Tumgik
#Makhluk Bawah Tanah
dstntflwr · 1 year
Text
A Permanent Mark (Part 06)
Tumblr media
Xicheng melepaskan sabuk pengamannya, mengelus kepala Jiurong yang masih memakan es krimnya di kursi samping pengemudi. Gadis itu tampak tak mengindahkan ayahnya yang mengganti pakaiannya, menumpuk kaos yang dia kenakan tadinya di kursi belakang. Sementara Shanyu menopang kepala Yuelung yang tertidur.
“Rongrong,” panggilnya  dan dia hanya bergumam. “Kamu bisa tinggal bersama Yu-Jiu sebentar?”
Dia mencecap lidahnya karena rasa manis es krim. “Kenapa?”
“Diedie memiliki urusan sebentar di dalam.”
Jiurong mengangguk, tak begitu peduli hingga dia melihat sesuatu di balik pepohonan. “Ada serigala,” tunjuknya dan Shanyu tertawa, sementara Xicheng mengangguk padanya dan membuka pintu, meninggalkan mereka.
“Sebelum Huli Jin bergabung dengan Lu Li, kami tinggal bersama rubah.” Dan sepertinya Jiurong lebih tertarik dengan itu, jadi dia menghadap ke arahnya, menunggunya bercerita.
---
Xicheng membuka pintu, melihat Zhongxing, Chengxun, dan Xicun Li yang duduk di depannya, menatapnya dan menunggu.
“Maaf aku terlambat,” ucapnya, duduk di depan Zhongxing. “Omega dan anak-anakku terjebak hujan tadi dan aku harus menjemput mereka.”
Alpha di depannya mengangguk. “Cuaca sedang buruk hari-hari ini, kuharap mereka baik-baik saja?”
Dia mengangguk.
Chengxun membuka suaranya. “Jadi bisakah kita memulai rapat hari ini?” tanyanya dan semuanya mendengarkan, diam. “Liegou Wang ingin menyerahkan kepemilikan klan dan tanah mereka kepada Lang Shen, namun Lu Li menawarkan untuk mengambil klan dan tanah Liegou Wang.”
Li mengangguk. “Kami menawarkan tempat di konservasi untuk mereka. Liegou Wang adalah klan yang bangga akan diri mereka sendiri. Mereka tak bisa tinggal jauh dari perkotaan, dan tempat kami tidak begitu jauh.”
“Liegou Wang berasal dari para hyena, kurasa akan lebih baik jika tinggal bersama para serigala dibandingkan bersama para rusa.”
“Beta Pu,” panggil Li. “Kita tak lagi bisa berubah wujud, kurasa sedikit tidak relevan untukmu jika mengaitkan dengan ini. Untuk penawaran Liegou Wang pada Lang Shen, aku yakin klan kami dapat memberikan penawaran yang lebih baik.”
Chengxun tertawa, memainkan penanya. “Alpha Wang menyerahkan permasalahan ini pada kita berdua, singkatnya dia lepas tangan seperti memasrahkan diri pada keadaan. Apa kau ingin orang seperti ini ada di dalam klanmu?”
“Apa kau mau?”
Xicheng menahan senyumnya. “Jika aku boleh bicara?” Zhongxing memperhatikannya. “Jika kau bersikeras mengaitkan ini dengan rantai makanan, predator berada di puncak, tapi mangsa memiliki suplai yang lebih, karena mereka mempercayai kami. Hyena adalah makhluk rakus, kami bisa menawarkan lebih banyak makanan dibandingkan suplai kalian.”
“Liegou Wang terlalu bangga,” ucap Zhongxing. “Apa yang membuatmu mengatakan bahwa dia mau tunduk di bawah alpha para rusa? Aku rasa kita semua tahu alasannya kenapa dia menawarkan diri pada Lang Shen sebelumnya.”
Xicun Li menghela nafasnya. “Tidak akan tercapai kesepakatan jika kita memikirkan sudut pandang mereka,” ucapnya. “Liegou Wang adalah pihak ketiga, jika kalian ingin kami mundur, apa yang akan kalian berikan sebagai gantinya?”
Chengxun menatap Zhongxing, lalu beralih. “Ada sebuah mata air terjun yang kami miliki di hutan kami. Itu bisa memperbanyak sumber air kalian.”
Li tertawa. “Sumber air yang begitu jauh? Kalian harus ikut menyumbang untuk konstruksi pipanya kalau begitu.”
Xicheng menggigit bibirnya, maju dari sandaran tempat duduknya. “Aku punya tawaran yang bisa kalian jangkau.” Kedua alpha dan beta tersebut memperhatikannya, menunggu. “Kalian memiliki dua omega.”
Chengxun menahan lengan saudaranya, tak membiarkannya bereaksi. Namun alpha itu bicara. “Omega itu adalah suamiku.”
Dia menggeleng. “Aku tak tertarik pada Liang Zhenyuan.”
Mata beta itu melebar. “Kau menginginkan omega utama kami?” ketika Xicheng tak menjawab, dia bicara kembali. “Omega utama, seperti kita, tak boleh kosong, kami tak bisa menyerahkannya.”
“Kalian punya dua omega di dalam lingkaran dalam,” ucap Xicheng. “Berikan satu padaku.”
Zhongxing menggeleng. “Ada banyak yang lain,” ucapnya. “Tapi tidak Shen Zailun.”
Namun alpha itu membalas gelengan kepalanya. “Aku tak ingin siapapun kecuali Shen Zailun.”
Dia dapat menghirup aroma tajam feromon Zhongxing, merah dan keras. Hingga Chengxun menghela nafasnya. “Bisakah keputusan ini kita tunda? Sepertinya kita membutuhkan jawaban pihak ketiga. Lagi.”
Xicun Li mengangguk. “Untuk air terjunnya,” dia menoleh pada Xicheng. “Akan kami pertimbangkan.”
Chengxun mengangguk.
Xicheng masih memperhatikan Zhongxing yang menatapnya tajam, tak bergerak.
2 notes · View notes
ramengir · 1 year
Text
kosong / empty / hollow
sekaya apapun tapi kalau dirimu kosong rasanya uang ga berguna
setinggi apapun pangkatmu kalau dalam diri kosong jabatan seolah ga penting apalagi di mata Tuhan
sehebat apa pun public speaking mu tapi kalau dalam diri kosong rasanya semua percuma.
sebanyak apapun negeri yang dijelajahi, sejauh apapun manusia berlari namun kosong dalam diri. apa yang hendak dicari?
secantik atau se ganteng apapun kalau dalam diri kosong rasanya ingin membenamkan diri dalam tanah saja
se mortal apapun seorang makhluk (yang memang ga ada...seandainya saja) kalau dalam diri kosong buat apa Hidup?
dunia ini ibarat pencarian mutiara di dalam laut, dikasih oksigen secukupnya ditugasi misi susah susah gampang cari mutiara. ga ada refill oksigen tugas nya sama setiap orang
tapi sering indahnya bawah laut mwngalihkan tujuan utama
karena kasih sayang Allah maka dunia itu menyenangkan tapi bukan untuk melenakan.
3 notes · View notes
asqinajah · 2 years
Text
Hilang Rasa
Terkadang, aku pun kehilangan rasa. Menginginkan sesuatu, tapi tak tahu apa. Mengharapkan sesuatu, tapi tak tahu apa. Bahkan, merasakan sesuatu, yang tak tahu pula apa. Sederhananya, aku kebingungan.
Di bawah naungan hujan yang deras menyapu tanah di luar, aku merenung dalam keheranan. Bukan hanya sekali rasa ini ada. Tetiba saja, terkadang ibarat penyakit yang kumat.
Aku pun ingin mencurahkan pikiran dan perasaan dengan tulisan; tapi bagaimana pula hendak menulis, sedang tidak tahu apa yang harus dituliskan. Ah, seperti pengembara yang tiba-tiba tidak tahu atau kehilangan arah.
Aku tahu ini tidak benar.
Aku pun berbisik padaku, mengajak menyibukkan diri dengan berpetualang; dalam lautan kata dan kalimat yang barangkali akan menghapus segala kebingungan. Agar diriku termenung dengan sesuatu yang layak dan sangat pantas dipikirkan. Kukatakan pada diriku: Bacalah Al Qur'an. Bacalah artinya. Resapi maknanya.
Aku pun menghela napas. Ah ya, rasanya memang ada yang 'sengaja' membuatku jadi manusia tak berdaya. Siapa lagi kalau bukan mereka, keturunan makhluk yang terusir dari surga. Sudah, rasanya memang tak perlu lama-lama berada dalam kebingungan.
(20/05/22)
7 notes · View notes
catatanbumi · 2 years
Text
Senaning, 21 Oktober 2022
Senaning mengawali hari dengan hujan yang mulai sedari dini membasahi. Matahari menyapa dengan penuh malu di antara rintik hujan yang enggan untuk berlalu.
.
Mengapa, ya? Orang dengan kemampuan finansial menengah ke bawah cenderung menggunakan uang yang dengan susah payah mereka kumpulkan malah habis untuk membeli sesuatu yang bersifat konsumtif. Lebih parah dari itu. Ada yang rela sampai berhutang demi mendapatkan sesuatu yang sangat mereka inginkan, alih-alih mereka butuhkan. Ada apa, ya?
Di desa ku, Senaning, khususnya, para muda mudi dan bahkan orang dewasa sedang sangat menggilai motor jenis trail. Alasan mereka jika ditanya mengapa harus beli ialah karena nyaman untuk dibawa hilir mudik. Alasan ini cukup masuk akal. Akses jalan kami menuju ke dalam dan keluar wilayah hanya berupa jalan tanah kuning dan laterit yang jika musim penghujan akses jalan tersebut hancur, bahkan hingga tidak bisa lalui. Kemarin saja ada mobil yang terguling lantaran hancurnya jalan kami menuju daerah perkotaan. Jadi alasan membeli motor tersebut karena tuntutan jalan masih masuk dalam logika.
Namun menurutku jika yang membeli motor trail tersebut adalah anak sekolahan yang mana masing merengek pada orang tua atau remaja dan orang dewasa yang bisa saja telah memiliki penghasilannya sendiri namun motor tersebut sejatinya tidak mendukung pekerjaannya, maka itu merupakan sebuah pemborosan yang mengarah pada kedangkalan berfikir.
Jika memang asalan jalan, maka tidak harus menggunakan motor trail. Motor bebek bapak ku saja yang sudah sangat berumur masih mampu melibas hancurnya jalanan kala musim hujan melanda. Cukup ganti jenis ban yang semula ban aspal menjadi ban lumpur yang di desain khusus untuk jalanan kami yang seperti jalan setapak bagi orang perkotaan. Tidak harus menggunakan trail.
Yang membuatku sangat miris ialah mereka sanggup berhutang (kredit) demi memperoleh sesuatu yang sejatinya mereka tidak benar-benar butuh. Mari kesampingkan dulu mereka yang sudah memiliki kelapangan dalam finansial sehingga boleh saja membeli apa yang mereka inginkan. Mereka bisa saja terlahir dari orang yang super berada atau telah mereka lainnya memang sudah memiliki sumber pendapatan yang sangat baik. Namun bagi anak sekolah yang uang jajannya saja masih merengek pada orang tua, hei! motor itu untuk apa? Atau bagi remaja dan orang dewasa yang motornya tidak mendukung pekerjaannya, untuk apa kamu membeli motor yang bahkan akan menambah cicilan bulanan mu?
Menurutku, tiada alasan yang benar-benar masuk di akal selain hanya ingin terlihat gagah dan berada. Memang ku akui, motor trail itu sangat gagah dan menambah kharisma bagi siapa yang membawanya. Terlebih di desaku dan mungkin hampir seluruh daerah di Indonesian, bahkan bisa saja dunia, penampilan fisik itu menjadi hal yang lebih dahulu diperhatikan. Para wanita sangat senang dengan pria yang berpenampilan gagah dan berada. Perihal isi kepala dan kemapuan, itu adalah nomor 2 dan 3. Alhasil bagi mereka yang berpikir pendek, maka menghiasi diri dengan barang-barang konsumtif menjadi pilihan utama dalam mereka menjalani kehidupannya.
Namun jika dipikir lebih jauh, mereka tidak sepenuhnya salah. Mereka hanya segerombolan manusia yang kurang terpapar ilmu pengetahuan dan kurang diberi minum oleh segelas wawasan. Mereka hanya makhluk hidup yang bergerak berdasarkan insting sedang akal dan logikanya mengalami stanting.
Mungkin ini terkesan sangat tidak etis. Namun mari aku ajak sedikit berfikir. Motor trail itu di desain khusus untuk kegiatan petualangan. Jadinya memang jalanan berlumpur adalah habitat aslinya. Oleh karena itu, motor trail itu tidak cocok untuk berbagai aktivitas produktif, seperti angkut barang dan lain sebagainya. Bahkan jika kamu memiliki usaha minyak eceran, kamu tidak bisa membawa ken minyak ke SPBU. Kamu harus nakal sedikit dengan mengantri minyak menggunakan motor dengan tangki minyak yang memiliki volume yang besar. Motor trail itu tidak bisa di ajak bekerja seperti itu. Tangkinya saja kecil, mana bisa menampung minyak banyak-banyak. Pada intinya, motor itu khusus untuk para petualang, bukan gaya-gayaan saja.
Itu hanya segelintir contoh dari sikap konsumtif mereka yang masih sulit dalam menata finansial. Bahkan ada juga contoh orang yang rela berhutang (kredit) hanya untuk membeli handphone baru. Kok bisa? Sedangkal itu kah pola pikirnya. Banyak di luar sana merek dan jenis HP murah namun memiliki fasilitas yang lumayan lengkap dari pada harus gengsi membeli yang bermerek dan mahal namun dengan cara hutang.
Kasian sekali. Pada akhirnya mereka benar-benar diperbudak oleh keinginan mereka sendiri.
...
2 notes · View notes
shikanou · 2 years
Text
Day 7 Augurstrope - Near Death Experience --Indonesian version--
Silvia x Regi [ @alxers 's OC ]
Tw : Slight of Blood
Tumblr media
Selangkah demi selangkah ... sebelum dirinya meninggalkan dunia yang kejam ini.
Tubuh seorang gadis berambut pirang bergetar hebat saat tangannya terlingkar pada sosok yang setengah sadar dalam pangkuannya. Kedua mata beriris coklat membulat sempurna. Cairan kental merah menggenangi tanah di mana dia bersimpuh sekarang.
"... Tidak ...!" Perempuan itu mendekap lebih erat lelaki penuh luka tersebut dan berseru, "Regi, hey! Kau mendengarku!? Bertahanlah!"
Berengsek! Dia benar-benar tidak memperkirakan situasi seperti ini saat mengirim timnya. Silvia seharusnya tahu, pertarungan melawan monster antah-berantah pasti menyimpan banyak hal tak terduga dan berbahaya. Makhluk-makhluk di luar nalar itu punya kelakukan yang sulit diprediksi.
Ia tahu dan paham betul hal itu. Kemudian, dengan bodohnya dia menggiring tim memasuki wilayah para Monster berkuasa. Bunuh diri hanya untuk membuktikan pada petinggi, bahwa kegagalan di misi sebelumnya bukan tanda ketidaksanggupannya. Keegoisan Silvia untuk membuktikan diri membawa petaka dan mengurung dia di situasi sekarang.
Regi, teman terbaiknya, terluka parah. Darah terus mengalir dari bekas tusukan yang menganga lebar di perut si lelaki sejak Silvia menemukannya bersandar tak berdaya . Merembes hingga sekujur tangan dan kaki yang menopang terbalut warna merah. Silvia mendadak panik saat napas si lelaki bertambah berat dan pendek. Denyut nadi melemah seiring degup jantung yang melambat. "RE--"
"AAARGHH!!!"
Silvia dengan cepat memutar kepala ke arah sumber suara, seraya menyambar senapan di pinggang. Namun, gadis itu membeku kala pemandangan yang langsung ditangkapnya adalah satu lagi rekan dengan tubuh tertancap di sebuah sulur--
Ah, tidak. Itu bukan sulur maupun ranting, melainkan kepala ular yang menjulur dari makhluk di bawah satu-satunya cahaya di bangunan terbengkalai ini. Tenaga yang tersisa di raga Silvia seakan menguap dalam sekejap, melihat makhluk apa yang telah menyapu rata semua yang dilewatinya.
Badan yang dua kali lipat lebih tinggi dari manusia biasa. Pakaian dan mantel serba hitam cabik-cabik membalut makhluk berkulit abu gelap dan berkuku tajam yang masih meneteskan darah itu. Genggaman pada senapan Silvia terlepas sepenuhnya. Makhluk tersebut tidak memiliki kepala. Bagian leher ke atas dipenuhi oleh beberapa ekor ular yang meliak-liuk dengan berbagai ukuran. Berdesis liar memamerkan taring besar miliknya.
Manik coklat yang sudah kehilangan cahaya kehidupan masih terpaku pada si monster. Sepertinya ia menyadari akan kehadiran manusia yang masih hidup. Dilemparnya sembarang arah jasad mengenaskan di tangannya, kemudian mendekat ke arah Silvia.
Selangkah ... demi selangkah. Hanya tinggal beberapa detik lagi baginya untuk hidup, dan pemandangan terakhirnya adalah kolam darah, tubuh kaku Regi dalam dekapan, dan makhluk tinggi menjulang yang tahu-tahu sudah satu langkah darinya.
Silvia mendongak. Napasnya memburu, jantungnya berderu, badannya bergetar hebat. Sepersekian detik kemudian, ia melihat taring-taring tajam terpampang di depan mata sebelum akhirnya ia berteriak.
Gadis itu tersentak dari posisi. Duduk sambil menopang kepala yang basah oleh keringat dingin. "M--Mimpi ...?"
Atau gambaran masa depan jika dia tetap menjalankan rencana pembuktiannya kepada para Petinggi?
Degup jantung Silvia masih secepat yang ada dalam tidurnya. Mimpi tadi terasa begitu nyata--terlalu nyata. Ia seperti masih bisa merasakan darah hangat pada tangan, dan rasa sakit imajiner di tubuhnya.
"Silvia ... kau baik-baik saja?"
Sang gadis menoleh ke arah pintu kamar. Perasaan lega seketika memenuhi dada ketika ia melihat lelaki berambut hitam berdiri tanpa luka sedikit pun. Wajahnya bersih dan cerah. Tak ada noda maupun darah. Hanya ada sedikit raut kekhawatiran dari melihat Silvia yang pucat pasi.
Sontak, Silvia langsung menghambur dan membuat Regi terkejut sekaligus heran. "E-eh? Silvia?"
"Sebentar ...." Silvia berucap pelan. "Biarkan aku begini sebentar."
Regi tidak tahu apa yang baru saja menyerang Silvia sebangunnya gadis itu dari tidur. Tetapi, melihat sang gadis begitu nyaman merangkul tubuhnya, lelaki itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum. "Kau bisa bercerita padaku jika sudah lebih tenang, oke?"
Silvia berterima kasih.
Meski sebenarnya dia tidak akan menceritakan mimpi itu pada siapapun. Silvia tidak ingin membuka kembali bayangan Regi berselimut darah dalam pelukannya.
-- End --
Find the Papa of Silvia and Regi on @alxers_01 [IG] !!
2 notes · View notes
perumahanngawi · 3 days
Text
Tumblr media
Sebagai makhluk sosial, tingkat mobilitas manusia tergolong tinggi.
Setidaknya dalam satu bulan pasti melakukan perjalanan ke luar kota.
Memiliki hunian yang dekat dengan jalur transportasi akan memberikan keuntungan besar bagi penghuninya.
Griya Mentari Asri terletak di kawasan Kota Ngawi.
Lokasi yang strategis memudahkan dalam mengakses transportasi publik dan mobilisasi.
🛣️ 5 menit ke Exit Tol Ngawi
🚌 11 menit ke Terminal Kertonegoro
🚉 12 menit ke Stasiun Ngawi
HANYA DENGAN 5 JUTA, RUMAH SAH JADI MILIK ANDA!!
⭐ Gratis Desain Tata Ruang
⭐ Harga termasuk Biaya Notaris, Sertifikat Unit, AJB, IMB, PPn, dan Bea Balik Nama
⭐ Angsuran 30 Bulan Tanpa DP dan Bunga
⭐ Syarat Hanya KTP dan KK
✅ Lokasi Strategis
✅ One Gate System
✅ Keamanan 24 Jam
✅ Drainase Bawah Tanah
✅ Jalan Paving Luas
✅ Pagar Keliling 2 Meter
✅ Mushola
✅ Taman Bermain
✅ Bebas Banjir
✅ Listrik 1300
✅ Mushola
✅ Taman Bermain
Lokasi:
🏡 GRIYA MENTARI ASRI
Jl. Sam Ratulangi, Klitik-Kersoharjo, Ngawi
📲 Info:
perumahan ngawi, perumahan syariah ngawi, kredit perumahan di ngawi, perumahan ngawi geneng, perumahan murah ngawi, jual rumah ngawi, rumah ngawi, jual tanah ngawi, perumahan minimalis ngawi, rumah murah minimalis, perumahan tanpa bank, perumahan jatim, perumahan murah jatim, perumahan jawa timur, perumahan strategis ngawi, perumahan ngawi kota, rumah dijual ngawi, perumahan tanpa DP, perumahan tanpa bunga, perumahan ponorogo, jual rumah ponorogo, rumah murah ponorogo, perumahan magetan, jual rumah magetan, rumah murah magetan, peruamhan ngawi murah, perumahan ngawi residence, perumnas ngawi, rumah subsidi ngawi, rumah kpr ngawi, perumahan subsidi ngawi, perumahan kpr ngawi, perumahan ngawi asri, perumahan di ngawi kota, dijual perumahan ngawi, rumah murah ngawi, rumah dijual ngawi, rumah murah di ngawi kota, rumah murah dijual di ngawi, kredit rumah ngawi, kredit rumah ngawi tanpa bank, kredit perumahan ngawi
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
zeus138yahood · 27 days
Text
Kehadiran Zeus diDunia
Dalam mitologi Yunani kuno, Dewa Zeus adalah raja para dewa, penguasa langit, petir, dan peternakan. Cerita tentang Dewa Zeus dipenuhi dengan kekuatan, intrik, dan keadilan yang tak tertandingi. Inilah salah satu cerita tentang kekuasaannya:
Di puncak gunung Olympus, pusat dunia para dewa, Dewa Zeus memerintah dengan bijaksana dan kuasa yang tak terbantahkan. Namun, seperti semua penguasa, dia juga harus menghadapi tantangan dan menghindari pengkhianatan.
Suatu hari, Hera, sang istri dan ratu langit, merasa cemburu akan perhatian yang diberikan Zeus kepada wanita manusia. Dalam kemarahannya, dia bersekongkol dengan dewa lain untuk mewarisi kekuasaan Zeus. Namun, rencana mereka terbongkar oleh Hermes, sang pembawa pesan para dewa.
Melihat pengabdian yang direncanakan oleh Hera, Zeus merasa kecewa, tetapi dia memilih untuk belasan menunjukkan kasih. Sebagai tindakan hukuman yang adil, dia mengasingkan para dewa pengkhianat ke dalam kerajaan bawah tanah, memberikan pelajaran yang tidak terlupakan tentang kekuasaannya.
Meskipun diuji dengan berbagai konflik dan intrik, kebijaksanaan dan keadilan Zeus tetap tak tergoyahkan. Dia adalah lambang kekuatan yang adil dan bijaksana, yang memberikan contoh bagi semua makhluk, baik manusia maupun dewa, tentang pentingnya keadilan, belas kasih, dan kekuatan yang benar.
1 note · View note
anari-chan · 4 months
Text
Recreate a Scene pt. 1
Writes in Indonesia
Gabut scroll pinterest, gak sengaja nemu art yang sepertinya dari buku seri HOO. Belum pernah baca bukunya, malah nekat recreate adegan itu. Mungkin bisa termasuk ke fanfiksi atau short scenario karena alurnya dibuat sedikit berbeda dari aslinya. Semoga tidak mengecewakan fans PJO/HOO di luar sana karena ide recreate itu muncul berdasarkan 'what if'. Btw, ada plot twist tentang 'aku'. Without further ado, happy reading.
Tumblr media
Loyalty and Sacrificing "You're the stupid person I ever met."
Pemberhentian selanjutnya adalah pengamanan patung Athena yang kelihatannya tidak baik-baik saja. Patung itu ada di ujung jurang. Bagian perisainya sedikit tertanam di bawah tanah, menyebabkan posisi patung itu sedikit miring ke bawah. Sedikit dorongan, patung itu akan jatuh ke bawah sana.
Namun, yang kukhawatirkan adalah kondisi tanahnya. Tanah ini tidak akan bertahan lama jika kita berdiri di sini bersamaan.
Meski aku tidak menyampaikannya langsung, mereka mulai membagi tugas yang untungnya mengurangi beban tanah menampung kami semua. Leo dan Frank pergi ke atas untuk membantu Coach Hedge, Jason pergi bersama Piper ke kapal dengan anginnya untuk menyiapkan tali sebagai pengamanan, dan tersisa aku, Nico, Hazel, Percy, dan Annabeth berdiri di atas tanah.
"Tanah ini tidak akan bertahan lama," kata Hazel yang bersiap menaiki tangga menuju kapal. "Beberapa dari kita harus ke atas."
Aku berlutut, menyatukan telapak tanganku dengan tanah. "Retakannya besar, tapi jauh di bawah kita. Mungkin...." aku menatap bagian tepi. Jauh di bawah sana, aku mendengar suara guncangan. Sangat besar. Aku penasaran apa mereka mendengarnya juga. "Guncangan di bawah yang akan meruntuhkan permukaan."
Percy nampak tidak senang mendengar kalimatku. Kulihat tangannya semakin erat menggenggam tangan Annabeth. Ekspresinya sangat kentara bahwa kalimatku tadi mempengaruhinya. Ralat, sangat mempengaruhinya.
Tali dari atas mengikat sang Patung. Menahannya dari posisi buruk, menariknya perlahan menuju udara. Saat yang bersamaan, Hazel hampir mencapai kapal dengan Nico akan menaiki tangga. Di satu sisi, dua sejoli itu diam di tempat, membuatku kesal. Aku punya firasat buruk mengenai hal ini karena inilah kejadian sebelum mereka jatuh ke bawah berdua. Mengingatnya saja membuatku bergidik ngeri.
"Kenapa kalian diam?" aku mengamati mereka yang masih di tempat. "Kita harus naik."
Mereka menurut, dan aku menunggu mereka melaluiku.
Ketika hendak berbalik, samar-samar aku mendapati tali putih. Dia naik dari bawah menuju permukaan. Gerakannya cepat, tapi aksiku lebih cepat.
Menyadari benda itu mengincar Annabeth, aku mendorong sang Putri Athena ke samping kuat-kuat. Gadis itu tersungkur di atas tanah, yang mana aku berharap dia baik-baik saja, selagi tali itu mengekang target yang salah: aku.
Kekuatannya melebihi kemampuanku. Begitu dia menjerat pergelangan kakiku, aku tengkurap di atas tanah dan dia menyeretku ke arah jurang.
Tanganku bereaksi mencengkram tanah, apapun, bahkan aku berusaha menumbuhkan pohon kuat sebagai penahan. Semuanya nihil, seolah-olah dia tahu aku tidak berdaya di wilayah kekuasaannya.
Sia-sia usahamu, Putri Alam. Ini bukan wilayahmu. Suara itu kembali berdengung di pikiranku, mencemooh aku yang tidak bisa menggunakan kekuatanku. Meski salah target, kau jauh lebih baik darinya.
Sialan itu makhluk! Aku mengutuk dalam hati.
Di luar perkiraan, seseorang berhasil menahanku. Mendongak, mata hijauku bertemu netra sehijau lautan. Aku hampir tak percaya bahwa dia menyelamatkanku.
"Talinya!" Hazel berseru dari ketinggian. "Potong talinya!"
Tak kuasa menarikku ke arah berlawanan, Percy ikut tertarik ke sisi jurang. Dia berhasil menahanku yang menggelantung di tepian, dan matanya tertuju pada pedangnya setelah mendengar seruan Hazel.
"Pedangku," terlihat dari matanya dia ingin meraih Riptide yang tersimpan di sakunya, tapi aku tahu dia tidak bisa melakukannya tanpa melepas tangannya.
Tali putih itu menarik kami hingga jatuh beberapa meter ke bawah dari permukaan. Percy berhasil menahan kami berdua dengan bertumpu pada tepian yang menonjol dengan satu tangan dan tangan lainnya mencengkram erat pergelangan tanganku.
Aku menggertakan gigi. Fakta bahwa dia berusaha menahanku tidak jatuh ke bawah sangat mengejutkan. Maksudku, kami baru kenal beberapa hari, dan aku yakin teman-temannya, juga pacarnya, lebih membutuhkannya daripada aku. Kenapa... kenapa dia memilih menyelamatkanku? Apa yang ada di otaknya hingga dia nekat melakukannya? Tidakkah dia tahu bahwa ini berkaitan dengan isi ramalan tentangku?
Tidak ada jalan keluar. Aku jatuh ke Tartarus, maka kalian akan mengikutiku. Suara itu menggema lagi. Hampir muak aku mendengar suara yang sama, mengatakan hal-hal yang mendidihkan darahku.
Nico kemudian muncul di tepian. Dia mencemaskan kondisi kami berdua. Dengan jarak melebihi jangkauan tangan, dia tetap mengulurkan tangan ke arah kami.
"Percy," kami berada di situasi sulit, dan berharap dia akan mendengar permintaanku yang gila. "Lepas tanganku. Kamu tidak bisa menarikku ke atas."
Dia tidak menjawab, tidak berani menatapku yang mulai kehilangan harapan. Sang Putra Poseidon tengah mendebatkan kemungkinan yang terjadi jika dia melepasku atau bertahan seperti ini.
"Tidak," suaranya melemah. Hatiku teriris mendengarnya. Aku tahu ini bukan pertama kalinya dia dihadapkan situasi sulit, tapi situasi kami jauh lebih sulit. Dia dihadapkan pilihan antara teman-temannya atau seseorang yang baru dikenalnya. "Aku tak bisa."
"Kumohon," aku menatapnya lekat, memberitahunya lewat tatapan bahwa tidak apa-apa melepaskanku. "Lepaskan."
Mata kami bertemu. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan melihatku yang ingin pergi sendirian. Dan aku tidak yakin dengan apa yang aku lihat di balik mata hijau lautnya yang menyiratkan pertikaian.
Selama dia belum memutuskan tindakannya, apalagi nasibku bergantung padanya, aku melonggarkan genggamanku. Pemuda itu membelalak, panik dan takut bersamaan akan tindakanku.
"Jika kamu tidak lepaskan," aku tersenyum kecil. "Aku yang lepaskan."
"Jangan gegabah!" dia berseru. Emosinya campur aduk mendengar permintaanku: marah, tak berdaya, takut, lemah. "Jangan... berpikir seperti itu."
"Ini harus dilakukan," aku meyakinkannya. "Mereka membutuhkanmu. Annabeth membutuhanmu."
Justru itu yang membuatnya semakin erat mencengkram tanganku. Saat itu juga, aku sadar dia telah membuat keputusan.
"Nico!" sang Putra Hades fokus mendengarnya. "Tunggu kami di sisi lain. Kami akan menemui kalian di sana."
"Tapi--"
"Bawa mereka ke sana. Berjanjilah!"
Nico menunduk, menyembunyikan ekspresinya. "Aku akan melakukannya."
Dari bawah kakiku, suara itu muncul lagi. Kali ini, dia benar-benar muncul dari dasar jurang, bicara dengan keyakinan dan keangkuhan. Pengorbanan. Pengorbanan berarti untuk kebangkitan Sang Dewi.
Kami bertatapan lagi. Mata hijau lautnya tak lagi campur aduk, tergantikan oleh perasaan tekad, atau lebih tepatnya adalah nekat.
"Maaf, aku tak bisa membiarkanmu berkorban."
Aku mengalihkan pandangan, menatap matahari di atas kami yang sangat terang dan jauh dari jangkauan sebelum menatap matanya lagi. "Semoga kamu tidak menyesal."
Pemuda itu melepaskan tangan, membiarkan gravitasi dan tali laknat itu menarik kami ke bawah--kami masih bergandengan tangan, dan ukuran tangannya mengingatkanku pada seseorang yang tidak berasal dari sini sepertiku.
"Jika menyelamatkan teman," dia menyeringai, "mana mungkin aku menyesal."
***
Ramalan Besar Berikutnya
Tujuh blasteran akan menjawab panggilan Karena badai atau api, dunia akan terjungkal Sang Putri Alam akan memenuhinya Menghadapi bahaya sendirian di kedalaman
Sumpah yang ditepati hingga tarikan napas penghabisan, Dan musuh panggul senjata menuju pintu ajal Satu tindakan akan menghancurkan hatinya
1 note · View note
mir-magazine · 7 months
Text
Diplomasi dan Filosofi Wedang Jahe
Tumblr media
MIRMAGZ.com - Siapa yang tidak tahu jahe? Rasanya, hampir tidak mungkin jika orang Indonesia tak tahu rempah temu-temuan yang satu ini. Melansir Wikipedia, nama rempah jahe pertama kali ditulis oleh Kong Hu Cu dalam buku Analek Konfusius pada 557–479 SM. Di sana diterangkan bahwa dia selalu mengonsumsi makanan dengan jahe. Sejarawan kuliner Fadly Rahman menjelaskan bahwa jahe merupakan sambal pertama bagi rakyat Nusantara. Mengutip Kompas.com, meski rempah, jahe digunakan sebagai pemedas makanan. Hal itu termaktub dalam prasasti kuno yang diteliti pakar arkeolog dan ditemukannya kata ‘sambal’. Akan tetapi, kata ‘sambal’ tidak merujuk pada cabai seperti saat ini melainkan penggunaan jahe sebagai bahan utamanya. Di berbagai daerah, nama jahe sendiri bervariasi. Jahe lazim didengar di tanah Sunda, sementara orang Jawa dan Bali menyebutnya jae. Agak berbeda dengan masyarakat di Aceh yang menyebutnya halia, dan orang-orang Bugis yang menyebutnya pase. Jahe sangat dekat dalam keseharian masyarakat kita, khususnya orang Jawa. Kedekatan orang Jawa dengan tumbuhan khususnya rempah-rempah memang sudah lama terjalin dan tampak empiris dalam dunia obat-obatan atau jamu. Hampir seluruh obat tradisional yang digunakan di Jawa diperoleh dari khasiat tumbuhan. Itulah alasan mengapa empon-empon (jahe, temu lawak, temu giring, kunir, kencur) kerap ditanam oleh masyarakat Jawa (Santosa, 2017:7). Jahe khususnya, tak hanya dijadikan empon-empon untuk bahan memasak seperti aneka soto. Rempah aromatik yang mampu melegakan tenggorokan ini hampir setiap hari dikonsumsi dalam bentuk minuman yang akrab disebut ‘wedang jahe’. Wedang dalam bahasa Jawa artinya minuman. Dengan begitu, wedang jahe berarti minuman yang bahan utamanya adalah jahe. Biasanya, wedang jahe hadir pada setiap hik (angkringan) dan menjadi favorit orang-orang Jawa di kala musim penghujan atau ketika iklim sedang sejuk-sejuknya. Kebiasaan itu kian meningkat, khususnya di masa pandemi Covid-19 ini. Banyak orang Jawa percaya bahwa dengan rutin mengonsumsi empon-empon termasuk jahe baik dalam bentuk wedang, atau diparut dan diambil sarinya, mampu meningkatkan daya tahan tubuh. Tumbuhan jahe atau Zingiber officinale konon memiliki filosofi yang sederhana namun penuh makna. Istri Wali Kota Bogor Bima Arya, Yane Ardian pernah menyampaikan salah satu filosofi dari tanaman jahe. Dikutip dari laman Bogor Update, Yane mengatakan bahwa meski daun jahe tumbuh ke atas, manfaat yang dapat diambil (jahe) berada di bawah tanah. Itu artinya, jahe mengajarkan bagaimana seseorang harusnya tetap bisa memberi manfaat tanpa perlu menunjukkan jati dirinya. Jahe dikatakan hanya berada di bawah tanah namun manfaatnya bisa dirasakan banyak orang. Hal ini selaras dengan filosofi tuwuhan atau tumbuhan dalam laku hidup orang Jawa. Masyarakat Jawa menjadikan tumbuhan sebagai sedulur sinarawedi yang artinya sebagai perlambang kekuatan, kesabaran, kejujuran, keikhlasan dan kesetiaan. Perlambang itu memuat ajaran bahwa manusia harusnya bertindak selaras dengan alam yang tak punya pamrih dalam melayani makhluk hidup (Santosa, 2017:9). Jika diselisik dari sejarah masa kuno, jahe beserta rempah-rempah lainnya secara umum memang sudah sangat masyhur. Rempah-rempah di masa kuno memang menyimbolkan eksotisme yang sarat akan kesakralan. Menurut filsuf Theophrastus, rempah-rempah bahkan lebih banyak digunakan para tabib daripada juru masak (Turner, 2011:59). Rempah-rempah berdasarkan literatur Alkitab juga pernah dihargai setara dengan emas ketika abad ke-10 SM Ratu Sheba mengunjungi Raja Solomon di Yerusalem dan menghadiahinya emas dan rempah-rempah juga batu permata (Czarra, 2009). Tak hanya itu, rempah-rempah khususnya jahe, bawang merah dan bawang putih bahkan disebut di dalam ayat Alquran. Jahe, disebut sekali di dalam Alquran dalam Surah Al-Insan (76) ayat 17 sebagai campuran minuman para penduduk surga. Ayat tersebut bermakna “Dan di sana mereka diberi segelas minuman bercampur jahe”. Meski begitu, ada beberapa pendapat yang berbeda tentang kata jahe dalam bahasa Arab, ‘zanjabila’ pada ayat tersebut. Mengutip kesimpulan dari sebuah skripsi berjudul “Tafsir Ayat-ayat tentang Rempah”, kata jahe dalam ayat tersebut hakikatnya berbeda dengan jahe yang ada di dunia. Namun, menurut seorang ahli tafsir Mesir, Thanthawi Jauhari, jahe dikatakan merupakan salah satu sifat dari mata air yang ada di dalam surga, yang disebut Alquran sebagai ‘Salsabila’. Meski begitu, ada sedikit perbedaan dengan tafsir yang diungkapkan Profesor Quraish Shihab. Menurut mufassir Indonesia itu, kata ‘zanjabila’ bermakna mata air di dalam surga yang memiliki sifat Salsabil (mudah mengalir di tenggorokan). Walau terdapat sedikit perbedaan penafsiran, setidaknya kata ‘zanjabil’ mewakili sebuah sifat yang selama ini kita ketahui dari rempah jahe; melegakan tenggorokan. Ketika jahe diracik menjadi minuman hangat, dia tidak hanya sekadar lewat di tenggorokan namun memberikan sensasi hangat dan melegakan. Bahkan, melansir Alodokter, bagi ibu hamil yang tengah mual, flu, pilek atau batuk, minuman dengan racikan bahan utama jahe sangatlah aman dikonsumsi dibanding obat kimia dengan dosis aman sekitar 1.000 s.d 1.500 mg per hari. Dengan beragam manfaat, latar belakang, filosofi dan kekayaan sejarahnya, wedang jahe tentu berpotensi menjadi salah satu alat diplomasi pemerintah Indonesia. Sebagai produsen jahe terbesar di dunia dan sudah mengekspor ke berbagai negara seperti Singapura, Uni Emirat Arab, Inggris, Hong Kong, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Malaysia dan Korea, Indonesia punya peluang besar untuk lebih berfokus memasarkan jahe ke pasar internasional (Astaman, 2016). Mungkin, jika ekspor bahan bakunya sudah biasa, racikan minumannya akan tampak lebih istimewa. Sedikit cerita, saya pernah bekerja dengan salah seorang anggota keluarga. Bibi saya seorang praktisi farmasi yang sudah mengembangkan kemampuan di industri minuman herbal dan kecantikan. Salah satu minuman herbal andalannya telah terjual sampai Malaysia dan Korea Selatan, dan minuman tersebut mengandung jahe. Ketika kami melakukan pameran di Jakarta Convention Center pada 12-14 Oktober 2016 silam, banyak pengunjung mancanegara yang tertarik membeli, mencicipi dan memesan produk herbal berbahan jahe kepada kami. Antusiasme para pengunjung saat itu sangat tinggi dan mayoritas menanyakan tentang jahe. Hal itu memberikan aspirasi kepada saya tentang pentingnya gagasan diplomasi wedang jahe. Pada akhir Agustus 2018 lalu, Presiden RI Joko Widodo sendiri juga pernah menjamu Perdana Menteri Australia Scott Morrison dengan wedang jahe madu sebagai salah satu hidangan. Dengan sifat jahe pada minuman yang mampu melegakan tenggorokan serta membuat badan hangat, wedang jahe jelas tepat dijadikan ‘alat’ untuk berdiplomasi. Rasa hangat dan melegakan dari wedang jahe bisa saja menurunkan tensi atau membuat suasana perbincangan menjadi lebih kekeluargaan. Diplomasi semacam itu termasuk ke dalam istilah diplomasi kuliner atau gastrodiplomasi. Penyuguhan wedang jahe terhadap tamu negara asing tidak hanya memberikan pengalaman kuliner yang lezat namun juga bisa menjadi ‘perantara’ yang membuat lawan bicara tenang dan bisa diajak bekerja sama. Lebih jauh, Paul Rockower dalam The Gastrodiplomacy Cookbook mengatakan bahwa gastrodiplomasi adalah “cara terbaik untuk memenangkan hati dan pikiran melalui perut.”. Implementasi gastrodiplomasi secara formal dan khusus bahkan bisa ditujukan sebagai diplomasi suatu negara terhadap negara lain. Hal itu jelas bertujuan untuk lebih dari sekadar mengajak masyarakat asing dalam mencicipi kuliner khas negara kita, dalam hal ini wedang jahe. Namun juga bertujuan “agar mencintai suatu negara melalui kuliner”. Sesuatu yang bisa membumikan kekayaan Nusantara meski hanya melalui secangkir wedang jahe!   Sumber bacaan: Astaman, Made. 2016. Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Czarra, Fred. 2009. Spices: a Global History. London: Reaktion Books. Fadly Rahman. 2019. Negeri Rempah-rempah dari Masa Bersemi hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-rempah. Jurnal Patanjala. Nur Aziza, Ulfa. 2017. Tafsir Ayat-ayat tentang Rempah (Studi Komparatif Tafsir Ilmi). Jakarta: Institut Ilmu Alquran. Santosa, Iman Budhi. 2017. Suta Naya Dhadhap Waru (Manusia Jawa dan Tumbuhan). Yogyakarta:Interlude. Turner, Jack. 2004. The history of a Temptation. New York: vintage books. Read the full article
0 notes
nutteu · 7 months
Text
Tumblr media
Trip Around the Sun
-
[AO3]
Hidup baru Flamebringer jungkir balik bedanya dengan kehidupan di Terra. Hidup tenang di sebuah apartemen kecil, bersama pot-pot tanaman di balkoni, asbak di setiap ruangan. Ini adalah kehidupan yang tentram—kalau tidak menghitung janji temu dokter tiap dua minggu, dan mengusir bocah SMA yang datang ke apartemennya tiap hari Minggu jam sembilan pagi tanpa pernah terlewat sekalipun. [exeflame; au; istg I’m gonna write fluff this time; published 2020-07-12; word count: 13,432]
Enkaku adalah sebuah nama yang tak pernah ia akui sejak jemarinya menyapa kematian untuk pertama kali.
Ia tak menamai dirinya dengan sebutan apapun setelahnya. Ia cukup puas dengan jantung yang berdetak, napas yang berembus. Tak perlu menoktah nama lain pada takdirnya yang sudah retak. Namun mereka memanggilnya Flamebringer, maka ia menghela debuan di padang bersimbah darah dan memanggil dirinya dengan sebutan serupa.
Tak ada yang pernah memanggilnya Enkaku lagi, kecuali W dan itu bukan hal yang patut ia bicarakan dengan jantung yang masih berdenyut di antara tulang rusuknya. Bahkan di momen terakhir kematiannya, Flamebringer masih harus mengingatkan diri sendiri bahwa ia tak seharusnya mencari wanita itu di selipan memori yang telah kelabu. Bagi ia, bagi semua makhluk yang menapak di atas Terra, Enkaku telah lebur. Kerangkanya tersimpan jauh di bawah tanah, meski jantungnya masih berdetak sesekali.
Di hadapannya, memandang balik dari dalam cermin dengan wajah yang letih dan jengkel terhadap semesta, adalah Enkaku.
Flamebringer menghela napas dalam-dalam, mencoba menyerap sebanyak-banyaknya kesabaran dan melepaskan hasrat untuk melayangkan tinju pada cermin dua kaki dari tempatnya berdiri. Ingin rasanya mengambil retakan kaca dan mengiris nadi, mati untuk kedua kali agar ia selesai. Sampai kapan semesta mau mempermainkannya begini? Sudah betul mati di Terra, mesti pula ia dihidupkan kembali entah di dimensi mana. Namun lagi, pun meski ia lakukan, ia tak ragu akan kegigihan semesta untuk menyeretnya kembali. Lebih baik turuti kemauan bangsat satu ini sampai ia bisa dapat kesempatan mati lagi.
Jemari panjang naik ke dadanya. Aneh sekali rasanya melihat jari-jemari tanpa belulang dan tikas dari luka-luka semasa pertempuran. Dadanya hangat, sedikit lebih ringkih; ia maklum, tempat ini tidak terlihat seperti dunia dengan hasrat menghancurkan yang sama dengan Terra. Tidak dengan cara sama, setidaknya. Meski denyut jantungnya masih bertemu di ujung jemari, namun ia tahu. Sudut bibirnya tersungging dalam senyum sarat ironi.
“Senang kau?” tanyanya pada pantulan di cermin yang bersih. “Tubuh sekarat begini kau suruh aku mainkan sampai dia mati, begitu? Buang-buang waktu saja, tahu?”
Pantulannya tak menjawab, bibirnya mengatup segera setelah Flamebringer berhenti berujar. Tentu saja, memang ia mengharapkan apa? Tuntunan Tuhan? Tuhan sudah mati bersama Enkaku. Tak ada jejak kemuliaan dan mukjizatnya dalam nadi Flamebringer. Tidak di dunia yang telah ia tinggalkan, tidak pula di dunia asing ini.
Ia memejamkan mata sejenak, meneguk ludah. Mau bagaimana lagi, pikirnya getir. Mau diapakan lagi? Hidup saja sampai mati. Hidup saja sampai semesta lelah.
Saat matanya terbuka, pantulannya menatap ia balik dengan kerut samar di wajah. Pedar di raut muka nampak bagai percik api, namun lelah juga terpatri di sana. Ia nampak sengsara—nampak pilu.
-
Dunia ini tak jauh berbeda dengan Terra. Namanya Bumi, dan Flamebringer mengacungkan jari tengah pada langit biru segera setelah ia paham mengenai tempat yang terlalu padat akan manusia ini. Persetan kau, teriaknya dalam hati. Dunianya kacau karena perselisihan dan perang, kebencian akan perbedaan kasta, darah bertumpahan di atas tanah kering kerontang karena kebencian. Dunia inipun seperti itu—hanya saja lebih licik, lebih kejam. Ia tak terkejut. ‘Toh tidak ada yang baru juga. Orang bisa mati tanpa dibunuh dengan senjata, cuma ya memang kekerasan lebih efektif.
Ia menatap tangannya yang halus dan tak sekekar sebelumnya. Lebih baik mulai olahraga dan berlatih. Tidak di dunia ini, dunianya, dimanapun, kekerasan akan selalu lebih efektif.
Ia punya kalender di kamar tidur, ruang tamu, dapur, kamar mandi—yang benar saja. Satu alisnya terangkat, lama-lama makin tinggi saat ia menemukan satu-persatu kalender. Semua tanggalnya diberi catatan. Pergi ke kafe tiap Rabu, potong rambut sebulan sekali, pergi ke toko bunga beli benih tiap dua bulan, pergi ke dokter dua minggu sekali. Masih normal. Namun ada pula catatan kecil seperti hidup normal, jalan-jalan ke pemakaman umum, cari anjing untuk diusap, usir Samuel. Kata-kata seperti itu ada di setiap tanggal, setiap bulan.
Ia mengerutkan bibir, siapa lagi pula Samuel? Rentenir? Pengemis?
Meskipun Enkaku di sini lebih anteng, lebih punya pandangan yang—ya tidak optimis juga, tapi tidak pesimis. Ia berjalan di tengah, berpindah mengikuti rotasi semesta kemanapun ia tengah ingin membawanya. Ia tak terkesan ambisius dengan apapun, tidak frustasi sampai mau mampus, tidak terlalu bahagia juga. Imbang betul jadi manusia—itu sebutan makhluk di sini. Tidak ada ras seperti di Terra. Ternyata, rasnya dibedakan dengan kulit dan suku bangsa. Yah, tidak beda-beda amat juga, terutama soal ketidakadilan terhadap ras-ras tertentu. Sampah yang sama, peduli setan. Flamebringer tidak datang ke sini untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Cuma hidup, lalu menunggu mati saja rasanya sudah cukup menyusahkan.
Kamarnya sederhana dan tidak berdekorasi. Sekedar foto saja tidak punya. Ranjang, lemari, rak barang, dan sebuah meja dengan tumpukan jurnal di atasnya. Ia mengetahui sedikit banyak perjalanan Enkaku dari tiap lembarannya. Beberapa jurnal usianya sudah lebih dari dua-puluh-tahun. Oh, ia sudah tiga-puluh-empat? Lebih tua dari usia aslinya, meskipun wajah mereka tak banyak mengalami perubahan. Tetap saja. Sudah tua bukan alasan tidak menguatkan fisik, ia berpikir dengan wajah berkerut, mencubit perutnya yang lembek. Ia tidak kekar, tidak tambun; tidak lemah, tidak kuat juga. Dibandingkan dengan tubuh lamanya, yang ini sudah kelewat lembut.
Ia lahir dari keluarga berada, sekolah dengan baik, tidak punya banyak teman, mengidap penyakit yang sampai sekarang tidak dapat didiagnosa oleh dokter manapun yang mereka tuju, dan suka tanaman. Flamebringer menatap kalimat itu, nyengir. Lumayan; kalau orangnya senang berkebun, ia tidak punya masalah dengannya. Penyakitnya barangkali karena Oripathy dari tubuh lama. Entah apalah jampi-jampi semesta sampai penyakitnya bisa melewati dimensi dan garis kehidupan. Intinya: tidak dapat didiagnosa, tidak ada obat penyembuh, mati juga. Sederhana, tidak perlu jenius untuk mengambil kesimpulan kalau tidak di dunianya, tidak di dunia ini, Flamebringer tetap dikutuk dengan takdir mati muda.
“Ya sudah,” ia mendumel sendiri sambil membolak-balik jurnal untuk mencari informasi penting. “Untuk apa juga hidup lama-lama. Kurang kerjaan.”
Ia mendapat alamat praktik dokternya, kafe yang biasa ia datangi, tempat membeli benih bunga, dan tempat langganan potong rambut. Sampai diberi empat bintang di samping nama tempatnya. Ia mengamati surai birunya di cermin dan harus mengakui, potongannya rapi dan mendetail. Tidak ada penjelasan tentang mengapa ia punya kebiasaan jalan-jalan ke pemakaman tiap pulang dari periksa rutin ke dokter, atau siapa itu Samuel.
Namun pada jurnal yang memuat perjalanannya selama perkuliahan, terdapat jeda selama kurang lebih dua tahun sebelum halamannya terisi kembali. Tidak akan pernah sama, Enkaku menoreh dengan tulisan tangan yang ia yakin hanya bisa dibaca olehnya sendiri, tidak akan pernah lupa. Tidak akan mengejar sampai waktunya tiba. Ia rasa, sesuatu terjadi dalam waktu dua tahun catatannya menghilang—sesuatu yang membawanya kembali ke pemakaman umum dalam frekuensi yang mengkhawatirkan bagi orang biasa.
Ia menatap tulisannya dengan pandangan jijik dan heran. Sok puitis, bangsat, pikirnya. Sekarang siapa yang repot mengartikan kata-kata tidak jelas begini? Dia sendiri. Ini adalah epitome “menyabotase diri sendiri” dalam artian yang sesungguhnya.
Udaranya sejuk dari lantai atas begini, pikirnya sambil merebahkan diri di balkoni. Di luar terik dan sesak, namun di bawah naungan balkoni lantai atas, ia aman dari hiruk-pikuk kota asing, di planet yang asing ini. Enkaku merokok, dan merupakan perokok berat, dinilai dari stok rokok di kabinet makanan di dapur, dan asbak di setiap ruangan di rumah ini.
Flamebringer menyalakan sebatang rokok, menghirup nikotin jauh ke lesung paru, dan mengembus asap ke udara. Sekalian berkontribusi pada kehancuran kalian semua, ia pikir dengan cengir sarat ironi. Semua pasti mati, pasti berakhir. Apapun yang ia lakukan, atau tidak lakukan, tidak akan ada bedanya. Flamebringer tahu diri. Ia cuma Sarkaz—manusia, oke, iya—biasa, semesta punya berkali lipat lebih banyak kuasa dibanding ia.
Ia mengubah pikirannya terhadap Enkaku. Pria ini tidak sesantai itu menunggu kematian. Ia aktif mengejar kematian, atas asas yang sama dengan yang Flamebringer punya. Kematian pasti datang, dan ia tak tertarik memperlambat waktu ajal menjemput. Datang ya datang saja, tidak perlu permisi apalagi sampai bertamu baru pergi kencan bersama ke alam baka.
Semua teknologinya hampir sama, perbedaannya hanya beberapa sektor yang lebih ditonjolkan. Teknologi berperangnya berbeda, orang biasa bisa pakai senapan, karena cara berperang manusia sudah diatur oleh politik. Ada undang-undang tentang kriminal dalam perang, malah. Ia hampir tertawa. Kalau yang begitu mau diaplikasikan ke Terra, mampus sudah ia mendekam di penjara sejak belia. Setidaknya, tidak banyak perbedaan yang berarti sampai ia mesti belajar dari awal mengenai adab di zaman ini. Penggunaan ponsel juga sama saja. Namun di sini ada internet, semacam interkoneksi di Terra tapi lebih wah. Ia mengedikkan bahu, lebih gampang mencari tahu apa yang terjadi tujuh-belas tahun lalu.
Ia menyesap rokoknya sampai ke ujung filter, menatap langit yang tertutupi gedung-gedung perkantoran yang menjulang. Hal buruk, pasti, pikirnya. Tidak mungkin yang lain dari sana, karena kemalangan selalu merasa sepi tanpa inang untuk dihinggapi. Ia menekan ujung puntung rokok ke asbak, melihat perciknya melembut sebelum mati. Seperti melihat perjalanan hidup sendiri, pikirnya sayu.
-
Enkaku suka berpakaian hangat dan tebal. Flamebringer menganga kala melihat koleksi pakaiannya. Mereka nyaman dipakai, lembut di kulit, dan memang betul cocok dengan kulit dan postur tubuhnya. Tapi ya... tidak perlu sampai satu lemari semuanya begini juga. Kebanyakan dari sweternya dua ukuran lebih besar, beberapa jaket dan kardigan juga. Saat ia mencoba memakai beberapa di hari Rabu, ia terkesan dengan seberapa berbeda ia terlihat dari biasanya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Flamebringer terlihat lemah lembut.
Ia tertawa sejenak di depan kaca. Lemah lembut, senang tanaman, suka bersih-bersih (dinilai dari betapa rapi dan bersihnya cermin dan permukaan barang di rumah ini), kurang lebih enak dipandang, postur tubuh bagus, dan merokok. Kombinasinya sudah pas jadi lelaki simpanan orang. Latif dan ramah tamah, enak dicumbu, namun cukup ‘jantan’ untuk tetap mengingatkan bahwa ia lelaki. Bisa saja ia simpanan om-om. Maksudnya, apartemen ini memang kecil tapi barangnya lengkap dan terlihat apik. Tawanya menggelegar lebih keras, bergaung di antara dinding kamar.
Siapa yang sangka, prajurit haus darah bisa pindah profesi jadi lacur pilihan lelaki kaya yang melenceng dari norma?
Kemudian ia meneguk ludah. Tidak perlu dipancing begitu, semesta pasti punya hal tidak waras yang disimpan untuknya di dimensi ini. Hal remeh-temeh macam jadi simpanan lelaki lain adalah perkara mudah kalau sudah diatur.
Ia menghela napas, menatap wajah Enkaku di cermin, dan bersiap untuk hidup dalam detak jantung yang telah ia rebut.
-
Kafe tempatnya pergi bagus dan nyaman. Kopinya tidak sampai membuat ia bercucuran air mata, namun cukup enak untuk membuatnya betah duduk selama empat-puluh menit di teras—menghirup kopi dan menyesap beberapa batang rokok sembari berpikir tentang apa yang harus ia lakukan sekarang. Ya, betul, hidup saja sampai mati. Tapi pekerjaannya apa? Kesehariannya dalam praktikal seperti apa? Yang ia biasa lakukan sehari-hari apa sebetulnya?
Meski datang ke kafe ini tiap hari Rabu adalah rutinitas, namun pegawai kafe nampak tak mengenalinya. Atau mungkin memang tak pernah bicara dengannya. Barangkali Enkaku juga melakukan hal yang sama, menghindari ke teras supaya jauh dari hiruk pikuk pengunjung lain. Keramaian di jalan raya dapat dimaklumi karena tak terdengar jelas; di dalam, ia jadi tahu kalau seorang gadis baru saja putus dari pacar barunya, ibu-ibu sosialita adu pamer liburan ke luar negeri; ricuh. Mending ditinggal.
Tak ada kontak keluarga di ponsel Enkaku. Teman juga masih tanda tanya. Cuma ada beberapa di sana: dokter, penjual bibit, emergensi, tukang listrik, pemilik apartemen, satpam dan resepsionis apartemen, dan Pak Arka. Ia memutar bola mata melihat nama itu. Dari percakapan sebelumnya di sebuah aplikasi chat, mereka bertemu sekitar dua sampai empat kali dalam sebulan. Lebih sering hanya dua kali.
Pak Arka terkesan sebagai lelaki cakap dan sopan, namun tidak suka pakai basa-basi, yang mana Flamebringer suka-suka saja karena ia malas bicara pakai embel-embel. Lelaki itu hanya akan bertanya ia di mana, meminta waktu bertemu, kemudian terus seperti itu. Tidak ada yang aneh sama sekali. Hanya saja, kadang Pak Arka bertanya ‘boleh melihatmu?’ tanpa mengajak bertemu, dan Enkaku akan mengirim fotonya. Tidak ada yang telanjang, tapi kesemuanya intim. Dari sana ia mengambil kesimpulan bahwa, ironisnya, Enkaku memang simpanan lelaki lain.
Ia mengangkat cangkir kopi, menenggak isinya untuk menyembunyikan cengir tak percaya di bibir. Ya kaget saja. Lucu, dan tidak masalah kalau memang Enkaku maunya begitu karena ini bukan kehidupan Flamebringer, tapi ya—ya... ini tetap bagian dari dirinya, dan ia berhak merasa bahwa ini menggelikan dan membuat jengah karena ia yang akan meneruskan pekerjaan ini. Mereka bertemu barangkali untuk bersenggama. Memangnya bagaimana biasanya Enkaku bertingkah dalam hubungan badan? Lembut seperti koleksi pakaiannya, menunduk di bawah Pak Arka, atau liar dan tidak sabaran seperti Flamebringer?
Meh, yang mana saja tidak masalah. Kalaupun tidak sama sepertinya, ya tinggal pura-pura saja. Usianya tiga-puluh-empat, tidak punya pekerjaan tetap, dan tidak tahu keterampilan macam apa yang ia punya selain berkebun. Keterampilannya yang biasa tak dapat dipakai di tubuh dan dunia ini. Ya jadi lelaki simpananlah solusinya, pikirnya dengan tawa dalam hati. Ini benar-benar aneh dan bikin histeris. Namun lagi, reflek keterkejutan Flamebringer sudah lama mengering karena kondisi di dimensi aslinya. Lagipula, dengan tubuh yang siap menyambut kematian ini, wajar saja kalau Enkaku tidak repot-repot bekerja atau membuka usaha.
Sayang saja—sudah repot-repot, malah modar.
Belum ada pesan dari Pak Arka untuk sekarang, dan sejauh yang ia tahu, Enkaku tak pernah menghubungi lelaki itu lebih dulu. Menunggu panggilan saja, berhubung ini pekerjaan. Pekerjaan yang menguntungkan, menurut isi rekeningnya. Sebenarnya lepas dari Pak Arka sekarangpun ia masih bisa bertahan hidup sekitar empat tahun tanpa melakukan apapun. Namun lagi, kurang tahu juga selama apa semesta ingin melihatnya di sini.
Tatapannya berubah muram saat mengingat informasi yang ia dapatkan melalui internet. Untuk masalah pekerjaan ia santai saja; terhibur, malah. Namun alasan mengapa Enkaku rajin mengunjungi pemakaman umum bukanlah karena ia sudah terlalu gila karena lelah hidup, atau menunggu keajaiban dari pesugihan dan perjanjian dengan setan. Ia datang untuk berkunjung.
Mengunjungi empat-puluh-dua mahasiswa dan seorang dosen yang tewas dalam kecelakaan bis di sebuah studi tur. Enkaku adalah satu-satunya orang yang selamat karena ia sakit dan tak mengikuti studi tur. Ia mendengus, betul ‘kan. Tidak perlu jauh-jauh mencari tragedi, di depan mata juga sudah ada, menatap balik dengan mata tajam dan seringai penuh darah korban.
“Pantas saja dikirim ke sini,” gumamnya sendiri. Tatapannya melekat pada bekas kopi di meja, jemari mengetuk-ngetuk pelan.
Tinggal satu yang belum jelas. Samuel.
Flamebringer sudah mencari di semua catatan Enkaku, di ponselnya; tak ada satupun yang menyebut tentang Samuel. Hanya kalendernya yang berkata demikian. Tebakannya bisa betul sejauh ini, mengenai Pak Arka dan teman-teman sekelasnya semasa kuliah. Mungkin saja ia akan benar lagi kali ini, mengenai Samuel. Rentenir, pasti. Kalau tidak ya pengemis, atau preman yang entah bagaimana terlibat dengan Enkaku. Yang mana saja, sejauh ini ia setuju dengan catatan Enkaku.
Siapapun, apapun Samuel dalam kehidupannya, lebih baik usir saja dari ambang pintu.
-
Flamebringer tidur di ranjang Enkaku, mengenakan pakaiannya, memakai peralatannya, menghisap rokoknya. Ia dengan setia menunggu panggilan pekerjaan dari Pak Arka, minum kopi enak yang harganya tidak bersahabat seminggu sekali, buang sampah dan membersihkan apartemen, menyapa balik resepsionis dan satpam. Ternyata, Enkaku adalah orang yang ramah. Atau ramah di luarnya saja, mana tahu. Orang ramah biasanya banyak kawan; kontak Enkaku isinya tukang listrik, demi Tuhan.
Selama beberapa minggu, ia menjalani hari di bawah bayangan Enkaku.
Sesekali, ia mengirimi Pak Arka foto saat diminta. Ia sebisa mungkin menirukan pose yang sudah-sudah agar tak terlihat mencurigakan. Meskipun sebenarnya ia juga tidak berpose muluk-muluk. Meskipun dunia mereka berbanding terbalik, namun ia rasa Enkaku tidak terlalu jauh dengannya soal sifat dan tabiat. Tidak mungkin juga kelakuan dan cara mereka menanggapi sesuatu bisa jauh berbeda, berhubung mereka orang yang sama. Hanya saja, mesti diakui kalau dibandingkan apati yang dianut Flamebringer, kepasrahan lebih cocok dengan Enkaku. Pria ini berpikir, kepalang tanggung, sekalian saja berendam kalau sudah basah, dan menjalani sisa harinya dengan ketertarikan yang dibatasi dinding tebal akan hidup dan dunia.
Ia pergi ke dokter, tertegun sesaat melihat Kal’tsit, dan mengedik. Ya kalau ada versi lain dari dirinya di sini, begitu juga dengan semua orang di Terra. Ia mengangguk saat Kal’tsit bicara, dan menjawab pertanyaannya dengan jelas karena baik di Terra maupun di Bumi, Kal’tsit adalah wanita yang dahsyat kadar intimidasinya. Ia diperiksa, diberi obat, ditanya-tanya lagi sebelum pulang, kemudian diperintahkan istirahat yang banyak. Menurut jurnal Enkaku, Kal’tsit adalah dokter yang menanganinya selama lima tahun terakhir. Ia tahu mengenai riwayat penyakit Enkaku. Barangkali itulah alasan mengapa mereka hanya memberinya rangkaian obat tanpa melakukan apapun yang berarti. Saat ini, yang mereka coba lakukan bukanlah menyelamatkan Enkaku, namun memperpanjang waktu.
Mereka dokter, mereka tak bodoh. Mereka tahu orang mati bahkan saat bertemu dengan napas yang masih saling bertukar.
Penjual benihnya mengenali Flamebringer dan ia mengertakkan gigi saat ia terpaksa harus menghabiskan waktu sepuluh menit untuk basa-basi mengobrol dengan wanita itu. Ya sudahlah, yang penting ia diberi benih ekstra. Iya, ia memang murah, bisa dibeli dengan dua paket benih. Dasar Pak Arka saja yang bodoh membayarnya puluhan juta untuk sekali senggama.
Yang mana, terjadi seminggu kemudian.
Ia tersenyum lamat-lamat saat melihat seorang pria yang cocok dengan deskripsi Pak Arka dengan baju yang ia kenakan. Tentu saja. Kepalanya mengangguk-angguk sembari ia melangkah, pringas-pringis saat ia berusaha menerima fakta bahwa ia tidur dengan Dokter. Tidak kaget, sih. ‘Toh di dimensinya mereka juga pernah menghabiskan malam berdua selama bekerja sama, tapi ini keadaan yang jelas beda. Jadi rasanya masih janggal. Kalau Dokter dan Pak Arka tidak jauh-jauh tabiatnya, setidaknya ia tahu ia sukanya bagaimana saat di ranjang.
Sebelum ia menghampiri lelaki itu, ia menghabiskan waktu cengar-cengir di dalam kamar mandi restoran terlebih dulu. Ini benar-benar konyol. Mati di pertempuran, dipindahtangankan ke dimensi lain, mesti menghidupi sisa hari tubuh sekarat ini, belajar hidup di planet orang, dan sekarang ia akan (berencana) tidur (lagi) dengan pria yang pernah membunuh bersamanya dalam perang sipil Kazdel.
Dokter di dimensi ini sudah lebih tua darinya. Mungkin sekitar empat-puluhan, menuju lima-puluh. Wajar, mengingat Enkaku juga sudah kepala tiga. Perawakannya sama; tinggi dan tegap, rambut hitam, kulit sawo matang, dan punya tatapan yang tajam meski raut wajahnya mengasihi. Yang berubah hanya matanya, dan beberapa helai uban yang sedikit nampak di sisi kepala. Matanya hitam, bukan lembayung. Namun itu juga tidak mengejutkan, mengingat mata jingga Flamebringer juga telah berubah menjadi cokelat cerah. Ia rasa, karena perbedaan darah dan DNA di dimensi ini, karakteristik fisik seperti itu juga tiada.
Ia menyapa Flamebringer dengan senyum hangat. Khas kebapakan sekali—ia mengira-ngira apa Pak Arka sudah memiliki momongan. Pria ini lebih serupa dengan pembawaan Dokter setelah ia amnesia, dibanding pria apatis dan haus kemenangan saat Flamebringer pertama mengenalnya. Santun sekali saat mereka berbincang. Ia terlihat terbiasa dengan cara Flamebringer bicara, dan mencentang satu lagi spekulasi yang betul. Jadi memang pembawaan mereka tidak terlalu berbeda. Ia rasa Enkaku juga hanya ramah-tamah pada orang di daftar kontaknya karena mereka mengenalnya lama. Sama saja dengannya.
Pak Arka persis seperti Dokter di ranjang, minus tendensi sadistik yang ekstrim. Ia senang bila Flamebringer membalas, namun tetap memegang kendali di ruangan. Ia tetap lebih suka mendominasi orang lain, namun permainannya lebih langsam, lebih halus. Setelah selesai, ia memeluk dan membelai Flamebringer sampai tertidur.
Saat mereka berpisah, ia mencium bibirnya lembut, dan pergi menggunakan taksi karena membawa mobil sendiri sama saja mengundang pengintaian istri. Saat taksinya sudah menghilang di kerumunan jalan, ponsel Flamebringer berdering. Pak Arka telah mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya, dan sebuah panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Nomornya tak disimpan, jadi barangkali tak penting.
Ia melambaikan tangan saat sebuah taksi mendekat, dan memberitahu alamat rumah yang sudah ia hafalkan selama dua hari di apartemen. Nama daerah di dunia ini masih terasa asing di lidahnya. Ia paham saat orang bicara karena osmosis dari pengalaman Enkaku, tapi tetap saja asing semua. Ia mengembus napas dan bersandar pada kursi taksi, mengamati jalanan yang mereka lalui dan mengingat-ingat rute yang diambil, bangunan di sisi kiri dan kanan jalan, orang-orang berlalu-lalang.
Ia mengedip, merasa sesuatu tersendat di tenggorokannya. Sentimen. Ia boleh saja apatis dengan dimensinya, namun ia terlahir di sana. Dunia ini mempunyai hampir semua yang dipunya dimensinya, orang-orang yang sama, namun ini bukan tempatnya dan Flamebringer hampir terkekeh saat ia berpikir, rasanya seperti rindu kampung halaman. Tapi ia tak bisa kembali; bagaimanapun, ini bukan sekadar liburan.
Saat ia turun dari taksi, satpam apartemen menyambutnya dengan roman muka berhias kekhawatiran. Keningnya mengernyit. “Ada apa?”
“Anu... itu Pak,” sang satpam terbata, menoleh kebelakang sesekali. “Itu—Mas Samuel datang lagi. Sekarang menunggu di depan apartemen Bapak.”
Matanya melebar. Ho, pikirnya, datang juga akhirnya. Nah, sekarang tinggal melihat siapa dan apa urusannya dengan Enkaku. ‘Toh kalau rentenir juga tinggal dibayar, meskipun ia tidak tahu berapa banyak yang dipinjam sampai tidak bisa terbayar gaji dari Pak Arka. Kalau bukan juga tak masalah, yang penting tahu dulu—
Setidaknya begitu yang dipikirkan beberapa menit lalu, sebelum keluar dari elevator dan menemukan Executor duduk di samping ambang pintu apartemennya. Ia berhenti sejenak, alis terangkat tinggi di kening, bingung. Jadi Samuel adalah Executor di dunia ini. Lalu ia ada di sini... kenapa?
Samuel—ugh, aneh sekali memanggilnya begitu. Flamebringer saja tidak pernah bicara dengan Executor, boro-boro memanggil namanya—menengadah saat ia mendekat. Flamebringer tercengang; meskipun dari fisik tak tampak jauh berbeda dari perawakannya di Terra, namun Executor terlihat muda di sini. Samar ia menyadari bahwa pria itu mengenakan seragam yang—oh Tuhan, bibirnya terbuka sedikit saat ia menyadari di mana ia pernah melihat seragam itu. Executor—Samuel, yang mana saja, bahkan belum jadi pria; ia masih seorang pemuda belia di sini. Itu seragam anak sekolah menengah atas. Memang Executor lebih muda beberapa tahun darinya berdasarkan informasi dari buku panduan operator, tapi Samuel umurnya setengah dari umur Enkaku.
Ia tak mampu mencegah seringai lebar di wajahnya, membuat Executor/Samuel menatapnya terkejut. Kenapa? Tidak pernah lihat orang senyum? Bukannya dia sendiri yang tidak pernah tersenyum? Oh, ya. Itu Executor. Barangkali berbeda dengan Samuel. Sedekat ini, ia baru memerhatikan bahwa matanya tetaplah biru, dan terlihat polos. Seringai Flamebringer naik lebih tinggi. Luar biasa, sungguh luar biasa. Hiburan tanpa henti menantinya di dimensi ini.
“Enkaku?” panggil Samuel hati-hati.
Ia tersentak dari menertawakan Executor dalam kepalanya saat suara berat Samuel menyapa telinganya. Belum cukup berat, ia pernah mendengar Executor bicara dan nadanya lebih monoton juga. “Hm?”
“Kau oke?”
Oke? Oke? Executor yang ini tidak memakai kata-kata formal? Kerasukan Setan dari mana? Luar biasa.
“Oke,” jawabnya. “Tentu saja oke.” Bagaimana tidak kalau hiburannya menyenangkan begini?
Mata Samuel menyipit. “Oke karena baru pergi dengan ayahku?”
Senyum Flamebringer luntur seketika. Oh. Oh. Tidak mungkin. Tentu saja, tidak mungkin, ‘kan, ya? Tidak mungkin. Baru saja ia merasa sumringah. Kenapa ada saja yang membuyarkan kesenangannya seperti ini? Dengan cara begini pula.
Wajar saja mengusir Samuel termasuk dalam daftar. Siapa yang mau berurusan dengan anak dari om-om yang menjadikanmu simpanan? Bukan Flamebringer, yang pasti. Ia mengatur napas, berusaha kembali tenang dan menguasai diri. Usir saja, usir.
“Ada urusan apa?” tanyanya dengan suara datar.
Bibir Samuel sedikit berkerut mendengar perubahan nada bicaranya, ia nampak seperti anak yang baru saja disumpahserapah orangtua Lumayan mirip, berhubung status Flamebringer sekarang juga sudah patut dipanggil bapak, meskipun hanya oleh satpam dan resepsionis apartemen. Ia berusaha mendekat, namun Flamebringer melangkah mundur untuk menghindarinya. Jangan banyak bacot, otaknya mengingatkan. Sudah ditanya cepat-cepat suruh dia hengkang dari depan apartemennya.
“Cuma mau melihatmu,” Samuel kemudian menjawab, suaranya kecil dan lesu. Seperti sudah pasrah, seperti sudah terbiasa.
Ha. Hah. “Hah?”
Samuel menghela napas, tangannya terkepal erat di sisi kaki. “Dengar,” ia memulai.
Flamebringer makin mengerutkan kening; gila saja mau dengarkan dia komplain soal Flamebringer tidur dan menghabiskan uang ayahnya sementara mereka berselingkuh di balik punggung nyonya rumah. Tidak mau. Betul memang kalender di seluruh penjuru rumahnya. Saatnya mengusir anak ini. Heh, sempat ia terkekeh dalam hati, anak. Tidak menyangka akan datang hari di mana ia bisa ada di situasi tak masuk akal ini. Namun lagi, mati dan pindah dimensi jauh lebih tak masuk akal, jadi ia diam saja.
Ia tak menggubris Samuel, dan beringsut untuk membuka pintunya. Baru saja kunci masuk ke lubang, telapak lebar dan jemari kokoh mencengkeram lengannya. Ia berjengit, Enkaku betul-betul tidak sebanding dengan seberapa kuat Flamebringer sebenarnya. Dulu.
“Dengar dulu, Enkaku,” Samuel berkata, berusaha menahan Flamebringer di tempat. Tampangnya kurang lebih masih minim ekspresi, namun matanya lebih mudah dibaca. Lebih jujur. “Aku tahu kau bilang aku masih muda, tapi tolong dengarkan. Beri aku kesempatan dulu, oke? Kenapa tidak coba pacaran denganku dulu? Coba saja, kau boleh pergi kalau tidak—“
Ia tak melanjutkan lagi kata-katanya saat Flamebringer menyentak paksa lengannya dari cengkeraman Samuel. Cepat-cepat ia memutar kunci apartemen, dan mendorong pintu terbuka. Gila, ini lebih gila dari anak klien yang ingin menghujat Flamebringer karena berselingkuh dengan ayahnya. Gila sudah dunia ini.
“Enkaku—Enkaku!” Samuel berusaha mengikutinya masuk, namun Flamebringer buru-buru menutup pintu. Meskipun begitu, ia masih sanggup menahan pintu dengan sebelah tangan, satunya mencengkeram ambang pintu sampai buku-buku jarinya memutih. “Aku bisa berikan apapun yang ayahku berikan, oke? Sex, apartemen, mobil, uang—berapapun dia membayarmu, aku bisa membayar lebih. Jadi tolong—“
“Sinting!” Flamebringer akhirnya bersuara, tidak tahan untuk tidak mengumpat mendengar ucapan Samuel yang makin lama makin membuat kepalanya berputar. Sinting, ia juga sinting karena tidak mengira ini akan terjadi. Jelas-jelas sampai ditulis di semua kalender meskipun tidak ada satupun jurnal maupun isi ponsel mengenai Samuel. Ia menggebrak pintu hingga tertutup, dan menggerendel semua selot kunci.
Ia tak mendengar suara Samuel lagi, dan pemuda itu tak mencoba memaksa masuk. Namun beberapa saat kemudian, ia mendengar, “Aku tidak akan menyerah,” sebelum langkah kakinya terdengar menjauh dari pintu. Saat ia mendengar dering elevator, baru ia berani bernapas lega. Kepalanya menggeleng tiada henti, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Enkaku mengusir Samuel bukan karena ia meniduri ayahnya, tapi karena Samuel ingin menidurinya. Sinting—sudah sinting semua. Punggungnya merosot turun dari sanggaannya di pintu, bingung dan kaget. Anak itu—apa? Lima-belas? Tujuh-belas tahun? Oh Tuhan, usia Flamebringer saat ini saja lebih dari dua kali lipatnya usia Samuel. Dan anak itu mau tidur dengannya? Mau senggama? Mau praktek kawin, main pintu belakang, adu pedang, dengannya? Dia saja masih bocah.
Dinilai dari reaksi satpam, dan cara Samuel bicara, serta kalender Enkaku, ini bukan kali pertama Samuel datang ke sini dengan maksud yang sama. Hah. Hah. Apa? Bagaimana? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Ia buru-buru membuka balkoni, dan mengeluarkan rokok. Baru saat ia sudah menyesap beberapa hisap nikotin, kepalanya mulai bisa berpikir jernih kembali. Untuk apa pula ia sampai panik begitu? ‘Toh hal-hal tidak diduga seperti ini sudah seharusnya diprediksi. Sudah semestinya ia bisa jadi cukup flexibel untuk menangani apapun yang berusaha dilemparkan semesta padanya. Ia mengembuskan asap rokok bersama dengan hela napas lelah. Ia mendongak pada langit biru Bumi, dan mengangkat jari tengahnya lagi.
“Mati saja kau, bangsat,” umpatnya, meskipun tahu, semesta sedang tertawa.
-
Sudah hampir setengah tahun sejak ia dilempar dengan tidak sopan ke sini. Sedikit tidaknya, ia mulai terbiasa dengan adab Bumi. Mulai berbincang dengan satpam dan resepsionis, perlahan menolerir penjual bibit yang terlalu ceria, mengurus tanaman di rumah, dan bersih-bersih. Ia tidak menyangka ia akan seniat ini, tapi ia tidak punya kegiatan lain. Ia coba olahraga, meskipun cuma sanggup dua-puluh menit karena tubuhnya tak kuat. Tapi selain nonton televisi, jalan-jalan, kencan dengan Pak Arka dan minum kopi, Flamebringer betul-betul tak punya kesibukan. Ia mendengus, santai sekali hidup manusia sekarat satu ini.
Orangtua Enkaku tak pernah menghubunginya sejak usianya dua-puluh-delapan. Ternyata ia ketahuan saat sedang pergi dengan Pak Arka, kena usir, dan dicoret dari silsilah keluarga. Ia tak sewot soal itu; Flamebringer pikir itu juga karena Enkaku memang punya apati yang sama dengannya, dan karena ia sudah kaya. Uang itu penting, bagi keduanya. Bisa beli senjata dan bibit bunga, bisa makan dan minum, bisa beli rokok. Kurang penting apa lagi? Jadi dengan cucuran uang dari perkerjaannya sebagai lacur eksklusif, ia sudah lebih dari berkecukupan, bahkan lebih dari saat ia masih bersama keluarganya.
Ia datang ke dokter dengan rutin, bayar dengan uang hasil keringat saat senggama, dan berkunjung ke pemakaman umum untuk pertama dan terakhir kalinya. Ia tidak mengenal orang-orang ini, tidak merasa kasihan dan sedih atas kematian mereka, tidak tahu cerita mereka pula. Yang bisa ia lakukan hanya menyampaikan salam terakhir, dan berpamitan. Enkaku sudah lenyap dari dunia ini. Flamebringer tidak perlu repot melakukan sesuatu yang tidak berguna untuknya, bahkan demi sebuah sentimen.
Samuel datang setiap ia pulang bertemu dengan Pak Arka, dan bila mereka hanya bertemu satu-dua kali, Samuel akan datang pada hari Minggu, jam sembilan pagi, tanpa pernah terlewat sekalipun. Dedikasinya tinggi, Flamebringer akui. Tentu saja, secara estetika, ia enak dipandang. Tubuhnya bagus, dan ia ambisius sekali mau kencan dengan Flamebringer. Namun lagi, meskipun ia legal (Flamebringer meneriakinya bocah suatu kali, dan Samuel berkutat dengan dompetnya untuk mengeluarkan KTP. Usianya delapan-belas) ia tetap tak tertarik tidur dengan anak kliennya. Canggung betul. Malam bersetubuh dengan ayahanda, di pagi hari bergumul di ranjang dengan ananda. Lagipula, mana sanggup Samuel membayarnya sama besar dengan Pak Arka.
“Uang darimana?” ia bertanya dengan nada datar suatu hari, wajahnya jengkel luar biasa karena diganggu saat sedang sikat gigi. Ia masih memegang gagang sikat di satu tangan, masih memakai piyama (betul, Enkaku tidur pakai piyama yang harganya hampir setara dua kali gaji Flamebringer di Terra). “Uang bapakmu juga kan? Mau bilang kau pakai uang ibumu? Lebih tidak etis lagi.”
Samuel nampak sedikit malu mendengar omongannya. Mungkin kena telak di ulu hati. Bagus, sekalian muntah karena fakta. Ia menggeleng, masih kukuh ingin bicara. “Aku juga bekerja, dan punya tabungan sendiri.”
“Iya, kerja sampingan di tempat bapakmu ‘toh? Tabungan juga mengumpulkan uang yang diberikan orangtuamu? Coba kau menghadap bapak ibumu, terus cerita kalau uang dari mereka, uang kerjamu juga, kau pakai buat tidur dengan om-om.”
“Tidak melulu harus tidur denganmu,” kata Samuel, tidak menepis bagian terakhir. Betul memang ia keras sekali berkeinginan bergumul di balik selimut dengan lelaki yang matang secara umur dan fisik. “Aku ingin kencan denganmu.”
“Aku tidak mau mengencanimu,” potongnya langsung.
Samuel mengangguk, sudah kebal ditolak rupanya. Tangguh juga anak ini, tapi tetap saja tidak mengubah fakta kalau ia merepotkan, dan menjengkelkan. Ia rindu Executor, meskipun mereka tak dekat. Setidaknya Executor tidak akan mengganggunya begini. Ia mau Executor asli yang bicara formal, lebih mirip mesin dibanding manusia, dan tidak datang tiap hari Minggu untuk membujuk Flamebringer agar mau jadi kekasihnya.
“Ya justru karena itu, apapun hubungan yang kau mau, aku akan sanggupi,” pemuda itu melanjutkan. Asing rasanya mendengar aku dari bibir yang selama ini ia ingat hanya merapal saya. Lebih manusiawi memang, namun asing. “Kalaupun harus sama dengan ayahku. Aku bisa, ya? Aku bisa.”
Flamebringer menghela napas. Ia mulai lelah dengan kegiatan tarik-menarik yang tidak akan ada gunanya ini. Lebih baik pangkas saat masih kuncup, meskipun Samuel sudah terbukti sebagai rumput liar yang masih akan tumbuh meski dicabut sampai ke akar. Ia mencabut sikat gigi dari mulutnya—Samuel menjelaskan panjang lebar begitu, lebih baik ia melanjutkan menyikat gigi belakang—dan memasang tampang yang lebih pengertian dari wajah judes beberapa saat lalu.
“Dengar,” katanya. “Pak Arka membayarku empat-puluh juta tiap bertemu, sering membelikan barang yang harganya mungkin lebih mahal dari SPP sekolah kelas elite-mu itu, dan masih mengiriku dua-puluh-lima juta per-bulan terlepas dari kami bertemu atau tidak. Ia bisa memuaskanku di ranjang, peduli padaku, tidak menggangguku, dan secara garis besar adalah kandidat yang lebih bagus. Yang bisa kau tawarkan apa kepadaku?”
Samuel diam dihujani perkataan menusuk seperti itu. Ia terperangah, tak berkata-kata sejenak. Mungkin ini pertama kalinya ia bicara begini panjang lebar dengan Enkaku, dan pertama kalinya dihantam kromo seperti itu. Wajah pasifnya mengeras makin lama ia diam. Mata birunya, yang barangkali ia warisi dari ibu, menatap tajam wajah cuek Flamebringer. Sejenak, ia terlihat seperti Executor.
“Betul,” ucapnya lambat, tekanan silabelnya pasti. “Tidak ada yang bisa saya tawarkan, yang tidak mampu dilakukan lebih baik oleh ayah saya. Tapi Anda juga masih belum mengembalikan cincin pemberian saya, dan masih terus meladeni kedatangan saya hingga kini.”
Alis Flamebringer naik. Oh? Sudah kembali lagi ke bahasa formal Executor? Tipikal yang marah jadi sopan? Atau memang pembawaan aslinya seperti itu, dan melenceng di pertengah jalan karena pergaulan yang lebih santai dari kehidupannya? Yang manapun, masih tidak mengubah fakta bahwa Enkaku punya urusan lebih jauh dengan Samuel dari sekadar yang dapat Flamebringer pahami.
“Cincin?” tanyanya.
Wajah Samuel mencelos. Ia nampak belia kembali, nampak sakit hati. “Anda... lupa? Atau memang sudah Anda buang?”
Cincin... memang ada kotak cincin di laci meja di kamarnya. Itu pemberian Samuel? Kalau sudah sampai memberi cincin—dan diterima—lalu kenapa sampai harus ada drama picisan usir-mengusir seperti ini? Flamebringer tidak mau tahu, tak mau urus. Namun lagi, wajah kecewa Samuel membuat jantungnya berdenyut. Ia menghela napas, memutar bola mata dan menatap langit-langit; frustasi. Ia tidak merasa apa-apa saat berhenti mengunjungi pemakaman, tapi menolak bocah ini dan Enkaku seolah kembali dari entah dimensi mana untuk membuat tubuhnya mengingat rasa yang Flamebringer tak pahami. Ia merutuk dalam hati. Ya kalau masih punya urusan dengan orang lain, jangan suruh ia datang ke sini dulu. Lagipula kalau memang suka, untuk apa pula usir-usir?
“Masih ada,” katanya kemudian. “Oke, begini. Aku masih meladeni karena kau terus-terusan datang. Kubilang sekali lagi, jangan mempersulit urusanku, oke? Aku tidur dengan ayahmu. Aku tidak mau tidur denganmu juga.”
“Anda bisa berhenti berhubungan dengan ayah saya,” usul Samuel dengan tampang polos.
Flamebringer nyengir, mengejutkan Samuel yang mungkin tak terbiasa dapat perlakuan sesantai ini dari Enkaku. Tidak lagi, setidaknya, bila menilik masa lalu mereka yang masih tak ia ketahui. “Bisa,” katanya, dan hampir kasihan saat wajah Samuel terlihat cerah. “Tapi bukan karena mau pacaran dengan kau juga.”
Alis Samuel berkerut. Ia nampak kecewa, namun terbiasa. Flamebringer menengadah lagi, minta bantuan semesta agar dijauhkan dari konflik romansa tidak penting seperti ini. Tentu saja tidak dijawab, tapi ia juga bingung mau bersikap bagaimana.
“Harus betul pacaran denganku?” tanya Flamebringer kemudian.
“Iya,” jawab Samuel.
“Kau—oke. Aku tidak mau punya hubungan asmara dengan anak seusiamu, aku juga tidak mau tidur denganmu karena kau pasti minta lebih. Minta jalan-jalan lah, minta dipeluk lah, minta jadi kekasih lah. Tidak minat,” katanya. Sudah paling baik begini. Bagaimanapun perasaan Enkaku terhadap Samuel, Flamebringer tetap bukanlah Enkaku. Kalau ia dikirim ke sini untuk mengambil kemudi tubuh Enkaku, maka kemudinya akan berjalan sesuai yang Flamebringer mau. Ia hanya akan memberi keringanan pada Enkaku dengan tetap terlibat dengan bocah sinting ini. “Tapi kau bisa berteman denganku, oke? Main ke sini, atau apalah. Asal kau tidak duduk-duduk di depan macam pengemis. Satpam apartemenku juga khawatir dengan kelakuanmu.”
Wajah Samuel masih sama pasifnya, sama datarnya, tapi matanya—oh, Tuhan, matanya berbinar. Ia menatap Flamebringer seolah tengah bermimpi. “Betul... boleh?”
Ia mengangguk. “Boleh, asal tidak pegang-pegang, dan tidak ambil kesempatan dalam kesempitan. Kau pilih saja, berteman denganku tanpa sama sekali mengajakku kencan. Atau kau bisa cari cara memanjat sampai ke lantai apartemenku karena namamu akan dimasukkan daftar hitam pengunjung apartemen setelah ini.”
“Baik,” Samuel serta merta menyanggupi, setitik saja tidak terdengar keraguan di suaranya. “Saya tidak akan minta kencan lagi.”
Flamebringer menyeringai. Gampang sekali mengolok anak-anak, pikirnya. Bagaimanapun, perasaan Samuel akan terus mengental seiring dengan kontak dekat dan rutin. Tapi itu sudah bukan urusan Flamebringer. “Hentikan bacot tolol soal ingin jadi kekasihku, oke? Jadilah anak normal yang tidak minat dengan om-om.”
“Oke,” kata Samuel lagi, kosakatanya kembali informal. Flamebringer mulai berpikir, barangkali Enkaku-lah yang membuat pemuda ini mulai bicara seperti manusia normal. Cukup dekat juga berarti dulu. Yang mana membuat ia ingin mengejek bayangannya sendiri. Atas tujuan apa dekat-dekat dengan anak lelaki yang lebih muda dengannya? Yang semasa mereka dekat mungkin masih belum balig.
Ia mengangguk, mulai berbalik untuk menyelesaikan sikat gigi. Tangan Samuel kembali mencegahnya. Ia menghela napas. “Datangnya lain kali saja, hari ini aku mau bersantai sendiri.”
“Itu...” ia terbata, terlihat agak tak nyaman. “Ayah—“
Raut muka Flamebringer langsung rata. “Aku tidak akan berhenti bertemu ayahmu cuma karena kau tidak suka. Ya sesukamu juga, mau terima oke, tidak juga tidak masalah.”
Samuel tampak seperti sedang menelan lemon berbalut cuka makan. Wajahnya masam sekali sampai Flamebringer hampir tertawa. Ia menghela napas, kemudian menggeleng. “Tidak apa. Aku boleh datang berarti minggu depan?”
“Hnm,” gumamnya, melepaskan lengannya dari Samuel, dan menelisip masuk. “Minggu depan oke. Sekarang, enyah.”
Ia tak menunggu jawaban Samuel sebelum menutup pintu di muka datarnya.
Satu minggu kemudian, Pak Arka menghubunginya—ingin bertemu. Flamebringer agak keki, sebetulnya. Karena esok Samuel pasti datang. Namun lagi, ia sudah memberitahunya dengan jelas bahwa ia akan tetap melanjutkan pekerjaan dengan Pak Arka. Jadi mau Samuel senang atau sebal, not his motherfucking business.
Ia kadang bertanya-tanya; kapan Enkaku dan Samuel kenal? Sebelum ia bekerja dengan Pak Arka? Atau sebelum? Pak Arka tahu tidak kalau puteranya suka nongkrong di depan pintu Flamebringer, merengek minta kencan? Darimana Pak Arka kenal dengan Enkaku? Apa hubungan Samuel dan Enkaku sebetulnya?
Sama dengan anaknya, tak ada satupun cerita mengenai Pak Arka di jurnal Enkaku. Mungkin karena ia membatasi mereka dalam kehidupan pribadinya, karena hubungan di antara ketiganya yang rumit. Enkaku lebih sensitif dari Flamebringer, rupanya. Karena boro-boro mau mempertahankan dinamika seperti itu selama bertahun-tahun, baru setengah tahun saja ia sudah menyerah. Persetan, kalau tidak suka ya tinggal suruh Flamebringer kembali jadi debu semesta setelah kematian.
Ia setengah berencana untuk bertanya pada Pak Arka, tapi rasanya—kagok. Kata-katanya tersendat di tenggorokan. Ia tak mampu bicara soal Samuel, tidak nyaman. Tidak saat Pak Arka mencumbunya halus, menelanjanginya dengan kesopanan yang membuat Flamebringer berpikir dari sini berarti tata krama zaman Viktoria anak itu. Meskipun wajahnya adalah wajah familiar Dokter, namun perlahan Flamebringer mulai menyadari sedikit perbedaan. Bila harus duduk diam dan menilik lagi, Pak Arka dan Samuel punya kemiripan satu sama lain. Meskipun, ia rasa, Samuel barangkali lebih condong pada DNA ibunya.
Ia hampir bergidik saat itu juga. Buat apa memikirkan kemiripan Pak Arka dan Samuel saat ia hendak bercumbu dengan salah satunya? Lama-lama meladeni Samuel membuatnya sinting juga.
Mereka menghabiskan malam seperti biasa. Pak Arka menciumnya lembut sebelum pergi seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, dan mengirimkan sejumlah uang setelah pergi dengan taksi. Flamebringer pulang dengan langkah gontai. Sudah hampir jam sembilan, Samuel pasti tahu ia kemana. Entah darimana anak itu bisa terus-menerus tahu kapan ia dan Pak Arka bertemu. Mengintip? Atau mengamati gelagat bapaknya di rumah? Istrinya memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?
Ia menggelengkan kepala. Tidak perlu dipikirkan, ujarnya pada diri sendiri. Tinggal hidup, lalu mati. Jangan diambil pusing, jangan terlalu dalam terlibat dengan orang lain. Nanti tersangkut benang takdir baru tahu rasa.
“Selamat pagi, Pak Enkaku,” sapa satpam apartment. “Mas Samuel ada di atas, Pak. Butuh saya bantu, atau...?”
Ia tersenyum kecil. “Tidak perlu. Aku yang suruh.”
Si satpam nampak terkejut, namun cukup sopan untuk tak mengatakan apapun. Mereka menghargai kliennya, meskipun ini bukan apartemen elite kelas atas. Flamebringer selalu membawa bekas cumbu Pak Arka saat pulang, cupang di kiri dan kanan leher, turun sampai ke tulang selangka. Tak pernah sekalipun mereka menatap lancang padanya bahkan dengan penampilan seperti itu, bahkan meski mereka tahu ia bekerja seperti ini selama bertahun-tahun. Barangkali inilah alasan Enkaku tinggal di apartemen kecil ini, dan mengapa kontak pribadi mereka bisa masuk ke ponselnya.
“Naik dulu,” ia mengangguk pada satpam dan resepsionis. Keduanya mengangguk balik, tersenyum.
Executor—Samuel, menunggunya di depan pintu saat ia keluar dari elevator. Ia berdiri saat Flamebringer mendekat. “Selamat pagi,” sapanya.
Flamebringer meliriknya sebentar sembari membuka pintu. Samuel terlihat seperti anak muda pada umumnya—jeans, kemeja, jaket trendi, sepatu yang ia yakin harganya meroket karena brand value. Namun ia begitu rapi; ada aura tersendiri yang membedakannya dengan remaja seusianya. Ia membawa diri dengan cara seseorang yang lebih tua, yang tahu apa yang ia lakukan. Ya, kecuali cara merayu Enkaku, jelas. Bertahun-tahun masih kena tolak sudah cukup jadi bukti.
Ia, juga, membawa bunga. Salvia dan edelweiss. Flamebringer memutar bola matanya. “Masuk,” katanya, melangkah lebih dulu dan menutup pintu di balik punggung Samuel. “Sini,” ia menyodorkan telapak, meminta bunga yang di bawa pemuda itu.
Samuel nampak gelagapan dengan sikap ringkasnya. Ia menyerahkan ikatan salvia dan edelweiss pada Flamebringer, yang segera mencarikan tempat untuk meletakkan mereka. Ia merendam mereka dalam sebuah botol, dan meletakkannya di atas lemari sepinggang di ruang tengah. Samuel masih berdiri di depan pintu ketika ia mulai menggantungkan kardigan. “Kemarin antusias betul mau datang. Sekarang sudah masuk malah macam ikan keluar dari air,” sindirnya.
Pemuda itu menghirup napas dalam, kemudian melepas sepatu dan jaket yang dikenakan. “Permisi,” katanya.
“Sudah sarapan?” tanya Flamebringer. Samuel mengangguk. “Oke, duduk saja di sana. Nonton TV, main gim, apalah. Ambil makanan di kulkas kalau lapar, aku mau ganti baju.”
Saat ia keluar, Samuel sudah menyalakan TV, namun ia sendiri tengah membaca sebuah buku yang Flamebringer tahu ia ambil dari atas lemari. Anak ini familiar dengan apartemennya. Pernah masuk juga berarti. Ia kagok di awal mungkin karena sudah lama tidak menginjakkan kaki ke sini. Flamebringer menutup pintu kamar, dan duduk di sampingnya, menengok ke halaman yang ia baca.
“Kau suka ceritanya?” tanyanya basa-basi. Kalau ini Executor, mungkin akan dijawab tidak. Ia memang tak kenal lelaki itu, tapi dari tingkah dan cara bicaranya saja sudah ia terka kalau hobinya mungkin membaca Undang-Undang Laterano di waktu senggang.
“Tidak.” Bibir Flamebringer merekah dalam seringai, bingo. “Saya lebih suka baca karya non-fiksi.”
“Seperti Undang-Undang Negara?”
Samuel tersenyum. “Kau masih ingat.”
Seringai Flamebringer runtuh lebih cepat dari abu rokok yang sudah berat di ujung puntung. Oh, ya. Mereka kenal sejak dulu. Ia mengangguk, kemudian beranjak untuk membuat sarapan. Ia tak mengajak Samuel mengobrol, Samuel juga tak bersuara sementara ia membaca dan Flamebringer membuat sarapan. Baru saat ia selesai makan, ia berbalik dan menjatuhkan diri di samping Samuel lagi.
“Kapan aku dan kau bertemu pertama kali?” tanyanya, menatap layar televisi dan mengamati ekspresi heran Samuel hanya dari sudut matanya.
“Delapan tahun lalu,” jawabnya. “Ada apa?”
Flamebringer tak menjawab pertanyaannya, lebih memilih untuk melancarkan pertanyaan lain. “Kenapa bisa bertemu?”
“Enkaku?” wajah Samuel mulai khawatir. “Ada apa?”
Ia mendecakkan lidah. “Jawab saja.”
Samuel mengerutkan alis, namun tetap menjawab. “Kau bekerja di toko bunga di depan kantor ayahku. Ibu sering langganan dan mengajakku. Kita bertemu, kau kadang memberiku kue kalau Ibu sedang mengobrol dengan tante pemilik toko.”
Hatinya mencelos. “Toko bunga disebelah minimarket dan restoran ramen?”
Pemuda di sebelahnya meletakkan buku yang ia baca, dan membenahi posisi duduk agar ia dapat melihat Flamebringer dengan jelas. “Enkaku,” panggilnya. “Apa maksudmu bertanya seperti ini?”
Flamebringer menolehnya, tatapannya menusuk dan dingin. “Kau tidak mau jawab?”
Samuel nampak merasa bersalah, dan menggeleng. “Bukan begitu.”
“Jawab saja pertanyaanku kalau begitu,” ujarnya, menoleh kembali pada televisi dan membiarkan Samuel berkutat dengan kebingungan. Selama ia memberi informasi yang ia butuhkan, ia tak peduli dengan perasaan pemuda itu.
“Ya,” Samuel buka mulut beberapa saat kemudian. “Iya, toko bunga yang itu.”
Ia mengangguk lamat-lamat. Wajar saja wanita itu akrab sekali dengannya. Mantan bos, ternyata. Ia melanjutkan, “Cuma sekedar langganan beli bunga. Kenapa bisa kau sebegitunya bergelayut padaku?”
Napas yang ditarik Samuel terdengar keras, tajam. Seolah ia tak percaya dengan untaian kata yang meluncur dengan mudahnya dari bibir lelaki ini. “Anda...” suaranya bergetar sedikit. Flamebringer mengabaikan denyut jantungnya yang mulai tak nyaman saat menyadari bahwa Samuel mungkin merasakan kecamuk perasaan sampai kembali ke pola bicara yang formal. “Anda baik pada saya, dan mengajak saya bicara seperti orang biasa meskipun saya hanya anak sepuluh tahun. Lama-lama Ibu kadang menitip saya di sana kalau ada keperluan mendadak, Anda bilang tidak keberatan mengasuh saya sebentar karena di toko bunga juga tidak terlalu sibuk. Tante juga setuju, karena Ibu adalah pelanggan setia.”
Ia berhenti sesaat. Flamebringer menolehnya, kemudian mengembuskan napas dan meraih remot untuk mematikan TV. Ia berbalik dan menghadap Samuel, masih menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi dan mata yang mengamati. “Lalu?”
Samuel tersentak dari lamunannya. Wajah yang biasanya sedikit ekspresif kini kembali mengeras, menutup diri. Namun matanya jujur, ia khawatir. “Enka—“
“Lalu?” gertak Flamebringer.
Samuel mengertakkan gigi, membuang pandang. Ia baru bicara setelah agak lama. “Ya terus begitu, saya senang dekat dengan Anda karena Anda tidak memandang remeh atau rendah terhadap saya. Tapi Anda juga mengerti kalau saya masih belia. Anda bilang kita boleh jadi teman, saya bisa berkeluh kesah pada Anda. Saya mulai pergi sendiri menemui Anda sejak saya diizinkan, kita dekat dari sana.”
Flamebringer mual, mual sekali. Sesakit apa Enkaku sampai mau mendekati anak di bawah umur?
“Apa aku pernah melakukan sesuatu kepadamu?” tanyanya.
“Tidak,” Samuel menggeleng, kemudian wajahnya melunak. “Anda yang pertama kali menyadari bahwa saya menyukai Anda, dan mulai membatasi jarak di antara kita. Saat saya menyatakan perasaan, Anda menolak. Saya serahkan cincin saya karena saya masih terlampau sensitif saat itu. Saya tidak mau menerima bahwa Anda tidak hanya menolak, namun juga tidak ingin saya menghubungi Anda lagi.”
Ia menghela napas. Lega. Jadi bukan karena ia menyukai Samuel yang masih terlalu muda, hanya Samuel saja yang mengalami fase Hero Worship yang berlanjut hingga mengakar. “Tidakkah kau pikir kau hanya sedang mengalami—“
“Fase Hero Worship?” potong Samuel. Ia tersenyum kecut. “Anda juga berkata begitu dua tahun lalu.”
Dan Samuel masih mengejarnya hingga kini? Flamebringer mesti memberi penghargaan pada anak ini. Gigih betul. Ia tak akan mencoba meremehkan perasaan Samuel dengan mengatakan bahwa ia tak mengerti. Anak ini jelas jauh lebih inteligen dan bijak dari kawan-kawannya. Sudah dewasa sebelum waktunya karena lingkungan. Pemuda ini barangkali menyadari bahwa ia memuja Enkaku sedemikian rupa karena ia satu-satunya orang yang cukup dekat, yang menganggap Samuel sebagai lawan bicara yang setara, namun masih mengayomi karena ia masih sepuluh tahun, demi Tuhan.
“Kapan kau tahu aku mulai tidur dengan ayahmu?”
Jemari Samuel mengepal, rahangnya mengejang sesaat sebelum posturnya melemas. Flamebringer mengangkat alis. Drama picisan macam apa ini. Mungkin sesudah ini ia mesti pindah kota, pindah negara kalau perlu. Biar tak perlu repot dengan Samuel dan Pak Arka.
“Sejak awal,” katanya dengan geraman rendah.
Flamebringer menyentil kepalanya pelan, membuatnya terperangah. “Biasa saja jawabnya. Baik kau maupun Pak Arka bukan kekasihku. Apa hakmu, ataupun dia, untuk merasa kesal atas apa yang terjadi dalam hidupku? Kalau kau kesal karena kau khawatir dengan ibumu, ya boleh saja. Tapi cicak di kolong mejaku juga tahu kau kesal karena cemburu. Bisa tidak, berhenti berpikir pakai emosi? Kau berjanji padaku. Kau masuk ke sini, kau cuma teman. Kau tidak bisa bersikap demikian, minggat kau dari rumahku.”
Alis Samuel berkerut, kepalanya tertunduk sementara ia menenangkan diri. Flamebringer beranjak untuk mengambil segelas air, dan menawarkan padanya. “Aku stres lihat kau punya banyak emosi begitu. Biasanya kau seperti robot.”
Sesaat, wajah Samuel kosong. “Maaf?”
Oh, ya. Yang itu Executor. Meh. “Kau terserah mau apa, aku mau merokok. Kurasa aku juga tidak mau dengar kau bicara kalau kau begitu terus.”
Ia melenggang pergi dari ruang tamu, dan menutup pintu menuju balkoni dibelakangnya. Di luar agak mendung. Ia bersyukur balkoninya terlindungi. Kalau hujan juga tidak akan kecipratan air, kecuali anginnya kencang. Ia duduk di lantai balkon, dan mengeluarkan rokok dari saku celana. Masa bodoh Samuel mau melakukan apa. Ia bilang bisa berkunjung ke sini, tidak bilang ia punya tanggung jawab menghibur dan meladeni pemuda itu.
Hanya saja, tidak sampai sepuluh menit kemudian, pintu di belakangnya bergeser terbuka, dan Samuel melangkah ke balkoni. Ia menoleh sejenak, dan melanjutkan melamun sambil menatap jendela-jendela di gedung perkantoran di seberang jalan. “Tutup pintunya, nanti A/C-nya tidak dingin.”
Samuel patuh, dan menutup pintu sebelum duduk di sampingnya. “Anda masih merokok?”
Flamebringer mendengus, kemudian terkekeh kecil. “Ya jelas begitu ‘kan? Kau kalau mau menceramahiku soal mati karena kanker paru-paru, mending kembali ke dalam. Pulang sekalian. Kalau mau duduk di sini ya agak jauh, nanti asapnya terhirup pula.”
“Tidak,” jawabnya. “Sudah terbiasa. Silakan, saya tidak berminat mengomentari cara hidup Anda.”
“Bagus,” sahutnya.
Mereka diam lama, sampai Flamebringer habis beberapa batang rokok. Ia mengira Samuel sudah ketiduran, tapi pemuda itu sedang memperhatikannya. “Creep,” umpatnya, membiarkan bahasa lama dari Terra terdengar. Samuel tidak perlu tahu dia omong apa, biar kedepannya ia bisa mengumpat dengan lebih sejahtera.
“Anda ini...” Samuel memulai. Ia terlihat ragu sesaat, namun menelan keraguan dan melanjutkan, “Anda bukan Enkaku, ‘kan?”
Jantung Flamebringer mencelos. Ia menatap Samuel. Bagaimana bisa ia tahu secepat ini? Namun lagi, ia tak merasa ia mau berbohong. Biarkan saja. Mungkin dengan begitu, Samuel akan meninggalkannya.
Wajahnya netral saat ia berkata, “Bukan.”
“Oh,” Samuel berbisik. Ia meneguk ludah, kemudian menatap ke depan balkoni. “Baiklah.”
“Kenapa? Karena aku menanyaimu dari tadi?”
Samuel menggeleng. “Enkaku tidak akan pernah membiarkan saya kembali, meskipun dia menyayangi saya. Anda bersikap seperti saat Enkaku pertama mengenal saya, hanya saja lebih kasar dan cuek. Anda juga lebih bisa menerima perasaan saya, dan kecemburuan saya terhadap Ayah.”
Ia menghela napas, bersandar pada dinding kaca. Anak ini betul-betul menyukai Enkaku, huh? Ia tahu mereka orang yang berbeda dalam waktu singkat, dan masih mampu berpikir jernih di antara interaksi mereka. Cukup jernih untuk menganalisa dan mengambil kesimpulan. Cerdik dan setia sampai mampus dengan orang yang entah sudah mati, entah dikirim ke dimensi lain seperti Flamebringer.
“Aku tidak mengerti orang itu seperti apa,” mulainya. “Tapi kalau dia sayang kau, kenapa kau malah berpikir aneh kalau aku mengizinkanmu ke sini lagi? Kurasa setelah bertahun-tahun jadi simpanan Pak Arka juga tentu saja ia akan paham soal perasaanmu terhadap hubungan mereka. Apa yang aneh?”
Sudut bibir Samuel terangkat dalam senyum hambar. Ia menoleh, menaut netra Flamebringer dalam tatapan yang membuat ia hampir tercekik napas sendiri. Pedih, kecewa, pasrah—Samuel memberikan semuanya pada Flamebringer, dan ia terhuyung di bawah beban perasaan pemuda itu.
“Bukan kasih yang lebih dari sekadar teman. Enkaku... jatuh cinta pada ayah saya,” ucapnya dengan suara lirih. “Kalau ia dengar apa yang saya ucapkan pada Anda saat itu, saat saya mencoba menyamakan diri dengan Ayah, saya pasti sudah kena tampar.”
Hatinya terenyuh. Sebegitunya. Sebegitu bodoh dan rumitnya perasaan manusia. Ia mengedip, menelan kembali kata-katanya, dan berpikir. Inilah mengapa Enkaku lebih memilih pergi dari keluarga dibanding meninggalkan pria itu, pun meski ia beristri. Ia jatuh cinta. Pak Arka sendiri... Flamebringer tersenyum miris. Pak Arka menyukai Enkaku, dan mengasihinya begitu besar, namun tidak seperti Enkaku yang jatuh cinta. Itulah alasan mengapa ia tak menyadari bahwa orang yang ia sentuh bukanlah pria yang sama.
“Ibumu?” tanyanya kemudian.
“Ibu dan Ayah menikah karena dijodohkan. Ia cuma meminta agar Ayah tidak sembrono dengan perselingkuhannya agar tidak menggegerkan keluarga besar; Saya dengar saat mereka bicara,” ia menatap Flamebringer lagi. “Dua tahun setelah saya bertemu Enkaku.”
Ia menghela napas entah sudah keberapa kalinya. Jelas sudah. Sekarang, tinggal bagaimana ia akan menyikapi kedua lelaki ini. Ia mengeluarkan sebatang rokok lagi. “Kau—mau bagaimana sekarang? Kau sudah tahu aku bukan Enkaku. Aku tidak mengingat sejarahmu dengannya, dan meskipun aku terlihat seperti dia, terdengar seperti dia, aku bukan Enkaku.”
Samuel memberinya anggukan kecil. “Saya tahu. Tapi tetap tidak bisa merubah fakta bahwa Anda terlihat seperti orang yang saya kasihi. Butuh waktu bagi saya untuk memahami dan menerima kalau—“ ia diam, tidak sanggup melanjutkan.
“Dia sudah mati,” Flamebringer melanjutkan untuknya, hanya karena ia prihatin, dan karena Samuel memang harus mengerti bahwa Enkaku tak akan kembali.
Pemuda di hadapannya menarik napas panjang, namun ia menatap Flamebringer dengan mata yang tak berair. Air matanya disimpan untuk diri sendiri. Karena orang di depannya bukan sosok familiar yang tahu dan mengerti akan perasaannya.
“Dengar,” ujarnya. “Ambil waktu selama yang kau perlu. Tak usah datang dulu ke sini, sudahi saja dulu urusanmu dengan perasaan sendiri. Aku tahu sulit melihatku sementara kau tahu Enkaku sudah mati. Tapi aku juga tidak punya pilihan. Pulanglah, oke?”
“Baik...” lirih Samuel.
Sebelum bejalan menuju elevator, ia sempat berbalik untuk bertanya. “Siapa nama Anda?”
“Flamebringer,” jawabnya. “Tapi Enkaku juga namaku. Yang mana saja bisa kau pakai.”
Ia mengangguk, kemudian berlalu pergi.
Flamebringer menghela napas, memandang botol berisi salvia dan edelwiss. Apapun yang ingin Samuel katakan, semua itu bukan untuknya. Tidak seharusnya ia ikut pusing dengan masalah ini. Terutama bila Samuel tahu ia bukanlah orang yang ia harapkan. Ia bertanya-tanya; bila ia tak mati lebih dulu, apakah ia dan Executor bisa merangkai kisah seperti ini?
Barangkali tidak. Flamebringer tak memiliki ketertarikan kepadanya, begitu juga ia. Ia sendiri baru memikirkan plausibilitas itu ketika dihadapkan dengan seorang pemuda berwajah sama dengan Executor, yang mencintai dirinya di dunia ini. Tiap kehidupan dan dimensi punya cerita masing-masing, dengan jalur yang berbeda. Di sana, ia mati dengan separuh perasaan yang masih mencari W. Di sini, Enkaku mati dengan hati yang bertaut pada Pak Arka. Pada akhirnya, kesamaan yang mereka miliki hanyalah bencana dan kesialan.
-
Butuh waktu hampir satu tahun sebelum Samuel kembali.
Flamebringer hampir menyangka ia lupa, atau memilih untuk tak menemuinya lagi karena tak sanggup. Satpam apartemennya sampai bingung. Ia masih menjalani harinya seperti biasa. Mengurus tanaman, minum kopi kemahalan, ke dokter, bertemu dengan Pak Arka, dan berkeliling kota agar ia familier dengan tempat ini.
Ia tumbang sesekali. Semenjak ia mengambil alih tubuh Enkaku, Kal’tsit menyatakan bahwa kondisinya membaik, namun belum berkemungkinan sembuh. Ia tak masalah, sudah biasa yang kondisi begini. Namun ia juga lupa bahwa tubuh Enkaku tetaplah sekarat. Dari kesemuanya, ia beruntung ia hanya pernah tak sadarkan diri di luar rumah dua kali. Tak ada efek fatal dari hal tersebut—yang terdeteksi, setidaknya.
Singkatnya, ini sama saja dengan Terra. Hanya saja ia tak perlu berperang. Meskipun awalnya membosankan dan hampir membuatnya frustasi, namun lama-lama ia terbiasa juga. Ia berusaha melihat situasi ini sebagai hari-hari berlibur di Rhodes. Jalani saja, tanpa perlu banyak cakap. Kalau ia merasa frustasi, ya tinggal merokok, minum kopi, berkebun, berbelanja, atau menunggu Pak Arka agar ia bisa melampiaskan energinya di ranjang.
Di antara bulan demi bulan yang berlalu, ia lambat laun mulai menerima kehidupannya di sini, dan melupakan Samuel.
Karena itu, di suatu hari di bulan Mei, saat ia tengah menyirami pot-pot bunga di balkoninya, seseorang membunyikan bel apartemennya dan Flamebringer tersentak kaget. Tidak ada yang pernah mengunjunginya. Satpam dan resepsionis selalu menelepon bila ada keperluan. Pak Arka tak pernah mengajak bertemu di apartemennya. Jadi—siapa?
Saat ia melihat Samuel berdiri di depan pintu, dadanya berdenyut sesaat. Tidak menyangka saja.
“Halo,” sapa Samuel saat ia membuka pintu
Ia mengangguk pada pemuda itu dan mengangkat telapaknya sesaat. “Yo,” sahutnya. “Kau mau masuk? Atau cuma mampir?”
Samuel menyunggingkan senyum kecil. “Kalau boleh bertamu sebentar, saya akan sangat berterimakasih.”
Bola mata Flamebringer naik ke langit-langit. Seperti bicara dengan politikus saja rasanya. Ia mempersilakan pemuda itu masuk, dan memperhatikannya. Ia terlihat berbeda. Mungkin karena potong rambut. Ia punya undercut sekarang. Pakainnya sama rapi dengan sebelumnya, lebih stylish saja. Mungkin menerima kematian orang yang ia sayangi membawa banyak perubahan. Meskipun orang tersebut masih berdiri di depan Samuel, bernapas dan sekarat.
“Kau lebih tampan begini,” komentarnya, memberi gestur pada keseluruhan tubuh Samuel. “Tidak murung dan tidak kaku karena terlalu banyak emosi yang dijejalkan dalam-dalam.”
Pemuda itu menggaruk telinganya, sedikit kelihatan kikuk. “Saya hanya mengikuti saran Anda.”
Ia mengedikkan bahu. “Yeah, sure. Ambil saja minum dan makan sendiri di kulkas dan kabinet kalau lapar. Aku masih menyiram tanaman.”
Samuel mengangguk, dan mengikutinya ke balkoni.
“Bagaimana kabar Anda?” tanyanya.
Flamebringer tak tahan untuk tidak menyeringai. Konyol. Sudah seperti wawancara karyawan baru saja. Ia berbalik menghadap Samuel dengan senyum mengejek. “Dengar, kalau ada yang mau disampaikan langsung saja. Aku tidak butuh basa-basi.”
Ia berbalik lagi untuk mengurus tanamannya. Sudah hampir selesai ketika Samuel bicara lagi.
“Saya masih menyukai Enkaku, dan sulit rasanya kehilangan dia. Terutama bila sosoknya masih ada di hadapan saya, meskipun saya tahu itu bukan dia. Tapi saya menghabiskan waktu untuk berdamai dengan fakta bahwa yang terjadi sudah terjadi. Jadi... saya pikir, tidak ada salahnya mencoba dari awal. Sebagian karena saya egois dan masih ingin terus mengingat Enkaku, namun sebagian lagi karena saya juga berusaha untuk menormalisasi hidup dengan Enkaku yang... merupakan orang asing.”
“Jadi?” flamebringer mengangkat alis, takjub juga mendengar kalimat sebanyak itu keluar dari seseorang dengan wajah Executor.
“Jadi—“ ia menarik napas dalam, dan menatap Flamebringer dengan pandangan mantap. “Bagaimana kalau kita coba berteman?”
Ia memberinya senyum kecil, hanya sudut bibir yang terangkat. “Tentu. Tidak ada salahnya. Mau makan siang bersama?”
Dan begitu saja, harinya terus berlanjut di Bumi. Kali ini, dengan Samuel dalam hidupnya.
Ia tidak parah-parah juga. Ia semakin mirip Executor sekarang, bila Executor punya sisi lembut, dan setengah-biased terhadap Flamebringer. Ia kaku di awal, sebelum melunak setelah berbulan-bulan mengunjungi apartemennya. Mereka mulai bicara, mulai berdiskusi, dan Flamebringer mulai menolerir dan lambat laun menerima kehadiran Samuel sebagai hal yang tetap dalam hidupnya.
Pemuda itu sudah masuk kuliah sekarang. Ia masih bekerja di kantor ayahnya, dan berencana untuk magang di sana juga bila waktunya tiba. Ia hendak masuk ke jurusan teknik mesin, sesuai dengan bisnis ayahnya. Namun mengurungkan diri, dan alih-alih memilih memasuki jurusan hukum. Ayahnya berencana untuk memasukkannya menjadi legal officer karena Samuel tertarik dengan dunia bisnis juga. Ibunya setuju saja asal Samuel senang, dan asal ia ingat pulang ke rumah sesekali. Rupanya ia terlalu banyak bekerja dan belajar sampai kadang tertidur di kantor dan apartemen yang disewakan orangtuanya di dekat kampus.
Flamebringer kadang-kadang bercerita tentang Terra. Ia tidak tahu apakah Samuel menganggapnya berbohong, atau sudah gila. Tapi pemuda itu mendengarkan dengan seksama, dan selalu mengingat detail mengenai apa yang ia ceritakan.
“Jadi, saya juga ada di Terra?” tanyanya, ketika Flamebringer bercerita tentang Executor. “Saya paham dengan jalan pikirannya. Tapi dia tidak terasa seperti saya.”
Flamebringer tertawa. “Ya karena dia memang bukan kau, bodoh. Lagipula jalan hidup kalian berbeda, pantas saja kelakuannya juga bisa melenceng sedikit. Akumulasi dari tingkah seseorang juga dipengaruhi peristiwa dalam hidup. Kalau kau terlahir dalam posisi Executor, dengan latar belakang, tanggung jawab dan peperangan yang terjadi, maka kau akan jadi dia.”
“Anda tidak pernah merasa aneh melihat wajah dia di sini, sebagai saya?”
“Ya aneh,” ia mengakui. “Karena aku dan dia sama sekali tidak bersinggungan, dan kau datang sebagai orang yang dekat dengan Enkaku. Lagipula, wajahmu masih berekspresi dibanding raut mukanya. Satu Rhodes menyebutnya robot, karena betulan tidak pernah melihat ia merubah mimik muka.”
Samuel menatapnya dengan alis berkerut, berusaha menelan cerita yang diberikan, dan membuat Flamebringer terbahak karena ia secara tak sengaja baru saja membuktikan perkatannya barusan.
Ia tetap menemui Pak Arka, dan Samuel tak pernah menyinggungnya lagi mengenai itu. Sesuai janjinya dulu.
Saat ia tumbang di hadapan Samuel, dunia seolah perlahan berotasi terbalik. Ada yang berubah, meskipun Flamebringer tak bisa dengan jelas mengatakan itu apa.
Samuel panik, dan membawanya ke dokter Kal’tsit. Ia tak perlu dirawat inap, dan kembali ke apartemen dengan kondisi lebih baik. Satpam apartemen membantunya naik sampai ke atas bersama Samuel. Saat pintu tertutup, dan ia sudah menghempas napas di atas sofa empuk, Samuel meraih tangannya, dan berkata, “Boleh aku menginap?”
Untuk pertama kalinya sejak hampir satu setengah tahun mereka memutuskan untuk berteman, Samuel berhenti menggunakan cara bicara kelewat formal dengannya. Ia tak tahu, entah karena khawatir, atau karena ia melihat bayang-bayang Enkaku di wajah pucat Flamebringer, namun wajahnya terlihat cemas, takut. Flamebringer tersenyum dalam hati; ia tak mau melihat Enkaku mati untuk kedua kali.
“Aku tetap akan mati entah kau suka atau tidak,” ucapnya. “Luruskan dulu kepalamu, Samuel. Aku bukan Enkaku, jangan salah memberikan perasaan khawatir cuma karena kau melihat wajahnya yang tumbang.”
Samuel menggeram rendah, frustasi. “Bukan begitu—“ ia tersendat, meremas jemari Flamebringer dalam genggamannya. “Saya sudah menerima, oke? Saya mencoba dan terus mencoba untuk menerima. Saya juga menghargai Anda sebagai diri Anda sendiri, bukan sebagai Enkaku. Saya tahu batasannya; saya tahu ia sudah tiada, saya tahu bahwa Anda yang sedang berdiri di depan saya. Tapi Anda juga teman saya. Saya peduli, saya—“
Ia tak sanggup melanjutkan lagi, kehabisan napas dan tercekat oleh air mata yang tak pernah bisa jatuh di wajah kosong Samuel. Flamebringer melunak. Bagaimanapun, Samuel masih remaja yang beranjak dewasa. Meski lebih bijak dan matur, meski gigih dan berkepala dingin, ia bukanlah anak yang terlahir di peperangan Terra. Keras dan tak tergugahnya hati Samuel, tak bisa disamakan dengan kerasnya keteguhan hati anak-anak Terra, apati yang mereka telan bulat-bulat sedari dini agar mereka dapat menyingkirkan perasaan dan bertahan hidup. Flamebringer tak bisa menyamakan Samuel, atau siapapun dari dunia ini, dengan para penghuni Terra.
Maka, ia menggenggam balik jemari Samuel, dan menariknya ke dalam pelukan. “Hush,” bisiknya. “Berisik. Biarkan aku istirahat dulu, oke?”
Samuel terdiam, tak berkutik di rengkuhannya. Namun kemudian, ia memeluk erat tubuh Flamebringer, yang berpura-pura tak merasakan air mata Samuel meresap ke sela sweter dan membasahi kulit. Ia membiarkan pemuda itu menangis dalam diam; menangisi yang terkasih, yang tak membalas tautan perasaannya, yang pergi tanpa kata selamat tinggal, yang kini entah tersesat di dimensi mana dan meninggalkan nyawa lain di hadapan Samuel. Pasti sulit, pikir Flamebringer, melihat hantu dari orang yang ia sayangi, meski tahu itu bukan dia.
Erat jemari Samuel mencengkeram sisi tubuhnya, punggung bergetar oleh isak yang ia redam. Flamebringer sesekali mengelus punggungnya, namun tak bicara. Tak menawarkan kata-kata pelipur lara. Tidak perlu, ini adalah sesuatu yang mesti Samuel proses sendiri, sebelum ia paham seutuhnya dan siap menerima uluran tangan untuk menjalani harinya kedepan.
Samuel tak berkata, jangan pergi. Cuma berulang-ulang berbisik Enkaku, Enkaku, selamat tinggal, selamat tinggal Enkaku, dengan suara lirih, dengan air mata yang masih membasahi bahu Flamebringer.
Saat ia terbangun, malam telah turun. Samuel masih terlelap, kepalanya bersandar di pangkuan Flamebringer. Sisa air mata mengering di sisi wajahnya. Ia masih menggenggam jemarinya, meskipun tak lagi erat dalam kantuk. Ia menghela napas, menyapu jari-jemari di antara surai putih yang rutin Samuel warnai.
Enkaku, di suatu waktu, mengusulkan Samuel—yang taat aturan, yang berpenampilan rapi, yang tidak pernah macam-macam apalagi melanggar peraturan—mewarnai rambutnya. Ia bilang, Samuel cocok dengan warna putih. Maka Samuel, yang hidup matinya barangkali sudah digantungkan di telapak Enkaku, betulan mewarnai rambutnya dan mengejutkan seisi sekolah. Orangtuanya juga terkejut, namun tak mempermasalahkan hal itu. Pak Arka bahkan dengan sengaja menggunakan kuasanya sebagai “orang kaya” agar Samuel tetap dapat mengenakan warna rambut yang ia suka, saat pihak sekolah memanggilnya lantaran rambut Samuel melanggar peraturan mengenai penampilan siswa.
Cinta mati, kata orang. Flamebringer telah melihatnya. Di antara pertempuran Terra, cinta mati dibawa sampai ke artian harfiah karena tak ada satupun orang di Terra, yang pernah menyentuh senjata, pernah berpikir bahwa nyawa mereka tak akan melayang hari ini. Mereka semua siap mati tanpa diingat. Cinta mati yang sesungguhnya.
Namun baru kali ini Flamebringer melihat cinta mati sepilu ini, dari pemuda sebelia ini. Ia mengerti bahwa Enkaku telah lebih dulu mencintai Arka, namun ia juga paham bahwa Enkaku melihat apa yang ia lihat. Ia tak akan mau mengotori anak sesuci ini. Tidak mau merusak hati yang masih rapuh dengan segala kerumitan dan pahitnya kasih.
“Kenapa kau harus jatuh cinta pada waktu yang salah?” bisiknya.
Di pangkuannya, Samuel terlelap dalam untaian memori yang ia lepaskan satu-persatu. Genggamannya mengerat di jemari Flamebringer.
Ia menatap sayu pemuda itu. Ia tak pernah mencinta sampai begini; apa yang ia punya dengan W bukanlah sesuatu semurni ini. Sudah terlanjut kotor dan picik, meski ia tahu W peduli. Namun mereka berdua sama-sama paham. Mereka punya kehidupan yang tak mampu mengakomodasi afeksi.
“Hei,” ia menggoyangkan bahu Samuel pelan-pelan. “Hei, Samuel.”
Pemuda itu bangun setelah beberapa menit. Barangkali kelewat lelah oleh tangis. “Flamebringer?”
Oh. Hatinya berdenyut sesaat. Sebegitunya tekadnya melepaskan Enkaku. Ia tersenyum canggung. “Uh, mau menginap saja? Kurasa terlalu malam untuk pulang. Apartemenmu lumayan jauh dari sini.”
Samuel mengedip pelan, seolah belum sepenuhnya tersadar. “Boleh?” tanyanya, polos sekali.
“Boleh, tapi kau tidur di sofa. Ranjangku kecil,” ucapnya.
Samuel mengangguk, dan menuruti tarikan lengan Flamebringer saat ia menyuruhnya membasuh muka sementara ia menyiapkan pakaian ganti untuk Samuel. Pakaiannya pas di bagian bahu, tapi sedikit kepanjangan di lengan baju dan celana. Tidak heran juga, Flamebringer sekepala lebih tinggi darinya.
Saat ia hendak mematikan lampu dan kembali ke kamar, Samuel bangkit sedikit dari sofa dan berkata, “Selamat malam, Flamebringer.”
Ia tersenyum simpul. “Selamat malam, Samuel.”
Sebelum ia terlelap, ia menatap langit-langit kamarnya dan berpikir; untuk kedua kalinya, nama Enkaku telah mati bersama debu semesta.
-
Rasanya lebih mudah bernapas setelah itu. Perlahan, Samuel mulai terbuka, seutuhnya. Bukan karena ia adalah bayangan Enkaku; dan ia mulai terbuka, seutuhnya, karena ia juga dapat menghargai Samuel sebagai seseorang yang telah berusaha sejauh ini. Terkadang Samuel menginap, dan, sesekali—sekitar satu kali dalam dua sampai tiga bulan—Flamebringer menginap di apartemennya. Biasanya itu karena mereka keluar di daerah dekat kampus Samuel dan pulang terlalu larut.
Pak Arka... Ia sesungguhnya tak tahu apakah pria itu tahu bahwa ia berteman dekat dengan anaknya, lagi. Namun ia tak memperlakukan Flamebringer berbeda dari sebelumnya. Masih begitu santun dan mengasihi, masih dengan kebiasaannya di ranjang, masih dengan ciuman lembutnya sebelum pergi. Flamebringer tak jatuh cinta dengannya, namun ia—nyaman. Karena Pak Arka adalah satu hal yang pasti, yang tak berubah. Seperti karang yang tak tergerus air, bahkan meski dihempas ombak setiap saat. Tempatnya berlabuh saat napasnya tercekat di tenggorokan, mengingat Terra dengan rasa sakit yang membutakan. Tempatnya bertumpu dari perasaannya yang kadang tak dapat dimengerti.
Samuel membuatnya merasa. Meskipun ia bukan robot konstipasi seperti Executor, namun Flamebringer tak pernah merasa bingung akan cara mengungkapkan perasaan, tak pernah membatasi perasaannya sendiri. Namun setelah melihatnya retak di malam itu, setelah ia memutuskan untuk membuka diri, ia merasa kewalahan dengan perasaan-perasaan baru yang ia alami.
Ini pertama kalinya ia membiarkan sisi sentimentalnya lepas. Karena ini pertama kalinya pula ia berada di tempat di mana ia dapat membiarkan hal itu terjadi. Terra bukanlah tempat bagi mereka yang berhati lembut. Bahkan Sarkaz lemah lembut yang Shining selalu lindungi itu, Flamebringer tahu ia menguatkan hati kala pertempuran tiba demi keselamatan para petarung. Jadi, ini semua juga merupakan hal yang baru baginya. Dan di antara terombang-ambing kala ia mencoba membiasakan diri dengan keadaan emosional yang baru, Pak Arka menjadi titik gravitasi yang menjaganya agar tak melayang dan meninggalkan orbit.
Salah satu hal yang membuat Flamebringer bingung harus bereaksi apa, adalah bagaimana Samuel membiasakan diri untuk dekat dengannya—secara fisik. Ia tak masalah dengan hal itu—lihat juga bagaimana sulitnya pemuda itu untuk menyentuh orang lain karena memang ingin, karena mau menunjukkan kedekatan antara orang yang mengenal satu sama lain. Rangkulan di pundak, berpegangan tangan, memeluk, semua ia pelajari perlahan dalam bulan-bulan mereka mulai menata kembali pertemanan mereka.
Namun hal itu juga membuat semakin mawas terhadap... kehadiran Samuel. Muka, suara, mimik, emosi, tubuh, pergerakan—semua hal soal Samuel rasanya dikeraskan dua kali lipat di kepala Flamebringer. Ia tahu tanda-tanda ini. Ia pernah melewatinya, lagipula, tidak perlu berpura-pura bodoh bahwa ia tertarik dengan Samuel setelah sekian lama mereka mengenal satu sama lain.
“Bodoh,” ia berkata suatu hari, asap rokok mengepul di sekitarnya. Samuel tengah dalam perjalanan menuju apartemennya, berjanji membawa burger yang Flamebringer ingin coba. “Bodoh,” ulangnya, wajahnya berkerut. “Tolol sekali, baru suka sekarang.”
Ia tak mau bilang. Tak mau membuat bayangan Enkaku kembali dan memukul mundur perkembangan Samuel sejauh ini. Ia juga tak mau dianggap sebagai pengganti. Ia sanggup—tentu saja. Namun untuk apa perjalanan selama hampir tiga tahun sejak ia dikirim ke sini, kalau harus kembali ke langkah awal?
Rasanya mau terjun dari balkon saja, saking merasa tololnya. Perasaannya berkecamuk, tidak paham harus diapakan. Ia tak tahu harus merasa bagaimana, dan mesti memberi kepastian pada hatinya mengenai keputusan yang akan ia ambil. Ia tidak suka bohong atas perasaannya. Tidak mau pura-pura tidak tahu. Namun ia juga tak bisa begitu saja bilang, oh, hey kid, tahu tidak? Sekarang aku suka kau, haha, ya setelah terlambat tiga tahun.
Ia rasa, sampai sebegitunya hal ini memengaruhinya, karena saat ia bertemu dengan Pak Arka bulan selanjutnya, ia malu setengah mati saat ia menangis. Entah kerasukan setan apa. Saat lelaki itu membelai rambutnya halus, bergumam lembut di telinga Flamebringer, air mata besar-besar jatuh dari pelupuk matanya. Ia tak tampak menawan saat menangis, ia tahu. Tapi ia tak bisa berhenti.
Pak Arka dengan cemas bertanya, ada apa? Ada yang sakit? Enkaku? dan memeluknya erat saat ia menggeleng lemah, berkata tidak tahu, tapi tidak tahan saja.
Lengan kokoh terus merengkuhnya sementara ia menangis di dekapan Pak Arka, sampai ia tertidur karena kelelahan menangis. Pria itu tak bertanya apapun, hanya menciumnya sedikit lebih lama dari biasa saat ia hendak pergi.
“Hei,” Flamebringer bertanya di suatu siang, saat Samuel sedang berselonjor di sofa. Pak Arka tak menghubunginya agak lama, barangkali memberinya waktu untuk menenangkan diri. Tapi bagaimana bisa mau tenang kalau sumbernya setiap minggu datang ke apartemen?
“Hnm?” sahut Samuel, menoleh padanya.
Pintu balkonnya hari ini dibuka. Flamebringer baru beli kipas, yang ia letak di ujung ruangan agar ia bisa menonton sambil merokok, tanpa kepanasan karena A/C dimatikan. Ia menyesap rokok sampai ke tenggorokan, sebelum mengembus asap. Pandangannya tak teralih dari jendela-jendela gedung kantor di luar.
“Kau rindu Enkaku?”
Samuel tak menjawab, lama sekali. Maklum saja, pikirnya. Itu bukan pertanyaan yang menyenangkan. Mungkin tidak seharusnya ia bertanya. Namun ia ingin tahu, entah atas tujuan apa kecuali menyakiti diri sendiri.
“Iya,” Samuel berkata, setelah kebisuan yang melekat terlalu lama di udara.
“Oh.”
Keduanya tak mengatakan apapun lagi. Di luar terik, orang-orang di TV berteriak dan tertawa; Flamebringer menarik napas penuh nikotin, dan mengembuskan asap berbalur kekecewaan.
-
Pak Arka tak berkata apapun saat Flamebringer mulai melucuti pakaiannya, melompat naik ke rengkuhan lelaki itu saat Arka menggendongnya ke ranjang. Ciumannya kasar, tiap tautan bibirnya dan Arka terasa seperti keputusaasaan yang diteriakkan besar-besar. Ia mencumbu Arka dengan urgensi yang tak mampu ia jelaskan, seolah ia tak ingin melepaskan, seolah ia tak ingin lupa bahwa ia masih ada di sini.
Untuk pertama kalinya, Flamebringer-lah yang berinisiatif mengajak bertemu. Ia menolak ajakan bertemu Samuel, dengan alasan pekerjaan, dan berusaha tak memikirkan bagaimana Samuel akan langsung tahu bahwa ia berbohong. Alasan mengapa ia selalu tahu kapan mereka bertemu, adalah dari akun email ibunya yang ia retas diam-diam. Ibunya menyewa seseorang untuk mengamati kapan saja Pak Arka dan Flamebringer bertemu. Semua ini semata demi memastikan tak ada saksi mata, ataupun anggota keluarga yang mempunyai potensi untuk membawa perselingkuhan ini pada atensi publik. Jadi ia tahu, bahwa bukan Pak Arka yang meminta bertemu, melainkan Flamebringer sendiri.
Desah rendah meluncur dari bibirnya saat Arka menghentak masuk, lagi dan lagi. Keduanya kakinya mengapit era pinggang lelaki itu, berusaha menariknya lebih dekat. Ia tak mau berpikir soal reaksi Samuel, tak mau menerka-nerka apa yang ia pikirkan saat ini.
Usai mereka bersenggama, Pak Arka menatapnya sedih dengan raut wajah yang terlalu mirip dengan Samuel. Ia menyampirkan seuntai surai ke belakang telinga Flamebringer, membelai pipinya lembut, namun tak mengatakan apapun.
Hal ini terus berlanjut, hingga berbulan-bulan kemudian. Ia selalu menolak apabila Samuel mengajak keluar, dengan alasan bekerja. Selalu tak ada di apartemen tiap ia mencoba berkunjung. Selalu menghindar karena Flamebringer adalah orang tolol yang tak mengerti cara menangani perasaan sendiri. Konyol, karena bahkan Samuel, yang notabene lebih muda dan sensitif, tetap berusaha untuk berdamai dengan urusan perasaannya. Namun ia tak mengerti cara memberitahu Samuel bahwa ia suka, bahwa ia tak mau mencoba bersama dengan ia dengan wajah yang persis dengan orang dulu ia cintai. Maka ia berlari, dan terus berlari dari Samuel.
Sampai suatu hari, Samuel berhenti menghubunginya.
Ia menghubungi Pak Arka, dan untuk pertama kalinya pula, mereka bertemu di apartemen Flamebringer. Di mana ia menghabiskan malam di ranjang kecil, memeluk Flamebringer sementara ia mendekam tanpa suara.
-
“Aku tak mengerti,” ucap Kal’tsit saat ia tumbang untuk ketiga kalinya dalam satu bulan. “Perkembanganmu sudah begitu bagus selama dua tahun belakangan. Apa yang terjadi?”
Flamebringer mengulum lidah. Ia mengedikkan bahu, tak menatap wanita itu saat ia berkata, “Patah hati.”
Kal’tsit menghela napas, dan menulis resep obatnya di secarik kertas. “Urus patah hatimu,” ucapnya, menekan kertas resep ke dada Flamebringer yang semakin mengurus. “Kalau tidak mau kupaksa tinggal di ruang inap.”
Yang, tentu saja, tidak ia lakukan.
Namun semesta tertawa padanya, dan memutuskan bahwa ia mesti menghadapi persoalan ini bahkan saat ia tak siap dan tak mengerti. Karena, mengapa tidak? Makin ia menderita, makin yahud.
Saat ia tergeletak tak sadarkan diri di depan pintu apartemen, Samuel baru saja melangkah keluar dari elevator. Ia tak mendengar jeritan pemuda itu, tak melihat wajah yang memucat diliputi kecemasan dan rasa takut, tak merasakan saat tubuhnya dibopong masuk ke dalam. Yang ia rasakan hanya aroma Samuel di sekelilingnya, dan hangat dekapannya saat ia memeluk Flamebringer erat-erat.
“Hei,” sapanya saat Flamebringer akhirnya sadarkan diri. Senyumnya agak bergetar, matanya memerah meski tak berair. Pasti mengejutkan, melihatnya tergeletak begitu saja.
“Hei,” sapanya balik dengan suara serak, tersenyum. Karena ia rindu Samuel, dan persetan perasaan bodohnya. Kenapa ia bisa selama itu menjauh? Tolol.
Samuel membantunya mengambilkan air, dan meletakkan kembali gelas yang kosong ke atas meja. Ia kembali memeluk Flamebringer, yang terduduk di pangkuannya, namun terlalu lemas untuk berpindah posisi. Nyaman juga begini, mending manfaatkan kesempatan daripada denial lagi. Ia juga sudah lelah. ‘Toh, ini juga yang disarankan Kal’tsit. Hantam sajalah, persetan bagaimana hasilnya.
Pada akhirnya, Flamebringer selalu siap akan kesendirian. Ia hanya takut akan penolakan Samuel, karena perasaan seperti ini terlalu baru untuknya. Tidak terasa seperti W, sama sekali tidak. Karena mereka berdua saling mengerti bahkan tanpa kata. Karena mereka berdua sama-sama manusia kotor yang retak oleh takdir. Mereka berbagi tempat berlindung, untuk sejenak mengambil napas dari kerasnya guncangan hidup di Terra. Namun menyukai Samuel terasa seperti terbang tanpa sayap; seperti aroma kopi yang terlalu mahal dan burger di malam buta; seperti aroma nikotin yang ikut melekat di kaus Samuel; seperti senyum halusnya pada Flamebringer yang terasa seperti sebuah rahasia, hanya untuk Flamebringer seorang.
Ia mengangkat jemarinya, membelai sisi wajah Samuel yang mulai ditumbuhi jenggot tipis-tipis. Mungkin ia belum bercukup hari ini. Ibu jarinya mengusap lembut pada tulang pipinya yang tinggi. “Hei,” panggilnya pelan.
Angin semilir di malam yang diisi oleh hiruk-pikuk kota. Empat belas lantai di atas jalanan, di sebuah apartemen kecil, di pangkuan Samuel, ia merasa bahwa dunia terasa terlalu sunyi. Hanya iringan napas mereka yang memenuhi telinganya. Maka ia tersenyum, dan membisikkan sebuah rahasia pada pemuda itu.
“Jangan benci aku,” ucapnya.
Pemuda itu menggeleng. “Tak akan pernah,” janjinya, dan untuk sejenak saja, Flamebringer mengizinkan dirinya percaya.
Samuel tak bereaksi apapun saat Flamebringer mengecup bibirnya. Namun kemudian ia menutup mata, dan mengembus napas halus, yang Flamebringer telan dengan lenguh rendah. Kedua tangannya mendekap tubuhnya mendekat, seolah ia ingin merasakan detak jantungnya dari balik lapisan kain. Bibir mereka bergerak dalam gesekan perlahan; langsam, sensual.
Untuk pertama kalinya selama beberapa bulan belakangan, Flamebringer akhirnya merasa bahwa ia dapat bernapas lega. Ia tak tahu siapa yang dilihat Samuel saat ini; ia atau Enkaku. Namun itu tak jadi masalah. Ia sudah mengungkapkan kecamuk dalam dadanya, sudah mengudarakan kejujuran. Ia tak mempunyai hutang apapun dengan hati yang berdenyut tiap kali Samuel memagut bibirnya. Pun meski ia hanya melihat Enkaku, setidaknya biarkan Flamebringer merasakan ini sekali saja.
Saat bibir mereka mengecup lembut untuk yang terakhir kali sebelum memisahkan diri, Flamebringer membuka mata dan tersenyum sayu. Samuel terlihat lelah, namun ia tak terlihat benci, tidak juga jengkel atau sedih. Hanya lelah.
“Kau menghindariku berbulan-bulan karena ini?” tanyanya.
Flamebringer terkekeh pelan. “Tololnya, iya.”
Pemuda itu terlihat tak yakin sesaat, mirip betul dengan saat ia menanyakan identitas Flamebringer dulu, dulu sekali. Rasanya aneh mengingat ia tak terlahir di dunia ini, dan baru menapak jejak di sini kurang dari empat tahun lalu. “Kau suka padaku?”
Ia cuma memberikan cengiran, satu bahunya mengedik di cengkeraman telapak Samuel. “Iya.”
“Kau tidak mau bilang karena tidak mau aku menganggapmu Enkaku?” tanyanya lagi.
Flamebringer mendengus, mengingat kebodohannya. Padahal, yasudah. Biarkan saja kalaupun ia ditolak karena Samuel masih menyimpan rasa pada Enkaku. Ia bisa belajar untuk menerima dan pulih, melangkah ke arah lain kalau memang mau melepas penat dari sakit hati.
“Ya,” katanya.
Samuel mengerutkan alis. Surai putihnya bergoyang; ia perlu potong rambut lagi. “Kau ada di sini, di sofa ini, ketika aku melepaskan Enkaku. Kau yang menemaniku selama aku menangis. Kenapa kau masih bisa berpikiran begitu?”
Ia berdecak, menyenggol lemah dada Samuel dengan bahunya. “Aku tahu aku tolol, oke? Tapi kau bilang padaku kau masih rindu Enkaku, ya mana kutahu kalau perasaanku langsung kacau karena itu.”
Sejenak pemuda itu terlihat bingung. “Kapan—“ memori melekat di kepalanya, dan ia bertanya, “saat kau bertanya siang hari itu?”
Ia mengangguk, dan Samuel menghela napas. “Tentu saja aku masih merindukan Enkaku. Kurasa sebagian dari diriku akan selalu merindukannya, tapi aku sudah rela. Kau tahu itu. Aku tak pernah melihatmu sebagai Enkaku sejak saat itu. Aku berteman denganmu karena aku suka perangai dan cara kau memperlakukanku. Aku dekat denganmu karena kau orang yang menarik.”
Flamebringer mendengarkan penjelasannya dengan debar jantung yang makin lama makin kencang. Dekat begini, ia yakin Samuel bisa mendengarnya. “Oke. Aku minta maaf karena sudah berpikir begitu. Perasaan membuatku jadi dungu, oke?”
Samuel tersenyum mengiyakan. “Betul.”
Flamebringer tertawa, sedikit serak, banyak leganya. Ia mengecup bibir Samuel sekali lagi, dan menatap matanya.
“Aku suka kau.”
“Aku juga.” Senyum Samuel melembut, mengusap helai rambut Flamebringer yang jatuh ke mata. “Hanya kau saja yang tidak sadar, karena terlalu takut mengakui perasaan sendiri.”
“Hnm,” angguknya, menikmati belaian Samuel. “Pak Arka banyak membantu juga.”
Tangan Samuel berhenti sejenak. Flamebringer menatapnya tanpa berkedip, menilik reaksinya. “Kau... masih akan bertemu dengan ayahku?”
Ia mengangguk, hampir tertawa pada sakit hati dan kekecewaan yang langsung terpatri di wajah Samuel yang makin lama makin terpahat oleh puber. “Untuk berpamitan, Tolol,” katanya, sengaja menekankan bagian terakhir.
Untuk sejenak, pemuda itu cuma menatapnya kosong, sebelum ia terlihat kaget, dan tersenyum sumringah. Pertama kali dalam berbulan-bulan sejak terakhir ia melihat senyum begitu di wajah Samuel. Ia terima saja saat pemuda itu memeluknya erat.
“Terimakasih,” ujarnya. “Aku tahu tidak mudah juga. Karena kau sudah bersama Ayah sejak lama.”
Betul. Ia memang bukan Enkaku, namun Arka telah bersamanya dari awal ia datang ke dimensi ini, hingga sekarang. Ia juga yang merengkuh dan menjaga Flamebringer saat ia terlelap, saat ia terlalu lelah karena perasaannya. Kadang ia berpikir, apakah pria itu juga mencintai Enkaku, namun memilih untuk tak menunjukkan karena tak ingin mengekangnya. Karena ia tak ingin melibatkan Enkaku dalam permasalahan keluarga besar mereka.
“Jadi,” katanya kemudian. “Tawaranmu empat tahun lalu masih berlaku?”
Samuel tertawa, langsung mengerti apa yang ia bicarakan. “Tentu saja, tapi aku tak bisa membayarmu empat-puluh-juta tiap kita bertemu, karena kita bertemu sering. Atau memberimu uang bulanan dua-puluh-lima juta, atau memberikanmu barang seharga bayaran kuliahku—karena lebih besar dari SPP sekolah. Belum bisa, setidaknya.”
Ia nyengir kuda mendengar humor dari pemuda itu. Jauh sekali dari Samuel yang kaku di awal pertemanan mereka. “No probs, kau bisa bayar tagihan rumah sakitku saja sudah perkasa sekali di mataku.”
Mata biru Samuel lembut dan penuh kasih mendengar ucapannya. Flamebringer mendadak merasa jengah.
“Aku tahu kau suatu saat akan pergi juga, dan tidak akan kembali karena tubuhmu tidak mampu bertahan,” ujarnya, duka menguntai dari tiap silabel. “Aku bisa terima. Tapi jangan pergi seperti ini lagi, ya? Jangan tinggalkan aku tanpa penjelasan begitu.”
“Tidak akan,” janjinya, tersenyum di balik bibir Samuel saat ia mengecupnya lagi. “Tidak akan pernah lagi.”
-
Pak Arka memeluknya erat saat ia berkata akan pergi. Ia tak terlihat marah, atau kecewa; hanya sedikit sedih dan tatapan mengasihi yang sama. “Sebelum kita berpisah, boleh aku tahu siapa namamu?”
Flamebringer merasa jantungnya naik ke tenggorokan untuk sesaat, sebelum tenang kembali saat Arka tersenyum padanya. Tentu saja, kalau anaknya saja bisa langsung cepat mengenalinya, ya tidak mungkin pria yang sudah begitu lekat dengan Enkaku seperti Arka tidak merasakan apapun.
“Flamebringer,” ujarnya.
Pak Arka mengangguk. “Boleh saya mencium kamu untuk terakhir kali, Flamebringer?”
Ia tak menjawab, hanya merengkuh wajah lelaki itu, dan mengecup bibirnya dalam-dalam; merasakan tuangan perasaan yang selama ini selalu disimpan rapat-rapat oleh Lan Arka. Kasihnya, rindunya, sakitnya, pedihnya, cintanya. Rasanya sedang dibuai dalam tornado perasaan. Jemari Arka mengusap sisi pinggangnya, membelai tengkuk dan rambutnya. Flamebringer merasa pilu, pilu, pilu saat Arka menciumnya lembut, penuh perasaan, penuh keputusasaan, dan penerimaan.
Saat mereka berpisah kembali, jantungnya serasa diremas kuat-kuat melihat betapa mata hitam Arka dipenuhi gurat lara. Ia mengambil keputusan yang betul dengan memilih bersama Samuel, karena ia tahu bahwa semua pusaran kasih yang Arka punya, bukanlah ia yang mesti menuai.
“Kapan kau tahu?” tanyanya.
“Sejak pertama kita bertemu,” ujarnya. “Saya mesti meminta maaf, karena terkesan memanfaatkan kehadiran Anda di sini. Tetapi saya cuma manusia. Enkaku adalah orang terkasih bagi saya, dan meskipun saya tak tahu bagaimana Anda bisa sampai di sini, saya tahu ia telah lenyap.”
“Tidak perlu,” kata Flamebringer, dan maju untuk menciumnya lagi. “Aku juga. Maaf, aku memanfaatkanmu untuk lari dari ketololanku soal perasaan.”
Pak Arka terkekeh kecil mendengar ucapannya. “Tidak apa. Itu juga membantu saya menyadari bahwa sudah sepatutnya saya berhenti mengejar bayang Enkaku dari Anda. Saya yakin perasaan Anda sudah menuntun Anda pada tempat yang membuat Anda bahagia.”
Tawa lepas meluncur dari bibir Flamebringer. “Aneh tidak ‘sih, tahu kalau aku mengencani anakmu sekarang? Apalagi aku kelihatan seperti—ini.”
Arka menarik poni panjangnya ke belakang telinga, persis sama seperti cara Samuel melakukannya. “Anda bukan Enkaku, saya mengerti dan menghargai itu. Anda adalah seseorang yang tak terkait dengan masa lalu saya maupun Samuel. Jadi tidak sepatutnya ada penilaian miring terhadap keputusan Anda. Saya cuma berharap Samuel bisa membahagiakan Anda, dan Anda bahagia di sisinya.”
Ia tersenyum, tulus. Wajar saja Enkaku bisa cinta padanya.
“Boleh aku tanya, kenapa kau tak pernah bilang kau cinta pada Enkaku?”
Lelaki itu menatapnya sedih, dan mengembus napas berat. “Mencintai Enkaku bukanlah kebebasan yang bisa saya dapatkan di kehidupan kali ini, Flamebringer. Terkadang, kita mau tak mau harus takluk pada takdir, dan mencurangi nasib semampu kita.”
Ia mengerti; ia rasa ia mengerti. Dikecupnya sekali lagi bibir Arka, sebelum memeluknya erat. “Semoga, entah di dimensi mana, kau bisa dapat kebebasan itu.”
Lan Arka memberinya senyum manis saat ia membungkuk dan berkata, “Terimakasih, Flamebringer. Selamat tinggal.”
“Selamat tinggal, Arka,” ucapnya, melambai dan berbalik pergi.
Samuel menunggunya di sofa ketika ia kembali ke apartemen, membaca modul kuliahnya yang tebal. “Bagaimana?” tanyanya.
Flamebringe berpura-pura berpikir sejenak, sebelum menyeringai. “Kurasa bakat menciummu turun dari ayahmu, Samuel.”
Ia tertawa saat Samuel hendak memukulnya dengan modul, berlari menjauh sebelum mendekat dan membiarkan pemuda itu memeluknya.
“Jadi sewa oom, Mas Samuel?” candanya.
“Jadi,” jawab Samuel tanpa urat malu. “Sewa oom sampai tua.”
“Ew, bangsat, najis,” tawanya. “Aku sudah tua.”
Samuel menciumnya. “Sampai aku tua.”
Tidak buruk juga, bersama Samuel sampai dia ringkih. Atau sampai tubuh Flamebringer tumbang lebih dulu, entah mana yang sampai duluan. “Boleh,” katanya. “Lumayan juga dapat sugar daddy sampai modar.”
Di telinganya, Samuel mendengus. Namun kemudian ia menatap Flamebringer seperti ia menatapnya setiap hari—lembut, penuh kasih, penuh janji yang akan ia tepati. “Aku suka kau, tahu?”
Flamebringer memberinya cengir kecil. “Yeah, tahu. Aku juga, kau tahu?”
Saat Samuel menciumnya lagi, dalam dan intens, satu tangan Flamebringer mengacungkan jari tengah pada langit biru di luar ruang tengah. Mampus kau, bangsat, umpatnya. Makan saja pahitnya kekalahan karena Flamebringer akan menang, akan terus menang. Karena ia akan mencoba bahagia, sampai mati, dengan lelaki tolol ini.
-
1 note · View note
masauntukfilem · 7 months
Text
Tumblr media
CREEP (2004)
Genre - Horror Thriller (US)
Plot - Mengisahkan Kate, yang tertidur di Metro Stesen< London di tengah malam. Apabila dia terjaga, orang telah tiada dan dia mendapati bahawa dia seorang terkunci di dalam stesen bawah tanah itu. Dia juga mendapatai bahawa dia tidak keseorangan di situ dan ada makhluk lain yang cuba memburu dan membunuhnya.
Personal skor - 2 / 5 (filem yang biasa saja. Plot juga biasa, mengenai makhluk yang menculik manusia untuk dijadikan makanan dan untuk tujuan pembiakan)
Masa tontonan - 85 min
Platform - Tubi
Tarikh menonton - 24/9/2023
0 notes
eauteous · 8 months
Text
Tumblr media
So, what is love?
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Kim Younghoon and Lee Juyeon as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
୨୧
Selama berpuluh-puluh tahun hidup di dunia, tidak pernah Younghoon berpikir bahwa ia akan jatuh cinta. Menurutnya cinta itu bukan hal pasti karena pada dasarnya manusia adalah makhluk dinamis yang kerap kali berubah. Melihat bagaimana teman-temannya menangis pilu dengan bahu bergetar, dalam pandangan Younghoon pelipur hati seringkali menjadi sumber patah hati.
Tapi kali ini berbeda. Matanya tak pernah berhenti menatap seseorang yang tengah berdiri beberapa meter di depannya. Sosok tinggi menjulang dengan senyum semanis tumpukan donat, yang selalu menjadi kudapan manis favorite Younghoon, yang tak pernah merasa lelah melukiskan indah senyuman di wajah menawannya.
Teman-temannya berkata kalau jatuh cinta akan sangat menyenangkan jika yang kamu cintai memiliki perasaan yang sama. Ia sempat mengernyitkan dahi begitu mendengar perkataan itu. Dalam hati sang adam bertanya-tanya apa untaian kata yang terlontar dari bibir Chanhee benar adanya? pasalnya Younghoon tau Juyeon, seseorang yang menjadi alasan dibalik terangnya sinar bulan sabit yang melengkung sempurna di bawah hidung Younghoon, tidak memiliki perasaan yang sama. Tapi kenapa rasanya seperti ada luapan bahagia yang datang berbondong-bondong mengisi ruang hampa dalam dirinya? apakah ini bukan jatuh cinta yang dimaksud teman-temannya? tapi siapa peduli tentang apa itu definisi sesungguhnya dari jatuh cinta?
“Younghoon.”
Mata Younghoon mengerjap lucu. Mengundang tawa renyah dari sosok di depannya. Younghoon menyukainya. Menyukai tawa dan suara pujaan hatinya ini.
“Kenapa?” alih-alih menjawab, Younghoon memilih melontarkan pertanyaan setelah mampu menguasai dirinya.
“Waktunya makan siang. Enggak mau makan? kalau mau, ayo. Jalan bareng ke kantin karyawan.” ajak Juyeon, tak lupa menarik kedua ujung bibirnya menyunggingkan senyuman. Lagi-lagi senyum yang menggetarkan kedua kaki Younghoon di bawah meja kerjanya.
“Oh, boleh!” dengan senang hati tentunya ia menyahut. Tidak membiarkan kekasih hati— sebut saja demikian karena menurut Younghoon Juyeon adalah kekasih hatinya diam-diam!— menunggu terlalu lama.
Keduanya melangkah menyusuri lorong kerja menuju kantin karyawan yang menjadi tempat yang paling diminati seluruh manusia yang rela menghabiskan waktu di depan komputer demi mendapatkan beberapa lembar uang di akhir bulan. Selama perjalanan baik Younghoon dan Juyeon saling berbincang, sibuk membahas hal-hal menarik yang terjadi pada mereka beberapa hari terakhir. Sesekali kekehan kecil terdengar dari keduanya.
“Sebelum kamu datang, rasanya kantor ini menyesakkan tau? semuanya sibuk dengan diri sendiri. Aku memang bukan extrovert yang gemar bertukar pikiran dan berinteraksi, tapi kalau di sekitarku semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing tanpa membuka mulut rasanya bosan. Aku bahkan sampai khawatir bisa mati bosan tau!” celotehan Younghoon membuat Juyeon menggeleng-gelengkan kepalanya diiringi kekehan kecil yang keluar dari bibir tipisnya.
“Masa iya?” tanya Juyeon, seolah memancing Younghoon untuk kembali melanjutnya ucapan-ucapan lucu yang semakin menarik berkat ekspresi wajahnya.
Younghoon mengangguk cepat. Sebelum melanjutkan ucapannya, ia sengaja duduk di salah satu kursi kosong dan menunggu Juyeon ikut duduk di depannya, “Iya! membosankan banget. Aku tuh tertekan sendiri karena sisi ambis mereka. Pekerjaanku sudah berat, eh teman-temannya enggak bisa bercanda sama sekali. Kehadiran kamu itu seperti hujan deras yang membasahi tanah kering dan dedaunan yang nyaris mati saat musim panas rasanya. Seperti kehangatan yang menyentuh pipi dingin aku saat musim dingin. Apa lagi ya frasa yang bisa membuat aku menunjukkan betapa berharganya eksistensi kamu di sini?” kening Younghoon mengernyit. Otaknya berputar merangkai kata demi kata yang mampu menggambarkan perasaanya.
“Mungkin dengan bilang I love you?”
Perkataan Juyeon membuat kedua mata Younghoon membelalak terkejut. “H-hah?” tergagap, Younghoon memaki dirinya dalam hati. Kenapa sih mesti terlihat bodoh? batinnya.
Juyeon membiarkan kedua ujung bibirnya tertarik bersamaan, “Kata-kata kiasan yang kamu pakai itu cocok untuk mendeskripsikan perasaan romansa antar manusia. Jadi saya bantu tambah dengan I love you karena saya tau, kata itu yang mau kamu ungkapkan sebetulnya ‘kan?”
Demi dewa. Demi Tuhan semesta alam. Younghoon hanya bisa melongo menatap Juyeon dengan raut wajah seakan-akan disiram air dingin dua ember besar sekaligus!
0 notes
nauvalre · 8 months
Text
Membongkar Rahasia Kisah Menyelam ke Langit dalam Karya Terpilih Denny JA 63
Dalam dunia sastra Indonesia, nama Denny JA telah menjadi ikon yang tidak diragukan lagi. Karya-karyanya yang penuh dengan rahasia dan keindahan telah menginspirasi banyak orang. Salah satu karya terpilih dari Denny JA yang patut untuk dibahas adalah "Menyelam ke Langit". Dalam artikel ini, kita akan membongkar rahasia dari karya tersebut dan mengeksplorasi keindahan yang terkandung di dalamnya. 1. Latar Belakang Karya "Menyelam ke Langit" adalah salah satu karya terpilih dari Denny ja yang diterbitkan pada tahun 1963. Karya ini merupakan perpaduan antara fiksi dan realitas, yang mengajak pembaca untuk menjelajahi kehidupan manusia di dalam dan di luar bumi. 2. Kehidupan Dalam dan Di Luar Bumi Dalam "Menyelam ke Langit", Denny ja membawa kita dalam petualangan menakjubkan ke dalam dan di luar bumi. Ia memperkenalkan kita pada karakter-karakter yang hidup di dalam bumi, seperti makhluk-makhluk dari dunia bawah tanah. Sementara itu, di luar bumi, terdapat dunia yang penuh dengan misteri dan keindahan. 3. Ruang dan Waktu yang Tidak Terbatas Salah satu elemen yang menarik dari "Menyelam ke Langit" adalah pemahaman Denny JA terhadap ruang dan waktu. Ia menggambarkan dunia sebagai tempat yang tidak terbatas, di mana batasan-batasan konvensional tidak berlaku. Hal ini memungkinkan tokoh-tokoh dalam karya ini untuk menjelajahi berbagai dimensi dan waktu sekaligus. 4. Simbolisme dan Metafora Dalam setiap halaman "Menyelam ke Langit", Denny JA memasukkan simbolisme dan metafora yang mendalam. Setiap karakter, setiap peristiwa, dan setiap objek memiliki makna yang lebih dalam. Melalui simbolisme dan metafora ini, Denny JA mengajak pembaca untuk memikirkan makna kehidupan dan eksistensi manusia. 5. Perjalanan Menuju Maksud Hidup Salah satu pesan utama yang ingin disampaikan dalam "Menyelam ke Langit" adalah tentang perjalanan menuju maksud hidup. Denny JA menggambarkan bahwa hidup adalah perjalanan yang penuh dengan rintangan dan tantangan. Namun, dengan ketekunan dan keberanian, setiap individu dapat menemukan arti sejati dari hidup mereka. 6. Keindahan Bahasa dan Gaya Penulisan Tidak dapat dipungkiri bahwa Denny JA adalah seorang penulis yang mahir dalam menggunakan bahasa. Dalam "Menyelam ke Langit", ia menggunakan bahasa yang indah dan kaya, yang membuat pembaca terpesona. Gaya penulisannya yang unik juga menambah keindahan karya ini. 7. Pesan Moral dalam Karya Terdapat banyak pesan moral yang dapat ditemukan dalam "Menyelam ke Langit". Salah satu pesan utama adalah tentang pentingnya menghargai kehidupan dan alam semesta. Denny JA juga mengajarkan tentang kekuatan kesabaran, kasih sayang, dan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup. Kesimpulan Dengan "Menyelam ke Langit", Denny JA telah menghasilkan karya yang menggugah dan mempesona. Karya ini tidak hanya memperluas pemahaman kita tentang kehidupan dan eksistensi manusia, tetapi juga menjadikan kita lebih peka terhadap keindahan dan rahasia yang tersembunyi di sekitar kita. Melalui bahasanya yang indah dan pesan-pesan moralnya yang kuat, Denny JA telah membuktikan dirinya sebagai salah satu penulis terbaik Indonesia. Dalam "Menyelam ke Langit", Denny JA telah mengajak kita untuk memandang dunia dengan mata baru. Ia membongkar rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam dan di luar bumi, dan mengajak kita untuk menyelami keindahan yang ada di sekitar kita. Karya ini adalah tonggak penting dalam karir Denny JA, dan merupakan kontribusi berharga bagi dunia sastra Indonesia.
Cek Selengkapnya: Membongkar Rahasia: Kisah Menyelam ke Langit dalam Karya Terpilih Denny JA 63
0 notes
bersuaralewatulisan · 9 months
Text
Senandung
Langit biru membentang, awan putih berarak Seperti tarian lembut, alam membawa kita larut Rimba berbisik bisik, lagu harmoni tanah Bersama mentari, kita menari dalam irama yang abadi.
Di bawah cahaya emas, bunga-bunga tersenyum Semua makhluk hidup, bersatu dalam satu irama Suara angin lembut, seperti puitis kisah kita Mentari dan alam, memainkan lagu indah yang abadi.
Dalam senandung alam, jiwa menjadi satu Mentari dan suara, mengajak kita berdansa Perlahan kita melangkah, menapaki hidup yang penuh warna Di bawah mentari, kita menari, mengikuti irama alam yang terpilih.
#bersuaralewatulisan
0 notes
perumahanngawi · 4 days
Text
Tumblr media
Sebagai makhluk sosial, tingkat mobilitas manusia tergolong tinggi.
Setidaknya dalam satu bulan pasti melakukan perjalanan ke luar kota.
Memiliki hunian yang dekat dengan jalur transportasi akan memberikan keuntungan besar bagi penghuninya.
Griya Mentari Asri terletak di kawasan Kota Ngawi.
Lokasi yang strategis memudahkan dalam mengakses transportasi publik dan mobilisasi.
🛣️ 5 menit ke Exit Tol Ngawi
🚌 11 menit ke Terminal Kertonegoro
🚉 12 menit ke Stasiun Ngawi
HANYA DENGAN 5 JUTA, RUMAH SAH JADI MILIK ANDA!!
⭐ Gratis Desain Tata Ruang
⭐ Harga termasuk Biaya Notaris, Sertifikat Unit, AJB, IMB, PPn, dan Bea Balik Nama
⭐ Angsuran 30 Bulan Tanpa DP dan Bunga
⭐ Syarat Hanya KTP dan KK
✅ Lokasi Strategis
✅ One Gate System
✅ Keamanan 24 Jam
✅ Drainase Bawah Tanah
✅ Jalan Paving Luas
✅ Pagar Keliling 2 Meter
✅ Mushola
✅ Taman Bermain
✅ Bebas Banjir
✅ Listrik 1300
✅ Mushola
✅ Taman Bermain
Lokasi:
🏡 GRIYA MENTARI ASRI
Jl. Sam Ratulangi, Klitik-Kersoharjo, Ngawi
📲 Info:
perumahan ngawi, perumahan syariah ngawi, kredit perumahan di ngawi, perumahan ngawi geneng, perumahan murah ngawi, jual rumah ngawi, rumah ngawi, jual tanah ngawi, perumahan minimalis ngawi, rumah murah minimalis, perumahan tanpa bank, perumahan jatim, perumahan murah jatim, perumahan jawa timur, perumahan strategis ngawi, perumahan ngawi kota, rumah dijual ngawi, perumahan tanpa DP, perumahan tanpa bunga, perumahan ponorogo, jual rumah ponorogo, rumah murah ponorogo, perumahan magetan, jual rumah magetan, rumah murah magetan, peruamhan ngawi murah, perumahan ngawi residence, perumnas ngawi, rumah subsidi ngawi, rumah kpr ngawi, perumahan subsidi ngawi, perumahan kpr ngawi, perumahan ngawi asri, perumahan di ngawi kota, dijual perumahan ngawi, rumah murah ngawi, rumah dijual ngawi, rumah murah di ngawi kota, rumah murah dijual di ngawi, kredit rumah ngawi, kredit rumah ngawi tanpa bank, kredit perumahan ngawi
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
gerubokcom · 9 months
Text
Yomi Yomi no Mi
Tumblr media
GERUBOK one piece | Yomi Yomi no Mi, atau yang juga dikenal sebagai Buah Hidup-Hidup, adalah salah satu jenis Buah Iblis tipe Paramecia yang bisa meningkatkan jiwa pengguna ke titik di mana mereka akan bangkit dari kematian pertamanya. Nama ini berasal dari "Yomigaeru" (よ み が え る?), Yang berarti "Kebangkitan" dalam bahasa Jepang."Yomi" (黄泉?) Adalah nama dunia bawah tanah Jepang, referensi untuk kekuatan buah ini.Dalam manga VIZ Manga dan FUNimation disebut Revive-Revive Fruit. - Baca Juga: Monkey D Luffy, Mengenal Lebih Dekat Kapten Bajak Laut Topi Jerami - 10 Karakter Pemakan Buah Iblis yang Telah Awakening Dalam artian pemakan buah iblis Yomi Yomi Akuma no Mi ini akan berkesempatan untuk hidup untuk kedua kalinya. Menariknya selain hidup kembali, pemakan buah iblis ini juga memiliki kemampuan berbasis jiwa di mana pengguna bisa mengeluarkan jiwanya dari tubuh mereka. Dalam serial manga dan anime populer "One Piece" karya Eiichiro Oda, buah ini makan oleh Brook yang merupakan salah satu anggota Bajak Laut Topi Jerami. Dalam cerita, Buah Yomi Yomi no Mi menjadi fokus pada arc Thriller Bark, di mana salah satu karakter utama, Brook, adalah pengguna dari Buah ini. Sebelumnya, Brook adalah seorang pemain musik yang menjadi anggota dari kru Topi Jerami. Namun, suatu kejadian menyebabkan dia kehilangan nyawanya. Kelebihan dan Kekurangan Setelah memakan Buah Yomi Yomi no Mi, Brook hidup kembali sebagai mayat hidup dengan tubuh tengkorak. Kekuatan Buah ini memberikan kemampuan unik untuk menyatukan kembali jiwa dan tubuhnya, memungkinkan dia untuk hidup lagi sebagai "revive-revive man." Dalam hal ini, Brook menjadi satu-satunya karakter di dunia "One Piece" yang diketahui berhasil hidup kembali setelah mati berkat Buah Yomi Yomi no Mi. Selain kemampuannya untuk hidup kembali, Buah ini juga memberikan Brook kemampuan khusus lainnya. Dia dapat merilis semacam "Hak Hantu," memungkinkan dia untuk berinteraksi dengan dunia roh dan melihat makhluk gaib. Namun, seperti halnya semua Buah Iblis, buah ini juga memiliki kelemahan. Meskipun Brook hidup kembali sebagai mayat hidup, tubuhnya tetap rentan terhadap serangan fisik yang kuat. Sehingga, dia harus tetap berhati-hati dalam menghadapi musuh-musuhnya. Buah Yomi Yomi no Mi merupakan salah satu Buah Iblis yang menarik di cerita "One Piece." Dengan kemampuan uniknya, Brook mampu memberikan momen-momen menarik dan emosional dalam petualangan Topi Jerami dalam mencari harta karun legendaris, One Piece. Temukan Berita Terkini, Berita Terbaru, Berita Viral dan Ramalan Zodiak Hari Ini dari gerubok lainnya di Google News. Read the full article
0 notes