Tumgik
thinktime · 4 years
Text
Sepemikiran, Se-rasa, Se-hati
Beberapa tahun yang sempat mencuat isu al maidah ayat 51. Tentang tidak bolehnya seorang muslim mengambil orang kafir sebagai pemimpin / teman setia / pelindung.
Kini saya baru mulai memahaminya. Sejak saya punya bos yang tidak beragama islam, lebih spesifiknya dia tidak memiliki agama.
Dalam buku difficult conversation dijelaskan, ketika kita berinteraksi dengan orang lain, sebenarnya interaksi ini melibatkan 3 lapis interaksi.
Lapis 1 : Pembahasan tentang apa yang terjadi
Lapis 2 : Perasaan
Lapis 3 : Identitas
Nah dalam percakapan kita sehari-hari sering kali lapis ke 2 dan ke tiga tidak dipertimbangkan.
Tapi pada kesempatan kali ini saya hanya akan fokus pada lapis ke 3. Identitas. Basicly, untuk benar-benar memahami lawan bicara kita, kita tidak hanya perlu memahami secara baik tentang apa yang terjadi, dan tentang perasaan si teman bicara kita, tapi kita juga perlu mempertimbagkan identitas teman bicara kita.
Dan untuk memahami secara tidak mendalam mungkin tidaklah terlalu sulit. Tapi untuk memahami identitasnya secara benar-benar mendalam dan 100% itu sangatlah sulit jika kita tidak memiliki identitas diri yang sama dengan teman bicara kita.
Kalau dalam percakapan sehari-hari saja kita tidak mampu untuk memahami teman bicara kita secara penuh. Bagaimana dengan urusan kepemimpinan? 
Bagaimana mungkin bisa dipimpin oleh orang yang tidak mampu memahami kita?
Okay, saya akan ambil contoh dalam pengalaman saya pribadi. Saya bekerja di perusahaan yang dipimpin oleh orang yang tidak se-identtias dengan saya. Saya muslim sedangkan dia seorang atheis. Dan apa yang terjadi? Saya di diskriminasi? Tidak, mereka cukup baik dan cukup bisa memahami status saya sebagai seorang muslim. Mereka masih mengerti kalau saya punya kewajiban shalat, shalat jum’at, puasa di bulan ramadhan, tidak boleh berbohong pada cusomer, berintegritas dan lain-lain.
Tapi apakah mereka benar-benar mampu untuk memahami saya secara mendalam? Sampai pada level sepemikiran? Se-rasa? Se-hati? Benar-benar mengerti what it means to be a muslim? Benar-benar memahami tentang pentingnya waktu shalat bagi saya? Benar-benar mengerti tentang pentingnya bagi saya untuk tidak berbohong pada customer? 
Tidak, mereka tidak akan mampu memahami rasa itu, pemikiran itu kecuali sampai mereka memiliki aqidah yang sama dengan aqidah saya. Sampai akar rasa mereka adalah akar rasa Islam, sampai akar pemikirannya adalah akar pemikiran islam. Sampai kepribadiannya adalah kepribadian Islam.
Nah, itu baru di level perusahaan. Masih kecil.
Bagaimana kalau ini ada di level pemerintahan? Ada di level negara? Bagaimana mungkin seorang muslim bisa dipimpin oleh orang yang tidak mampu memahaminya? Kebijakan-kebijakan yang diambil yang diambil pasti tidak akan align dengan rakyatnya yang Islam. 
Ketika kebijakannya sudah tidak sesuai, tentu akan muncul rasa “tidak saling memahami”. Maka bagaimana mungkin pemerintahan seperti ini akan berjalan dengan baik.
Bahkan dengan kondisi sekarang saja, di mana negara ini dipimpin oleh seorang yang katanya muslim. Masih sering terjadi pergejolakan dengan kelompok-kelompok muslim yang merasa pemerintah tidak memahami kelompok islam, kebijakannya tidak mampu memberikan rasa adil pada rakyatnya yang muslim.
Nah, ini malah mencalonkan pemimpin yang bukan seorang muslim? Bagaimana ceritanya sang pemimpin mampu untuk memahami rakyatnya yang muslim? 
Kalau dia sudah mampu memahaminya dalam level mendalam, sudah mampu memahami aqidahnya. Sudah se-rasa, se-hati. Pasti dia sudah menjadi muslim. 
Kalau belum, berarti belum serasa, belum sehati, belum sepemikiran, belum se-aqidah. 
Bagaimana mungkin kita dipimpin oleh orang yang tidak mampu merasakan apa yang kita rasakan.
Kita tau ajaran Islam begitu paripurna, Islam punya framework kehidupannya sendiri, punya way of lifenya sendiri yang diturunkan oleh Allah, Islam punya sistem ekonominya sendiri, punya sistem politik, sistem pendidikan, ideologinya sendiri, sumber hukumnya sendiri, sistem sosial, cara hidup dalam masyarakat, keluarga, cara berinteraksi dengan diri sendiri, dan sebagainya. Islam itu unique dan paripurna. 
Tapi di zaman sekarang,  Islamic Way of Life bukanlah mainstream way of life di era sekarang. 
Maka bagaimana mungkin Islamic way of life ini diperjuangkan oleh mereka yang bahkan tidak memahaminya. 
0 notes
thinktime · 4 years
Text
Kacamata Pincang
Banyak sekali isu-isu di era sekarang yang dipandang secara “pincang”.
Contohnya, isu #BlackLivesMatter di Amerika dipicu oleh kematian salah satu orang kulit hitam. Ini adalah sebuah hal yang baik.
Tapi, ada ribuan muslim meninggal dan ditindas diberbagai belahan dunia. Tidak muncul gerakan #MuslimLivesMatter di Amerika.
---
Contohnya lagi isu LGBT. Sekarang sudah seperti menjadi hal yang ‘biasa’ diberbagai belahan dunia. Alasan utamanya karena ini ‘nature’. --Saya tidak sedang membahas science di sini, saya akan membahas dari segi sosialnya --. 
Kalau menggunakan kacamata ‘oh ini nature, semua yang nature harus kita ikuti. Because that’s how nature works.’
Terus kenapa tidak melegalkan pedofilia? Kalau kita baca-baca itu juga bagian dari nature kan? Kenapa lgbt dipandang baik sedangkan pedofilia dipandang buruk?
Apa jangan-jangan ke depannya masyarakat global akan ‘melegalkan’ pedofilia hanya karena itu natural?
Dan kalau itu nature? Apakah semua yang natural itu harus diikuti? Banyak juga hal-hal yang natural itu tidak baik.
Contohnya, beberapa orang punya bawaan genetic yang menyebabkan dia lebih mudah marah dari pada orang lain. Natural kan? Tapi apakah kita harus toleransi kemarahan dia? Apakah kita perlu melegalkan kemarahan dia?  Ya engga dong.
Kita menggunakan kacamata “ikuti nature”, tapi melabeli sebagian nature baik, dan melabeli sebagian lainnya buruk. Ini kacatamanya pincang.
---
Hanya karena menganggap “lgbt kan tidak merugikan orang lain, ya gapapa lah”, lantas itu dijadikan alasan untuk melegalkan lgbt.
Mungkin kata yang lebih tepatnya adalah dalam jangka pendek “belum merugikan”.
Mungkin perbandingannya begini : pedofilia jelas merugikan orang lain, marah-marah jelas merugikan orang lain dan tidak dapat diterima. Sebenarnya mirip-mirip dengan lgbt.
Kalau marah-marah dan pedofilia kerugiannya dapat dilihat dengan jelas. Dan kerugiannya bersifat ‘immediate’. LGBT kerugiannya mungkin tidak immediate, tapi dia merusak sistem kehidupan dengan skala lebih besar dan dengan impact yang lebih berat.
0 notes
thinktime · 4 years
Text
Si Kacang bermental penjajah.
Banyak generasi-generasi sekarang yang menariakkan “kadrun”, “onta”, ini Indonesia bukan arab.
Padahal dahulu negara-negara yang paling awal mendukung kemerdekaan Indonesia adalah negara-negara timur tengah sana. Negara ke-arab-arab-an.
Kita jadi seperti kacang yang lupa kulitnya.
Banyak di antara kita yang teriak-teriak “ga usah fanatik dengan agama lah. Ga usah berlebihan”.
Dulu ketika Bung Tomo menariakkan takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar untuk membakar semangat perjuangan di surabaya. Koran belanda menyebut Bung Tomo “fanatik”. Kalimat itu dulu dilontarkan oleh penjajah.
Tapi sekarang kata “fanatik” keluar dari anak-anak bangsa Indonesia untuk sesama saudara setanah air. Seperti pewaris darah Indonesia tapi bermental penjajah
0 notes