Tumgik
tantradiashari · 9 days
Text
Lagi jalan-jalan di buku terus dapat kutipan menarik
"Segala sesuatu yang terjadi pada kita, baik ataupun buruk, pasti berlalu. Yang tersisa hanya ingatan bahwa dulu kita pernah sangat bahagia atau sangat sedih. Lalu ingatan itu pun nantinya akan memudar"
Kutipannya saya ambil dari novel Semusim, dan Semusim Lagi karya Andina Dwifatma
12 notes · View notes
tantradiashari · 9 days
Text
Tumblr media
Lambat atau cepat, suatu hari nanti kamu akan duduk memberi kata selamat kepada dirimu sendiri, tersenyum bangga, dan berkata,
"Sangat sulit memang, tapi Tuhan, aku berhasil".
169 notes · View notes
tantradiashari · 9 days
Text
Bahwa untuk menghasilkan tulisan diperlukan aktivitas membaca yang komprehensif yang tidak hanya asal, tetapi butuh kemampuan mencerna, mengolah, menyimpulkan, menganalisis, dll.
Namun, membaca selama ini dianggap sebagai hobi, bukan pekerjaan, sehingga tidak diperhitungkan, bahkan dibayar. Sementara banyak hal dalam kehidupan kita, sangat berkaitan erat dengan kemampuan membaca.
Jadi, apakah kemampuan membaca perlu dikomersialkan?
2 notes · View notes
tantradiashari · 12 days
Text
Menulis Untuk Apa?
Aku percaya bahwa pengalaman menulis adalah suatu proses panjang yang tidak bisa dinilai mudah. Orang tidak bisa menulis tanpa membaca.
Dari buku ke buku. Dari jalan ke jalan. Dari alam ke alam. Dari sejarah dan masa depan.
Kalau orang bilang menulis itu gampang, ya tergantung.
Menulis apa, untuk siapa, dan bagaimana.
Seorang mahasiswa pernah merasa campur aduk saat mengerjakan skripsinya. Perasaannya selalu dag dig dug karena tema skripsinya adalah hal yang baru ia pelajari dengan device yang kurang mumpuni. Setiap detiknya tegang oleh bunyi “dret-dret” notifikasi WA dari sang dosen. Di lain sisi, ia merasa bersyukur. Ia bersyukur karena dulu telah berani melamar sang dosen, di saat yang lain pasrah untuk dipilihkan. Ia bersyukur dibenturkan dengan banyak hal yang sepertinya dulu tidak akan sanggup dilalui. Ia bersyukur diajarkan cara berpikir dan menulis, sampai-sampai di meja dosen ia berkata, “Wah, jadi begitu, ya, Bu, caranya. Jujur selama kuliah 4 tahun ini saya baru bisa merasa menulis bagus waktu dibimbing Ibu. Empat tahun kemarin saya nulis apa dong, Bu, kalau begitu?” Beliau terkekeh. Meskipun begitu, anak yang baru belajar menulis ini selalu disuruhnya ikut ini-itu. “Ayo, coba apply saja. Nggak usah takut.”
Selepas seminar dan sidang, alih-alih merayakan euforia, ia lekas-lekas pergi ke loteng agar tak bertemu siapa-siapa. Ia merasa skripsinya terlalu payah untuk ditukar  dengan sebuah gelar. Ia merasa tidak maksimal dalam mengerjakan, padahal support sang dosen sungguh besar. Namun, ia juga merasa sayang jika jerih payahnya hanya teronggok di perpustakaan yang suram. Perpustakaan yang berfungsi sebagai ‘gudang skripsi’ alih-alih tempat membaca buku yang menyenangkan.
Setiap orang yang meninggalkan kampus dengan gelar, berjuang dengan tidak mudah. Ada yang riset berbulan-bulan. Ada yang harus melalui medan berat, waktu yang panjang, pengerjaan berulang yang membosankan dan kelelahan sampai hampir-hampir mengetuk pintu keputusasaan, lalu mengapa hasil riset ini TIDAK ADA YANG BACA?
Karena ngga menarik.
Karena terlalu rumit dimengerti.
Karena orang merasa tidak penting untuk dibaca.
Padahal setiap orang yang melakukan penelitian, mereka berkeyakinan bahwa riset ini penting, bukan untuk dirinya, tapi untuk orang lain, untuk umat. Jadi, bagaimana membuat orang lain mengerti bahwa ini adalah hal penting yang harus mereka tahu? Sesederhana membuatnya menjadi menarik.
Jadi kalau ditanya, kamu menulis untuk apa, Tantra?
Coba ingat-ingat kembali perjalanan panjang itu. Niat-niat baik itu. Dan tujuan-tujuan panjang yang mungkin hanya kamu dan Tuhan yang tahu. Coba ingatlah pesan Bung Hatta: “Pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita” atau “Apa yang membuatmu takut, hadapilah dengan berani”. Juga jangan lupakan Tan Malaka pernah berkata, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.” Teruslah bertumbuh, seperti padi yang tidak berisik.
2 notes · View notes
tantradiashari · 13 days
Text
Menggapai Cita Justru Saat Tidak Melakukan Apa-Apa
Pernahkah kamu merasa menjadi dirimu sendiri saat justru kamu tidak menjadi melakukan apa-apa?
Pak Kadi, guru matematika, sekaligus wali kelasku saat kelas 3 SD pernah memajang selembar kertas pada dinding triplek berlapis kawat di ruang kelasku. Selembar kertas itu bertuliskan tulisanku: Aku ingin menjadi seorang Profesor.
Mungkin, kalau ada kesempatan untuk merevisi, akan kuubah: Aku ingin menjadi seorang saintis.
Hmm, tapi biar saja demikian. Barangkali suatu saat memang ditakdirkan untuk menjadi professor. Amin.
Aku terlalu percaya diri bahwa aku sulit untuk menghitung benda yang bergerak dengan arah. Aku bersemangat untuk memecahkan soal hitungan. Tapi, dengan arah? Sungguh aneh. Mengapa tidak dihitung satu persatu saja? Mengapa suatu vector, gaya, arah harus disertai angka? Maka, aku pesimis untuk menjadi seorang fisikawan.
Kimia apalagi. Pekerjaannya menghitung mol senyawa dan reaksi energi. Puluhan (atau ratusan?) unsur saja kadang kita ngga pernah melihat secara langsung, lha apalagi harus dihitung? Gaib. Kimia bagiku seperti sihir. Kita tidak pernah tau wujudnya, tiba-tiba berubah begitu saja. Dan kalau ditanya, apa cita-citamu? Aku tidak mau menjawab kerepotan sekolah bertahun-tahun dengan: menjadi penyihir. Meskipun mereka membalutnya dengan hal yang menurut mereka keren: analis kimia.
Biologi adalah pilihan yang tepat. Kata teman-temanku, anak biologi itu kaya orang yang ngga ada kerjaan. Orang lain sibuk menghitung berapa berat kapal biar bisa mengapung, efisiensi nilai pabrik, atau bikin sistem komputer yang canggih, lah kita malah mengamati jalannya kecoa, menghitung berapa lama tikus menyelesaikan jalur labirin, pergi jauh ke hutan dan nongkrong seharian di gua yang gelap, pengap, dan lembap hanya untuk melihat keluarga landak grooming. Orang lain memelihara kucing buat releasing stress. Anak biologi memelihara lalat buah dan digembol kemana-mana.
Alih-alih beruntung, aku malah merasa paling bodoh saat kuliah. Ndlomang-ndlomong karena ngga ngerti apa-apa. Jangan dikira aku ngerti nama tumbuhan, hapal karakter ekosistem, paham evolusi. Enggak :D Selama kuliah biologi, aku merasa bukan jadi anak biologi karena ngga ngerti apa-apa di perbiologian.
Justru setelah pengangguran, aku merasa hidup sebagai seorang yang pernah belajar biologi. Suka mengamati tumbuhan (kalo di) jalan, merasa gulma itu keren dan penting, iseng-iseng melakukan penelitian mandiri. Lagipula, penelitian di biologi itu real. Tanpa effort pun, kalian udah bisa mengamati dan meneliti gerak tumbuhan atau jadwal kutilang berkicau. Engga kaya kimia yang kudu beli baking soda atau cuka buat ngadain percobaan. Eh, ada sih percobaan fotosintesis. Tapi, kan, ya, gimana secara kasat mata ngitung molekul O2 yang dihasilkan dari reaksi fotosintesis kalau ngga punya alat sekaliber di lab kimia?
Intinya, menjadi seorang saintis itu bisa dilakukan dengan gampang, kapan pun, dan dimana pun. Kamu sering kepikiran banyak ide dan di waktu yang bersamaan ingin nggak ngapa-ngapain? Jadi saintis jawabannya. Hehe
1 note · View note
tantradiashari · 1 year
Text
"Kamu ini kebanyakan baca buku dari luar negeri, ya, sampai nggak tahu nama burung di negara sendiri? Tadi kolibri, sekarang tukan, terus habis ini apa? Flamingo?"
Ekspekdisi Peksi
6 notes · View notes
tantradiashari · 1 year
Text
That's why I go birdwatching. It's about enjoying, observing, and chasing less- a way of being part of nature.
Ekspekdisi Peksi
0 notes
tantradiashari · 1 year
Text
"Sekarang bolehlah orang-orang berlomba-lomba mengeluarkan duit buat memiliki dia. Tapi kalau kemudian si jalak putih ini punah di alam, ..." Om Ge terdiam sesaat, " ...their money can't bring them back."
Ekspekdisi Peksi
0 notes
tantradiashari · 1 year
Text
"Kenapa, sih orang-orang harus banget memburu burung?"
"Nggak tahu, Nyu." Om Ge mengangkat bahu. "Mungkin mereka tipikal orang yang kalau suka harus memiliki. Posesif."
Ekspekdisi Peksi
0 notes
tantradiashari · 1 year
Text
"Siapa yang bilang kupu-kupu suka hinggap di bunga?" Om Ge menanggapi.
Aku mengedik. "Perasaan di pelajaran sekolah begitu."
"Kupu-kupu juga suka hinggap di tanah, Nyu. Dia nggak cuma butuh gula dari nektar yang disediakan bunga, tapi juga butuh mineral yang disediakan tanah. Istilahnya mud-puddling. Nanti kalau kamu sempat lihat lebih dekat, perhatikan deh, mereka juga mengisap mineral dari sumber lain."
"Oh, ya? Dari bebatuan?"
Tante Kin menggeleng. "Dari tahi. Bisa juga dari bangkai hewan atau bangkai serangga lain."
"EH? Eww ..."
Ekspekdisi Peksi
0 notes
tantradiashari · 1 year
Text
"Kalau betul hantu adalah energi, maka ketika berkomunikasi dengan kita, bentuknya bisa berbeda-beda. Tergantung alat apa yang menangkap energi itu. Ada yang tertangkap alat perekam bunyi, sehingga menjadi suara. Ada yang tertangkap alat perekam gambar, sehingga bisa dilihat. Nah, mungkin -mungkin nih, ya- si hantu ini tertangkap sama jaringan internet, sehingga jadi..."
"Netizen?"
Creepy Case Club: Kasus Jendela Berhantu
0 notes
tantradiashari · 1 year
Text
"The Hidden Life of Trees, Peter Wohlleben. Dia ahli hutan dari Jerman. Errr, wait. TEDx Talks Florianne Koechlin, ahli biologi dari Jerman menyebutnya wood wide web."
"Tapi tetap enggak menjelaskan gimana pohon itu bisa bersuara manusia, kan?"
"Mungkin suara itu adalah energi pohon ini yang kamu tangkap... Bukankah hantu itu energi, bukan zat? Ketika hantu menampakkan diri, saat itu energi kita lagi sefrekuensi sama mereka."
Creepy Case Club: Kisah Pohon Pemanggil
0 notes
tantradiashari · 1 year
Text
"Ada enggak bukti ilmiah kalau pohon bisa ngomong?"
"Ada."
"Adegan film favoritku di film Pocahontas waktu Pocahontas ngobrol sama Nenek Willow ... film Avatar ... pohon Whomping Willow di buku Harry Potter ... pohon di dongen Grimm bersaudara, The Old Woman in the Wood ... film Happening ..."
"Tapi itu semua fiksi. Aku mau bukti ilmiah!"
Creepy Case Club: Kasus Pohon Pemanggil
0 notes
tantradiashari · 2 years
Text
Waktu kecil, pernah berandai-andai, gimana, ya, rasanya waktu datang ke toko buku, terlihat karya sendiri dipajang di raknya?
Lalu bermimpi punya buku yang best-seller, atau buku yang masuk koper untuk dipajang di book fair luar negeri, dapat penghargaan dalam negeri, atau jadi pemenang di festival buku internasional.
Tapi, apa pentingnya itu semua jika yang paling krusial adalah tulisan kita menemukan pembacanya? Apa pentingnya penilaian orang jika tulisan kita tak sampai di hati pembaca? Tulisan dan pembaca seperti jodoh dan takdir.
Menulislah terus. Berkaryalah terus.
Kita tidak tahu, tulisan mana yang akan bersemayam di hati orang lain, yang mungkin bisa mengubah cara pandangnya, perasaannya, atau bisa jadi mengubah dunia.
1 note · View note
tantradiashari · 2 years
Text
Dia yang paling dekat denganmu yang berpotensi paling menyakitimu, kecuali Tuhanmu.
Tumblr media
Biarlah Allah yang menguatkanmu…
153 notes · View notes
tantradiashari · 2 years
Text
"Kalau negeri ini tak punya uang, jual baju saya."
Sutomo, di hadapan sidang pemuda Gerakan Rakyat Baru, Juli 1945
0 notes
tantradiashari · 2 years
Text
Jalan menuju Allah adalah jalan yang membuat Adam kelelahan. Nuh mengeluh. Ibrahim dilempar ke dalam api. Ismail dibentangkan untuk disembelih. Yusuf dijual dengan harga murah, dan dipenjara selama beberapa tahun. Zakaria digergaji. Yahya disembelih. Ayub menderita penyakit. Daud menangis melebihi kadar yang semestinya. Isa berjalan sendirian. Muhammad SAW mendapat kefakiran dan berbagai gangguan.
Sementara kamu ingin menempuhnya dengan bersantai ria dan bermain-main?
Demi Allah takkan bisa terjadi.
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah
2 notes · View notes