Tumgik
taptaptap54 · 2 years
Text
Dilarung.
Hari ini mereka melarung aku. Melepas sisa-sisa ikatan yang masih tertinggal dengan apa yang bisa disebut hidup.
Di atas Pont des Amores, ia membalik guci dengan setengah keikhlasan. Wajahnya tampak enggan, tapi tak punya pilihan. Ia sudah berjanji. Aku memintanya berjanji.
"Berjanjilah. Saatnya tiba nanti, harus kamu sendiri yang menaburkan aku ke sana. Aku tidak mau orang lain menyentuhku."
Dia tersenyum pahit. "Jangan bicarakan itu."
Tapi tak ada yang menyangka(bahkan aku sendiri tidak), dia menepatinya. Dengan tangannya sendiri, ia memeluk guci itu. Sejak dari Bandung, ke Jakarta, hingga menjejakkan kaki di Annecy, tak seorangpun dia izinkan menyentuh tubuh kekasihnya.
Lalu setelah diam yang lama, dia membuka guci dan menaburkan isinya ke sungai. Wajahnya jelas berkata ia masih tidak tahu yang dilakukannya benar tidak.
Masalahnya, semua menentang.
"Tak ada keluarga kita yang seperti itu."
"Orang berlomba berbuat kebaikan untuk menghindar dibakar di neraka. Kamu malah minta dibakar waktu tiada."
"Tanpa badan, kamu gak akan dibangkitkan. Mana bisa nyahut kalau Dia memanggil? Mulutmu aja habis dilahap api."
"Kalau orang tanya kuburmu, Mama harus jawab apa?!"
Orang memang suka sensitif ketika bicara tradisi. Apalagi soal lahir dan mati. Padahal yang mati juga tidak ambil pusing.
Katanya orang mati badannya kembali ke pelukan bumi. Dan bumi bukan cuma soal tanah yang bisa dipijak. Sungai, laut gunung pun tahu bagaimana memeluk tubuh lelah yang sudah mati.
Aku bangga dia mempertahankan janji yang tak pernah diucapnya.
Sore ini, di bawah langit jingga Annecy, dia menghadiahkan kebebasan. Kado terindah untuk jiwa yang telah pergi.
0 notes