Tumgik
sugarcrumbs-blog1 · 6 years
Text
#2 "He loves me, he loves me not."
Satu persatu kelopak bunga jatuh diantara kedua kakiku.
"Nasib cinta gak bisa kamu tentukan dari jumlah kelopak bunga, Ve."
"Aku tahu, aku tahu itu, Red. But can you stop distracting my focus so i can get....at least one good answer from the last petal."
Tidak ada yang lebih menyedihkan dari terjebak saat hujan di pojok halte bersama laki-laki tukang ceramah yang kau cintai. Anehnya, setelah bertahun-tahun aku yang tidak pernah suka dijejali kalimat pun tidak keberatan.
"Cuma orang gak pandai bersyukur yang mempertanyakan cinta orang tuanya." Red menceramahiku lagi. Ia berdiri selangkah dari tempatku, kedua matanya memandang ke taman di seberang yang sudah mulai tidak terlihat karena air yang terlalu banyak dan tergesa-gesa untuk tiba di tanah.
"You know nothing." Timpalku. Melemparkan kelopak terakhir beserta tangkainya ke tengah jalan. Entah sudah berapa tangkai yang tergeletak di sana.
"I know you, ve."
Dia benar. He knows me very well. Mimpi apa sih kamu, Red? Sampai-sampai harus nekat menikahi wanita aneh bertempramen tinggi yang suka menyendiri ini.
Dia percaya bahwa mengenalku adalah kunci dari segalanya. "I dont care about how messed up we are. I know you, thats what it takes for me to love you."
Aku masih ingat betul kalimat yang ia sampaikan bersamaan dengan angin yang berhembus di Sungai Seine. Remang-remang cahaya di kedua matanya tidak pernah menyerah mencoba menembus dinding ego di ruang-ruang kelam hidupku yang sudah lama tidak dapat dijamah siapapun. Even my parents gave up on me.
-
"He loves me, he loves me not"
Ayahku orang yang baik, katanya. Pemilik perkebunan teh yang luas. Ramah dan dermawan. Relasinya terhubung ke seluruh penjuru dunia. Mungkin itu sebabnya aku kewalahan untuk lari darinya. Tubuhnya besar dan tinggi. Aku selalu merasa aman berada di dekatnya. Seolah dunia tidak akan berani menyakiti seorang anak perempuan kesayangan dari laki-laki tangguh ini. Aku beruntung bisa selalu dekat dengannya. Dunia memang benar-benar tidak pernah melukaiku sebelum aku lari dan berlelah di pelukan Red yang kurus.
-
"She loves me, she loves me not"
Ibuku? Dia tidak pernah lebih sedih dari melihat laki-laki yang ia cintai tersakiti. Aku melukai hati ayahku. Itu membuatnya tidak berdaya.
Ibuku adalah wanita yang lembut. Itu yang membuatku tidak bisa akrab dengannya. Kita berbeda. Tutur katanya santun dan menenangkan. Gerak geriknya seolah tidak pernah membuatnya harus berpijak ke tanah. Kedua kakinya berdiri seolah melayang. Ia mampu menuntunku tanpa aku harus menyadari keberadaannya. Sampai pada akhirnya aku memilih untuk terbang jauh menggapai Red. Dan dia tidak akan mampu menahanku saat itu.
-
Aku tidak pernah berhenti mempertanyakannya. Setelah apa yang aku perbuat, they gave up on me.
Lebih tepatnya, i made them gave up on me. Bukan begitu, Red?
Aku memang bukan anak kesayangan mereka lagi, literally. Ketika tidak ada keheningan yang mampu menghentikan perdebatan hebat tentang kebodohanku yang mutlak menjadi kesalahan mereka. Aku yang dipenuhi emosi dan keinginan labil remaja yang rusak karena cinta, membuka pintu dan berlari sejauh mungkin. Memaki. Mengutuk. Segala kebahagiaanku bersama mereka lenyap bersamaan dengan langkah kakiku yang tidak mampu mereka hentikan. Aku pergi jauh. Terlalu jauh. Sampai cukup jauh untuk menyesali apa yang telah aku lakukan kepada dua manusia yang menyayangiku sepenuh hati tanpa perlu mengenalku.
-
"Aku yang membuat mereka kecewa."
Tangisku pecah bersamaan dengan pelukan Red yang seolah meredam rasa benci dan amarah yang meledak-ledak. Rasanya aku sudah cukup lama merasakan badai di dalam sini. Tidak ada yang bisa mendengar itu semua, petir bersahutan menyalahkanku, angin seolah kehilangan titik tekanan rendah dan berputar-putar mengacaukan apapun yang dilewatinya, termasuk akal sehatku. Badai mengacak-acak isi kepalaku tanpa jeda. Dress hitamku semakin basah terkena air yang terbawa angin. Jas milik red yang menyelimuti tubuhku tidak mampu melindungi dari serangan penyesalan bertubi-tubi.
"They are gone, red. They are gone.."
Dan tidak ada yang bisa aku lakukan lagi.
-
(Halte, 5 Maret 2017)
0 notes
sugarcrumbs-blog1 · 6 years
Text
#1 "Not everyone is going to like you."
Aku setuju. Seharusnya memang begitu, toh siapa peduli orang lain suka atau tidak. Tapi untuk sekali ini saja aku berharap bisa memilih siapa yang menyukaiku.
Satu batang rokok ke sekian ia keluarkan dari saku kemejanya. Sambil menjentikan cricket, sekali lagi ia menawarkannya padaku. Aku menggeleng.
"Jadi cuma sampai di sini?"
Rokok. The best hand of friendship. Candaan lawas untuk mereka yang sudah menyerah menyesap asap.
Aku masih bisa merasakan tiap sistem saraf di tubuhku lepas dari tuasnya, kemudian meledak secara bersamaan pada malam itu. I dont give a damn about cigarettes anymore. Bahkan tidak lagi terbesit sedikitpun rasa manis dan segala buaian ketenangannya di benakku.
"The point is... there's nothing wrong with smoking cigarettes."
"You're drunk." timpalku.
"C'mon, belom kiamat! Masih banyak jalan menuju roma!"
"At least lo belom pernah dimaki di depan muka sama nyokapnya cowok yang lo rela untuk ngasih segalanya buat kebahagiaan dia, kan? The world is already over for me!"
Dia terbahak lagi. Beni sialan! Satu-satunya orang yang tersisa di bumi ini untuk kuajak bicara masalah serius adalah pemabuk berat dan pecandu tembakau garis keras. Lucky me!
"Gimana si doi?"
Aku menggeleng. Pedih. Yang aku tahu, dia ingin bicara denganku, mungkin saja ia akan membelaku, memohon untuk tidak berlarian seperti ini lagi. Tapi masih ada sejuta kemungkinan lainnya, dan salah satunya adalah ia memilih untuk lari. Tanpa aku.
186 missed calls dan butuh beberapa jam lagi bersama Beni untuk cukup gila dan mengangkat telponnya. Well, terjaga dan mendengar suaranya hanya akan membuatku sekarat.
-
(Tempat sepi, 21 Januari 2017)
1 note · View note