Tumgik
wafaauliya · 11 months
Text
Marketplace Guru dalam Tinjauan Prinsip Birokrasi Ideal Max Weber
oleh Devi Ernawati dan Wafa Auliya Insan Gaib
Pendahuluan
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan terkait tata kelola guru serta reformasi birokrasi yang tentu berdampak terhadap kualitas pendidikan Indonesia. Tak terhitung banyaknya guru yang hingga sekarang masih mendapatkan gaji di bawah upah minimum regional, atau guru honorer yang tak kunjung mendapatkan kepastian kapan mereka diangkat menjadi ASN. Salah satu masalah guru yang baru-baru ini sedang ramai dibahas adalah terkait rekrutmen guru. Memang benar bahwa sejak lama, permasalahan ketersediaan guru merupakan hal yang cukup memprihatinkan lantaran upaya pemenuhan guru baru tidak selaras dengan jumlah guru yang pensiun (Andina & Arifa, 2021). Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim, berpendapat bahwa permasalahan kekurangan guru di sekolah-sekolah terjadi akibat perekrutan guru yang tidak real time. Guru bisa pindah, pensiun, mengundurkan diri, atau meninggal sewaktu-waktu tetapi sekolah tidak dapat langsung menggantikan mereka karena harus menunggu perekrutan guru ASN yang terpusat (Hikmia, 2023). 
Sistem rekrutmen guru ASN yang dilakukan secara terpusat dengan mengikuti pola penerimaan CPNS nyatanya memang menuai banyak masalah. Perekrutan sistem CPNS berfokus pada lulusan baru dengan penggunaan batasan usia sehingga tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang sedang berada di tengah karier namun telah melebihi usia 35 tahun yang berakibat pada guru yang sudah memiliki pengalaman mengajar justru tidak dapat melakukan seleksi CPNS (Andina & Arifa, 2021). Tidak hanya itu, kebutuhan guru yang selalu ada setiap tahunnya tidak diimbangi dengan penyelenggaraan rekrutmen CPNS guru oleh pemerintah daerah sehingga sekolah-sekolah terpaksa merekrut guru honorer yang berakibat pada melonjaknya jumlah guru honorer dan distribusi guru semakin tidak merata. Berangkat dari permasalahan rekrutmen guru ini, Nadiem Makarim kemudian menciptakan terobosan baru yakni marketplace guru.
Studi Kasus
Marketplace guru dicetuskan oleh Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada 24 Mei 2023 sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan rekrutmen guru. Sesuai dengan namanya, sistem marketplace guru sendiri tak ubahnya dengan sistem berbelanja di e-commerce. Marketplace guru merupakan basis data berisi daftar guru yang layak mengajar dan data ini dapat diakses oleh seluruh sekolah di Indonesia. Melalui basis data ini, sekolah dapat merekrut guru secara langsung sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasi sekolah berdasarkan dengan data guru yang ditampilkan dalam profil. Sistem rekrutmen guru melalui marketplace ini diperuntukkan bagi para guru dengan syarat telah dinyatakan lulus sebagai calon ASN dan/atau merupakan lulusan pendidikan profesi guru yang memenuhi kualifikasi sebagai calon ASN.  Perekrutan guru yang sebelumnya dilakukan secara terpusat kini dikembalikan kepada kluster sekolah dengan kepala sekolah sebagai pemegang kendali sehingga sekolah tidak perlu menunggu pemerintah daerah maupun pusat membuka formasi ASN. 
Berdasarkan keterangan dari laman Universitas Islam An-Nur Lampung yang termuat dalam portal berita harian Detik.com, sistem operasional rekrutmen guru melalui marketplace ini melalui beberapa tahapan. Pertama adalah penginputan data calon guru ke dalam database yang kemudian akan menampilkan profil lengkap dari para guru. Kedua, profil guru yang ditampilkan dalam database tersebut akan digunakan oleh sekolah-sekolah untuk mengakses informasi terkait kualifikasi dari guru yang dibutuhkan untuk mengisi kekosongan tenaga pengajar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dari sekolah. Ketiga, setelah menemukan kriteria dari calon guru yang sesuai dengan kebutuhan melalui proses seleksi pada marketplace, sekolah dapat langsung melakukan tahapan selanjutnya yakni wawancara sekaligus uji kompetensi yang dilanjutkan dengan keputusan penerimaan dari pihak sekolah. Sistem rekrutmen guru melalui marketplace ini memberikan kuasa penuh kepada sekolah dalam menentukan jalannya proses perekrutan dan penerimaannya di mana pihak sekolah bebas untuk membuat kesepakatan dan menentukan sistem kerja dari guru tersebut apakah sebagai pekerja tetap atau kontrak dengan penentuan insentif berdasarkan performa kinerja serta capaian prestasi yang diraih. 
Selain itu, marketplace guru ini juga menawarkan sistem rekrutmen yang lebih fleksibel dalam hal waktu karena memiliki jangka waktu perekrutan yang lebih pendek serta proses rekrutmen yang dilalui calon guru terbilang lebih cepat, lantaran tahapan seleksi yang dilakukan tidak terlalu banyak. Ditambah lagi dengan penggunaan lokasi seleksi yang tersebar serta dapat diakses dimanapun dan kapanpun, memberikan opsi kepada calon guru sebagai tenaga pengajar dan sekolah sebagai perekrut yang dapat dengan mudah melakukan penyesuaian lokasi kerja. Kemudian, rekrutmen pada sistem marketplace guru ini terbuka dan menyasar berbagai kalangan calon guru dengan rentang usia yang lebih beragam lantaran sistem ini tidak memiliki batasan usia tertentu yang menjadi kriteria dari para calon guru yang akan mendaftar. Terakhir, bentuk seleksinya yang bukan berdasarkan pada perolehan hasil tes tertulis dari materi tertentu yang diujikan meminimalisir standarisasi atas nilai sebagai bahan pertimbangan diterima atau tidaknya calon guru sebagai tenaga pengajar, melainkan lebih pada melihat kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. 
Analisis Teori Berdasarkan Kasus
Kebijakan Nadiem dalam pembentukan sistem marketplace guru sebagai upaya mengatasi masalah rekrutmen guru dalam perspektif Weber masuk ke dalam ranah rasionalitas instrumental yang mencangkup dua hal yaitu tujuan dan alat. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembentukan marketplace guru yakni untuk mengatasi masalah-masalah rekrutmen guru yang tidak dapat terselesaikan lewat rekrutmen CPNS dan PPPK. Sistem rekrutmen lewat CPNS dan PPPK dilakukan secara terpusat sehingga sekolah yang membutuhkan guru harus menunggu hingga CPNS dan PPPK diselenggarakan untuk dapat merekrut guru baru. Berangkat dari permasalahan ini, maka solusi yang ditawarkan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan membuat sebuah sistem rekrutmen secara real time, melalui penyesuaian proses serta pengelolaan tata cara rekrutmen dengan memanfaatkan teknologi agar lebih efektif dan efisien dalam hal kecepatan dan kemudahan layanan perekrutan yang disediakan. 
Dalam konteks birokrasi, Weber berpendapat bahwa terdapat lima tipe birokrasi ideal yaitu: (1) standarisasi dan formalisasi; (2) pembagian kerja dan spesialisasi; (3) hierarki otoritas; (4) profesionalisasi; serta (5) dokumentasi tertulis (Weber, 1947). Berdasarkan lima tipe ideal birokrasi menurut Weber, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kebijakan marketplace guru ini, meliputi pertama adalah standarisasi dan formalisasi terkait kebijakan marketplace guru. Robbins dalam (Kadir, 2018) menjelaskan bahwa formalisasi dalam organisasi adalah tingkat standarisasi dari pekerjaan dalam organisasi tersebut serta sejauh mana peraturan, instruksi, komunikasi, dan prosedur ditulis. Pada konteks marketplace guru, diperlukan prosedur yang jelas dalam sistem rekrutmen guru serta landasan hukum yang kuat agar hak-hak guru dapat terpenuhi. Apabila prosedur pengangkatan guru tidak jelas serta tidak ada landasan hukum yang melindungi guru, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pihak sekolah dapat berlaku semena-mena terhadap guru lantaran proses rekrutmen kini dipegang sepenuhnya oleh sekolah. 
Prinsip kedua yang harus diperhatikan adalah prinsip pembagian kerja dan spesialisasi. Weber berpendapat bahwa birokrasi yang baik adalah ketika setiap orang memiliki bagian kerja yang sesuai dengan keahliannya.  Dalam sistem rekrutmen marketplace guru, pihak sekolah dapat memilih secara langsung guru yang dinilai memiliki kualifikasi sesuai dengan kriteria kebutuhan sekolah. Namun, perlu diingat bahwa guru bukan komoditas yang dapat dipilah-pilih melainkan sebuah pekerjaan yang memiliki hak-hak tersendiri. Untuk itu, sistem marketplace guru perlu memberikan jaminan bahwa guru tetap memiliki hak untuk menerima atau menolak pekerjaan apabila tidak sesuai dengan spesialisasi profesi keguruannya. Hal ini ditujukan agar guru terhindar dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian atau mendapat beban pekerjaan yang terlalu berat. 
Ketiga, perlu diperhatikan terkait hierarki otoritas. Dalam marketplace guru, proses rekrutmen tidak lagi dipegang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melainkan oleh pihak sekolah. Untuk itu, kembali pada pembahasan pertama, dibutuhkan prosedur yang jelas serta landasan hukum yang kuat agar kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam rekrutmen guru selalu berdasarkan hukum dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan bukan berdasarkan kepentingan pihak tertentu saja. Terakhir, perlu diperhatikan pula terkait profesionalisasi. Bevir (dalam Kadir 2018) mendefinisikan profesionalisasi sebagai suatu proses yang mendorong dan melindungi kepentingan pemangku jabatan secara profesional. Perlu dipastikan bahwa guru yang terdaftar pada marketplace guru dipilih secara obyektif yang mana pemilihan guru selalu mengutamakan keahlian dan kualifikasi tertentu dan bukan karena alasan lainnya. Hal ini penting dilakukan agar proses rekrutmen guru terhindar dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang dilakukan baik oleh pihak sekolah maupun pihak calon guru.
Kesimpulan
Secara substansial kebijakan marketplace guru ini layak dan patut dilakukan uji coba untuk diaplikasikan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa seperti sebuah sistem baru pada umumnya yang masih dalam tahapan awal perencanaan, diperlukan adanya tinjauan kembali sebelum benar-benar diimplementasikan. Evaluasi dan saran yang dapat kami sampaikan adalah pertama dari segi penamaan. Penggunaan istilah “marketplace” hanya sebagai upaya peniruan dan adopsi sistem rekrutmen dari konteks belanja online yang mengedepankan efektifitas, efisiensi, dan fleksibilitas pelaksanaan. Untuk itu, setelah publikasi ide dari sistem marketplace ini dimuat, diperlukan adanya peninjauan kembali dari penggunaan istilah penamaan yang disesuaikan dengan konteks pendidikan. 
Kedua, dari segi kebijakan dalam sistem marketplace guru ini, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, diperlukan adanya ketetapan batasan periode waktu tertentu bersifat paten yang nantinya digunakan sebagai patokan dalam hal pengangkatan guru sebagai ASN maupun pemecatan yang didasari hukum. Dengan adanya indeks penetapan waktu, maka menjadi pertimbangan yang jelas dari pihak sekolah guna melakukan pengangkatan berdasarkan evaluasi kerja sebelum berakhirnya periode tersebut dan dari pihak guru terkait kepastian status yang dimilikinya. Kedua, terkait gaji dan tunjangan, perlu dilakukannya standarisasi dengan menetapkan gaji pokok yang diikuti dengan tunjangan yang akan diperoleh sesuai dengan masa kerjanya dimana dapat menggunakan pertimbangan gaji dan tunjangan yang setara dengan ASN. Ketiga, terkait persaingan kerja dari calon guru yang mendaftar untuk diberikan pembatasan dengan skala regional yang digunakan untuk meminimalisir terpusatnya para pendaftar pada satu wilayah saja, dengan begitu tenaga pengajar yang ada dapat disebar di berbagai wilayah tanpa adanya dominasi atas wilayah tertentu terhadap wilayah lainnya. 
Daftar Pustaka
Andina, E., & Arifa, F. N. (2021). Problematika Seleksi dan Rekrutmen Guru Pemerintah di Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 12(1), 85–105. https://doi.org/10.46807/aspirasi.v12i1.2101
Hikmia, Z. (2023). Mendikburdristek Nadiem Makarim Bakal Lakukan Rekrutmen Guru Lewat Marketplace. Jawa Pos. https://www.jawapos.com/nasional/01685213/mendikbudristek-nadiem-makarim-bakal-lakukan-rekrutmen-guru-lewat-marketplace 
Kadir, A. (2018). Prinsip-Prinsip Dasar Rasionalisasi Birokrasi Max Weber Pada Organisasi Perangkat Daerah Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. JAKPP: Jurnal Analisis Kebijakan Dan Pelayanan Publik, 40–54.
Admin. (2023). Pro dan Kontra Marketplace Guru. Universitas Islam An Nur Lampung. https://an-nur.ac.id/blog/pro-dan-kontra-marketplace-guru.html
Isnanto, B. A. (2023). Marketplace Guru Adalah: Pengertian, Cara Kerja, dan Pro-Kontra. Detik.Com. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6763110/marketplace-guru-adalah-pengertian-cara-kerja-dan-pro-kontra 
Kusuma, S. P. (2023). Menyoal ”Marketplace” Guru. Kompas.Id. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/04/menyoal-marketplace-guru 
Mujib, A. (2023). Marketplace Guru, Mewujudkan Solusi Efektif Kesejahteraan dan Ketersediaan Guru. Detik.Com. https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6763676/marketplace-guru-mewujudkan-solusi-efektif-kesejahteraan-dan-ketersediaan-guru 
Ragam Info. (2023). Marketplace Guru : Pengertian dan Cara Kerja. Kumparan.Com. https://kumparan.com/ragam-info/marketplace-guru-pengertian-dan-cara-kerja-20Zzmmtz0KN 
Utomo, U. (2023). Lokapasar Guru, Solusi atau Ilusi? Jawapos.Com. https://www.jawapos.com/opini/01704997/lokapasar-guru-solusi-atau-ilusi 
Weber, M. (1947) From Max Weber: Essays in Sociology. Diedit oleh H. H. Gerth dan C. Wright Mills. New York: Oxford University Press.
Ditulis oleh Devi Ernawati (20512010011103) dan Wafa Auliya Insan Gaib (205120107111011) sebagai tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Hubungan Kerja dan Industrial
8 notes · View notes
wafaauliya · 1 year
Text
Victim Blaming: Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan
Tahun 2017 lalu, Agni (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta melaporkan bahwa dirinya mengalami pelecehan seksual ketika sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Pulau Seram, Maluku. Agni yang saat itu ingin kembali ke penginapan putri terjebak hujan deras. Ia akhirnya menginap di pondok pelaku yang merupakan teman laki-laki satu kelompok KKN-nya. Di pondok ini lah Agni menerima pelecehan seksual dari pelaku. Agni kemudan melaporkan tindakan pelecehan seksual ini ke Dosen Pendamping Lapangan (DPL). Namun, alih-alih mendapatkan dukungan, Agni justru mendapatkan kata-kata kurang mengenakkan yang justru menyalahkan dirinya sebagai korban.
Dikutip dari KOMPAS.com, Tommy selaku kuasa hukum pelaku justru menyalahkan dan mempertanyakan keputusan Agni yang tidak melakukan pelaporan kepada polisi. “Kenapa korban hanya melakukan curhatan kepada Balairung? Kenapa tidak melapor ke polisi? Polisi itu tempatnya menegakkan hukum,” ungkapnya. Sementara itu, dikutip dari balairungpress.com, salah seorang pejabat DPkM juga mengatakan bahwa Agni turut bersalah dalam kasus ini. Ia bahkan menyamakan Agni dengan gereh atau ikan asin dalam bahasa Jawa. “Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” katanya.
Miris, namun hal ini sungguh terjadi. Agni mungkin hanya satu dari sekian banyak perempuan lain yang mendapati perilaku serupa ketika melaporkan atau menceritakan pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya. Kalimat-kalimat seperti “Kamu seharusnya tidak pulang sendirian larut malam”, “Kalau mau pergi makanya jangan pakai celana pendek” atau “Kenapa waktu kejadian kamu tidak berteriak?” masih sering terdengar diucapkan kepada para penyintas kekerasan seksual. Perlakuan menyalahkan korban yang dikenal dengan istilah victim blaming menjadi hal yang sering ditemukan di lingkungan masyarakat yang patriarkis dan cenderung menormalisasikan rape culture.
Kekerasan Seksual dan Victim Blaming
Dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan terhadap perempuan dimaknai sebagai “tindak kekerasan yang didasari pada perbedaan gender yang mengakibatnya adanya kerugian fisik, seksual, dan psikologis, atau menimbulkan kerugian pada perempuan, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, perampasan kemerdekaan yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi” (United Nations General Assembly, 2015). Sementara itu. dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa, “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan 2 dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.” Dari sini dapat kita ketahui bahwa kekerasan seksual tidak hanya seputar pemaksaan hubungan seksual saja, namun juga perbuatan-perbuatan lain seperti catcalling, memegang atau melihat bagian tubuh tertentu, dan ejekan-ejekan secara verbal juga termasuk dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat terjadi baik kepada perempuan maupun laki-laki. Walaupun begitu, hingga saat ini perempuan merupakan kaum yang lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual. Menurut data pengaduan ke lembaga layanan kekerasan seksual yang tercatat di CATAHU 2022, terdapat 2.456 kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2021. Sementara itu, berdasarkan data pengaduan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 2.204 kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2021 dengan 1.051 kasus kekerasan seksual dilakukan di ranah publik (Komnas Perempuan, 2022).
Penyebab kekerasan seksual sendiri tidak lain dan tidak bukan adalah patriarki. Patriarki sendiri merupakan sistem sosial yang melihat perempuan sebagai kaum subordinasi kelas dua dan menempatkan perempuan di bawah laki-laki dalam struktur sosial masyarakat. Sistem patriarki menjadi akar utama terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. Sistem ini membuat perempuan berada dalam posisi inferior. Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, perempuan ditempatkan sebagai kaum yang lemah dan berhak didominasi hingga kekerasan seksual yang dialami perempuan dianggap wajar karena sudah menjadi “tugas” perempuan menjadi objek fantasi laki-laki (Fushshilat & Apsari, 2020). Tak hanya kekerasan seksual, patriarki juga membatasi ruang gerak perempuan. Banyak perempuan yang mengalami diskriminasi berbasis gender dalam ranah pendidikan, ekonomi, hingga pemerintahan akibat sistem patriarki yang menganggap laki-laki haruslah didahulukan dibanding perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan juga lah yang kemudian membuat kasus kekerasan seksual semakin sulit untuk diatasi. Diskriminasi terhadap perempuan ini lah yang kemudian melahirkan fenomena victim blaming terhadap penyintas kekerasan seksual, seperti yang terjadi pada Agni.
Victim blaming merupakan istilah yang menyalahkan korban terhadap suatu bencana atau kesalahan yang menimpa dirinya (Alfi & Halwati, 2019). Fenomena victim blaming ini dapat terjadi di berbagai kasus sosial seperti kemiskinan, pembunuhan, dan tentu saja kekerasan seksual.  Banyak perempuan korban kekerasan seksual yang justru disalahkan dan dianggap tidak bisa menjaga diri karena memakai pakaian yang terlalu terbuka, dianggap terlalu berlebihan dalam menginterpretasikan tindakan laki-laki, bahkan dianggap lemah karena tidak bisa melawan perlakuan kekerasan dari laki-laki. Tak hanya itu, alih-alih berfokus pada pelaku kekerasan seksual, pemecahan masalah kekerasan seksual justru malah berfokus pada “edukasi” kepada korban. Perempuan diminta untuk selalu berpakaian tertutup, untuk tidak pulang larut malam sendirian, bahkan diminta untuk belajar bela diri agar dapat melawan. Padahal, permasalahan utama dari kekerasan seksual ada pada pelaku, dan bukan korban. Victim blaming juga mengakibatkan semakin banyak perempuan yang takut untuk bersuara ketika mengalami kekerasan seksual. Reaksi masyarakat yang justru malah menyalahkan korban serta hukum dan pemerintahan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya membuat banyak perempuan korban kekerasan seksual memilih untuk tutup mulut. Bungkamnya korban akan berdampak kepada semakin sulitnya kasus kekerasan seksual ini diatasi.
Victim Blaming sebagai Bentuk Kekerasan Simbolik
Victim blaming berupa kalimat-kalimat penyalahan yang dilontarkan kepada penyintas kekerasan seksual dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan simbolik. Bourdieu (1991), mengatakan bahwa kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang tersembunyi atau tak kasat mata yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi dan objek yang mengalami tidak menyadari bahwa dirinya merupakan korban dari kekerasan simbolik. Ciri lain dari kekerasan simbolik adalah kekerasan ini dilakukan di kehidupan sehari-hari secara repetitif atau berulang-ulang. Kekerasan simbolik memiliki kaitan erat dengan konsep habitus yang juga dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Habitus sendiri merupakan kekuatan yang ada pada diri seorang individu dan merupakan sumber pemikiran yang kemudian dikonkretkan lewat tindakan individu tersebut. Menurut Bourdieu (1991), akar dari kekerasan simbolik adalah adanya dominasi gender. Dominasi laki-laki terhadap perempuan terbentuk dalam struktur-struktur sosial produktif dan reproduktif yang terjadi atas pembagian seksual yang memberikan bagian terbaik kepada laki-laki (Bourdieu, 2001). Sistem yang dilembagakan oleh dominasi gender, dikhususkan dominasi laki-laki, ini kita kenal dengan sebutan sistem patriarki.
Haryatmoko (dalam Novarisa, 2019) mengatakan bahwa wacana patriarki sebagai sistem merupakan bagian dari kekerasan simbolik karena sistem ini “menjebak” perempuan untuk berpikir dan bertindak berdasarkan wacana dari dominasi laki-laki. Perempuan kemudian juga memandang sistem patriarki atau dominasi simbolik laki-laki sebagai suatu hal yang dapat diterima dan menjalankannya seakan-akan hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini terjadi dikarenakan sistem patriarki ini telah diinternalisasi menjadi habitus para pelakunya sehingga para pelaku menjalankan peran masing-masing sebagai suatu kewajaran (Novarisa, 2019). Habitus patriarki yang merupakan sumber pemikiran individu kemudian dikonkretkan lewat berbagai tindakan dan salah satunya adalah victim blaming terhadap penyintas kekerasan seksual.
Sistem patriarki yang mengakar di masyarakat menjadi salah satu penyebab marak terjadinya fenomena victim blaming. Dominasi laki-laki yang kuat dalam sistem sosial masyarakat membuat laki-laki diposisikan sebagai pihak yang memiliki kuasa lebih atas perempuan. Perempuan dianggap sebagai objek yang diciptakan untuk membuat laki-laki tergoda, sehingga ketika kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi, hal tersebut diasumsikan sebagai kesalahan perempuan yang tidak menjaga dirinya agar tidak “menggoda” laki-laki entah karena pakaiannya yang kurang tertutup, atau pergi larut malam, atau memakai parfum yang terlalu wangi. Sementara perilaku laki-laki dijustifikasi karena merupakan hal yang wajar bagi laki-laki jika tergoda melihat perempuan yang “tidak-menjaga-dirinya”. Fenomena victim blaming ini terjadi akibat sistem patriarki yang mana laki-laki memiliki dominasi yang besar dalam sistem masyarakat baik dari cara berpikir mereka maupun tindakan mereka. Sistem patriarki sangat sulit dihilangkan karena telah menjadi habitus dan baik secara sadar maupun tidak sadar sistem ini diamini oleh masyarakat.
Kesimpulan
Kekerasan seksual masih menjadi PR besar di masyarakat. Budaya victim blaming di masyarakat menjadi salah satu penyebab kekerasan masih sulit untuk diatasi karena perempuan sebagai korban masih terus disalahkan atas kekerasan seksual yang menimpanya sementara pelaku mendapatkan justifikasi atas perilakunya. Selain itu, budaya victim blaming akan berdampak buruk bagi korban terutama dari sisi psikologis. Budaya victim blaming juga memungkinkan korban-korban lainnya tidak berani untuk melapor karena takut disalahkan atas kekerasan seksual yang dialaminya. Terdapat berbagai faktor terjadinya victim blaming seperti kurangnya rasa empati terhadap sesama, kurang edukasi mengenai kekerasan seksual, dan tentu saja budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Jika perempuan masih dianggap sebagai objek dan laki-laki adalah kaum yang berhak mendominasi dan berkuasa atas perempuan, maka kasus kekerasan seksual akan terus sulit diatasi. Kita harus dapat menyingkirkan bias gender ketika melihat kasus kekerasan seksual agar dapat dengan adil menimang dan memberikan solusi yang tepat atas kasus ini.  
Daftar Pustaka
Alfi, I., & Halwati, U. (2019). Faktor-faktor Blaming the Victim (Menyalahkan Korban) di Wilayah Praktik Kerja Sosial. Islamic Management and Empowerment Journal, 1(2), 217–228. https://doi.org/10.18326/imej.v1i2.217-228
Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power (G. Raymond & M. Adamson, Trans). Polity Press.
Bourdieu, P. (2001). Masculine Domination (R. Nice, Trans). Stanford University Press.
Fushshilat, S. R., & Apsari, N. C. (2020). Sistem Sosial Patriarki Sebagai Akar Dari Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Patriarchal Social System As the Root of Sexual Violence Against Women. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 7(1), 121. https://doi.org/10.24198/jppm.v7i1.27455
Komnas Perempuan. (2022). Bayang-Bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan. CATAHU 2022: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2021.
Maudy, C. (2018). Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan. Balairungpress.com. https://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/
Novarisa, G. (2019). Dominasi Patriarki Berbentuk Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Pada Sinetron. Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi, 5(02), 195. https://doi.org/10.30813/bricolage.v5i02.1888
United Nations General Assembly. (2015). Declaration on the Elimination of Violence Against Women. Retrieved from stopvaw.org: http://www.stopvaw.org/declaration_on_the_elimination_of_violence_against_women
Wismabrata, H. M. (2019). Fakta Kasus Dugaan Pelecehan Mahasiswi UGM saat KKN, Kuasa Hukum Pertanyakan Pelapor hingga Ombudsman Panggil Rektor UGM. KOMPAS.com. https://regional.kompas.com/read/2019/01/03/17140741/fakta-kasus-dugaan-pelecehan-mahasiswi-ugm-saat-kkn-kuasa-hukum-pertanyakan?page=all
Ditulis sebagai tugas Ujian Akhir Semester, mata kuliah Teori Sosiologi Modern
3 notes · View notes
wafaauliya · 1 year
Text
I Am Limitless
Sejak kecil aku selalu tahu. Hidupku tidak bisa dibatasi hanya karena aku perempuan.
Tumblr media
Aku mengenal seorang perempuan yang hidup sendiri dengan kedua anaknya. Menjadi pencari nafkah utama sejak suaminya meninggal. Berjualan kue dan membuka usaha catering, mengantarkan makanan-makanan tersebut dengan motor ke rumah pelanggan sambil membonceng anaknya yang belum masuk sekolah.
Aku mengenal seorang perempuan yang hidup bahagia sebagai ibu rumah tangga. Tidak pernah absen mengantarkan kedua anaknya berangkat dan pulang sekolah. Lantas setiap sore mengajarkan anak-anaknya dan anak-anak lain di sekitar rumahnya mengaji, sembari mengajarkan mengaji di akhir pekan untuk orang-orang dewasa.
Aku mengenal seorang perempuan yang selalu percaya bahwa ia dapat berdiri di atas kakinya sendiri, mencapai apa yang terlihat mustahil lewat usahanya sendiri. Mengawali perjalanannya sebagai penerhemah dan kini tiap belahan dunia telah ia jejaki; Asia, Eropa, Amerika. Semua lewat kerja kerasnya sendiri.
Aku mengenal seorang perempuan yang selalu percaya pada mimpinya. Yang percaya bahwa punya anak dan berkeluarga tidak akan membatasinya untuk berkuliah di luar negeri. Di usianya yang sudah lewat 40 tahun ia masih semangat mencari beasiswa S3 di luar negeri. Mewujudkan mimpinya yang tertunda 20 tahun.
Sejak kecil aku selalu tahu.
Aku hidup bersama dengan perempuan-perempuan yang hidupnya tidak terbatas. Mereka yang menikah dan memiliki anak, mereka yang tidak menikah, mereka yang tidak punya anak, mereka yang menjadi single parent, mereka yang bekerja, mereka yang menjadi ibu rumah tangga. Mereka berdaya dengan caranya masing-masing. Mereka tahu bahwa walaupun dunia memberikan batasan, mereka selalu punya kebebasan untuk memilih; membiarkan dunia membatasi atau tidak.
Sejak kecil aku selalu tahu.
Hidupku tidak akan pernah bisa dibatasi hanya karena aku perempuan. No matter how much the world pushes against us, I know that we always have a way to push back.
The world is limited, but I am not.
Happy women's day.
1 note · View note
wafaauliya · 1 year
Text
Twenty Five Twenty One
One thing I learned from this drama:
Sometimes, life doesn’t go the way we want. And that’s completely okay.
Pada akhirnya, kita nggak bisa benar-benar menggenggam hidup kita sendiri. There are many other factors that make things don't go the way we want them to. Faktor-faktor di luar diri kita yang nggak bisa kita kendalikan.
Tumbuh dewasa, kamu tahu bahwa earth doesn’t revolve around you. Ketika kamu punya mimpi, ada jutaan manusia lain di luar yang sana yang juga punya mimpi sama sepertimu. Layaknya kompetisi. Hidup di dunia ini, kamu nggak akan dikasihani. [disclaimer: this post contains lots of spoilers]
Menceritakan tentang kehidupan masa muda lima anak (dan alumni) SMA Taeyang: Heedo, Yijin, Yurim, Jiwoong, dan Seungwan. Walaupun ada lima tokoh utama dalam film ini, tapi aku pengin cerita soal tokoh yang menurutku paling menarik perhatian.
Namanya Baek Yijin, umurnya baru menginjak 22. Mahasiswa jurusan komputer di salah satu universitas ternama di Korea. He’s living his best life as anak orang kaya yang pinter dan ganteng sampai krisis moneter di tahun 1998 membuat ayahnya bangkrut. Keluarga Yijin harus pindah dari rumah mereka yang mewah ke rumah saudara mereka di pinggir pantai. Sementara ayahnya bersembunyi dari kejaran rentenir, sebagai anak pertama, Yijin yang akhirnya menggantikan peran ayahnya mencari nafkah. Ia berhenti kuliah, tinggal di kamar kos kecil, dan bekerja serabutan. Usianya baru 22, ia seharusnya menikmati masa kuliah dengan senang dan belajar untuk dapat bekerja di perusahaan ternama. Tapi, seperti yang aku bilang di awal, nggak segala hal di dunia bisa berjalan sesuai dengan apa yang kita mau.
Sebagai seseorang yang nggak punya gelar sarjana, nyari pekerjaan tentu susah buat dia. Yijin akhirnya kerja jadi apapun yang dia bisa. Dari mulai nganterin koran, jaga toko komik, sampai jualan ikan di pasar. Mungkin kelihatannya biasa. Tapi kalau dipikir-pikir, Yijin sejak lahir hidup sebagai anak orang kaya. Sebagai mahasiswa universitas terbaik, dia bisa dibilang punya masa depan karier yang “terjamin”. Tapi kenyataannya dia harus kerja nafkahin ibu dan adiknya di level pekerjaan yang pasti jauh banget dari bayangan dan mimpi-mimpinya selama ini. Aku ngebayangin kalau aku ada di posisi Yijin, belum tentu aku mau nurunin gengsi dengan kerja sebagai tukang ikan.
Tapi mungkin hal ini yang bikin Yijin akhirnya jadi hopeless dan nggak punya mimpi. Sampai dia ketemu Na Heedo, anak SMA yang punya cita-cita menang kejuaraan anggar. Berbeda dengan Yijin yang menjalani hidup dengan nyaris putus asa, Heedo justru punya tingkat kepercayaan diri level kakap dengan mimpinya. Pertemuan Yijin dengan Heedo ternyata numbuhin harapan-harapan baru buat  Yijin untuk bisa hidup lebih baik, nggak sekadar jadi tukang ikan. Berbekal pengalaman jadi penyiar di radio sekolah, Yijin lolos menjadi reporter di sebuah stasiun TV Korea sebagai satu-satunya karyawan lulusan SMA. Dengan menjadi reporter, satu per satu per satu ia mulai berhasil menggapai mimpi-mimpinya yang lain.
Bener banget jawaban Baek Yijin waktu ditanya ibunya Heedo apakah jadi reporter memang cita-citanya. “Hidup yang tidak sesuai impian bukanlah hidup yang gagal, dan hidup yang sesuai impian belum tentu hidup yang berhasil.”
Jadi reporter jelas-jelas nggak pernah masuk dalam daftar impiannya. Tapi bukan berarti hidupnya gagal kan? Nyatanya ada banyak hal lain yang bisa Yijin dapat justru karena gagal melanjutkan kuliahnya. Dia bisa punya pengalaman jadi reporter, punya koneksi dengan reporter senior lain, hingga dikirim tugas ke luar negeri sampai akhirnya jadi presenter berita televisi. Dan yang terpenting, kegagalannya melanjutkan kuliah mempertemukan dia dengan Heedo dan teman-teman Taeyang Squad yang lain. Nyatanya emang hidup itu terlalu sulit ditebak. Kita nggak pernah tahu hal-hal baik apa yang bakal kita capai setelah sekian banyak kesedihan yang kita alami.
Banyak hal sedih di episode-episode akhir drama ini. Setelah sekian banyak momen manis Heedo-Yijin sepanjang drama, episode terakhir ternyata berakhir dengan Heedo-Yijin nangis-nangisan dan berantem di terowongan. Jiwoong dan Yurim yang baru pacaran akhirnya LDR karena Yurim harus pindah ke Rusia. Seungwan, si ambis juara kelas, akhirnya memilih untuk berhenti sekolah demi mempertahankan idealismenya dan gap year masuk kuliah karena harus ikut ujian persamaan.
Walaupun banyak hal sedih yang didapet di episode terakhir, tapi aku rasa drama ini nggak bisa dibilang berakhir sad ending–kalau kita mau melihat suatu ending dari perspektif yang berbeda.
Karena nyatanya, di akhir cerita, setiap tokoh dari Taeyang Squad punya akhir bahagianya masing-masing.
Seungwan, walaupun sempat ketinggalan setahun dari teman-temannya yang lain, dia akhirnya bisa masuk universitas impiannya dan jadi ketua kelas (lagi) di jurusannya. Dia berhasil lulus dan sukses jadi produser di salah satu acara TV Korea.
Jiwoong, anak bandel dan nggak pernah belajar ini ternyata malah nemuin hobi baru selama LDR dengan Yurim. Dia jadi influencer di bidang fashion dan punya brand fashion miliknya sendiri. Cocok dengan kepribadiannya yang suka sok gaya dan selalu pengen jadi pusat perhatian.
Yurim, setelah sekian banyak kesedihan yang dia alami di masa SMA akibat masalah finansial sampai harus pindah ke Rusia, dia berhasil ngelewatin itu semua. Dia berhasil menggapai mimpinya buat bisa memenangkan banyak kejuaraan anggar, buka sekolah anggar setelah pensiun, dan yang terpenting–sebagai anak satu-satunya–dia bisa bantu orang tuanya dalam hal keuangan.
Heedo, dia berhasil wujudin impiannya jadi salah satu legenda di olahraga anggar Korsel, dia juga baikan dengan ibunya, dan hidup senang sebagai ibunya Minchae. Terlepas dari kegagalannya soal masalah cinta (baik sama Yijin maupun sama ayahnya Minchae), nyatanya Heedo dapet kebahagiaannya di tempat lain.
Yijin, he really got the happy ending he deserved. Mungkin kisah cinta dia sama Heedo nggak berakhir bahagia, tapi kita semua tahu kalau masalah hidup dia nggak cuma masalah cinta. Sebagai anak pertama di keluarga yang lagi susah secara keuangan, dia harus jadi tulang punggung keluarga dan bekerja cari uang di profesi yang 180 derajat berbeda dengan jurusannya dulu di kuliah. Tapi akhirnya dia berhasil. Berhasil jadi jurnalis profesional walaupun cuma lulusan SMA, berhasil menggapai impiannya jadi presenter berita di TV, berhasil bantu keluarganya buat balikin lagi masa kejayaan mereka yang pernah hilang gara-gara krisis moneter. Those are his happy endings.
Aku ngerasa drama ini emang ngajarin kita bahwa nggak segala hal di dunia bisa berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Tapi bukan hanya karena ada hal-hal yang nggak berjalan lancar berarti hidup kita nggak berhasil. Mungkin kita lagi disuruh untuk melihat makna keberhasilan secara lebih luas, nggak melulu soal mimpi-mimpi yang tercapai. Bisa jadi kegagalan-kegagalan yang kita alami dan mimpi-mimpi yang nggak bisa kita gapai justru yang nanti bakal mengantarkan kita ke keberhasilan yang lain di masa depan.
9.5/10 buat drama ini, semua orang wajib nonton karena masih banyak kisah-kisah dari anak-anak Taeyang Squad yang lain <3
salma wafa writing program day 2
0 notes
wafaauliya · 1 year
Video
Takbir Pagi Hari
Satu hal yang paling aku kangenin dari hidup di asrama adalah suara takbir.
Suara takbir dari muazin azan Subuh masjid LTIQ yang sukses bikin-bikin orang-orang bangun dan riweuh berlarian ke aula–karena kalau sudah adzan tandanya sudah masuk waktu keterlambatan.
Suara takbir dari imam di Aula Ad-Dhuha tiap ingin memulai shalat. Orang-orang yang duduk bersandar dan bertopang dagu di pinggir aula langsung buru-buru berdiri dan ikut jamaah. Sebagian memilih kembali berwudhu karena sudah keburu tidur waktu menunggu antara adzan dan iqomah.
Suara takbir di lapangan sekolah tiap selesai apel, atau takbir anak-anak Reinforce sehabis shalat Dhuha. Takbir untuk mengawali hari. Apapun yang akan terjadi di hari itu, kita mengawalinya dengan takbir bersama.
Suara takbir setiap sebelum kegiatan apapun. Sebelum opening Syifest. Sebelum mulai pengibaran bendera. Sebelum pertandingan basket dimulai. Sebelum LPJ. Sebelum mengikuti lomba. Sebelum menampilkan apapun di atas panggung. Sebelum masuk kelas. Sebelum memulai hari.
Apapun yang akan kita lakukan, kita memulainya dengan menyeru bahwa Allah Maha Besar.
Setiap amanah besar yang kamu tanggung di hari itu, kamu tahu bahwa kamu punya Tuhan yang lebih besar. Setiap beban besar yang kamu dapatkan di hari itu, kamu tahu bahwa kamu punya Tuhan yang lebih besar. Setiap masalah besar yang kamu terima di hari itu, kamu tahu bahwa kamu punya Tuhan yang jauh lebih besar.
Setelah lulus dari pesantren dan kuliah di universitas umum, aku jarang banget ngucapin takbir keras-keras dan ramai-ramai. Kalimat penyemangat di sini adalah jargon jurusan, fakultas, atau jargon organisasi masing-masing. Tapi menurutku belum ada jargon yang lebih menyemangati dibanding takbir.
Walaupun aku hampir nggak pernah lagi ngucapin takbir bareng-bareng, ternyata semangat bertakbir itu masih ada.
Hari itu di kos, aku tahu aku bakal ngelewatin salah satu hari paling riwet selama kuliah. Sebelum keluar kamar kos, aku diam sebentar di belakang pintu lalu bertakbir dalam hati seakan-akan aku sedang takbir bersama teman-temanku yang lain di asrama.
Apapun hal besar yang akan aku lewati hari itu, aku tahu aku punya Tuhan yang jauh lebih besar.
salma wafa writing program, day 1 <3
3 notes · View notes
wafaauliya · 1 year
Text
Waktu Rehat
Manusia memang nggak pernah ada syukurnya. Keinginan yang nggak pernah ada habisnya. Hawa nafsu yang nggak pernah ada ujungnya. Rasa syukur yang sangat pendek batasnya.
Aku jadi ingat sewaktu SMP, rasanya ingin cepat-cepat masuk SMA. Lelah dengan kegiatan SMP yang terlalu monoton. Pelajaran yang nggak masuk di otak, apalagi fisika dan matematika yang jelas-jelas bukan kemampuanku disana. Rasanya pengen cepet-cepet SMA biar cuma belajar pelajaran IPS aja. Biar bisa punya temen baru. Biar bisa ikut organisasi atau kepanitiaan yang lebih seru.
Sayangnya, ternyata masa SMA nggak semenyenangkan yang aku pikir. Ikut banyak organisasi ini-itu ternyata bikin aku keteteran karena nggak bisa mengatur waktu. Pelajarannya mungkin menyenangkan, sesuai dengan minat. Tapi di satu sisi sangat sulit karena harus mengejar nilai untuk dapat ranking tertinggi. Mengejar SNMPTN katanya. Dapat nilai dan ranking yang tinggi ternyata malah jadi beban. Harus mengatur strategi biar nilaiku nggak turun drastis di semester selanjutnya. Ditambah peraturan SMA yang jauh lebih ketat. Target hafalan Al-Qur’an yang juga lebih banyak juga tugas-tugas yang menumpuk. Rasanya menyesal waktu itu bilang pengen cepet-cepet masuk SMA. Nyatanya SMP memang lebih enak karena kamu lebih santai. Peraturan yang lebih longgar, tugas yang lebih sedikit, dan nggak ada target nilai yang harus dicapai. Kalau kayak gini, rasanya pengen cepat-cepat kuliah. Walaupun tugasnya lebih banyak, setidaknya kamu tidak harus ikut peraturan asrama yang banyak. Kamu bisa lebih bebas. Apalagi kalau masuk kampus di jurusan yang diinginkan, pasti belajarnya lebih nyaman karena benar-benar sesuai dengan minat dan bakat.
Lagi-lagi, kehidupan kuliah memang nggak semenyenangkan yang aku pikirkan. Baru mulai OSPEK sudah dikasih banyak tugas. Tugas kuliah yang dateng setiap hari, dari esai sampai makalah. Presentasi hampir tiap pekan, dan dosen-dosen super teliti yang susah banget ngasih nilai A ke mahasiswanya. Jadwal kuliah suka berubah-ubah, dan kita sendiri yang harus inisiatif buat cari info perkuliahan karena nggak ada dosen yang mau capek-capek nge-reach mahasiswanya duluan. Kalau kayak gini, rasanya pengen balik ke masa SMA. Jadwalnya jelas, nggak akan ada perubahan jadwal tiba-tiba. Kamu juga nggak akan ketinggalan info karena hidup 24/7 bareng temen sekelas, seangkatan. Ada info baru tinggal teriak dari kamar masing-masing. Pelajarannya lebih mudah, nggak setiap hari dikasih tugas. OSPEK cuma seminggu, tanpa tugas apapun pula. Hft. Rasanya pengen cepet-cepet nikah.
Begitu terus sampai masuk ke liang lahat.
Sudah kubilang. Manusia memang nggak ada syukurnya. Aku, memang nggak ada syukurnya.
Selalu minta lebih. Lagi. Lagi. Lagi. Tapi ketika dikasih lebih, malah mengeluh kebanyakan. Dikasih uang sedikit, mengeluh tak bisa makan. Dikasih uang banyak, dihamburkan untuk hal yang tidak bermanfaat. Diberi waktu yang padat, mengeluh tak bisa istirahat. Diberi waktu yang lapang, malah dipakai leha-leha. Selalu ingin dapat yang paling baik. Kalau bisa tanpa lelah, tanpa usaha. Tapi sekaligus berulang kali bertanya, kapan aku bisa istirahat?
Aku jadi teringat kalimat seorang kakak panitia ketika aku masih OSPEK saat SMA. Kalimat yang sampai sekarang masih aku ingat.
“Jangan pernah bertanya ‘kapan aku bisa beristirahat’? Karena waktu istirahat adalah ketika sudah berada di jannah-Nya”
Dunia memang bukan tempat istirahat, bukan tempat leha-leha. Dunia tempat kita mencari pundi-pundi pahala dan keridhoan-Nya. Sayangnya, nggak ada keridhoan yang bisa digapai dengan cara rebahan. Nggak ada pahala yang bisa didapat dengan cara mengeluh. Dunia memang tempat kita berlelah-lelah. Syukuri saja lelahnya, nikmati lelahnya, jalani lelahnya. Niatkan untuk Allah, agar lelahnya berpahala.
Selamat menggapai ridho-Nya!
3/365
0 notes
wafaauliya · 1 year
Text
The First-Timer
Ada satu kalimat yang aku suka banget dari drama Reply 1988. Waktu Deoksun nangis karena dia ngerasa nggak dihargai sebagai anak tengah, ayahnya Deoksun ngajak Deoksun nongkrong di warung dan beliin dia kue ulang tahun. Ayah Deoksun minta maaf karena merasa belum bisa jadi ayah yang baik buat anaknya. Di sana ayahnya bilang,
“Dads don’t automatically become dads the moment the child is born. It was my first time being a dad.”
Well, isn’t it all of us? We’re all first-timer.
Pertama kalinya jadi ayah. Pertama kalinya jadi istri. Pertama kalinya jadi murid. Pertama kalinya jadi mahasiswa. Pertama kalinya jadi anak. Pertama kalinya jadi orang tua.
Ini pertama kalinya kita hidup dan jadi manusia.
Selama 20 tahun hidup, banyak hal yang aku sesalin. Terutama di masa-masa awal kuliah sebagai mahasiswa. Kadang suka mikir: andaikan waktu itu aku lebih tahu banyak, andaikan waktu itu aku lebih punya banyak pengetahuan soal ini, andaikan waktu itu aku lebih paham, mungkin aku nggak bakal salah langkah, salah jalan, salah pilih dan berujung gagal.
Tapi akhirnya aku mikir juga. Ini pertama kalinya aku jadi manusia.
Dan emang hal yang wajar kalau akhirnya banyak hal yang nggak aku ketahui. Banyak kesalahan yang aku buat. Banyak hal yang aku bingungin.
Karena kita semua pemula dan pertama kali jadi manusia. Pertama kalinya hidup di dunia.
Kayak nulis aja, sih. Penulis profesional yang bukunya udah mejeng di banyak toko buku nggak tiba-tiba jago nulis. Mereka belajar. Dari nulis cerita pendek, lanjut ke tulisan-tulisan yang lebih panjang lalu beralih ke novel. Harus baca berbagai macam buku dan coba berbagai gaya bahasa buat akhirnya nemuin yang cocok. Belajar cara nentuin alur, dari alur yang sederhana sampai yang ribet. Nggak ada penulis yang tiba-tiba profesional, semuanya berawal dari penulis pemula.
Pun kita sebagai manusia, kita ini “manusia pemula”. Makanya tugas kita adalah terus belajar dan mencari. Kalau ngerasa tersesat, berarti harus cari jalan yang benar. Kalau gagal, berarti harus coba lagi. Kalau kamu ngelakuin kesalahan, berarti harus diperbaiki. Banyak belajar, banyak cari tahu. Sampai nanti benar-benar tahu mau kemana hidup ini akan tertuju.
2/365
0 notes
wafaauliya · 1 year
Video
‘Cause there were pages turned with the bridges burned
Everything you lose is a step you take
Satu hal yang aku percaya, Allah menggagalkan satu mimpi untuk mewujudkan ribuan mimpi yang lainnya. Ketika ada hal yang nggak bisa kamu gapai, artinya kamu lagi dituntun untuk menggapai mimpi-mimpi yang lain. 
Everything you lose is a step you take.
Dreams that I failed to achieve in previous years led me to achieve my dreams in 2022. 
Pokoknya 2022 banyak cerita! Special thanks to adik-adik MI Jabal Tsur, PAUD Arjosari, SD Goacina, dan TPQ Al-Huda yang udah bikin 2022-ku jadi lebih seru!
—with love, Wafa.
1/365
1 note · View note
wafaauliya · 1 year
Text
Kemana Namaku Pergi
Apa yang akan di dunia terjadi setelah kita meninggal? Setelah tubuh terbalut kafan kita telah ditimbun dengan tanah, satu per satu sanak saudara melangkah menjauh dari kubur kembali ke rumah masing-masing. Kemana nama kita akan dikenang setelah huruf-hurufnya tertulis di batu nisan?
Terlupakan, mungkin.
Nyatanya, setelah kita tiada nanti, orang-orang akan lebih mengingat tanggal kita mati dibanding tanggal kita lahir.
Kita akan diingat sebagai dia yang sudah mati. Tersemat gelar baru setelah nama, almarhum atau almarhumah.
Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau diingat sebagai seseorang yang sudah mati. Aku tidak ingin dilupakan.
Kita mengenal BJ Habibie, the Mister Crack. Jenius asal Sulawesi yang terkenal akan keahliannya dalam bidang teknik penerbangan spesialisasi konstruksi pesawat terbang. Lulusan universitas di Jerman dengan predikat summa cum laude. 
Kapan ia mati? Tiga tahun yang lalu. Tiga tahun sejak meninggalnya, tak pernah terbersit di kepala kita bahwa ia telah tiada ketika mendengar namanya. Yang teringat adalah karyanya, pesawat terbang, dan kontribusinya untuk negara.
Kita mengenal RA Kartini. Pelopor emansipasi wanita dan penggerak perjuangan perempuan di Indonesia. Wanita asal Jepara yang tidak ingin hidup dikekang oleh patriarki yang membelenggu perempuan Jawa pada masanya. 
Kapan ia mati? Lebih dari seratus tahun yang lalu. Namun, hingga abad berganti, tak pernah terbersit di pikiran kita ketika mendengar namanya bahwa ia sudah mati. Kita mengenangnya sebagai pejuang hak-hak perempuan, sebagai guru, sebagai ibu. Bukan sebagai Kartini yang telah mati.
Kita mengenal Sultan Muhammad Al-Fatih. Khalifah Islam pada masa Turki Utsmani. Di bawah kepemimpinannya, Konstantinopel berhasil ditaklukan.
Kapan ia mati? Lebih dari lima abad yang lalu. Apakah kita mengingatnya sebagai seseorang yang sudah mati? Tidak. Kita mengingatna sebagai penakluk Konstantinopel.
Mereka yang namanya diingat, adalah mereka yang semasa hidup telah memberikan jejak-jejak kebaikan di bumi. Jejak kaki yang kelak terus diingat, lantas diwariskan oleh anak dan cucunya. 
Aku tidak ingin diingat sebagai dia yang sudah mati. Aku ingin diingat sebagai dia yang telah memberikan jejak di muka bumi.
Aku ingin namaku hidup selamanya abadi.
0 notes
wafaauliya · 2 years
Text
涙を希望に変えてこう
Tumblr media
Ada satu kalimat yang aku suka banget dari All of Us Are Dead. Kalimatnya Nam Onjo.
“Kadang dalam beberapa hal, manusia cuma butuh harapan.”
Kurang lebih kayak gitu.
Intinya adalah, dalam hidup, kadang banyak hal yang kayaknya nggak realistis untuk dicapai. Tapi emang kita nggak bisa selamanya mengandalkan logika. Berharap adalah satu-satunya jalan buat seseorang tetap hidup.
Beberapa waktu lalu ayah ngirim video kakek usia 80 tahun di grup WA keluarga.
Usia 80 tahun, beliau masih berjualan arum manis di jalanan Jakarta. Tubuhnya masih tegap, walaupun ringkih dan keriput. Semangat waktu ditanya sedang berjualan apa. Pamer arum manis jualannya sudah habis, wajahnya sumringah memperlihatkan gerobak jualannya yang kosong.
Walaupun mungkin hasil jualannya nggak seberapa.
Beberapa waktu lalu aku juga ketemu ibu tukang sayur. Siang hari, beliau menarik gerobak sayur menyusuri jalanan Bekasi. Alas kakinya seadanya, hanya sendal jepit yang dilapisi kaos kaki biar jadi kayak sepatu. Dagangannya masih banyak, berkali-kali menyeka keringat dengan kerudung, dan tetap semangat menarik gerobak menyusuri jalan raya Bekasi yang sesak.
Masih di jalanan Bekasi, tepatnya di Pasar Pondok Gede. Pasar yang sejak tahun 2006 pertama kali aku pindah rumah hingga sudah kuliah semester 4 tidak pernah ada perbaikan. Pasar yang selalu sesak, sampah yang bertumpuk di pinggiran jalan, penjual yang memenuhi trotoar dan bikin jalanan macet, serta angkot-angkot yang ngetem dan sibuk rebutan penumpang. Namun yang lebih miris adalah pengamen di sepanjang jalannya, badut mampang yang sesekali terlihat istirahat di pinggir trotoar, pembersih kaca mobil yang sibuk melambai-lambaikan kemoceng, atau pengemis yang hanya duduk di pinggiran jalan. Diam menunggu recehan uang ditaruh di atas tangannya yang menengadah.
Masih di Bekasi, tak jauh dari rumahku. Namanya Mpok Midah, janda dua anak yang juga harus mengurus ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Apa pekerjaannya? Apa saja yang bisa dilakukan. Berjualan keripik, berjualan gas dan galon, tukang pijit, pesan-antar makanan, berjualan kue basah di kantin sekolah, berjualan ayam goreng, atau sekedar membantu menunggu warung. Apa saja, selama bisa membantunya mendapatkan uang untuk makan keluarganya.
Hidup ini emang keras dan nggak mudah bagi banyak orang. Kadang suka mikir, gimana caranya seseorang dengan beban hidup yang begitu berat bisa tetap kuat menjalani hidupnya.
Jawaban satu-satunya adalah harapan. Karena mereka masih punya harapan. Mungkin nggak muluk-muluk. Harapan untuk bisa makan hari ini. Harapan untuk bisa dapat uang lebih hari ini. Harapan agar dagangannya lebih laku hari ini. Harapan agar ada orang-orang baik yang menaruh kepingan receh di tangan yang mereka tengadahi.
Harapan untuk bisa hidup lebih baik.
Kita memang hidup dalam harapan dan doa-doa. Jadi jangan pernah putus harapan dan jangan pernah berhenti berdoa :)
涙を希望に変えてこう
Let’s turn tears into hope
Ditulis tahun 2022, awal masuk semester 4
0 notes
wafaauliya · 2 years
Text
Mimpi-Mimpi yang Kehilangan Rumahnya
Tumblr media
Waktu SMA, masa depan rasanya masih jauh banget. Masih ada UN, masih ada SBMPTN, masih ada perjalanan kuliah menuju skripsi untuk kemudian lulus. Menikah saja rasanya jauh, jauh banget. Tapi ternyata, perasaan “jauh dari masa depan” ini adalah hal yang bikin aku—atau kami (mungkin)—lebih berani bermimpi. Berani untuk punya cita-cita yang tinggi. Toh, masa depan masih lama. Masih ada banyak waktu untuk mempersiapkan agar impian yang muluk-muluk itu bisa tercapai.
Jadi ingat perbincangan dengan teman sekamar beberapa tahun lalu. Kami masih kelas 11. Masih jauh dari kata dewasa. Di tengah kesibukan mengurusi organisasi dan acara festival sekolah yang akan berlangsung sebentar lagi, kami berbincang sampai tengah malam. Perbincangan yang tidak jauh-jauh dari anak-anak lain yang tinggal di gedung abu-abu seberang sana. Membicarakan salah satu kakak kelas paling beken seantero sekolah. Kira-kira nanti kakak itu kuliah di mana, ya?
“Kok kita lebih penasaran sama masa depan dia sih dari pada punya kita sendiri. Dia aja kayaknya nggak kenal kita!” lalu tertawa. Iya, juga. Kenapa kita jadi penasaran tentang masa depan dia? Dia bakal kuliah di mana, bakal jadi apa, bakal nikah sama siapa? Serasa kami ini orang tua yang lagi merencanakan kehidupan anak sendiri sepuluh tahun kemudian.
Tapi dulu rasanya senang-senang saja walaupun masa depan kami sendiri pun masih abu-abu. Sekedar mimpi lolos SNMPTN di kampus jaket kuning saja rasanya sudah cukup untuk jadi bekal menghadapi hari esok. Berbekal masuk tiga besar di kelas, pengalaman organisasi yang banyak, dan punya banyak teman yang selalu mendukung setiap cita-cita.
Rasanya dulu masa depan begitu jauh, namun begitu mudah digapai. Bermimpi tinggi rasanya adalah hal yang harus dilakukan, masalah gagal urusan nanti. Bikin target hidup, tuh, jangan terlalu realistis.
Tapi semua berubah, sejak aku (atau mungkin kami) masuk ke dunia bernama universitas.  Masa depan rasanya di depan mata. Atau mungkin, ini yang namanya masa depan?
Dan aku pikir masuk ke universitas membuat hidupku lebih tenang. Nggak perlu overthinking tiap malam di atas kasur sambil berpikir apa nilaiku sudah cukup buat lolos SNMPTN, apa nilai TO-ku kemarin sudah aman buat lolos SBMPTN, kalau aku nggak lolos dua-duanya aku harus ngapain, apa aku nikah aja sama anak pejabat?
Masuk universitas malah membuat mimpi-mimpiku yang dulu sewaktu SMA aku susun sedemikian rupa, hilang. Atau mungkin, kehilangan rumahnya. Masa depan rasanya dekat, seakan-akan semua datang tiba-tiba. Tiba-tiba OSPEK, tiba-tiba semester dua, nanti tiba-tiba skripsi, tiba-tiba aku harus mandiri cari kerja, tiba-tiba menikah, tiba-tiba meninggal.
Mimpi-mimpi yang dulu aku susun bersama teman-teman SMA tiba-tiba jadi terasa tidak realistis. Terlalu sulit dicapai, kamu nggak punya cukup waktu buat dapetinnya. Tidak menjanjikan, kalau kamu gagal bagaimana? Tidak ada “hasilnya”, kamu akan selalu butuh benda bernama uang.
Ganti. Cari yang lebih mudah. Lebih menjanjikan. Kamu nggak bisa selamanya hidup hanya dengan mimpi dan cita-cita yang belum tentu juga tercapai. Kamu tidak lagi satu sekolah dengan teman-teman seper-mimpi-mu. Kamu yang menjalani hidupmu dan mengatur masa depanmu. Sendirian.
Lalu mimpi-mimpiku kehilangan rumahnya.
Masih ada, tapi yang punya mimpi sedang kebingungan. Bingung membangun kembali rumah-rumah untuk mimpinya yang sudah mencar, tersesat mencari jalan pulang.
Ditulis tahun 2021, waktu lagi cuti kuliah
1 note · View note
wafaauliya · 2 years
Text
Menggapai Langit
Buya Hamka pernah berkata, “Manusia itu asalnya dari tanah, makan dari hasil tanah, berdiri di atas tanah, dan akan kembali ke tanah. Kenapa masih bersifat langit?”
Manusia. Si kerdil yang merasa dirinya raja. Ingin berkuasa, ingin punya segala-galanya di dunia. Tak tahu saja ia jika dirinya terlalu kecil untuk dunia yang luasnya tak terbilang. Bumi tempat ia tinggal bahkan hanya jadi setitik debu jika dibandingkan dengan bintang terbesar di tata surya.
Manusia memang tak pantas bersifat langit. Memangnya apa yang bisa dilangitkan? Hartanya yang melimpah ruah? Atau jabatannya yang tinggi?
Manusia memang terlalu rendah untuk melangitkan diri, apalagi untuk bisa menjadi langit.
Tapi manusia tidak pernah terlalu rendah untuk punya mimpi setinggi langit. Manusia tidak pernah terlalu rendah untuk bisa menggapai langit.
Dan cita-cita tertinggi seorang manusia adalah ketika ia kembali ke tanah, tangannya berhasil menggapai Sang Maha Langit.
0 notes
wafaauliya · 2 years
Text
Namaku Bumi
Sebut saja aku egois. Tidak masalah.
Aku memang egois.
Hari ini adalah hari ke sekian sejak manusia-manusia itu hanya bisa berdiam diri di rumah. Seakan-akan dikurung, atau mungkin terjebak. Hanya bisa bertemu lewat pesan singkat atau saling bertatap muka di depan layar.
Aku hanya bisa tertawa melihatnya. Ini seperti mimpi mereka yang jadi kenyataan.
Hampir setiap hari, sore-sore, para remaja tanggung berseragam putih-abu berjalan keluar gerbang. Wajah mereka sebagian terlihat senang, lebih banyak yang terlihat suntuk. Saling bergandengan, atau kadang kebut-kebutan. Ingin segera sampai rumah mungkin.
Mereka saling bercengkerama. Percakapan yang hampir sama setiap harinya.
“Besok ulangan Kimia. Bolos aja, yuk!” disambut anggukan yang lain. “Habis istirahat nanti cabut ke rumah gua aja.”
Lagi, yang lain mengangguk mengiyakan.
“Bosen gua belajar di sekolah. Belajar di rumah juga bisa,”
“Bener banget. Percuma juga gua di sekolah tidur doang. Mending enggak usah sekolah sekalian…”
Disambut tawa yang membahana.
Aku ikut tertawa ketika akhirnya percakapan itu benar-benar terwujud. Tak lama sejak hari itu, gerbang sekolah tidak lagi ramai seperti biasanya. Mereka benar-benar tidak berangkat ke sekolah. Mimpi yang jadi kenyataan, mereka belajar di rumah.
Ah, tapi dasar manusia memang tak ada syukurnya. Masih dengan bocah-bocah yang sama, percakapan itu berlanjut di depan layar.   
“Tadi ada pembahasan bab Biologi baru di Zoom. Kalian enggak ikutan?”
“Enggak, ah. Males. Ngabisin kuota aja…”
“Bosan banget gua belajar di rumah. Sendirian doang, enggak seru. Udah mana gua di rumah disuruh bantuin nyuci piring sama nyapu lagi, ah!”
“Emang, ih. Bala banget, sih, ini virus!”
Aku hanya tertawa. Bukannya kemarin kalian yang ingin belajar di rumah?
Mereka tidak tahu saja, di seberang sana, ada seorang wanita muda dengan kemeja rapi dan kerudung berwarna pastel sedang sibuk menjelaskan di depan layar laptop jadulnya dan papan tulis butut yang ia pinjam dari mushala depan rumah. Ditemani oleh suara tangis dua anaknya yang baru menginjak usia dua dan tiga. Berebut mainan, berebut makanan. Sedang sang ibu masih berkutat dengan tumpukan buku dan penjelasan tentang sistem-pernapasan-pada-manusia.
Juga seorang gadis yang hari itu sibuk menyetrika pakaian sembari menunggu kakaknya selesai menggunakan laptop. Laptop satu-satunya di rumah itu, yang harus ia pakai bergantian dengan kakak dan adiknya untuk belajar daring. Harusnya hari ini ada pembelajaran bab baru Biologi, tapi ia tidak bisa ikut. Kakaknya lebih membutuhkan laptop itu. Ada ujian yang tidak bisa ditinggalkan. Tak mengapa. Ia bisa meminjam catatan temannya lain waktu.
Sungguh, aku benar-benar ingin tertawa.
Memang manusia tak pernah ada syukurnya.
***
Aku memang egois.
Ketika para manusia hari ini tertatih untuk tetap mendapatkan uang, aku hanya menatap mereka dengan senyum.
Seorang lelaki paruh baya berjalan terseok menuju rumah kontrakannya di dalam gang sempit. Wajahnya kuyu, penuh beban pikiran. Perusahaan tempatnya bekerja tak lagi mampu menggaji semua karyawan karena pemasukan yang menurun drastis. Ia menjadi salah satu yang dirumahkan. Bukan bekerja dari rumah, melainkan dirumahkan.
Entah akan ia beri makan apa anaknya yang kala itu baru masuk SD. Entah bagaimana ia membayar uang sewa kontrakan sedang yang bulan lalu masih menunggak. Entah dengan apa ia menyiapkan biaya persalinan istrinya yang saat itu sedang hamil besar. Entahlah, ia tidak tahu.
Namun beban pikiran itu seakan sirna ketika melihat wajah sang istri yang sedang menjemur pakaian sambil tersenyum ketika melihatnya sampai rumah. Juga ketika melihat anaknya berlari memeluk. Berteriak, “Ayah, mulai besok aku bakal libur sekolah, lho! Lama banget! Ayah libur juga enggak?”
Lelaki itu tersenyum. “Iya, Ayah juga libur. Nanti kita main lego bareng-bareng, ya, Nak.”
Sang anak bersorak, melompat. Kembali masuk ke dalam rumah. Lelaki itu berbalik, kini menatap istrinya yang dibalas dengan senyuman.
“Enggak apa-apa. Nanti kamu bantuin aku bikin nasi uduk aja buat dijual. Ya?” kalimat pendek dari istrinya yang sukses membuat semua beban di kepalanya menguap hilang.
Puluhan kilometer dari rumah kontrakan kecil itu, seorang pemuda tanggung dengan jas rapi dan rambut klimis berusaha menahan kantuk saat menghadiri rapat daring di dalam kamar pribadinya. Laptop yang terbuka, segelas kopi yang sisa setengah, dan wajahnya yang suntuk. Sudah hampir dua jam dan Pak Bos-nya yang terhormat tak kunjung menyelesaikan rapat.
Ketika Pak Bos akhirnya mengucapkan kalimat penutupan, buru-buru ia rapikan meja kerjanya.
“Aish, dua jam rapat cuma dapat ngantuk doang!” gerutunya kesal. “Kenapa gue enggak ikut libur kayak orang lain aja, sih?!”
Hah. Ia tidak tahu saja kalau ia adalah salah satu yang beruntung masih bisa bekerja.
Manusia benar-benar lucu. Mari kita tertawakan bersama.
***
Aku tahu aku egois. Kalian, para manusia, pasti tahu. Tapi, wahai, ternyata ada yang lebih egois dariku. Aku semakin tertawa dibuatnya.
Sambil menyesap bergelas-gelas kopi, orang-orang di dalam warung kopi itu tertawa dan mengobrol. Asap mengepul dari balik jendela. Beramai-ramai menonton siaran televisi, atau sekedar bergosip hangat tentang apa yang baru saja terjadi.
Siapa peduli dengan korban yang terus meningkat?
Tuang lagi teh dan kopinya. Cari semakin banyak bahan obrolan. Tonton kembali siaran televisi. Lagi. Lagi. Lagi. Semakin banyak yang datang semakin seru. Ajak kawan-kawan yang lain. Mungkin esok lusa giliran anak dan istri mereka yang berkumpul. Hendak membeli makanan dan baju baru untuk hari raya. Dengan uang gaji terakhir sebelum kena PHK, habiskan saja untuk beli baju.
Lagi, siapa peduli dengan korban yang terus meningkat?
Aku benar-benar semakin tertawa dibuatnya.
Sedangkan, hanya sepelemparan batu dari warung kopi yang ramai itu, seorang gadis kecil menatap jendela sambil memeluk boneka beruang. Tangan kanannya menggenggam ponsel yang menampilkan wajah yang tertutup masker.
“Ibu kapan pulang?” tanyanya.
“Sabar ya, Dik, lebaran nanti Insyaa Allah Ibu pulang. Doain, ya, semoga teman-teman disini cepat sembuh…” jawaban lirih yang terdengar. Seakan ragu, tak berani berjanji. Karena mungkin tak bisa ditepati.
“Aku boleh kesana temenin Ibu, enggak?”
“Jangan, ya. Adik di rumah aja. Bareng nenek sama kakak. Jangan kemana-mana. Jangan lupa sering-sering cuci tangan sama jangan malas makan sayur. Ya?”
“Oke!”
Untuk yang ini, aku tak bisa tertawa.
***
Aku memang egois.
Karena aku benar-benar senang.
Sore itu, di atas hamparan pasir pantai dan ditemani lautan lepas yang memantulkan cahaya jingga, seorang ayah dan anak asyik duduk di atas dipan sambil meminum teh hangat. Menatap kapal-kapal yang merapat, jalanan yang sepi, sepeda yang disandarkan tanpa pemilik, pelampung dan ban yang bertengger manis tak tersentuh.
Sang ayah mengusap rambut, menatap anaknya yang kini asyik bermain pasir di bawah kakinya. Sudah sebulan sejak manusia-manusia itu dikurung di dalam rumah. Jembatan penghubung antarpulau yang biasa ramai berubah sepi. Nyaris tidak ada orang kecuali penduduk setempat. Sepeda-sepeda yang biasanya ramai berlomba-lomba, saling kebut-kebutan mengejar sunset, kini hanya terparkir rapi tak bertuan. Kapal-kapal yang biasanya penuh sesak, kini hanya menjadi kapal pengantar barang tanpa penumpang.
Sang ayah menghela napas. Penginapan miliknya, yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluarga, sepi pengunjung. Atau mungkin, nihil pengunjung.
Sedih. Namun, karena aku egois, aku tetap tersenyum senang.
“Sudah lama, ya, Nak, kita enggak melihat pulau ini sepi…” sang ayah berkata.
Anak itu menoleh, mengangguk. “Iya.”
“Biasanya, dimana-mana ada orang. Kalau sore-sore begini, biasanya ada yang lompat dari jembatan itu…” sang ayah melanjutkan.
“Tapi aku lebih suka pulau ini sepi, lho, Yah!”
“Memangnya kenapa?”
“Karena enggak ada orang, pulau kita jadi enggak ada sampah. Dari kemarin aku belum ngumpulin sampah satupun lho, Yah!” sang anak tertawa semangat. “Biasanya, kalau ramai, aku suka nemuin sampah kalau aku lagi berenang,”
Hening yang lama.
Kini kalian mengerti, mengapa aku bersikap egois bukan?
Aku yang berbahagia ketika kalian semua harus terkukung dalam kegelisahan kapan semua hal buruk ini berakhir. Tapi, hei, ini buruk untuk kalian. Bukan untukku.
Bagaiman aku tidak tersenyum senang ketika akhirnya aku bisa melihat langit yang biru setelah sekian lama tertutupi “kabut” bernama asap dan polusi. Kendaraan para manusia yang hampir setiap hari memenuhi jalanan. Asap. Debu. Polusi. Kalian yang berteriak, saling memaki karena kena salip, suara klakson yang memekakkan. Kebut-kebutan di jalan, atau berdesakkan selama berjam-jam.
Pemandangan yang membuat sesak.
Tapi hari ini, aku melihat jalanan yang lengang. Angin berdesir menyapa satu-dua pohon yang ditanam di pinggir jalan. Tak ada asap, tak ada orang-orang yang berteriak marah. Siapa pula yang nyaman berteriak jika mulutnya ditutupi masker?
Aku rindu langitku yang biru. Dan kini, aku bertemu dengannya lagi.
Kalian juga bisa melihat lautku yang jernih. Kapal tanpa penumpang, artinya tak ada sampah di tengah lautan. Limbah yang menipis, karena si “pembuat” limbah tak bisa beroperasi. Pasir putih tanpa tumpahan bekas makanan, air sungai tanpa botol bekas minuman.
Karena kalian tak ada disana.
Lautku bersih.
Aku terlampau senang hingga lupa kalau hari ini kalian sedang bersedih. Sedih karena rindu sanak saudara. Sedih karena tak bisa wisuda. Sedih karena hilang pekerjaan. Sedih karena bosan tak ada hiburan. Sedih karena kehilangan yang dicinta.
Tapi tidak bagiku.
Aku senang.
Dan untuk kalian wahai manusia, harusnya kalian juga senang.
Mungkin ini pelajaran yang tak pernah ada di bangku sekolah. Para manusia yang selama ini merasa mahabesar, ternyata bisa tumbang hanya karena sebuah makhluk mikroskopis tak kasat mata.
Makhluk mikroskopis yang membuat perekonomian dua negara adidaya terjun bebas. Makhluk mikroskopis yang membuat ribuan perusahaan besar gulung tikar. Makhluk mikroskopis yang membuat ratusan ribu bahkan jutaan manusia terbaring lemah tak berdaya. Makhluk mikroskopis yang bisa membuat pusing kepala setiap pemimpin negara. Makhluk mikroskopis yang menghancurkan segala rencana konser artis-artis besar. Makhluk mikroskopis yang bisa menghapuskan Ujian Nasional. Makhluk mikroskopis yang mengubah semuanya.
Lagi, mereka hanya makhluk mikroskopis tak kasat mata.
Dan kau, wahai manusia. Masihkah merasa mahabesar?
Ditulis untuk lomba, tapi lupa lomba apa. Nggak menang juga, sih.
1 note · View note
wafaauliya · 2 years
Text
Penjual Roti Kukus
Hari itu jalanan macet. Sore itu, hari Jumat lautan manusia berlomba-lomba pulang ke rumah, melepas penat setelah seharia bekerja. Bukan hanya jalanan macet, tapi KRL juga penuh sesak. Pintu palang kereta api terbuka-tutup berkali-kali—salah satu penyebab kemacetan.
Sore-sore begini, matahari masih bersinar cukup terik. Walaupun AC sudah dinyalakan, hawa panas dan pengap masih terasa di dalam mobil. Aku bahkan sempat membuka kaca jendela, tapi tetap saja percuma.
Di tengah riuh-resah orang-orang yang terjebak kemacetan, ada satu orang yang tampak bahagia. Seorang penjual roti kukus menjajakan dagangannya di atas gerobak, di pinggiran jalan yang macet.
“Kamu tahu, enggak, kenapa Allah membuat jalanan ini macet?” tanya bunda tiba-tiba.
Aku tidak menjawab, malah balik bertanya. “Kenapa?”
“Karena Allah mau ngasih rezeki ke penjual roti kukus itu.”
Aku tercenung menatap penjual roti kukus yang sibuk melayani pembelinya yang memesan dari dalam mobil
Jika jalanan lancer, mungkin tidak ada yang memedulikan penjual roti kukus itu. Mobil-mobil melaju kencang, melewati begitu saja penjual roti kukus yang sudah berdiri di pinggir jalan. Tapi hari ini jalanan macet. Orang-orang dalam mobil yang kelaparan memilih mengganjal perut dengan membeli roti kukus.
Sebuah kebahagiaan kecil dibalik macetnya jalanan Jakarta.
Mungkin waktu itu bunda hanya asal ngomong soal tukang roti kukus yang tidak sengaja mobil kami lewati. Tapi ada satu hal yang aku pelajari dari tukang roti kukus ini.
Tentang melihat kesulitan dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandangku, kemacetan ini benar-benar tidak menguntungkan. Lama di jalan, kepanasan, lapar, dan sebagainya.
Tapi kita memang harus membuka mata lebih lebar dan melihat dari sudut pandang lain. Sudat pandang orang yang berbahagia. Seperti tukang roti kukus yang jualannya jadi laku, atau mungkin pengamen yang jadi lebih leluasa bernyanyi, dan warung-warung pinggir jalan yang Aqua botolnya ludes diborong pegendara mobil yang terjebak macet.
Karena dengan begitu kita bisa belajar untuk lebih banyak bersyukur.
Ditulis di atas kasur asrama. Lupa tanggal berapa.
0 notes
wafaauliya · 2 years
Text
Tinta Hitam
Hamparan pasir yang luas, menerbangkan debu-debu yang tersapu angin. Memedihkan mata. Ribuan manusia dengan pedang di tangan duduk bersila sambil sibuk bercengkrama. Beberapa malah tertidur, mengistirahatkan sisa-sisa tenaga yang telah habis dipakai berjalan jauh.
Tenda besar di atas hamparan pasir itu terdengar riuh.
“Kurang ajar!” teriakan lelaki sipit itu menggelegar. Tangannya menghentak-hentakkan tongkat ke meja. Wajahnya merah padam menahan amarah.
“Maaf, Tuan Hulagu Khan, tapi... Al-Musta’sim benar-benar marah. Dia menolak menyerah dan mengancam kita akan mendapat murka Tuhannya jika tetap menyerang Baghdad. Dia—”
“Berani-beraninya khalifah tua itu melawanku!” lelaki sipit itu menghiraukan penjelasan pemuda di hadapannya.
“Tunggu, Tuan,” pemuda di hadapannya menyela. “Aku bertemu dengan seseorang di Baghdad. Dia menawarkan kerja sama,”
 “Kersajama? Kita sudah punya pasukan besar, untuk apa kita bekerja sama dengan orang lain?” Hulagu Khan mendengus. “Siapa orang itu?”
“Dia Mu’ayaduddin, wazir Baghdad.”
***
Perpustakaan Bayt Al-Hikmah, 1258 M
Langit cerah membungkus kota Baghdad hari itu. 
Kota bundar dengan gerbang empat penjuru itu terlihat damai. Jalanan lengang. Hari masih pagi, penduduk kota ini masih sibuk di rumah masing-masing. Bercengkrama dengan keluarga, sambil menikmati segelas susu dan kibbeh[2].
Tapi sepagi ini, pemuda tegap dengan serban di kepalanya itu sudah berjalan meninggalkan rumah. Dengan bertumpuk-tumpuk buku di tangan, kakinya ringan melewati jalan setapak. Jalan yang yang sudah ribuan kali ia lewati. “Yaa Amer!” suara berat penuh wibawa terdengar memanggilnya dari jauh. Pemuda itu, Amer, menoleh bingung. Laki-laki dengan jubah dan serban putih yang memanggilnya. Ia duduk takzim di bawah pohon sambil mengelus janggutnya yang mulai memutih. Wajahnya teduh dan penuh wibawa.
“Kau terlambat, Amer.”
Amer melangkahkan kakinya menghampiri Lelaki Berjubah Putih tersebut. “Aku bahkan belum sampai perpustakaan Syekh[3]. Apanya yang terlambat?”
Lelaki Berjubah Putih itu tertawa. “Langit sudah terang. Kau terlambat menikmati matahari terbit.”
Amer menggaruk tengkuknya. “Kenapa Syekh Mustafa ada disini? Harusnyakita belajar di perpustakaan, kan?”
Lelaki Berjubah Putih itu, Syekh Mustafa, tersenyum. Tertatih-tatih ia berdiri dibantu oleh tongkat kayunya yang tampak lapuk. Semilir angin berhembus perlahan, menggoyangkan dedaunan rindang, menjatuhkan butir-butir embun.
“Tidak semua hal bisa kamu pelajari di dalam ruangan, Amer. Tadinya aku ingin kau melihat matahari terbit, ada salah seorang ilmuwan yang pernah membahas tentang itu.”
“Tsabit bin Qurrah. Aku sudah pernah membaca bukunya, tentang sistem peredaran matahari,” Amer berjalan mendekati Syekh Mustafa, membantunya berdiri.
“Terlalu banyak buku yang sudah kau baca, Amer. Rasanya, kau lebih cocok menjadi guru dibanding muridku,” Syekh Mustafa terkekeh. “Mari ke perpustakaan. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu.”  
Jalanan menuju perpustakaan yang tidak pernah sepi. Bayt Al-Hikmah, rumah kebijaksanaan. Rumah untuk manusia-manusia yang haus akan ilmu. Perpustakaan yang didirikan oleh seorang khalifah masyhur, Harun Al-Rashid. Ribuan buku yang tersimpan rapi di atas rak-rak kayu raksasa, juga para murid dan guru yang tak pernah alfa mendatangi perpustakaan untuk berburu ilmu. Cahaya ilmu yang yang terang-benderang menyinari Baghdad, masa keemasan bagi peradaban Islam.
Syekh Mustafa berhenti di depan sebuah rak raksasa, tangan keriputnya meraih sebuah buku bersampul cokelat yang kertasnya tampak kekuningan.
“Kau pasti pernah membaca buku ini. Rancangan kapal terbang, karya Ibnu Firnas,” kata Syekh Mustafa seraya membersihkan butir-butir debu yang menempel.
Amer mengangguk.
“Tapi, apa kau tahu kisah dibalik pembuatan buku ini?” Syekh Mustafa bertanya.
Kini Amer menggeleng.
“Demi membuat kapal terbang ini, Ibnu Firnas rela terjatuh ketika melompat dari menara masjid saat mencoba rancangan pertamanya,” Syekh Mustafa terdiam sejenak, lantas kembali bertanya, “Apa kau tahu, Amer, mengapa Ibnu Firnas begitu gigih membuat kapal terbang ini?”
“Tidak, Syekh.”
Syekh Mustafa berjalan perlahan menuju sisi lain perpustakaan, lantas mengambil sebuah gulungan kertas lalu membukanya di atas meja pualam.
“Peta dunia, buatan Al-Idris,” Amer mendesis
“Benar, Amer. Ini peta dunia, dan kita berada disini,” Syekh Mustafa menunjuk letak Kota Baghdad pada peta. “Jarak kita dengan Mekkah tidak terlampau jauh. Dalam hitungan hari, penduduk Baghdad dapat sampai ke Mekkah dengan menaiki unta untuk beribadah ke Baitullah.”
“Tapi tidak dengan mereka,” jemari Syekh Mustafa bergeser jauh ke timur. “Mereka tinggal jauh dari Mekkah. Ratusan farsakh jaraknya. Terpisahkan oleh hamparan lautan. Butuh waktu nyaris satu tahun bagi penduduknya untuk sampai ke Baitullah dengan menggunakan kapal laut.”
“Lalu, apa hubungannya dengan Ibnu Firnas, Syekh?” Amer bertanya tidak mengerti. “Inilah tujuan Ibnu Firnas membuat kapal terbang, Amer,” Syekh Mustafa tersenyum, menatap Amer dengan mata berbinar. “Inilah cita-cita Ibnu Firnas. Mendekatkan Baitullah kepada seluruh umat muslim di dunia, agar setiap muslim dapat menjejakan kaki di tanah haram ini,”
“Sayangnya, Amer, hingga akhir hayatnya, Ibnu Firnas belum sempat membuat wujud asli dari kapal terbang ini. Buku ini hanya akan jadi buku bisaa yang dipenuhi oleh gambar-gambar, jika tidak ada yang mau memulai untuk mewujudkannya,”
Syekh Mustafa menghela napas. Mengusap buku di tangannya perlahan, lalu tersenyum tipis. “Aku ingin sekali mewujudkan cita-cita Ibnu Firnas, Amer. Tapi aku sudah terlalu tua, hidupku tak akan lama lagi. Aku juga mungkin tidak sepintar ilmuwan-ilmuwan lainnya, aku hanya penjaga perpustakaan bisaa. Tapi kau…”
Syekh Mustafa menatap Amer dengan mata berbinr. Tangan tuanya patah-patah meraih tangan Amer, lalu menyerahkan buku tua karya Ibnu Firnas kepadanya. “Aku punya harapan besar padamu, Amer. Aku yakin, kau bisa mewujudkan cita-cita mulia Ibnu Firnas.”
Amer mengerjap. Sebersit keraguan muncul di wajahnya. Ia hanya pelajar bisaa. Manusia yang haus akan ilmu. Ia bukan ilmuwan besar seperti Ibnu Firnas.
Seakan bisa membaca isyarat keraguan di wajah Amer, Syekh Mustafa tersenyum seraya berkata, “Jika Ibnu Firnas tidak membuat buku ini, mungkin sekarang namanya tak akan kita sebut-sebut. Terlupa begitu saja.”
“Tapi tidak, Amer. Ia menghabiskan sisa hidupnya untu membuat rancangan kapal terbang. Ia… membuat karya untuk umat,” Syekh Mustafa menepuk lembut bahu muridnya. “Aku tahu, kau juga bisa membuat karya itu.”
Amer terdiam. Isyarat keraguan masih tersisa pada wajahnya, namun kini disertai dengan binar semangat.
Hari itu, sebuah cita-cita baru saja terdeklarasikan dalam hatinya.
***
Hulagu Khan menatap orang di hadapannya dengan tatapan penuh selidik.
“Apa yang bisa kau berikan kepadaku jika kita bekerja sama?” tanya Hulagu Khan. Seorang penerjemah segera menerjemahkan ucapan Hulagu Khan.
Orang di hadapan Hulagu Khan, Mu’ayaduddin, terkekeh. “Apa saja. Bertahun-tahun aku tinggal di Baghdad, aku tahu apa saja tentang kota ini.”
Hulagu Khan masih memusatkan pandangannya kepada Mu’ayaduddin, seolah tak percaya.
“Bertahun-tahun aku tinggal di sini, bahkan aku diangkat menjadi wazir. Bertahun-tahun pula aku hidup dalam lingkungan Islam, padahal aku bukan seorang muslim. Aku tahu kebisaaan mereka, sejarah mereka, bahkan setiap hari aku bertemu dengan khalifah mereka,” jelas Mu’ayaduddin.
Hulagu Khan mengangguk-ngangguk. “Berarti, kau mengkhianati mereka? Kenapa?”
Mu’ayaduddin tersenyum. “Aku muak hidup dalam lingkungan Islam, mereka sudah terlalu lama Berjaya. Aku ingin mendirikan lingkunganku sendiri.
Tapi aku hanya seorang diri, dan kau memiliki ribuan pasukan. Kita memiliki tujuan yang sama. Menghancurkan Baghdad, menghancurkan khilafah Islam di muka bumi ini.”
“Tapi untuk apa aku bekerja sama denganmu? Ratusan ribu pasukanku sudah cukup untuk meluluh-lantahkan kota ini!” suara Hulagu Khan meninggi.
“Kau tidak bisa meremehkan mereka, Hulagu Khan.” Mu’ayaduddin berjalan mendekati Hulagu Khan. Seringainya mengembang. “Mereka adalah bangsa muslim. Mereka bangsa yang sangat kuat. Mereka ahli bermain pedang dan memanah,”  
Suara tawa membahana ke seisi tenda. Hulagu Khan meraih tongkat kayu, lantas memukulkannya ke kepala Mu’ayaduddin. “Hahaha… bodoh! Mereka adalah orang-orang lemah yang kerjanya hanya membaca buku. Pasukanku jelas lebih kuat dari mereka!”
“Ini sungguhan, Hulagu Khan!” suara Mu’ayaduddin meninggi. “Mereka sangat ahli berperang. Ratusan peperangan yang mereka ikuti, tak pernah sekalipun mereka kalah. Perang Badar, perang Khaibar, perang Hunain… mereka selalu menang. Bertahun-tahun lalu, ada seorang khalifah yang berhasil memperluas daerah kekuasaan hingga Damaskus, Suriah, Al-Quds bahkan Persia. Mereka tidak dapat diremehkan…”
Tawa membahana Hulagu Khan seketika berhenti. Wajah jumawanya memerah, tangannya mencabut pedang dari dari pinggang. Seakan siap menebas kepala Mu’ayaduddin kapan saja. “Omong kosong! Yang bisa mereka lakukan hanya membaca dan menulis! Tangan mereka hanya kuat mengangkat pena, bukan pedang apalagi tombak!”
“Justru itu, Hulagu Khan,” Mu’ayaduddin menahan gerakan Hulagu Khan. “Itulah mengapa kau membutuhkanku jika kau ingin menghancurkan Baghdad. Aku tahu dua hal yang membuat mereka menjadi kuat.”
Hulagu Khan menatap Mu’ayaduddin penuh selidik. “Apa?”
“Yang pertama, mereka punya pemimpin. Mungkin Al-Musta’sim hanya pemimpin yang lemah. Tapi seluruh umat muslim patuh padanya,” Mu’ayaduddin terdiam sejenak, menarik napas. “Yang kedua adalah perpustakaan di pusat kota. Mereka punya perpustakaan yang menampung ribuan buku dari berbagai zaman Dari sanalah penduduk Baghdad belajar, hal yang tidak pernah bangsa kita lakukan. Mereka belajar membaca pergerakan matahari, tata negara, hingga strategi perang. Mereka juga bisa membuat senjata, bahkan kapal terbang. Dari perpustakaan ini juga mereka membaca tentang sejarah kemenangan-kemenangan mereka di masa lalu.”
Hulagu Khan terdiam. Menaruh kembali pedangnya ke dalam sarung di pinggagnya.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Inilah dua titik Kota Baghdad yang akan kita serang,” Mu’ayaduddin menyeringai senang “Istana dan perpustakaan.”
***
Januari, 1258
Hulagu Khan benar-benar menyerang Baghdad hari itu.
Atas bantuan Mu’ayaduddin, sang pengkhianat, ia dan pasukannya berhasil memasuki Baghdad. Ratusan ribu bala tentara Hulagu Khan mengepung Baghdad dari arah barat dan timur sungai Tigris. Mu’ayaduddin bahkan memberikan jalan kepada Hulagu Khan dan pasukannya untuk memasuki istana.
Mu’ayaduddin menghadirkan seorang penari di istana, membuat Al-Musta’sim sibuk menonton penari cantik di hadapannya menari dengan lihai. Hingga tak menyadari bahwa di luar istana, rakyatnya sedang dibantai habis-habisan.
Maka ketika sebuah anak panah tak sengaja mengenai sang penari, Al-Musta’sim baru menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan kotanya.
“Apa yang terjadi? Kenapa ada anak panah masuk ke istanaku?!” Al-Musta’sim bertanya pada wazir-nya, Mu’ayaduddin.
“Baghdad diserang oleh bangsa Mongol,” jawab Mu’ayaduddin, berpura-pura panik.
Mata Al-Musta’sim membelalak. “Bawa aku keluar istana! Aku harus melihat keadaan rakyatku,”
“Tunggu, Tuan!” Mu’ayaduddin menghadang langkah Al-Musta’sim. “Rakyat akan marah jika melihatmu baru datang sekarang. Aku punya saran, agar rakyat tidak melihatmu,”
Tak lama sebuah kereta kuda melintas keluar istana. Membawa seorang wazir pengkhianat dan seorang khalifah yang kini wajahnya tertutupi karung. Agar tidak terlihat oleh rakyatnya.
***
Meja pualam itu kini tampak berantakan. Puluhan buku bertumpuk di atasnya. Beserta pemuda cemerlang yang kini tengah sibuk membaca buku yang dipenuhi gambar-gambar simetris dan angka-angka.
Ia mengusap wajah, membalikkan badannya menghadap Syekh Mustafa yang kini tengah sibuk merapikan buku-buku di rak.
“Kapal terbang yang dibuat Ibnu Firnas hanya untuk satu orang, Syekh,” keluhnya. “Tidak mungkin kita membawa penduduk dari Negeri Kepulauan itu menuju Mekkah dengan kapal terbang satu-satu bukan?”
“Kalau begitu perbesar ukuran kapalnya, Amer,” Syekh Mustafa terkekeh, masih sibuk merapikan buku-buku yang berceceran di atas karpet beludru.
“Aku butuh banyak orang untuk membuat kapal terbang raksasa,”
“Ajaklah teman-temanmu yang lain. Ini akan menjadi sebuah karya besar,” Syekh Mustafa berjalan mendekati Amer.
“Tapi buku ini hanya ada satu. Aku tidak bisa menggandakanya, terlalu banyak gambar,” keluhnya lagi.
“Mungkin, sebelum membuat kapal terbang, kau harus menciptakan alat yang bisa menggandakan kertas, Amer,” Syekh Mustafa terkekeh lagi, menepuk-nepuk bahu Amer lalu kembali merapikan rak buku.
Amer menghela napas. Kembali tenggelam dalam buku-buku.
BRUK!
Pintu perpustakaan dibanting dengan kasar. Seluruh kepala tertoleh, tampak terkejut. Termasuk Amer yang kini malah berdiri karena penasaran. Suara gaduh mulai mengisi seisi perpustakaan. Derap langkah kaki yang terdengar semakin mendekat. Pintu-pintu lain dibuka paksa, dibanting. Kaca-kaca jendela dipecahkan. Ratusan manusia dengan baju besi melekat di tubuhnya bergerombol memasuki perpustakaan.
“Aiii-haah!” teriakan-teriakan komando yang tak jelas artinya. Pedang-pedang yang saling beradu dengan rak-rak kayu. Wajah-wajah bengis yang menyiratkan kemarahan.
“Apa yang terjadi?” Amer bertanya panik. Melihat teman-temannya yang sedang sibuk membaca buku berteriak lalu berlari kalang-kabut mencari jalan keluar. “Syekh, apa yang terjadi?”
Syekh Mustafa tidak menjawab. Wajahnya pucat, sedangkan tangannya cekatan meraih beberapa buku yang dapat dijangkau.
“Aku tahu hari ini akan datang, Amer,” katanya kemudian. Tangannya sudah penuh oleh buku. “Selamatkan sebanyak mungkin buku-buku, kita pergi dari sini!”
Amer bergegas meraih buku apa saja yang berada di atas meja pualam, tak terkecuali buku karya Ibnu Firnas. Peluh mengalir dari pelipisnya. Manusia-manusi berbaju besi semakin banyak memasuki perpustakaan, sekan taka da habisnya. Ayunan pedang merobek lembaran-lembaran buku yang tersimpan rapi di atas rak.
“Apa yang terjadi, Syekh?” Amer masih penasaran bertanya.
“Kita diserang, Amer!” suara Syekh Mustafa meninggi. Kaki tuanya tertatih-tatih melangkah, berusaha untuk berlari. “Aku tahu hari ini akan terjadi. Baghdad adalah kota besar, pusat segala ilmu pengetahuan. Pusat peradaban umat muslim. Ada banyak orang yang ingin menguasai kota ini, ingin menghancurkannya.”
Amer menuntun Syekh Mustafa berlari. Sibuk melindungi gurunya dari lemparan buku dan benda-benda tajam yang melintas. “Siapa yang menyerang kita, Syekh? Siapa mereka?!”
“Bangsa Mongol.”
***
“Habisi mereka! Tak ada ampun!” Hulagu Khan berteriak puas. Pedangnya tersimpan rapi di pinggang, sedang tangannya menggenggam tongkat kayu yang sibuk menunjuk-nunjuk. “Bakar, bakar semua yang kalian lihat! Perpustakaan, toko, bahkan masjid sekalipun!”
Suasana Baghdad yang damai berubah mencekam. Darah menggenang, suara teriakan yang tak putus-putus bersahutan. Wanita-wanita yang diperkosa menangis mencoba melawan, tapi tentara Mongol terlalu biadab untuk dicegah. Toko-toko yang dijarah habis serta kobaran api di berbagai sudut menambah semarak pagelaran kematian di kota ini.
Tentara-tentara bermata sipit itu terus menyerang tanpa ampun. Baghdad sudah terkepung, benteng-bentengnya sudah dikuasai oleh Hulagu Khan beserta pasukannya.
Salah seorang pasukan Mongol menghampiri Hulagu Khan. “Tuan, Al-Musta’sim sudah datang.”
“Bawa dia kemari!”
Sebuah kereta kuda berhenti di hadapan panglima tentara Mongol itu. Mu’ayaduddin turun terlebih dahulu. Lalu dengan wajah puas ia menuntun sang khalifah yang kini wajahnya tertutupi karung.
Pasukan Hulagu Khan segera meringkus Al-Musta’sim. Sebelum sang khalifah dapat mengelak, tangannya telah diikat. Ia didudukkan di tempat yang cukup tinggi.
“Buka karung yang menutupi kepala khalifah tua itu! Biarkan ia melihat rakyat kesayangannya menderita! Hahaha…” tawa Hulagu Khan menggetarkan seisi Baghdad.
Al-Musta’sim menangis dalam diam. Meratapi kotanya dengan penuh rasa sesal dan sesih. Ratusan ribu rakyatnya mati bersimbah darah di tanah sendiri. Disembelih, ditusuk, dibakar. Bahkan anak-anaknya pun ikut terbunuh. Kotanya hancur lebur, dan dirinya hanya menunggu waktu untuk menemui kematian. Sedangkan wazir kesayangannya, ikut tertawa puas bersama Hulagu Khan.
“Bunuh dia!” teriak Hulagu Khan lagi.
Maka sebuah karung besar membungkus tubuh Al-Musta’sim. Ia digulingkan di atas tanah, dan sebilah pedang menusuk menembus karung. Mu’ayaduddin menjadi orang pertama yang menusukkan pedang. Diikuti puluhan tentara Mongol yang lainnya.
Hari itu, 10 Februari 1258.
Cahaya di kota bundar itu meredup. Baghdad resmi menyerah.
***
Tentara Mongol semakin gencar mengepung perpustakaan. Mereka membunuh dan menangkap siapapun orang yang dilihat. Mereka juga mengambil buku-buku dan membawanya keluar perpustakaan.
Amer terus berlari dengan tangan kirinya menuntun Syekh Mustafa, sedang tangan kanannya menggenggam buku-buku yang sebagian besar mulai berjatuhan. Syekh Mustafa bahkan sudah tidak sanggup membawa buku-buku lainnya. Tangannya sudah terlalu tua untuk mengangkat beban berat.
Berkali-kali pedang tentara Mongol nyaris menebas, tapi Amer berhasil menghindar. Demi melihat Syekh Mustafa yang tampak kelelahan, Amer memilih untuk berhenti dan bersembunyi di bawah meja.
“Mereka membawa buku-buku keluar perpustakaan, Syekh. Mau dibawa kemana buku-buku itu?” Amer bertanya dengan napas tersengal. Jantungnya berdegup kencang. Kaki-kaki tentara Mongol berlalu-lalang sekian jengkal di hadapannya.
“Aku tidak tahu, Amer,” Syekh Mustafa menjawab dengan suara lemah. “Yang aku tahu, mereka ingin menghancurkan kita, Amer. Mereka ingin menjauhkan kita dari buku-buku ini…”
Seyd Mustafa mengatur napas, tubuhnya terkulai lemah kelelahan. “Kau pergilah, Amer. Selamatkan dirimu. Tinggalkan aku disini, aku sudah terlalu tua, hanya akan menghambatmu. Pergilah, Amer…”
Amer menggeleng keras. “Tidak, Syekh. Aku lebih baik mati daripada meninggalkanmu disini,”
“Tidak Amer, dengarkan aku…” Syekh Mustafa menggenggam tangan Amer, matanya menatap Amer lekat-lekat. “Ratusan buku di perpustakaan ini sudah habis dirobek dan dirusak. Belum lagi buku-buku lain yang mereka ambil. Tapi kau, kau masih menyimpan ilmu-ilmu yang ada di dalam buku itu dalam kepalamu. Kau harus mewarisi ilmu itu, Amer. Kau dan teman-temanmu yang lain. Jangan sampai ilmu itu hilang…”
“Pergilah, Amer. Bawa buku-buku yang masih tersisa, terutama buku karya Ibnu Firnas. Aku masih menyimpan harapan besar agar kau menjadi pewujud cita-cita mulia itu…”
Amer terdiam, namun tak ada waktu untuk berpikir. Dengan air mata menggenang di pelupuk matanya, ia mengangguk lalu memeluk Syekh Mustafa yang sudah bertahun-tahun menuntunnya menuntut ilmu. Sebuah langkah kecil yang berat mengantarkannya menuju pintu Perpustakaan Bayt Al-Hikmah.
Amer berlari menerobos kerumunan. Hanya satu buku yang ia bawa; buku karya Ibnu Firnas. Berkali-kali kakinya terantuk kayu dari patahan meja, kursi atau rak buku. Berkali-keli tentara Mongol meneriakinya, berkali-kali pula sabetan pedang mengarah kepadanya.
Hingga tepat satu langkah menuju pintu perpustakaan, sebilah pedang menyayat lengannya. Membuatnya jatuh terjerembab, dan buku yang ia pegang terlempar.
Amer meringis. Darah segar membasahi lengan bajunya yang sudah terkoyak. Patah-patah ia mencoba berdiri untuk mengambil bukunya yang terlempar jauh.
“Aiii-haaah…!” tapi sejurus pedang sudah mengarah padanya. Maka ia tak punya pilihan. Dengan sigap ia melompat, menghindari sabetan pedang dari tentara Mongol tak beradab itu. Amer berlari menuju pintu dengan dada yang terasa sesak.
Meninggalkan buku karya Ibnu Firnas, sekaligus cita-cita Syekh Mustafa.
Amer berlari tak tentu arah. Keadaan di luar perpustakaan ternyata tak ubahnya dengan yang ia lihat di dalam. Ribuan manusia yang mati bergelimpangan, juga bangunan-bangunan yang hangus terbakar.
Amer menatap sekeliling dengan napas tersengal. Air, ia butuh air untuk membersihkan lukanya dan mengistirahatkan diri. Maka dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkahkan kaki keluar dari gerbang Kota Baghdad menuju Sungai Tigris.
Sungai yang telah ratusan tahun menjadi sumber kehidupan penduduk Baghdad.
Amer menjatuhkan dirinya di pinggiran sungai. Mengatur napas, lantas menciduk air dengan tangannya.
Tapi air sungai itu tak lagi jernih.
Beberapa lembar kertas hanyut mengikuti arus sungai. Amer perlahan meraihnya. Dan pertanyaannya terjawab sudah. Tentara Mongol membuang seluruh buku-buku di perpustakaan ke sungai Tigris. Menjadikan buku-buku itu sebagai jembatan untuk menyebrangi sungai. Menghancurkannya, agar tak ada lagi ilmu untuk umat Islam di masa yang akan datang.
Menyisakan tinta hitam yang luntur mewarnai air jernih sungai Tigris.
TAMAT
Sumber: pelajaran Siroh bersama Pak Maksum
            Catatan:
Sumber dari cerita ini adalah pelajaran Siroh dari guru Siroh penulis sewaktu SMA. Sejarah keruntuhan Khilafah Abbasiyyah bisa saja berbeda tergantung dari mana sumbernya.
Cerita ini adalah cerita fiksi sejarah yang mana tidak semua tokoh dalam cerita ini asli (dalam hal ini tokoh Syeikh Mustafa dan Amer adalah tokoh fiktif yang dibuat penulis
Hanya ada sekitar 400.000 buku di perpustakaan Bayt Al-Hikmah yang dapat diselamatkan. Sisanya menghilang atau hanyut di sungai Tigris.
Buku tentang rancangan kapal terbang karya Ibnu Firnas juga termasuk dari sekian ratus ribu buku yang hilang. Ratusan tahun kemudian, pada abad ke-20, Wright Bersaudara menciptakan kapal terbang (pesawat) pertama. Membuat dunia mengenal mereka sebagai Bapak Penerbangan, dan melupakan fakta bahwa ilmuwan muslim lah yang pertama kali membuat rancangan pesawat.
Ditulis sebagai tugas portofolio Bahasa Indonesia XII IPS
1 note · View note
wafaauliya · 2 years
Text
Hujan
Langit terlihat mendung. Gumpalan awan kelabu menutupi cahaya mentari. Tetesan hujan membasahi jalanan sekolah, disertai angin yang berhembus kencang. Guntur dan kilat saling bersahutan. Menambah semarak pagelaran hujan di langit sana. Murid-murid tampak berteduh di koridor sekolah. Hujan deras menghentikan acara senam bersama hari itu.
“Yah, acara kita gagal, Iz!” Bima berlari mendekati Faiz sambil menutupi kepalanya dengan kedua tangan.
Faiz menghela napas. Menatap hujan yang semakin deras. Tadi ia terpaksa hujan-hujanan untuk melindungi peralatan senam dari air hujan. Sebagai panitia, ia bertanggung jawab atas semua itu.
Hujan berangsur-angsur reda. Sebagian besar murid sudah pulang, tinggal beberapa panitia yang sibuk wara-wiri di tengah lapangan sekolah.
“Faiz,” Bima menepuk pundak Faiz. “Kamu jangan pulang dulu, ya. Kita masih ada rapat,” Faiz mengiyakan. Duduk bersandar di sebuah pintu kelas. Langit masih menyisakan beberapa tetes air hujan. Ia mencoba beristirahat sejenak sebelum mengikuti rapat.
Namun istirahat itu tidak berlangsung lama.
“Kak Faiz!” seorang gadis kecil berlari ke arahnya. Seragam merah-putihnya tampak sedikit basah. Wajah bundarnya terlihat kesal.
“Ayo pulang, Kak! Salma sudah menunggu dari tadi, Kakak enggak datang-datang. Kak Faiz tahu, kan, Salma pulang cepat hari ini?” gadis kecil itu merengek. Menarik-narik lengan bajuFaiz. “Kamu,  kan, bisa pulang sendiri...”Faiz menyahut datar.
“Iih, Salma takut... ayo pulang...” Salma masih terus merengek.     
Faiz menatap Salma jengkel. “Kamu pulang sendiri saja. Kakak sibuk. Sebentar lagi akan ada rapat. Rumah kita, kan, dekat dari sini.”
Salma merengut. Mengangguk lantas balik kanan. Pulang ke rumah.
***
Faiz membuka pintu rumahnya. Melepas seragam dan sepatu olahraganya yang basah kuyup. Menaruhnya di ember.
“Dari mana saja, Faiz?” Bunda menyapa.
“Rapat, Bun.”
Bunda menghela napas. “Faiz, berapa kali Bunda harus bilang? Jangan biarkan adikmu pulang sendiri. Memangnya enggak bisa, kamu antar dia dulu ke rumah lalu balik lagi ke sekolah untuk rapat?” Faiz diam saja. Tidak menghiraukan omongan bunda. Bunda sudah mengatakan hal ini kepadanya jutaan kali. Faiz sudah terbiasa. Sudah hafal urutan kalimatnya.
“Dia itu masih SD! Kasihan, pulang-pulang kedinginan. Faiz! Kamu dengar Bunda tidak?”
Faiz mengiyakan. Menyandang ransel hitamnya. Berjalan menuju kamarnya.
“Jangan ulangi lagi!” Bunda mengingatkan.
“Iyaa...” Faiz mengacungkan jempolnya dari dalam kamar.
Faiz. Anak laki-laki ini sebenarnya baik. Hanya saja sikap cueknya ini lumayan menjengkelkan untuk Bunda. Sikap cuek dan tidak peduli terhadap adik perempuannya, Salma. Faiz tidak suka pada anak kecil. Apalagi anak perempuan semacam Salma. Ia sering kesal jika melihat Salma menangis atau merajuk. Ia tak pernah mau jika Salma mengajaknya bermain. Tentu karena Salma mengajaknya bermain permainan anak prempuan. Namun, jika Salma mengajaknya bermain bola sekalipun, ia tak akan pernah mau.
***
Faiz mengancingkan seragam putih-birunya. Menatap wajahnya di cermin. Merapikan rambutnya yang masih basah. Menyandang tas, lalu berjalan menuju meja makan. Duduk di salah satu kursi.
“Kamu ada rapat panitia lagi, Iz?” tanya Bunda sambil mengoleskan mentega di selembar roti.
“Iya, Bun. Seminggu ini masih sering rapat dan pulang telat, deh.”
“Ooh, ya sudah,” Bunda menaruh beberapa lembar roti di atas piring. “Tapi jangan lupa,
antarkan adikmu pulang dulu ke rumah. Jangan seperti kemarin...”
Faiz mengangguk malas. Melirik adiknya yang lahap mengunyah roti.
“Ayo berangkat!” Faiz berdiri, mengajak adiknya untuk segera berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumah tidak terlalu jauh, bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki.
Matahari tampak cerah pagi itu. Sepertinya hujan tak akan turun hari ini. Faiz mengangkut beberapa barang ke tengah lapangan. Mengusap keringat yang mengalir di dahinya. “Faiz!” Bima berlari mendekati Faiz. Faiz menoleh. “Besok, kita diminta Rasyid untuk membeli perlengkaan lomba yang kurang,”
“Kita? Bukannya beli perlengkapan, tugasnya Sekar, ya?” Faiz bertanya. Bima angkat bahu. “Enggak tahu. Katanya Rasyid, Sekar izin enggak bisa beli karena ada keperluan mendadak besok.”
“Ooh, oke!” Faiz mengangguk. Kembali sibuk dengan kegiatannya.
Rencana hanyalah rencana. Secerah apapun matahari bersinar tadi pagi, siangnya hujan tetap turun dengan deras. Mungkin karena cuaca yang tidak menentu akibat pemanasan global. Melihat air mulai menjatuhkan dirinya dari langit, murid-murid di tengah lapangan langsung berhamburan menuju koridor sekolah. Acara hari itu adalah melukis bersama. Masing-masing menyelamatkan alat lukisnya dari air hujan. Cat-cat bertumpahan, membuat warna-warni sekitar lapangan.
Faiz duduk di tengah lapangan bersama dengan Bima dan panitia lainnya. Menghela napas. Membiarkan hujan membasahi seragam putih-biru mereka yang juga sudah warna-warni dengan cat air.
“Setidaknya sebelum hujan turun, mereka senang dengan acara kita...” Faiz mencoba menghibur diri.
Bima mengangguk. “Kita harus segera membersihkan lapangan sekolah,” Rasyid, ketua pelaksana acara tersebut, mengomando teman-temannya untuk segera membersihkan lapangan sekolah dari cat-cat yang tumpah. Hujan masih turun deras. Tak apa. Justru air hujan membuat cat larut sehingga mudah dibersihkan. Tak peduli dengan badan
kuyup. Mereka sudah terlanjur basah dari tadi. “Kak Faiz!”
Faiz mendengus. Aduh, Salma datang. Pasti ia meminta diantarkan pulang. Malas sekali Faiz mengantarkannya. Faiz diam saja. Melanjutkan bersih-bersih, pura-pura tidak mendengar. “Kak Faiz! Ayo pulang. Salma kedinginan...” Salma berlari mendekati Faiz. Menarik seragam Faiz. Sekujur tubuhnya kuyup. Ia tidak memakai apapun untuk melindunginya dari hujan. “Pulang sendiri. Kakak sibuk. Kamu lihat, kan, Kakak sedang bersih-bersih?” Faiz menyahut datar. “Tapi, Kak, Bunda bilang... Kakak harus antar Salma pulang...” rengek Salma. Menolak untuk pulang ke rumah sendiri.
“KAKAK SIBUK SALMA!” bentak Faiz kesal. Salma mundur selangkah. Mulai terisak. “Hujan, Kak. Salma kedinginan. Kalau Salma sakit bagaimana?” Faiz menggigit bibir. Berlari menuju koridor sekolah, meraih ransel hitamnya yang ia taruh di depan kelas. Mengambil payung dari dalam tas tersebut. Melemparkan payung itu pada Salma. “Lain kali, bawa payung!”
Salma menangkap payung yang diberikan Faiz. Menatapnya dengan wajah kesal. Melemparkannya ke tanah.
“Salma enggak mau payung! Salma maunya Kak Faiz antar Salma pulang ke rumah!” isaknya.
Faiz tertegun. Teman-teman panitia yang berada di tengah lapangan langsung menoleh ke arah Salma. Beberapa mencoba mendekati.
Faiz mengambil payung yang Salma lemparkan ke tanah. Menghela napas. “Ya sudah kalau kamu tidak mau pakai payung. Kamu hujan-hujanan saja...”
Salma melotot. Menyibak poni yang hampir menutupi matanya. Dengan wajah kecewa, ia balik kanan. Pulang ke rumah sendirian, tanpa payung.
***
Faiz datang ke sekolah dengan wajah kusut. Kemarin Bunda memarahinya habis-habisan. Semalaman tiada henti. Tentu saja karena Faiz membiarkan Salma pulang sendiri ke rumah. Hujan-hujanan, tanpa pelindung apapun. Akibatnya hari ini Salma demam tinggi. Sebenarnya, itu cukup menguntungkan bagi Faiz. Salma tidak masuk sekolah hari ini. Ia tidak perlu mendengar rengekan adik perempuannya itu untuk pulang ke rumah. Hari ini, ia harus pergi ke toko membeli perlengkapan lomba yang kurang. Dengan meminjam sepeda milik sekolah, kdua anak laki-laki itu bersiap-siap di gerbang sekolah. “Yuk!” ajak Bima.
Faiz mengangguk, mencoba tersenyum. “Aku sudah persiapan bawa HP,” Faiz menunjukkan ponsel yang ia selipkan di kantong celana olahraga. Bima mengancungkan jempol.
Perjalanan menuju toko itu memang cukup jauh dan melelahkan. Walaupun tidak harus melewati jalan raya, namun mobil dan motor banyak berlalu-lalang. Bima bersepeda di depan, Faiz satu meter di belakangnya. Mengayuh di pinggir jalan.
Tetetet... “Eh, Bima! Tunggu... tunggu... ada telepon,” Faiz menghentikan sepedanya. Mengambil ponsel dari saku celananya. “Halo?”
“Faiz?”
“Eh, Bunda. Kenapa?”
“Faiz, bisa tolong belikan obat di apotek untuk Salma? Demam Salma makin parah. Ia sampai mengigau, Iz...” pinta Bunda.
Faiz menghela napas. “Faiz ada keperluan, Bun. Tidak bisa beli obat. Faiz, kan, sudah bilang akan pulang telat hari ini. Kenapa tidak Bunda saja yang beli obat?”
“Salma tidak bisa ditinggal, Faiz. Dia menangis terus dari tadi. Ayolah... toh, Salma sakit juga karena kamu.” Bunda memaksa. “Ya sudah, kamu tidak usah membeli obat. Yang penting kamu pulang dan bantu Bunda menjaga Salma,”
“Aduh, Bunda... Faiz enggak bisa. Faiz sedang di jalan, masak harus balik lagi? Faiz sibuk, Bun. Banyak barang yang belum dibeli untuk lomba besok. Lagipula, Salma penakut banget sampai tidak mau ditinggal...” Faiz menyangkal.
“Salma sedang sakit Faiz! Dia demam tinggi, dari tadi hanya bisa tidur! Ini, kan, adikmu Faiz?! Bunda hanya minta kamu pulang ke rumah! Sekarang!” suara bunda meninggi. Sayup-sayup terdengar suara Salma menangis.
Faiz mengigit bibir. Wajahnya mulai kesal. “Tapi ini penting Bunda...”
“MEMANGNYA APA YANG LEBIH PENTING DARI KELUARGA!?” bentak Bunda.
Faiz tersentak, nyaris melempar ponselnya. Belum pernah ia mendengar bunda semarah itu, sampai membentak. Hubungan telepon terputus.
“Bundamu, Iz?” tanya Bima.
Faiz mengangguk. Memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
“Kenapa? Mukamu, kok, tegang gitu?”
Faiz menunduk. “Enggak apa-apa. Ayo jalan lagi, nanti kesorean...”
Hujan turun ketika Faiz dan Bima sampai di toko.
Toko itu begitu lengkap. Dari mulai perlengkapan masak, cat, makanan, alat pembersih, tersedia di toko yang tidak terlalu besar ini. Faiz dan Bima berpencar mencari barang-barang yang sudah Rasyid catat di selembar kertas.
“Topeng, karet gelang, bedak bayi....” Faiz bergumam.
Faiz memasukkan barang-barang belanjaannya ke dalam keranjang. Mencari harga paling murah karena Rasyid hanya memberikannya sedikit uang. Terkadang tertawa melihat daftar barangnya. Rasyid memang suka aneh jika mengadakan acara.
Semua barang sudah lengkap. Faiz berjalan menuju kasir. Membayar dengan uang lima puluh ribuan. Lantas mengajak Bima kembali ke sekolah.
“Kamu yakin mau balik ke sekolah? Masih hujan, Iz...” Bima menatap Faiz ragu.
“Sudahlah, terobos saja. Kasihan Rasyid nungguin di sekolah. Kita juga sudah biasa hujan-hujanan...” Faiz berlari-lari kecil menuju sepedanya. “Ayo Bim! Sudah mau Maghrib, nih!” Walaupun ragu, Bima mengikuti Faiz. Melompat menaiki sepedenya. Plastik belanjanya ia ikat kuat-kuat agar barang di dalamnya tidak kehujanan.
Faiz dan Bima berlomba-lomba menerobos hujan. Mengayuh cepat sepeda mereka. Faiz sesekali berhenti, menunggu Bima yang bergerak lambat. Giginya gemerutuk kedinginan. “Bima! Ayo cepat!” teriaknya sambil memeluk tubuhnya. Dingin.
“Berhenti dulu, dong, Iz! Berteduh dulu... sudah mulai ada petir. Bahaya,” sahut Bima. Ia turun dari sepedanya, menuntunnya mendekati Faiz. “Di situ ada apotek. Berhenti di situ saja, ya,” Faiz dan Bima menuntun sepeda menuju sebuah apotek di pinggir jalan. Mereka berteduh di koridor apotek sambil mengeringkan badan yang basah kuyup. Namun, hawa dingin yang menusuk tulang membuat dua bocah laki-laki ini memilih berteduh di dalam apotek. Apotek itu sepi. Hanya ada dua orang penjaga yang sedang mengobrol di balik etalase obat-obatan. Tampaknya dua wanita  ini mengerti Faiz dan Bima datang hanya untuk berteduh. Faiz duduk kursi tunggu. Melipat tangannya, menatap ke luar. Memperhatikan hujan, berdoa semoga lekas reda. Sedangkan Bima melihat-lihat poster yang ditempel di dinding apotek. Faiz teringat pesan bunda untuk membelikan Salma obat penurun panas. Namun, Faiz tidak punya uang untuk membelinya. Uang dari Rasyid sudah habis semua. Salah bunda yang tidak memberikan uang sepeserpun kepadanya.
Kreeek... Pintu apotek terbuka. Seorang gadis remaja dengan baju tak kalah basah dari Faiz memasuki apotek. Berjalan menghampiri penjaga apotek, lalu tak lama kemudian duduk di sebelah Faiz. “Beli obat juga? Atau lagi ngeringin badan?” tanyanya ramah. Faiz menoleh. Ia mengenal gadis itu. Sekar, teman sekelasnya dan Bima di sekolah. Sekar juga salah satu panitia Pekan Seni dan Olahraga dan penanggungjawab majalah sekolah.
“Eh, ngeringin badan...” Faiz menjawab.
“Habis beli perlengkapan buat acara, ya? Tadi aku lihat kamu ngobrol sama Rasyid di lapangan sekolah,” kata Sekar. Faiz mengangguk.
“Beli obat?” giliran Faiz yang bertanya.
“Iya, buat adikku, Fatih. Kamu kenal, kan? Kalau tidak salah, sekelas dengan adikmu. Sejak kemarin dia demam tinggi.” jelas Sekar. “Sebenarnya, ini salahku juga. Aku lupa mengantarkannya pulang ke rumah sehingga dia kehujanan. Kamu tahu, kan, akhir-akhir ini kita sibuk banget. Belum lagi majalah sekolah sudah mau terbit. Aku enggak mungkin meninggalkan urusan penting seperti itu hanya untuk menjaga adik. Tapi ternyata aku salah… Kalau saja aku mau mengantar dan menjaga adikku, mungkin Fatih nggak akan sakit seperti sekarang,” Sekar terlihat sedih.
Faiz menoleh. Ia tidak asing dengan cerita itu.
“Aku baru sadar, memang tugasku sebagai kakak untuk menjaga adiknya. Bukan malah meninggalkannya. Makanya aku tidak bisa membeli perlengkapan acara karena harus menjaga Fatih. Aku izin kepada Rasyid, dan akhirnya kamu dan Bima yang menggantingkan aku,” Sekar tertawa. “Sepenting apapun urusanku, aku harus mengutamakan kaluargaku sendiri. Lagipula, memangnya ada yang lebih penting dari keluarga?” Sekar menatap Faiz. Faiz mengerutkan dahi. Bingung. Ia juga tidak asing dengan kata-kata itu. Memangnya apa yang lebih penting dari keluarga?
“Memang, sih, Fatih kadang nyebelin. Hmm... kamu tahulah tabiat adik laki-laki kepada kakak perempuannya. Tapi bagaimanapun juga, sebagai Kakak, aku, kan harus tetap sayang sama dia? Ya, nggak?” Sekar tertawa lagi.
Faiz terdiam.
“Aku sudah janji, enggak akan ninggalin keluargaku sebelum dia yang ninggalin aku duluan. Lagipula, mereka terlalu istimewa untuk aku tinggalkan—”
“Obat demam untuk anak-anak...” suara Sekar terhenti dengan seruan seorang apoteker. Sekar mengambil obat yang diberikan apoteker. Membayar, lantas berterimakasih.
“Aku duluan, ya, Iz. Salam buat adikmu,” katanya. “Bima, duluan, ya...!” Faiz hanya mengangguk, tersenyum tipis.
Aku nggak akan ninggalin keluargaku, sebelum mereka yang ninggalin aku duluan...
Kata-kata Sekar terus terngiang di kepalanya. Gadis berkerudung biru muda itu sungguh berbeda dengan dirinya. Ketika Sekar sedang membelikan obat untuk adiknya yang sakit, kini Faiz malah meninggalkan Salma berdua dengan bunda. Dengan obat yang sudah habis. Faiz kembali mengingat kata-kata Sekar. Bagaimana jika penyakit Salma semakin parah? Bagaimana jika Salma memang benar-benar membutuhkan obat? Bagaimana jika Salma masuk rumah sakit? Bagaiman jika...
Faiz tidak mau berpikir aneh-aneh.  Salma memang suka menyebalkan, namun itu tidak menjadi alasan Faiz untuk membencinya. Sebagai kakak, saharusnya Faiz menyayanginya. Dan membuktikan rasa sayangnya itu, yang paling sederhana, dengan menjaganya di rumah. Faiz mengerjap-ngerjapkan matanya yang basah. Ia merasa bersalah.
“Bima!” panggil Faiz akhirnya. “Kamu ke sekolah sendiri. Berikan barang-barangnya kepada Rasyid.”
“Lho, sendiri? Terus kamu?” sergah Bima tidak terima.
“Aku ada urusan penting. Aku mau pulang,” Faiz memberikan plastik berisi barang belanjaannya kepada Bima. Berjalan keluar apotek.
Bima mengerucutkan bibirnya. Kesal.
Faiz melompat menaiki sepeda. Hujan masih menyisakan gerimis, membasahi jalanan beraspal yang mulai lengang. Faiz mengayuh sepedanya dengan cepat. Melaju kencang menuju rumahnya. Tak peduli dengan teriakan anak-anak yang sedang bermain hujan, terkena cipratan air dari sepedanya.
Hingga akhirnya Faiz berhenti di depan sebuah rumah bercat abu-abu. Ia menyandarkan sepedanya di tembok. Membuka pintu rumah dengan kunci yang memang selalu ia bawa. Faiz memasuki kamar Salma. Terlihat Salma sedang tertidur dengan selimut tebal menutupi tubuh mungilnya. Dahinya tertutupi handuk hangat, wajahnya merah. Sedangkan bunda tertidur di sebelahnya. Sambil memegang kotak obat penurun panas, entah bagaimana bunda membeli obat itu tanpa meninggalkan Salma sendirian.
Faiz duduk di sebelah Salma. Mengusap matanya yang basah. Dalam hati, ia berjanji tak akan pernah meninggalkan Salma lagi.
Ditulis sewaktu SMP kelas 8, buat lomba tapi lupa lomba apaan. Kayaknya nggak menang, deh.
0 notes
wafaauliya · 2 years
Text
Agama dan Media Baru: Kemudahan Sekaligus Petaka
Pada abad sebelum 21, ketika Indonesia masih bernama Nusantara, puluhan kapal berlabuh dari Serambi Mekkah menuju Tanah Suci. Membawa para muslim dan muslimah berangkat ibadah, sekaligus belajar dan mendalami agama Islam hingga pulang bergelar Haji dan dapat berdakwah menyebarkan ilmunya pada masyarakat di daerah tempat tinggalnya kala itu. Masih di tanah yang sama, di tahun menjelang kemerdekaan, sekolah-sekolah agama tumbuh menjamur terutama di tanah Jawa. Sore hari menjelang Magrib, para santri berbondong-bondong berkumpul di surau untuk mengaji Alquran dan kitab-kitab agama kepada mahaguru. Ilmu tersebut kemudian diwariskan kepada santri-santri muda lainnya, juga anak-cucu mereka. Abad berganti dan ilmu tersebut masih ada. Sekolah-sekolah agama atau yang disebut juga dengan pesantren masih berdiri hingga kini. Pengajian Alquran dan kitab serta pengajaran ilmu agama di masjid-masjid juga masih berjalan hingga sekarang.
Seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi, penyebaran ilmu agama lebih mudah dilakukan. Belajar agama Islam kini bukan lagi hal eksklusif yang hanya bisa dilakukan oleh anak kiai atau para santri di pesantren. Kemajuan internet dan media sosial membuat masyarakat awam berkesempatan untuk belajar dan memahami Islam tanpa harus mengenyam pendidikan di sekolah berbasis agama ataupun pesantren. Internet memudahkan semua orang untuk mendapatkan informasi soal agama dengan cukup mengetikan kata kunci di kolom pencarian. Sudah banyak situs web yang memberikan pengetahuan seputar Fiqih dan Aqidah, ceramah-ceramah dari pemuka agama yang dapat diakses di Youtube, serta menjamurnya content creator berbasis dakwah di Tiktok maupun Instagram. Supriadi dan Purwanto (2019) mengatakan bahwa pembelajaran agama lewat internet dan media sosial banyak digemari lantaran lebih efisien dan menghemat waktu. Orang-orang tidak perlu berjalan jauh menuju majlis ta’lim untuk berguru karena ilmu tersebut bisa diakses di internet. Pembahasan di internet juga lebih mudah dipahami karena biasanya hanya berupa tulisan-tulisan singkat yang sudah diringkas dari berbagai sumber, jadi tidak perlu lagi membaca buku tebal dengan bahasa yang rumit. Jika dilihat dari sudut pandang pendakwah, perkembangan internet dan media sosial juga memudahkan para pemberi ilmu untuk menjangkau berbagai kalangan. Konten-konten dakwah yang bisa saja muncul di linimasa tiap orang membuat informasi seputar agama tidak hanya berputar pada kalangan tertentu saja.
Secara garis besar, perkembangan internet dan media sosial terlihat memiliki pengaruh yang baik terhadap pengajaran dan pembelajaran agama Islam. Namun, pembelajaran agama lewat internet dan media sosial tentu juga tidak akan lepas dari dampak negatif. Internet bukan hanya memudahkan semua orang untuk mengakses informasi, melainkan juga memudahkan semua orang untuk memberikan informasi seputar keagamaan. Masyarakat tidak hanya menjadi pembaca atau audiensi melainkan juga sebagai produsen dari informasi (citizen journalism). Masyarakat dapat membagikan informasi-informasi keagamaan lewat portal berita, blog pribadi, atau unggahan video ke kanal Youtube pribadi mereka. Kebebasan seseorang dalam menggunakan media sosial secara tidak langsung juga membuat mereka “bebas” menyampaikan narasi-narasi keagamaan. Hal ini memiliki dampak negatif karena banyak narasi keagamaan yang berasal dari pengalaman keagamaan yang bersifat personal, fatwa-fatwa tak berdasar, serta pengetahuan yang belum jelas sanadnya yang malah menggiring opini masyarakat. Otoritas keagamaan yang sebelumnya hanya dimiliki oleh para pemuka agama seperti ulama, ustadz, atau Kementerian Agama kini mulai bergeser karena media sosial dengan mudah menghadirkan akses pengetahuan agama sesuai kebutuhan masing-masing. Apabila “pendakwah” tersebut sebenarnya tidak kompeten dalam pembahasan soal agama ditambah dengan pembaca atau penerima informasi yang tidak memiliki kecerdasan literasi, maka akan terjadi miskonsepsi dan kesalahpahaman.
Salah satu contohnya terjadi ketika sebuah akun di media sosial Instagram, @mubadalah.id, mengunggah sebuah unggahan tentang kebolehan wanita yang sedang menstruasi untuk berpuasa dengan dalih tidak adanya ayat Alquran yang secara eksplisit melarang hal tersebut. Hal ini tentu menuai perdebatan lantaran sangat berbeda dengan apa yang selama ini diajarkan bahwa wanita yang sedang menstruasi tidak diperbolehkan untuk berpuasa dan harus menggantinya di hari lain. Banyak warganet juga content creator dakwah lain yang akhirnya memberikan pandangan dan sanggahan mereka terhadap unggahan akun Instagram tersebut baik di kolom komentar maupun lewat akun pribadi. Tak hanya warganet, Wakil Ketua MUI, Anwar Abas, turut angkat bicara dan menyanggah unggahan akun tersebut dengan hadits riwayat Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa perempuan yang sedang menstruasi diperintahkan untuk mengganti (qadha) puasa Ramadan mereka di hari lain.
Akun ini merupakan salah satu contoh dari berbagai fenomena-fenomena lain yang terjadi di ruang digital dalam pembahasan mengenai agama. Tidak semua tulisan dan unggahan di media sosial sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Perkembangan media sosial, kebebasan seseorang dalam menyebarkan informasi, serta rendahnya literasi digital masyarakat membuat hoax dan informasi melenceng jadi lebih mudah tersebar. Beberapa situs web serta akun-akun media sosial yang sifatnya “anonim” juga membuat sumber-sumber informasi menjadi tidak jelas sanadnya. Oleh karenanya, pembelajaran keagamaan tidak bisa hanya bergantung pada informasi-informasi daring di internet, terutama jika membahas perihal hukum syariat ibadah dan muamalah. Dibutuhkan guru sebagai pembimbing sekaligus tempat bertanya perihal masalah keagamaan. Dibutuhkan pula masyarakat yang cerdas secara literasi serta memiliki kemampuan berpikir kritis untuk dapat memilih dan memilah informasi yang didapatkan di internet. Informasi yang didapatkan dari internet juga tidak bisa dijadikan rujukan dalam beragama. Semuanya harus kembali pada Alquran, hadits, serta ijma’ ulama dan kitab-kitab karya ulama-ulama terdahulu.
Daftar Pustaka Annazilli, Haqqi. 2018. “Relasi Antara Agama Dan Media Baru.” Jurnal Ilmiah Syi’ar 18(2):26. doi: 10.29300/syr.v18i2.1677. Hefni, Wildani. 2020. “Moderasi Beragama Dalam Ruang Digital : Studi Pengarusutamaan Moderasi Beragama Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri.” Jurnal Bimas Islam 13(1):1–22. Jinan, Mutohharun. 2013. “Intervensi New Media Dan Impersonalisasi Otoritas Keagamaan Di Indonesia.” Jurnal Komunikasi Islam 03. Solahudin, Dindin, and Moch Fakhruroji. 2020. “Internet and Islamic Learning Practices in Indonesia: Social Media, Religious Populism, and Religious Authority.” Religions 11(1). doi: 10.3390/rel11010019. Supriadi, and Muhammad Roy Purwanto. 2019. “Religious Learning with Social Media and Its Implication for Understanding Religion.” International Journal of Engineering and Advanced Technology 8(6 Special Issue 3):352–54. doi: 10.35940/ijeat.F1056.0986S319.
Ditulis sebagai tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Sosiologi Agama
0 notes