Tumgik
tristiul · 9 months
Text
hijrah ke medium.
Karena provider internet di kontrakanku tak bisa mengakses tumblr (ini lagi di rumah Mama)-- maka aku lebih sering menulis di medium.
Ini ya lamanku di medium!
medium.com/tristia-riskawati
7 notes · View notes
tristiul · 1 year
Text
menikah (dan punya anak), mengorbankan jati diri?
Sebelum saya menikah, saya sering berpikir kalau saya tipe perempuan 'yang sulit dinikahi'. Kurang wife-able. "Emang ada yang mau sama cewek yang suka ngobrolin isu-isu sosial dan makroekonomi cem aku? Apakah perempuan itu utamanya untuk dipandang, daripada dijadiin tandem diskusi?"
Tumblr media
Nengok sana-sini, teman-teman perempuan yang lebih cepat menikah, mostly nggak kayak saya (mostly yang saya observe ya, bukan berarti representasi keadaan sesungguhnya). Bukan tipe penantang diskusi belibet kayak saya. Tapii, da atuh saya ingin menikah, hehe Akhirnya saya berdoa. Minta diberikan suami yang bisa saling menghebatkan potensi satu sama lain, berlandaskan ridhaNya. Ingin suami seperti sahabat. Saya merasa doa saya dikabulkan, bahkan pengabulannya lebih baik dari doa saya. Sepanjang pernikahan, selain diskusi soal "Kapan cucian mau dijemur?", "Sayang aku cantik nggak sih?"(hahaa), kami cukup intens berdiskusi soal isu-isu sosial dan politik. Rasanya seruu. Jati diri saya seolah menemukan rumah. Bahkan, akhir-akhir ini kepikiran ide-ide kolab seru bareng suami.
Sedangkan saya belajar juga, para pribadi yang bisa menyelaraskan jati diri dan panggilan jiwanya dengan tugas sebagai orangtua, justru menginspirasi anaknya.
Apakah berarti tidak berkorban sama sekali? Tentu, ada pengorbanan, termasuk berpikir keras, diskusi alot, nangis-nangis, hingga istikharah berkali-kali-- gimana potensi dan jati diri saya ini bisa di-adjust dengan peran utama saya sebagai istri dan ibu.
Tapi mengorbankan keinginan dan ego dalam pernikahan bukanlah mengorbankan jati diri.
Anggaplah jati diri kita adalah bongkahan batu-- dimana menikah, memilki anak, ikhtiar penyelarasan, serta tawakkal makin mengamplas batunya menjadi intan yang berkilau terang.
Your truest you to the next level. Wallahu'alam.
*Ilustrasi dari sini.
112 notes · View notes
tristiul · 1 year
Text
sendirian bersamanya, dan bersamaNya.
Tumblr media
Laksana klise yang menahun Laksana jalan sunyi yang biasa ditempuh Laksana tangis familiar, yang menyamudra dalam tiap musim
Berjalan sendiri lagi, tersapu pusaran pikir yang lagi-lagi itu. Dan tuan harimauku yang sesekali berkata dengan nyaris bosan,  “Kamu selalu merasa sendirian.” “Itu ujian rutinanku, sayang,” jawabku.
Tuan harimau soliterku tetap sudi bertahan denganku, si nyonya singa yang kian kesepian, diamuk diri yang rumit.
Aku, bersamanya, dalam sendiri Aku, dalam sendiri, di tengah bising Aku, yang di mula mencari jiwa-jiwa yang berkembar, kemudian kadang jatuh hati, namun kemudian patah hati, lantas mundur teratur, kembali di pojok sepi
Aku, sendiri, menggamit mencari mana genggam lenganNya, mana hangat pelukanNya!
PadaMu, lagi-lagi bermuara. PadaMu senantiasa, seharusnya.
Hamba berandalanMu ini sungguh rindu.
Ilustrasi dari sini.
5 notes · View notes
tristiul · 1 year
Text
menjadi mahasiswa doktoral perencanaan wilayah dan kota ITB, a (mis)adventure?
Tumblr media
Tulisan kali ini, barangkali kombinasi antara sesuatu yang personal kualami, sekaligus sebundel informasi ihwal apa yang kupelajari. 
Ini perihal menjadi mahasiswa program doktoral perencanaan wilayah dan kota (PWK) di ITB. Bertitel Dr. atau PhD ialah sesuatu ‘nggak Tristi banget’, kayak ‘apaan sih geli doktor-doktoran taugasih’. I am not that kind of academic affocianado, kendati aku suka dengan nuansa diskusi keilmuan secara lepas.
Lantas apa yang membuat sesosok diriku, pada akhirnya bertaut hati pada progam studi yang terhimpun di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB ini? 
Padahal, latar belakang pendidikanku sekilas tiada sangkut pautnya dengan prodi doktoralku. Gelar sarjanaku bersumber dari Fakultas Ilmu Komunikasi (Unpad). Sedangkan gelar magisterku kugondol dari Magister Administrasi Bisnis (ITB).
Alasan utamanya bucin abis: ikut rekomendasi suami :p.
Akhirnya setelah beberapa bulan pernikahan kami, aku menyadari bahwa ketika aku memiliki fokus aktivitas tertentu yang begitu intens-- aku akan cenderung terhanyut di dalamnya. Kala itu, aku tengah merintis bisnis. Aku tidak mau fokusku sebagai seorang istri dan kelak menjadi ibu tergerus habis dalam merintis bisnis.
Maka, aku ingin mencari irisan karir/aktivitas yang dapat berkontribusi langsung pada kiprah suamiku. Beberapa tahun yang lalu, suamiku berujar jika ia berencana berkiprah di dunia akademisi. Maka lewat lusinan istikharah, aku mantap mengikut.
Aku mencari prodi dimana bidangnya dapat aku pelajari-- soal kemiskinan (walau topik disertasiku kini pada akhirnya tidak menuju ke sini).
'Tragisnya’, suamiku belum saja memfokuskan diri ke sana-- malah aku yang menyalip. Jujur, aku pada awalnya merasa ‘dikhianati’. Seolah sia-sia saja usahaku untuk membuntuti suami. Aku merasa-- bahwa takdir berkuliahku di S3 PWK sebagai misadventure alias apes banget. Tungtungnya mau kemana, bingung banget.
Long story short, pertanda-pertanda bahwa aku memang ‘disuntrungin’ Allah untuk belajar di sini-- kian terbit kuat satu per satu. Suami-- yang nggak ngebolehin buat berhenti (Napa sih, Beb? Haha). Si kecil Hara-- yang kondusif menyelaraskan dengan ritme bundanya menyelesaikan tugas-tugas. Penyelesaian tugas-tugas aduhai secara tepat waktu-- melelahkan tapi ganjilnya hati ini diunggah rasa nikmat dalam penelusuran ilmu-ilmunya. Dosen-dosen, termasuk para dosen pembimbing-- yang nyaman bagiku untuk bertukar pendapat. Rekan-rekan seperjuangan doktoral kesayangaan-- yang hangat, akrab, dan solid.
***
Lalu, technically, apa yang kutempuh selama ini di prodi S3 PWK ini?
Aku salut kepada prodi S3-ku, karena mau menerima kandidat mahasiswanya dari latar belakang beragam. Dosen-dosen di sini juga tidak mencibir latar belakang akademikku yang nano-nano. Tentu saja ada sesi matrikulasi baik seluruh mahasiswa magister dan doktoral yang disajikan oleh prodi. Hal ini cukup membantu.
Di program doktoralku, mata kuliah-mata kuliah wajib yang perlu diambil tetap ada. Di semester 1, kami diharuskan mengambil Seminar Teori Perencanaan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Ujian Persiapan. Ada satu mata kuliah pilihan S2 pula yang kuambil, yakni Pengembangan Wilayah karena matkul ini memberi pondasi pada penelitian disertasiku.
Seminar Teori Perencanaan, secara garis besar membahas isu-isu terkait teori prosedural dan substantif perencanaan, dengan output kami membuat makalah yang mengkritisi salah satu isu di khazanah perencanaan untuk tugas UAS.
Filsafat Ilmu Pengetahuan, membahas mengenai filsafat yang berfokus pada kemunculan ilmu dan serba-serbinya-- seperti ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Lucunya, salah satu tugas matkul ini adalah membuat video youtube (!) untuk menjelaskan konsep-konsep filsafat yang diberikan dosen pengampunya.
Tumblr media
Ujian Persiapan, lebih kepada mata kuliah dengan pertemuan tak rutin yang memastikan kami untuk meramu rencana peneltian awal kami. Output-nya dalah pra proposal. Uniknya, di akhir rencana penelitian kami ‘digibahin’ oleh dua dosbing masing-masing dan dua dosen penguji-- tanpa kami ikut serta. Wgwgw.
Pengembangan Wilayah, wah, aku sangat berterimakasih pada matkul ini, termasuk dosen pengampu (yang mana ialah dosen pembimbingku), serta rekan-rekan magister yang menjadi kawan seperjalanan di matkul ini. Materinya seru. Rekan-rekannya juga sparing partners yang oke buat diajak diskusi. Matkul ini belajar bagaimana wilayah-wilayah dapat dikembangkan-- perpaduan antara administrasi publik, ekonomi, serta sosial juga. Seperti dikasih rasa kasmaran deh dalam proses menelusuri ilmunya!
Tumblr media
***
Oh ya, kalau boleh jujur, aku sendiri agak ‘masa bodoh’ soal pencapaian akademik di proses studiku ini. Dalam artian, aku nggak terobsesi dengan menjadi cum laude, syalala. Bahkan ekstremnya-- kalau ternyata Allah nggak mengizinkan aku untuk menggondol gelar doktoral-- ya nggak apa-apa banget. Huehehe. Segitunya
Aku lebih ke arah: kalau pertanda-pertandanya tetap kuat buat aku mengembara di rimba studi doktoralku ini-- ya gue lanjut. Selama ini, nyatanya, aku dikuatkan terus. Diberi rasa kasmaran yang memukimkan diri untuk tetap di sini.
Nothing to lose. Hanya mengikuti algoritmaNya yang adakalanya plot twist secara romantis. Yang dibutuhkan adalah koneksi kuat denganNya lewat serangkaian ibadah ritual dan sosial yang termaknai, supaya bisa teruss membaca pertanda-Nya-- termasuk mengolah agar petualangan ilmu dalam rimba studiku ini bermanfaat.
Doakan semoga bermandikan berkah senantiasa, yaa.
*Foto pertama dipoto bapak satpam Sabuga bersama rekan S3, foto kedua sama ketiga aa/teteh random. Khusus yang ketiga, sama teman-teman S2 PWK ITB. Para kesayangan-kesayanganku, hey.
18 notes · View notes
tristiul · 1 year
Text
aku ingin berbincang denganmu tentang hidup, dengan santai.
Keberjarakan ini membuatku sedikit gelisah.
Seperti, ada bagian darimu yang tak terpanggil, untuk duduk di beranda pertemanan hangatku. Engkau, yang tetap di kuilmu, sesekali keluar dan kita bertemu dalam arena cakap-- namun kau seperti ingin meremuk jejak akrab, dan kemudian kembali pulang dan menganggapku sebagai sekelabat bayangan yang kadang cukup dapat diterima namun kadang mengganggu.
Tumblr media
Sementara aku, seram membayangkan bertahun-tahun lagi harus bertautan berkali-kali denganmu dengan canggungmu yang belum kauizinkan untuk memiliki lubang kunci.
Berkali-kali aku memikirkan, kesejarahan hidup yang berbeda-- barangkali membuat akrabku bertepuk sebelah tangan. Aku yang tak sungkan. Kau yang baik sengaja maupun tak sengaja mencipta segan.
Semoga ini hanya pikiranku saja.
Kali ini, aku perlu memberi ruang dan jarak yang cukup lama dan jauh, untuk tidak menakutimu dengan langkah menujumu-- untuk melenyapkan keingintahuanku yang terlalu menenggelamkanku.
Semoga suatu saat kita bisa meminum teh gratis di selasar Masjid Salman, bersama kekasih-kekasihku, dan kita akan berbincang tentang hidup, dengan santai.***
*Ilustrasi dari sini.
22 notes · View notes
tristiul · 1 year
Video
Merekam membaca puisi "Pulang ke Dapur Ibu" dari @aanmansyur dan dibingkis dalam bingkai-bingkai media kekinian. Menjelang hari dimana seluruh ibu diapresiasi, di 22 Desember. Dan dua hari berikutnya, adalah hari milik ibuku. --- Versi lengkap berpuisi dapat dilihat di Spotify: Tristia Riskawati
8 notes · View notes
tristiul · 2 years
Text
tak usah kau cari makna hadirnya diriku.
Gara-gara salah seorang kawan yang demen banget dengan Dewa 19 dan sering sharing di media sosialnya, akhirnya aku kembali memutar lagu yang sempat kufavoritkan dari Dewa: Aku Disini Untukmu.
Awal bertemu dengan lagu ini, karena lihat iklan Pocari Sweat-- yang pakai lagu ini. Enakeun, ning. Kemudian ketemu. Dan lagunya--- somehow anak alam banget gitu. Secara aku kala itu lagi suka banget aktivitas lintas alam (sampai sekarang juga sih, cuman udah jarang aja).
Tapi, ketika re-listening lagi, kali ini menyimak liriknya-- somehow relevan sekali dengan sekelumit kisah cintaku #tsahh.
Tristi. Yang selalu mikir, hadirnya aku untukmu tuh apa, sih. Untuk memberikan kontribusi apa sih hadirnya aku untukmu? Apa tujuan Allah menghadirkanmu untukku, begitupun sebaliknya, apa? Harus ada jawabannya! Sampai ketika pacarnya tidur, dipandangi terus, seolah ada jawaban di sela-sela dengkurannya. Wgwgwg.
Pa Irvan. Sesederhana bilang, "Aku nikah sama kamu karena ditugaskan." ("Kurang romantis atuh, beb!") Habis itu, ya sudah mengalir bagai air ya, beb. Nggak perlu terlalu dipikirin, gitu ya? (Absurd!, pikirku).
Tumblr media
Tapi, yang namanya berpasangan, tentu perlu ada penyesuaian. Tristi, yang selalu menganggap bahwa segala sesuatu harus jelas tujuannya apa-- termasuk pernikahannya. Dan ada Pa Irvan yang just go with the flow-- tidak terlalu suka mendefinisikan sesuatu secara ajeg.
Rasanya, lirik Dewa 19 kali ini, mencoba mengimbangi Tristi yang terlalu maniak secara berlebihan akan 'tujuan yang pasti'.
"Melayang kau cari cari arti Yang pasti takkan kau temui Tak perlu kau nilai nilai semua Biarlah semua adanya.
Tak usah kau cari makna hadirnya diriku Aku di sini untukmu Mungkin memberi arti cinta pada diriku Aku di sini untukmu"
Ketika aku memandangmu dalam lelap, mengendus wangi keringatmu, memantaumu dari kejauhan, dan kau yang tak sungkan menggenggam tanganku dan mengucap sayang-- mungkin tak perlu lagi benakku dikelabui pertanyaan 'untuk apa' dan 'mau kemana' (selain tentu saja, kita ingin sesurga).
Dirimu: adalah kontradiksi kesayangan yang perlu kusyukuri, rekan 'just living with the present' yang jagoan, dan yang benar adanya bersebrangan, namun selaras dengan belantara jiwaku.***
Ilustrasi dari sini.
16 notes · View notes
tristiul · 2 years
Text
mereka kira kau api.
mereka kira kau api, padahal sebenarnya akulah yang api. engkau seperti api, dan aku seperti tanah, namun terkadang memirip pula seperti layaknya air. engkau lantang bersuara membingkai sikapmu sedang aku menyimpan bara dalam sekujur nyawaku: seringnya ia bersemayam saja dan mengamati-- kemudian menetas diam-diam dalam luapan tulisan bertenaga daya. namun di hadapanmu, aku api yang mengamuk, dalam langit pelukanmu.
Tumblr media
engkau, adalah angin-- yang sesuka hati kadang menyelamatkanku, atau membiarkan aku terbakar sendiri hingga aku berjerih-payah meramu panas dahsyatku menjadi aliran jinak nan hangat. 
bagimu itu caramu membebaskanku, bahasa cintamu, yang baru kuamini sekian purnama lamanya.
Ilustrasi dari sini.
16 notes · View notes
tristiul · 2 years
Text
bangku belakang.
bangku depan kelas bukan masalah bagiku, hanya saja, terkadang ia bukan teman yang baik.
ia ada untuk perhatianku yang digiring hanya tertuju pada ia yang di depan, yang bersuara, dan berotoritas.
sedangkan aku adalah seorang pemberontak, pemberontak yang memerhati, bersemayam di bangku paling belakang, jika memungkinkan di sebelah pojok, agar pandangan batinku merangkul semua nyawa di ruangan, merekam sebuah studi: studi manusia yang pola-polanya terbangun sekian lama. apa yang mereka pakai, gestur, raut, ucap kata-- adalah ayat-ayat rahasiaNya yang sungguh romantis.
Tumblr media
hingga akhirnya buah pembelajaranku, pada musim-musim tertentu dimana terselip perbincangan mengenai manusia dan sekelumitnya, dapat kutawarkan tesis-tesis sok tahuku tentang manusia: yang seringkali asam, pahit, namun diam-diam terpusakai manis cintaNya.
atau sesederhana sebagai inspirasi picisan: untuk menulis puisi, atau esai, tentang manusia dan serba-serbinya-- seperti kesungguhisengan saat ini.***
Ilustrasi dari sini
11 notes · View notes
tristiul · 2 years
Text
yang kupelajari dari orangtuaku, yang harmonis.
Tiga puluh dua tahun sudah Papa dan Mama menikah.
Keluargaku, bisa dibilang keluarga yang harmonis. Suamiku bertestimoni, bahwa keluargaku jauh hangat dan ekspresif dalam menyatakan afeksi. Jika kubandingkan dengan kisah-kisah rekan dan budaya keluarganya, maka tak sungkan aku menyimpulkan bahwa keluargaku memang hangat.
Tumblr media
Keluargaku memberikan tabungan emosi penuh bagiku. 
Aku tidak takut mengeksplorasi dunia, karena aku tahu, bahwa ada kekuatan kasih sayang yang begitu membekas-- yang tertanam secara paripurna semenjak aku kecil.
Melalui tulisan ini, aku akan memaparkan-- apa saja yang kupelajari dari keluarga yang menjadi kawah candradimukaku sedari lahir. Memang, seperti yang namanya keluarga lain-- kekurangan pastilah ada-- tapi mereka selalu mau belajar dan memperbaiki diri.
1 - Ekspresif menyatakan afeksi
Kata-kata afektif seperti ‘sayang’, ‘cantik’, ‘ganteng’ adalah kata yang ‘biasa’ meluncur dari lisan orangtuaku. Mama membangunkan adik lelakiku dengan berucap “Ganteng, ayo bangun, subuh.”. Papa tidak segan-segan mengirim pesan WA dan berkata “Papa kangen sama Mbak!” 
Bagi yang lain mungkin tampak gombal, tapi bagi kami tradisi tersebut seperti ‘biasa saja’.
Namun butuh waktu bertahun-tahun bagiku jika kebiasaan tersebut rupanya hal yang benar-benar berharga. 
Aku nggak ngerti, karena saking Papa suka menyapa aku dengan sebutan ‘cantik’, aku seperti sudah pede saja kalau aku cantik-- dan tidak butuh pengakuan di luar circle keluargaku. 
Hahaa, entah ini baik atau buruk.
Kebiasaan memanggil ‘sayang’ pun terbawa hingga menikah. Suami, in contrast, butuh waktu satu tahun untuk terbiasa memanggilku ‘sayang’ baik secara privat ataupun publik. 
Sampai-sampai beberapa teman suka heran “Kok manggilnya sayang-sayangan kalian? Geli ih.” 
Wgwg. 
Aku suka jawab, “Bagi kami seperti hal ‘biasa’ saja, seperti keluargaku juga biasa baik secara privat maupun publik mengungkapkan rasa sayang satu sama lain.”
Biasa, tapi nyatanya berkesan dan memupuk rasa sayang yang kuat.
2 - Mudah memaafkan dan nggak segan meminta maaf
Tipikal orangtuaku, tipikal yang semisal marah ke anaknya, beberapa jam/menit kemudian sudah biasa lagi. Hal tersebut terbawa di karakterku. Aku bukan pendendam.
Baik Papa dan Mama, juga nggak segan meminta maaf. Bahkan, ketika Papa mau mengungkapkan sesuatu yang sekiranya ‘hard truth’ atau berpotensi untuk menimbulkan ‘gejolak hati’-- Papa selalu memulainya dengan kata “Maaf, menurut Papa...”
<3
3 - Sama-sama ingin mendekat kepada Allah
Baik Papa dan Mama, adalah tipikal pribadi yang selalu giat ingin beribadah kepada Allah. Dan mereka tidak memaksakan secara otoriter aturan-aturan beragama yang memberatkan kepada anak-anaknya. Cukup utamakan yang wajib, sisanya ditakar sesuai kemampuan.
4 - Mau belajar dan menerima pendapat
Semenjak mengetahui bahwa adik bungsuku memiliki isu mental (Skizoafektif), Papa dan Mama mulai menerima dan terbiasa dengan mental health treatment. Kini Mama rutin mengantar adik ke psikiater. 
Aku mengakui, bahwa proses mempelajari mengenai adik dan gejalanya adalah proses yang berat. Nggak hanya buat mereka yang notabenenya tidak terbiasa dengan wawasan kesehatan mental-- tetapi juga aku.
Sejujurnya, aku pun tipikal orang yang nggak pernah curhat ke orangtua. Bahkan ke Mama. Teringat dulu beberapa kali curhat ke Mama, namun Mama menanggapinya dengan taktis dan logis, tidak tepat sasaran-- tanpa menyelami perasaanku dahulu. Dari situ aku tidak pernah lagi curhat padanya.
Tapi semenjak memiliki adik bungsu yang berkebutuhan khusus, kupikir Mama jadi banyak belajar untuk memahami perspektif orang lain yang baginya ‘tak selogis dirinya’.
___
Semoga kelak, kami akan sehidup sesurga kembali. Semoga jiwa dan raga selalu diarahkan pada keridhaan-Nya. Aamiin.
36 notes · View notes
tristiul · 2 years
Video
Lagi kesambet, pengen mengkatarsiskan segala ruwet dan bingung dengan melipir sejenak, kemudian membaca puisi malam-malam sembari menyusui si kecil. Lantas iseng menyunting-nyunting di Canva dan kunfayakuun jadilah ini.
Dalam Doaku karya Sapardi Djoko Damono
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu
24 notes · View notes
tristiul · 2 years
Text
magnet takdir ilahi, yang melawan mimpi sotoyku.
Semesta emang suka plot twist.
Tumblr media
Begitu ucap rekanku, pada beberapa kesempatan.
Seperti aku, yang dibawa sampai ke sini:
Menikah dengan seseorang, yang mengalir apa adanya. Yang bingung ditanya olehku, ‘hadirnya aku buat kamu, kira-kira buat apa?’ Wgwg.
Hingga juga kini, aku tercatat berkuliah doktoral Perencanaan Wilayah dan Kota. Nggak ngerti. Tiga tahun yang lalu, mana terpikir! Yang kupikirkan adalah meneruskan dan menyelamatkan bisnisku di kala pandemi. 
Hingga kemudian saran suami agar aku melanjut studi yang terngiang terus, membuatku istikharah berkali-kali-- kemudian entah ada magnet dari mana-- diri ini terseret untuk menghentikan bisnis, kemudian mempersiapkan studi lanjutan.
Awalnya mau melanjut studi linear dengan S2 (manajemen), eh nggak tahunya, sudah ditutup saking banyaknya kandidat. Kebingungan karena harus berburu LoA di tahun itu (karena persyaratan daftar beasiswa), akhirnya mencari jurusan kuliah lain. Ketemu SAPPK ITB, karena ada nama promotor yang sesuai dengan topik riset proposalku. Aku WA beliau, di hari yang sama, beliau membalas.
Akhirnya mendaftar kuliah, diwawancarai saat hamil, diterima. Daftar beasiswa, diwawancarai saat bayi masih 1 bulanan. Lantas diterima pula.
Diterima secara ganjil, di mana aku merasa: aku tidak berkapasitas. Usahaku kurang kuat. Apa ini pertandaMu jika aku harus ke jalan ini?
WOW. Ya Allah.
Kadang masih suka bertanya:”Maksudnya apa, ya Allah.” Kemudian menjawab sendiri: “Ini jawaban doa-doa dan istikharahmu. Seorang suami reliable dan super-sahabat, serta oase pengetahuan dan sarana tempur spesial untukmu.”
Seorang suami, yang pada awalnya aku tolak, kemudian lanjutan istikharah mengarahkan cenderungku padanya.
Kesempatan studi, yang tak pernah terpikirkan, yang pada akhirnya aku di sana lewat serangkaian istikharah dan magnet ilahiah yang begitu kuat mengarahkanku-- meninggalkan apa-apa yang telah upayakan.
Aku: nothing to lose. Bener-bener. Sampai pernah bilang ke suami: aku akan berupaya berkuliah semampu yang kumampu, tapi kalaupun nggak lulus-- nggak jadi masalah untukku. Saking memang bukan mau gelarnya, tapi sudah ada di tahap ‘Rabb, Engkau hamparkan jalan ini kepadaku, maka aku berjalan di atasnya, ya Rabb. Jika Engkau berkehendak padaku untuk tak lagi berjalan di atasanya, aku terima.’
:’))))
Beberapa ‘life goals’ baru sudah kuciptakan, menyesuaikan dengan takdirNya padaku kini. Mimpi sotoyku, kurelakan. Karena aku percaya takdirNya yang terbaik, semestaNya sudah mengarahkanku sejauh ini-- pada orbit takdir ini-- maka tugaskulah untuk menyesuaikan kehendakku dengan kehendakNya.
Kebermanfaatan apa yang bisa kumunculkan dari modal-modal kehidupanku dari dulu hingga kini? Dari studi S3 ini, dari nikmat bersuami dan memiliki anak serta nikmat-nikmat lainnya, aku bisa kasih apa, bisa berkontribusi apa-- hingga diriMu ridha kepadaku dan Engkau akan tersenyum melihat persembahan amal baikku, yang kutujukan hanya untukMu?
Wallahu’alam.***
Ilustrasi dari sini.
22 notes · View notes
tristiul · 2 years
Text
any idea?
Udah lama bangeet nggak nulis di sini. Tumblr.
Reply dong, kira-kira saya bisa nulis tentang apa buat post tumblr 2022 pertama sayaa?
Tumblr media
7 notes · View notes
tristiul · 3 years
Text
mengapa saya menunda, bukan childfree?
Karena topik childfree masih aja angeet, pengen share deh, apa yang sempet ku-share di IG-ku.
Tumblr media
Udah lama nyimak dari duluu soal isu childfree, eh tapi sekarang rame bener, dah. Saya sendiri nggak akan ikutan ngebahas soal pandangan/bener apa nggaknya childfree. Saya masih belum yakin kalau childfree mutlak dihalalkan/diharamkan dalam fiqih Islam. Walau saya mempelajari, memiliki anak itu sangat highly recommended dalam Islam. Yang saya tertarik paparkan di sini ialah, instead of childfree, mengapa saya memilih mengupayakan punya anak. Dan, mengapa saya menunda kehamilan? Saya nikah karena pengen bikin kebermanfaatan bareng-bareng gitu, sama suami. Bukan sekadar kayak ngejer "oh habis nikah ya tujuannya punya anak, terus nyekolahin anak, dlsb" atau "nabung beli rumah, nabung emas untuk stabilitas" karena 'normalnya' nikah itu kayak gitu. Bagi saya, anak dan harta itu bukan tujuan. Tapi perantara untuk mencapai si tujuan kebermanfaatan itu. Maka yang saya kejer di awal itu, kekompakan dengan pasangan at certain degree. Nah, di satu sisi, saya tetep mau mengupayakan punya anak. Saya percaya banget bakal banyak pembelajaran yang didapet ketika punya anak. Saya ingin bertanggungjawab pula atas rahim yang Allah titipkan pada saya, untuk diberdayakan setepat mungkin. Saya juga yakin, punya anak justru menguatkan kebermanfaaan yang akan kami jalankan, jika memang jagoan menyelaraskannya. Pada awalnya, ketika awal nikah, saya dapet firasat. "Kok gue nggak siap punya anak sekarang ya?" Maka, setelah membaca firasat diri, saya nemu tiga hal. Pertama, berkaitan dengan kisah temen-temen yang curhat tentang orangtuanya-- serta keadaan beberapa temen yang jadi ibu dan ngerasa linglung karena kurang siap dan atau nggak kompak sama pasangan. Ini bikin saya belajar apa-apa yang perlu dipersiapin. Kedua, resolusi konflik emosional diri dan dengan pasangan yang belum smooth di awal. Saya mikir, kalau saya emosian, terus lampiasin ke anak dengan semena-mena, saya nggak tega banget. Dan kalau saya nggak bisa taktis dan jagoan menyelaraskan konflik sama pasangan, bisa-bisa sulit kompak untuk ngasuh anak dan hal-hal krusial lainnya. Yang jadi korbannya anak lagi :(.
Ketiga, kebelumjelasan kami sebagai keluaga, ke depannya kira-kira mau menjadi keluarga yang kayak gimana. Awalnya saya ingin agak detail, suami bukan tipikal yang suka berpikir terlalu rinci soal masa depan. Setelah diskusi alot berbulan-bulan akhirnya nemu big picture-nya kami mau ngapain. Itu membuat kami jadi mudah selaras melangkah, termasuk meng-adjust dengan konsep pengasuhan anak ke depannya.
Setelah sekiranya tahu si firasat ini pertanda apa, saya konsultasikan ke suami. Suami mengiyakan kalau kita perlu banyak penyesuaian satu sama lain.
Saya juga istikharah berkali-kali ke Allah untuk penundaan ini. Prinsip saya: Jika Allah mengiyakan kehendak saya, Ia akan memperlancar. Jika nggak dan saya hamil dalam waktu dekat, itu berarti jawaban terbaik dariNya dan saya akan lapang hati menerimanya.
Hasilnya, Allah memang mengarahkan kami untuk fokus menguatkan kekompakkan kami. Dan saya banyaak belajar dan terpapar melalui praktik dan ilmu untuk membangun kekompakkan ini.
Kedua orangtua kami pun nggak menuntut anak-anaknya untuk lekas memiliki anak. Ibu saya tipe "Kalau udah waktunya mah bakal dikasih"
Saya pun hamil memang setelah sudah lewat target penundaan. Dengan kondisi saya dan suami yang saya rasa jauuh lebih kompak dan selaras. Bonus Mama yang baru saja memulai pensiunnya sehingga bersedia untuk mensupport kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan nanti.
However, ini preferensi pribadi saya dan suami. Masing-masing bisa beda dan punya alasan tersendiri untuk rencana rumahtangganya. You do you. Namun jika boleh berpesan, selalu komunikasikan kehendak kepada Allah. Karena Ridha Allah untuk tiap pasutri pun beda-beda.
Pastikan juga untuk tahu risiko-risiko untuk punya anak dalam waktu dekat (mis. apakah diri secara fisik dan psikologis sudah siap) dan risiko-risiko untuk menunda punya anak dalam waktu tertentu (mis: faktor usia). Dan gimana cara diri dan pasangan menghadapi risiko-risiko itu. Sempet saya bertanya pada diri, apa saya menunda rezeki/anugrah? Karena saya sendiri yakin bener, semua anak itu anugrah. Maka mindsetnya, bukan 'menunda' anugerah, tapi mempersiapkan diri dan partner untuk bener-bener bersiap sehingga dapat mempertanggungjawabkan anugerah-anugerah yang diberi olehNya.***
Ilustrasi dari Mercedes deBellard
113 notes · View notes
tristiul · 3 years
Text
dialektika maudy ayunda, antara privilege dan kegigihan diri.
Tumblr media
Dalam beberapa minggu terakhir, Maudy Ayunda dan kisah suksesnya wara-wiri di laman media sosial saya. Tak hanya kabar tentang kelulusannya dari Stanford University, melainkan juga mengenai opini-opini beragam spektrum tentang fenomena Maudy.
Sejauh ini, saya menemukan dua spektrum.
Spektrum pertama ialah spektrum makro-- atau sudut pandang sistemik. Menitikberatkan pada mindset: kesuksesan, suka tidak suka dipengaruhi oleh privilege (atau bahasa saya: bahan dasar awal) yang dimiliki seseorang. Kemudian, bahasan ini bisa berkembang pada kesenjangan akses yang dimiliki satu orang dengan orang lainnya.
As far we know, Maudy memiliki pola asuh orang tua yang kondusif, akses pendidikan yang mumpuni, sehingga beberapa orang menganggap ‘wajar jika Maudy meraih pencapaiannya kini’. Seperti dari SMA bacaannya The Economist, punya orangtua yang menumbuhkan kemampuan problem solving nya dari kecil, dan lain sebagainya.
Spektrum kedua ialah spektrum mikro-- yang lebih berlandaskan individual. Menitikberatkan pada mindset bahwa upaya dan kerja keras masing-masing dari kitalah yang menentukan keberhasilan. Ketimbang mengkambinghitamkan ‘privilege’ yang dimiliki orang lain, lebih baik fokus pada apa yang dipunyai masing-masing dari kita.
Lantas, bagaimana pendapat saya soal dua spektrum ini? Sebagai orang yang pernah berkecimpung di ranah makro dan mengenal sudut pandang sistemik, plus pernah juga bergerak di ranah personal development-- sebenarnya dua spektrum ini bukan dua spektrum yang bertentangan-- melainkan justru saling melengkapi. 
Saling melengkapi untuk apa? Untuk membentuk society bekualitas prima juga, baik secara komunal maupun individu.
Mari saya coba bahas dalam beberapa poin. Dua poin pertama mengenai sudut pandang sistemik. Dua poin terakhir mengenai sudut pandang individual. Sementara satu poin terakhir mengelaborasikan dua sudut pandang ini.
1 - Bahwa sistem yang berjalan di masyarakat berpengaruh signifikan, termasuk berpengaruh pada pemerataan akses
Nggak dapat dipungkiri, sistem yang mendominasi masyarakat akan sangat memengaruhi bagaimana individu menunaikan hajatnya masing-masing-- bahkan kepribadian ‘standar’ (shared personality) mereka seperti apa terlepas satu sama lain punya keunikan masing-masing.
Mungkin salah satu yang menggambarkan, ialah wawasan common sense seperti bagaimana orang-orang Jepang itu disiplin ketimbang masyarakat Indonesia. Mengapa bisa seperti itu? Karena ada budaya yang sudah menjelma menjadi sistem hidup, ditopang juga dengan aturan-aturan yang berlaku di negara tersebut.
Alhasil, orang-orang Jepang pun by default disiplin-- walaupun mungkin ada-ada aja yang less-disciplined person-- tapi nggak separah di negeri-negeri yang tidak terbiasa untuk disiplin mungkin, yaa. Temen-temen saya yang nggak begitu disiplin, sekalinya di sana, mau nggak mau jadi ikut disiplin.
Mengapa orang-orang di negeri Skandinavia beberapa kali dikatakan sebagai negeri yang sejahtera? Karena sistem pajaknya memungkinkan pemerataan akses kebutuhan dasar manusia, termasuk pendidikan. Sehingga by default, keberagaman karakter orang-orang di sana tetap memilki ‘kapasitas standar yang layak’.
Saya nggak bilang negeri-negeri Skandinavia super ideal ya, ada beberapa hal yang bisa didiskusikan mengenai plus minusnya di lain kesempatan. 
Yang jelas, bahasan ini bisa jadi contoh bagaimana sebuah sistem yang berlangsung dapat memengaruhi kapasitas dan kualitas masyarakat secara komunal.
Belum lagi, oleh suami, saya diperkenalkan dengan teori Ekologi Bronfenbrenner.
Tumblr media
Teori ini beliau pelajari ketika di bangku kuliah. 
Teori ini memiliki asumsi, bahwa lingkungan rumah, pengasuan orangtua, sekolah, peer group, bahkan sampai widely shared cultural values dan penegakan hukum yang berlaku-- memiliki pengaruh yang signifikan terhadap individu.
Dalam tataran sederhananya aja, dalam hadits kan kita dianjurkan untuk memilih-milih orang-orang yang dijadikan kawan kepercayaan. Bukan, “Segimana pun lingkungan buruk kamu, ya kuat-kuatin aja deh imanmu.” Dalam konteks lebih makronya lagi, Rasulullah SAW berhijrah kan dari Makkah ke Madinah-- agar misi-misi penyampaian risalahnya lebih kondusif berlangsung.
Jadi, memang sistem itu berpengaruh secara komunal, gaes. Termasuk berpengaruh dalam pemerataan akses beragam hal, baik itu akses wawasan, pengetahuan, kesempatan untuk lebih maju, dan lain sebagainya. 
Semakin terbuka akses tersebut secara bertanggungjawab, semakin merata kualitas masyarakatnya. Kendati tentu saja kompetisi antar individu masih tetap dimungkinkan dalam sebuah masyarakat untuk beberapa konteks.
2 - Bahwa pemerataan akses, adalah salah satu aspek yang sangat diperhatikan oleh Islam
Secara sekilas, saya menemukan dua jenis pandangan-- yang nampak ‘bertentangan’, tapi sekali lagi, sebenarnya justru saling melengkapi.
Yang satu berpendapat bahwa hajat hidup orang banyak dipengaruhi oleh keberjalanan sistem. Yang satu lagi berpendapat bahwa nasib seseorang bergantung pada kemampuan diri sendiri untuk survive.
Ada orang yang berpendapat, bahwa Jeff Bezos yang memiliki harta kekayaan yang begitu banyak perlu ‘membagi hartanya’ dengan pajak yang adil agar menjamin kesejahteraan rakyat Amriki lainnya. Ada yang berpendapat, lah, Jeff Bezos kerja keras kok, situ kalau mau sejahtera ya usaha dong!
Mirip ya, sama dialektikanya Maudy Ayunda, hihi. Situ kalau mau berhasil, kerja yang oke dong!
Tapi yang saya pelajari, dari kepercayaan yang saya anut, bahwa semangat pemerataan akses adalah salah satu aspek yang sangat diperhatikan oleh Islam. Contohnya saja, yang paliiing familiar, ialah zakat.
Zakat mewajibkan orang-orang yang hartanya mencapai jumlah tertentu untuk disedekahi kepada petugas Baitul Mal. Baitul Mal bertanggung jawab untuk mendistribusikan harta tersebut sesuai dengan asnaf. Berarti, Islam tidak sepenuhnya menganut sistem “Gimana si kaya aja lah mau bagi-bagi harta atau nggak. Wong dia kerja keras kok. Bagi sobat misqueen, kerja keras juga dong.”
Dari segi akses pengetahuan, saya jadi ingat betapa Umar bin Khattab sangat memerhatikan perluasan akses ilmu.  Di mata beliau menuntut ilmu wajib hukumnya. Bahkan pada masa khalifah Umar, gaji guru mencapai 15 dinar alias Rp 30jutaan lebih, yang sumbernya berasal dari Baitul Mal. Dana dari Baitul Mal, tentu salah satunya dihasilkan dari Zakat Infaq Shadaqah umat Islam. 
See, pendistribusian harta, secara tidak langsung pun akhirnya berperan dalam pendistribusian ilmu.
3 - Bahwa tiap orang memiliki ‘bahan dasar’ masing-masing, diilhami olehNya dengan pertanda yang berbeda, dan memiliki tugas yang berbeda pula
Nah, kini saya akan beralih ke poin yang lebih berbicara mengenai lingkup upaya daya individu. 
Bahwa barangkali, sistem yang ada saat ini belum begitu berhasil meminimalisasi kesenjangan akses mengenai wawasan pengasuhan anak, pengetahuan ekonomi keluarga, peluang pendidikan, dan lain sebagainya.
Namun, bagaimana pun keberagaman latar belakang kita-- baik ‘kondusif’ maupun ‘tidak kondusif’-- pada sejatinya kita sama-sama diuji.
Saya jadi ingat terjemahan Surat Al Anbiya ayat 35, “.. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.“
Bagaimana dengan segala keburukan yang kita alami, kita dapat lolos ujian. Dan semakin banyak kebaikan yang kita peroleh, justru, bebannya lebih besar bukan?
Akses, atau privilege-- bagi saya memang tertakdirkan di awal olehNya. Saya yakin, tiap-tiap kondisi awal yang kita punya, bagaimana pun rupanya, adalah kondisi yang sangaaaat pas untuk masing-masing hambaNya, secara spesifik.
Baik itu keluarga tempat kita dibesarkan, akses-akses yang kita miliki, seperangkat karakter yang kita punyai, perjalanan hidup yang Ia bingkaikan kepada kita-- kesemuanya adalah ‘bahan dasar’ untuk meniti tugas-tugas hidup spesifik bagi tiap hambaNya.
Ada ayat favorit saya, yang bagi saya membekas sekali. Bahwa Sang Pencipta menimpakan takdir pada tiap hambaNya begitu spesifik, sesuai dengan alasan penciptaan masing-masing hambaNya. Yakni At-Tagabun ayat 11.
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Musibah, dalam salah satu video lecture Nouman Ali Khan yang saya tonton-- dalam khazanah bahasa Arab memiliki arti ‘suatu keadaan yang benar-benar tepat mengenai sasaran.’ Dalam artian, Yang Maha Kuasa tidak random menetapkan masing-masing takdir kita begitu saja.
Belum lagi, masih di ayat yang sama, ada frasa ‘..barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” 
Saya pribadi memaknai, jika kita mengimaniNya, termasuk takdir yang Ia tetapkan kepadanya-- maka Allah akan memberi petunjuk pada hati kita tentang apa yang seharusnya kita lakukan. Bahwa takdir yang masing-masing manusia miliki adalah ‘takdir yang benar-benar pas sesuai dengan alasan keberadaan hidup kita di dunia’.
Ada sekumpulan saudara kenalan saya, yang lahir keluarga yang pelik dengan ekonomi yang sangat struggling. Namun, masing-masing memilki bakat yang begitu berbeda. Ada yang memang berbakat melihat peluang berinvestasi secara finansial, sehingga bisa membuka peluang akses ekonomi yang lebih baik bagi keluarganya. Ada yang berbakat untuk mendobrak pendidikan dirinya, hingga mendapatkan akses pengetahuan yang luas dibanding mereka. Ada yang memang secara natural dekat dan nyambung dengan ibu mereka-- sehingga menjadi penopang utama emosional dari sang ibu.
Termasuk, ada kawan-kawan saya yang saya lihat memiliki potensi ‘pendobrak’. Dalam artian, memang mereka punya potensi untuk membuat gebrakan-gebrakan sosial dalam lingkupnya. Termasuk memperluas akses-akses pendidikan dan kesempatan menjadi merata.
Ada pula, kawan-kawan saya yang memang memiliki potensi ‘pengamat’ dan ‘konsultan’. Dalam artian, ketika mereka disuruh untuk mengonsep dan mengimplementasikan konsep menjadi aksi nyata-- mereka tidak begitu lihai. Akan tetapi mereka memang jago untuk menganalisis serta membantu kawan-kawan praktisi untuk memperbaiki gerak langkah mereka.
4 - Bahwa yang terpenting Dia menilai upaya, bukan hasil
Nah, tentu, kemungkinan besar-- ragam jenis privilege yang dimiliki sangat memengaruhi output yang akan dihasilkan (oh ya, bagi saya, privilege juga termasuk karakter dan potensi diri yang memang dititipkan olehNya untuk suatu maksud lho ya, di samping akses ekonomi atau pendidikan).
Tapi, mau tidak mau masyarakat kita menilai pencapaian berdasarkan output. Output yang terlihat ‘wah’ dan barangkali ‘gegap gempita’.
Tentu saja, secara alamiah, publik akan lebih banyak menyorot keberhasilan Maudy Ayunda yang mendapatkan dua tawaran universitas Ivy League, kemudian merayakan kelulusannya pula. Ketimbang, keberhasilan seorang pecandu narkoba yang pada akhirnya berhasil lepas dari narkoba dan memulai karir halalnya menjadi petugas satpam kompleks.
Saya yakin, bahwa tiap orang tidak tercipta untuk semisal kuliah di luar negeri kemudian membuat perusahaan unicorn. Tidak semua orang harus jadi seorang yang futuristik dan merencanakan masa depan yang begitu intens. Ada orang yang memang dianugerahi kemampuan untuk mendobrak sistem agar mendorong orang berpindah pada sistem yang lebih baik, ada yang memang tercipta untuk menjadi followers yang loyal. 
Dan derajat kesemuanya tidak dihitung berdasarkan betapa wow kelihatannya pencapaian mereka, tapi seberapa besar ia berupaya mengolah takdirnya.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya..” QS. Al-Baqarah:286
Yang perlu kita lakukan, menurut saya ialah menelusuri kembali kira-kira Sang Pencipta telah menitipkan ‘bekal hidup’ kepada diri ini apa saja, dan dengan itu semua, Ia mau kita melakukan apa selama kita hidup.
Kalau semisal kita diberi privilege dan bekal hidup yang keberlimpahannya menyamai Maudy Ayunda, tapi tidak diolah dengan sebaik mungkin-- bukankah kita menjadi lalai nikmat? Dan kita juga tidak tahu, seberapa besar upaya Maudy Ayunda mengolah privilegenya dan bagaimana Sang Pencipta menilainya, bukan?
Ini membuat saya berprinsip: fokuslah terhadap bekal hidup yang saya punya, kemudian merenunglah dan berdoa intens kepada Yang Maha Kuasa-- untuk ditunjukkan jalan bagaimana saya mengolah takdir saya semaksimal mungkin.
Tiap-tiap orang, saya amini, bertanggung jawab atas takdir masing-masing-- termasuk untuk memperbaiki takdir sesama dalam skala sekecil/sebesar apapun.
5 - Bahwa advokasi untuk memperjuangkan nasib rakyat ialah hal yang mulia, namun jangan terlalu bergantung pada pihak lain
Poin kelima, adalah poin dimana saya berupaya mensintesakan sudut pandang sistemik dan individual ini.
Lantas, apakah dengan kita bertanggungjawab terhadap takdir yang kita punyai, kita tidak usah capai-capai mengurusi urusan rakyat yang lain? Kan mereka bertanggung jawab juga atas takdir mereka?
Jawabannya, ada di poin 2. Sebagai penganut Islam, saya mempercayai bahwa yang memiliki privilege lebih-- baik dari segi ekonomi, pengetahuan, maupun kemampuan-- ia perlu ‘berjuang lebih’ agar nasib sesama di sekitarnya menjadi lebih baik.
Jika memang kita diilhaminya untuk memperjuangkan nasib rakyat agar mendapatkan hak-hak mereka dengan layak-- mengapa tidak kita lakukan? Kita dapat melakukan advokasi pada stakeholder yang paling berpengaruh untuk mengubah nasib rakyat secara masif. Atau bentuk paling masif dari advokasi: demonstrasi.
Namun, adakalanya-- advokasi terus-menerus pun bisa menemui kebuntuan. Apalagi jika pihak penguasa sudah tidak memiliki political will yang mulia. Daripada terlalu menuntut pihak lain untuk mengubah nasib rakyat-- ‘selamatkan diri masing-masing dan ajak yang lain’.
Sudah tahu bahwa akses pendidikan dan ekonomi begitu senjang, lantas-- yang dapat kita lakukan selain advokasi-- adalah memperjuangkan nasib kita sendiri. Dan lebih baik jika kita pun turut berbagi dan mensejahterakan nasib yang lain dengan berbagi apa-apa yang kita miliki, baik materi maupun non materi-- sebisa yang kita bisa.
Mungkin salah satu contoh yang baru saya dengar di podcast, bagaimana Iman Usman (yang notabenenya tidak punya privilege se-wow Maudy tapi berhasil kuliah di luar negeri) bersama tim ruangguru-- berupaya untuk menyamaratakan akses pendidikan yang semula hanya dimiliki siswa-siswa yang ortunya mampu membayar bimbel.
Contoh di atas menunjukkan, bukan tidak mungkin, gerakan-gerakan yang kita lakukan pun-- akan menjelma menjadi sebuah sistem tersendiri yang mampu merevolusi sistem usang yang sudah ada.
Who’s next?
Wallahu’alam bish shawab.***
*Gambar dari sini dan sini
152 notes · View notes
tristiul · 3 years
Photo
New post on phototumblrblog. :D
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
The Fourth Child.
In order to flex more shooting skills, and qadarullah, Papa came home with a new camera, finally I ‘exploited’ Mama’s fourth child. Mama’s only hairy child😺
“Mama takes care of Lony, because Lony is smart. She pees in the house toilet. It’s not like other cats who come home, they pee everywhere!”
Finally, Lony became Mama’s fourth child since 2 years ago😹
Like other orange kocheng, Lony is also agile. Lony doesn’t like being carried. Lony also likes to scratch. Some source said, why does orange kocheng tend to be fierce because 80% of the orange kocheng is male. So they tend to be more aggressive.
Oh. Really?
25 notes · View notes
tristiul · 3 years
Text
“lalu, bagaimana soal kelaparan di yaman?”
Tumblr media
Seorang wartawan senior membagian sebuah postingan menarik di laman facebook-nya. Beliau menjelaskan bagaimana antusiasme masyarakat dunia (terutama rakyat Indonesia) tidak begitu heroik dan hiruk pikuk menanggapi isu kelaparan di Yaman. 
Tumblr media
Alasan beliau, isu Yaman sulit dikapitalisasi secara politik.
Saya sendiri tidak mau membahas atau membanding-bandingkan ‘siapa yang lebih menderita’, ‘siapa yang lebih berhak untuk ditolong’.
Namun, yang ingin saya bahas di sini adalah, bagaimana sebuah isu dapat dikapitalisasi (bahasa senior saya), atau ‘di-branding’ (bahasa saya)-- sehingga masyarakat tergerak secara massal. Baik dengan bersuara di medsos, berdonasi, turun ke jalan untuk berdemonstrasi, dan lain sebagainya.
Barangkali isu di Yaman agak sulit dikapitalisasi/dibranding agar menarik simpati dan perasaan masyarakat dunia. Karena isu si tertindas vs jahat, seperti contohnya dalam isu Palestina lebih jelas sosok musuhnya, yakni Israel 'sang penindas'. 
Kalau di Yaman, barangkali musuhnya berupa sistem yang membuat rakyatnya kelaparan, lebih tidak kasat mata, bukan karena adanya 'pihak jahat yang lebih kongkret'.
Mungkin PR untuk meningkatkan awareness tentang isu Yaman, ataupun isu-isu penting, ialah bagaimana mengkapitalisasi/membranding isu bahwa sistem yang bobrok itu sebagai 'musuh bersama'? Sehingga menimbulkan gerakan massal? 
Apa dengan menunjuk satu pihak kongkrit sebagai 'musuh'? Seperti isu UU ciptaker kemarin yang menyudutkan 'pemerintah yang berkuasa'? Atau seperti gerakan Black Lives Matter yang menyudutkan Trump. 
Kalau di Yaman, pihak 'jahat' kongkrit yang patut disalahkan siapakah? Hehe. 
ini kira-kira seperti strategi mencari common enemy dalam bentuk kongkret untuk pergerakan massal.
Dan apakah strategi mencari common enemy adalah satu-satunya strategi untuk menggerakkan massa dalam jumlah yang besar?
Ehehe. Malah balik nanya. Yuk, diskusi! :D***
*Gambar dari sini dan sini.
17 notes · View notes