Tumgik
#ilyas al-qays
rinammonroll · 1 year
Text
Out of Context Scenes from My Novel Draft that I Hope to Insert into Future Chapters:
****************************************************
“Do you not think me bold, Yasmine?”
He uttered quickly after the general had passed, lips pursed as he gazed at me in earnest.
It seems as though a certain prince was fishing for compliments.
I had wanted to ask him. Despite all that stood on my tongue, I manage to flatter him the way he so desired.
“....Your eyepatch is rather striking.”
“Does it make me resemble a warrior?”
“Not quite. You appear as though you are masquerading as a very frivolous pirate who has little knowledge on piracy at all, if truth be told.”
****************************************************
Odd. The way you phrased that makes you sound like a genuinely good person.”
“I never said I was a bad person.”
“Really? It was heavily implied.”
****************************************************
6 notes · View notes
imansyahlp3i-blog · 6 years
Text
Muhammad[(Arab: محمد‎; lahir di Mekkah, 570 M – meninggal di Madinah, 8 Juni 632 M) adalah seorang nabi dan rasul terakhir bagi umat Muslim.Muhammad memulai penyebaran ajaran Islam untuk seluruh umat manusia dan mewariskan pemerintahan tunggal Islam. Muhammad sama-sama menegakkan ajaran tauhid untuk mengesakan Allah sebagaimana yang dibawa nabi dan rasul sebelumnya.
Lahir pada tahun 570 M di Mekkah, Muhammad melewati masa kecil sebagai yatim piatu. Muhammad dibesarkan di bawah asuhan kakeknya Abdul Muthalib kemudian pamannya Abu Thalib. Beranjak remaja, Muhammad bekerja sebagai pedagang. Muhammad kadang-kadang mengasingkan diri ke gua sebuah bukit hingga bermalam-malam untuk merenung dan berdoa. Diriwayatkan dalam usia ke-40, Muhammad didatangi Malaikat Jibril dan menerima wahyu pertama dari Allah.Tiga tahun setelah wahyu pertama, Muhammad mulai berdakwah secara terbuka, menyatakan keesaan Allah dalam bentuk penyerahan diri melalui Islam sebagai agama yang benar dan meninggalkan sesembahan selain Allah. Muhammad menerima wahyu berangsur-angsur hingga kematiannya. Praktik atau amalan Muhammad diriwayatkan dalam hadis, dirujuk oleh umat Islam sebagai sumber hukum Islam bersama Al-Quran.
Muhammad bersama pengikut awal mendapati berbagai bentuk perlawanan dan penyiksaan dari beberapa suku Mekkah. Seiring penganiayaan yang terus berlanjut, Muhammad membenarkan beberapa pengikutnya hijrah ke Habsyah, sebelum Muhammad memulai misi hijrah ke Madinah pada tahun 622. Peristiwa hijrah menandai awal penanggalan Kalender Hijriah dalam Islam. Di Madinah, Muhammad menyatukan suku-suku di bawah Piagam Madinah. Setelah delapan tahun bertahan atas serangan suku-suku Mekkah, Muhammad mengumpulkan 10.000 Muslim untuk mengepung Mekkah. Serangan tidak mendapat perlawanan berarti dan Muhammad mengambil alih kota dengan sedikit pertumpahan darah. Ia menghancurkan berhala-hala. Pada tahun 632, beberapa bulan setelah kembali ke Madinah usai menjalani Haji Wada, Muhammad jatuh sakit dan wafat. Muhammad meninggalkan Semenanjung Arab yang telah bersatu dalam pemerintahan tunggal Islam dan sebagian besar telah menerima Islam.
Etimologi
"Muhammad" (Arab: محمد بن عبد الله; Transliterasi: Muḥammad;diucapkan [mʊħɑmmæd] ( simak)) secara bahasa berasal dari akar kata semitik 'H-M-D' yang dalam bahasa Arab berarti "dia yang terpuji". Selain itu, dalam salah satu ayat Al-Qur'an,Muhammad dipanggil dengan nama "Ahmad" (أحمد), yang dalam bahasa Arab juga berarti "terpuji".
Sebelum masa kenabian, Muhammad mendapatkan dua gelar dari suku Quraisy (suku terbesar di Mekkah yang juga suku dari Muhammad) yaitu Al-Amiin yang artinya "orang yang dapat dipercaya" dan As-Saadiq yang artinya "yang benar". Setelah masa kenabian para sahabatnya memanggilnya dengan gelar Rasul Allāh (رسول الله), kemudian menambahkan kalimat Shalallaahu 'Alayhi Wasallam (صلى الله عليه و سلم, yang berarti "semoga Allah memberi kebahagiaan dan keselamatan kepadanya"; sering disingkat "S.A.W" atau "SAW") setelah namanya.
Muhammad juga mendapatkan julukan Abu al-Qasim yang berarti "bapak Qasim", karena Muhammad pernah memiliki anak lelaki yang bernama Qasim, tetapi ia meninggal dunia sebelum mencapai usia dewasa.
Genealogi
Silsilah Muhammad dari kedua orang tuanya kembali ke Kilab bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr (Quraish) bin Malik bin an-Nadr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan. Silsilah sampai Adnan disepakati oleh para ulama, sedangkan setelah Adnan terjadi perbedaan pendapat. Adnan secara umum diyakini adalah keturunan dari Ismail bin Ibrahim, yang selanjutnya adalah keturunan Sam bin Nuh.
Walaupun demikian, terdapat sejarawan yang menyusun silsilah yang lebih jauh lagi. Muhammad bin Ishak bin Yasar al-Madani, di salah satu riwayatnya menyebutkan silsilah hingga Adam. Silsilah tersebut adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr (Quraisy) bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzayma bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Udad bin al-Muqawwam bin Nahur bin Tayrah bin Ya'rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim bin Tarih (Azar) bin Nahur bin Saru’ bin Ra’u bin Falikh bin Aybir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh bin Lamikh bin Mutusyalikh bin Akhnukh bin Yarda bin Mahlil bin Qinan bin Yanish bin Syits bin Adam.
Kelahiran
Maulud Nabi Muhammad
Para ulama dan penulis sirah sepakat bahwa hari kelahiran Muhammad jatuh pada bulan Rabiul Awal. Muhammad lahir di Mekkah, kota bagian selatan Jazirah Arab, sekitar tahun 570, berdekatan dengan Tahun Gajah yang merupakan tahun kegagalan penyerangan Mekkah oleh pasukan bergajah di bawah pimpinan Abrahah. Pendapat paling mashyur merujuk tanggal 12 Rabiul Awal sebagai hari kelahiran Muhammad. Berdasarkan teks hadis, Muhammad menyebut hari Senin sebagai hari kelahirannya. Penulis sirah Sulaiman Al-Manshurfuri dan ahli astronomi Mahmud Basya dalam penelitiannya melacak hari Senin yang dimaksud bertepatan dengan tanggal 9 Rabiul Awal.
Muhammad berasal dari salah satu klan suku Quraisy yakni Bani Hasyim yang mewarisi silsilah terhormat di Mekkah, meskipun tak terpandang karena kekayaannya. Ayahnya, Abdullah meninggal saat Muhammad masih dalam kandungan, enam bulan sebelum kelahiran. Muhammad bayi dibawa tinggal bersama keluarga dusun di pedalaman, mengikuti tradisi perkotaan kala itu untuk memperkuat fisik dan menghindarkan anak dari penyakit perkotaan. Ia diasuh dan disusui oleh Halimah binti Abi Dhuayb di kampung Bani Saad selama dua tahun. Setelah itu, Muhammad kecil dikembalikan untuk diasuh kepada budak Ummu Aiman. Pada usia ke-6, Muhammad kehilangan ibunya, Aminah karena sakit. Selama dua tahun berikutnya, kebutuhan Muhammad ditanggung dan dicukupi oleh kakeknya dari keluarga ayah, 'Abd al-Muththalib. Ketika berusia delapan tahun, kakeknya meninggal dan Muhammad berikutnya diasuh oleh pamannya Abu Thalib yang tampil sebagai pemuka Bani Hasyim sepeninggal Abdul Muththalib.
Memperoleh gelar
Ketika Muhammad berumur 35 tahun, ia ikut bersama kaum Quraisy dalam perbaikan Kakbah. Pada saat pemimpin-pemimpin suku Quraisy berdebat tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Muhammad dapat menyelesaikan masalah tersebut dan memberikan penyelesaian adil. Saat itu ia dikenal di kalangan suku-suku Arab karena sifat-sifatnya yang terpuji. Kaumnya sangat mencintainya, hingga akhirnya ia memperoleh gelar Al-Amin yang artinya "orang yang dapat dipercaya".
Diriwayatkan pula bahwa Muhammad adalah orang yang percaya sepenuhnya dengan keesaan Tuhan. Ia hidup dengan cara amat sederhana dan membenci sifat-sifat tamak, angkuh dan sombong yang lazim di kalangan bangsa Arab saat itu. Ia dikenal menyayangi orang-orang miskin, janda-janda tak mampu dan anak-anak yatim serta berbagi penderitaan dengan berusaha menolong mereka. Ia juga menghindari semua kejahatan yang sudah membudaya di kalangan bangsa Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras, berkelakuan kasar dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai As-Saadiq yang berarti "yang benar".
Penyebaran Islam
Sekitar tahun 613 M, tiga tahun setelah Islam disebarkan secara diam-diam, Muhammad mulai melakukan penyebaran Islam secara terbuka kepada masyarakat Mekkah, respons yang ia terima sangat keras dan masif. Ini disebabkan karena ajaran Islam yang dibawa olehnya bertentangan dengan apa yang sudah menjadi budaya dan pola pikir masyarakat Mekkah saat itu. Pemimpin Mekkah Abu Jahal menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila yang akan merusak tatanan hidup orang Mekkah. Akibat penolakan keras yang datang dari masyarakat jahiliyyah di Mekkah dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin Quraisy yang menentangnya, Muhammad dan banyak pemeluk Islam awal disiksa, dianiaya, dihina, disingkirkan, dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat Mekkah.
Walau mendapat perlakuan tersebut, ia tetap mendapatkan pengikut dalam jumlah besar. Para pengikutnya ini kemudian menyebarkan ajarannya melalui perdagangan ke negeri Syam, Persia, dan kawasan jazirah Arab. Setelah itu, banyak orang yang penasaran dan tertarik kemudian datang ke Mekkah dan Madinah untuk mendengar langsung dari Muhammad, penampilan dan kepribadian baiknya yang sudah terkenal memudahkannya untuk mendapat simpati dan dukungan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini menjadi semakin mudah ketika Umar bin Khattab dan sejumlah besar tokoh petinggi suku Quraisy lainnya memutuskan untuk memeluk ajaran Islam, meskipun banyak juga yang menjadi antipati mengingat saat itu sentimen kesukuan sangat besar di Mekkah dan Medinah. Tercatat pula Muhammad mendapatkan banyak pengikut dari negeri Farsi (sekarang Iran), salah satu yang tercatat adalah Salman al-Farisi, seorang ilmuwan asal Persia yang kemudian menjadi sahabat Muhammad.
Penyiksaan yang dialami hampir seluruh pemeluk Islam selama periode ini mendorong lahirnya gagasan untuk berhijrah (pindah) ke Habsyah (sekarang Ethiopia). Negus atau raja Habsyah, seorang Kristen yang adil, memperbolehkan orang-orang Islam berhijrah ke negaranya dan melindungi mereka dari tekanan penguasa di Mekkah. Muhammad sendiri, pada tahun 622 hijrah ke Yatsrib, kota yang berjarak sekitar 200 mil (320 km) di sebelah Utara Mekkah.
Wafat
Wafatnya Muhammad
Pada bulan Juni 632 M, dia mengalami sakit ketika tengah berada di rumah Maimunah namun kemudian meminta pindah ke rumah Aisyah. Setelah sebelumnya mengalami demam dan beberapa kali pingsan, dia meminta kepada Abu Bakar untuk menggantikannya mengimami jamaah. Diapun akhirnya meninggal dalam pangkuan Aisyah dan jenazahnya dikuburkan di rumah istrinya tersebut.
Mukjizat
Mukjizat Muhammad
Kenabian
Seperti nabi dan rasul sebelumnya, Muhammad diberikan irhasat (pertanda) akan datangnya seorang nabi, seperti yang diyakini oleh umat Muslim telah dikisahkan dalam beberapan kitab suci agama samawi, dikisahkan pula terjadi pertanda pada masa di dalam kandungan, masa kecil dan remaja. Muhammad diyakini diberikan mukjizat selama kenabiannya.
Al-Qur'an
Al-Qur'an
Umat Muslim meyakini bahwa mukjizat terbesar Muhammad adalah kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur'an. Hal ini disebabkan karena masa itu kebudayaan bangsa Arab yang sedang maju adalah dalam bidang ilmu sastra, khususnya bahasa dan syair. Dikatakan sebagai mukjizat karena Al-Quran dianggap memiliki tatanan sastra Arab tingkat tertinggi yang disampaikan oleh seorang buta huruf, dan setiap mukjizat yang dibawa oleh para rasul selalu menandingi arah gejala (tren) yang sedang ramai. Kemudian Al-Qur'an juga mengubah total segi kehidupan bangsa Arab dengan membawa banyak peraturan keras untuk menegakkan dasar-dasar nilai budaya baru, yang sebelumnya moral dan perilaku mereka sangatlah rusak, seperti menyembah berhala, berjudi, merampok, membunuh anak-anak karena takut akan kemiskinan dan kelaparan, minum-minuman keras, saling berperang antarsuku dan lain-lain.
Isra dan Mi'raj
Mukjizat lain yang tercatat dan diyakini secara luas oleh umat Islam adalah terbelahnya bulan serta perjalanan Isra dan Mi'raj dari Madinah menuju Yerusalem dalam waktu yang sangat singkat. Kemampuan lain yang dimiliki Muhammad adalah kecerdasan serta kepribadiannya yang banyak dipuji serta menjadi panutan para pemeluk Islam hingga saat ini.
2 notes · View notes
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Hadits Keempat: Proses Penciptaan Manusia dan Penetapan Taqdir (Bag. 2)
Makna Kalimat Dalam Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
Siapakah dia?
Dia adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghaafil bin Hubaib bin Syamakh bin Faar bin Makhzum bin Shahilah bin Kaahil bin Al Harits bin Tamim bin Sa’ad bin Hudzail bin Mudrikah bin ilyas bin Mudhar bin Nazar.
Dia seorang Imam yang ilmunya luas (Al Imam Al Hibr), ahli fiqihnya umat ini (Faqihul Ummah), Abu Abdirrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajiri Al Badri, sekutu Bani Zahrah.
Dia termasuk As Sabiqunal Awalin (yang pertama-tama masuk Islam), termasuk ulama yang paling mulia, mengikuti perang Badar, ikut hijrah dua kali, termasuk yang mendapatkan an nafl dalam perang Yarmuk,  berbudi sangat baik, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Banyak yang meriwayatkan hadits darinya; Abu Musa, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Imran bin Hushain, Anas, Jabir, Abu Umamah, sekelompok sahabat, dan Al Qamah, Al Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, Abu Wailah, Qais bin Abi Hazim, Zar bin Hubais, Ar Rabi’ bin Khatsaim, Thariq bin Syihab, Zaid bin Wahab, kedua anaknya Abu Ubaidah dan Abdurrahman, Abul Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu ‘Amru Asy Syaibani, dan banyak yang lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan darinya tentang bacaan Al Quran adalah Abdurrahman As Sulami dan ‘Ubaidah bin Nadhilah, dan sekelompok ulama.
Qais bin Hazim menceritakan bahwa Abdullah Mas’ud seseorang yang tipis dagingnya (kurus). Dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang kurus dan pendek , kulitnya sawo matang yang gelap, dan dia tidak merubah ubannya (tidak mewarnainya).
Beliau meninggal di Madinah, dikubur di Baqi’ pada tahun 32H.   (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 1/461-500. 1413H – 1993M. Cet. 9.  Muasasah Ar Risalah)
Ada pun tentang keluasannya dalam ilmu tafsir, dapat tergambar dari riwayat berikut. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah  yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? Di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-8. Darul Thayibah lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga As Siyar, 1/470-471. Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 5002)
Selanjutnya:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ
Bercerita kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq
Ash Shaadiq artinya: المخبر بالحق – pembawa berita yang benar.
Al Mashduuq artinya: الذي صدقه الله وعده – orang yang janjinya telah dibenarkan oleh Allah. (Syakh Muhammad Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar  Rabbaniyah,  No. 4)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah memberikan penjelasan:
قوله: “وهو الصادق المصدوق” أي الصادق في قوله المصدوق فيما يأتيه من الوحي الكريم.
“Sabdanya: dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq artinya Ash Shaadiq (yang benar) dalam ucapannya, dan Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada apa-apa yang datang kepadanya berupa wahyu yang mulia. “ (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 37. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri rahimahullah mengomentari dalam  Tuhfah Al Ahwadzi:
ومعناه الصادق في جميع أفعاله حتى قبل النبوة لما كان مشهوراً فيما بينهم بمحمد الأمين، المصدوق في جميع ما أتاه من الوحي الكريم
“Maknanya adalah, dia adalah Ash Shaadiq (yang benar) pada semua perilakunya sampai-sampai sebelum kenabiannya, hal ini telah masyhur di antara mereka ketika beliau diberikan pujian dengan sebutan Al Amin.  Sedangkan dia Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada semua apa-apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia (Al Quran).” (Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi Bisyarhi Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 341. Cet. 2, 1963M – 1383H. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah )
Kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah  diisyaratkan dalam  berfirmanNya:
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya  kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab, 33: 22)
Selanjutnya:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah mengutip dari sebagian ulama tentang makna kalimat tersebut:
أن المني يقع في الرحم متفرقا فيجمعه الله تعالى في محل الولادة من الرحم في هذه المدة، وقد جاء عن ابن مسعود في تفسير ذلك “إن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله تعالى أن يخلق منها بشراً طارت في بشر المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تصير دماً في الرحم فذلك جمعها وهو وقت كونها علقة”
“Maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim tersebut selama rentang waktu tersebut (40 hari). Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, ‘Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal di dalam rahim. Itulah yang dimaksud dengan “Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah).” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Misykah)
Selanjutnya:
ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
 “Kemudian menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga.”
Mudghah adalah  قطعة لحم– sepotong daging. Mitsla Dzalik adalah waktunya yakni 40 hari juga. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 4)
Selanjutnya::
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ
“ … kemudian diutus kepadanya malaikat ..”
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah:
يعني الملك الموكل بالرحم.
“yaitu malaikat yang mungurus rahim.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Miykat)
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
ظَاهِره أَنَّ إِرْسَاله يَكُون بَعْد مِائَة وَعِشْرِينَ يَوْمًا
“Menurut zhahirnya, bahwa diutusnya malaikat terjadi setelah 120 hari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489)
Selanjutnya:
فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ
“ … untuk meniupkannya ruh ..”
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
…لِأَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد تَمَام صُورَته . وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد أَرْبَعَة أَشْهُر
“ .. karena sesungguhnya tidaklah ruh ditiup melainkan setelah sempurnanya bentuk. Para ulama telah sepakat bahwa ditiupnya ruh tidaklah terjadi kecuali setelah empat bulan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Shahih Muslim, 6/6. Cet. 1. 1996M-1416H. Dar Ibnu ‘Affan Lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 5/455. Maktabah Al Misykah)
Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menceritakan dalam kitab Ikmal Al Mu’allim:
Dalam hadits Ibnu Mas’ud pada riwayat yang lain, beliau bersabda: “Jika nuthfah sudah berada selama 43 hari –dalam riwayat lain 42 hari – maka Allah utus malaikat untuk menentukan bentuknya.” Hingga sabdanya: “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” Beliau juga bersabda dalam hadits Hudzaifah bin Usaid: “Malaikat datang kepada nuthfah setelah dia tinggal di rahim selama 40 hari atau 45 hari, lalu malaikat berkata: “Wahai Rabb, sengsara atau bahagia?” Dalam riwayat lain: “Bahwa nuthfah berada dalam rahim selama 40 malam, lalau malaikat mendekatinya dan berkata: Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” dalam riwayat lain: “40 hari lebih sedikit.” Dalam hadits Anas: “Sesungguhnya Allah telah mengutus malaikat yang mengurus rahim, lalu dia berkata: “Wahai Rabb-nya Nuthfah, wahai Rabbnya ‘alaqah, wahai Rabbnya mudghah!” maka ketika dia hendak menyelesaikannya, dia berkata; “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya?”  (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/58. Maktabah Al Misykah)
Beliau melanjutkan: “Di berbagai  sumber hadits ini berbeda-beda lafaznya, dan tak ada perbedaan bahwa ditiupkannya ruh adalah setelah 120 hari, demikian itu setelah sempurnanya empat bulan, dan memasuki bulan kelima,  adanya hal ini dapat diketahui dengan dilihat/kesaksian.” (Ibid. Ucapan ini Juga dikutip  oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 11/485. Darul Fikr)
Yaitu bisa diketahui dengan gerakan janin yang dapat dirasakan si ibu dan diketahui oleh mata yang melihat gerakan gelombang pada perut. Berkata Imam Al ‘Aini Rahimahullah:
وقال الراغب وذكر الأطباء أن الولد إذا كان ذكرا يتحرك بعد ثلاثة أشهر وإذا كان أنثى بعد أربعة أشهر
Berkata Ar Raghib: para dokter menyebutkan bahwa bayi, jika laki-laki maka bergerak setelah tiga bulan, dan jika dia perempuan bergerak setelah empat bulan.” (‘Umdatul Qari, 5/455)
Ada beberapa persoalan fiqih yang terkait dengan usia kehamilan 4 bulan, silahkan baca: klik disini.
Selanjutnya:
وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“dia diperintahkan mencatat empat  kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan  atau kebahagiannya.”
Yu’maru (dia diperintahkan), siapa yang diperintahkan? yakni malak (satu malaikat) yang meniupkan ruh kepada manusia di perut ibunya tadi.
Berkata Imam Badruddin Al ‘Aini rahimahullah:
ويقال له أي للملك المرسل أكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أو سعيد وكل ذلك بما اقتضت حكمته وسبقت كلمته
“Dikatakan kepadanya yaitu kepada malaikat yang diutus: tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, susah atau bahagianya. Semua itu ditetapkan dengan hikmahNya dan hikmahNya itu telah mendahului kata-kataNya. (‘Umdatul Qari, 22/461)
Selanjutnya:
فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ
“Demi Allah yang Tiada Ilah kecuali Dia.”
Ini merupakan diantara kalimat sumpah yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kadang beliau menggunakan Walladzi Nafsiy biyadih (demi zat yang jiwaku ada di tanganNya), kadang Walladzi Nafsu Muhammad biyadih (demi zat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya), dan lainnya. Kadang orang Arab menggunakan Wallahi, Tallahi, Billahi, yang maknanya serupa, Demi Allah!
Ini merupakan salah satu adab dalam bersumpah yakni wajib dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah salah satu kesyirikan (yakni syirik ashghar – syirik kecil). Banyak hadits yang menyebutkan hal itu, saya sebutkan satu saja.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia mendengar seorang bersumpah: “Tidak,  demi Ka’bah.” lalu dia mengatakan: “Jangan kamu bersumpah dengan selain nama Allah, sebab aku mendengar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah kufur atauberbuat  syirk.” (HR. At Tirmdzi No. 1535, katanya: hasan. Abu Daud No.3251, dan lain-lain. Hadits ini shahih. Lihat Ghayatul Maram No. 259, lihat juga Shahih At Targhb wat Tarhib No. 2952, dan lainnya)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وَفُسِّرَ هَذَا الْحَدِيثُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ قَوْلَهُ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ عَلَى التَّغْلِيظِ وَالْحُجَّةُ فِي ذَلِكَ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ عُمَرَ يَقُولُ وَأَبِي وَأَبِي فَقَالَ أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ قَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا مِثْلُ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ الرِّيَاءَ شِرْكٌ
Sebagian Ulama menafsirkan hadits ini bahwa sabdanya: telah kufur atau syirik, artinya menunjukkan penguatan/pemberatan/penegasan. Argumentasinya adalah hadits Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar Umar berkata: Wa Abiy wa Abiy – Demi Ayahku dan Demi Ayahku. Maka beliau bersabda:
Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:
وفسَّر بعْضُ الْعلماءِ قوْلهُ:”كَفر أَوْ أشركَ”علَى التَّغلِيظِ كما رُوِي أَنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:”الرِّيَاءُ شِرْكٌ”.
Sebagian ulama menafsirkan makna kufur atau syirik sebagai penegasan/penguatan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “riya’ termasuk syirik.” (Lihat Riyadhush Shalihin Hal. 477. Cet. 3. 1998M-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
Lalu, bagaimana dengan ucapan sebagian sahabat nabi, seperti: bi abiy wa bi ummiy (Demi ayah dan demi ibuku!)”. Apakah ini termasuk sumpah dengan selain nama Allah?
Kalimat di atas bukanlah sumpah, tetapi kalimat kebiasaan mereka untuk menunjukkan dalamnya rasa cinta dan hormat mereka kepada lawan bicara. Imam Ibnu Manzhur menyebutkan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kalimat ini  aslinya adalah:
فَدَيْتُك بأَبي وأُمِّي
“Saya jadikan ayah dan ibu saya sebagai tebusan untukmu.” (Lisanul ‘Arab, 15/417. Syamilah)
Kemudian kalimat ini diringkas menjadi: bi abiy wa bi ummiy (demi ayah dan ibuku).
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
مَعْنَاهُ أَنْتَ مُفَدًّى أَوْ أَفْدِيك بِأَبِي وَأُمِّي
“Maknanya adalah engkau mendapatkan tebusan atau saya akan menebusmu dengan ayah dan ibuku.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/108. Mawqi’ Ruh A Islam)
Beliau juga mengatakan:
 وَفِيهِ جَوَاز قَوْل الرَّجُل لِلْآخَرِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : وَقَدْ كَرِهَهُ بَعْض السَّلَف . وَقَالَ : لَا يُفْدَى بِمُسْلِمٍ . وَالْأَحَادِيث الصَّحِيحَة تَدُلّ عَلَى جَوَازه سَوَاء كَانَ الْمُفَدَّى بِهِ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا .
“Dalam hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang berkata kepada orang lain: demi ayahku dan ibuku. Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan; sebagian salaf memakruhkannya. Dan, dia berkata: tidaklah ditebus dengan seorang muslim. Hadits shahih ini menunjukkan kebolehannya, sama saja apakah tebusannya itu dengan  seorang muslim atau kafir, hidup atau mati.” (Ibid)
Selanjutnya:
إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga …”
Pada bagian-bagian ini, penjelasan dari  Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah cukup memadai bagi kita. Beliau mengatakan:
إلى آخره ظاهر الحديث أن هذا العامل كان عمله صحيحاً وأنه قرب من الجنة بسبب عمله حتى بقي له على دخولها ذراع وإنما منعه من ذلك سابق القدر الذي يظهر عند الخاتمة فإذاً الأعمال بالسوابق لكن لما كانت السابقة مستورة عنا والخاتمة ظاهرة جاء في الحديث: “إنما الأعمال بالخواتيم”  يعني عندنا بالنسبة إلى اطلاعنا في معنى الأشخاص وفي بعض الأحوال، وأما الحديث الذي ذكره مسلم في صحيحه في كتاب الإيمان: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إن الرجل ليعمل بعمل أهل الجنة فيما يبدو للناس وهو من أهل النار” فإنه لم يكن عمله صحيحاً في نفسه وإنما كان رياء وسمعة فيستفاد من ذلك الحديث ترك الالتفات إلى الأعمال والركون إليها والتعويل على كرم الله تعالى ورحمته.
Secara  zhahir, hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan  perbuatan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga  hampir satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: “Segala  perbuatan itu  nilainya tergantung pada amal terakhirnya.” Maksudnya, menurut kami hanya  terjadi pada orang-orang dan keadaan tertentu saja.  Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman  dalam  kitab Shahihnya bahwa Rasulullah bersabda : ”Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka.” Ini menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak benar dan dilakukan karena riya serta sum’ah .  Faidah dari hadits ini adalah memandang dari sisi niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, ada orang yang selamat dari riya’ itu semata-mata karena karunia dan rahmat Allah Ta’ala. (Imam Ibnu daqiq Al ‘Id, Syarah Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 38)
Selanjutnya:
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir),  maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya.  Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:
المراد: أن هذا قد يقع في نادر من الناس لا أنه غالب فيهم وذلك من لطف الله سبحانه وسعة رحمته فإن انقلاب الناس من الشر إلى الخير كثير، وأما انقلابهم من الخير إلى الشر ففي غاية الندور ولله الحمد والمنة على ذلك، وهو تجوز، وقوله: “إن رحمتي سبقت غضبي” وفي رواية “تغلب غضبي”.
وفي هذا الحديث إثبات القدر كما هو مذهب أهل السنة وأن جميع الواقعات بقضاء الله تعالى وقدره خيرها وشرها نفعها وضرها قال الله تعالى: {لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ}  . ولا اعتراض عليه في ملكه يفعل في ملكه ما يشاء. قال الإمام السمعاني: سبيل معرفة هذا الباب: التوفيق من الكتابة والسنة دون محض القياس ومجرد العقول فمن عدل عن التوفيق منه ضل وتاه في مجال الحيرة ولم يبلغ شفاء النفس ولا يصل إلى ما يطمئن به القلب لأن القدر سر من أسرار الله تعالى ضربت دونه الأستار واختص سبحانه به وحجبه عن عقول الخلق ومعارفهم، وقد حجب الله تعالى علم القدر عن العالم فلا يعلمه ملك ولا نبي مرسل، وقيل إن سر القدر ينكشف لهم إذا دخلوا الجنة ولا ينكشف قبل ذلك.
وقد ثبتت الأحاديث بالنهي عن ترك العمل اتكالاً على ما سبق من القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد بها الشرع وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره فمن كان من أهل السعادة يسره الله لعمل أهل السعادة ومن كان من أهل الشقاوة يسره الله لعمل أهل الشقاوة كما في الحديث وقال الله تعالى: {فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى … فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}  .
قال العلماء: وكتاب الله تعالى ولوحه وقلمه كل ذلك مما يجب الإيمان به، وأما كيفية ذلك وصفته فعلمه إلى الله تعالى لا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء. والله أعلم
Maksudnya bahwa, hal semacam ini bisa saja  terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang  biasa. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak terjadi adalah manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi tidak baik.
Firman Allah Ta’ala, “RahmatKu mendahului kemarahanKu” menunjukkan adanya kepastian taqdir sebagaimana  keyakinan Ahlus Sunnah bahwa semua kejadian  ada dengan ketetapan Allah dan taqdirNya, baik dalam hal keburukan dan kebaikan, juga dalam hal membawa  manfaat dan  bahaya. Firman Allah: “Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab (tidak ditanya) atas segala tindakan-Nya tetapi mereka akan dimintai tanggung jawab.” (QS. Al Anbiya’ : 23) menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaanNya itu.
Imam Sam’ani mengatakan: “Cara untuk   memahami  masalah ini adalah dengan  mengkompromikan (taufiq) apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas dan akal. Barang siapa yang  keluar dari cara ini dalam memahami pengertian di atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh  obat bagi jiwa dan ketentraman hati. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang  terhalang untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Allah Ta’ala telah menutup pengetahuan tentang taqdir dari seorang ulama,  malaikat dan para nabi sekalipun tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa hadits telah menetapkan larangan kepada  manusia yang tidak mau melakukan  perbuatan dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah : “Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”. (QS. Al Lail :7) …. “Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”. (QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penaNya, semuanya wajib diimani begitu saja, ada pun tentang bagaimana hal itu   dan sifat-sifatnya,  maka pengetetahuannya kembalikan kepada Allah Ta’ala”.
Allah Ta’ala berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah (2) : 255) (Ibid, Hal. 39-40)
Selesai syarah hadits keempat. Wallahu A’lam
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/01/31/hadits-keempat-proses-penciptaan-manusia-dan-penetapan-taqdir-bag-2/
0 notes
Text
Arab, seringkali diidentikkan dengan Islam. Padahal, tidak selalu, Arab mencerminkan Islam. Mengapa Allah Swt.memilih Arab sebagai lokasi diturunkannya Risalah Islam? Siapakah bangsa Arab? Berikut adalah sedikit ringkasan tentang Arab sebelum Islam datang. Secara geografis, sebagaimana secara bahasa, kondisi tanah Arab adalah tanah tandus, padang pasir luas membentang, gersang, tiada air dan tak nampak melimpah tanaman. Kondisi demikian, memiliki keuntungan tersendiri, yaitu kemerdekaan dari penyerbuan dua kekuatan besar: Romawi dan Persia, saat itu. Meski demikian, bukan berarti bangsa Arab terkucil dari pergaulan dunia. Mereka justru dikenal sebagai kaum saudagar dengan intelektualitas dan kualitas seni yang mumpuni. Indonesia boleh berbangga memiliki populasi penduduk dengan beragam suku. Namun, bangsa Arab, sejatinya pun terdiri dari banyak suku. Secara garis besar jika ditarik ke atas, bangsa Arab terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1. Arab Ba'idah, yaitu kaum-kaum Arab yang sejarahnya tak dapat dilacak secara rinci dan komplit, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq, Umain, Jurhum, Hadhur, Wabar, Abil, Jasim, Hadramaut, dan sebagainya 2. Arab Aribah, atau dikenal dengan sebutan Arab Qahthaniyah. Asal mereka sejatinya dari Yaman. Ada 2 kabilah terkenal dari Arab Aribah atau Qahthaniyan: a. Kabilah Himyar, dengan beberapa suku terkenalnya, yaitu Zaid Al Jumhur, Qudha'ah, dan Sakasik b. Kahlan, dengan beberapa suku terkenalnya, yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi', Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azad, Aus, Khazraj, dan keturunan Jafnah (Raja Syam). 3. Arab Musta'ribah, atau Arab Adnaniyah, inilah anak keturunan Nabi Ismail as. Tempat asal mereka dari Iraq. 12 kabilah pertama dari anak-anak Ismail as., yaitu Nabat atau Nabayut, Qaidar, Adba'il, Mibsyam, Misyma', Duma, Misya, Hadad, Taima', Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Beberapa pendapat mengatakan, kakek ke -22 Rasulullah Saw.dapat ditelusuri sebagai anak dari Qaidar bin Ismail, yaitu Adnan. Lalu, dari keturunan manakah Quraisy? Quraisy dapat ditelusuri dari anak kedua Qaidar, yaitu Ma'ad. Ma'ad hanya memiliki seorang putra, bernama Nizar. Nizar memiliki empat orang putra yang kemudian membentuk empat kabilah, yaitu Iyad, Anmar, Rabi'ah, dan Mudhar. Pada kabilah Mudhar, terbagi dua suku besar, yaitu Qais Ailan dan Ilyas. Qais melahirkan tiga suku, yaitu Bani Sulaim, Bani Hawazin, dan Bani Ghathafan. Ilyas melahirkan empat suku, yaitu Tamim bin Murrah, Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan Kinanah bin Khuzaimah. Quraisy lahir dari seorang putra Kinanah, yaitu Fihr bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah. Quraisy sendiri terbagi dalam beberapa kabilah, yaitu Jumuh, Sahm, Adi, Makhzum, Taim, Zuhrah, dan Qushay bin Kilab. Dari Qushay bin Kilab lahir beberapa suku, yaitu Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul 'Uzza bin Qushay, dan Abdu Manaf bin Qushay. Abdu Manaf memiliki empat putra, yaitu Abdu Syams, Naufal, Al Muththalib, dan Hasyim. Rasulullah Muhammad Saw.dilahirkan dari keluarga Hasyim. Panjang? Jika di Barat, istilah Genealogy yang kemudian melahirkan istilah Family Archives, berkembang pesat. Di Indonesia tampaknya tidak demikian. Padahal ini berkaitan dengan ilmu antropologi, sosiologi, biologi, dan arkeologi. Memahami ilmu tentang nasab atau keturunan ini nantinya bermanfaat, khususnya dalam hal ilmu waris dan penentuan mahram. Bukan bertujuan untuk saling membanggakan, menyombongkan hingga berakhir saling merendahkan manusia ya. ...bersambung... Sumber: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfuri #sirahnabawiyah #ringkasanpribadi #genealogy
1 note · View note
lululaya-blog · 6 years
Photo
Tumblr media
🌸 Bismillah, uraian jawaban kuis 13 Rabi'ul Awwal 1439H 🌸 🍀 "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan" (QS. Thaha : 114) -------------------------------------------------------------------------------- 1. Kakek Rasulullah ﷺ ? 🔸Nasab Nabi yg disepakati oleh Ahlus Siyar wal Ansab (para sejarawan dan ahli nasab), yaitu urutan nasab beliau hingga kepada Adnan : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib (nama aslinya, al-Mughirah) bin Qushay (nama aslinya, Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr (dijuluki Quraisy) bin Malik bin an-Nadhar (nama aslinya, Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya, Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. 🔸Abu Lahab adlh Paman Nabi ﷺ yg penuh belas kasih, anak Abdul Muththalib, saudara kandung ayahanda Nabi ﷺ. Ia merawat Nabi sepeninggalan Abdul Muththalib ketika Nabi berusia 8 tahun. 2. Putri Rasulullahﷺ yg meninggal dunia enam bulan setelah beliau wafat? 🔸Fathimah binti Rasulullah ﷺ sakit enam bulan atau kurang lebih belum berlalu dari wafatnya Rasulullah ﷺ. Ia berpulang ke sisi Tuhannya pada malam Selasa saat Bulan Ramadhan berlalu 3 malam tahun 11H dlm usia 24 tahun menurut pendapat yg shahih. 🔸Ruqayyah binti Rasulullah ﷺ meninggal dunia saat Rasulullah ﷺ ikut dalam perang Badar. 3. Wahyu pertama yg diterima Rasulullah ﷺ melalui malaikat Jibril? 🔸QS. Al-Alaq ayat 1-5 adlh wahyu pertama yg diterima Rasulullah ﷺ di Gua Hira setelah beliau mengasingkan diri (uzlah) tiga tahun menjelang beliau diangkat menjadi rasul. 🔸QS. Al-Muddatstsir ayat 1-5 adlh wahyu berikutnya yg diterima Rasulullah ﷺ melalui malaikat Jibril setelah wahyu mengalami masa vakum selama sepuluh hari. 4. Salah seorang sahabat Nabi ﷺ yg termasuk dlm orang2 yg paling dahulu dan pertama masuk Islam? 🔸Dibarisan depan terdaftar istri Nabi, Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid, disusul maula (mantan budak) beliau, Zaid bin Haritsah bin Syarahil al-Kalbi, keponakan beliau, Ali bin Abi Thalib, serta sahabat beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq.
0 notes
rinammonroll · 1 year
Text
Tumblr media
Here’s Prince Ilyas Al-Qays! 2nd mc of my novel and last in line to the throne. A spoilt brat who will pay the price of his lavish lifestyle with a wicked curse. ✨✨
2 notes · View notes
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Hadits Keempat: Proses Penciptaan Manusia dan Penetapan Taqdir (Bag. 2)
Makna Kalimat Dalam Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
Siapakah dia?
Dia adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghaafil bin Hubaib bin Syamakh bin Faar bin Makhzum bin Shahilah bin Kaahil bin Al Harits bin Tamim bin Sa’ad bin Hudzail bin Mudrikah bin ilyas bin Mudhar bin Nazar.
Dia seorang Imam yang ilmunya luas (Al Imam Al Hibr), ahli fiqihnya umat ini (Faqihul Ummah), Abu Abdirrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajiri Al Badri, sekutu Bani Zahrah.
Dia termasuk As Sabiqunal Awalin (yang pertama-tama masuk Islam), termasuk ulama yang paling mulia, mengikuti perang Badar, ikut hijrah dua kali, termasuk yang mendapatkan an nafl dalam perang Yarmuk,  berbudi sangat baik, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Banyak yang meriwayatkan hadits darinya; Abu Musa, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Imran bin Hushain, Anas, Jabir, Abu Umamah, sekelompok sahabat, dan Al Qamah, Al Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, Abu Wailah, Qais bin Abi Hazim, Zar bin Hubais, Ar Rabi’ bin Khatsaim, Thariq bin Syihab, Zaid bin Wahab, kedua anaknya Abu Ubaidah dan Abdurrahman, Abul Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu ‘Amru Asy Syaibani, dan banyak yang lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan darinya tentang bacaan Al Quran adalah Abdurrahman As Sulami dan ‘Ubaidah bin Nadhilah, dan sekelompok ulama.
Qais bin Hazim menceritakan bahwa Abdullah Mas’ud seseorang yang tipis dagingnya (kurus). Dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang kurus dan pendek , kulitnya sawo matang yang gelap, dan dia tidak merubah ubannya (tidak mewarnainya).
Beliau meninggal di Madinah, dikubur di Baqi’ pada tahun 32H.   (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 1/461-500. 1413H – 1993M. Cet. 9.  Muasasah Ar Risalah)
Ada pun tentang keluasannya dalam ilmu tafsir, dapat tergambar dari riwayat berikut. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah  yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? Di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-8. Darul Thayibah lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga As Siyar, 1/470-471. Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 5002)
Selanjutnya:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ
Bercerita kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq
Ash Shaadiq artinya: المخبر بالحق – pembawa berita yang benar.
Al Mashduuq artinya: الذي صدقه الله وعده – orang yang janjinya telah dibenarkan oleh Allah. (Syakh Muhammad Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar  Rabbaniyah,  No. 4)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah memberikan penjelasan:
قوله: “وهو الصادق المصدوق” أي الصادق في قوله المصدوق فيما يأتيه من الوحي الكريم.
“Sabdanya: dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq artinya Ash Shaadiq (yang benar) dalam ucapannya, dan Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada apa-apa yang datang kepadanya berupa wahyu yang mulia. “ (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 37. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri rahimahullah mengomentari dalam  Tuhfah Al Ahwadzi:
ومعناه الصادق في جميع أفعاله حتى قبل النبوة لما كان مشهوراً فيما بينهم بمحمد الأمين، المصدوق في جميع ما أتاه من الوحي الكريم
“Maknanya adalah, dia adalah Ash Shaadiq (yang benar) pada semua perilakunya sampai-sampai sebelum kenabiannya, hal ini telah masyhur di antara mereka ketika beliau diberikan pujian dengan sebutan Al Amin.  Sedangkan dia Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada semua apa-apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia (Al Quran).” (Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi Bisyarhi Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 341. Cet. 2, 1963M – 1383H. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah )
Kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah  diisyaratkan dalam  berfirmanNya:
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya  kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab, 33: 22)
Selanjutnya:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah mengutip dari sebagian ulama tentang makna kalimat tersebut:
أن المني يقع في الرحم متفرقا فيجمعه الله تعالى في محل الولادة من الرحم في هذه المدة، وقد جاء عن ابن مسعود في تفسير ذلك “إن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله تعالى أن يخلق منها بشراً طارت في بشر المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تصير دماً في الرحم فذلك جمعها وهو وقت كونها علقة”
“Maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim tersebut selama rentang waktu tersebut (40 hari). Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, ‘Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal di dalam rahim. Itulah yang dimaksud dengan “Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah).” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Misykah)
Selanjutnya:
ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
 “Kemudian menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga.”
Mudghah adalah  قطعة لحم– sepotong daging. Mitsla Dzalik adalah waktunya yakni 40 hari juga. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 4)
Selanjutnya::
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ
“ … kemudian diutus kepadanya malaikat ..”
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah:
يعني الملك الموكل بالرحم.
“yaitu malaikat yang mungurus rahim.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Miykat)
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
ظَاهِره أَنَّ إِرْسَاله يَكُون بَعْد مِائَة وَعِشْرِينَ يَوْمًا
“Menurut zhahirnya, bahwa diutusnya malaikat terjadi setelah 120 hari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489)
Selanjutnya:
فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ
“ … untuk meniupkannya ruh ..”
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
…لِأَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد تَمَام صُورَته . وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد أَرْبَعَة أَشْهُر
“ .. karena sesungguhnya tidaklah ruh ditiup melainkan setelah sempurnanya bentuk. Para ulama telah sepakat bahwa ditiupnya ruh tidaklah terjadi kecuali setelah empat bulan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Shahih Muslim, 6/6. Cet. 1. 1996M-1416H. Dar Ibnu ‘Affan Lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 5/455. Maktabah Al Misykah)
Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menceritakan dalam kitab Ikmal Al Mu’allim:
Dalam hadits Ibnu Mas’ud pada riwayat yang lain, beliau bersabda: “Jika nuthfah sudah berada selama 43 hari –dalam riwayat lain 42 hari – maka Allah utus malaikat untuk menentukan bentuknya.” Hingga sabdanya: “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” Beliau juga bersabda dalam hadits Hudzaifah bin Usaid: “Malaikat datang kepada nuthfah setelah dia tinggal di rahim selama 40 hari atau 45 hari, lalu malaikat berkata: “Wahai Rabb, sengsara atau bahagia?” Dalam riwayat lain: “Bahwa nuthfah berada dalam rahim selama 40 malam, lalau malaikat mendekatinya dan berkata: Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” dalam riwayat lain: “40 hari lebih sedikit.” Dalam hadits Anas: “Sesungguhnya Allah telah mengutus malaikat yang mengurus rahim, lalu dia berkata: “Wahai Rabb-nya Nuthfah, wahai Rabbnya ‘alaqah, wahai Rabbnya mudghah!” maka ketika dia hendak menyelesaikannya, dia berkata; “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya?”  (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/58. Maktabah Al Misykah)
Beliau melanjutkan: “Di berbagai  sumber hadits ini berbeda-beda lafaznya, dan tak ada perbedaan bahwa ditiupkannya ruh adalah setelah 120 hari, demikian itu setelah sempurnanya empat bulan, dan memasuki bulan kelima,  adanya hal ini dapat diketahui dengan dilihat/kesaksian.” (Ibid. Ucapan ini Juga dikutip  oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 11/485. Darul Fikr)
Yaitu bisa diketahui dengan gerakan janin yang dapat dirasakan si ibu dan diketahui oleh mata yang melihat gerakan gelombang pada perut. Berkata Imam Al ‘Aini Rahimahullah:
وقال الراغب وذكر الأطباء أن الولد إذا كان ذكرا يتحرك بعد ثلاثة أشهر وإذا كان أنثى بعد أربعة أشهر
Berkata Ar Raghib: para dokter menyebutkan bahwa bayi, jika laki-laki maka bergerak setelah tiga bulan, dan jika dia perempuan bergerak setelah empat bulan.” (‘Umdatul Qari, 5/455)
Ada beberapa persoalan fiqih yang terkait dengan usia kehamilan 4 bulan, silahkan baca: klik disini.
Selanjutnya:
وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“dia diperintahkan mencatat empat  kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan  atau kebahagiannya.”
Yu’maru (dia diperintahkan), siapa yang diperintahkan? yakni malak (satu malaikat) yang meniupkan ruh kepada manusia di perut ibunya tadi.
Berkata Imam Badruddin Al ‘Aini rahimahullah:
ويقال له أي للملك المرسل أكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أو سعيد وكل ذلك بما اقتضت حكمته وسبقت كلمته
“Dikatakan kepadanya yaitu kepada malaikat yang diutus: tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, susah atau bahagianya. Semua itu ditetapkan dengan hikmahNya dan hikmahNya itu telah mendahului kata-kataNya. (‘Umdatul Qari, 22/461)
Selanjutnya:
فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ
“Demi Allah yang Tiada Ilah kecuali Dia.”
Ini merupakan diantara kalimat sumpah yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kadang beliau menggunakan Walladzi Nafsiy biyadih (demi zat yang jiwaku ada di tanganNya), kadang Walladzi Nafsu Muhammad biyadih (demi zat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya), dan lainnya. Kadang orang Arab menggunakan Wallahi, Tallahi, Billahi, yang maknanya serupa, Demi Allah!
Ini merupakan salah satu adab dalam bersumpah yakni wajib dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah salah satu kesyirikan (yakni syirik ashghar – syirik kecil). Banyak hadits yang menyebutkan hal itu, saya sebutkan satu saja.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia mendengar seorang bersumpah: “Tidak,  demi Ka’bah.” lalu dia mengatakan: “Jangan kamu bersumpah dengan selain nama Allah, sebab aku mendengar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah kufur atauberbuat  syirk.” (HR. At Tirmdzi No. 1535, katanya: hasan. Abu Daud No.3251, dan lain-lain. Hadits ini shahih. Lihat Ghayatul Maram No. 259, lihat juga Shahih At Targhb wat Tarhib No. 2952, dan lainnya)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وَفُسِّرَ هَذَا الْحَدِيثُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ قَوْلَهُ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ عَلَى التَّغْلِيظِ وَالْحُجَّةُ فِي ذَلِكَ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ عُمَرَ يَقُولُ وَأَبِي وَأَبِي فَقَالَ أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ قَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا مِثْلُ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ الرِّيَاءَ شِرْكٌ
Sebagian Ulama menafsirkan hadits ini bahwa sabdanya: telah kufur atau syirik, artinya menunjukkan penguatan/pemberatan/penegasan. Argumentasinya adalah hadits Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar Umar berkata: Wa Abiy wa Abiy – Demi Ayahku dan Demi Ayahku. Maka beliau bersabda:
Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:
وفسَّر بعْضُ الْعلماءِ قوْلهُ:”كَفر أَوْ أشركَ”علَى التَّغلِيظِ كما رُوِي أَنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:”الرِّيَاءُ شِرْكٌ”.
Sebagian ulama menafsirkan makna kufur atau syirik sebagai penegasan/penguatan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “riya’ termasuk syirik.” (Lihat Riyadhush Shalihin Hal. 477. Cet. 3. 1998M-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
Lalu, bagaimana dengan ucapan sebagian sahabat nabi, seperti: bi abiy wa bi ummiy (Demi ayah dan demi ibuku!)”. Apakah ini termasuk sumpah dengan selain nama Allah?
Kalimat di atas bukanlah sumpah, tetapi kalimat kebiasaan mereka untuk menunjukkan dalamnya rasa cinta dan hormat mereka kepada lawan bicara. Imam Ibnu Manzhur menyebutkan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kalimat ini  aslinya adalah:
فَدَيْتُك بأَبي وأُمِّي
“Saya jadikan ayah dan ibu saya sebagai tebusan untukmu.” (Lisanul ‘Arab, 15/417. Syamilah)
Kemudian kalimat ini diringkas menjadi: bi abiy wa bi ummiy (demi ayah dan ibuku).
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
مَعْنَاهُ أَنْتَ مُفَدًّى أَوْ أَفْدِيك بِأَبِي وَأُمِّي
“Maknanya adalah engkau mendapatkan tebusan atau saya akan menebusmu dengan ayah dan ibuku.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/108. Mawqi’ Ruh A Islam)
Beliau juga mengatakan:
 وَفِيهِ جَوَاز قَوْل الرَّجُل لِلْآخَرِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : وَقَدْ كَرِهَهُ بَعْض السَّلَف . وَقَالَ : لَا يُفْدَى بِمُسْلِمٍ . وَالْأَحَادِيث الصَّحِيحَة تَدُلّ عَلَى جَوَازه سَوَاء كَانَ الْمُفَدَّى بِهِ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا .
“Dalam hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang berkata kepada orang lain: demi ayahku dan ibuku. Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan; sebagian salaf memakruhkannya. Dan, dia berkata: tidaklah ditebus dengan seorang muslim. Hadits shahih ini menunjukkan kebolehannya, sama saja apakah tebusannya itu dengan  seorang muslim atau kafir, hidup atau mati.” (Ibid)
Selanjutnya:
إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga …”
Pada bagian-bagian ini, penjelasan dari  Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah cukup memadai bagi kita. Beliau mengatakan:
إلى آخره ظاهر الحديث أن هذا العامل كان عمله صحيحاً وأنه قرب من الجنة بسبب عمله حتى بقي له على دخولها ذراع وإنما منعه من ذلك سابق القدر الذي يظهر عند الخاتمة فإذاً الأعمال بالسوابق لكن لما كانت السابقة مستورة عنا والخاتمة ظاهرة جاء في الحديث: “إنما الأعمال بالخواتيم”  يعني عندنا بالنسبة إلى اطلاعنا في معنى الأشخاص وفي بعض الأحوال، وأما الحديث الذي ذكره مسلم في صحيحه في كتاب الإيمان: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إن الرجل ليعمل بعمل أهل الجنة فيما يبدو للناس وهو من أهل النار” فإنه لم يكن عمله صحيحاً في نفسه وإنما كان رياء وسمعة فيستفاد من ذلك الحديث ترك الالتفات إلى الأعمال والركون إليها والتعويل على كرم الله تعالى ورحمته.
Secara  zhahir, hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan  perbuatan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga  hampir satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: “Segala  perbuatan itu  nilainya tergantung pada amal terakhirnya.” Maksudnya, menurut kami hanya  terjadi pada orang-orang dan keadaan tertentu saja.  Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman  dalam  kitab Shahihnya bahwa Rasulullah bersabda : ”Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka.” Ini menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak benar dan dilakukan karena riya serta sum’ah .  Faidah dari hadits ini adalah memandang dari sisi niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, ada orang yang selamat dari riya’ itu semata-mata karena karunia dan rahmat Allah Ta’ala. (Imam Ibnu daqiq Al ‘Id, Syarah Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 38)
Selanjutnya:
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir),  maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya.  Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:
المراد: أن هذا قد يقع في نادر من الناس لا أنه غالب فيهم وذلك من لطف الله سبحانه وسعة رحمته فإن انقلاب الناس من الشر إلى الخير كثير، وأما انقلابهم من الخير إلى الشر ففي غاية الندور ولله الحمد والمنة على ذلك، وهو تجوز، وقوله: “إن رحمتي سبقت غضبي” وفي رواية “تغلب غضبي”.
وفي هذا الحديث إثبات القدر كما هو مذهب أهل السنة وأن جميع الواقعات بقضاء الله تعالى وقدره خيرها وشرها نفعها وضرها قال الله تعالى: {لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ}  . ولا اعتراض عليه في ملكه يفعل في ملكه ما يشاء. قال الإمام السمعاني: سبيل معرفة هذا الباب: التوفيق من الكتابة والسنة دون محض القياس ومجرد العقول فمن عدل عن التوفيق منه ضل وتاه في مجال الحيرة ولم يبلغ شفاء النفس ولا يصل إلى ما يطمئن به القلب لأن القدر سر من أسرار الله تعالى ضربت دونه الأستار واختص سبحانه به وحجبه عن عقول الخلق ومعارفهم، وقد حجب الله تعالى علم القدر عن العالم فلا يعلمه ملك ولا نبي مرسل، وقيل إن سر القدر ينكشف لهم إذا دخلوا الجنة ولا ينكشف قبل ذلك.
وقد ثبتت الأحاديث بالنهي عن ترك العمل اتكالاً على ما سبق من القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد بها الشرع وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره فمن كان من أهل السعادة يسره الله لعمل أهل السعادة ومن كان من أهل الشقاوة يسره الله لعمل أهل الشقاوة كما في الحديث وقال الله تعالى: {فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى … فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}  .
قال العلماء: وكتاب الله تعالى ولوحه وقلمه كل ذلك مما يجب الإيمان به، وأما كيفية ذلك وصفته فعلمه إلى الله تعالى لا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء. والله أعلم
Maksudnya bahwa, hal semacam ini bisa saja  terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang  biasa. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak terjadi adalah manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi tidak baik.
Firman Allah Ta’ala, “RahmatKu mendahului kemarahanKu” menunjukkan adanya kepastian taqdir sebagaimana  keyakinan Ahlus Sunnah bahwa semua kejadian  ada dengan ketetapan Allah dan taqdirNya, baik dalam hal keburukan dan kebaikan, juga dalam hal membawa  manfaat dan  bahaya. Firman Allah: “Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab (tidak ditanya) atas segala tindakan-Nya tetapi mereka akan dimintai tanggung jawab.” (QS. Al Anbiya’ : 23) menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaanNya itu.
Imam Sam’ani mengatakan: “Cara untuk   memahami  masalah ini adalah dengan  mengkompromikan (taufiq) apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas dan akal. Barang siapa yang  keluar dari cara ini dalam memahami pengertian di atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh  obat bagi jiwa dan ketentraman hati. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang  terhalang untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Allah Ta’ala telah menutup pengetahuan tentang taqdir dari seorang ulama,  malaikat dan para nabi sekalipun tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa hadits telah menetapkan larangan kepada  manusia yang tidak mau melakukan  perbuatan dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah : “Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”. (QS. Al Lail :7) …. “Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”. (QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penaNya, semuanya wajib diimani begitu saja, ada pun tentang bagaimana hal itu   dan sifat-sifatnya,  maka pengetetahuannya kembalikan kepada Allah Ta’ala”.
Allah Ta’ala berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah (2) : 255) (Ibid, Hal. 39-40)
Selesai syarah hadits keempat. Wallahu A’lam
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/01/31/hadits-keempat-proses-penciptaan-manusia-dan-penetapan-taqdir-bag-2/
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Link
Makna Kalimat Dalam Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
Siapakah dia?
Dia adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghaafil bin Hubaib bin Syamakh bin Faar bin Makhzum bin Shahilah bin Kaahil bin Al Harits bin Tamim bin Sa’ad bin Hudzail bin Mudrikah bin ilyas bin Mudhar bin Nazar.
Dia seorang Imam yang ilmunya luas (Al Imam Al Hibr), ahli fiqihnya umat ini (Faqihul Ummah), Abu Abdirrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajiri Al Badri, sekutu Bani Zahrah.
Dia termasuk As Sabiqunal Awalin (yang pertama-tama masuk Islam), termasuk ulama yang paling mulia, mengikuti perang Badar, ikut hijrah dua kali, termasuk yang mendapatkan an nafl dalam perang Yarmuk,  berbudi sangat baik, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Banyak yang meriwayatkan hadits darinya; Abu Musa, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Imran bin Hushain, Anas, Jabir, Abu Umamah, sekelompok sahabat, dan Al Qamah, Al Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, Abu Wailah, Qais bin Abi Hazim, Zar bin Hubais, Ar Rabi’ bin Khatsaim, Thariq bin Syihab, Zaid bin Wahab, kedua anaknya Abu Ubaidah dan Abdurrahman, Abul Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu ‘Amru Asy Syaibani, dan banyak yang lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan darinya tentang bacaan Al Quran adalah Abdurrahman As Sulami dan ‘Ubaidah bin Nadhilah, dan sekelompok ulama.
Qais bin Hazim menceritakan bahwa Abdullah Mas’ud seseorang yang tipis dagingnya (kurus). Dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang kurus dan pendek , kulitnya sawo matang yang gelap, dan dia tidak merubah ubannya (tidak mewarnainya).
Beliau meninggal di Madinah, dikubur di Baqi’ pada tahun 32H.   (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 1/461-500. 1413H – 1993M. Cet. 9.  Muasasah Ar Risalah)
Ada pun tentang keluasannya dalam ilmu tafsir, dapat tergambar dari riwayat berikut. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah  yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? Di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-8. Darul Thayibah lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga As Siyar, 1/470-471. Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 5002)
Selanjutnya:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ
Bercerita kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq
Ash Shaadiq artinya: المخبر بالحق – pembawa berita yang benar.
Al Mashduuq artinya: الذي صدقه الله وعده – orang yang janjinya telah dibenarkan oleh Allah. (Syakh Muhammad Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar  Rabbaniyah,  No. 4)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah memberikan penjelasan:
قوله: “وهو الصادق المصدوق” أي الصادق في قوله المصدوق فيما يأتيه من الوحي الكريم.
“Sabdanya: dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq artinya Ash Shaadiq (yang benar) dalam ucapannya, dan Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada apa-apa yang datang kepadanya berupa wahyu yang mulia. “ (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 37. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri rahimahullah mengomentari dalam  Tuhfah Al Ahwadzi:
ومعناه الصادق في جميع أفعاله حتى قبل النبوة لما كان مشهوراً فيما بينهم بمحمد الأمين، المصدوق في جميع ما أتاه من الوحي الكريم
“Maknanya adalah, dia adalah Ash Shaadiq (yang benar) pada semua perilakunya sampai-sampai sebelum kenabiannya, hal ini telah masyhur di antara mereka ketika beliau diberikan pujian dengan sebutan Al Amin.  Sedangkan dia Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada semua apa-apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia (Al Quran).” (Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi Bisyarhi Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 341. Cet. 2, 1963M – 1383H. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah )
Kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah  diisyaratkan dalam  berfirmanNya:
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya  kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab, 33: 22)
Selanjutnya:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah mengutip dari sebagian ulama tentang makna kalimat tersebut:
أن المني يقع في الرحم متفرقا فيجمعه الله تعالى في محل الولادة من الرحم في هذه المدة، وقد جاء عن ابن مسعود في تفسير ذلك “إن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله تعالى أن يخلق منها بشراً طارت في بشر المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تصير دماً في الرحم فذلك جمعها وهو وقت كونها علقة”
“Maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim tersebut selama rentang waktu tersebut (40 hari). Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, ‘Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal di dalam rahim. Itulah yang dimaksud dengan “Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah).” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Misykah)
Selanjutnya:
ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
 “Kemudian menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga.”
Mudghah adalah  قطعة لحم– sepotong daging. Mitsla Dzalik adalah waktunya yakni 40 hari juga. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 4)
Selanjutnya::
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ
“ … kemudian diutus kepadanya malaikat ..”
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah:
يعني الملك الموكل بالرحم.
“yaitu malaikat yang mungurus rahim.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Miykat)
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
ظَاهِره أَنَّ إِرْسَاله يَكُون بَعْد مِائَة وَعِشْرِينَ يَوْمًا
“Menurut zhahirnya, bahwa diutusnya malaikat terjadi setelah 120 hari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489)
Selanjutnya:
فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ
“ … untuk meniupkannya ruh ..”
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
…لِأَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد تَمَام صُورَته . وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد أَرْبَعَة أَشْهُر
“ .. karena sesungguhnya tidaklah ruh ditiup melainkan setelah sempurnanya bentuk. Para ulama telah sepakat bahwa ditiupnya ruh tidaklah terjadi kecuali setelah empat bulan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Shahih Muslim, 6/6. Cet. 1. 1996M-1416H. Dar Ibnu ‘Affan Lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 5/455. Maktabah Al Misykah)
Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menceritakan dalam kitab Ikmal Al Mu’allim:
Dalam hadits Ibnu Mas’ud pada riwayat yang lain, beliau bersabda: “Jika nuthfah sudah berada selama 43 hari –dalam riwayat lain 42 hari – maka Allah utus malaikat untuk menentukan bentuknya.” Hingga sabdanya: “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” Beliau juga bersabda dalam hadits Hudzaifah bin Usaid: “Malaikat datang kepada nuthfah setelah dia tinggal di rahim selama 40 hari atau 45 hari, lalu malaikat berkata: “Wahai Rabb, sengsara atau bahagia?” Dalam riwayat lain: “Bahwa nuthfah berada dalam rahim selama 40 malam, lalau malaikat mendekatinya dan berkata: Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” dalam riwayat lain: “40 hari lebih sedikit.” Dalam hadits Anas: “Sesungguhnya Allah telah mengutus malaikat yang mengurus rahim, lalu dia berkata: “Wahai Rabb-nya Nuthfah, wahai Rabbnya ‘alaqah, wahai Rabbnya mudghah!” maka ketika dia hendak menyelesaikannya, dia berkata; “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya?”  (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/58. Maktabah Al Misykah)
Beliau melanjutkan: “Di berbagai  sumber hadits ini berbeda-beda lafaznya, dan tak ada perbedaan bahwa ditiupkannya ruh adalah setelah 120 hari, demikian itu setelah sempurnanya empat bulan, dan memasuki bulan kelima,  adanya hal ini dapat diketahui dengan dilihat/kesaksian.” (Ibid. Ucapan ini Juga dikutip  oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 11/485. Darul Fikr)
Yaitu bisa diketahui dengan gerakan janin yang dapat dirasakan si ibu dan diketahui oleh mata yang melihat gerakan gelombang pada perut. Berkata Imam Al ‘Aini Rahimahullah:
وقال الراغب وذكر الأطباء أن الولد إذا كان ذكرا يتحرك بعد ثلاثة أشهر وإذا كان أنثى بعد أربعة أشهر
Berkata Ar Raghib: para dokter menyebutkan bahwa bayi, jika laki-laki maka bergerak setelah tiga bulan, dan jika dia perempuan bergerak setelah empat bulan.” (‘Umdatul Qari, 5/455)
Ada beberapa persoalan fiqih yang terkait dengan usia kehamilan 4 bulan, silahkan baca: klik disini.
Selanjutnya:
وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“dia diperintahkan mencatat empat  kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan  atau kebahagiannya.”
Yu’maru (dia diperintahkan), siapa yang diperintahkan? yakni malak (satu malaikat) yang meniupkan ruh kepada manusia di perut ibunya tadi.
Berkata Imam Badruddin Al ‘Aini rahimahullah:
ويقال له أي للملك المرسل أكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أو سعيد وكل ذلك بما اقتضت حكمته وسبقت كلمته
“Dikatakan kepadanya yaitu kepada malaikat yang diutus: tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, susah atau bahagianya. Semua itu ditetapkan dengan hikmahNya dan hikmahNya itu telah mendahului kata-kataNya. (‘Umdatul Qari, 22/461)
Selanjutnya:
فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ
“Demi Allah yang Tiada Ilah kecuali Dia.”
Ini merupakan diantara kalimat sumpah yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kadang beliau menggunakan Walladzi Nafsiy biyadih (demi zat yang jiwaku ada di tanganNya), kadang Walladzi Nafsu Muhammad biyadih (demi zat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya), dan lainnya. Kadang orang Arab menggunakan Wallahi, Tallahi, Billahi, yang maknanya serupa, Demi Allah!
Ini merupakan salah satu adab dalam bersumpah yakni wajib dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah salah satu kesyirikan (yakni syirik ashghar – syirik kecil). Banyak hadits yang menyebutkan hal itu, saya sebutkan satu saja.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia mendengar seorang bersumpah: “Tidak,  demi Ka’bah.” lalu dia mengatakan: “Jangan kamu bersumpah dengan selain nama Allah, sebab aku mendengar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah kufur atauberbuat  syirk.” (HR. At Tirmdzi No. 1535, katanya: hasan. Abu Daud No.3251, dan lain-lain. Hadits ini shahih. Lihat Ghayatul Maram No. 259, lihat juga Shahih At Targhb wat Tarhib No. 2952, dan lainnya)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وَفُسِّرَ هَذَا الْحَدِيثُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ قَوْلَهُ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ عَلَى التَّغْلِيظِ وَالْحُجَّةُ فِي ذَلِكَ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ عُمَرَ يَقُولُ وَأَبِي وَأَبِي فَقَالَ أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ قَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا مِثْلُ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ الرِّيَاءَ شِرْكٌ
Sebagian Ulama menafsirkan hadits ini bahwa sabdanya: telah kufur atau syirik, artinya menunjukkan penguatan/pemberatan/penegasan. Argumentasinya adalah hadits Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar Umar berkata: Wa Abiy wa Abiy – Demi Ayahku dan Demi Ayahku. Maka beliau bersabda:
Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:
وفسَّر بعْضُ الْعلماءِ قوْلهُ:”كَفر أَوْ أشركَ”علَى التَّغلِيظِ كما رُوِي أَنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:”الرِّيَاءُ شِرْكٌ”.
Sebagian ulama menafsirkan makna kufur atau syirik sebagai penegasan/penguatan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “riya’ termasuk syirik.” (Lihat Riyadhush Shalihin Hal. 477. Cet. 3. 1998M-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
Lalu, bagaimana dengan ucapan sebagian sahabat nabi, seperti: bi abiy wa bi ummiy (Demi ayah dan demi ibuku!)”. Apakah ini termasuk sumpah dengan selain nama Allah?
Kalimat di atas bukanlah sumpah, tetapi kalimat kebiasaan mereka untuk menunjukkan dalamnya rasa cinta dan hormat mereka kepada lawan bicara. Imam Ibnu Manzhur menyebutkan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kalimat ini  aslinya adalah:
فَدَيْتُك بأَبي وأُمِّي
“Saya jadikan ayah dan ibu saya sebagai tebusan untukmu.” (Lisanul ‘Arab, 15/417. Syamilah)
Kemudian kalimat ini diringkas menjadi: bi abiy wa bi ummiy (demi ayah dan ibuku).
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
مَعْنَاهُ أَنْتَ مُفَدًّى أَوْ أَفْدِيك بِأَبِي وَأُمِّي
“Maknanya adalah engkau mendapatkan tebusan atau saya akan menebusmu dengan ayah dan ibuku.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/108. Mawqi’ Ruh A Islam)
Beliau juga mengatakan:
 وَفِيهِ جَوَاز قَوْل الرَّجُل لِلْآخَرِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : وَقَدْ كَرِهَهُ بَعْض السَّلَف . وَقَالَ : لَا يُفْدَى بِمُسْلِمٍ . وَالْأَحَادِيث الصَّحِيحَة تَدُلّ عَلَى جَوَازه سَوَاء كَانَ الْمُفَدَّى بِهِ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا .
“Dalam hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang berkata kepada orang lain: demi ayahku dan ibuku. Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan; sebagian salaf memakruhkannya. Dan, dia berkata: tidaklah ditebus dengan seorang muslim. Hadits shahih ini menunjukkan kebolehannya, sama saja apakah tebusannya itu dengan  seorang muslim atau kafir, hidup atau mati.” (Ibid)
Selanjutnya:
إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga …”
Pada bagian-bagian ini, penjelasan dari  Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah cukup memadai bagi kita. Beliau mengatakan:
إلى آخره ظاهر الحديث أن هذا العامل كان عمله صحيحاً وأنه قرب من الجنة بسبب عمله حتى بقي له على دخولها ذراع وإنما منعه من ذلك سابق القدر الذي يظهر عند الخاتمة فإذاً الأعمال بالسوابق لكن لما كانت السابقة مستورة عنا والخاتمة ظاهرة جاء في الحديث: “إنما الأعمال بالخواتيم”  يعني عندنا بالنسبة إلى اطلاعنا في معنى الأشخاص وفي بعض الأحوال، وأما الحديث الذي ذكره مسلم في صحيحه في كتاب الإيمان: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إن الرجل ليعمل بعمل أهل الجنة فيما يبدو للناس وهو من أهل النار” فإنه لم يكن عمله صحيحاً في نفسه وإنما كان رياء وسمعة فيستفاد من ذلك الحديث ترك الالتفات إلى الأعمال والركون إليها والتعويل على كرم الله تعالى ورحمته.
Secara  zhahir, hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan  perbuatan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga  hampir satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: “Segala  perbuatan itu  nilainya tergantung pada amal terakhirnya.” Maksudnya, menurut kami hanya  terjadi pada orang-orang dan keadaan tertentu saja.  Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman  dalam  kitab Shahihnya bahwa Rasulullah bersabda : ”Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka.” Ini menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak benar dan dilakukan karena riya serta sum’ah .  Faidah dari hadits ini adalah memandang dari sisi niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, ada orang yang selamat dari riya’ itu semata-mata karena karunia dan rahmat Allah Ta’ala. (Imam Ibnu daqiq Al ‘Id, Syarah Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 38)
Selanjutnya:
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir),  maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya.  Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:
المراد: أن هذا قد يقع في نادر من الناس لا أنه غالب فيهم وذلك من لطف الله سبحانه وسعة رحمته فإن انقلاب الناس من الشر إلى الخير كثير، وأما انقلابهم من الخير إلى الشر ففي غاية الندور ولله الحمد والمنة على ذلك، وهو تجوز، وقوله: “إن رحمتي سبقت غضبي” وفي رواية “تغلب غضبي”.
وفي هذا الحديث إثبات القدر كما هو مذهب أهل السنة وأن جميع الواقعات بقضاء الله تعالى وقدره خيرها وشرها نفعها وضرها قال الله تعالى: {لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ}  . ولا اعتراض عليه في ملكه يفعل في ملكه ما يشاء. قال الإمام السمعاني: سبيل معرفة هذا الباب: التوفيق من الكتابة والسنة دون محض القياس ومجرد العقول فمن عدل عن التوفيق منه ضل وتاه في مجال الحيرة ولم يبلغ شفاء النفس ولا يصل إلى ما يطمئن به القلب لأن القدر سر من أسرار الله تعالى ضربت دونه الأستار واختص سبحانه به وحجبه عن عقول الخلق ومعارفهم، وقد حجب الله تعالى علم القدر عن العالم فلا يعلمه ملك ولا نبي مرسل، وقيل إن سر القدر ينكشف لهم إذا دخلوا الجنة ولا ينكشف قبل ذلك.
وقد ثبتت الأحاديث بالنهي عن ترك العمل اتكالاً على ما سبق من القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد بها الشرع وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره فمن كان من أهل السعادة يسره الله لعمل أهل السعادة ومن كان من أهل الشقاوة يسره الله لعمل أهل الشقاوة كما في الحديث وقال الله تعالى: {فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى … فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}  .
قال العلماء: وكتاب الله تعالى ولوحه وقلمه كل ذلك مما يجب الإيمان به، وأما كيفية ذلك وصفته فعلمه إلى الله تعالى لا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء. والله أعلم
Maksudnya bahwa, hal semacam ini bisa saja  terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang  biasa. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak terjadi adalah manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi tidak baik.
Firman Allah Ta’ala, “RahmatKu mendahului kemarahanKu” menunjukkan adanya kepastian taqdir sebagaimana  keyakinan Ahlus Sunnah bahwa semua kejadian  ada dengan ketetapan Allah dan taqdirNya, baik dalam hal keburukan dan kebaikan, juga dalam hal membawa  manfaat dan  bahaya. Firman Allah: “Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab (tidak ditanya) atas segala tindakan-Nya tetapi mereka akan dimintai tanggung jawab.” (QS. Al Anbiya’ : 23) menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaanNya itu.
Imam Sam’ani mengatakan: “Cara untuk   memahami  masalah ini adalah dengan  mengkompromikan (taufiq) apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas dan akal. Barang siapa yang  keluar dari cara ini dalam memahami pengertian di atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh  obat bagi jiwa dan ketentraman hati. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang  terhalang untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Allah Ta’ala telah menutup pengetahuan tentang taqdir dari seorang ulama,  malaikat dan para nabi sekalipun tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa hadits telah menetapkan larangan kepada  manusia yang tidak mau melakukan  perbuatan dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah : “Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”. (QS. Al Lail :7) …. “Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”. (QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penaNya, semuanya wajib diimani begitu saja, ada pun tentang bagaimana hal itu   dan sifat-sifatnya,  maka pengetetahuannya kembalikan kepada Allah Ta’ala”.
Allah Ta’ala berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah (2) : 255) (Ibid, Hal. 39-40)
Selesai syarah hadits keempat. Wallahu A’lam
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/01/31/hadits-keempat-proses-penciptaan-manusia-dan-penetapan-taqdir-bag-2/
0 notes
belajarislamonline · 5 years
Link
Makna Kalimat Dalam Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
Siapakah dia?
Dia adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghaafil bin Hubaib bin Syamakh bin Faar bin Makhzum bin Shahilah bin Kaahil bin Al Harits bin Tamim bin Sa’ad bin Hudzail bin Mudrikah bin ilyas bin Mudhar bin Nazar.
Dia seorang Imam yang ilmunya luas (Al Imam Al Hibr), ahli fiqihnya umat ini (Faqihul Ummah), Abu Abdirrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajiri Al Badri, sekutu Bani Zahrah.
Dia termasuk As Sabiqunal Awalin (yang pertama-tama masuk Islam), termasuk ulama yang paling mulia, mengikuti perang Badar, ikut hijrah dua kali, termasuk yang mendapatkan an nafl dalam perang Yarmuk,  berbudi sangat baik, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Banyak yang meriwayatkan hadits darinya; Abu Musa, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Imran bin Hushain, Anas, Jabir, Abu Umamah, sekelompok sahabat, dan Al Qamah, Al Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, Abu Wailah, Qais bin Abi Hazim, Zar bin Hubais, Ar Rabi’ bin Khatsaim, Thariq bin Syihab, Zaid bin Wahab, kedua anaknya Abu Ubaidah dan Abdurrahman, Abul Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu ‘Amru Asy Syaibani, dan banyak yang lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan darinya tentang bacaan Al Quran adalah Abdurrahman As Sulami dan ‘Ubaidah bin Nadhilah, dan sekelompok ulama.
Qais bin Hazim menceritakan bahwa Abdullah Mas’ud seseorang yang tipis dagingnya (kurus). Dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang kurus dan pendek , kulitnya sawo matang yang gelap, dan dia tidak merubah ubannya (tidak mewarnainya).
Beliau meninggal di Madinah, dikubur di Baqi’ pada tahun 32H.   (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 1/461-500. 1413H – 1993M. Cet. 9.  Muasasah Ar Risalah)
Ada pun tentang keluasannya dalam ilmu tafsir, dapat tergambar dari riwayat berikut. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah  yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? Di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-8. Darul Thayibah lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga As Siyar, 1/470-471. Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 5002)
Selanjutnya:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ
Bercerita kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq
Ash Shaadiq artinya: المخبر بالحق – pembawa berita yang benar.
Al Mashduuq artinya: الذي صدقه الله وعده – orang yang janjinya telah dibenarkan oleh Allah. (Syakh Muhammad Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar  Rabbaniyah,  No. 4)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah memberikan penjelasan:
قوله: “وهو الصادق المصدوق” أي الصادق في قوله المصدوق فيما يأتيه من الوحي الكريم.
“Sabdanya: dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq artinya Ash Shaadiq (yang benar) dalam ucapannya, dan Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada apa-apa yang datang kepadanya berupa wahyu yang mulia. “ (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 37. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri rahimahullah mengomentari dalam  Tuhfah Al Ahwadzi:
ومعناه الصادق في جميع أفعاله حتى قبل النبوة لما كان مشهوراً فيما بينهم بمحمد الأمين، المصدوق في جميع ما أتاه من الوحي الكريم
“Maknanya adalah, dia adalah Ash Shaadiq (yang benar) pada semua perilakunya sampai-sampai sebelum kenabiannya, hal ini telah masyhur di antara mereka ketika beliau diberikan pujian dengan sebutan Al Amin.  Sedangkan dia Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada semua apa-apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia (Al Quran).” (Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi Bisyarhi Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 341. Cet. 2, 1963M – 1383H. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah )
Kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah  diisyaratkan dalam  berfirmanNya:
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya  kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab, 33: 22)
Selanjutnya:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah mengutip dari sebagian ulama tentang makna kalimat tersebut:
أن المني يقع في الرحم متفرقا فيجمعه الله تعالى في محل الولادة من الرحم في هذه المدة، وقد جاء عن ابن مسعود في تفسير ذلك “إن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله تعالى أن يخلق منها بشراً طارت في بشر المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تصير دماً في الرحم فذلك جمعها وهو وقت كونها علقة”
“Maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim tersebut selama rentang waktu tersebut (40 hari). Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, ‘Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal di dalam rahim. Itulah yang dimaksud dengan “Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah).” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Misykah)
Selanjutnya:
ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
 “Kemudian menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga.”
Mudghah adalah  قطعة لحم– sepotong daging. Mitsla Dzalik adalah waktunya yakni 40 hari juga. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 4)
Selanjutnya::
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ
“ … kemudian diutus kepadanya malaikat ..”
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah:
يعني الملك الموكل بالرحم.
“yaitu malaikat yang mungurus rahim.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Miykat)
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
ظَاهِره أَنَّ إِرْسَاله يَكُون بَعْد مِائَة وَعِشْرِينَ يَوْمًا
“Menurut zhahirnya, bahwa diutusnya malaikat terjadi setelah 120 hari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489)
Selanjutnya:
فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ
“ … untuk meniupkannya ruh ..”
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
…لِأَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد تَمَام صُورَته . وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد أَرْبَعَة أَشْهُر
“ .. karena sesungguhnya tidaklah ruh ditiup melainkan setelah sempurnanya bentuk. Para ulama telah sepakat bahwa ditiupnya ruh tidaklah terjadi kecuali setelah empat bulan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Shahih Muslim, 6/6. Cet. 1. 1996M-1416H. Dar Ibnu ‘Affan Lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 5/455. Maktabah Al Misykah)
Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menceritakan dalam kitab Ikmal Al Mu’allim:
Dalam hadits Ibnu Mas’ud pada riwayat yang lain, beliau bersabda: “Jika nuthfah sudah berada selama 43 hari –dalam riwayat lain 42 hari – maka Allah utus malaikat untuk menentukan bentuknya.” Hingga sabdanya: “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” Beliau juga bersabda dalam hadits Hudzaifah bin Usaid: “Malaikat datang kepada nuthfah setelah dia tinggal di rahim selama 40 hari atau 45 hari, lalu malaikat berkata: “Wahai Rabb, sengsara atau bahagia?” Dalam riwayat lain: “Bahwa nuthfah berada dalam rahim selama 40 malam, lalau malaikat mendekatinya dan berkata: Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” dalam riwayat lain: “40 hari lebih sedikit.” Dalam hadits Anas: “Sesungguhnya Allah telah mengutus malaikat yang mengurus rahim, lalu dia berkata: “Wahai Rabb-nya Nuthfah, wahai Rabbnya ‘alaqah, wahai Rabbnya mudghah!” maka ketika dia hendak menyelesaikannya, dia berkata; “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya?”  (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/58. Maktabah Al Misykah)
Beliau melanjutkan: “Di berbagai  sumber hadits ini berbeda-beda lafaznya, dan tak ada perbedaan bahwa ditiupkannya ruh adalah setelah 120 hari, demikian itu setelah sempurnanya empat bulan, dan memasuki bulan kelima,  adanya hal ini dapat diketahui dengan dilihat/kesaksian.” (Ibid. Ucapan ini Juga dikutip  oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 11/485. Darul Fikr)
Yaitu bisa diketahui dengan gerakan janin yang dapat dirasakan si ibu dan diketahui oleh mata yang melihat gerakan gelombang pada perut. Berkata Imam Al ‘Aini Rahimahullah:
وقال الراغب وذكر الأطباء أن الولد إذا كان ذكرا يتحرك بعد ثلاثة أشهر وإذا كان أنثى بعد أربعة أشهر
Berkata Ar Raghib: para dokter menyebutkan bahwa bayi, jika laki-laki maka bergerak setelah tiga bulan, dan jika dia perempuan bergerak setelah empat bulan.” (‘Umdatul Qari, 5/455)
Ada beberapa persoalan fiqih yang terkait dengan usia kehamilan 4 bulan, silahkan baca: klik disini.
Selanjutnya:
وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“dia diperintahkan mencatat empat  kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan  atau kebahagiannya.”
Yu’maru (dia diperintahkan), siapa yang diperintahkan? yakni malak (satu malaikat) yang meniupkan ruh kepada manusia di perut ibunya tadi.
Berkata Imam Badruddin Al ‘Aini rahimahullah:
ويقال له أي للملك المرسل أكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أو سعيد وكل ذلك بما اقتضت حكمته وسبقت كلمته
“Dikatakan kepadanya yaitu kepada malaikat yang diutus: tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, susah atau bahagianya. Semua itu ditetapkan dengan hikmahNya dan hikmahNya itu telah mendahului kata-kataNya. (‘Umdatul Qari, 22/461)
Selanjutnya:
فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ
“Demi Allah yang Tiada Ilah kecuali Dia.”
Ini merupakan diantara kalimat sumpah yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kadang beliau menggunakan Walladzi Nafsiy biyadih (demi zat yang jiwaku ada di tanganNya), kadang Walladzi Nafsu Muhammad biyadih (demi zat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya), dan lainnya. Kadang orang Arab menggunakan Wallahi, Tallahi, Billahi, yang maknanya serupa, Demi Allah!
Ini merupakan salah satu adab dalam bersumpah yakni wajib dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah salah satu kesyirikan (yakni syirik ashghar – syirik kecil). Banyak hadits yang menyebutkan hal itu, saya sebutkan satu saja.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia mendengar seorang bersumpah: “Tidak,  demi Ka’bah.” lalu dia mengatakan: “Jangan kamu bersumpah dengan selain nama Allah, sebab aku mendengar Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah kufur atauberbuat  syirk.” (HR. At Tirmdzi No. 1535, katanya: hasan. Abu Daud No.3251, dan lain-lain. Hadits ini shahih. Lihat Ghayatul Maram No. 259, lihat juga Shahih At Targhb wat Tarhib No. 2952, dan lainnya)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وَفُسِّرَ هَذَا الْحَدِيثُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ قَوْلَهُ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ عَلَى التَّغْلِيظِ وَالْحُجَّةُ فِي ذَلِكَ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ عُمَرَ يَقُولُ وَأَبِي وَأَبِي فَقَالَ أَلَا إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ قَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا مِثْلُ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ الرِّيَاءَ شِرْكٌ
Sebagian Ulama menafsirkan hadits ini bahwa sabdanya: telah kufur atau syirik, artinya menunjukkan penguatan/pemberatan/penegasan. Argumentasinya adalah hadits Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar Umar berkata: Wa Abiy wa Abiy – Demi Ayahku dan Demi Ayahku. Maka beliau bersabda:
Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:
وفسَّر بعْضُ الْعلماءِ قوْلهُ:”كَفر أَوْ أشركَ”علَى التَّغلِيظِ كما رُوِي أَنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:”الرِّيَاءُ شِرْكٌ”.
Sebagian ulama menafsirkan makna kufur atau syirik sebagai penegasan/penguatan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “riya’ termasuk syirik.” (Lihat Riyadhush Shalihin Hal. 477. Cet. 3. 1998M-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
Lalu, bagaimana dengan ucapan sebagian sahabat nabi, seperti: bi abiy wa bi ummiy (Demi ayah dan demi ibuku!)”. Apakah ini termasuk sumpah dengan selain nama Allah?
Kalimat di atas bukanlah sumpah, tetapi kalimat kebiasaan mereka untuk menunjukkan dalamnya rasa cinta dan hormat mereka kepada lawan bicara. Imam Ibnu Manzhur menyebutkan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kalimat ini  aslinya adalah:
فَدَيْتُك بأَبي وأُمِّي
“Saya jadikan ayah dan ibu saya sebagai tebusan untukmu.” (Lisanul ‘Arab, 15/417. Syamilah)
Kemudian kalimat ini diringkas menjadi: bi abiy wa bi ummiy (demi ayah dan ibuku).
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
مَعْنَاهُ أَنْتَ مُفَدًّى أَوْ أَفْدِيك بِأَبِي وَأُمِّي
“Maknanya adalah engkau mendapatkan tebusan atau saya akan menebusmu dengan ayah dan ibuku.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/108. Mawqi’ Ruh A Islam)
Beliau juga mengatakan:
 وَفِيهِ جَوَاز قَوْل الرَّجُل لِلْآخَرِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : وَقَدْ كَرِهَهُ بَعْض السَّلَف . وَقَالَ : لَا يُفْدَى بِمُسْلِمٍ . وَالْأَحَادِيث الصَّحِيحَة تَدُلّ عَلَى جَوَازه سَوَاء كَانَ الْمُفَدَّى بِهِ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا .
“Dalam hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang berkata kepada orang lain: demi ayahku dan ibuku. Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan; sebagian salaf memakruhkannya. Dan, dia berkata: tidaklah ditebus dengan seorang muslim. Hadits shahih ini menunjukkan kebolehannya, sama saja apakah tebusannya itu dengan  seorang muslim atau kafir, hidup atau mati.” (Ibid)
Selanjutnya:
إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga …”
Pada bagian-bagian ini, penjelasan dari  Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah cukup memadai bagi kita. Beliau mengatakan:
إلى آخره ظاهر الحديث أن هذا العامل كان عمله صحيحاً وأنه قرب من الجنة بسبب عمله حتى بقي له على دخولها ذراع وإنما منعه من ذلك سابق القدر الذي يظهر عند الخاتمة فإذاً الأعمال بالسوابق لكن لما كانت السابقة مستورة عنا والخاتمة ظاهرة جاء في الحديث: “إنما الأعمال بالخواتيم”  يعني عندنا بالنسبة إلى اطلاعنا في معنى الأشخاص وفي بعض الأحوال، وأما الحديث الذي ذكره مسلم في صحيحه في كتاب الإيمان: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إن الرجل ليعمل بعمل أهل الجنة فيما يبدو للناس وهو من أهل النار” فإنه لم يكن عمله صحيحاً في نفسه وإنما كان رياء وسمعة فيستفاد من ذلك الحديث ترك الالتفات إلى الأعمال والركون إليها والتعويل على كرم الله تعالى ورحمته.
Secara  zhahir, hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan  perbuatan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga  hampir satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: “Segala  perbuatan itu  nilainya tergantung pada amal terakhirnya.” Maksudnya, menurut kami hanya  terjadi pada orang-orang dan keadaan tertentu saja.  Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman  dalam  kitab Shahihnya bahwa Rasulullah bersabda : ”Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka.” Ini menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak benar dan dilakukan karena riya serta sum’ah .  Faidah dari hadits ini adalah memandang dari sisi niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, ada orang yang selamat dari riya’ itu semata-mata karena karunia dan rahmat Allah Ta’ala. (Imam Ibnu daqiq Al ‘Id, Syarah Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 38)
Selanjutnya:
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir),  maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya.  Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:
المراد: أن هذا قد يقع في نادر من الناس لا أنه غالب فيهم وذلك من لطف الله سبحانه وسعة رحمته فإن انقلاب الناس من الشر إلى الخير كثير، وأما انقلابهم من الخير إلى الشر ففي غاية الندور ولله الحمد والمنة على ذلك، وهو تجوز، وقوله: “إن رحمتي سبقت غضبي” وفي رواية “تغلب غضبي”.
وفي هذا الحديث إثبات القدر كما هو مذهب أهل السنة وأن جميع الواقعات بقضاء الله تعالى وقدره خيرها وشرها نفعها وضرها قال الله تعالى: {لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ}  . ولا اعتراض عليه في ملكه يفعل في ملكه ما يشاء. قال الإمام السمعاني: سبيل معرفة هذا الباب: التوفيق من الكتابة والسنة دون محض القياس ومجرد العقول فمن عدل عن التوفيق منه ضل وتاه في مجال الحيرة ولم يبلغ شفاء النفس ولا يصل إلى ما يطمئن به القلب لأن القدر سر من أسرار الله تعالى ضربت دونه الأستار واختص سبحانه به وحجبه عن عقول الخلق ومعارفهم، وقد حجب الله تعالى علم القدر عن العالم فلا يعلمه ملك ولا نبي مرسل، وقيل إن سر القدر ينكشف لهم إذا دخلوا الجنة ولا ينكشف قبل ذلك.
وقد ثبتت الأحاديث بالنهي عن ترك العمل اتكالاً على ما سبق من القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد بها الشرع وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره فمن كان من أهل السعادة يسره الله لعمل أهل السعادة ومن كان من أهل الشقاوة يسره الله لعمل أهل الشقاوة كما في الحديث وقال الله تعالى: {فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى … فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}  .
قال العلماء: وكتاب الله تعالى ولوحه وقلمه كل ذلك مما يجب الإيمان به، وأما كيفية ذلك وصفته فعلمه إلى الله تعالى لا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء. والله أعلم
Maksudnya bahwa, hal semacam ini bisa saja  terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang  biasa. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak terjadi adalah manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi tidak baik.
Firman Allah Ta’ala, “RahmatKu mendahului kemarahanKu” menunjukkan adanya kepastian taqdir sebagaimana  keyakinan Ahlus Sunnah bahwa semua kejadian  ada dengan ketetapan Allah dan taqdirNya, baik dalam hal keburukan dan kebaikan, juga dalam hal membawa  manfaat dan  bahaya. Firman Allah: “Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab (tidak ditanya) atas segala tindakan-Nya tetapi mereka akan dimintai tanggung jawab.” (QS. Al Anbiya’ : 23) menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaanNya itu.
Imam Sam’ani mengatakan: “Cara untuk   memahami  masalah ini adalah dengan  mengkompromikan (taufiq) apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas dan akal. Barang siapa yang  keluar dari cara ini dalam memahami pengertian di atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh  obat bagi jiwa dan ketentraman hati. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang  terhalang untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Allah Ta��ala telah menutup pengetahuan tentang taqdir dari seorang ulama,  malaikat dan para nabi sekalipun tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa hadits telah menetapkan larangan kepada  manusia yang tidak mau melakukan  perbuatan dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah : “Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”. (QS. Al Lail :7) …. “Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”. (QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penaNya, semuanya wajib diimani begitu saja, ada pun tentang bagaimana hal itu   dan sifat-sifatnya,  maka pengetetahuannya kembalikan kepada Allah Ta’ala”.
Allah Ta’ala berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah (2) : 255) (Ibid, Hal. 39-40)
Selesai syarah hadits keempat. Wallahu A’lam
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/01/31/hadits-keempat-proses-penciptaan-manusia-dan-penetapan-taqdir-bag-2/
0 notes
belajarislamonline · 7 years
Link
Matan Hadits:
 عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ) رواه الترمذي وقال: حديث حسن. وفي بعض النسخ: حسنٌ صحيح.
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal radhiallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Bertaqwa-lah kepada Allah di mana saja engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya, dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”
Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan dia berkata: hadits hasan. Pada sebagian naskah: hasan shahih.
Takhrij Hadits:
Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 1987, dari Abu Dzar dan Muadz bin Jabal
Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 21354, 21403, dari Abu Dzar, dan No. 21988, dari Muadz bin Jabal. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan.
Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 8023, dari Muadz bin Jabal, dan No. 8026, dari Abu Dzar
Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal 1913, dari Abu Dzar, dan No. 5246, dari Muadz bin Jabal
Imam Ad Darimi dalam Sunannya No, 2791, dari Abu dzar
Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain 187, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Penshahihan Ini disepakati oleh Imam Adz Dzahabi
Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 296, 287, dari Muadz bin Jabal. Juga dalam Al Mu’jam Ash Shaghir No. 530, dari Muadz bin Jabal
Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 4022, dari Abu Dzar
Imam Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 4/378
Imam Ibnu ‘Asakir (61/314), dari Anas bin Malik
Syaikh Al Albani juga menghasankan dalam beberapa kitabnya, baik yang riwayat Abu Dzar,  Muadz, dan Anas. (Shahihul Jami’ No. 97, Misykah Al Mashabih No. 5083, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2655, 3160)
Kandungan Hadits secara Global
Hadits ini memuat banyak pelajaran bagi pembentukan keshalihan pribadi dan masyarakat, di antaranya:
Perintah untuk tetap dalam keadaan taqwa kepada Allah Ta’ala di mana pun dan kapan pun. Perintah taqwa sangat banyak tersebar dalam Al Quran dan As Sunnah, baik perintah taqwa secara umum atau perintah taqwa dikaitkan dengan suatu hal secara khusus. Baik dengan bentuk kata ittaquullah (bertaqwal-lah kalian kepada Allah) atau ittaqillah (bertaqwa-lah kamu kepada Allah).
Melakukan kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang alamiah terjadi pada diri manusia. Tidak ada manusia yang selalu buruk, jelek, dan jahat, sebagaimana syetan. Dan, tidak ada manusia yang selalu rajin ibadah, benar, baik, dan taat,  sebagaimana malaikat. Justru karena ada kedua hal itu letak manusiawinya manusia. Oleh karena itu, sangat berlebihan dan naïf jika ada manusia yang menuntut orang lain untuk  selalu benar dan tidak boleh salah sama sekali, karena itu adalah pembebanan yang manusia mana pun tidak akan mampu.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam memiliki kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah yang bertobat.” (HR. At Tirmidzi No. 2499, Ibnu Majah No. 4251, Ahmad No. 13049. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4515. Imam Al Munawi dan Imam Al Hakim mengatakan: shahih, sedangkan Imam Adz Dzahabi mngatakan: fiihi layyin – ada kelemahan.  Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 7/202)
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga senantiasa memohon ampunan (istighfar) dan bertobat kepada Allah Ta’ala antara 70 sampai 100 kali  dalam sehari.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah, sungguh saya beristighfar kepada Allah dan bertobat kepadaNya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari No. 6307, At Tirmidzi No. 3259, Ahmad No. 7793,  Ibnu Hibban No. 925, Ad Dailami No. 7024, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 639)
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah,  bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar dan bertobat kepada Allah Ta’ala sebanyak 100 kali dalam sehari. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 621,  An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10268,  Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1286, Ahmad No. 9807, dll)
3. Perintah untuk mengiringi perbuatan jelek yang mengandung dosa dengan perbuatan baik yang mengandung pahala. Hal itu bertujuan agar perbuatan baik dapat menghapus perbuatan jelek.
Hal ini sesuai dengan ayat:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghapuskan keburukan-keburukan.” (QS. Huud (11): 114)
Yaitu menghapuskan dosa dan bekas dari kejelekan tersebut. Tersebut dalam Tafsir Al Muyassar:
إنَّ فِعْلَ الخيرات يكفِّر الذنوب السالفة ويمحو آثارها
Sesungguhnya melakukan kebaikan-kebaikan dapat menghilangkan dosa-dosa terdahulu dan menghapuskan bekas-bekasnya. (Tafsir Al Muyassar, 4/91)
                Kebaikan yang dimaksud adalah  banyak macamnya seperti shalat yang lima waktu, dzikir,  shaum,     sedekah, shalat tathawwu’, dan sebagainya. Ada pun dosa yang terhapus adalah  bukan yang termasuk Al Kabaa-ir (dosa-dosa besar). Sebab dosa besar hanya bisa dihilangkan dengan tobat nasuha kepada Allah Ta’ala. (Insya Allah akan dibahas pada bagiannya nanti)
4. Perintah untuk bergaul dengan manusia secara umum dengan akhlak yang baik. Baik itu dengan muslim atau non muslim. Baik dengan  ahli maksiat atau ahli taat, dengan cara yang tidak sama sesuai kadar maksiat mereka. Untuk bergaul dengan ahli bid’ah dan para pembawa ajaran sesat, ada fiqih tersendiri dalam berinteraksi dengan mereka.
Paduan antara taqwa kepada Allah Ta’ala dan akhlak yang baik, adalah penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam surga.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab:   “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)
Makna Kata dan Kalimat
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ : dari Abu Dzar Jundub bin Junadah
Beliau adalah Jundub bin Junadah bin Sufyan bin  ‘Ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin ‘Abdu Manat bin bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Al Ilyas bin Mudhar. (Usadul Ghabah, Hal. 190)
Para ahli telah berbeda pendapat tentang nama asli Abu Dzar dengan perbedaan yang banyak. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:
أبو ذر الغفاري. اختلف في اسمه اختلافاً كثيراً، فقيل: جندَب بن جنادة، وهو أَكثر وأَصح ما قيل فيه. وقيل: برير بن عبد الله، وبُرَير بن جنادة، وبريرة بن عِشرِقة، وقيل: جندَب بن عبد الله، وقيل: جندب بن سَكن. والمشهور جُندَب بن جنادة بن قيس بن عمرو بن مليل بن صَعَير بن حَرَامِ بن غِفَار. وقيل: جندَب بن جنادة بن سفيان ابن عبيد بن حَرَام بن غفار بن مليل بن ضَمرة بن بكر بن عبد مناة بن كنانة بن خزيمة بن مدرِكَةَ الغفاري. وأمه رملة بنت الوقيعة. من بني غِفَار أَيضاً
Abu Dzar Al Ghifari. Banyak perbedaan pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan: Jundub bin Junadah, itulah yang paling banyak dan paling benar dalam hal ini. Ada yang mengatakan: Barir bin Abdullah, Burair bin Junadah, Barirah bin ‘Isyriqah. Ada juga yang mengatakan: Jundab bin Abdullah. Dikatakan pula: Jundub bin Sakan. Yang terkenal adalah Jundab bin Junadah bin Qais bin ‘Amru bin Malil bin Sha’air bin Haram bin Ghifar. Ada yang mengatakan: Jundab bin Junadah bin Sufyan bin ‘ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah Al Ghifari. Ibunya adalah Ramlah binti Al Waqi’ah, juga dari Bani Ghifar. (Ibid, Hal. 1169)  Ada pula yang menyebutnya Yazid bin Junadah.
Beliau adalah seorang yang tinggi dan besar, jenggotrnya lebat.
Di antara keutamaan Abu Dzar adalah beliau termasuk generasi awal Islam, ada yang menyebutnya sebagai orang keempat, ada juga yang menyebut orang kelima yang masuk Islam. Tentang kisah keislaman Beliau, Imam Al Bukhari telah menceritakannya dalam riwayat yang sangat panjang dalam Shahih Al Bukhari, pada Kitab Al Manaqib Bab Islamu Abi Dzar Al Ghifari Radhiallahu ’Anhu No hadits. 3861. Juga Imam Muslim dalam Shahihnya, pada Kitab Fadhail Ash Shahabah Bab Min Fadhail Abi Dzar  Radhiallahu ‘Anhu No hadits. 2473, 2474.
Ketika beliau masuk Islam, Beliau langsung kembali ke kaumnya untuk mendakwahi mereka seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Beliau ikut hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengiringinya, dan berjihad bersamanya di Badar, Uhud, dan Khandaq. Namun menurut Abu Daud dia tertinggal saat perang Badar.
Imam Adz Dzahabi menceritakan bahwa Abu Dzar seorang pemimpinnya para zahid (orang yang zuhud),  jujur, berilmu dan mengamalkan ilmunya, tidak takut celaan orang yang mencelanya dalam menjalankan ajaran Allah Ta’ala, dan ikut menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis pada zaman Umar.
Ali radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
وعى أَبو ذر علماً عجز الناس عنه، ثم أَوكى عليه فلم يخرِج منه شيئاً
“Abu Dzar telah mengumpulkan ilmu yang membuat manusia merasa lemah darinya, kemudian dia mengikatnya lalu dia tidak melepaskannya sedikit pun.”  (Ibid, Hal. 1170)
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
أَبُو ذَرٍّ يَمْشِي فِي الْأَرْضِ بِزُهْدِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام
“Abu Dzar berjalan di muka bumi dengan kezuhudan Isa bin Maryam ‘Alaihissalam.” (Sunan At Tirmidzi No. 3802, Usadul Ghabah, Hal. 190, Jami’ Al Ushul No. 6593)
Yahya bin Aktsam bermimpin dalam tidurnya, bahwa Abu Dzar telah diampuni Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam surga.
Dia wafat tahun 32 H. As Siraj mengatakan dalam Tarikh-nya, bahwa Abu Dzar wafat setelah usai menunaikan haji, pada hari Jumat, di Ar Rabdzah. Keponakannya menceritakan bahwa saat itu usiannya 83 tahun.  Ibnu Mas’ud termasuk yang menyolatkannya.  
Tentang wafatnya Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa akan ada seorang di antara sahabat yang wafat sendirian di padang pasir, yang mayatnya akan ditemukan oleh rombongan orang beriman yang lewat. Ternyata beliau wafat seorang diri di padang pasir, dan ditemukan oleh rombongan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Sehingga Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu menangis melihat kondisi sulit yang dihadapi Abu Dzar, baik hidup dan wafatnya. Ia teringat dengan ucapan Nabi ketika perang Tabuk tentang Abu Dzar:
يرحم الله أبا ذر، يمشي وحده ويموت وحده ويحشر وحده
“Semoga Allah merahmati Abu Dzar, dia berjalan seorang diri, dia akan mati seorang diri, dan dikumpulkan juga seorang diri.”
Semoga Allah Ta’ala merahmati Abu Dzar dan memasukannya ke dalam surga firdaus yang tinggi dan mulia. Amiin.
(Selengkapnya lihat Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma, 1/810. Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, hal. 190-191, dan hal.  1169-1170. Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 2/46-78)
Selanjutnya:
وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ : dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal
Beliau adalah Muadz bin Jabal bin Amru bin Aus bin ‘Aaidz bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Amru bin Adi bin Sa’ad bin Ali bin Saaridah bin Asad bin Tazid bin Jusyum bin Al Khazraj Al Anshari.
Sebagian ulama menyebutnya sebagai orang Bani Salamah. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa dia disandarkan kepada Bani Salamah karena Ibunya bersaudara dengan Sahl bin Muhammad bin Al Jad bin Al Qais. Sahl dan ibunya adalah dari Bani Salamah. Dia paling banyak menghancurkan berhala Bani Salamah. Sementara Al Kalbi mengatakan bahwa Muadz adalah Bani Adi sebagaimana terlihat dari namanya.
Dia digelari Abu Abdirrahman. Dia termasuk 70 orang yang ikut Bai’at ‘Aqabah dari kalangan Anshar. Beliau juga ikut perang Badar pada usia 21 tahun, juga Uhud, dan Khandaq,  semuanya dilakukannya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia masuk Islam saat usianya 18 tahun. Setelah perang tabuk, beliau diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Yaman sebagai Qadhi dan pemimpin kaum muslimin di sana. Beliau di sana hingga wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kembali ke Madinah pada masa Khalifah Abu Bakar.
Al Waqidi dan lainnya menyebutkan bahwa Muadz bin Jabal, berperawakan tinggi, rambutnya bagus, matanya lebar, dan giginya putih bersinar, dan belum punya anak. Dia adalah termasuk laki-laki yang paling tampan (min ajmalir rijaal). Ka’ab bin Malik mengatakan, bahwa Muadz adalah pemuda yang tampan dan dermawan.
Namun Abu Umar mengatakan , bahwa telah disebutkan tentang Muadz, beliau memiliki anak bernama Abdurrahman yang ikut berperang bersamanya  di Yarmuk. Dan, tidak ada perselisihan pendapat bahwa beliau  diberikan nama kun-yah (gelar) dengan sebutan Abu Abdirrahman. Di Madinah, beliau dipersaudarakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau meriwayatkan 157 hadit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Muadz bin Jabal radhiallahu ‘Anhu, memiliki banyak keutamaan, baik yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat lainnya.
Di antaranya, dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خذوا القرآن من أربعة : من ابن مسعود وأبي بن كعب ومعاذ بن جبل وسالم مولى أبي حذيفة
“Ambil-lah Al Quran dari empat orang: dari Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, dan Salim pelayan Abu Hudzaifah.” (HR. At Tirmidzi No. 3810, katanya: hasan shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6242, katanya: shahih. Semisal ini juga diriwayatkan oleh Al Bukhari No. 3758)
                Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
  “Umatku yang paling penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling ketat terhadap perintah Allah adalah Umar, yang paling benar rasa malunya adalah ‘Utsman, yang paling tahu halal dan haram adalah Muadz bin Jabal, yang paling tahu faraidh (ilmu waris) adalah Zaid bin Tsabit, dan yang paling bagus bacaannya adalah Ubai, dan setiap umat ada orang kepercayaan, dan kepercayaannya umat ini adalah Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah.” (HR. At Tirmidzi No. 3790, katanya: hasan gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 895)
Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu mengatakan:
كان معاذ بن جبل من أحسن الناس وجها وأحسنه خلقا وأسمحه كفا فأدان دينا كثيرا
“Muadz bin Jabal adalah manusia yang paling bagus wajahnya, paling bagus akhlaknya, dan paling lapang tangannya (dermawan), dia telah memberikan hutang yang banyak.”  (Usadul Ghabah, 1/1021)
Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu adalah sosok yang amat dicintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Muadz bercerita, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang tangannya dan berkata:
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Muadz, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu.” Beliau bersabda: “Saya wasiatkan kepadamu, wahai Muadz, janganlah kamu tinggalkan ucapanmu pada setiap akhir shalat: Allahumma A’inni ‘ala dzikrika wasy syukrika wa husni ‘ibadatik – Ya Allah tolonglah aku dalam berdzikir kepadaMu dan bersyukur kepadaMu, dan  kebaikan ibadah kepadaMu.” (HR. Abu Daud No.  1522, Ahmad No. 22119, Al Bazzar No. 2661,  Ibnu Hibban No. 2020, 2021,  An Nasa’i No. 1303,  Ibnu Khuzaimah No. 751, dll. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Musnad Ahmad No. 22119, dan Syaikh Al Albani dalam   Shahihul Jami’ No. 7969 )
Beliau wafat di Syam ketika mewabah Tha’un, saat itu berusia 34 tahun atau lebih, pada tahun 17 H atau setelahnya. Ada yang menyebut Beliau wafat saat usia 28 tahun, 32 tahun. Said bin Al Musayyib mengatakan 33 atau 34 tahun.
Abdullah bin Qurth mengatakan: saya menyaksikan wafatnya Muadz bin Jabal, saat itu dia berusia seperti Isa ‘Alaihissalam yaitu 33 atau 34 tahun.
                (Selengkapnya lihat Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, Hal. 1020- 1022. Imam  Khairuddin Az Zarkili,  Al I’lam, 7/259. Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma, No. 582.  Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Ishabah, No. 8043. Darul Jil, Beirut. Imam Adz Dzahabi, As Siyar, 1/443. No. 86. Imam Ibnu Abdil Bar, Al Isti’ab, 1/439-441. Mawqi’ Al Warraq)
Selanjutnya:
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : semoga Allah meridhai keduanya
Yaitu semoga Allah Ta’ala meridhai Abu Dzar Al Ghifari dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal.
Filed under: Hadits Tagged: arbain Baca selengkapnya di: http://ift.tt/2m16rTl
0 notes
belajarislamonline · 7 years
Photo
Tumblr media
Syarah Hadits Kedelapan Belas: Bertaqwa di Mana Saja dan Berakhlak Baik kepada Manusia (Bag. 1)
Matan Hadits:
 عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ) رواه الترمذي وقال: حديث حسن. وفي بعض النسخ: حسنٌ صحيح.
Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal radhiallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Bertaqwa-lah kepada Allah di mana saja engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya, dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”
Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan dia berkata: hadits hasan. Pada sebagian naskah: hasan shahih.
Takhrij Hadits:
Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 1987, dari Abu Dzar dan Muadz bin Jabal
Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 21354, 21403, dari Abu Dzar, dan No. 21988, dari Muadz bin Jabal. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan.
Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 8023, dari Muadz bin Jabal, dan No. 8026, dari Abu Dzar
Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal 1913, dari Abu Dzar, dan No. 5246, dari Muadz bin Jabal
Imam Ad Darimi dalam Sunannya No, 2791, dari Abu dzar
Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain 187, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Penshahihan Ini disepakati oleh Imam Adz Dzahabi
Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 296, 287, dari Muadz bin Jabal. Juga dalam Al Mu’jam Ash Shaghir No. 530, dari Muadz bin Jabal
Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 4022, dari Abu Dzar
Imam Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 4/378
Imam Ibnu ‘Asakir (61/314), dari Anas bin Malik
Syaikh Al Albani juga menghasankan dalam beberapa kitabnya, baik yang riwayat Abu Dzar,  Muadz, dan Anas. (Shahihul Jami’ No. 97, Misykah Al Mashabih No. 5083, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2655, 3160)
Kandungan Hadits secara Global
Hadits ini memuat banyak pelajaran bagi pembentukan keshalihan pribadi dan masyarakat, di antaranya:
Perintah untuk tetap dalam keadaan taqwa kepada Allah Ta’ala di mana pun dan kapan pun. Perintah taqwa sangat banyak tersebar dalam Al Quran dan As Sunnah, baik perintah taqwa secara umum atau perintah taqwa dikaitkan dengan suatu hal secara khusus. Baik dengan bentuk kata ittaquullah (bertaqwal-lah kalian kepada Allah) atau ittaqillah (bertaqwa-lah kamu kepada Allah).
Melakukan kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang alamiah terjadi pada diri manusia. Tidak ada manusia yang selalu buruk, jelek, dan jahat, sebagaimana syetan. Dan, tidak ada manusia yang selalu rajin ibadah, benar, baik, dan taat,  sebagaimana malaikat. Justru karena ada kedua hal itu letak manusiawinya manusia. Oleh karena itu, sangat berlebihan dan naïf jika ada manusia yang menuntut orang lain untuk  selalu benar dan tidak boleh salah sama sekali, karena itu adalah pembebanan yang manusia mana pun tidak akan mampu.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam memiliki kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah yang bertobat.” (HR. At Tirmidzi No. 2499, Ibnu Majah No. 4251, Ahmad No. 13049. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4515. Imam Al Munawi dan Imam Al Hakim mengatakan: shahih, sedangkan Imam Adz Dzahabi mngatakan: fiihi layyin – ada kelemahan.  Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 7/202)
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga senantiasa memohon ampunan (istighfar) dan bertobat kepada Allah Ta’ala antara 70 sampai 100 kali  dalam sehari.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah, sungguh saya beristighfar kepada Allah dan bertobat kepadaNya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari No. 6307, At Tirmidzi No. 3259, Ahmad No. 7793,  Ibnu Hibban No. 925, Ad Dailami No. 7024, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 639)
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah,  bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar dan bertobat kepada Allah Ta’ala sebanyak 100 kali dalam sehari. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 621,  An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10268,  Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1286, Ahmad No. 9807, dll)
3. Perintah untuk mengiringi perbuatan jelek yang mengandung dosa dengan perbuatan baik yang mengandung pahala. Hal itu bertujuan agar perbuatan baik dapat menghapus perbuatan jelek.
Hal ini sesuai dengan ayat:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghapuskan keburukan-keburukan.” (QS. Huud (11): 114)
Yaitu menghapuskan dosa dan bekas dari kejelekan tersebut. Tersebut dalam Tafsir Al Muyassar:
إنَّ فِعْلَ الخيرات يكفِّر الذنوب السالفة ويمحو آثارها
Sesungguhnya melakukan kebaikan-kebaikan dapat menghilangkan dosa-dosa terdahulu dan menghapuskan bekas-bekasnya. (Tafsir Al Muyassar, 4/91)
                Kebaikan yang dimaksud adalah  banyak macamnya seperti shalat yang lima waktu, dzikir,  shaum,     sedekah, shalat tathawwu’, dan sebagainya. Ada pun dosa yang terhapus adalah  bukan yang termasuk Al Kabaa-ir (dosa-dosa besar). Sebab dosa besar hanya bisa dihilangkan dengan tobat nasuha kepada Allah Ta’ala. (Insya Allah akan dibahas pada bagiannya nanti)
4. Perintah untuk bergaul dengan manusia secara umum dengan akhlak yang baik. Baik itu dengan muslim atau non muslim. Baik dengan  ahli maksiat atau ahli taat, dengan cara yang tidak sama sesuai kadar maksiat mereka. Untuk bergaul dengan ahli bid’ah dan para pembawa ajaran sesat, ada fiqih tersendiri dalam berinteraksi dengan mereka.
Paduan antara taqwa kepada Allah Ta’ala dan akhlak yang baik, adalah penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam surga.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab:   “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)
Makna Kata dan Kalimat
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ : dari Abu Dzar Jundub bin Junadah
Beliau adalah Jundub bin Junadah bin Sufyan bin  ‘Ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin ‘Abdu Manat bin bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Al Ilyas bin Mudhar. (Usadul Ghabah, Hal. 190)
Para ahli telah berbeda pendapat tentang nama asli Abu Dzar dengan perbedaan yang banyak. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:
أبو ذر الغفاري. اختلف في اسمه اختلافاً كثيراً، فقيل: جندَب بن جنادة، وهو أَكثر وأَصح ما قيل فيه. وقيل: برير بن عبد الله، وبُرَير بن جنادة، وبريرة بن عِشرِقة، وقيل: جندَب بن عبد الله، وقيل: جندب بن سَكن. والمشهور جُندَب بن جنادة بن قيس بن عمرو بن مليل بن صَعَير بن حَرَامِ بن غِفَار. وقيل: جندَب بن جنادة بن سفيان ابن عبيد بن حَرَام بن غفار بن مليل بن ضَمرة بن بكر بن عبد مناة بن كنانة بن خزيمة بن مدرِكَةَ الغفاري. وأمه رملة بنت الوقيعة. من بني غِفَار أَيضاً
Abu Dzar Al Ghifari. Banyak perbedaan pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan: Jundub bin Junadah, itulah yang paling banyak dan paling benar dalam hal ini. Ada yang mengatakan: Barir bin Abdullah, Burair bin Junadah, Barirah bin ‘Isyriqah. Ada juga yang mengatakan: Jundab bin Abdullah. Dikatakan pula: Jundub bin Sakan. Yang terkenal adalah Jundab bin Junadah bin Qais bin ‘Amru bin Malil bin Sha’air bin Haram bin Ghifar. Ada yang mengatakan: Jundab bin Junadah bin Sufyan bin ‘ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah Al Ghifari. Ibunya adalah Ramlah binti Al Waqi’ah, juga dari Bani Ghifar. (Ibid, Hal. 1169)  Ada pula yang menyebutnya Yazid bin Junadah.
Beliau adalah seorang yang tinggi dan besar, jenggotrnya lebat.
Di antara keutamaan Abu Dzar adalah beliau termasuk generasi awal Islam, ada yang menyebutnya sebagai orang keempat, ada juga yang menyebut orang kelima yang masuk Islam. Tentang kisah keislaman Beliau, Imam Al Bukhari telah menceritakannya dalam riwayat yang sangat panjang dalam Shahih Al Bukhari, pada Kitab Al Manaqib Bab Islamu Abi Dzar Al Ghifari Radhiallahu ’Anhu No hadits. 3861. Juga Imam Muslim dalam Shahihnya, pada Kitab Fadhail Ash Shahabah Bab Min Fadhail Abi Dzar  Radhiallahu ‘Anhu No hadits. 2473, 2474.
Ketika beliau masuk Islam, Beliau langsung kembali ke kaumnya untuk mendakwahi mereka seperti yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Beliau ikut hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengiringinya, dan berjihad bersamanya di Badar, Uhud, dan Khandaq. Namun menurut Abu Daud dia tertinggal saat perang Badar.
Imam Adz Dzahabi menceritakan bahwa Abu Dzar seorang pemimpinnya para zahid (orang yang zuhud),  jujur, berilmu dan mengamalkan ilmunya, tidak takut celaan orang yang mencelanya dalam menjalankan ajaran Allah Ta’ala, dan ikut menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis pada zaman Umar.
Ali radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
وعى أَبو ذر علماً عجز الناس عنه، ثم أَوكى عليه فلم يخرِج منه شيئاً
“Abu Dzar telah mengumpulkan ilmu yang membuat manusia merasa lemah darinya, kemudian dia mengikatnya lalu dia tidak melepaskannya sedikit pun.”  (Ibid, Hal. 1170)
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
أَبُو ذَرٍّ يَمْشِي فِي الْأَرْضِ بِزُهْدِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام
“Abu Dzar berjalan di muka bumi dengan kezuhudan Isa bin Maryam ‘Alaihissalam.” (Sunan At Tirmidzi No. 3802, Usadul Ghabah, Hal. 190, Jami’ Al Ushul No. 6593)
Yahya bin Aktsam bermimpin dalam tidurnya, bahwa Abu Dzar telah diampuni Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam surga.
Dia wafat tahun 32 H. As Siraj mengatakan dalam Tarikh-nya, bahwa Abu Dzar wafat setelah usai menunaikan haji, pada hari Jumat, di Ar Rabdzah. Keponakannya menceritakan bahwa saat itu usiannya 83 tahun.  Ibnu Mas’ud termasuk yang menyolatkannya.  
Tentang wafatnya Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa akan ada seorang di antara sahabat yang wafat sendirian di padang pasir, yang mayatnya akan ditemukan oleh rombongan orang beriman yang lewat. Ternyata beliau wafat seorang diri di padang pasir, dan ditemukan oleh rombongan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Sehingga Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu menangis melihat kondisi sulit yang dihadapi Abu Dzar, baik hidup dan wafatnya. Ia teringat dengan ucapan Nabi ketika perang Tabuk tentang Abu Dzar:
يرحم الله أبا ذر، يمشي وحده ويموت وحده ويحشر وحده
“Semoga Allah merahmati Abu Dzar, dia berjalan seorang diri, dia akan mati seorang diri, dan dikumpulkan juga seorang diri.”
Semoga Allah Ta’ala merahmati Abu Dzar dan memasukannya ke dalam surga firdaus yang tinggi dan mulia. Amiin.
(Selengkapnya lihat Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma, 1/810. Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, hal. 190-191, dan hal.  1169-1170. Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 2/46-78)
Selanjutnya:
وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ : dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal
Beliau adalah Muadz bin Jabal bin Amru bin Aus bin ‘Aaidz bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Amru bin Adi bin Sa’ad bin Ali bin Saaridah bin Asad bin Tazid bin Jusyum bin Al Khazraj Al Anshari.
Sebagian ulama menyebutnya sebagai orang Bani Salamah. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa dia disandarkan kepada Bani Salamah karena Ibunya bersaudara dengan Sahl bin Muhammad bin Al Jad bin Al Qais. Sahl dan ibunya adalah dari Bani Salamah. Dia paling banyak menghancurkan berhala Bani Salamah. Sementara Al Kalbi mengatakan bahwa Muadz adalah Bani Adi sebagaimana terlihat dari namanya.
Dia digelari Abu Abdirrahman. Dia termasuk 70 orang yang ikut Bai’at ‘Aqabah dari kalangan Anshar. Beliau juga ikut perang Badar pada usia 21 tahun, juga Uhud, dan Khandaq,  semuanya dilakukannya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia masuk Islam saat usianya 18 tahun. Setelah perang tabuk, beliau diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Yaman sebagai Qadhi dan pemimpin kaum muslimin di sana. Beliau di sana hingga wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kembali ke Madinah pada masa Khalifah Abu Bakar.
Al Waqidi dan lainnya menyebutkan bahwa Muadz bin Jabal, berperawakan tinggi, rambutnya bagus, matanya lebar, dan giginya putih bersinar, dan belum punya anak. Dia adalah termasuk laki-laki yang paling tampan (min ajmalir rijaal). Ka’ab bin Malik mengatakan, bahwa Muadz adalah pemuda yang tampan dan dermawan.
Namun Abu Umar mengatakan , bahwa telah disebutkan tentang Muadz, beliau memiliki anak bernama Abdurrahman yang ikut berperang bersamanya  di Yarmuk. Dan, tidak ada perselisihan pendapat bahwa beliau  diberikan nama kun-yah (gelar) dengan sebutan Abu Abdirrahman. Di Madinah, beliau dipersaudarakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau meriwayatkan 157 hadit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Muadz bin Jabal radhiallahu ‘Anhu, memiliki banyak keutamaan, baik yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat lainnya.
Di antaranya, dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خذوا القرآن من أربعة : من ابن مسعود وأبي بن كعب ومعاذ بن جبل وسالم مولى أبي حذيفة
“Ambil-lah Al Quran dari empat orang: dari Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, dan Salim pelayan Abu Hudzaifah.” (HR. At Tirmidzi No. 3810, katanya: hasan shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6242, katanya: shahih. Semisal ini juga diriwayatkan oleh Al Bukhari No. 3758)
                Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
  “Umatku yang paling penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling ketat terhadap perintah Allah adalah Umar, yang paling benar rasa malunya adalah ‘Utsman, yang paling tahu halal dan haram adalah Muadz bin Jabal, yang paling tahu faraidh (ilmu waris) adalah Zaid bin Tsabit, dan yang paling bagus bacaannya adalah Ubai, dan setiap umat ada orang kepercayaan, dan kepercayaannya umat ini adalah Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah.” (HR. At Tirmidzi No. 3790, katanya: hasan gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 895)
Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu mengatakan:
كان معاذ بن جبل من أحسن الناس وجها وأحسنه خلقا وأسمحه كفا فأدان دينا كثيرا
“Muadz bin Jabal adalah manusia yang paling bagus wajahnya, paling bagus akhlaknya, dan paling lapang tangannya (dermawan), dia telah memberikan hutang yang banyak.”  (Usadul Ghabah, 1/1021)
Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu adalah sosok yang amat dicintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Muadz bercerita, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang tangannya dan berkata:
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Muadz, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu.” Beliau bersabda: “Saya wasiatkan kepadamu, wahai Muadz, janganlah kamu tinggalkan ucapanmu pada setiap akhir shalat: Allahumma A’inni ‘ala dzikrika wasy syukrika wa husni ‘ibadatik – Ya Allah tolonglah aku dalam berdzikir kepadaMu dan bersyukur kepadaMu, dan  kebaikan ibadah kepadaMu.” (HR. Abu Daud No.  1522, Ahmad No. 22119, Al Bazzar No. 2661,  Ibnu Hibban No. 2020, 2021,  An Nasa’i No. 1303,  Ibnu Khuzaimah No. 751, dll. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Musnad Ahmad No. 22119, dan Syaikh Al Albani dalam   Shahihul Jami’ No. 7969 )
Beliau wafat di Syam ketika mewabah Tha’un, saat itu berusia 34 tahun atau lebih, pada tahun 17 H atau setelahnya. Ada yang menyebut Beliau wafat saat usia 28 tahun, 32 tahun. Said bin Al Musayyib mengatakan 33 atau 34 tahun.
Abdullah bin Qurth mengatakan: saya menyaksikan wafatnya Muadz bin Jabal, saat itu dia berusia seperti Isa ‘Alaihissalam yaitu 33 atau 34 tahun.
                (Selengkapnya lihat Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, Hal. 1020- 1022. Imam  Khairuddin Az Zarkili,  Al I’lam, 7/259. Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma, No. 582.  Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Ishabah, No. 8043. Darul Jil, Beirut. Imam Adz Dzahabi, As Siyar, 1/443. No. 86. Imam Ibnu Abdil Bar, Al Isti’ab, 1/439-441. Mawqi’ Al Warraq)
Selanjutnya:
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : semoga Allah meridhai keduanya
Yaitu semoga Allah Ta’ala meridhai Abu Dzar Al Ghifari dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal.
Filed under: Hadits Tagged: arbain Baca selengkapnya di: http://ift.tt/2m16rTl
0 notes