Tumgik
Text
Siang ini saya menemani teman saya. Di hari terakhir Romadhon tahun ini. Mokel. Makan bakso. Persis di sebelah Timur lampu merah Bangsalsari.
Saya tidak ikut mokel. Mokelnya teman saya dapat dimaklumi menurut saya. Kami melakukan pekerjaan berat. Sama dengan yang lainnya juga. Namun, parahnya, terik matahari ditambah panas termit (seperti besi tuang) yang entah berapa ratus derajat Celcius. Menyala.
Tak mampu saya terlalu dekat dengan termit itu. Panasnya. Ampun. Rasanya hidung engap untuk sekedar bernafas. Saking panasnya.
Saat itu saya duduk di warung bakso yang juga menjual es degan itu. Sesaat saya arahkan pandangan ke mobil yang saya parkir persis di depan warung. Jaga-jaga.
Tampak seorang kakek. Kulitnya coklat eksotis. Coklatnya Afrika. Berpeci hitam, seperti kebanyakan orang Madura pada umumnya, yang lawas. Sarung dikalungkan layaknya selempang Miss Universe.
Dia hendak membeli degan. Kalau tidak tahu, kelapa muda. Tanya-tanya kepada bapak penjual. Harganya berapa, mana degan yang agak tua. Mendekati kelapa.
Saya dengar katanya buat tombo. Tombo, yaitu obat atau jamu lah.
Harganya lima ribu. Lantas ia keluarkan plastik kiloan. Yang saya lihat, isinya recehan, dua ribuan dan seribuan. Dia bayar, dengan dua lembar dua ribuan lusuh dan seribuan koin.
Dia pilih mana yang ingin dibawa. Yang agak tua dipilih. Lumayan besar.
Segera menyeberang jalan. Memasukkan degan "tua" itu ke dalam keranjang belanja familiar yang banyak digunakan emak-emak, termasuk Ibu saya. Dia ikat di kursi belakang sepeda ontelnya.
Sepedanya butut. Lusuh. Dari kejauhan saya lihat sudah berwarna oranye, bukan oranye cat, tapi karat. Segera ia kayuh sepedanya. Pelan sekali. Saking pelannya kemudinya tak seimbang. Ke kanan ke kiri. Tak bisa lurus jejeg kalau kata orang Jawa. Entah memang pelan atau sudah tak ada tenaga lagi.
Saya jadi ingat kakek saya. Yang sudah wafat semua.
Ngreteg ati. Ketika seringkali saya melihat orang tua renta yang masih bersemangat. Berjuang ditengah lemahnya tenaga mereka mengarungi kerasnya kehidupan serba kapitalisme ini.
Sudah waktunya mereka beristirahat. Menikmati masa tua. Dengan anak cucu. Seperti yang semua orang idamkan.
Namun saya tahu. Tak semua orang ditakdirkan beruntung. Tuhan menciptakan segalanya berpasangan. Ada pintar ada bodoh. Ada sehat ada sakit. Dan ada yang kaya, ada pula yang miskin.
Setidaknya kita harus berusaha. Membuat orang tidak beruntung itu setidaknya menikmati kehidupan yang layak. Pendek kata, menghilangkan kesenjangan ekonomi yang terlampau jauh karena kapitalisme sekarang.
Tugas kita meningkatkan standar orang paling miskin. Agar setidaknya tergolong kaya di negara lain.
Tak perlu muluk. Yang bisa saya lakukan hanya satu. Bayar pajak, dan zakat profesi. Itu saja. Kalaupun ada rezeki lebih saya beri saja.
Dari langkah sederhana itu. Saya mulai pikir yang besar-besar. Bagaimana caranya meniadakan kekejaman kapitalisme. Diganti dengan ekonomi kerakyatan itu. Yang rasa-rasanya cuma jadi alat kampanye belaka. Tak ada praktek nya.
Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin. Jangan lupa zakat fitrah, dan sedekah yang pastinya berharga bagi yang membutuhkan.
1 note · View note