Tumgik
#arjeltalk
arjeltalk · 10 months
Text
Being a mother..
Sebelum menikah, aku dan Mas Afif sepakat untuk menunda punya anak. Sebagai perempuan yang bekerja nyambi berkuliah, sebagai pasangan muda yang sama-sama sedang merintis karir serta finansial yang masih belum sepenuhnya stabil, tentu keputusan ini dirasa cukup bijaksana.
.
Semua orang pasti punya lifetime moment lahirannya masing-masing, jadi ini cerita aku.
Setelah sholat subuh, aku berbersih diri, bersiap-siap berpakaian dan bersolek. Aku mengenakan blouse putih dengan corak keemasan, celana dan kerudung bergo hitam yang memang sering kali aku kenakan selama hamil. Waktu hampir menunjukkan pukul 07.00 WIB, Aku membangunkan Mas Afif sekali lagi, tentu aku sudah membangunkanya beberapa kali sebelumnya. Sambil menunggu Mas Afif bersiap, aku memakan nasi bungkus yang dibelikan oleh Mama.
Tepat pukul 08.00 WIB, kami sampai di IGD Rumah Sakit. Aku mengisi formulir, menjawab beberapa pertanyaan perihal keluhan yang tidak aku rasa. Petugas IGD menyiapkan sebuah ranjang besi untuk aku gunakan di ruang tindakan, tentu aku menolak menaiki ranjang besi beralas warna biru itu. Sebagai gantinya aku berjalan di samping petugas IGD yang mendorong ranjang ke ruang pemeriksaan.
Diruangan pemeriksaan yang kecil hanya muat dua ranjang besi dan satu meja kecil dengan dua kursi perawat. Disana ada seorang pasien hamil yang telah terpasang infus sedang diperiksa oleh perawat. Oleh perawat yang sama aku diminta untuk berbaring pada ranjang besi yang tadi dibawa oleh petugas IGD. Aku bertanya kepada perawat apakah aku harus berganti dengan baju yang lain, kebetulan dari rumah telah mempersiapkan beberapa helai baju ganti dan beberapa kain untuk calon bayi. Perawat menyarakan untuk mengenakan baju daster dan melepaskan pakaian dalam yang dikenakan.
Jarum infus ditusukkan di punggung tangan sebelah kiri, untuk kali pertama aku di-infus dan kali pertama pula masuk IGD sebagai pasien. Infus telah terpasang, perawat menanyakan beberapa informasi yang dibutuhkan, setelahnya bidan masuk untuk memeriksa apakah kandunganku sudah mengalami pembukaan. Bidan itu mengenakan sarung tangan karet putih khas tenaga medis dan memasukkan dua jari pada vagina. Sungguh malu dan traumatis rasanya ada tangan masuk kedalam vagina. Bidan menjelaskan bahwa kandungan belum ada pembukaan sama sekali, serta menjelaskan prosedur induksi yang akan dijalani. Mas Afif dipanggil keluar untuk menandatangani beberapa dokumen. Sambil menunggu Mas Afif menyelesaikan beberapa administrasi, Aku menjalani pemeriksaan detak jantung bayi untuk menguji kelayakan apakah calon bayi layak untuk dilahirkan secara normal. Syukur detak jantung bayi cukup baik.
Setelah dinyatakan layak untuk melakukan proses induksi, aku dipindahkan ke ruangan bersalin. Diruangan tersebut ada sekitar 8 ranjang besi yang lebih empuk dari ranjang besi diruang pemeriksaan tadi. Ranjang-ranjang itu tersusun secara berjejer dan setengahnya telah terisi oleh pasien-pasien yang mengenakan selang infus. Satu di antaranya mengenakan selang oksigen dan monitor detak jantung. Di dekat pintu masuk, ada sebanyak 8 atau 9 orang bidan yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, ada yang memantau komputer, menulis di jurnal, sibuk berkonsultasi melalui telpon, ada juga yang berbincang mengenai makan siang. Di ruangan itu hanya ada pasien dan bidan, tidak ada wali atau keluarga yang mendampingi. Keluarga diminta untuk menunggu dilorong sebelah ruangan, apabila pasien membutuhkan sesuatu akan disampaikan bidan kepada keluarga.
-
Seorang bidan datang menghampiri, menanyakan ulang perihal data personal. Satu yang lain datang untuk memeriksa tensi. Tak lama satu petugas lagi datang dengan wajah yang sangat ramah dan nada bicara yang sopan memberikan informasi terkait prosedur induksi yang akan aku jalankan beberapa jam kedepan. Rupanya petugas itu kepala bagian (departemen atau kabag apa ya(?) lupa). Ia menjelaskan bahwa prosedur ini akan dilaksanakan dalam empat tahap, dua tahap awal ialah memasukkan pil kedalam jalur lahir, dua tahap awal memakan waktu sekitar enam jam pertahapannya. Apabila tahap awal tidak memberikan perubahan dan peningkatan pembukaan, maka akan dimasukkan lagi pil serupa dan dibiarkan lagi selama enam jam. Apabila dua tahapan telah dilakukan akan tetapi pembukaan stuck, maka akan dilakukan proses induksi melalui cairan infus.
-
Aku diminta untuk BAK terlebih dahulu sebelum menjalani proses pertama, apabila pipis sebelum satu setengah jam pemasangan maka dikhawatirkan pil akan ikut terbuang melalui kemih. Setelah pipis, aku diminta untuk berbaring, sebelumnya aku duduk saja diatas ranjang karena pegel dan bosan hanya tola-tole. Lagi pula ranjang rumah sakit mana yang empuk untuk ditiduri oleh orang yang sehat.
Pukul 11.00 WIB, aku berbaring di atas ranjang serta diminta untuk membuka kedua kaki dengan lebar. Lagi-lagi bidan memasukkan dua jari kedalam saluran lahir. Hal ini diperlukan untuk memeriksa apakah sudah ada pembukaan dan hasilnya belum ada pembukaan sama sekali. Bidan memasukkan pil kedalam jalur lahir sebagaimana tadi telah dijelaskan sebelumnya. Setelah pemasangan, setiap satu jam bidan datang untuk memeriksa tensi, detak jantung bayi sambil bertanya apa aku sudah merasakan sakit, “belum bu, tidak ada perubahan” jawabku sambil tersenyum.
Bidan yang datang menjelaskan bahwa memang betul tiap orang memiliki tingkat toleransi sakit yang berbeda. Banyak yang mengatakan bahwa kontraksi karena induksi rasanya lebih sakit dari pada kontraksi alami, di antaranya juga meyakini bahwa kontraksi karena induksi atau alami sama saja, sama sakitnya. Bidan itu juga bercerita bahwa ada pasiennya yang mampu menahan sakitnya kontraksi tanpa merintih atau mengerang kesakitan tiba-tiba sudah pembukaan lengkap. Aku pun di doakan semoga segera mengalami pembukaan lengkap tanpa harus merasakan sakit yang berarti.
Hingga pukul 4 sore aku belum juga merasakan kontraksi, hanya saja perut terasa lebih kencang. Bidan datang memeriksa detak jantung bayi, pada pemeriksaan kala itu jantung bayi mengalami peningkatan karena reaksi obat induksi yang diberikan. Sebagai antisipasi, aku dikenakan selang oksigen supaya detak jantung bayi kembali normal. Barulah pukul 5 sore kontraksi dimulai, akan tetapi intensitasnya masih jarang dan tidak lama. Latihan pernafasan yang aku pelajari dari youtube cukup membantu untuk mengontrol rasa sakit ketika kontraksi berlangsung.
Pada awal tulisan aku menyebutkan bahwa di ruangan tindakan “Irna C” ini tidak ada pasien yang didampingi oleh wali kecuali pasien sudah pembukaan lengkap dan siap melahirkan, maka satu orang wali diperkenankan untuk mendampingi. Akan tetapi sejak penginformasian oleh Bu Bidan kepala bagian, Mas Afif sudah berada disampingku. Sebab menjadi satu-satunya pasien yang didampingi oleh wali, tirai yang ada disekitar ranjang besi ditutup dan Mas Afif tidak diperkenankan keluar-masuk karena ruangan tindakan ini merupakan wilayah sensitif, tempat melahirkan, pemeriksaan pembukaan dan lain-lain yang berhubungan dengan kelamin perempuan.
He got stuck with me, duduk disamping kananku dengan kursi plastik. Pasti begitu membosankan bagi dirinya duduk di sana, berulang kali aku tawarkan untuk rebahan saja di sampingku karena ranjang ini cukup lebar untuk menampung dua orang. Dia menolaknya, aku tawarkan lagi dia untuk menonton serial one piece di handphoneku. Dia bilang iya nanti kalo aku sudah tidur, “lelah yang aku rasa gak ada apa-apa dibandingkan kamu yang mengandung selama sembilan bulan” sambungnya.
Karena belum ada tanda-tanda kontraksi, sekitar jam setengah tiga Mas Afif izin keluar ruangan untuk sholat dan beli-belian. Dia menawarkan aku untuk dibelikan sesuatu; susu stroberi, kebab dan novel jawab aku. Selama di luar ruangan ia terus menanyakan kondisiku melalui pesan Whatsapp dan bertanya apa boleh ia sekalian menunggu mahrib, nanti Mama akan masuk untuk menemaniku.
Sebab belum ada pembukaan terjadi, proses induksi kedua dilakukan dengan cara memasukkan pil kedalam jalur lahir. Pukul setengah tujuh malam, kontraksi mulai menjadi-jadi dengan interval waktu semakin dekat. Dan lagi, latihan pernafasan yang aku pelajari dari youtube cukup membantu. Pembukaan awal aku melakukan nafas relaksasi dengan mengambil nafas panjang kemudian dikeluarkan melalui hidung (masing-masing pada hitungan ke tujuh).
Disela-sela kontraksi yang terjadi aku mendengar erangan kesakitan dari ibu-ibu, mendengar suara tangisan bayi, suara instruksi ibu bidan menuntun lahiran. Suara-suara itu kian menyentuh dan terasa emosional. Dalam hati aku niatkan, setelah ini aku pun akan mendengarkan suara bayiku yang sehat. Ketika hamil tentu banyak ketakutan, bayi aku kurang ini-kurang itu-kelebihan ini-kelebihan itu.
Disela-sela kontraksi berhenti aku menyempatkan membaca novel Buya Hamka yang berjudul “di lembah kehidupan” yang tadi sore dibelikan oleh Mas Afif walaupun hanya dapat membaca dua bab, yang mana tiap-tiap bab berisi cerpen tentang kemalangan manusia. Tulisan Hamka kian memberi aku ketegaran bahwa tiap-tiap orang memiliki kemalangannya, maka tiap-tiap diri kita harus tegar dan bersyukur. Aku tabah, aku mengimani pasti Allah membantu hamba-hambanya yang berusaha, berharap dan berupaya.
Pukul setengah sembilan, kontraksi terjadi semakin sering. Mungkin jarak satu menit hilang-timbul. Kontraksi kali ini tidak hanya sakit dibagian perut tetapi serasa ada sesuatu yang ingin keluar di bokong (mirip-mirip rasa pingin pup tapi sakit). Sakit kian menjadi-jadi, teknik pernafasan rasanya tidak membantu mengurangi rasa sakit akan tetapi membantu aku menghemat energi dengan tidak mengeluarkan keluhan-keluhan suara. Selang beberapa ranjang disebelahku, terdengar juga erangan kesakitan dan terus-terus berucap “Ya Alloh.. Ya Alloh..” suaranya lirih, payah menahan sakit.
Mendengar suara pasien tersebut membuatku juga ingin berteriak. Mas Afif disampingku terus menayakan berapa sakit yang aku rasakan dari tingkat 1-10, 5? 6?,7? Tanyanya, aku hanya mengangguk menahan sakit. Mas Afif berulang-ulang mengatakan tidak apa-apa kalo tidak kuat, kita operasi sesar saja. Aku jawab, “engga mas, aku masih bisa”. Dia banyak melantunkan sholawat, mengelus punggungku, dan terus mengatakan kalo gakuat bilang ya. Aku bahkan tidak bisa melihat ekspresinya karena aku dianjurkan untuk rebahan miring ke arah kiri, dengan tangan kiri ditusuk infus dan selang oksigen dihidung.
Jam sembilan mungkin, rasa sakit kian tidak terbendung. Rasa mulas juga sudah diujung, aku sadar bahwa belum waktunya untuk mengejan akan tetapi menahan rasa untuk tidak mengejan begitu sulit. Aku pun merintih ke arah bidan bahwa rasanya sudah diujung, ada sesuatu yang mau keluar dari bawah. Sadar akan kemampuanku, aku merintih kearah Mas Afif mengatakan bahwa aku sudah tidak sanggup. Aku mau C-Section (lahiran secara Caesar) saja.
Pemeriksaan pembukaan harusnya dijadwalkan jam sebelas malam. Vagina memang tidak boleh terus-terus diperiksa oral karena bisa menimbulkan infeksi, tetapi Mas Afif kekeuh bidan untuk memeriksa karena aku sudah amat kesakitan. Ia pun menyampaikan bahwa kami ingin operasi saja. Dua bidan menghampiri ke ranjang, untuk memeriksa pembukaan. Ternyata sudah pembukaan delapan, padahal sekitar mahrib belum ada pembukaan sama sekali, sekitar jam tujuh baru pembukaan empat dan ketuban sudah mulai mengalir.
Bidan mengatakan untuk menunggu sebentar lagi karena sangat sayang apabila hampir pembukaan lengkap malah memilih untuk menjalankan operasi. Mendengar kalimat itu aku kembali membulatkan tekat untuk lahiran secara normal. Mas Afif kian khawatir dan menanyakan apa sanggup untuk menahan atau lanjut melalui operasi saja. Aku sudah membulatkan tekat, bahwa aku bisa lahiran secara normal.
Tak lama setelah itu, sakit sangat tidak terbendung dan aku berteriak kearah bidan “sudah diujung buuuuk”. Bidan datang, melakukan pemeriksaan ternyata sudah pembukaan lengkap. Pada posisi kedua kaki terbuka ke arah bidan aku bertanya “ini sudah boleh mengejan belum bu?”. “Iya-iya boleh, mengejan kalo sakit ya. Kalo tidak sakit boleh istirahat mengambil nafas” jawabnya dengan tenang seolah-olah prosesi lahiran adalah makanan sehari-harinya.
Ketika diperbolehkan mengejan, ada rasa sedikit lega karena tidak perlu menahan ejan lagi. Sambil mengingat teknik pernafasan, tarik nafas panjang, kencangkan otot perut dan dorong. Ibu bidan menegur, tekniknya udah bagus tapi ejannya kurang tepat, gigi harus bertemu gigi. Aku pun melaksanakannya, lebih setengah jam mengejan. Bidan meminta izin untuk sedikit menggunting jalur lahir supaya lebih mudah keluar dan robeknya lebih rapi, aku mengiyakan. Guntingan yang dilakukan bidan hanya terasa sedikit perih karena tertutup sakit rasanya mau melahirkan.
Jam 22.00 WIB, bayi lahir dan menangis. Ada perasaan lega tetapi belum tenang, plasenta belum keluar. Bidan butuh waktu lebih lama untuk mengeluarkan plasenta, ada dua bidan yang memasukkan tangannya ke dalam rahimku secara bergantian untuk mengupayakan pengeluaran plasenta. Sebab bidan yang pertama tidak berhasil mengeluarkan plasenta secara utuh. Meskipun anak telah lahir, Mas Afif masih tetap disampingku. Bayi dibersihkan dan diurus oleh bidan lainnya.
Proses pengambilan plasenta rupanya lebih menyakitkan, aku merintih “sudah bu.. sudah bu..” Mas Afif yang melihatku merintih kesakitan meminta bidan untuk mencarikan solusi yang lain tanpa harus menyakiti istrinya. Aku pun meminta untuk dibius saja, aku tidak sanggup. Bidan pun menyerah, menenangkan kami bahwa beliau-beliau pasti mengutamakan kesehatan pasien dan menelpon dokter SpOg untuk berkonsultasi penanganan selanjutnya.
Mas Afif dipanggil bidan untuk mengazankan anak kami, Ia pun meminta izin padaku untuk pergi sebentar. Hanya azan saja, kemudian ia kembali menemani aku, memegang tanganku, berkata-kata yang manis, bahkan aku tidak ingat apa saja yang ia katakan tetapi pada saat itu aku sangat amat bersyukur bersuamikan seseorang seperti dirinya.
-
Sekitar pukul dua belas, tidak tahu pukul berapa tepatnya, dokter anestesi masuk dan menyuntikkan sesuatu melalui cairan infus. Aku yang khawatir masih bertanya, “ini infus total kan dok?”, dokternya tersenyum dan menjawab iya. Setelah injeksi cairan itu, aku merasa mengantuk dan tertidur yang amat dalam. Rasanya tidak lama tertidur, aku terbangun dengan pandangan buram, ada sesuatu yang mengganjal di hidung sepertinya masker oksigen. Setengah sadar aku bertanya “bu, ini saya sudah apa belum ya?” “Bu, saya haus” “Bu suami saya mana”, “ini bisa dilepas gak” tetapi tidak ada satupun bidan yang menanggapi. Kemudian kembali aku tertidur, terbangun lagi pukul tiga dini hari. Rasanya pusing dan sedikit mual. Di ranjang ujung terdengar pasien yang muntah-muntah. Aku berbicara entah kepada bidan yang mana, hanya bilang kalo aku akan muntah. Aku diberikan kantong plastik, dan diminta untuk tidur saja supaya tidak pusing.
Kondisi menuju sadar, aku mendengar suara bayi menangis. Meskipun suara bayi menangis terdengar sama, aku yakin bahwa itu bayi aku. Bingung rasanya, tidak bisa tau apakah senang, terharu, lega atau bagaimana hanya bisa termenung sendiri. Aku meminta selimut pada bidan yang bertugas karena ruangan sangat dingin, padahal sore tadi masih terasa panas karena AC yang melekat pada dinding di samping ranjang yang aku gunakan error sehingga petugas AC beberapa kali datang membetulkannya.
Aku yang berupaya untuk tidur, masih mengharapkan Mas Afif datang untuk validasi perasaanku yang tidak menentu serta rasa lapar yang tiba-tiba menghampiri. Hampir subuh, akhirnya Mas Afif datang menemuiku. Dia menjelaskan selama proses kuret, tidak boleh di dampingi. “Aku menunggu di depan pintu, yang. Sampai boleh masuk lagi”. “Kamu mau minum teh lagi ta, tapi udah agak dingin. Mau makan roti?” Dia menawarkan ini dan itu sambil mengelus kepalaku.
“Dulu aku pernah bilang untuk punya anak 3 sampai 4 denganmu, aku tarik kembali ucapanku. Satu anak cukup, tidakpun tidak apa-apa. Selama kamu sehat dan bahagia, rasanya cukup untuk aku” kurang lebih begitu ucapnya padaku.
“Anaknya bagaimana?” Tanyaku
“Sejak mengazankan tadi malam, aku belum lihat lagi. Yang penting istri aku selamat dulu”. Tanggapnya.
-
Setelah subuh, Mas Afif dipanggil keluar oleh bidan untuk menandatangani dokumen. Setelah itu aku disiapkan untuk pindah ruangan, sebelumnya kami meminta untuk diberikan ruangan VIP. Ternyata untuk ruangan pasca bersalin hanya ada ruang kelas I, II dan III saja. Sehingga aku dipindahkan keruangan kelas I yang diperuntukkan dua pasien, dengan satu kamar mandi di dalamnya.
Aku yang berjam-jam rebahan di ranjang besi, dipindahkan menggunakan kursi roda. Ketika duduk di ujung ranjang dan bersiap untuk pindah duduk di kursi roda, seketika itu pula rasanya darah turun dari kepala menuju kaki. Rasanya lemas, kepala pun pusing, aku ditanyai Mama mertua yang khawatir. Bidan menjelaskan bahwa tidak apa-apa, ini hanya efek bius.
Aku duduk dikursi roda yang didorong oleh bidan menuju ruangan pasca bersalin, berjalan di depanku ada bidan satunya menggendong bayi, kemudian diikuti oleh Mas Afif dan Mama yang membawa barang-barang. Mama sudah geregetan ingin menimang cucunya, di satu sisi Mas Afif sama sekali tidak terfokus ke anaknya hanya melihatku dengan pandangan khawatir.
Di ruangan pasca bersalin, aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku melihat suamiku dengan kasihan, dia mesti khawatir dan lelah menunggu aku semalaman. Tetapi Mas Afif tetap bisa bercanda menenangkanku, kemudian bercerita mengenai kemalangan ibu-ibu hamil yang masuk keruangan tindakan bersamaan denganku; ada yang anaknya meninggal dalam kandungan, bahkan ini kehamilan kedua yang meninggal dalam kandungan, Mas Afif bercerita bagaimana suaminya yang sama menunggu di depan terlihat memaksakan diri untuk tegar dan ikhlas. Ada pula cerita Mas Afif bahwa Ibu hamil yang tadi berbarengan kontraksi dan pembukaannya denganku akhirnya melakukan operasi sesar meskipun ukuran bayinya lebih kecil.
Cerita-cerita itu dan bacaan cerpen dari Buya Hamka yang dibaca tadi sore sebelum melahirkan, membuat aku tambah bersyukur betapa kemujuran dan keberuntungan datang menemuiku setiap waktu. Aku bersyukur bisa melahirkan secara normal, aku bersyukur hanya perlu menjalankan induksi hanya dalam dua tahap, aku bersyukur bayiku sehat dan selamat, aku bersyukur punya Mama dan Bapak mertua yang sangat support, aku bersyukur dapat fasilitas dan kemudahan di RSUD, dan yang terpenting aku sangat bersyukur bersuamikan seseorang seperti Mas Afif. Seseorang yang penuh kasih dan sayang, orang yang bertanggung jawab, orang yang bijak dan mau belajar terus. Seseorang yang begitu sabar karena beristrikan orang sepertiku yang kadang kala keras, sering memaksakan kehendak.
Tulisan ini aku peruntukkan kepada suamiku, terimakasih atas kebaikannya selama aku hamil dan melahirkan. Semoga kita bisa sama-sama sabar dan terus bertumbuh bersama anak kita.
-
Kepada pasangan-pasangan di luar sana yang sedang berjuang, yang sedang bergembira maupun yang sedang bersedih. Ketahuilah kekuatan utama dalam membina rumah tangga adalah kebersamaan dan terpeliharanya rasa senasib-seperjuangan. Sedikit mengutip petuah dari Buya Hamka.
“Sebab walau bagaimanapun kecilnya pencaharian di dunia ini, asal suami sejalan dengan istri, sakit sama-sama ditanggung, sukar sama-sama ditempuh dan beruntung sama-sama tertawa maka segala kesukaran tentu akan hilang dengan sendirinya” (Hamka, 2017; 20)
0 notes
arjeltalk · 3 years
Text
Refleksi 2020
Mengulas balik kisah-kisah yang terjadi selama tahun 2020. Tahun ini merupakan tahun yang unik, bagi yang mampu mengambil pelajaran dari semua intrik yang terjadi maka akan menyisahkan kisah-kisah yang menarik. Namun bagi mereka yang tak pandai mencari celah dan pelajaran maka hanya menyisahkan tahun yang pelik.
Aku akui bahwa tahun ini menyisahkan beberapa hal yang entahlah, sulit untuk dideskripsikan. Di awal tahun 2020, aku merasakan pengalaman pertama patah hati huahaha. Ternyata patah hati itu ngga enak loh saudara. Sebelum merasakannya sendiri, aku sering “ngenyek” teman-teman yang lemah karena persoalan cinta. Setelah merasakannya waduh mantap sekali. Disamperin ke Jakarta, terus diputusin didepan kantor di waktu office hour menjadi pengalaman yang tidak mau aku lupakan.
Di tahun yang sama, aku di diagnosa mengidap hipertiroid. Untungnya karena aku cepat tanggap dan tangkas alias nyadar diri kalo there is something wrong with my body. Jadi treatment untuk penyembuhan sebatas minum obat enam butir setiap hari selama dua tahun. Inshaallah gak butuh operasi atau terapi radiasi ntah apalah itu namanya, hanya perlu diambil sampel darahnya aja setiap bulan.
Btw patah hatinya dua kali loh tahun ini, dengan orang yang sama :p Ibarat kata balikan sama mantan itu sama halnya dengan membaca buku yang sama, udah ketebak endingnya. Dengan bodo dan bangganya tetap aku jalani dah tuh hubungan yang asdfghjlklk wkwk.
Tapi jangan dilihat dari satu sisi aja ya, koin aja punya dua sisi, kubus malah punya enam sisi kan. Punya hubungan yang fluktuatif malah menyenangkan lo, aku jadi merasakan berbagai macam perasaan dan emosi di antaranya; sedih, bahagia, kaget, senang, ketawa, ngakak dan lain-lain. Sampai nonton drakor serasa ga menarik karena persoalan cinta sendiri udah se-drama itu.
Alhamdulilah semakin kesini hubungan percintaan semakin baik, udah ngantongin restu juga dari Mama Bapaknya, mba-mba yang lain bisa apa?:p Dari hubungan kek tai ini aku belajar bahwa gak peduli seberapa lama adanya hubungan, yang terpenting adalah siapa yang tidak pernah meninggalkan dan bertahan hingga akhir. Kalo katanya Kahlil Gibran itu “.. adalah keliru mengira cinta berasal dari lamanya persahabatan dan gigihnya masa pendekatan. Cinta adalah hasil dari kekuatan tarik-menarik spiritual” Bagian tarik-menarik spiritual, mungkin bakal tak bahas pada tulisan lainnya aja ya.
Dari patah hati tahun ini aku belajar mencintai diri sendiri dan belajar menghargai perasaan orang lain karena dunia tidak berputar untuk aku seorang. Dan aku harus berbahagia, bukan karena segala sesuatu baik, melainkan karena sudah mampu melihat hal baik dari segala sesuatu.
Tahun ini aku bisa berkelana non-stop kurang lebih dua minggu, Jakarta – Surabaya – Madura – Surabaya – Mojokerto – Surabaya – Jakarta – Serang – Jakarta – Banyuwangi – Situbondo – Banyuwangi – Jakarta. Maka Tahun 2021 aku harus bisa berkelana lebih dari ini, minimal bisa mendaki bukit yang lebih tinggi dari gunung pundak 1585 mdpl.
Akhir 2020, ditutup dengan abangku kecelakaan yang merobekkan wajah sebelah kiri dan harus dioperasi. Aku nangis dong tapi gatau mau ngomong apa, Cuma bisa nelfon ibuku beberapa kali menanyakan perkembangan operasinya. Semoga abangku cepat sembuh dan ganteng lagi.
Itulah sebagian kecil cerita tentang 2020-ku, masih banyak sebenarnya tapi biarlah jadi kenangan manis dan pahit untuk dikenang sendiri saja hehe. Semoga 2021 ini kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi, lebih bahagia lagi, menjadi orang yang lebih pengasih dan penyayang, lebih produktif menghasilkan karya-karya, semoga 2021 ga nolep lagi, semoga semua terus diberi kesehatan. Semoga pandemic segera berakhir (aku udah swab hampir lima kali tahun ini), semoga kita dijauhkan dari perasaan iri dengki, Semangat untuk terus belajarrrrr!!!!
0 notes
arjeltalk · 5 years
Photo
Tumblr media
Modal dekstop touch screen, 5 min jadi hehe
0 notes
arjeltalk · 2 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Hi, here are some of my creations this year. Actually there are many else, such as banners, x-banners and so on, but hopefully some of these photos are representative enough. I'm not a professional designer, and I'm still trying to develop my skills :) hope you enjoy it
0 notes
arjeltalk · 3 years
Quote
“Sebagaimana aku tau caranya mencintai seseorang dalam diam. Aku juga pasti bisa membenci orang dalam diam, tanpa harus melukai siapa-siapa, tanpa harus mengajak orang lain untuk turut membenci. Semoga dalam diam itu, rasa benci kian terkubur dan memaafkan. Sebab, benci hanyalah kerugian bagi diri sendiri”
Arjeltalk
0 notes