Tumgik
Text
What Happened in Airport
Banyak cerita yang mengambil airport sebagai latarnya. Baik itu cerita di novel, cerita di film, atau cerita-cerita nyata di sekitar kita. Airport seringkali juga diromantisasi sedemekian rupa, jadi tempat perpisahan— seakan-akan tidak bisa bertemu lagi walaupun terkadang memang begitu kenyataannya, jadi tempat pernyataan cinta yang kadang terlambat, jadi tempat ciuman pertama (atau terakhir), jadi tempat berawalnya sebuah penyesalan. Makanya waktu gue bilang gue mau ada kerjaan yang mengharuskan gue untuk tinggal di Singapore selama 2 bulan gue bilang ke dia untuk gak usah repot-repot datang ke airport. Tapi nyatanya, ketika gue yang mau berangkat ini baru sampai di terminal keberangkatan tau-tau sudah ada orang yang tadi gue larang itu. Duduk menghadap jendela dengan salah satu kemeja andalannya dan tas ransel kerja kesayangannya disamping.
“Heh kucrut! ngapain lo?” sapa gue.
Yang dipanggil pun menoleh, “Gimana sih masa gue duluan yang dateng, yang mau berangkat lo apa gue?”
“Ya siapa juga yang nyuruh lo dateng. Kan gue bilang gak usah.”
“Siapa juga yang dateng buat lo? Gue mau beli kentang McD. Versi bandara garemnya lebih banyak.”
Gue cuman geleng-geleng mendengar responnya.
“Ya kali gara-gara kentang. Mahal lagi beli di sini. Lo kan medit,” jawab gue
“Anda perlu kaca?” katanya
Gue gak menghiraukan dan malah duduk disampingnya. Masih ada sekitar 20 menit lah sebelum gue harus masuk.
“Ya kali gue gak dateng lo kan cabut 2 bulan.”
“Justru karena 2 bulan doang gak perlu dateng-datengan”
“Dua bulan tuh lama lagi. Dua bulan gue gak jajan bubur atau mie ayam tiap minggu sama lo. Dua bulan lo gak tiba-tiba ngechat ‘bosen main dong’—“
“Itu mah lo kali!” potong gue
Dia gak ketawa atau apa malah lanjut nyerocos, “Dua bulan lo gak ngechat ‘pengen cerita tp enakan langsung’ terus gue langsung meluncur. Dua bulan gue bisa aja deketin cewe dan dapet yang klop. Dua bulan lo bisa aja keenakan disana dan mikir buat cari kerja disana atau S2 disana. Dua bulan lo bisa aja nemu laki disana. Dua bulan kalo gue dapet yang klop. Kalo dua bulan gue nyesel gak ngomong kalo naksir lo gimana?”
Gue diam. Tapi gue yang tadinya menatap jendela langsung nengok ke orang yang sekarang sedang menenggak air putih ini. Setelah selesai minum, dia menoleh ke gue.  
“Bales dong tengsin nih gue.”
“Lo kan tau gue masih males pacaran.”
“Gue gak ngajak lo pacaran. Gue cuman bilang gue naksir. Soalnya gue capek pura-pura gak naksir. Bertahun-tahun kita kenal gue tau ada masa dimana gue pasti naksir lo tapi waktunya selalu gak klop. Sekarang lagi klop tapi lo mau cabut. Gue takut dua bulan lagi udah gak klop lagi.”
Gue meraih tangan kanannya dan menautkannya dengan jari gue. Setelahnya gue membiarkan kepala gue nyender ke bahunya.
“Kenapa sih ngomongnya harus sekarang? Gue rencananya mau tidur di pesawat, kalo gini kan gue pasti jadi gak bisa tidur karena mikir. Lo tau kan gue dikit-dikit dipikirin?”
Gue tau dia senyum.
“Yaudah gapapa dipikirin aja dulu. Kalo lo mikir tandanya yang gue bilang tadi penting. Ini penting buat lo aja gue udah seneng,” katanya sambil menggerakkan jempolnya dan jadi mengelus tangan gue.
“Dangdut bener lo,” kata gue sambil melepaskan senderan gue dan genggaman tangan kami karena tadi gue sambil melihat jam di hp dan waktu keberangkatan gue semakin dekat.
“Kan gue belajar dari lo.”
Gue tertawa mendengarnya. Dia pun juga. Sambil nunduk. Lesung pipitnya yang cuman sebelah itu pun keliatan. Boong rasanya kalau dalam satu waktu gue gak pernah naksir dia. Mungkin gue selalu naksir dia. Tapi hubungan yang udah terlalu enak dijalanin kayak gini bikin gue takut dengan kemungkinan kalo suatu hari akan jadi gak enak.
“Gue udah harus masuk nih.”
Gue berdiri dan dia pun juga, dan seperti yang diduga ia langsung memeluk gue. Tentunya gue peluk dia juga. Tanpa omongan tadi kita pasti akan saling meluk. Cuman sekarang ya rasanya jadi beda.
“Baik-baik ya di sana,” bisiknya.
“Lo juga baik-baik di sini.”
Dengan begitu kami melepaskan pelukan itu. Gue berjalan meninggalkannya. Begitu di bagian pemeriksaan gue dadah-dadah ke dia. Dia belum balik dan malah balik dadah-dadah dari jauh.
Benar aja, gue yang tadinya menghindari cerita-cerita klasik di airport malah mengukir cerita versi gue sendiri. Pernyataan cinta yang sebenarnya gak terlambat dan dilakukan untuk menghindari penyesalan. Pelukan yang bukan pertama tapi bikin kepikiran. Juga jawaban yang masih gak tau akan datang kapan.
——
#behind: What Happened in Airport
Kalau menurut notes sih tulisan ini dibuatnya tanggal 23 Maret 2021, jam 01.20. Diliat dari jamnya sih gak kaget ya secara itu emang jam-jamnya gue berusaha tidur tapi tetap sibuk main hp. Yang gue ingat betul sih saat itu gue sedang scrolling twitter, entah lg scrolling timeline atau hasil search random keywords. Pokoknya, waktu itu gak sengaja liat foto ini dan begitu liat gue rasanya pengen nulis. Langsung lah gue buka notes hp dan tau-tau udah keketik aja tuh cerita. Kalau ditanya puas gak sama apa yang ditulis? biasa aja sih. Kalau ditanya rada cringe gak? Hm mayan. Kalau ditanya seneng gak? Ya seneng. Seneng karena udah lama banget rasanya gue nulis cuman gara-gara liat foto, jadi itung-itung ini sebuah pencapaian. Selain itu, rasanya juga lega. Lega karena “oh ternyata gue masih bisa ya nulis kayak gini.” Nulis kayak gini dalam artian nulis dengan ringan tanpa beban dengan topik cinta-cintaan wkwk. Nah, makanya tulisan ini kayaknya perlu diabadikan dalam bentuk post. May you read it with ease, just like how I wrote it.
p.s. as always judulnya baru dibikin pas mau nge-post, terus jadi kepikir, kenapa di tulisan ini sibuk nyebut airport ya padahal ada kata bandara? tapi yaudah lah. 
and of course special thanks to @snowromance1112 on twitter who beautifully captured this, and to you who ended up become my muse.
Tumblr media
0 notes
Text
love, love, love.
“I think you’re thinking too much.”
“Well I can’t help it.”
“You can, you can try to not thinking that much.”
“Ok how?”
“Maybe.. by doing this.”
He takes her hand and asks her to stand up in front of him as he plays a song on his phone. He puts the phone and leads her.
“This is just a way to make me agree doing this with you right?”
“Pssttt this is just a slow dancing.”
“I know but you know how bad I am at doing this”
“You’re doing it.”
“What?”
“You’re thinking, even when you can just lay your head on my chest you choose to think.”
And she does it. Laying her head on his chest as she hugs him and he hugs her too. Their feet are moving a bit in accordance to the music.
“You know what? You’re gonna hate this, but I’m thinking.”
She can’t see it but she knows he’s smiling.
“I think of how your shirt always smell the same, I think of the fact that you know this is my favorite song, I think of the coffee you made me, and how the taste fits mine perfectly, I think of how I might good at this because you let me, because you’re doing this with me, I think of how lucky I am,
I.. I am so lucky, to have you by my side, thank you.”
“For this one, I’ll let you to think.”
------
#behind: love, love, love.
I made this some day in the beginning of 2020. That day I was supposed to working on my final thesis, it’s either the introduction or the methodology part. However, I was thinking too much. There were no words being typed and every time I tried to, it just didn’t feel right. I then instead typed this writing, with ease, and it felt right. As it’s such a spontaneous writing, I didn’t have a title at first, but I remember listening to lovelovelove by Baek Yerin as I wrote this. Hence, it is called love, love, love. Plus, as I think about this again, isn’t love supposed to feel like that? 
p.s. in case you haven’t listen to lovelovelove and want to read this with it: https://open.spotify.com/track/07rM3MwYyOkKFMXmMPd4LA?si=WtbIL2bgT8igPqOdd988sQ
0 notes