Tumgik
#30DWCJilid19
grandpn · 5 years
Text
Kamu Islam Golongan Mana? (Bagian I)
Hari-hari ini kita seringkali disajikan berbagai perdebatan di media sosial kita. Salah satu pandangan yang berkembang sekarang adalah anggapan sejumlah masjid, kampus, atau aliran tertentu di dalam islam menganut paham radikal sehingga perlu untuk segera dibasmi. Sejumlah kalangan merasa khawatir kebhinekaan akan luntur dengan kehadiran golongan-golongan ini.
Salah dua kelompok yang mendapar cap radikal adalah kelompok salafi-wahabi serta kelompok tarbiyah, yang salah satunya termanifestasi oleh Lembaga Dakwah Kampus.
Saya kemudian merefleksikan perjalanan spriritual saya selama ini. Sejak kecil, saya dikenalkan Islam adalah jalan hidup oleh kedua orang tua saya. Keluarga besar kedua orang tua saya berasal dari Nahdlatul Ulama, yang kemudian diikuti oleh kedua orang tua saya. Ayah saya sering mengajak ke berbagai agenda seperti mengaji yasin, tahlilan, maulidan dan terkadang meminta saya kultum di tengah acara keluarga yang sedang tahlilan atau yasinan. Ibu saya pun demikian.
Kendati demikian, saya menghabiskan masa remaja di sebuah pesantren bermanhaj (berpemahaman) salafi. Keputusan tersebut didasari oleh keinginan orang tua saya, bukan atas inisiatif saya sendiri. Mungkin terkesan ganjil orang tua yang memiliki latar belakang NU namun menyekolahkan putranya ke sebuah pesantren salafi.
Ketika saya di Kampus, saya bergabung dengan Lembaga Dakwah (LD) baik di tingkat fakultas ataupun universitas. Selama empat tahun berada di dalamnya, saya diamanahkan untuk menanngani persoalan kaderisasi, yang disebut sebagai salah satu fondasi dari kelompok Tarbiyah. Ya, lembaga tempat saya bernaung di Kampus merupakan bagian dari kelompok Tarbiyah, yang tentu saja berbeda dengan kelompok Salafi dan NU.
Hingga hari ini, saya masih hidup dalam tiga pemahaman yang berbeda. Saya memiliki banyak teman salafi, mengikuti kajiannya di sekitar rumah saya, dan dua hingga tiga bulan sekali saya menjadwalkan diri saya untuk bersilaturahmi kembali ke pesantren salafi tempat saya menimba ilmu dahulu. 
Saya juga masih mengikuti berbagai agenda-agenda yang menjadi ciri khas kelompok NU, yang mungkin dalam pandangan sebagian dari kita hal tersebut tidaklah ada tuntunannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Saya masih mengikuti agenda maulidan, tahlilan, yasinan, serta berbagai agenda lainnya. Kendati secara struktural saya tidak tergabung dalam keorganisasian NU.
Selama berada di Kampus, saya memiliki banyak sekali kawan-kawan yang bergerak pada kelompok tarbiyah, terlibat dan menyusun berbagai agenda kaderisasi, dan hingga hari ini saya masih menjalin hubungan baik dengan mereka semua.
Ada kawan saya yang mengatakan bahwa kelakuan hidup di berbagai ekosistem seperti ini adalah amoral. Semestinya kita hanya meyakini salah satunya dan menjalani hidup dengan keyakinan yang sudah dipilih tersebut. Adapula yang menilai saya safe player atau bahkan pengecut, hanya ingin main aman dan tidak mau mengambil resiko dengan hanya menjalani salah satu keyakinan saja. 
Dalam tulisan berikutnya, saya akan bercerita tentang apa yang saya rasakan ketika saya menjalani masa pendidikan selama enam tahun di sebuah pesantren salafi, bergabung dengan kelompok tarbiyah di kampus, sembari menjadi seorang NU secara kultural ketika saya berada di lingkungan keluarga.
Semoga apa yang saya ceritakan, dapat diambil hikmahnya bagi kita semua.
7 notes · View notes
septiaherdiani · 5 years
Text
A Letter to the Future
It’s quarter past eight, another typical of Friday evening, drizzle and traffic everywhere. She is inside Shophaus sipping her hot chocolate while the cursor on her laptop beeping on the last sentences of paragraph two. She’s been writing again, continuously, since August. It’s because of her friend asked her to join this writing challenge called 30 Days Writing Challenge.
Today is the last day of challenge. She is decided to writing here while waiting for someone too. It’s supposed to be last week but she had a schedule that can’t be replaced to another day. Stupidly, she doesn’t have his phone number to reschedule their meeting. So, she takes a chance to come to the same place where they were make a promise to meet again. It’s one in a million possibility that he would come to.
She’s arrived at half past five, ordered a meal at Berrywell. She picked Salmon & Hummus Wrap as a main course, Flourless Choco Cake as a dessert, and Lychee Mango Magic smoothies. She is intentionally come two hours early to finish her writing. People entered the door while she was eating. Every time the door opened, she will look up and hope it was him on the door.
She finished her meal and smoothies, also her writing. She ordered hot chocolate as a company for her dessert. It’s half past eight and still drizzle outside. She is eating the choco cake while reading The Course of Love by Alain de Botton. She can’t concentrate on reading when her mind keep thinking the possibilities of him to come.
A quarter to nine, still no sign of him. Her dessert plate is empty, the book left wide open on the table. She is looking at the window.
“ Why are you keep running down to the earth when most of people don’t like you?”, she talked to the drizzle.
It’s pouring happily right after she asked the question. She is smiling and continue saying,
“Do you want accompany me until this store close? It’s very kind of you and that’s why I like you no matter what.”, she smiled.
“You know what, I’ll make you a promise. I will left behind my past, move on, and say hello to the future, if he come. Deal?”
The drizzle become a heavy rain right now and she takes that as a yes. She is smiling again and sipping her hot chocolate. Forty five minutes left until the place is closed. She is no longer expect he would come. She is still stay there just because of her hot chocolate-which already turn into cold-and the rain to stop. She sips her last chocolate drop and packs her things.
Right after she is about to leave, the door is open. She looks up and smiling. He is standing there, soaking wet because of the rain, and still not sees her, yet. He is swept across the room while trying to get rid of the water from his body and sees her. She is standing in her table looking at him, smiling. Their eyes meet and he comes to her.
“I can’t believe you’re here.”, he said with smile on his face.
“Well, you’re not the only one who’s in shocked here.”, she replied and continue,
“Have a sit. I’ll get you a cup of hot chocolate. Is that okay or do you want anything else?”
“No no just let me ordered by myself.”, he grab her wrist.
“It’s okay. Just tidy yourself up and I’ll get you a drink.”, she is insisted.
“Thanks. Hot chocolate would be nice.”, he answered her with a smile.
“Okay then.”, she went to the cashier and order hot chocolate with pisang goreng.
The night is still long and she is relieved she doesn’t have to be alone tonight.
August 31st, 2019 @septiaherdiani
0 notes
watashiwazizah-blog · 5 years
Text
Lonely
Dulu, kau ingin berkenala denganku.
Dulu, tanpa rasa malu kau tunjukkan kepada semua orang bahwa kau ada rasa kepadaku.
Dulu, aku sering cuek terhadapmu.
Dulu, aku berusaha menghiraukanmu.
Dulu, kau selalu ada untukku.
Dulu, kau selalu saja cerewet dengan kesalahanku barang sedikit saja.
Dulu, kau dengan sigap datang kepadaku saat aku sedih.
Dulu, kau yang membuatku tertawa.
Dulu, kau bisa membuatku merasakan seperti terbang ke langit yang ketujuh.
Dulu, aku memujamu.
Kau, telah membuatku menjadi orang gila dengan tersenyum sendiri dijalanan saat kubaca isi pesan darimu.
Kini, kau menjauh dariku.
Kini, kau seolah-tidak mengenalku saat kita bertemy di mall kemarin.
Kini, kau yang sering cuek kepadaku.
Kini, kau kau tidak ada untukku.
Kini, kau diam akan kesalahanku.
Kini, kau yang membuatku sedih.
Kini, kau hanya harapan dalam hatiku saat aku sedih karenamu.
Kini, kau telah berubah.
Kini, aku tak mengenalmu lagi.
Kau telah berubah.
Berubah sejak mengenalnya.
Dan aku kesepian tanpamu.
#Pejuang30DWC
#30DWCJilid19
#Day1
#Lonely
#Squad6
1 note · View note
Text
#Day24
@pejuang30dwc
#30DWC
#30DWCJilid19
Pertemuan
Ada banyak pertemuan yang membekas di hari kita. Entah dengan mereka yang senantiasa bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, seseorang yang pantang menyerah menggapai mimpinya, atau mereka yang begitu bersabar menghadapi ujian dari Rabb-Nya. Mungkin dari banyaknya pertemuan itu juga, tersimpan hikmah untuk kita berbenah diri, mengevaluasi, dan berlomba mengukir kebaikan mengisi hari. Dan ku harap, pertemuan nanti pun membekas dalam hati kecil ini, agar semangat menebar kemaslahatan menjadi bagian dari agenda diri..
Lupaa, tepat nya ini foto 1 atau 2 tahun yang lalu.. Menghadiri walimahan seorang sahabat yang dulu selalu hadir tatkala dibutuhkan.. Dan rasanya baru kemaren kami sering jalan bersama mengelilingi kota Padang dg motornya,. Sekedar melepas penat dari amanah, atau mungkin mencari angin tuk mengusir galau yang menyesakkan dada,. Hmm.. Dan kini, ia sudah memiliki mujahidah kecil.. #sahabat
Tumblr media
0 notes
missceloteh · 5 years
Text
Tumblr media
Teruntuk kamu
Untuk kamu ilusi
Tahun berlalu ratusan purnama berlalu
hari demi hari terus berganti dari waktu ke waktu
Kau entah berada di belahan dunia mana atau memang kau hanya ada dalam dunia fatamorgana.. Sesak dalam hati jika membaca dan mendengar nama itu,
Terasa seperti desiran abu vulkanik yang membuat mata perih
Menderai butir hangat terasa jatuh dari pelupuk
Engkau masih di sana bersamanya,
Mungkin belum terasa panggilan yang menderu dari sanubari kecil ini,
Aku si pengecut itu hanya bisa melihatmu dan memandangmu dari kejauhan tanpa pernah mampu mengutarakan ada rasa tak biasa yang tak mampu terucap,
sakit perih namun tak ada luka parah
kata hatiku kuat tunggu dan bersabarlah..
Teruntuk kamu yang masih di sana,
Sedang aku masih di sini bersama asa yang sama yang masih terpendam dan sangat enggan untuk aku utarakan karena begitu haru atau mungkin malu.
Sebab rasa ini hanya sebagian dari ilusiku saja, atau sebatas imajinasi dalam angan-angan.
Sudahlah berusaha aku untuk melupakan saja
Kau hanya ilusi semata.. @pejuang30dwc
#30DWC #30DWCjilid19 #Day1 #pejuang #squad #fighter
0 notes
grandpn · 5 years
Text
Pilih Passion atau Keluarga?
Melalui aplikasi pesan Whatsapp, minggu lalu saya chatting dengan Enggar Pratama Putra, seorang alumni Teknik Informatika dari UNJ. Perkenalan kami bermula ketika kami sama-sama mengikuti agenda Kuliah Kerja Nyata Kebangsaan di Gorontalo pada medio Agustus 2017. 
Saya yang mengetahui ia lolos seleksi administrasi program Indonesia Mengajar mengucapkan selamat kepadanya. Ia termasuk sekitar 5% pendaftar yang lolos dari sekitar 6.000 orang yang memasukkan aplikasi. Saya melihatnya ia berhasil lolos dari lubang jarum karena keketatan seleksinya yang sangat tinggi.
Namun ia mengatakan kepada saya bahwa ia tidak akan melanjutkan proses seleksi ke tahapan berikutnya.
Duh makasih banget, tapi maaf grand ku ganerusin itu :((
Udah coba ngeyakinin ortu cuman belum dapet ijin
Saya mengerti hal ini berat untuk Enggar. Ia tipikal orang yang resah dengan ketimpangan. Melalui Indonesia Mengajar ia mencoba mengurangi ketimpangan itu dengan menjadi Pengajar Muda (PM) selama satu tahun di daerah terpencil. Namun orang tuanya tidak mengizinkannya mengikuti program Indonesia Mengajar karena ia sudah menjadi tulang punggung keluarga semenjak ia lulus dari kampus.
Terus dengan pertimbangan kesehatan dan usia mereka, mikir juga mau ngelepas jauh. Secara di keluarga cuma gua pribadi yang jadi tulang punggung. Bokap udh pensiun kan :))
Akhirnya ia memutuskan untuk mematuhi perintah kedua orang tuanya. Ia merasa keinginan pribadi jika dituruti memang tidak ada batasannya. Ada hal yang lebih prioritas meski mungkin saja harus bersedia berkompromi dengan mimpi atau keinginan pribadi.
Bener banget grand, dari sini belajar kalau gaboleh egois. Dan mulai mendahulukan keluarga daripada keinginan pribadi yang gak ada abisnya :))
Saya sungguh yakin banyak sekali enggar-enggar lainnya di dunia ini. Mereka yang sebenarnya memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk menggapai mimpi mereka, namun harus bersedia menunda atau bahkan mengubur impian dan passionnya karena merasa ada hal yang lebih prioritas dibandingkan dengan mengembangkan mimpi dan passion mereka.
Ada sebagian orang yang bilang mereka ini adalah tipikal orang yang membentur-benturkan antara passion dengan hal lainnya. Bagi mereka semestinya kita tidak perlu mengorbankan mimpi dengan kondisi kita saat ini dengan saling membenturkan keduanya. Saya merasa tidak sepakat dengan pandangan tersebut karena setiap manusia tidak berada di ruang vakum. Maksudnya, kondisi setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang berhasil menggapai passion dan mimpinya tanpa harus berkorban urusan keluarga. Adapula yang memang perlu memprioritaskan keluarga karena kondisinya tidak memungkinkan untuk mengejar passion dan mimpinya sekaligus.
Melihat kondisi yang terjadi pada Enggar, saya teringat dengan perkataan Fadel Muhammad, seorang teman saya tentang pandangannya soal passion dengan urusan keluarga yang tidak terjadi titik temu.
Menurut gue passion itu kemewahan bro. Ga bisa semua orang dapet kemewahan itu. Bagi yang dapet, alhamdulillah, great. Bagi yang ga dapet, life must go on. Kita coba cari hal lain yang bisa bikin bahagia, walau ga passionate. Bagi gue, salah satu motivatornya itu adalah kebahagiaan keluarga.
Ya, tidak semua harus sesuai dengan yang kita inginkan. Karena setiap orang memiliki resources, needs, dan problem yang berbeda-beda bukan?
9 notes · View notes
grandpn · 5 years
Text
Apakah Kita Bisa Murni Bersahabat?
Saya beberapa pekan lalu menonton sebuah film Indonesia, I Leave My Heart in Lebanon yang bercerita tentang dinamika seorang prajurit TNI yang ditugaskan menjadi pasukan perdamaian PBB di Lebanon. Salah satu tugas prajurit yang bertugas di sana adalah membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar. Salah satu tokohnya, Kapten Satria, bertemu dengan seorang ibu guru SD setempat yang memiliki seorang putri yang gagap bicara. Kapten Satria berusaha menolong anak tersebut dan berinteraksi dengan ibu guru tersebut secara intens.
Percakapan yang menarik terjadi ketika komandannya memanggil Kapten Satria untuk membicarakan hal ini secara khusus.
“Bagaimana hubunganmu dengan wanita lebanon itu?”
“Siap komandan, hanya bersahabat”
Dalam benak saya kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah saya sebagai seorang laki-laki bisa murni bersahabat dengan perempuan?
Perbedaan Ekspektasi
Saya berusaha mencari jawabannya, hingga saya menemukan sebuah jurnal akademik yang diterbitkan oleh University of Wisconsin-Eau Claire, USA yang berjudul Benefit or Burden?, Attraction in Cross-Sex Friendship. Jurnal ini melakukan penelitian terhadap 88 pasang sahabat laki-laki dan perempuan dengan metode wawancara mendalam yang dilakukan secara terpisah pada setiap responden.
Secara ringkasnya, jurnal ini mengemukakan beberapa poin sebagai berikut:
Dari segi rasa ketertarikan, laki-laki jauh lebih tertarik dengan sahabat perempuannya dibandingkan dengan perempuan yang tertarik dengan sahabat laki-lakinya
Dalam benak laki-laki, ada pemikiran bahwa sahabat perempuannya memang tertarik juga padanya. Hal ini ia rasakan dengan menyambungkan setiap perilaku yang ditunjukkan oleh sahabat perempuannya sebagai ekspresi ketertarikan, padahal belum tentu.
Dari sudut pandang perempuan, mereka jarang tertarik dengan sahabat laki-lakinya. Ia merasa sahabat laki-lakinya juga merasa demikian.
Sulitnya Menjalani Hubungan Platonik
Jika kita melihat poin-poin di atas, ada semacam ekspektasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani hubungan persahabatan. Maka sulit rasanya jika persahabatan yang terjadi bisa murni bersifat hubungan platonik sebagaimana bentuk hubungan persahabatan pada umumnya. Platonik yang dimaksud disini adalah rasa keintiman emosional tanpa rasa keintiman romantis, utamanya bagi laki-laki.
Dalam jurnal tersebut, ada sebuah pernyataan tentang kemungkinan adanya romansa. Responden pria lebih banyak yang menjawab adanya kemungkinan tersebut dibandingkan dengan responden perempuan dengan perbandingan 12 berbanding 3. Dari sudut pandang laki-laki, ia cenderung tidak akan menolak jika ada opsi yang lebih dari sekedar bersahabat. Semisal untuk hubungan jangka panjang dengan menikah atau hubungan jangka pendek seperti pacaran.
Comfort Zone
Saya terkadang melihat postingan status WhatsApp teman-teman perempuan saya yang men-screenshoot durasi WhatsappCall dengan sesama teman perempuannya. Umumnya durasinya cukup lama, dari setengah jam hingga tiga jam. Saya kadang merasa bingung. Kok bisa ya mereka bisa mengobrol selama itu dengan teman mereka di WhatsApp Call?. Saya sendiri sekalipun bertelpon dengan teman dekat saya maksimal hanya lima menit saja.
Ternyata memang hubungan interpersonal perempuan lebih didasari atas rasa kenyamanan. Menjaga komunikasi dengan teman-teman perempuan yang domisilinya jauh serta menganggap wajar kontak fisik seperti pelukan atau rangkulan merupakan contoh bentuk pertemanan sesama perempuan yang didasarkan atas rasa kenyamanan.  
Maka dari itu, pun ketika ia besahabat dengan laki-laki, tujuan yang dicari oleh mereka dalam hubungan persahabatan adalah rasa kenyamanan, tanpa melibatkan banyak romansa. Perempuan berusaha agar persahabatan ini selalu berada di area comfort zone dalam jangka waktu yang lama, karena memang tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional semata. Dan tentu saja, bagi perempuan kemungkinan hubungan yang lebih dari persahabatan tentu saja bisa merusak persahabatan yang sudah ada. 
Bagaimana Kedepannya?
Ekspektasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya menimbukan sebuah pola. Laki-laki yang merasa ada ketertarikan dengan sahabat perempuannya dan menyambungkan perilaku sahabat perempuannya sebagai ekspresi ketertarikan. Sedangkan perempuan menemukan rasa nyaman dengan sahabat laki-lakinya dan memandang romansa akan merusak persahabatan.
Tentu saya tidak bisa mengeneralisir semua laki-laki dan perempuan agak sulit untuk murni bersahabat. Mungkin ada cerita atau pengalaman lain yang mengatakan hal sebaliknya, yang bisa menjadi sebuah pengecualian.
Apakah salah satu pihak (atau mungkin keduanya) memiliki rasa suka, takut untuk mengakui ada romansa, atau memang hubungan yang ada hanya berdasarkan kepentingan pemenuhan emosional, penyikapan atas semua itu kembali pada nilai hidup masing-masing.
Jadi, bagaimana?. Apakah kita bisa (murni) bersahabat?
6 notes · View notes
grandpn · 5 years
Quote
Saya stuck hari ini mau nulis apa
Keputusan saya mengikuti program 30 Days Writing Challenge memaksa saya untuk terus menulis selama 30 hari kedepan. Saya yang sebelumnya tidak pernah menulis selain tugas kuliah dan organisasi, merasa ganjil dengan rutinitas baru ini.
Ini baru hari ke sebelas, Perjalanan masih panjang. Masih ada cerita yang perlu diceritakan, masih ada hikmah yang perlu dibagi, ada pengetahuan yang perlu dibahasakan lebih simple agar dipahami lebih banyak orang
5 notes · View notes
grandpn · 5 years
Text
Paradoks Opsi
Bulan lalu keluarga saya menuju Kota Bandung untuk bertemu dengan kedua adik perempuan saya yang sedang kuliah di Jatinangor. Ayah saya kemudian mengajak untuk makan malam di sebuah rumah makan. Saat itu semua adik-adik beserta orang tua saya sudah menetapkan pilihan menu. Sedangkan saya butuh waktu lebih lama dalam memutuskan apa yang mau saya makan. Hal tersebut sering terjadi dalam diri saya. Setiap saya datang ke tempat makan dengan menu yang beragam, saya seringkali kebingungan mau memilih menu apa. Hal berbeda terjadi jika tempat makan tersebut memiliki sedikit menu. Saya lebih cepat memutuskan menu pilihan saya.
Apakah hal yang sering saya alami juga terjadi pada orang lain, tidak hanya soal pilihan menu makanan, tapi juga dalam konteks yang lainnya?
Semakin banyak pilihan yang tersedia, apakah membuat kita semakin tidak yakin ketika akan mengambil keputusan?
Kita hidup di era dimana manusia disajikan berbagai opsi yang menarik dari berbagai macam jenis pilihan. Pilihan Sepatu. Pilihan Make Up. Pilihan Teman. Pilihan layanan keuangan. Pilihan kampus. Pilihan mata kuliah. Pilihan pasangan hidup. Pilihan kafe. Serta banyak sekali pilihan lainnya yang menarik perhatian kita seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan logistik yang sangat pesat dewasa ini.
Saking banyaknya pilihan atau opsi yang tersedia, kita seringkali bingung dalam mengambil opsi yang (dirasa) tepat. Atau, kita mengabaikan opsi yang ada dan terus mencari opsi lainnya hingga bertemu opsi yang (dirasa) lebih baik.
Sebagai permisalan, saya mengambil contoh paradoks opsi dalam hal memilih pasangan hidup.
Antara Perjodohan dengan Memilih Sendiri
Di era tahun 50-70an, nenek saya bercerita di Indonesia sangatlah lumrah orang tua menjodohkan anaknya dengan lelaki atau perempuan pilihan orang tuanya. Nenek saya menikah pada tahun 1969 dan dijodohkan dengan kakek yang notabene adalah pilihan ayah nenek saya. Nenek mengaku selama proses menuju pernikahan tidak terbersit rasa cinta dengan kakek, begitupula ketika di awal pernikahan. Karena di era tersebut opsi jodoh sangat terbatas, maka nenek memutuskan menjalani saja kehidupan rumah tangga dengan kakek.
“Ya kan cinta datang karena terbiasa. Lama-lama kalau dijalani bisa kok. Gimanapun juga kan dia suami. Ya masa kalau ga senang dikit terus minta cerai. Ga bisa kaya gitu”
Anda tentu saja boleh sependapat ataupun tidak dengan pandangan nenek saya. Pendapat tersebut keluar karena nenek merasa heran dengan pasangan yang lebih muda darinya banyak yang mengalami perceraian. Beliau bercerita dahulu kejadian perceraian jarang terjadi, kendati pernikahannya melalui proses perjodohan. Namun saat ini cerita perceraian sangat lumrah dan dapat dijumpai setiap hari di media sosial kita.
Opsi dalam mencari pasangan hidup di era sekarang tentu saja jauh berbeda dengan dulu. Banyak cerita pasangan hidup yang dipertemukan karena sebelumnya berada di kampus, komunitas, ataupun tempat kerja yang sama. Bahkan banyak pula yang dipertemukan dari aplikasi media sosial ataupun biro perjodohan online.
Logikanya, semakin banyak opsi yang tersedia, tentu saja kita bisa memilih pasangan hidup yang paling pas bukan? 
Ternyata tidak juga. Banyak teman saya yang merasa sulit menemukan pasangan hidup yang dirasa pas. Angka perceraian juga semakin tinggi dengan berbagai cerita drama yang tersaji di media sosial. 
Paradoks Banyaknya Opsi
Saya berusaha mencari jawabannya. Salah satu penjelasan yang saya temukan adalah konsep paradoks opsi yang dikemukakan oleh seorang psikolog sosial Barry Schwartz dalam bukunya “The Paradox of Choice: Why More is Less”. 
Dalam buku tersebut Schwartz memuat sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Columbia University, New York. Dalam eksperimen ini setiap partisipan  dihadapkan pada dua buah meja. Salah satu meja di atasnya terdapat enam jenis botol selai. Sementara di atas meja lainnya terdapat 24 jenis botol selai. Lebih banyak partisipan yang tertarik untuk datang ke meja yang memuat 24 jenis botol selai. Kendati demikian, dari banyak partisipan tersebut hanya 3%  partisipan yang pada akhirnya memilih selai untuk dibeli. Sementara pada meja yang hanya memuat enam jenis selai ada 30% partisipan yang memutuskan membeli selai.
Dengan demikian, semakin banyak opsi yang tersedia belum tentu membuat kita merasa yakin untuk memilih. Ketika kita dihadapkan kepada seseorang yang memiliki pengamalan agama yang baik, bertanggung jawab, penghasilan mapan, baik hati, rajin menabung dan tidak sombong, belum tentu membuat kita yakin akan memilih orang tersebut. Salah satunya karena di luar sana kita yakin masih banyak calon pasangan hidup yang lebih sempurna dari seseorang yang ada di hadapan kita. 
Hingga pada akhirnya kita merasa pencarian tersebut terasa tidak berujung dan mulai menimbulkan pertanyaan, 
kok gue ngga kunjung nemu yang pas sama gue ya?
Di tengah banyaknya keraguan yang muncul, rasanya tidak perlu kita tanggapi dengan rasa insecurity yang berlebihan. Lantas apa jalan keluarnya?.
Ketahui Apa yang Kita Inginkan
Schwartz menawarkan alternatif untuk mengatasi rasa ketidakyakinan atas opsi yang kita pilih dengan mengetahui apa sebenarnya yang kita inginkan. Jika dikaitkan dengan konteks di atas, kita bisa mencarinya dengan bertanya pada diri kita. 
Apakah kita perlu pasangan yang sempurna?, atau kita tidak mencari yang sempurna?, apa karakter yang bisa kita maklumi dan tidak kita maklumi?.
Pertanyaan tersebut bisa dijawab nilai hidup yang kita yakini. Problemnya, kita seringkali tidak tahu tentang diri kita sendiri. Inilah yang kemudian memunculkan begitu banyak keraguan ketika kita mengambil sebuah opsi dari sekian banyak opsi yang bertebaran.
Cerita tentang nenek saya yang menjalani hubungan yang langgeng dengan kakek salah satunya dipengaruhi oleh keyakinan pribadi nenek bahwa cinta akan terbangun karena terbiasa. Nilai tersebutlah yang selalu menjadi penguat nenek dalam menjalani rumah tangga bagaimanapun kondisinya.
Bagimana dengan kita?
3 notes · View notes
grandpn · 5 years
Photo
Tumblr media
Pertemanan Jurusan
Di tengah mengerjakan pengolahan data wawancara skripsi, saya memutuskan membuka album foto angkatan jurusan saya di grup Line. Tiba-tiba saya menemukan sebuah foto yang membuat perasaan saya campur aduk karena seiring berjalannya waktu banyak hal yang terjadi dalam kehidupan kampus yang saya jalani, termasuk perubahan kondisi teman-teman saya yang ada di dalam foto ini.
Mereka semua yang ada di foto ini adalah teman-teman pertama saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus. Saya ketika itu merupakan seorang alumni sebuah pondok pesantren di Karawang yang masih lugu, polos, belum punya HP, tidak memiliki teman perempuan, dan kalau ngobrol masih keceplosan pakai kata ana-antum. Saya ingat sekali pertemanan saya di luar orang pesantren dimulai ketika saya berkenalan dengan sesama mahasiswa baru yang satu jurusan dengan saya di twitter. Ia adalah seorang perempuan yang berasal dari Kabupaten Serang. Pada saat itu saya merasa bersalah dan berkali-kali mengucapkan istighfar karena untuk pertamakalinya saya kenal dengan perempuan. Rasanya lucu ya kalau kenangan itu tiba-tiba teringat sekarang.
Dulu saya pikir saya bersama seluruh teman-teman saya bisa lulus dengan mudah selama empat tahun, menjadi teman-teman yang kompak untuk selamanya, dan tidak ada yang mengalami drop out di tengah jalan. Namun saya sadar pikiran saya sewaktu maba ketika itu tidak sepenuhnya bisa terlaksana. Waktu memang memberikan jawaban atas perkiraan-perkiraan kita
Tentang Tolong-Menolong
Ternyata lulus empat tahun secara berbarengan memang hal yang sulit, karena setiap teman-teman memiliki needs, resources, dan problems masing-masing. Kendati sesama teman sejurusan, terkadang saya tidak tahu masalah dari teman-teman saya itu apa. Salah satunya karena saya sadar tingkat kedekatan saya dengan mereka berbeda-beda, yang menyebabkan saya tidak memiliki cukup pengaruh untuk membantu.
Salah satu hal yang membekas dari usaha saya untuk saling menolong adalah ketika saya ingin menolong seorang teman, kemudian teman tersebut mengatakan hal ini kepada saya.
Kita berteman, bukan berarti mesti tahu semua masalahku, kan?
Sejak itu saya sadar bahwa memang untuk saling menolong ternyata memang ada batasannya.
Rasa Menyatu
Satu waktu saya bertemu dengan seorang wakil ketua himpunan di FISIP UI. Ia memang menjadi salah satu pengurus ospek himpunannya. Sambil makan ayam goreng, ia mengatakan kepada saya
Persatuan angkatan kalau di sini itu bullshit kak. Nanti suatu saat mereka sadar kadang persatuan memang gak bisa dipaksain.
Ia merasa ironi karena persatuan angkatan memang didengungkan di ospek kampus. Ditekankan bahwa mahasiswa satu angkatan adalah satu keluarga. Tapi seiring berjalannya waktu masing-masing orang memiliki definisi rasa nyaman yang berbeda-beda, dan barangkali teman sejurusan bukanlah tempat yang nyaman bagi setiap orang.
Adapula seorang teman seangkatan saya yang masih berjuang untuk lulus memandang bahwa pada akhirnya rasa kekeluargaan akan didapatkan pada keluarga inti kita. Seruan bahwa kita satu keluarga pada masa-masa ospek kampus adalah sebuah gimmick semata. Tidak semua orang yang didalamnya benar-benar tulus. Ia menyebut fenomena ini sebagai keluarga-keluargaan dalam blognya.
Berdamai dengan Realita
Teman-teman yang ada di dalam foto ini sebagian besarnya sudah lulus. Tersisa sekitar 9 orang yang masih berjuang untuk lulus. Seorang diantaranya sudah meninggalkan raganya karena menjadi korban kecelakaan pesawat Lion Air Jakarta-Pangkal Pinang tempo hari. Seorang diantaranya telah memutuskan untuk mengundurkan diri karena SKS nya sudah tidak lagi terkejar, yang sedihnya mahasiswa ini dulunya adalah Wakabid saya di suatu organisasi kampus. Seorang diantaranya baru saja kemarin mengontak saya untuk meminjam uang karena ia tidak punya uang untuk melanjutkan kuliah.
Ketika hari ini saya melihat foto ini, saya sadar anggapan soal rasa tolong-menolong dan rasa menyatu dari teman-teman saya memang ada unsur kebenarannya.
Namun, pada akhirnya merekalah yang menjadi teman-teman pertama saya di Kampus. Melalui merekalah saya beradaptasi tidak hanya dengan dunia kampus, tapi juga dunia luar pesantren yang ketika itu baru saya kenali. Melalui mereka juga saya memiliki teman-teman yang supportif, saling belajar bersama, turun lapangan bersama, praktikum bersama, dan serangkaian kegiatan lainnya. Sungguh naif rasanya kalau saya mengabaikan mereka dalam perjalanan hidup yang sudah saya alami.
Hari ini, memang sudah tidak bisa seperti dulu lagi. Tidak ada lagi kelas-kelas kuliah dengan tugas resume yang banyak. Tidak ada lagi agenda turun lapangan. Setiap ke kampus probabilitasnya sangat kecil untuk bertemu dengan mereka.  Akan ada saatnya masing-masing orang pergi untuk berjuang merangkai cerita cinta dan cita mereka bukan?. Karena kampus memang punya batas waktu. Baik yang keluar dengan membawa ijazah ataupun selembar surat keputusan, itu semua pilihan.
Terimakasih. Semoga kalian diberikan keberkahan dalam mencapai cita-cita kalian ya :)
2 notes · View notes
septiaherdiani · 5 years
Text
Pintu Lainnya
Banyak orang berpendapat, manusia hanya bisa berencana tapi Allah lah yang menentukan hasilnya. Sebagian yang merajuk, ya kalau gitu ga perlu bikin rencana bagus-bagus dong kalau nanti yang terjadi jauh dari rencana. Beberapa percaya, rencana adalah sebagian dari usaha, berusaha semaksimal mungkin untuk suatu hal yang diinginkan. Ketika usaha sudah maksimal, sisanya hanya tinggal berdoa dan tawakal, bahwa hasilnya adalah yang terbaik menurut Allah.
Tidak sedikit juga hal yang terjadi di luar rencana, dan banyak yang berputus asa karenanya, atau su’udzon kepada Allah karena tidak memberikan yang sudah direncanakan itu. Dia salah satu dari yang tidak sedikit itu.
Dia memiliki beberapa rencana yang sudah disusun, ada yang disusun sendiri, ada yang bersama dengan seorang lain. Dari beberapa itu, sebagian besar berjalan tidak sesuai dengan rencananya. Pada awalnya, dia patah arang. Seolah semesta berkonspirasi ingin membuatnya menderita. Berlebihan memang, tapi begitulah dia. Kemudian dia teringat akan perkataan seorang temannya.
“Percayalah, ketika satu pintu tertutup untukmu, ada pintu lain yang terbuka untukmu. Kamu hanya perlu melihat dan mencari pintu lain itu. Jangan hanya berdiri di depan pintu yang sudah tertutup untukmu.”
Tak lama setelah pintu satu tertutup untuknya, perlahan satu pintu terbuka untuknya. Pintu yang pernah dia bayangkan akan terbuka beberapa tahun silam, kini terbentang lebar di hadapannya, dan di waktu yang sangat tepat. Selang berapa lama, pintu kedua terbuka. Semua hanya soal waktu.
Terkadang manusia, dia, terlalu sibuk mencari apa yang belum dimiliki, hingga lupa bersyukur atas hal yang sudah dia miliki sekarang. Dia kemudian bergegas ke keran air, mengambil wudhu, dan sholat dua rakaat. Pada sujud di rakaat terakhir, air matanya mengalir. Tak henti-hentinya dia mengucap terima kasih dan syukur atas apa yang sudah Allah berikan padanya.
“Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?” - QS 55:55
30 Agustus 2019 @septiaherdiani
0 notes
septiaherdiani · 5 years
Text
Sebuah Persimpangan
Sehelai daun gugur, bertemu dengan daun lainnya yang telah gugur lebih dulu. Agustus akan sampai pada penghujung, dan jalan yang sedang dilewatinya masih belum terlihat ujungnya. Dia masih terus berjalan, sambil sesekali menoleh ke belakang. Sekedar melihat sudah sejauh mana langkahnya dari titik awal dia memulai.
Sudah sejauh mana langkah kamu dari titik yang sama dengan dia memulai?
Perjalanannya masih panjang, Terasa sudah melangkah jauh, tapi nyatanya dia masih melihat titik awal dia mulai berjalan. Jalan yang dilaluinya tidak selalu jalan beraspal, terkadang krikil dan batu-batu menyapanya di jalan. Kadang dia disambut oleh hujan, kadang terik matahari. Kalau dia boleh memilih, dia akan memilih antara hujan dan terik matahari. Mendung dengan semilir angin yang meniup penutup kepalanya.
Apa yang kamu temui selama perjalananmu? Dia ingin tahu.
Di sebuah persimpangan, dia bertemu dengan sebuah tempat singgah dan berhenti sejenak. Melemaskan otot kakinya yang mulai terasa kaku. Di pinggir tempat dia duduk, dia melihat amplop berwarna merah tua. Pada awalnya dia ragu apakah perlu membuka atau dibiarkannya saja, hingga dia melihat namanya tertoreh pada permukaan amplop.
-
Untuk Kamu, yang sebentar lagi akan tiba di tempat ini.
Bagaimana aku tahu bahwa kamu akan berhenti disini? Tidak, aku tidak tahu. Aku hanya berharap pada Allah Swt, bahwa dengan kuasa-Nya, Dia menggerakkan hatimu untuk singgah sejenak di tempat ini. Dengan kamu membaca surat ini, artinya harapanku terwujud.
Jangan, aku kamu segera bergegas keluar dari tempat ini begitu menemukan bahwa surat ini dariku. Aku sudah tidak nampak dari tempatmu berada sekarang. Aku sudah berjalan tak lama setelah menulis surat ini dan meninggalkannya di tempat kamu menemukannya.
Sekarang kamu masuk lagi ke dalam, luruskan kembali kakimu.
Aku bingung harus memulai dari mana. Terlalu banyak yang ingin aku sampaikan kepadamu. Terlalu banyak rinduku padamu selama aku di perjalanan ini. Terlalu banyak juga salahku padamu sebelum aku memulai perjalanan ini. Aku tahu kamu amat sangat merindukanku. Kalau aku disebelahmu saat ini, aku yakin kamu akan segera menjambak rambutku. Benar kan?
Surat ini bukan surat yang menyenangkan untuk kamu baca. Terlalu banyak air mata yang tumpah karenanya, baik saat surat ini dibuat atau dibaca, olehku dan olehmu.
Sudah, usap air matamu.
Aku hanya ingin minta maaf padamu, atas semuanya. Semoga hati baikmu memaafkan salahku yang terlalu banyak ini. Semoga hati baikmu akan bertemu dengan seorang yang berhati baik dan akan menjagamu selama sisa perjalanan ini
Apakah kita akan bertemu lagi? Aku tidak tahu, tapi aku mau. Maukah kamu? Tidak perlu dijawab, aku tidak bisa mendengarnya.
Aku tinggalkan juga baju hangat milikku untukmu. Sebagai teman atau penghangatmu ketika hujan mulai turun nanti. Cuaca kesukaanmu.
Dari Aku, yang sudah lebih dulu tiba di tempat ini.
-
Dia menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya. Kemudian dilipatnya surat itu dan dimasukkan kembali ke amplop merah tua. Dia menyatukan surat itu dengan baju hangat yang ditinggalkan untuknya dan memasukkannya ke dalam ransel.
Dia melanjutkan perjalanan yang masih belum dia tahu akan seperti apa ujungnya.
29 Agustus, 2019 @septiaherdiani
0 notes
septiaherdiani · 5 years
Text
Origami Hati
“Kata Bapak, percaya itu mahal harganya. Tak sebanding dengan harga rumah, ataupun harga tanah. Banyak yang datang dan pergi di hidup ini, katanya. Tapi tak semuanya akan tinggal dengan ekspektasi.
Bapak bilang, mereka yang tetap ada, adalah mereka yang telah mempercayai kita. Mungkin itu sebabnya percaya itu mahal harganya. Sebab percaya butuh dirawat untuk tidak sirna sepenuhnya.” - Menjadi Manusia.
Dia membaca kalimat itu di sosial media beberapa hari lalu. Kemudian semua hal tentang Bapak muncul ke permukaan.
-
Bapak adalah laki-laki pertama yang menyayanginya. Laki-laki yang memberikan yang terbaik untuknya dari dia kecil hingga sekarang saat usianya sudah lebih dari seperempat abad. Kata ibunya, Bapak menginginkan anak pertamanya adalah anak perempuan, dan keinginannya terwujud.
Bapak memang bukan bapak pada umumnya. Bapak tidak memperlihatkan kasih dan sayangnya kepada dia, tapi kasih dan sayangnya berwujud, Salah satunya membelikan dia beberapa kaset yang dia nanti-nantikan, tanpa diminta. Membelikan koleksi DVD lengkap salah satu anime kesukaannya sewaktu usianya 6 atau 7 tahun.
Bapak selalu memberikan yang terbaik dari yang dia punya. Apapun akan dilakukan untuknya. Dia ingat sewaktu dia sudah di penghujung Sekolah Dasar, dia berkesempatan untuk masuk ke Sekolah Menengah Pertama Negeri terbaik di kotanya, tapi dia khawatir akan biaya. Bapak kemudian mengajaknya makan Sop Sapi kesukaannya sambil kemudian berkata,
“Kalau dapet di sekolah itu, diambil aja ya. Jangan pikirin biayanya, Insya Allah Bapak cari nanti.”
Dia berusaha menahan air matanya agar tidak mengalir saat itu. Bapak memang bukan bapak terbaik di dunia, tapi dia Bapak terbaik menurutnya.
Bapak bukan orang yang banyak bicara. Bapak lebih banyak diam, berbanding terbalik dengan Ibu. Mungkin itu salah satu sebabnya mereka berjodoh, saling melengkapi.
Dibalik diamnya itu, Bapak orang yang sangat peka, terutama jika menyangkut dia. Ketika dia di usia Sekolah Menengah Atas, Bapak curiga atas satu hal, tetapi tidak disampaikan ke dia melainkan ke Ibu. Ketika mendengar apa yang disampaikan Ibu, dia menganggap hal itu adalah hal konyol. Hal yang dianggap konyol olehnya, terungkap kebenarannya enam tahun kemudian. Sedasyat itu kepekaan Bapak.
Menginjak usia dua puluhan, Bapak semakin protektif ke dia.
“Wajar, namanya juga Bapak ke anak perempuannya.”, kebanyakan temannya akan mengatakan demikian.
Hingga tiba satu waktu dimana seorang laki-laki baik yang datang meminta dia kepada Bapak. Bapak tidak menolak tapi tidak juga menerima laki-laki itu. Bapak hanya mau melihat lagi kesungguhan laki-laki itu terhadap dia. Tetapi kemudian laki-laki itu pergi. Laki-laki itu menganggap Bapak tidak mau dia untuk bersamanya.
Dia marah ke Bapak atas apa yang Bapak lakukan. Membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat. Rasa sakit yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Rasa sakit yang membuatnya menangis dihampir setiap waktu, sampai saat ini terkadang. Dia tidak melihat apa yang telah dilihat Bapak lebih dulu. Dia terlalu buta untuk dapat memahaminya.
Waktu terus berjalan, kemarahannya ke Bapak memudar dan menghilang berganti dengan sesal. Bapak masih sehat sampai saat ini, dia hanya menyesalkan perbuatannya. Bapak yang sangat mengasihinya malah mendapat perlakuan yang tidak seharusnya didapatkan hanya karena seorang laki-laki. Padahal Bapak adalah laki-laki pertama yang menyayanginya, jauh sebelum laki-laki itu datang dan siap memetik apa yang sudah Bapak rawat, jaga, dan besarkan.
Dia kemudian menulis di secarik kertas. Surat cinta untuk Bapak, permintaan maaf, ucapan terima kasih. Setelah selesai, kertas itu kemudian dibentuk menjadi origami berbentuk hati dan diselipkannya di dompet Bapak. Masih ada foto dia sewaktu umur 1 tahun di dompet Bapak.
28 Agustus, 2019 @septiaherdiani
0 notes
septiaherdiani · 5 years
Text
Shelter
She didn’t know if what she did was right. She ditched her surrounding and all of people that matter, people who care about her. It was her lowest point of life if she might say so. Maybe she was just exaggerating by saying all those things. That was also the first time she felt her heart was broken by a man.
It was bright sunny Sunday. She picked him up at the usual place. She was smiling when looked at him but he didn’t seem happy as she was.
“Something’s wrong with him”, she said to herself suspiciously. He couldn’t hide his worries face. She ignored for a while and just cheered him up.
They went for a breakfast and decided to have a porridge. He dropped the thing that bothered him since yesterday. He wanted to break up with her. She started crying the moment he told her. Her world was collapsed, no words came out from her mouth.He told her the reason and why he had to do it. She didn’t want to do what he asked but she didn’t has any choice either.
They spent their time together for the last time. Pretend that nothing would happen at the end of the day. She couldn’t smile, her chest felt tight. Although he was broken as she did but he was trying so hard to make her feel better. The clock showed quarter past four and they were already at the place where she picked him up in the morning.
“It’s almost time”, she hold her tears.
He was hold her hands for the last time, tightly. She did the same way as he did. People who was passing by looking at them but they couldn’t care less.
“The bus to The Cold City will be departed soon. All of the passengers kindly get on”, the officer announced.
They looked at each other and he hugged her for the last time, tightly. She could feel he didn’t want to let her go but he had to.
“Shelter” by Birdy kept playing on her phone. She was on the way to find a shelter. Rest for a while from thing that just happened. She hoped, this was only a nightmare and she woke up right after this scene.
This was not a dream. She was too naive to think that way. She was too naive to think that they would be together forever. For the first time in her life, she loves someone dearly. Love follows by expectation and some expectation will lead into disappointment.
She closed her eyes as she listened to Birdy’s voice. Tearing up everything.
I find shelter in this way Under cover, hide away Can you hear when I say I have never felt this way
August 27th, 2019 @septiaherdiani
0 notes
septiaherdiani · 5 years
Text
Floating in a Corner
The moment when she put her earphone on and listen to her favorite song, she feels like her sanity’s back. All those melody playing inside her head, create their own little party while she’s enjoying herself alone in the corner. Sometimes she feels lonely, but some other time she’s fine with herself.
She still in the corner, put herself in a distance from the crowd, replaying. About everything that happened; the good and bad things, the happy and sad faces, laughter and tears moments. She vividly remember the moment that almost being her happy moment but turns out to be the most terrible things that ever happened in her life.
Without a warn, this song by James Smith played.
Maybe I can sail and stay afloat Maybe I can dive but I won't, Cause I can't face the tide alone Sitting on the edge of windows Where we used to talk and you'd smoke, But now I'm up here on my own
Boxes full of years in empty rooms The hardest thing is letting go of you So you can, Keep my t-shirts For what it's worth They look better on you anyway These old photos I'll keep them close In case you wanna see them again Someday
I know we haven't spoken in weeks It's like we only meet in our sleep, And I can't wait to close my eyes I found the missing earring you wore The night you threw me out and slammed the door, But you won't let me back this time
And now it haunts me in these empty rooms The hardest thing is letting go of you So you can, Keep my t-shirts For what it's worth They look better on you anyway These old photos I'll keep them close In case you wanna see them again Someday
Keep my t-shirts For what it's worth They look better on you anyway These old photos I'll keep them close In case you wanna see them again Someday
She likes the scent of him. He never wear perfume or cologne or any kind of them. He only wear deodorant but he never had bad smell. She used to borrow his jacket or sweater only to wear them in the night to accompany her to sleep. She loves to smelling the scent of him that left behind on his sweater or jacket.
She missed him, and his scent. She is now floating in a corner trying to remember the smell of him and his existence that no longer being her.
August 24th, 2019 @septiaherdiani
0 notes
septiaherdiani · 5 years
Text
The Turning Point
There is one time when everything seems so blurry, and sometimes dark, like a blackout. She can’t sleep, has no appetite to eat, hardly to laugh. She feels like being squeezed in a tiny space, like she would be swallowed into it.
She’s tired, and tried to get some sleep; resting her mind and heart for a while from the situation. Time is ticking so slow. She’s fall asleep, it felt like two or three hours. When she wakes up, it’s only take ten minutes of her time. She will burst into tears without a warning at several time.
Days turns into week, weeks turn into months. Three months has passed but she is far from fine. Her friends notice the difference in her, but she’s good in keeping a secret. So no one will know what’s going on to her.
On the fourth month, there’s this small lighting shining onto her. She starts to crawling back to the surface little by little. She realized that Allah will give her what she needs instead of what she wants. Allah finally gives what she wishes several years ago. She might be forgotten about it but Allah doesn’t. Allah remember every prayers that she asked.
She finally sets her feet on Europe, along with two of her friends. It’s beyond her imagination. It took ten days for them to travel around four countries, Netherlands, France, Germany, and Austria. That month become her turning point of her life after that guy happened. She’s been fighting to get out from that empty space. A space where those memories lie down. She’s far from fine but it’s a good start.
August 23rd, 2019 @septiaherdiani
0 notes