Tumgik
#Staatsregeling
rcvandenboogaard · 23 days
Text
Het lege land van de overschatte koning
De historicus Auke van der Woud (Sneek, 1947) is geen bewonderaar van koning Willem I. Zoveel is duidelijk na lezing van ‘Het lege land, 1800-1850’, de in 2022 verschenen bewerking van zijn al uit 1987 daterende, sedertdien vaak herdrukte dissertatie, die aanvankelijk ‘Het lege land, de ruimtelijke orde van Nederland 1798-1848’ heette. Dat het boek er was, was mij tot voor kort ontgaan, maar…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
ayojalanterus · 3 years
Text
7 Tahun dalam Gelap Demokrasi: Dicari, Boneka Oligarki Jilid Dua....
 KONTENISLAM.COM - OLEH: ARIEF GUNAWAN HUKUM Tata Negara Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) yang ditentang oleh para tokoh kemerdekaan negeri ini masih membolehkan penduduk memilih pemimpin sendiri, meskipun berdasarkan adat. Di sejumlah wilayah Nusantara waktu itu Hak Swapraja diberikan. Undang-undang negara hanya dapat berlaku kalau sejalan dengan Hak Swapraja.   Hak Swapraja (Zelfbestuur) adalah daerah atau wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh bumiputera dalam urusan administrasi, hukum, dan budaya internal. Diatur di dalam Indische Staatsregeling yang berlaku sejak 1926. Berdasarkan adat penduduk memiliki hukum dan peradilan sendiri dalam memilih pemimpin. Sehingga di Wajo, Sulawesi Selatan, misalnya, orang berkata: Raja Kami Adalah Adat Esensinya, ratusan tahun yang lalu nenek moyang orang Indonesia sudah mengajarkan demokrasi dalam memilih pemimpin melalui nilai-nilai kearifan lokal. Karapatan Adat Nagari di Tanah Minang menetapkan standar moral bagi pemimpin, sehingga berlaku ungkapan: “Raja Alim Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah”. Di Barat monarki absolut berbagi kekuasaan dengan rakyat, sehingga lahirlah Magna Charta yang membatasi kekuasaan raja dan memberikan hak kepada rakyat untuk bersuara. Di era pergerakan kemerdekaan pemimpin negeri ini umumnya hidup dalam mission sacre, semacam kewajiban suci  yang mengedepankan etika dan moral dalam memimpin. Karakter mereka umumnya tidak dirusak oleh financial capital yang menyuburkan korupsi, nepotisme, suap dan sogokan, seperti sekarang. Mereka mampu memimpin dengan tidak berpura-pura merakyat. Sehingga  Sukarno misalnya mampu menghasilkan konsepsi Marhaenisme karena kedekatan dengan rakyat. Tan Malaka menulis Madilog karena penghayatan terhadap nasib bangsa. Sutan Sjahrir menulis Indonesische  Overpeinzingen (Renungan Indonesia). Tjokroaminoto menjadi simbolisme Ratu Adil, tumpuan perubahan ... Esensinya, mereka umumnya menjadikan kepemimpinan sebagai pengabdian, yang dengan sadar menempuh Via Dolorosa (Jalan Penderitaan). Yang dalam ungkapan Belanda dikatakan: "Leiden Is Lijden". Memimpin Adalah Menderita ... Era pemimpin pura-pura merakyat seperti yang terjadi saat ini harus segera diakhiri. Kemunduran demokrasi yang terjadi sejak 7 tahun terakhir telah mendorong bangsa ini ke jurang kegelapan. Menyeret rakyat ke dalam lorong suram tanpa harapan. Karena mekanisme memilih pemimpinnya ditentukan oleh oligarki. Dalam catatan tokoh nasional Dr Rizal Ramli, sejak kemerdekaan Indonesia belum pernah oligarki sangat berkuasa seperti di  era Jokowi sekarang. Hal ini tidak terjadi pada masa Presiden Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Di masa itu, menurut Rizal Ramli, oligarki hanya berpengaruh dalam bidang ekonomi. Mereka memang bisa melobi, tetapi tidak bisa mengatur-atur kebijakan negara seperti saat ini. Bagi oligarki sebenarnya keuntungan finansial dari sebuah proyek adalah relatif kecil bila dibandingkan dengan keuntungan mengubah-ubah kebijakan. Bagi mereka hal ini sangat lebih besar keuntungannya. Misalnya perpanjangan konsesi pertambangan 20 tahun, dari UU Minerba di Omnibus Law bernilai ratusan miliar dolar, penghapusan royalti batubara lebih 60 trillun, kerugian kesejahteraan buruh di UU Omnibus, dan sebagainya. Oligarki berhasil memperkaya diri puluhan kali jika yang berkuasa dapat mereka atur. Apalagi didukung sistem otoriter dan UU ITE, karena kritik terhadap kebijakan bisa diredam. Itulah sebabnya mengapa saat ini oligarki sibuk mempromosikan calon “boneka baru”, seperti Ganjar Pranowo dengan menyewa pollsterRp, influenserRp dan buzzerRp, termasuk kampanye media dan membangun persepsi palsu. “Oligarki saat ini sedang mencari calon boneka yang pas untuk melanjutkan kebijakan pro Beijing,” tandas Rizal Ramli. (Penulis adalah pemerhati sejarah)
from Konten Islam https://ift.tt/30Ccc2V via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/10/7-tahun-dalam-gelap-demokrasi-dicari.html
0 notes
Text
zorgverzekering Berekenen 2019
Er zijn enkele rechtsregels die elke burger moet volgen. De verantwoordelijke burger volgt altijd de staatsregels en betaalt ook belasting over tijden.
Iedereen moet de staat helpen door belasting te betalen en op de juiste manier in het land te leven volgens regels en wetgeving. Elke staat biedt veel faciliteiten aan zijn verantwoordelijke burger.
Ze zorgen voor hun omgeving, ze zorgen voor hun veiligheid en zorgen voor een natuurlijke en gezonde levensstijl.
In Nederland geeft de overheid de faciliteiten aan hun stad om de beste behandeling van ziekenhuizen te krijgen, zodat hun burger nooit ergens heen kan voor behandeling. Bijvoorbeeld, als iemand ziek is, bieden ze je ziekenhuis voor een betere behandeling.
Maar de belangrijkste vraag is hier te stijgen: hoe een burger een dure behandeling betaalt. Welnu, de Nederlandse overheid maakt een rechtsstaat voor hun burger om een ​​zorgverzekering Berekenen 2019 beleid te kopen.
Dit zal hen helpen hun medische rekeningen te betalen. De medische verzekering dekt de rekening van hun betalingen. Het is net als je investering als je gezond bent en het zal je baat geven bij je behandeling als je ongezond bent.
U moet betalen voor het pakket dat u hebt geabonneerd. Wij zijn erg blij dat we onze nationale zorgverzekering kiezen 2019 om u een grote verscheidenheid aan verzekeringspolissen te bieden die echt werken voor mensen van Nederland.
Deze bedrijven werken voor zorgverzekering overstappen 2019 en bieden een stop waar ze daar analyseren wat nodig is. zorgverzekering vergelijken 2019-beleid is de beste manier om zorgverzekeringen uit de weg te ruimen en het beste product te krijgen.
Er is meer voor de verzekeringspolissen dan een tool voor een zorgverzekering vergelijker 2019, waarin u uw behoefte en veel bedrijven naar voren brengt.
0 notes
kikotapasando · 6 years
Text
Betreft: verzoek voor een parlementaire enquête met betrekking tot alle kosten voor de bouw en ingebruikneming van een nieuw ziekenhuis, bekend als het HNO, volgens art. 59 Staatsregeling en art. 110 RvO
Betreft: verzoek voor een parlementaire enquête met betrekking tot alle kosten voor de bouw en ingebruikneming van een nieuw ziekenhuis, bekend als het HNO, volgens art. 59 Staatsregeling en art. 110 RvO
Willemstad, 6 oktober 2018
  Aan de voorzitter van de Staten
De heer W. Millerson
Wilhelminaplein z/n
Alhier
  Betreft: verzoek voor een parlementaire enquête met betrekking tot alle kosten voor de bouw en ingebruikneming van een nieuw ziekenhuis, bekend als het HNO, volgens art. 59 Staatsregeling en art. 110 RvO
Geachte voorzitter,
Namen de fracties Movementu Futuro Korsou (MFK), Kòrsou di Nos…
View On WordPress
0 notes
raihudiana · 7 years
Text
Penjajah Pergi Meninggalkan Hukum
Tumblr media
Penjajahan yang dilakukan Bangsa Belanda membuat dampak yang begitu besar bagi Indonesia. Meskipun Indonesia telah merdeka sejak 72 tahun yang lalu, namun sisa-sisa peninggalan negeri dengan sejuta kincir angin itu masih tersisa hingga hari ini. Peninggalan baik berupa hal yang dapat dilihat secara kasat mata seperti sisa-sisa bangunan tempo dulu hingga aturan hukum yang tampaknya tak dirasakan secara nyata pun menjadi warisan bangsa belanda.
Peninggalan berupa aturan hukum dari bangsa penjajah kepada bangsa yang dijajah menjadi suatu hal yang lumrah terjadi. Sebut saja ketentuan hukum perdata Prancis yang disusun berdasarkan hukum Romawi ‘Corpus Juris Civilis’. Pada waktu itu aturan tersebut dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Dari ketentuan tersebut Napoleon Bonaparte membuat kodifikasi hukum yang bernama ‘Code civil’.
Karena Belanda dijajah Prancis, maka Belanda pun menerapkan ketentuan hukum Prancis di negaranya. Seiring perkembangan kondisi masyarakat Belanda dan kemampuan untuk menyusun kitab undang-undang hukum sendiri, pada tahun 1830 Belanda berhasil membentuk dua kodifikasi hukum, yaitu Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
Di Indonesia, meskipun tak semua masyarakat tahu apa kepanjangan KUHP, namun Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ini seringkali disebutkan di media masa sebagai dasar hukum atas pemidanaan seseorang. KUHP atau dalam bahasa Belanda disebut Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie merupakan sumber hukum yang dibuat oleh pemerintah penjajahan belanda yang masih berlaku hingga saat ini.
Sebagai bangsa yang merdeka dan menjunjung budaya timur yang relijius, beberapa ketentuan dalam KUHP bisa dikatakan sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Ketentuan mengenai kejahatan kesusilaan yang terdapat di Pasal 284, 285, dan 292 KUHP tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Pasangan yang melakukan hubungan badan menurut ketentuan itu tidak dikatakan berzina selama salah satu dari keduanya atau dua-duanya belum memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain. Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan apa definisi kesusilaan menurut hukum agama dan adat yang ada.
Selain KUHP, terdapat pula aturan hukum sisa peninggalan penjajahan yang masih diterapkan, yaitu aturan mengenai ketentuan hukum pencatatan kelahiran yang termuat di dalam akta kelahiran. Pencatatan kelahiran di Indonesia masih menggunakan ordonansi yang merupakan aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan. Dalam ordonansi itu penduduk digolongkan berdasarkan golongan etnis mereka. Penggolongan penduduk itu mengasumsikan adanya perbedaan status sipil di antara beberapa golongan penduduk[1].
Peraturan yang pernah ada memberikan kontribusi atas pencatatan kelahiran di Indonesia. Aturan ini menggunakan penggolongan berdasarkan golongan penduduk tertentu karena mengasumsikan perbedaan status sipil di antara beberapa golongan penduduk berdasarkan Indische Staatsregeling. Penduduk dikelompokkan dalam 4 golongan yaitu Eropa (Staatsblad tahun 1849 Nomor 25), Tionghoa (Staatsblad 1917 Nomor 130 jo. Staatsblad 1919 Nomor 81), Pribumi asli di Jawa dan Madura (Staatsblad 1920 Nomor 751 jo. Staatsblad 1927 Nomor 564), dan Pribumi Nasrani Jawa, Madura, Ambon, Saparua, dan Banda tanpa pulau-pulau Teun, Nila dan Serua (Staatsblad 1933 Nomor 75 jo. Staatsblad 1936 Nomor 607)[2]. Keempat Ordonansi itu masih berlaku sebagai dasar hukum bagi pencatatan kelahiran dengan beberapa amandemen setelah proklamasi[3].
Dari itu semua dapat kita simpulkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya sanggup untuk mengubah aturan hukum yang ada. Padahal jika kita melihat pada kebutuhan, aturan-aturan ini sudah seharusnya diganti dengan aturan baru yang dapat menyesuaikan kondisi masyarakat Indonesia. Namun selain karena prosesnya yang lama, juga karena dalam pembentukannya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Konflik kepentingan juga nampaknya menjadi batu pengganjal adanya reformasi hukum bagi Indonesia. Padahal jika berkaca pada Belanda, warisan aturan dari negeri kincir angin tersebut justru sudah tidak diterapkan lagi di negara asalnya.
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
MUI: Moral Hakim Tentukan Vonis Terhadap Ahok
MUI: Moral Hakim Tentukan Vonis Terhadap Ahok
Harianpublik.com – Anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, Abdul Chair Ramadhan mengatakan peranan moral hakim sangat menentukan dalam memutus kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), secara adil.
“Apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti mengandung kebaikan. Kebaikan adalah satu haluan dengan keadilan. Konkretisasi hukum dalam putusan Hakim identik dengan moral dalam mewujudkan keadilan,” ujarnya, Senin (8/5).
Menurutnya Majelis Hakim harus berani menerobos paradigma positivistik,(berpandangan aspek moral tidak diperhitungkan dalam hukum, red). Yakni hukum dengan menggunakan metode penafsiran yang lebih holistik (menyeluruh) dan filosofis. “Intinya hakim harus membuka dirinya dalam menghadapi kebuntuan teks-teks hukum,” katanya.
Pada perkara Ahok, jelas Abdul Chair, kebuntuan yang terjadi adalah sengaja telah disiasati. Diakui memang ada kebuntuan karena ketidakjelasan teks dalam rumusan pasal. Teks dimaksud antara lain menyangkut perihal niat pada penjelasan Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965. Perihal niat menurut Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan oleh penasehat hukum Ahok harus dibuktikan.
Disini Hakim harus mengedepankan keadilan hukum yang tidak lagi semata-mata harus identik dengan teks pasal suatu undang-undang.  Bahkan menurut pendapat banyak ahli ternama (Hazewinkel Suringa,  Simons, van Hamel, Zeverbegen, termasuk Vos), mengatakan niat adalah identik dengan kesengajaan.
Walaupun ada yang membedakan antara niat dan kesengajaan, namun ada kesepakatan jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat telah berubah menjadi kesengajaan.
Perlu dipahami bahwa niat dalam KUHP dimasukkan dalam unsur percobaan sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 54. Jadi bukan pada delik yang sudah selesai in casu perkara Ahol.”Dengan demikian, perihal niat tidak perlu dibuktikan, cukup kesengajaan saja,” ujarnya.
Selama ini, menurutnya, yang selalu didalilkan oleh penasehat hukum Ahok, bahwa pengertian golongan yang dimaksudkan pada Pasal 156 KUHP tidak termasuk golongan penduduk yang berdasarkan agama juga harus ditolak oleh Majelis Hakim.
Ia menilai pendapat demikian bermuatan paham positivistik. Pembagian golongan penduduk dimasa kolonial memang mengacu kepada Pasal 163 Jo Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yakni Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Bumi Putera dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan. “Penggolongan penduduk tersebut pasca Indonesia merdeka tidak berlaku lagi,” tegasnya.
Sebab, ketentuan penggolongan penduduk dimasa kolonial bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terlebih lagi saat ini kita sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Maka menyikapi akan diputuskannya perkara BTP, tentu publik harus dapat menerima apapun putusan Majelis Hakim, dengan catatan sebagai sebuah kenyataan (sein). Namun hukum yang tidak adil bukanlah sekedar hukum. Masyarakat akan menilai apakah keadilan dan hukum itu dapat dipertemukan atau sebaliknya.
Sumber : Source link
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Advocat Muslim Harap Hakim Punya Pandangan Progresif Memutus Kasus Ahok
Advocat Muslim Harap Hakim Punya Pandangan Progresif Memutus Kasus Ahok
Harianpublik.com ~  Ketua Umum Aliansi Advocat Muslim NKRI Al- Katiri berharap Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) memutuskan perkara kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seadil-adilnya.
Aliansi Advocat Muslim berharap hakim mampu menerobos paradigma positivistik hukum dengan menggunakan metode penafsiran yang lebih holistik dan filosofis.
“Hal demikian sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Dworkin sebagai “moral reading”, sebagai “dekonstruksi hukum” oleh Jacques Derrida, atau juga “progresivisme hukum” sebagaimana diajarkan oleh Satjipto Rahardjo,” kata Al-Katiri menyampaikan pendapatnya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin, (8/5).
Intinya hakim, kata Al-Katiri, harus membuka dirinya dalam menghadapi kebuntuan teks-teks hukum, pada perkara Gubernur DKI yang disapa Ahok iti. Karena kebuntuan pada perka Ahok kata dia merupakan suatu hal  yang disengaja dan penuh siasat.
“Diakui memang ada kebuntuan karena ketidakjelasan teks dalam rumusan pasal,” ujarnya.
Teks yang dimaksud Al-Katiri antara lain ialah menyangkut perihal niat pada penjelasan Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 di mana pasal ini meringankan tuntutan untuk Ahok. Perihal niat ini menurut Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum  harus dibuktikan sebagai celah Ahok lolos dari jeratan hukum terkait penodaan agama.
“Disini Hakim harus mengedepankan keadilan hukum yang tidak lagi semata-mata harus identik dengan teks pasal suatu undang-undang,” katanya.
Masih dikatakan Al-Katiri, karena, menurut pendapat ahli ternama mengatakan niat adalah identik dengan kesengajaan. Bahkan, beberapa ahli walaupun membedakan antara niat dan kesengajaan, namun keduanya sepakat jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat telah berubah menjadi kesengajaan.
Untuk itu kata Al-Katirin perlu dipahami bahwa niat dalam KUHP dimasukkan dalam unsur percobaan sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 54. Jadi menurutnya vukan pada delik yang sudah selesai in casu perkara, karena perihal niat tidak perlu dibuktikan, cukup kesengajaan saja.
Al-Katiri menuturkan, yang selalu didalilkan oleh Penasehat Hukum Ahok termasuk Ahli Hukum Pidana yang dihadirkannya bahwa pengertian golongan yang dimaksudkan pada Pasal 156 KUHP tidak termasuk golongan penduduk yang berdasarkan agama juga harus ditolak oleh Majelis Hakim.
Pendapat demikian kata Al-Katiri bermuatan paham positivistik. Karena pembagian golongan penduduk dimasa kolonial memang mengacu kepada Pasal 163 Jo Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yakni Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Bumi Putera dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan.
Ketentuan ini kata Al-Katiri didasarkan pada Pasal 75 Regeling Reglement (RR) yang juga mengacu kepada ketentuan Pasal 9 Jo Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB). Namun, penggolongan penduduk tersebut pasca Indonesia merdeka tidak berlaku lagi.
Sebab, lanjut Al-Katiri ketentuan penggolongan penduduk dimasa kolonial bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terlebih lagi saat ini Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Kemudian, penafsiran sistemik dan historis yang menunjuk adanya hubungan emosional antara Pasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHP juga penting dilakukan. Kedua pasal tersebut ditinjau dari teori kesengajaan sangat terkait dan ada hubungan antar keduanya, sebagaimana telah penulis sampaikan di atas.
“Menyikapi akan diputuskannya perkara Ahok, maka sebagai warga negara yang baik tentunya kita harus dapat menerima apapun putusan Majelis Hakim, dengan catatan sebagai sebuah kenyataan (sein),” katanya
Al-Katiri memberikan catatan, bahwa keadilan dalam praktik sangat ditentukan oleh bekerjanya sistem hukum.  Namun hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Karena, masyarakat akan menilai apakah keadilan dan hukum itu dapat dipertemukan atau sebaliknya.
Masyarakat kata dia mungkin saja tidak dapat menerima  putusan Hakim karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan. Oleh karena itu, Hakim semestinya mengedepankan keadilan hukum ketimbang kepastian hukum.
“Hakim harus berani bersikap progresif dalam memutus perkara yang penuh dengan rekayasa kepentingan politik,” katanya.
Al-Katiri mencontoh Bismar Siregar, dalam setiap putusannya tidak hanya menggali materi hukum yang ada dalam undang-undang, namun ia selalu menggali dengan mengedepankan moral dan hati nuraninya.
Dalam dunia akademik putusan Majelis Hakim masih dapat ‘diuji’ dengan standar akademik pula. Disini berlaku penerimaan atas putusan Hakim dalam wilayah hukum sebagai kenyataan.
“Semoga keadilan mewujud dalam putusan Majelis Hakim yang mulia,” katanya.
Sumber Berita : republika.co.id
Sumber : Source link
0 notes
kikotapasando · 7 years
Text
Openbare vergaderingBijeenroeping openbare vergaderingArtikel 64
Openbare vergadering
Bijeenroeping openbare vergadering
Artikel 64
1. De voorzitter belegt de vergaderingen zo dikwijls hij dit nodig oordeelt of dit door drie leden
schriftelijk met opgave van redenen is verzocht.
2. Hij bepaalt, met inachtneming van hetgeen omtrent de openbare vergaderingen in de Staatsregeling
en in dit Reglement van Orde is voorzien, dag en uur van de vergadering.
3. Indien…
View On WordPress
0 notes
kikotapasando · 7 years
Text
Ultimo ora Ultimo ora
ULTIMO NOTISIA: Gobernador Lucille George-Wout a kaba di firma e Landsbesluit, a base di art. 53 di nos Staatsregeling, i Staten a keda disolvé, i elekshon lo tuma lugá dia 28 di aprel 2017…!
View On WordPress
0 notes
kikotapasando · 7 years
Text
Komunikado di parti Gabinete di Gobernador
​WILLEMSTAD
Vandaag, woensdag 4 januari 2017, heeft de Voorzitter van de Staten, de heer Humphrey Davelaar, 
aan de Gouverneur van Curaçao, Hare Excellentie Lucille George-Wout, bericht dat de Staten, ter 
voldoening aan artikel 126 van het Kiesreglement van Curaçao, met inachtneming van artikel 45 van 
de Staatsregeling van Curaçao en het Reglement van Orde van de Staten hebben besloten tot 
toe…
View On WordPress
0 notes