunggu, Fahmi melepaskan keinginannya untuk mewawancarai Adi lalu kembali memikirkan isu yang sedang ia tangani. Menghilangnya Bayan, munculnya seorang lelaki misterius yang menyerahkan berkas pencalonan dan keinginan Herman agar Bayan didiskualifilasi dalam pemilu raya, timbul bergantian dalam pikiran reporter Suaka asal Garut itu.
Berualng kali Fahmi menasehati dirinya agar berpikir logis dan sistematis dalam merunut data yang berputar-putar di pikirannya. Fahmi mengeluarkan buku sakunya lalu berusaha merancang data-data terkait misteri hilangnya Bayan. Tak lama, data-data dalam pikiran Fahmi menjelma skema yang tersusun rapi.
Dalam skema yang Fahmi tulis, terdapat satu lingkaran yang belum terisi, Fahmi memicingkan matanya pada lingkaran itu, berusaha mengingat apa yang telah ia lewatkan. Tiba-tiba konsentrasinya terganggu oleh percakapan sengit dua orang mahasiswa yang berada di belakangnya. Dua orang mahasiswa itu asyik membicarakan bahaya yang diakibatkan kurang minum air putih. Fahmi mencoba kembali fokus, namun tak berhasil.
Awalnya, Fahmi gusar dan berniat memperingatkan dua mahasiswa dibelakangnya agar tidak ribut, namun seketika Fahmi tertegun, pembicaraan kedua mahasiswa itu seolah mengilhaminya. Seperti seorang siswa yang memperoleh kunci jawaban ujian nasional dari gurunya, Fahmi sangat girang. Sambil berusaha meredam kegembiraannya, Fahmi menuliskan sebuah kata pada lingkaran skema yang masih kosong, air.
Keesokan harinya, satu hari sebelum pemilu raya, taman samping gedung Fakultas Tarbiyah dipenuhi mahasiswa yang terbagi ke dalam tiga kubu. Kubu pertama adalah pendukung Herman, mereka berpakaian hijau-hitam dan duduk tak rapi di bawah pohon rindang. Beberapa meter di depan pendukung Herman, bendera biru-kuning tampak dikibar-kibarkan oleh pendukung kandidat nomor urut 1, Busyro.
Tak seperti dua kubu lainnya, pendukung yang menggunakan kaos bertuliskan netralitas duduk memanjang di trotoar taman memperlihatkan raut kecemasan, menunggu Bayan yang sudah empat hari hilang tanpa kabar.
Sebelumnya, panitia pemilu raya telah memperingatkan pendukung Bayan agar memberitahu jagoannya supaya menemui pihak panitia selambat-lambatnya pukul 01.00 siang. Namun sudah hampir 5 menit dari waktu yang ditetapkan, Bayan belum menampakkan dirinya.
“Semuanya harap tenang, pengumuman hasil verifikasi persyaratan calon ketua umum Dewan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung akan segera dimulai,” ucap mahasiswi berpakaian rapi melalui pengeras suara. “Assalmu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, surat keputusan no.02/11/kprm/uin.sgd/12/2015, tentang…”
Belum selesai surat keputusan itu dibacakan, tiba-tiba seorang mahasiswa dengan balutan perban di kepalanya berjalan menembus kerumunan orang menuju pusat suara.
“Masih ada waktu 1 menit lagi,” ucap Bayan tiba-tiba kepada mahasiswi yang sedang memegang microfon.
Dari jendela lantai 2 gedung Tarbiyah, Fahmi melihat kerumunan orang tampak heran melihat kehadiran Bayan yang tiba-tiba setelah beberapa hari menghilang. Fahmi tersenyum lega menikmati hasil kerja kerasnya. *** Bersambung…
0 notes
zainbooks-blog · 8 years
Text
Cerpen: Hilangnya Calon Ketua Dema (Bagian I)
Hilangnya Calon Ketua Dema (Bagian I) Fahmi menundukkan kepalanya, bola matanya bergerak menyusuri untaian kata sebuah berita Harian Suaka. Teras berita itu berbunyi: Bayan, salah satu kandidat ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung periode 2013-2014 tidak menghadiri tahap verifikasi akhir syarat pencalonan yang digelar Senin lalu. Ketidakhadiran Bayan pada tahap verfikasi akhir dapat mengakibatkan panitia pemilu raya menganggap dirinya telah mengundurkan diri dari pencalonan. (12/12/2013). Disinari cahaya pagi yang menembus jendela kosan, Fahmi merapikan kembali koran yang ia baca dan menjejalkannya di antara buku dan laptop yang memenuhi tasnya. Fahmi bergegas menuju Vespa bututnya, dan seketika meluncur ke arah kampusnya, UIN Bandung. Hilangnya Bayan telah membuat darah jurnalis Fahmi mendidih. Di atas Vespa, Fahmi berusaha mencari kemungkinan di mana Bayan berada. Fakta bahwa Bayan yang bukan anggota organisasi ekstra, mengantarkan logika Fahmi pada beberapa kesimpulan yang mengerikan, mengingat kedua kandidat ketua Dema lainnya jelas merupakan pentolan organisasi ekstra yang sangat memgharapkan ketidak-ikutsertaan Bayan dalam pemilu raya. Fahmi bergumam dalam benaknya, "mungkinkah telah terjadi penculikan?" Fahmi menghentikan Vespanya di halaman sebuah kosan sederhana yang terletak di seberang kampus. Belum sempat Fahmi mengetuk pintu, seorang lelaki kurus berambut keriting keluar dari kosan yang ia tuju. "Maaf, apa ini kosannya Adi?" tanya Fahmi. Lelaki kurus keriting di depan Fahmi terlihat mengernyitkan keningnya. "Saya Fahmi, wartawan Suaka. Saya ingin bertemu Adi," ujar Fahmi sambil menyalami lelaki di depannya. "Ya, saya Adi. Ada apa ya?" ujar lelaki kurus itu penasaran. "Saya dengar teman kamu tidak menghadiri verifikasi akhir pencalonan ketua Dema, kamu tau dia..." Belum selsai Fahmi bertanya, Adi memotongnya. "Saya sudah mencarinya selama tiga hari ini, tapi belum juga menemukannya." "Tapi kemarin Suaka menerima surat yang isinya ditandatangani langsung oleh Bayan," ujar Fahmi. "Yang benar saja," Adi tampak kaget. "Ini suratnya saya bawa, isinya permohonan kerjasama. Coba saja kamu lihat," ujar Fahmi sambil menyodorkan sehelai kertas dari tasnya. Awalnya raut muka Adi tampak heran, namun setelah selesai membca surat yang diberikan Fahmi, muka Adi kembali tenang. "Ini surat kaleng, alias palsu. Aku tahu betul tanda tangan Bayan, ini jelas bukan tanda tangannya," ujar Adi. "Oh begitu ya. Saya kira ini asli dari Bayan. Oh iya, kamu ada waktu untuk wawancara, ada beberapa yang ingin saya tanyakan tentang Bayan," "Sekarang? Kalau sekarang saya ada kuliah, kalau sekitar jam tiga sore kayaknya saya bisa," jawab Adi. "Baiklah. Makasih Di," ujar Fahmi. Setelah Adi melenggang menuju kampus, Fahmi kembali menaiki Vespanya, kali ini menuju sekretriat organisasi HMI yang berada di Komplek Permai. *** Bersambung
1 note · View note
zainbooks-blog · 8 years
Text
KEMATIAN DI GEDUNG SC (Bagian I)
Sudut utara kampus UIN Bandung ditandai oleh empat atap bangunan raksasa. Keempat atap raksasa itu berwarna coklat tua terbuat dari baja ringan yang ditaburi pasir. Seperti rumah-rumah Sunda tahun 1950-an atap-atap itu bermodel juré, model atap klasik serupa tenda. Satu dari empat gedung raksasa itu menghadap ke bagian barat dan tiga lainnya menghadap ke selatan, ke arah gerbang kampus. Gedung yang berdiri paling depanlah yang Fahmi tuju, gedung SC (student center).
Beberapa meter dari gedung SC Fahmi menghentikan langkahnya tiba-tiba, terhenyak. Fahmi melihat sesuatu yang tak biasa, tempat parkir gedung SC yang biasanya dipenuhi kendaraan mahasiswa, pagi itu hanya diisi oleh beberapa mobil mewah dan satu mobil polisi.
Di sisi-sisi parkiran, terlihat orang-orang membentuk lingkaran-lingkaran terpisah, dengan raut muka yang waspada, mereka melakukan pembicaran yang sengit dan serius. Dari pembicaraan mereka terdengar beberapa kata yang seolah di ulang-ulang: kematian, lantai 3, kabag.
“Apa yang terjadi?” tanya Fahmi kepada Robi, petugas parkir gedung SC. “Lihat saja!” jawab Robi sinis.
Fahmi berasumsi tak mungkin Robi menyembunyikan kabar gembira, jelas ada sesuatu yang tak beres telah terjadi. Didorong rasa penasaran, Fahmi melanjutkan langkahnya menuju tempat yang dibicarakan orang-orang.
Gedung SC adalah bangunan empat lantai yang terdiri dari ruang-ruang pertemuan dan sekretariat-sekretariat organisasi intra kampus. Lantai 1 gedung itu seperti gedung pada umumnya, terdapat koridor di bagian tengah yang di kedua sisinya berjejer ruangan-ruangan. Lantai 2 dan lantai 3 memiliki koridor berbentuk segi empat, di kedua sisi koridor tersebut sekretariat-sekretariat berukuran 4 meter persegi berderet rapi. Sedangkan di lantai 4, sekretariat-sekretariat mengitari lapangan indoor yang berada di tengahnya. Setiap lantai gedung tersebut dilengkapi mushola, toilet dan gudang.
Setelah menelusuri koridor dan menapaki tangga, sampailah Fahmi di lantai 3. Kali ini langkah Fahmi terhenti oleh pemandangan di depannya. Terlihat seorang polisi berbadan tinggi kekar sedang mengintrogasi seorang mahasiswa berambut gondrong. Dua polisi lainnya terlihat sibuk memeriksa setiap ruang sekretariat di lantai itu. Ketika Fahmi menolehkan pandangannya ke sebelah kanan tempat ia berdiri, ia keheranan melihat garis kuning polisi dibentang di depan pintu kabag yang terbuka.
Kabag sejatinya adalah gudang yang terletak di sudut sebelah timur lantai 3 gedung SC. Kursi bolong, lemari reyot, spanduk bekas dan setumpuk dokumen yang berserakan memenuhi gudang tersebut. Selain tumpukkan barang tak berguna, di sana terdapat 4 NCB yang menghubungkan listrik lantai 3 dengan sumber utama listrik kampus. Dikarenakan kotor dan kumuhnya gudang itu mahasiswa pun menamainya dengan sebutan “kabag”, kependekan dari “kandang bagong”.
Beberapa saat Fahmi tenggelam dalam pikirannya, bertanya-tanya ihwal apa yang telah terjadi. Tanpa ia sadari seorang polisi gemuk telah berdiri tepat di depan hidungnya.
“Mau ke mana kamu?” tanya polisi gemuk itu. “Saya hanya ingin tahu apa yang terjadi, memangnya ada apa Pak?” “Kamu tak perlu tahu. Duduk di sana dan jangan dulu pergi!” ucap polisi gemuk menunjuk ke arah deretan kursi yang berada di depan sekretariat Suaka.
Tak lama Fahmi menunggu, polisi gemuk itu datang kemudian duduk di depannya. Fahmi sempat membaca nama polisi itu yang ditulis dengan metode cermin di bagian dada sebelah kiri seragamnya, namanya Yanto. Seperti sengaja mengalihkan perhatian Fahmi, Yanto mengeluarkan selembar foto dari sakunya dan menyodorkannya ke arah Fahmi.
“Kamu kenal orang ini?” tanya Yanto.
Fahmi sadar akan konsekuensi yang ia terima jika merahasiakan informasi yang polisi butuhkan. Bagaimana jadinya jika nanti Yanto tahu bahwa lelaki dalam foto itu pernah beberapa kali singgah di kosannya.
“Ya, saya mengenalnya pak,” jawab Fahmi.
“Siapa namanya dan sebutkan semua informasi tentang lelaki ini!” ucap Yanto.
“Namanya Gofar, Pak. Ia diterima di kampus ini tahun 2011, ia mengambil jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Tarbiyah. Saya sering melihat Gofar berada di barisan paling depan rombongan demonstran. Sekalipun seorang aktifis, Gofar termasuk mahasiswa yang polos dan lugu.”
Fahmi berhenti sejenak, barangkali informasi yang ia tuturkan sudah cukup untuk kebutuhan polisi gemuk yang mengintrogasinya. Ternyata tidak seperti perawakannya, Yanto tipikal polisi yang teliti dan cekatan.
“Lanjutkan, dan lebih rinci lagi!” seru Yanto.
“Gofar ialah mahasiswa asal Cianjur. Ia pernah bilang bahwa ia besar di sebuah kampung yang tidak terjangkau sinyal internet. Kebiasaanya di Bandung adalah mendownload film setiap Minggu malam di gazebo”
“Gazebo itu?” tanya Yanto. “Saung-saung berukuran 3 meter persegi, terletak di setiap sudut parkiran terbuka yang diapit oleh tiga gedung fakultas: Fakultas Dakwah, Tarbiyah dan Syari’ah,” jawab Fahmi.
“Kosan Gofar terletak di belakang Rumah Makan Kedai Orange Cipadung. Saya juga dulu tinggal di sana, tapi tak lama, bagi saya harga kosannya terlalu mahal. Setelah itu saya pindah ke sebuah kosan yang agak murah di Manglayang, sejak itu saya tak tahu Gofar tinggal di mana.”
“Memangnya ada apa Pak?” tanya Fahmi penasaran.
“Kewajibanmu adalah menjawab, bukan bertanya.” jawab Yanto ketus. “Sekarang sebutkan keseharianmu dan apa hubunganmu dengan Gofar!”
Fahmi tidak bisa memanipulasi identitasnya dengan mudah, jawabannya atas pertanyaan-pertanyaan yang Yanto ajukan sebelumnya sudah menggambarkan sebagaian besar kesehariannya.
“Saya Fahmi, asal Garut dan masuk UIN Bandung pada tahun 2011. Ya, seangkatan dengan Gofar.”
“Kalau hanya informasi itu, cukup saja saya melihat KTP-mu. Paparkan keseharianmu!” bentak Yanto masih menatap tajam.
Fahmi ingin sekali balik membentak polisi itu kemudian merebut pistolnya dan mengusirnya dari hadapan Fahmi, namun ia memikirkan kembali bagaimana jika Yanto lebih cepat mengarahkan pistol itu ke kepalanya. Ia mengurungkan niat konyolnya dan kembali menjawab pertanyan Yanto dengan terpaksa.
“Saya anggota Lembaga Pers Mahasiswa Suaka, sederhananya wartawan kampus. Saya tinggal di kosan dekat tempat futsal di Manglayang. Sehari-hari, selain liputan dan kuliah, saya menghabiskan waktu di perpustakaan atau di koperasi mahasiswa (kopma).”
“Hubungan saya dengan Gofar tak lebih dari tetangga satu kosan, kamarnya terhalang oleh tiga kosan dengan kamar saya, itu pun satu tahun yang lalu. Waktu itu Gofar beberapa kali pernah singgah di kamarku untuk sekedar meminta film yang belum sempat ia download, selama transfer file itulah saya tahu sedikit tentangnya.”
“Hanya satu bulan saya bertetangga dengan Gofar, setelah itu saya hanya tahu gerak-gerik Gofar dari desas-desus orang-orang, maklumlah saya kan wartawan. Selain informasi yang barusan saya berikan, saya tidak tahu lagi kabar tentang Gofar.”
“Sekarang, saya ingin lihat KTP kamu,” ujar Yanto mengakhiri introgasinya yang dirasa Fahmi semakin membosankan.
Selama Yanto menuliskan apa yang tertera di kartu identitas, Fahmi mengarahkan pandangannya ke arah sekretariat Paduan Suara Mahasiswa (PSM) yang berada di seberang kabag. Dari cermin yang dipajang di pintu seretariat PSM, Fahmi dapat melihat ruangan kabag dengan jelas.
Apa yang dilihatnya di dalam kabag hampir membuatnya terlonjak, nafasnya terhenti beberapa detik dan jantungnya menderu seperti gemuruh langit sebelum turun hujan. Ia melihat sesosok pria gondrong terkapar di dalam kabag dengan luka di bagian kepala, seluruh tubuhnya seperti menggeliat menahan rasa sakit sebelum menemui ajalnya.
Fahmi masih terduduk kaku dipenuhi rasa heran menatap cermin, setelah beberapa detik memastikan bahwa jasad yang terkapar mengerikan itu adalah Gofar, Fahmi berusaha menguasai dirinya, mengambil nafas secara teratur dan menata kembali pikirannya. Tiba-tiba dalam keadaannya yang berangsur tenang, pikiran Fahmi mengarah pada colokkan listrik yang tergantung di dalam kabag. Seolah-olah colokkan itu berbicara kepada Fahmi dengan bahasa yang belum ia fahami. Tak lama Fahmi mengamati colokkan itu, tangan besar Yanto menepuk pundaknya.
“Nanti kami akan menghubungimu lagi jika diperlukan,” ujar Yanto mengembalikan KTP Fahmi. “Iya Pak…” *** #cerpen #detektif #fahmi #kampus #uinsgd #bandung
0 notes