Tumgik
thinkofmiracle · 2 months
Text
Tumblr media
Fabel yang menceritakan pemberontakan oleh suatu komunitas hewan atas perlakuan manusia. Di awal, para hewan pemilik idealisme ini berhasil mewujudkan apa yang mereka maksud, tapi seiring berjalannya waktu, idealisme itu rontok perlahan-lahan.
Buku yang menggambarkan culasnya tingkatan sosial-ekonomi di dalam sistem kapitalisme dari sudut pandang orang sosialis (karena penulisnya menganut paham itu). Berusaha mewujudkan keadilan, tapi dengan paham bahwa keadilan bermakna "setara", yang hal itu ga mungkin terwujud. Tapi bukan berarti kehidupan kapitalisme juga benar. Sebab kesenjangan, perselisihan jadi satu dari sekian akibat buruk sistem ini. Jangan harapkan kemakmuran merata, sebab hanya pihak-pihak berkepentinganlah yang bisa berjaya.
Bukunya ditulis tahun 1943, tapi masih relate dengan sekarang. Di mana pihak-pihak bawah dimanfaatkan, sedang yang berkepentingan yang merasakan kenikmatan. Demi keuntungan dan kerakusan, hukum boleh saja mengalami perubahan. Pihak-pihak kecil bungkam, sebab sekali menyenggol, mereka akan tersingkirkan.
Buku dengan 120 halaman ini menurutku ga memiliki ending final. Diakhiri fakta bahwa mereka menyadari kalau mereka hanya dimanfaatkan oleh kelompok babi yang berkuasa. Mereka lagi-lagi dijajah, dengan versi berbeda sebab penjajah kali ini berasal dari jenis mereka sendiri. Seribu sayang, sepertinya penulis belum mengetahui ada ideologi yang sebenar-benarnya benar untuk mengatasi permasalahan yang dia rasa ga memiliki ujungnya itu.
0 notes
thinkofmiracle · 2 months
Text
Sebisa apa pun kamu nge-back up, jangan biasain. Memimpin itu mendidik, memimpin itu membina.
0 notes
thinkofmiracle · 2 months
Text
Tumblr media
Beli bukunya 2022, mulai bacanya 2023, selesainya 2024 (jeda setengah tahun karena safar dan sebagainya).
Total halamannya 630 sekian halaman, membahas dengan detail hubungan manusia mulai dari hubungan bersama Tuhannya, bersama manusia lainnya, dan hubungan dengan dirinya sendiri.
Banyak hal tambahan yang aku pelajari di sini. Meski sempat berhenti sejenak karena mual ketika pembahasan wanita bersama suami/mertua (tenang, aku terus menerus berusaha mengurangi married issue-ku ini kok🙂), terkesima ketika begitu detail pembahasan wanita bersama masyarakat, dan sebagainya.
Buku ini banyak menjawab pertanyaan lamaku yang belum terjawab. Dari buku ini, akhirnya aku tau apa makna hadis "Addinu Nasihah"; dari buku ini, aku temukan dalil yang setidaknya menunjukkan bahwa musik tidak haram; dari buku ini, aku mempelajari bagaimana menjadi wanita yang sesungguhnya, wanita yang menaati Allah dan Rasul-Nya. Seperti judul buku yang tertera, "Kepribadian (ideal) Wanita Muslimah"🍀
0 notes
thinkofmiracle · 2 months
Text
Tumblr media
Di masa sekarang, kita memiliki dua kehidupan. Berbentuk fisik dan digital.
Sebelum berfikir jauh bahwa kita memiliki "universe" lain dalam dunia digital, buang jauh-jauh pikiran tersebut. Sebab, teknis dunia digital sama persisnya dengan dunia fisik yang kita hidupi. Yang beda hanya bentuknya. Jika kamu fikir di dunia digital kita bisa menyatakan pendapat dengan bebas, pikiranmu salah. Mungkin iya ketika awal eksistensi dunia digital ini ada. Tapi tidak seiring pihak yang berkepentingan merasa terancam. Selayaknya beberapa tahun setelah Tembok Berlin diruntuhkan (yang menjadi simbol era tanpa batas), batas-batas itu akhirnya kembali lagi. The Borders are back, even in the borderless era.
157 halaman pertama buku ini membahas sejarah perpolitikan dunia dua abad terakhir. Kekuatan yang menguasai, konflik-konflik besar di dalamnya, yang, ugh, tentu saja menguras energi ketika membacanya. Selain berusaha menyambungkan latar dan benang-benang tiap peristiwa, diksi yang kutemukan di 157 halaman pertama itu erat dengan istilah perpolitikan. Percaya atau tidak, tiap kali membaca buku ini, layar handphone-ku menetap di halaman KBBI. Memudahkanku untuk merujuk ke kata-kata atau istilah yang baru kutemui.
Buku yang dibagi menjadi 3 bagian ini membahas fakta dunia digital, sejarahnya, dan nasib umat Islam yang menjadi bagian di dalamnya. Pun di dalamnya dibahas pandangan hukum Islam tentang bagaimana selayaknya seorang muslim hidup di dunia digital, juga solusi dan tips bagaimana kita bisa tetap bergerak menyuarakan pemikiran yang perlu kita suarakan.
Di buku ini juga dibahas bagaimana dunia digital terkhusus media sosial sangat mempengaruhi perpolitikan suatu negara.
Buku ini berhasil membuka mata dan pikiranku tentang geopolitik, geostrategis, ataupun dunia digital itu sendiri. Menyingkap tabir yang selama ini belum kuketahui. Well, aku fikir buku ini akan aku buka dan baca lagi di waktu yang akan datang, tersebab pembahasan-pembahasan yang ada di dalamnya.
0 notes
thinkofmiracle · 10 months
Text
اصبر كالجمد!
"Bersabarlah kalian seperti sabarnya benda mati!"
Nasihat yang kudapatkan dari Ustaz Ahmad Jaelani di suatu daurah 2018 silam tiba-tiba terngiang lagi beberapa waktu terakhir.
Setelah beliau sampaikan nasihatnya kala itu, beliau menjelaskan maksud dari perkataannya, "Kalian tau kenapa pepatah Arab tersebut memerintah kita untuk sabar seperti sabarnya benda mati? Kenapa mumatsal-nya benda mati?"
"Sebab benda mati akan selalu diam atas apa yang ditimpakan kepadanya. Bersabar, tanpa mengeluarkan keluhan atau aduan,"
"Betul bahwasanya ada kondisi di mana kita justru tidak boleh diam, misal ketika memang waktunya kita untuk membela diri. Tapi untuk keinginan mengeluh atas apa yang terjadi, jangan kalian keluarkan sedikit pun keluhan tersebut. Tahan semampu yang kalian bisa. Sebab keluhan yang keluar dari mulut kita, boleh jadi merupakan suatu hal yang mengurangi pahala sabar yang kita lakukan."
3 notes · View notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
"Marah itu harusnya keluar ketika kita melakukan sesuatu yang ga sesuai ekspektasi Pencipta. Emosi dalam bentuk menyesal—marah kepada diri kita sendiri."
-di salah satu ceramah menjelang maghrib Ramadan lalu.
4 notes · View notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
Tumblr media
Di permulaan muhadhoroh Fiqh Muqoron (Fiqh Perbandingan) yang membahas kitab Bidayah Mujtahid kemarin, Duktur Ahmad 'Id menceritakan beberapa "landasan" yang digunakan mushonnif kitab (Imam Ibnu Rusyd Al-Hafid) untuk mentarjih perbedaan pendapat yang ada dalam suatu hukum fikih.
Di contoh pertama beliau menyebutkan bahwa Imam Ibnu Rusyd mentarjih suatu pendapat berdasarkan makna dari suatu dalil. Di contoh kedua, beliau menyebutkan bahwa sang mushonnif juga mentarjih berdasarkan khibroh (pengalaman/pengetahuan) yang dimiliki, seperti dalam pembahasan darah yang keluar ketika seorang wanita hamil.
Dalam kasus ini, para ulama terbagi menjadi dua kubu, sebagian berpendapat dan menghukumi bahwa darah tersebut merupakan darah haidh; sedang sebagian lagi menghukumi itu sebagai darah istihadhah.
For your information, Imam Ibnu Rusyd merupakan seorang fakih, filsuf, yang juga ahli dalam bidang kedokteran. Dalam kasus ini, ia mentarjihkan pendapat yang menyatakan bahwa darah tersebut merupakan darah haidh.
Bukan tanpa landasan, sebab ia mentarjihkan pendapat tersebut berdasarkan pengetahuan kedokteran yang ia miliki, kepakaran dalam ilmu kedokteran yang ia punya. Ia menyebutkan bahwa memungkinkan untuk seorang wanita haidh ketika masa hamilnya, ketika wanita tersebut memang dalam kondisi kuat dan sehat.
Bukan tanpa landasan, sebab ia mentarjihkan kasus tersebut berdasarkan pengetahuan kedokteran yang ia miliki, kepakaran dalam ilmu kedokteran yang ia punya. Ia menyebutkan bahwa memungkinkan untuk seorang wanita haidh ketika masa hamilnya, ketika wanita tersebut memang dalam kondisi kuat dan sehat.
Dari cerita ini, lagi-lagi aku kembali diingatkan bahwa selalu ada keterikatan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Bahwa sepatutnya tidak ada pengkerdilan dalam ilmu apa pun. Sebab boleh jadi suatu ilmu merupakan pelengkap ilmu yang lain; atau boleh jadi ilmu tersebut justru pokok dari ilmu yang lain.
Dr. Mohammad Abu Musa, sang syekhul balaghiyyin masa kini pernah berucap,
"لم أقُل لطلابي، ولم أكتب يوما في كتبي، إنّ هناك علوم الدين وعلوم الدنيا، لآن علوم الدنيا التي تحتجها الأمة هي من صميم علوم الدين"
"Aku tidak pernah mengatakan kepada murid-muridku; tidak pula pernah menulis dalam kitab-kitabku, "ini merupakan ilmu agama" dan "ini merupakan ilmu dunia". Karena ilmu dunia yang dibutuhkan umat adalah intisari (bagian penting) dari ilmu agama."
Allahu a'lam.
*tarjih: memilih/menentukan pendapat yang lebih kuat.
0 notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
Belajar Menerima Ketetapan dan Memaksimalkan Peran
"Pahala seorang perempuan yang iklas melakukan kewajibannya di rumah dengan keinginan besar untuk beribadah; pergi ke masjid, itu boleh jadi setara bahkan lebih besar dari pahala kaum laki-laki yang pergi ke masjid dan mengoptimalkan ibadahnya, karena keridhaan atas kewajiban mereka."
Gagasannya kudapatkan ketika memoderatori kajian Muppi tahun lalu, ketika sang pemateri menjawab pertanyaan bagaimana perempuan bisa mendapatkan pahala yang banyak, sedangkan dia tidak bisa beribadah optimal karena kewajibannya di rumah.
Bukan hanya pada saat itu, pertanyaan atau gagasan semacam ini juga seringkali kutemukan di kajian-kajian khusus perempuan yang pernah kuikuti. Mempertanyakan status atau posisi perempuan karena bimbang atas ibadahnya.
Ketika dulu hanya mendengarkan, menyimak, tanpa merasakan; tahun ini alhamdulillah diberi kesempatan merasakan posisi tersebut. Posisi kebimbangan karena sangat ingin mengoptimalkan ibadah, tapi juga tahu bahwa ada kewajiban yang perlu dijalani.
Tahun ini, alhamdulillah diberi kesempatan untuk merealisasikan teori yang dipelajari; belajar menerima ketetapan—bahwa perempuan memiliki peran penting tersediri—dan memaksimalkan kewajiban. Menurunkan ego; menyampingkan rasa iri; dan berusaha memahami bahwa tidak semua keinginan bisa dipenuhi, dan bahwa ada banyak jalan agar ridho Allah didapati.
Menyiapkan makanan, melayani, menyiapkan segala kebutuhan untuk mereka beribadah nyatanya bisa mendapatkan pahala yang setimpal. Meski tanpa melakukan ibadah yang biasa orang-orang lain jalani.
Ngga, "menyiapkan makanan" itu ga berarti setiap hari seorang perempuan harus memasak, kok. Karena sejatinya kewajiban perempuan bukan "memasak" itu sendiri, melainkan "memastikan" bahwa asupan anggota keluarganya terpenuhi.
Mengumpulkan teori, berusaha merealisasi—meski kukira awalnya mudah, ternyata ada tumbang juga saat di Madinah. Tapi saat dijalani lagi, semakin mengerti bahwa semua akan indah kalau dinikmati.
Semakin kesini juga semakin paham, bahwa penting untuk kita berkomunikasi. Kita memang memiliki kewajiban itu semua, tapi bukan berarti semua ditumpukan ke kita. Ga ada salahnya untuk meminta bantuan. Kita makhluk sosial, akan lebih mudah kalau bersama menghadapi.🫂
0 notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
Tumblr media
Jabal Uhud, 21 Ramadhan 1444 H
Dalam perjalanan dari Madinah ke Mekkah, aku terbangun dari tidur, melihat sekitar yang pemandangannya masih sama sebelum aku memejamkan mata: bukit dan hamparan tanah yang dipenuhi dengan batu dan krikil. Yang pada saat itu, pikiranku seolah diajak membayangkan perjalanan Rasulullah dan para sahabat dulu ketika Hijrah. Bermodal unta, dan bekal secukupnya.
Begitupula ketika sebelumnya berkunjung ke Jabal Uhud, meski hanya terlihat hamparan gunung, masjid di tengahnya, dan orang-orang yang berkunjung—tapi pikiranku seolah otomatis menyetel bagaimana dulu pasukan kaum muslimin turun dari bukit untuk mengambil ghanimah; bagaimana ricuhnya mereka ketika Khalid dan pasukannya muncul dari atas gunung dan menyerang mereka dari sana; dan bagaimana para sahabat mati-matian melindungi Rasul dari berbagai sisi.
Dalam pandangan yang masih menelaah kondisi bukit dengan hamparan bebatuan, lagi-lagi aku diajak membayangkan bagaimana dulu Rasul dan para sahabat melalui proses dakwahnya dengan medan seperti ini. Tentu berbeda jauh kondisinya dengan aku yang masih mampu duduk manis menyetel berbagai rekam memori.
Pikiranku kembali ke beberapa waktu terakhir, ketika aku tergopoh-gopoh di antara ratusan manusia untuk menuju area sekitar makam sang Baginda; area sekitar Raudhah—tempat dakwah nabi dulu berada. Di mana saat langkah semakin mendekat, air mata mulai bercucuran, dalam hati lirih kuterisak sambil berkata, "Yaa Rasulullah, aku rindu, tapi malu."
Aku rindu, tapi malu. Bagaimana bisa aku mengaku paling rindu, sedang ajaran-ajaranmu masih kadang tertinggal berlalu?
Bagaimana bisa aku mengaku cinta, sedang aku masih lemah dalam menjalankan segala syariat yang kaubawa?
Bagaimana bisa aku merasa sudah berkontribusi, sedang rasanya apa yang kulakukan jauh dari apa yang kau lalui?
Bagaimana bisa aku merasa sudah berbuat besar, sedang aku belum ada apa-apanya dibading perjuangan di bawah terik matahari yang membakar?
Aku rindu, tapi malu, yaa Rasulullah...
0 notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
Tumblr media
Di tengah istirahat acara hari Sabtu kemarin, seorang—dengan kepedulian tinggi terhadap sekitarnya—datang menghampiri, dengan muka seriusnya bertanya, "Ya, ayo jujur sama aku, kamu lagi kenapa?"
Aku heran. Kenapa aku disodorkan pertanyaan semacam itu?
Ah nyata-nyatanya, tentang beberapa tulisanku yang seolah menunjukkan aku sedang dihadapi kondisi yang kurang baik.
Akhirnya aku sampaikan kalau tulisan-tulisanku biasanya tercipta itu sebagai bentuk respon terhadap apa yang kudapatkan dari cerita dari seorang/sekelompok teman yang akhirnya kupaparkan di sebuah tulisan. Tujuannya agar hikmah yang kupetik tersimpan dan bisa dijadikan pelajaran.
Tapi seniorku ini mengelak; tidak percaya agaknya. Katanya, "Aku simpen ss-nya kok." Dan ternyata yang ia maksud lebih mengerucut adalah tulisan yang ada di atas.
Terkekeh, akhirnya aku ceritakan. Latar belakang tulisan Kak Ge yang kukutip dan sedikit kuberi gubahan di akhirnya.
——
Memang, sesi telfon saat itu sedikit berbeda dari biasanya. Manusia yang jarang sekali bercerita atau mengutarakan pertanyaan serius ini menurunkan egonya, bertanya tentang salah satu konsep kehidupan-penghambaan, dan minta diceritakan bagaimana sang puan yang lebih dulu merasakan "asam-manis" itu dulu menghadapinya.
Di akhir sesi telfonnya, ketika aku sampaikan terima kasih dan permintaan maaf, Ummi berucap, "Iya sama-sama. Ummi malah seneng kok. Ummi akhirnya jadi bisa tau apa yang anak-anak Ummi alami di kehidupannya."
Detik itu, aku tertampar. Teringat betapa jarangnya aku membagikan kisah. Khawatir selama ini kufur akan nikmat kehadiran dua sosok yang mungkin selalu menunggu cerita pertumbuhan anak-anaknya; menunggu pertanyaan-pertanyaan istimewa tentang fase kehidupan yang sedang dihadapinya.
Maka di tulisan kak Ge yang kukutip, ada kalimat yang aku ubah dan imbuhkan di akhirnya. Untuk menjadi pengingat bersama bahwa akan selalu ada dua telinga yang bersedia mendengar ocehan luar biasa dari pikiran kita; yang menampilkan takjub atas pertumbuhan kita.
0 notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
Sepatutnya Kita
Sepatutnya kita, menyampaikan syukur pada manusia.
Tapi sepatutnya kita, jauh lebih dulu mengungkapkan syukurnya pada Sang Pencipta. Sebab manusia, hanya sebagai perantara, bukan sumbernya berada.
Sepatutnya kita, bergantung pada pemilik alam semesta.
Meski beberapa dari kita mungkin perlu panjang melewati prosesnya, tapi yang terpenting, jangan sampai terlupa. Sebab manusia, hanya seonggok makhluk yang lemah, jauh dari kata pantas untuk jadi tempat berserah.
Sepatutnya kita, berbaik sangka pada manusia, tapi perlu disadari bahwa dia hanya manusia—tempat kesalahan bermula. Maka ekspektasi atasnya janganlah terlalu mengudara.
Ya, sepatutnya kita, memuarakan apa-apanya pada Sang Pemilik Segala. Sebab karenanya kita ada.
0 notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
أللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
"Kesini-sini, banyakin do'a itu. Dan jangan lupa, ketika kalian do'a 'أللهم أرنا الحق حقا' lengkapilah dengan 'ارزقنا اتباعه'. Sebab banyak orang yang direzekikan untuk mengetahui kebenaran, tapi belum direzekikan untuk mengikutinya."
—Seniorku, di majelis tanya-jawab beberapa bulan lalu.
0 notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
Bukankah selalu menyenangkan ketika perjalananmu bertitel "perjalanan pulang"?
Ketika sepanjang harinya ragamu bergelut dengan segala amalan, yang kau harap tiap upayanya terdapat keberkahan.
Bukankah selalu menenangkan ketika perjalananmu bertitel "perjalanan pulang"?
Meski kau tau ada tumpukan baru yang perlu dikerjakan esok hari, kau selalu percaya bahwa Tuhanmu tak pernah membiarkan sang hamba memikulnya sendirian tanpa diberi kekuatan.
Selamat beristirahat, jiwa-jiwa yang menikmati perjalanan pulang. Semoga empuk kasur mampu mendekap sang lelah dan menyerapnya.
0 notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
"Happiness can be found in the darkest of the times, if one only remembers to turn on the light."
-Albus Dumbledore
0 notes
thinkofmiracle · 1 year
Text
"Effort makes you. Don't think it's too late, instead just keep working on it. It takes time, indeed. But there's nothing that gets worse due to practicing."
1 note · View note
thinkofmiracle · 2 years
Text
Benar bahwasanya kita gak boleh berharap terlalu berlebih. Tapi ga bohong adanya kalo harapan untuk terwujudnya suatu keinginan itu punya tahta eksistensinya sendiri. Yang kemudian ga jarang bikin keraguan, kecemasan, dan yang sejenis itu mulai berlomba-lomba memiliki eksistensi.
Biasanya kalo udah kaya gini, harus berusaha buat ilangin rasa-rasa yang tadi ada. Nyari kesibukan jadi salah satu cara biar pikiran-pikiran buruk teralihkan. Nggak, rasa-rasa negatif tadi gak lantas saya tangkis gitu aja ketika kemunculannya, kok. Saya tetap menerima kedatangan emosi negatif itu. Karena se-negatif apa pun emosi yg ada, dia tetep jadi bagian dari ragam emosi—simpelnya, gak papa untuk kita ngerasa "ga baik-baik aja".
Trus selanjutnya, kalau rasa serta pikiran-pikiran buruk yang berusaha dihilangin tadi masih ada, biasanya saya tambah pake opsi lain, semisal menanamkan lebih banyak benih-benih kepercayaan; bahwa sejauh apa pun realitanya dari ekspektasi yang udah dibangun tadi, yaa itu ketetapan yang terbaik untuk kita. Dengan atau tanpa kita pahami hikmahnya nanti. Opsi ini jadi jalan pintas, perumpamaannya kayak kertas putih kosong yang kecipratan tinta, kalo kita udah usahain untuk ngapus tinta tadi dan gabisa juga, ya opsi lainnya kita buat sesuatu dari titik hitam tadi, membuat ukiran baru, dengan penentuan warna baru.
Percaya, berharap, mengasihi, membenci, atau yang lainnya emang ragam pekerjaan hati. Dan kita, memang perlu hati-hati sama makhluk kecil bernama hati, karena sekalinya lepas kendali, yaa jadi kotar-katir sendiri.
0 notes
thinkofmiracle · 2 years
Text
Dear, Aku
Sampai detik ini, terima kasih sudah selalu ada.
Terima kasih untuk selalu siap dan bersedia diajak berpetualang; naik turun bak menaiki roller coaster. Jatuh, terbentur, tersenggol, tersandung, nyusruk, lecet.
Maaf, maaf karena pemilik dari jiwa-ragamu ini terlalu rusuh, yang tentu menyebabkan keterlibatan kamu di dalamnya.
Terima kasih,
Terima kasih sudah berkenan diajak meninggi guna membawa wibawa, dan diajak merendah untuk mengakui bahwa kau tetap manusia.
Terima kasih untuk selalu memperbaiki, di saat pada hakikatnya kesalahan memang selalu memiliki eksistensi.
Terima kasih untuk selalu berupaya berbagi; mengasihi; menghargai; dan terus mempertahankan diri, di saat banyak jiwa yang memilih tak lagi peduli tentang ini.
Terima kasih,
Terima kasih untuk selalu menjadi saksi bisu, supporter terbaik, dan tempat pulang paling nyaman ketika dunia seolah memaksamu mendelik.
Terima kasih untuk selalu memiliki harapan dan selalu menggantungkan segala urusanmu pada pemilik kehidupan.
Aku tahu, jalanmu setelah ini lebih menantang lagi.
Jika kecewa sedang menjadi labuan, ingatlah selalu bahwa kau memiliki Tuhan.
Pun jika kelegaan kau dapatkan, ingatlah bahwa Tuhan menunggu syukurmu diucapkan.
Salam hangat, Aku.
0 notes