Tumgik
#UgiSusgiarto
manisasamrelawan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Semangat Literasi di Tanah Cengkeh
Perjalanan pertamaku ke Indonesia Timur adalah menjadi relawan pendidikan di sebuah daerah pelosok timur Indonesia yang mana menjadi salah satu impian banyak akademisi yang ingin aktif berkontribusi untuk masyarakat. Diakomodir oleh jejaring gerakan literasi, Niskala Senja dan Melihat Ke Timur, dan beberapa teman donatur, saya berkesempatan pergi dari Cirebon - Jawa Barat menuju Ambon - Maluku, untuk mengajar Bahasa Inggris di sebuah kampung kecil di pesisir timur Pulau Seram, tepatnya Negeri Administratif Keta Kabupaten Seram Bagian Timur.
Perjalanan dari Ambon menuju Keta  memakan waktu lebih dari 20 jam via laut dan darat, setelah kurang lebih 3 jam menyebrang menggunakan ferry ke pulau Seram, perjalanan dilanjutkan via darat menggunakan mobil rental. Perjalanan darat sepanjang pulau seram ini hampir seluruhnya melintasi hutan dan sesekali melewati beberapa kampung. Bentuk bangunan dan kondisi jalan disana  mengingatkan saya pada kondisi kampung saya semasa kecil. Tak terlalu ramai, suara serangga dan burung masih jelas terdengar.  Juga di Negeri Keta, suara daun kelapa tertiup angin, ombak dan gaduh anak-anak bermain masih menjadi sesuatu yang kontras bagi wajah kampung ini.
Di Keta, hampir setiap rumah memiliki pohon cengkeh di kebunnya sedikitnya 20 pohon karena cengkeh adalah komoditi utama di pulau Seram. Disana memiliki dua kali musim cengkeh yaitu setahun sekali musim panen kecil dan dua tahun sekali musim panen raya –sebagian menyebutnya panen besar– yang semuanya  berlangsung selama sekitar 2-3 bulan setiap musimnya. Animo saat musimnya sendiri akan menyita sepenuhnya manusia disana, dari anak-anak hingga dewasa semua turut serta memanen. Begitupun remaja disana yang sedang dalam perantuan kuliahnya akan pulang ketika mendapat jadwal libur meskipun hanya satu minggu. Sedangkan anak-anak sekolah dasar hingga menengah akan diijinkan oleh orang tuanya untuk tidak pergi ke sekolah manakala ingin turut serta dalam panen raya tersebut. Bahkan sebagian orang tua disana menyuruh anak-anaknya, seumuran tingkat Sekolah Dasar sekalipun, untuk membantu panen. Bukan sampai disitu, pun guru-guru disana memaklumi ketika beberapa siswanya abstain sekolah sesekali hanya untuk turut ambil bagian panen raya.
Setiap anak-anak akan mengambil hasil petik cengkeh yang jatuh di tanah kemudian mengumpulkannya sehari penuh dan anak-anak bisa menjualnya dengan mendapat lima puluh ribu sampai seratus ribu setiap harinya dan jika melakukan penjemuran terlebih dahulu selama satu minggu hingga cengkeh menjadi kering, cengkeh kering tersebut akan membuat harganya bertambah. Sehingga seusai musim panen raya berakhir, anak-anak keta akan punya tabungan sekitar 2-4 juta. Sedangkan tiap orang tua akan mendapat hasil yang bervariasi dari 20-60 juta. Tabungan tersebut kebanyakan akan menjadi biaya hidup mereka dalam 2 tahun kedepan sampai panen raya tiba lagi musimnya. Bagi mereka cengkeh merupakan tabungan jangka panjang dan menjadi satu-satunya penghasilan bagi orang-orang di Keta. Biasanya mereka pergunakan untuk hal-hal penting seperti membangun rumah, membiayai anaknya sekolah, kuliah, dan hajat menikah. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, orang Keta membuat sagu dan mencari ikan di laut. Namun di Keta memancing ikan hanya untuk kebutuhan makan di rumah, tidak seperti di sebagian kampung lainnya yang memancing untuk di jual ke kampung di sekitarnya.
Pendidikan
20 bulan lamanya menunggu musim panen raya itu tiba, anak-anak dan remaja di Keta mengisinya dengan kegiatan literasi. Di Keta belum memiliki sekolah formal, sedangkan Sekolah Dasar terdekat berada di kampung sebelah, sementara SMP dan SMA ditempuh dengan jalan kaki sejauh 2,6 kilometer dan hanya terdapat kelas mengaji di rumah guru mengaji lokal. Media informasi yang sudah menyentuh Keta adalah televisi yang bisa mereka tonton di saat malam hari karena listrik hanya tersedia 12 jam, antara pukul 18.00 sampai pukul 06.00, itupun sering terjadi pemadaman listrik di malam hari satu kali dalam seminggu. Layanan internet sudah tersedia di sekolah menengah yang bisa diakses saat listrik menyala, tentunya. Dengan jarak sekolah menengah yang cukup jauh dari Keta, anak-anak otomatis tidak dapat menikmati layanan internet itu sebagai salah satu sumber mencari informasi. Keadaan-keadaan tersebut yang melatari permuda Keta menginisiasi sebuah rumah baca di kampungnya dengan nama Taman Baca Keta sehingga ada sumber informasi yang bisa diakses oleh masyarakat. Taman baca ini berdiri di awal tahun 2017. Pada awalnya rumah kepala desa dijadikan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar. Sampai pada akhir tahun 2017, masyarakat Keta bahu-membahu mewujudkan bangunan Taman Baca Keta. Sejauh ini, satu-satunya kegiatan pendidikan yang cukup berdampak adalah kegiatan belajar mengajar di Taman Baca Keta. Beberapa relawan pengajar dari berbagai daerah sempat berbagi di taman baca ini, tak terkecuali saya yang mengajarkan bahasa Inggris selama kurun waktu dua bulan.
Belajar bahasa Inggris dirasa mereka belumlah menjadi sesuatu yang dibutuhkan, dimana seharusnya yang menjadi perhatian lebih adalah kebutuhan infrastruktur dan akes-akses lainnya untuk menopang kegiatan belajar. Apalagi dalam tenggat dua bulan tidaklah cukup bagi mereka untuk dapat menguasai bahasa Inggris. Namun mereka menyambut baik kedatangan setiap relawan pengajar di bidang apapun, apalagi dengan metode-metode yang saya terapkan dianggap berguna untuk memahami pelajaran lainnya. Semangat belajar mereka dilatari oleh pengalaman mereka memanen cengkeh. Dimana ketika panen tiba mereka memetik cengkeh satu persatu dengan telaten dan mengumpulkannya, kemudian memisahkan tanggkai buah untuk diambil ujungnya. Selanjutnya, cengkeh yang sudah diambil ujungnya pun harus dijemur selama berhari-hari sampai dapat menuai hasilnya. Seperti itulah mereka memaknai belajar bersama relawan-relawan pengajar yang datang di kampungnya, membutuhkan proses panjang, selangkah demi selangkah. Banyak atau sedikitnya informasi akan mereka terima. Lama atau sebentarnya kegiatan tetap akan dilakukan.
 Tantangan
Pada mulanya di Taman Baca Keta ada 2 kali waktu belajar yang dilakukan para mentor Taman Baca Keta, yaitu di siang hari sepulang sekolah dan di malam hari sepulang ibadah sholat Isya. Dengan kedatangan saya untuk mengajarkan bahasa Inggris, saya menambahkannya menjadi 4 kali waktu belajar. Melatih para mentor setingkat mahasiswa dan pemuda di pagi hari. Sedangkan mentor setingkat sekolah menengah di siang hari dan malam hari, serta kegiatan belajar untuk anak-anak sekolah dasar sepulang mereka sekolah. Antusias belajar bahasa Inggris awalnya cukup tinggi. Hal itu tak terlepas dari dorongan para orang tua disana yang sangat besar terhadap anak-anaknya untuk belajar di taman baca. Kemudian di bulan berikutnya tiba musim durian dan musim kelereng. Anak-anak tingkat sekolah dasar dan SMP menjadi sering bermain kelereng dan pergi ke hutan untuk mencari durian jatuh. Pada musim tersebut, para pengurus taman baca cukup kewalahan karena harus mendatangi dan menjemput mereka satu persatu untuk mengajak belajar ke taman baca. Sampai ketika pengurus-pengurus taman baca tidak lagi menjemput anak-anak untuk pergi belajar. Karna hal tersebut, terpaksa kegiatan belajar mengajar dihentikan sementara untuk anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Bahkan pada saat itu, para mentor tidak bersemangat untuk belajar bahasa Inggris. Di titik tersebut saya sempat kecewa kenapa kedatangan saya tidak dimaksimalkan untuk belajar mereka setelah datang jauh-jauh dari Jawa. Namun pada akhirnya memang setiap relawan semestinya memaksimalkan potensi diri sekecil apapun ketika berada di tengah wilayah kerjanya untuk tidak merasa membenahi sebuah daerah dan tidak membentuk suatu hal untuk mengikuti tolak ukur relawan pribadi. Apa yang sudah terbentuk di suatu tempat tidak sepenuhnya mempunyai nilai buruk jika melihat itu dengan sudut pandang mereka.
Selain musim panen raya, musim durian juga cukup menyita waktu dan perhatian penduduk.. Jika cengkeh adalah penghasilan utama, maka musim durian adalah tentang bersenang-senang sambil menikmati rasa. Kalau musimnya tiba, sekitar 15 hari pemuda dan anak-anak akan sibuk ke hutan untuk menunggu durian jatuh atau memetik durian mentah. Ketika malamnya, bapak-bapak dan anak yang sudah cukup besar menginap di hutan demi menuruti permintaan anak dan adiknya yang ingin memakan buah yang lezat itu. Saat tiba-tiba angin kencang disertai hujan, semua masyarakat sibuk bergegas masuk ke dalam hutan karna pada saat cuaca seperti itu banyak durian yang jatuh. Melihat kegembiraan dan keriangan penduduk merayakan antusias musim durian, tentu suatu kesalahan jika saya melarang anak-anak abstain dalam kelas bahasa Inggris di taman baca. akhirnya saya memutuskan ikut dalam keseruan pergi ke hutan untuk mencari durian. Biasanya setelah menyantap durian sambil menunggu durian lain jatuh, remaja dan anak anak hanya duduk-duduk saja, sehingga, tak masalah, jika saya mencoba menambah keseruannya dengan bermain kosakata bahasa Inggris di hutan dan mengajarkan kalimat-kalimat percakapan singkat dalam bahasa Inggris, tentu dengan tema yang berkaitan dengan kegiatan mereka di hutan. Sehingga selain kebiasaan mereka berinteraksi dengan alam sekitar tetap terjaga mereka pun dapat belajar dan menambah wawasan sekaligus, tentunya.
Tidak jauh berbeda dengan musim durian jatuh, musim kelereng juga menjadi tantangan tersendiri dalam mengajak anak-anak sekolah dasar belajar bahasa Inggris. Karna biasanya anak-anak akan lebih menghabiskan banyak waktu untuk bermain daripada belajar. Tetapi musim durian memberi saya pengalaman bermanfaat dalam menyiasati masalah seperti itu. Terlebih hal-hal seperti itu memang tidak bisa saya cegah ataupun saya larang, Yang bisa saya upayakan adalah mencoba mengikuti kegiatan mereka sambil tetap memotivasi dari dekat, agar anak-anak tidak sepenuhnya melupakan pentingnya belajar ketika bermain. Akhirnya saya pun ikut bermain, entah itu bermain kelereng, memancing ikan, berenang di laut atau permainan lainnya yang membuat saya menjadi sangat dekat dengan mereka. Bermain dan belajar menjadi sangat-sangat penting bukan hanya untuk anak anak disana, tapi juga penting bagi saya pribadi sebagai relawan. Setidaknya tawa anak anak dan warga menjadi penghibur tersendiri bagi saya yang jauh dari rumah. Tidak sebagai seorang yang penuh dengan ilmu yang kadang menjadi arogan dan merasa paling penting karna mengenyam secuil kemajuan di kampung halaman. Tetepi menjadi bagian dari keta seutuhnya, dalam semangat, cinta dan persaudaraan. Dangke Keta.
Ditulis oleh: Ugi Sugiarto
Editor Oleh: Rara Gumilang - Niskala Senja
4 notes · View notes