Tumgik
yhidayati-blog · 5 years
Text
“Kamu sadar ngga, dalam banyak kesempatan, penghalang terbesar antara dirimu dan keberhasilan adalah diri kamu sendiri. Iya. Rasa malas, suka berleha-leha, hobi menunda-nunda, meremehkan komitmen, lemah kemauan, terlalu sensitif, dan banyak lagi. Akarnya? Kamu memanjakan nafsu dan membiarkan hatimu terkotori sedikit demi sedikit. Ingat, kamu selalu punya pilihan untuk menundukkan nafsu dan mengikuti apa yang hati bersihmu katakan. Kamu bisa mulai detik ini juga. Jangan menunggu sampai Allah yang menamparmu agar kamu sadar.”
2K notes · View notes
yhidayati-blog · 5 years
Text
Hidup Kadang Aneh
Hidup kadang kelihatan aneh di mata kita.
Ada yang berjuang keras untuk sebuah takdir, ngga dapet-dapet.
Ada yang ngga berjuang-berjuang banget, eh dapet takdir itu.
Ngeselin emang.
Tapi kalau kita sudah mendahulukan iman sebelum apapun, kalau kita yakin mutlak bahwa Allah Maha Adil dan mustahil Allah zhalim, maka tidak akan keluar gagasan ‘hidup tidak adil’ dalam benak kita.
Yang muncul mungkin pertanyaan semacam, “Ya Allah, apa yang Engkau ingin aku pelajari? Dosa mana yang Engkau ingin aku taubati? Jalan mana yang Engkau ingin aku tapaki?”, lalu minta petunjuk dan mulai menjalani hidup secara lebih sadar-cermat-evaluatif, supaya bisa menangkap isyarat Allah.
Tapi, yah, bagaimana pun semua urusan hidup hakikatnya adalah tes untuk kita. Apa yang penting, apa yang dinilai, adalah bagaimana kita menanggapinya. Yang bernasib menyenangkan dan yang bernasib kurang menyenangkan sama-sama sedang diuji. Apakah bersyukur? Apakah mengeluh? Apakah tetap ingat Allah?
Oke, jadi intinya sih gini. Berjuanglah untuk takdir yang engkau harapkan. Jika belum ditakdirkan juga, kuatkan dialog dengan Allah supaya Allah izinkan segera, atau supaya kamu segera tahu ke manakah seharusnya kamu berjalan. Dalam semua proses itu, jagalah akhlakmu–pikiran, ujaran, perbuatan, semuanya, agar malaikat tidak mencatat melainkan kebaikanmu meski dalam kondisi yang sangat berat.
485 notes · View notes
yhidayati-blog · 6 years
Text
Kenapa bisa semalas ini, ada apa? Masa muda mu jangan kau buang percuma .. bangkitlah!!.
Begitu banyak pilihan diluar sana kenapa kamu malah memilih sebuah kemalasan?tanya kenapa?
3 notes · View notes
yhidayati-blog · 6 years
Text
Selama ratusan tahun, kolonial Barat tidak berhasil meruntuhkan "bangunan islam". Penjajah memang menguasai ekonomi,politik, dan militer. Namun, mereka belum berhasil meruntuhkan pondasi bangunan umat. Barat memiliki andil dalam keruntuhan bangunan fisik umat islam (khilafah), dan terpecah belahnya umat ke dalam berbagai negara. Namun, Barat pun belum berhasil meruntuhkan bangunan pemikiran islam "kemerdekaan" negeri-negeri Muslim, sejatinya bukan "akhir peperangan" Kemerdekaan telah melepaskan negeri-negeri islam dari dominasi militer secara langsung. Namun, dari segi ekonomi, politik dan budaya dan sebagainya, banyak negeri islam yang masih terjajah. Belum merdeka dari cengkraman penjajah. Bahkan, kini barat cukup sukses menentukan, bagaimana cara kaum Muslim memahami agamanya sendiri.
Semua gerakan Islam seyogyanya memiliki persepsi yang sama terhadap "bangunan islam", dan perbedaannya dengan semua jenis bangunan lainnya. Setiap gagasan yang meruntuhkan bangunan islam, dari mana pun datangnya, perlu disikapi dengan serius. Tentu, mustahil muncul persepsi dan sikap yang sama, jika tradisi ilmu tidak muncul di kalangan gerakan islam. Apalagi, jika penyakit al-wahnu dan kebanggan jumlah pengikut masih menjadi prioritas utama, yang pada akhirnya cenderung melihat gerakan lain sebagai rival dan musuh. Wallahu a'lam
Dikutip dari majalah sabili dengan judul "SEJARAH EMAS MUSLIM INDONESIA"
3 notes · View notes
yhidayati-blog · 6 years
Text
Mana Islam Yang Benar?
Islam emang satu. Tapi kalau liat realitas, Islam bisa dijalankan dengan berbagai “versi”. Ada versi keras, moderat, hingga liberal.
Yang mana yang bener? Mungkin ada lebih dari satu yang bener. Mungkin semuanya bener–hanya Allah yang tahu.
Tapi, saya sendiri punya cara mengidentifikasi, kira-kira ini Islam yang “bener”. Salah satu caranya adalah dengan bertanya: “Kira-kira Islam versi ini kapabel ngga yah kalau dikasih kekuasaan?”
“Kira-kira kalau Islam versi ini jadi tokoh masyarakat, ketua RT, walikota, bahkan presiden, kapabel ngga ya dia mengayomi semua manusia yang terlingkupi di dalamnya?”
Makanya, saya ngerasa gaya Islam yang “haram haram haram”, “dosa dosa dosa”, “bid’ah syubhat bid’ah syubhat”, itu doesn’t feels right. Kepada saudara sesama muslim aja–yang Tuhannya Allah, nabinya Muhammad, shalatnya 5 waktu, mereka gagal memberi rasa “aman” dari perkataan mereka. Apalagi yang jelas-jelas beda aqidah? Apalagi yang ngga punya aqidah?
To be clear, masalahnya bukan pada penetapan mana halal, haram, syubhat, bid’ah. Masalahnya adalah pada (1) seringkali penetapan ini terjadi dalam hal yang terjadi perbedaan pendapat, dan ketika suatu pendapat diklaim sebagai satu-satunya kebenaran dan pendapat lainnya salah total–padahal semuanya memiliki dalil dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan, ini masalah; (2) apalagi jika ditambah penghakiman bahwa yang berpendapat berbeda itu “lebih rendah” dari kelompoknya, entah apa sebutannya–ahlu syubhat, ahlul bid’ah, manhajnya bermasalah, dll. Kembali ke pertanyaan tadi: dengan gaya seperti ini, apakah Islam versi ini kapabel jika diberi kekuasaan?
Dilahirkan Untuk Manusia–Semua Manusia
Kan di Al-Quran disebutkan,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah …” (Ali Imran, 110)
Kita “dilahirkan untuk manusia”, bukan untuk kelompok pengajian kita doang.
Lalu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar itu emang cuma dengan ceramah menyuruh dan melarang? Mewajibkan dan mengharamkan? Wew, sederhana sekali urusan hidup manusia kalau begitu. Realitasnya, dunia kita kompleks dan tidak semua bisa tersentuh dengan ceramah berisi suruhan dan larangan.
Bagaimana dengan membangun sistem hukum di mana khamr dan zina dapat dicegah? Bagaimana dengan membangun sistem ekonomi sehingga masyarakat kondusif dan kejahatan nol? Bagaimana dengan membangun sistem pendidikan sehingga setiap orang berlomba membangun masyarakat, negara, dan dunianya? Tidakkah itu juga “amar ma’ruf nahi munkar”? Bahkan dampaknya luas dan jangka panjang.
Bisa-bisa orang tidak sadar mereka sedang disuruh kepada yang ma’ruf dan dicegah dari yang munkar, tapi mereka melakukannya, karena mereka berada dalam sistem yang memungkinkan hal itu terwujud.
Nah, jika ada versi-versi Islam yang kompatibel dengan realitas dunia dalam skala paling kompleksnya, maka saya akan cenderung mengikuti versi-versi tersebut.
Contoh nih, maaf ini agak kontroversial, soal musik. Emang paling gampang itu haramin total aja udah. Aman. Kalau benar haram kita selamat, kalau mubah berarti terhindar dari peluang kesia-siaan (etapi mengharamkan yang halal juga dosa ga sih? Wallahu’alam). Ini relatif gampang diatur di level personal, atau level jamaah pengajian.
Tapi pertanyaannya, bagaimana kalau kekuasaan dititipkan ke Islam versi ini lalu harus handle sesuatu seperti Asian Games–misalnya? What would you do?
Opening, musik. Jeda pertandingan, musik. Naikin bendera, musik. Closing, musik. Begitu realitas dunia di luar sana mengelolanya saat ini. Tidak seperti makan daging hewan tertentu atau minuman keras, norma keumuman dunia realitasnya tidak menanggap musik sebagai sesuatu yang “tabu”. Kalau daging hewan tertentu berbagai budaya/agama punya versinya, ada yang gaboleh makan babi, sapi, dll. Minuman keras pun sama, ada mutual understanding bahwa itu bukan buat semua orang. Tapi musik? Dunia kira-kira berkata, “What could go wrong with music?”
Nah, I really would like to know what’s the proposal.
Catat bahwa saya tidak mengatakan bahwa mengharamkan musik itu konyol karena tidak kompatibel dengan budaya global, bukan. Yang saya mau soroti adalah, di tengah realitas dunia seperti yang kita jalani hari ini, dan di tengah pemahaman masing-masing versi tentang Islam yang benar, apa yang ditawarkan masing-masing versi kepada dunia jika amanah kekuasaan dititipkan kepadanya?
Pakai Otak
Terakhir, saya percaya, agama yang benar adalah agama yang masuk akal. Yang sesuai dengan realitas–alias sunnatullah. Yang natural. Yang ngga bikin otak kita gelisah. Yang ngga menciptakan paradoks dalam akal sehat kita.
Berapa kali Allah tanyakan atau tegaskan dalam Al-Quran, “Tidakkah kamu berpikir?”, “Tidakkah kamu memikirkannya?”, “Tidakkah kamu menggunakan akalmu?”, dan lain sebagainya. Kalau Allah mau kita cuma beragama dengan baca teks dan ambil terjemahan literalnya, tentu ngga perlu ditantang berkali-kali untuk menggunakan akal. Mungkin cukup dikatakan kepada kita, “Tidakkah kamu membaca?”.
Fakta bahwa Allah menyinggung proses berpikir dan penggunaan akal berkali-kali, buat saya, mengisyaratkan bahwa kita harus pakai akal kita sekuat tenaga untuk memahami kehendak Allah, Islam, dan urusan lain di semesta.
Artinya, kalau mau Islam berfungsi sepenuhnya pakai tuh akal. Sebaliknya, Islam ngga akan works kalau kita ngga pakai akal, meski lisan kita berkata Allah Tuhanku, Muhammad Nabiku, Al-Quran Kitabku.
Out of topic–ngomong-ngomong, guru saya yang orang pendidikan pernah cerita observasi beliau. Ada anak yang berhasil menghafal Al-Quran dalam waktu beberapa bulan. Orang tuanya senang, karena merasa anaknya kini “saleh”. Tapi setelah beberapa waktu berlalu, anak ini hanya menghabiskan waktu dengan main game. Tidak tampak sebagai seseorang yang hafal Quran.
Kesimpulan beliau, kemampuan kita merekam Al-Quran dalam memori tidak berkorelasi langsung dengan akhlak dan kesalehan. Yang lebih berkorelasi barangkali adalah kemampuan memfungsikan akal untuk berinteraksi dengan Al-Quran, baik teksnya maupun kandungannya. Kalau susah memahami kata-kata ini, sederhananya: Al-Quran pun mesti diproses pakai akal, baru berdampak buat kehidupan.
Oke, apa hubungan antara mencari versi-versi Islam yang benar dengan menggunakan otak?
Hubungannya adalah: saya percaya, dalam kadar tertentu, akal yang Allah berikan kepada kita ini diberi kemampuan untuk mengidentifikasi mana yang benar, yang kurang benar, dan yang ngga benar. Mana yang berlebihan dan mana yang kekurangan.
Akal kita dipadukan dengan dalil-dalil qouliyah dan kauniyah mestinya bisa nangkep Islam seperti apa yang dipandang oleh Nabi Ibrahim–Sang Bapak para Nabi. Mestinya bisa bikin kita paham bagaimana Nabi Muhammad memandang manusia, dunia, semesta. Ya dong, kita mesti punya “Islamic eyes” yang sama dengan “Islamic eyes”-nya para Nabi dong–mereka yang membawa ajaran ini?
Satu ayat bagus sebagai penutup:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.“ (Al-Anbiya, 107).
“Kamu” di situ refers to Nabi Muhammad. Nabi Muhammad adalah rahmat, yang bisa diterjemahkan sebagai kasih sayang, bagi semesta alam. Sekarang nih, coba kita tanya, kalau ada versi Islam yang kehadirannya tidak menstimulus kasih sayang, perdamaian, persatuan di antara dan di sekitar mereka, kira-kira gimana tuh? Tidakkah itu menggelitik akal?
Wallahu’alam.
Ps: Mungkin judulnya terlalu berat untuk ocehan sedangkal ini–maaf ya.
668 notes · View notes
yhidayati-blog · 6 years
Text
“Tau apa yang menghalangi kita dari hidayah? Prasangka buruk. Logikanya begini, bagimana hikmah dan hidayah akan masuk ke hati bila kita berburuk sangka pada ustadz dan kiyai yang berceramah, berpadangan sinis pada orang berpenampilan islami, dan pesimis pada ajakan-ajakan untuk menjadi lebih baik dan lebih agamis?”
— @taufikaulia
220 notes · View notes
yhidayati-blog · 6 years
Text
Am I Left Behind?
Ada sebuah penyakit, saya tidak tahu nama resminya. Tapi kita namakan saja “Sindrom Ketinggalan Balapan”.
Indikasinya begini:
• Kamu sedang belajar atau meniti karir, tapi have no idea kamu mau jadi seperti apa di ujungnya nanti.
• Kamu ngeliat figur-figur hebat di bidang kamu. Di satu sisi kamu jadi bersemangat, di sisi lain kamu jadi overwhelmed karena ngerasa banyak banget hal yang mesti kamu pelajari untuk berada pada posisi seperti mereka.
• Efek lainnya juga, mungkin kamu jadi ngerasa ketinggalan, atau bahkan ngerasa udah salah jalan selama ini.
• Lalu kamu ngerasa tahun-tahun yang sudah kamu lalui kamu habiskan begitu saja, agak sia-sia. Kesal dan menyesal rasanya.
• Terlebih, kalau figur yang kamu lihat adalah teman sebaya kamu. Ada yang udah sampai di sana, ada yang udah jadi ini, ada yang sudah menghasilkan itu. Rasanya pengen mencet tombol restart hidup–andai saja ada.
Apa yang mesti dipikirkan-dilakukan dalam kondisi begitu?
Penanganan pertama: “Ingat, hakikat yang paling hakiki tentang hidup, bahwa kita semua akan mati, lalu semua cita-cita, pencapaian, karir–betapapun cemerlangnya, akan berakhir. Tutup buku. Apa yang penting adalah amal yang kita niatkan, persembahkan, untuk Sang Pencipta.
Penganan kedua: “Ingat, semua orang berproses. Semua yang ada di puncak pernah mendaki dari bawah. Jika kita masih di bawah, santai aja. Panik tidak akan membuat kita tiba-tiba berada di puncak. Tenang. Terus bejalan, selangkah demi selangkah. Lakukan sekecil apapun upaya kamu untuk menjadi versi lebih baik dari diri kamu, setiap hari, setiap waktu.”
Penanganan ketiga: “Ingat, hidup bukan balapan. Yang lebih dahulu menjadi hebat tidak membuatnya superior secara permanen dibanding kita; suatu saat kita bisa melampauinya. Terlebih, yang di mata kita sudah hebat, barangkali payah dan berantakan dalam sekian aspek–yang mungkin kita baik di sana. Kasih sayang keluarga, pertemanan yang berkualitas, ibadah yang khusyu’–banyak sekali hal yang matters dalam hidup yang tidak perlu syarat untuk memilikinya.
Oke, sementara segitu dulu.
Tarik nafaaas, hembuskan. Ayo kita jalan lagi, selangkah demi selangkah.
It does not matter how slowly you go as long as you do not stop.
Confucius
Bismillah.
4K notes · View notes
yhidayati-blog · 6 years
Text
When you don’t understand what’s happening in your life, just close your eyes, take a deep breath, and say: “Ya Allah, I know this is your plan. Just help me through it.”
Unknown
2K notes · View notes
yhidayati-blog · 6 years
Text
Keluarga yang Beruntung
Anak-anak yang beruntung bukan mereka yang bergelimang harta dan fasilitas mewah dari orangtuanya.
Anak-anak yang beruntung adalah yang mereka yang bergelimang hikmah dan keimanan dari orangtuanya.
Mereka beruntung karena kelak ajaran orangtuanya begitu dibutuhkan dalam menjalani setiap fase kehidupan.
Dan orangtua yang beruntung adalah mereka yang sudah tidak lagi hidup, tapi pahala terus mengalir untuknya, ialah doa dari anak-anak yang shaleh shalehah :)
2K notes · View notes
yhidayati-blog · 9 years
Text
Tidakkah kamu berpikir waktu ini akan terus saja berjalan,dimana saat itu juga kamu harus mengiringi waktumu itu dengan sebuah harap dan pencapain, tidakkah kamu berpikir waktumu itu takkan terulang lalu penyesalan tiada lah guna,semua ada masa nya,dan siapkah kamu menikmati setiap masa perjalanan waktu mu,ingat! kamu harus menjadi bermanfaat,jadikan perjalan waktu mu indah, sampai masa waktumu benar benar hilang.
1 note · View note
yhidayati-blog · 9 years
Quote
Jangan terlalu sering mempersulit keadaan, sulit itu hanya paradigma yang kamu ciptakan dalam pikiranmu,yakinlah semuanya pasti mudah semua pasti ada jalan keluar 😊
0 notes