Tumgik
shxndj 6 years
Text
A Place to Return #5
Tumblr media
NEW YORK
Memperoleh visa liburan ternyata tidak secepat yang Sasuke bayangkan. Karena beberapa masalah yang terjadi, ia harus menunggu lebih dari enam bulan untuk mendapatkan visa itu. Karena Hinata mengambil master course selama dua tahun, Sasuke berencana untuk mengambil short course teknik komputer di universitas Hinata. Namun pendaftarannya sudah terlambat, maka dari itu, ia berencana mengikuti istrinya dengan visa liburan hingga pendaftaran short course.
Deidara menyindir Sasuke.
"Setelah menikah, kau berubah." Kata Deidara, ketika melihat Sasuke mengepak pakaiannya. "Apa semua orang setelah menikah, akan berubah seperti itu, ya?"
"Berubah bagaimana?" Tanya Sasuke, sembari kedua tangannya memindahkan kemeja dari lemarinya.
"Kau jadi lebih posesif, Sasuke." Gaara menambahkan. "Aku tidak pernah melihatmu mengikuti Sakura kemanapun."
"Sakura berbeda. Dia gadis mandiri. Hinata..."
Lidah Sasuke seperti kelu. Ia terhenti setelah menyadari tidak ada yang bisa ia katakan tentang kelemahan Hinata. Sesungguhnya gadis itu terlalu hebat. Hanya saja Sasuke tidak tahu apa yang membuat ia lebih mempedulikan Hinata dibanding Sakura.
"Aku pikir Hinata-san adalah gadis yang kuat."
Deidara seperti menyuarakan isi hati Sasuke yang terpendam. Ia sendiri tidak mengelak dengan keteguhan hati istrinya itu. Selain ibunya, Hinata adalah gadis terkuat yang pernah Sasuke kenal. Mengetahui kekasihnya meninggal dan tak bergeming, bahkan tak menangis sekalipun, membuat Sasuke belajar banyak hal dari Hinata. Gadis itu mencoba untuk tegar setengah mati. Bahkan tetap tinggal di rumah yang ia bangun bersama kekasihnya itu.
Tiba-tiba saja Sasuke tidak menyukai rumah ini. Rumah ini menyimpan perasaan istrinya kepada mantan kekasih yang telah mati. Mantan kekasih yang tanpa diketahui Hinata, telah mati dengan wanita lain.
Gaara dan Deidara membiarkan Sasuke terdiam dalam pikirannya, sembari mengepak barang-barangnya.
.
Gaara, Suigetsu dan Deidara sebenarnya sangat heran dengan sikap Sasuke setelah menikah. Pria itu berbanding terbalik 180 derajat. Seperti orang yang berbeda kepribadian. Pria itu menjadi lebih perhatian, dan selalu berinisiatif. Gaara dan Deidara tidak pernah melihat Sasuke beranjak dari kursi kerjanya, demi pulang lebih cepat. Pria itu sesungguhnya sangat workaholic.
Mendengar Sasuke berkeliling Jepang dengan istrinya untuk berbulan madu adalah hal yang sangat langka, bagi mereka. Jangankan berbulan madu. Saat Sakura, mantan kekasihnya dulu, mengajaknya berkencan, Sasuke sedang rapat. Sakura yang saat itu tidak tahan karena terus diabaikan, mengamuk dan mereka bertengkar hebat.
Hinata berbanding terbalik dengan Sakura. Bersama Hinata, Sasuke bahkan merelakan membawa pekerjaannya, demi bisa menemani Hinata berlibur.
Para trio itu tidak tahu apa-apa. Sasuke menikmati kehidupannya setelah menikah, jauh lebih baik, daripada ketika ia berkencan dengan Sakura.
Meskipun sama-sama memiliki penghasilan sendiri, Hinata sangat memahami dirinya. Ia tidak seperti tipe gadis kebanyakan yang ingin memiliki kencan makan malam yang romantis. Sasuke sempat heran, bahkan ialah yang mengajak istrinya makan diluar.
Melihat wajah lega Hinata ketika Sasuke pulang bekerja, atau ketika melihat ekspresi tertawa Hinata bersama kawan-kawannya, adalah hal yang membuat hati Sasuke terasa hangat.
Hinata tidak menuntutnya. Tidak memintanya melakukan apapun, kecuali tinggal di rumah gadis itu. Itulah yang membuat Sasuke tergerak untuk mengambil inisiatif. Namun, semakin lama, rumah itu membuat pria itu merasa tertekan.
Bagaimanapun juga, rumah itu adalah barang peninggalan masa lalu. Sasuke sudah membuang segalanya tentang Sakura. Tatapan terakhirnya di foto ceria Sakura Haruno, adalah hari terakhir ia membuang semua masa lalunya. Namun Hinata belum juga melepaskan rumahnya.
Sasuke berdiri di pintu depan rumah. Mengamati sekeliling rumah untuk terakhir kalinya. Ia akan menyusul istrinya, ke Amerika.
"Hei, Uchiha! Cepat! Nanti kau tidak bisa check-in." Teriak Suigetsu, dari dalam mobil.
Mengencangkan tas ranselnya, Sasuke menutup pintu dan menguncinya. Ia akan meninggalkan rumah ini selama dua tahun. Ia berharap, sekembalinya mereka, rumah ini sudah menghilang dari hati Hinata.
.
New York menjelang malam. Hinata menyesal ia menyanggupi ajakan Rachel, untuk pergi ke klub malam. Rachel, teman sekampusnya itu, rupanya dibayar oleh Sasori Akasuna, untuk membawanya ke klub malam itu. Sekarang, ia harus berhadapan dengan Sasori Akasuna.
Sasori Akasuna, senior Hinata di fakultas seni. Jika Hinata mengambil desain, Sasori mengambil seni murni. Mereka bertemu di acara perkumpulan mahasiswa Jepang di New York. Hinata tidak tahu, pertemuannya dengan Sasori adalah kesialannya. Pria merah itu, tertarik padanya.
Hinata menyesal, ia lupa membawa cincin kawinnya. Ia tidak nyaman dengan aksesoris, karena mengganggu pergerakan jarinya saat sedang menggambar, maka dari itu ia tidak pernah menggunakan cincin kawin.
Karena itulah, Hinata tidak bisa menunjukkan pada Sasori, bahwa ia sudah menikah. Ia pun sudah berkali-kali menjelaskan pada Sasori, tapi pria itu tidak percaya begitu saja.
Hinata tidak berlama-lama di tempat itu. Begitu melihat Sasori, ia langsung angkat kaki dari klub. Meninggalkan Rachel yang memanggilnya.
Setelah keluar dari klub, Hinata pikir dirinya sudah aman. Namun tidak semudah itu. Sasori mengikutinya hingga ke halte bis.
"Kau baru saja datang. Tidak mampir dulu?"
"Aku teringat ada urusan." Nada Hinata yang dingin diabaikan oleh Sasori. Pria itu makin gencar saja mendekati Hinata dengan duduk di sebelahnya. Hinata menahan napasnya. Ia semakin tidak nyaman dengan keberadaan Sasori.
"Urusan apa?"
"Urusan yang bukan menjadi urusanmu."
"Aku hanya ingin mengantarmu ke urusan yang bukan urusanku."
Hinata mulai jengah. Ingin rasanya Sasori segera lenyap dari hadapannya.
"Bisakah kita hentikan?"
"Hentikan apa? Kita bahkan belum memulai apapun. Kau menolakku, tapi apakah salah jika aku menginginkan pertemanan?"
Tentu tidaklah salah. Namun Hinata telanjur membangun kewaspadaannya setiap melihat Sasori. Bahkan berdiri di sebelahnya pun ia tak ingin.
Hinata hampir saja meluapkan kemarahannya, namun segera terhenti ketika seseorang berteriak keras memanggilnya.
"Hinata." Itu Sasuke Uchiha, dan Hinata terkejut luar biasa ketika melihat suaminya sudah muncul di belakangnya. Pria itu mengeluarkan tangan dari saku jaketnya, dan menunjukkan cincin nikah Hinata. "Jangan dibuang lagi, dan jangan pergi lagi."
Hinata termenung menatap cincin yang tanpa ia sadari sudah tersemat di jarinya. Ia masih tidak mengerti. Suara Sasori menyela kebingungan Hinata.
"Kau siapa?"
"Aku suaminya. Aku datang untuk mengembalikan cincin perempuan ini." Hinata masih tidak mengerti dengan ucapan suaminya. Ia tahu sendiri, Sasuke akan mengunjunginya, tapi kalimat yang dilontarkan Sasuke terdengar aneh.
"Kau mengenalnya, Hinata? Dia lebih terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa yang salah mengartikanmu sebagai istrinya." Sasori berkata begitu karena sedari tadi Hinata tidak bereaksi apapun.
Namun peduli amat Sasuke, terhadap keberadaan Sasori. Ia tetap berbicara pada Hinata.
"Maaf, aku membuatmu marah. Kau berhak marah, tapi semarah apapun kau, sebenci apapun kau padaku, aku akan terus minta maaf dan mengikutimu kemanapun."
Hinata hampir saja terlena dan mengira Sasuke benar-benar mengucapkan hal itu padanya, sampai akhirnya ia sadar. Pria itu hanya berakting.
"Sasuke-kun." Hinata akhirnya memanggil nama suaminya. Sasuke tersenyum dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Mengabaikan Sasori yang menatap mereka dengan tatapan keheranan.
"Ada apa ini?" Tanya pria merah itu tidak terima karena diabaikan.
"Maaf, Akasuna-san. Aku sudah bilang padamu, aku sudah menikah. Dia suamiku, Sasuke Uchiha."
Wajah Sasori memerah, kepalang malu. Namun sikap tidak ingin disalahkan, tetap ada pada dirinya.
"La... lalu kenapa kalau kau sudah menikah?" Tanya Sasori menantang.
"Itu artinya kau harus menjaga jarak dari istriku." Jawab Sasuke, mendekati pria merah itu. Tubuh Sasuke yang lebih tinggi dari Sasori, membuat pria merah itu merasa kalah dalam hal fisik.
"Jangan pernah menunjukkan wajah kalian berdua di depanku!" Kalimat terakhir Sasori sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Hinata dan Sasuke.
"Cih, yang ada, dialah yang malu menunjukkan diri dihadapan kita." Sindir Sasuke, menatap kepergian Sasori.
Hinata menatap suaminya, tersenyum. Walaupun ia heran dengan kemunculan Sasuke yang tiba-tiba, juga akting anehnya, ia merasa lega melihat suaminya lagi.
"Kapan sampainya?"
"Sejam yang lalu." Ujar Sasuke. Ia melihat ke sekeliling, tidak ada taksi lewat. Suhu semakin rendah, ia sedikit kedinginan. Mengingat selama sejam lamanya ia berada di luar ruangan, melacak Hinata lewat ponselnya.
"Bagaimana kau bisa menemukanku di sini?"
"Anggap saja aku tersesat dan tak sengaja menemukanmu."
Hinata menatap suaminya, curiga. Ia jauh lebih percaya jika Sasuke diam-diam menempel alat pelacak ke ponselnya. Suaminya adalah CEO dari perusahaan teknologi. Meskipun Hinata tidak paham apa yang dikerjakan suaminya, ia cukup paham ketika Deidara mengatakan Sasuke adalah hacker terbaik yang dimiliki Jepang.
"Berhenti mencurigai suamimu sendiri. Harusnya kau senang, karena artinya kita terikat oleh takdir."
Perkataan Sasuke terdengar tidak asal ceplos bagi Hinata. Gadis itu semakin yakin, suaminya telah jatuh hati padanya. Entah mengapa ia cukup senang mendengar Sasuke berkata seperti itu. Lagipula mereka sudah menikah. Yang menjadi penghalang dari mereka hanyalah perasaan yang belum saling menyatu. Perasaannya yang masih terasa kosong jika mengingat Naruto.
Namun sepertinya Sasuke sudah benar-benar melupakan kekasihnya. Pria itu terlihat lebih ceria. Di depan Hinata, dia sering tersenyum. Auranya terasa lebih cerah jika dibandingkan dengan sebelum mereka menikah.
Mereka berjalan beriringan. Sasuke dengan sebelah tangannya dimasukkan ke dalam jaket dan sebelah tangan yang lain menggeret kopernya, sementara Hinata menyembunyikan kedua tangannya dalam saku mantel.
Hinata tidak tahu, keputusannya menikahi Sasuke Uchiha, adalah keputusan terbaik yang pernah ia buat. Pria itu memberikannya waktu sebanyak yang ia mau, untuk dapat beradaptasi dengan hubungan baru mereka.
Meskipun waktu beradaptasi Hinata cukup lama, hampir setahun, tapi Sasuke tidak menyerah. Ia sangat menikmati perannya sebagai suami, dan ia terus menunggu cinta Hinata. Semua perlakuan Sasuke, membuat Hinata heran. Bagaimana pria ini meninggalkan semua masa lalunya dengan begitu mudah?
Apakah dengan sentuhan?
Kalau dipikir-pikir, Sasuke selalu yang berinisiatif. Meskipun Hinata memeluknya pertama kali, ketika di rumah Hyuga, namun selanjutnya Sasuke selalu menyentuhnya lebih dulu. Walaupun sentuhannya tidak lebih dari sekedar pelukan ringan, Hinata merasa nyaman.
Sasuke selalu berada dalam lingkaran yang bisa ditolerir oleh Hinata. Pria itu tidak melakukan hal yang lebih dari sebuah pelukan karena ingin menghargai Hinata. Bahkan menyentuh tangannya pun tidak.
Dalam perjalanan mereka, Hinata termenung. Perasaannya mendorong dirinya untuk melakukan inisiatif.
Hinata melirik lengan Sasuke yang terbalut mantel, tersembunyi di dalam saku jaket. Entah kerasukan apa, tangannya tergerak untuk memasukkan tangan kanannya ke dalam saku jaket Sasuke, dan menggenggam tangan kiri pria itu.
Pipi Hinata memerah. Dengan kepalanya yang terasa panas, ia merasa tidak lagi kedinginan. Apalagi, tanpa mengatakan apapun, Sasuke menyambut genggaman tangannya.
Di dalam saku jaket Sasuke, mereka saling bergenggaman tangan.
Hinata tidak tahu, berjalan berdua dengan bergenggaman tangan, dengan suami yang bahkan belum dicintainya, bisa semenyenangkan ini. Hatinya merasa sangat damai.
"Aku baru sadar, ternyata New York cukup bagus untuk karir, tapi tidak cukup bagus untuk membangun keluarga."
Hinata kembali tersadarkan suatu hal. Sasuke ini suka sekali memberinya kode-kode.
"Memangnya kamu ingin tinggal di mana? Kupikir lokasi rumah kita, cukup bagus. Tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi, tapi bisa menjangkau seluruh fasilitas umum."
Sasuke terdiam sejenak. Dari ekspresinya, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
"Sebenarnya dibanding menetap di satu tempat, aku ingin membawamu ke banyak tempat. Aku ingin mengajakmu dan anak-anak kita nanti, melihat dunia."
"Anak?" Hati Hinata sedikit bergetar. Sasuke membuatnya teringat dengan keinginan lamanya, berkeluarga dan memiliki anak.
Candaan Deidara soal membacakan anak, buku karangan sendiri, bukanlah candaan bagi Hinata. Namun setelah Naruto meninggalkannya, Hinata memilih menenggelamkan diri dalam tumpukan pekerjaan, bahkan setelah menikah dengan Sasuke. Sekarang suaminya itu, mengingatkan dirinya dengan keinginan lamanya.
"Ya, anak." Jawab Sasuke. "Aku ingin punya tiga anak, mungkin mereka akan lahir di tempat yang berbeda-beda, kalau kita melakukan perjalanan. Setelah itu kita akan menetap setelah anak terakhir lahir. Bagaimana menurutmu?"
Ini adalah pertama kalinya Sasuke membicarakan keinginannya dengan Hinata. Selama ini selalu Hinata yang membicarakan keinginannya. Mulai dari rumah, tempat tidur, hingga keputusannya untuk melanjutkan pendidikan di New York.
Hinata tidak bisa menahan rasa senangnya ketika mendengar keinginan Sasuke. Keinginan Sasuke jelas berbeda dari yang Hinata inginkan. Namun keinginan pria itu membuat ia bersemangat. Keinginan Sasuke terdengar menyenangkan.
Selama ini ide pria itu memang selalu menyenangkan. Liburan bulan madu mereka, menyenangkan. Bahkan ketika mereka tidur dalam satu ranjang bersama, walaupun tidak melakukan apapun, Hinata tetap merasa itu menyenangkan.
"Sasuke-kun. Apa penyesalan terbesarmu?" Tanya Hinata mengabaikan pertanyaan awal Sasuke.
Langkah Sasuke terhenti. Diikuti oleh Hinata. Oniknya menatap mata bulan Hinata. Pria itu lalu tersenyum lembut.
"Aku menyesal tidak bertemu denganmu lebih dulu." Ujarnya. "Jika saja aku bertemu lebih dulu darimu, kau tidak akan tersiksa begini." Jemari Sasuke mengelus surai indigo Hinata, memilin helaiannya, dan berakhir mengelus pipi gadis itu.
Ucapan Sasuke tidak lagi menyebutkan masa lalunya. Ucapan Sasuke jelas-jelas membicarakan tentang mereka berdua. Ini semakin meyakinkan Hinata bahwa pria itu sudah meninggalkan masa lalunya.
Sekarang adalah giliran Hinata. Sekarang, atau ia akan terlambat dan menyesalinya.
Tiba-tiba saja pipi Hinata memerah.
"A... anak..."
"Hm?"
"Masalah anak... ayo kita usahakan." Sasuke masih menatapnya, sedikit heran. "Ayo kita wujudkan keinginanmu." Ujar Hinata, dengan wajah masih memerah.
Sasuke tersenyum lagi. Ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Hinata, menatapnya intens. Pipi istrinya makin memerah. Kepalanya bergerak sendiri, ingin tertunduk, tatapannya berpaling. Hinata tidak berani menatap suaminya sendiri.
Dalam hati Sasuke ingin tertawa. Dibalik sikap dingin Hinata, gadis itu menyimpan sisi manis tersendiri.
"Boleh aku menciummu?"
Sasuke hanya asal bertanya. Ia tidak tahu, Hinata dalam diamnya berdebar-debar hingga jantungnya serasa ingin loncat. Sasuke kembali tidak menyangka, Hinata menutup matanya perlahan. Seakan sebuah lampu hijau yang mengijinkan Sasuke.
Kepala Sasuke tergerak, sedikit miring. Mengarahkan wajahnya pada Hinata. Perlahan dirasakannya bibir dingin Hinata yang terasa lembut. Lama kelamaan bibir itu terasa hangat. Ia membawanya dalam sebuah pagutan ringan, lembut. Seakan ingin merasakan setiap inci bibir gadis itu, dengan lebih detail, tanpa terburu-buru.
Malam itu, di langit dingin kota New York, Sasuke dan Hinata berciuman untuk pertama kalinya. Sebuah ciuman yang menjadi langkah panjang mereka untuk saling bersatu.
.
TBC
22 notes View notes
shxndj 6 years
Text
A Place to Return #4
Tumblr media
KENYATAAN
.
"Naruto Uzumaki."
Tubuh Hinata berhenti mengamuk-amuk tidak jelas setelah mendengar nama yang tidak asing di telinganya. Begitu ia terdiam, nama itu tidak lagi terdengar. Hinata termenung. Ia tidak salah dengar, kan? Sepertinya ia mendengar Sasuke dan ketiga sahabatnya membicarakan Naruto Uzumaki.
"Ngomong-ngomong Sasuke, bagaimana rasanya istrimu?"
Seketika wajah Hinata memerah. Pertanyaan frontal dari Suigetsu hampir membuatnya kembali pingsan dalam keadaan berbaring.
"Minta dihajar, Sui?" Tanya Sasuke sinis. Sedari tadi diam, barulah ia berbicara ketika menyangkut Hinata.
"Aku bertaruh dia belum melakukannya dengan Adik Ipar. Lihat saja, Adik Ipar pingsan setelah melihat Sasuke topless." Kata Deidara sembari mengiris sashiminya. "Lagipula, Sasuke terlalu mencintai Sakura. Bagaimana bisa ia tidur dengan wanita lain?"
Suigetsu dan Gaara memelototi Deidara dan menginjak kaki pria berkuncir itu.
"Jangan dengarkan dia, Sasuke-san. Dia mabuk sashimi." Kata Suigetsu, berusaha mengalihkan pikiran Sasuke. Ia takut, pria itu kembali mengingat kekasihnya yang sudah mati. "Dengar, Deidara. Yang sudah mati tidak bisa hidup lagi." Suigetsu menasehati.
"Kalau dipikir-pikir, sepertinya seru juga kalau melihat hantu Sakura mengintip malam pertama Sasuke dan Hinata." Kali ini perkataan Gaara yang ngelantur. Deidara dan Suigetsu memukul kepala merah itu dengan sumpit.
"Jadi, apa kalian sudah melakukannya?" Tanya Suigetsu serius.
"Belum." Jawab Sasuke jujur. Ketiga sahabat pria itu sudah menduganya. "Hinata belum bisa melupakan kekasihnya."
"Benar juga. Kalian dijodohkan. Gadis itu pasti juga memiliki masa lalu sebelum bertemu dengan Sasuke." Celetuk Gaara.
"Apa yang terjadi dengannya?" Tanya Deidara.
"Dia gagal menikah. Pria yang seharusnya menikah dengannya kabur saat pernikahan."
"Astaga." Gumam Deidara. "Gadis secantik dia pun dicampakkan. Pria gila mana yang mencampakkannya?"
"Entahlah. Aku juga tidak tahu. Itu urusannya."
"Bodohnya, dia masih belum bisa melupakannya." Suigetsu berkomentar. Kali ini Sasuke yang menginjak kakinya. Balasan karena menyebut Hinata bodoh.
"Kalian masih belum melupakan masa lalu, tapi saling terikat dengan hubungan." Gaara berkomentar.
"Semuanya butuh proses, Sabaku-san. Cinta ada karena terbiasa. Aku yakin jika mereka berpisah setelah terbiasa satu sama lain, mereka akan sadar bahwa mereka saling mencintai." Komentar Deidara kali ini benar.
Deidara kemudian terdiam ketika melihat sesuatu di belakang Sasuke. Hinata dengan wajah memerahnya, muncul dari balik pintu. Beruntung keempat pria itu sudah mengenakan kaos mereka lagi.
"Maaf, aku merepotkan kalian tadi." Kata Hinata sedikit malu.
"Tidak masalah, Adik Ipar." Kata Deidara.
"Maaf juga, aku bodoh." Kalimat Hinata seperti serangan untuk Suigetsu. Sasuke memelototi pria bertaring itu, yang sekarang meringis kepada Hinata, meminta maaf.
"Kemarilah Adik Ipar. Duduklah bersama Sasuke, dan makan bersama kami." Ajak Deidara. Hinata lalu duduk di samping Sasuke. Gaara memberikannya piring terdekatnya dan Sasuke meletakkan potongan sashimi matang di piringnya.
"Kenapa Deidara-san memanggilku Adik Ipar?" Tanya Hinata.
"Deidara yang paling tua dari semuanya. Kami ini sudah seperti adik-adiknya." Jawab Suigetsu.
Menggigit sashiminya, Hinata lalu teringat dengan nama yang sempat ia dengar dari keempat pria itu.
"Kalian mengenal Naruto Uzumaki?" Tanya Hinata. Ketiga pria itu saling berpandangan, bingung. Hanya Sasuke yang menatapnya, sedikit heran kenapa Hinata bisa tahu nama itu.
"Well, dia adik kelas kami saat kuliah. Kau mengenalnya?" Tanya Suigetsu.
"Dia mantan kekasihku." Jawab Hinata. Sasuke tertegun, terus menatap Hinata. Pandangan gadis itu berubah sendu. "Kami dulu hampir menikah."
.
"Apa yang kau lakukan jika Sasuke bekerja?" Tanya Suigetsu, sebelum ia dan kedua sahabatnya yang lain pulang.
"Bekerja."
"Di rumah?"
"Hinata mendesain buku cerita untuk anak-anak." Jawab Sasuke. Ekspresi Deidara berubah, ketika mendengarnya.
"Benarkah? Pantas saja, banyak lukisan anak-anak di sini." Kata Deidara antusias. Ia memang penikmat karya seni.
"Cita-citaku membuat buku cerita untuk anak-anak." Jawab Hinata.
"Itu keren sekali." Puji Suigetsu. "Berbahagialah kau Sasuke, anak-anakmu nanti punya Ibu cantik yang membuatkan buku cerita untuk mereka."
"Baiklah, kami pulang dulu." Kata Gaara kemudian. Harus ada yang memutus obrolan mereka, agar mereka bisa pulang. "Kami tidak ingin menggangu waktu istirahat kalian."
"Benar juga. Mereka harus membuat anak agar buku cerita Hinata bisa berguna." Suigetsu meledek. Pipi Hinata kembali bersemu, sementara Sasuke memelototinya.
Hinata mengantar ketiga sahabat Sasuke, hingga ketiganya masuk ke mobil Suigetsu. Sebelum Suigetsu menutup kaca jendela mobilnya, Hinata mengatakan sesuatu padanya.
"Jika kalian bertemu Uzumaki-san, tolong titipkan salamku padanya."
Suigetsu terdiam. Ia menatap kedua sahabatnya, terutama Sasuke yang berdiri di belakang Hinata. Seakan ia meminta pendapat Sasuke. Namun pria itu membisu, seperti tidak ingin dikaitkan dengan pria yang dimaksud Hinata.
"Maksudmu Naruto Uzumaki?" Tanya Deidara memastikan.
"Ya."
"Pria itu sudah meninggal. Kau tidak tahu?"
Hinata mematung. Ia terkejut luar biasa sampai tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya.
"Ba... bagaimana?"
"Kecelakaan tiga bulan lalu."
.
Sasuke hanya bisa terdiam, ketika melihat Hinata termenung begitu lama. Hampir sejam gadis itu duduk tanpa mengatakan apapun. Ia melamun. Sasuke masih mengamatinya karena khawatir dengan apa yang bisa gadis itu lakukan.
Ia sendiri tidak menyangka Naruto adalah tunangan Hinata. Namun pikirannya saat ini hanya tertuju pada gadis itu. Hinata sepertinya masih syok dengan apa yang baru saja ia dengar. Mengambil ponselnya, Sasuke mengetikkan beberapa kalimat.
Lain kali jangan membicarakan masa laluku di rumahku.
Mendapat pesan dari Sasuke, Deidara menghela napas. Ia menyesali mulut liarnya dan mulut liar kedua sahabatnya.
"Mulai besok, jangan makan di rumah Sasuke." Kata Deidara.
"Aku jadi tidak enak hati pada Hinata-san." Suigetsu teringat dengan tatapan kosong Hinata ketika mendengar kematian Naruto. "Aku heran, bagaimana mungkin dia tidak tahu jika kekasihnya mati?"
"Setelah ditinggal kabur, pasti dia ingin melanjutkan hidupnya. Yang paling tepat, tentu saja melupakan masa lalu. Namun tetap saja, siapa yang tidak terkejut mendengar mantan kekasih yang dicintai meninggal?" Gaara menambahkan.
"Sungguh ironi." Komentar Deidara. "Naruto, pria yang ditemukan dengan Sakura saat kecelakaan, adalah tunangan dari istri Sasuke."
"Walaupun ironi, mereka sudah menikah. Kedua orang itu juga sudah meninggal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Kata Gaara menutup pembicaraan mereka. Setelah itu mereka bertiga sepakat untuk tidak membicarakan masa lalu Sasuke.
.
Seperti yang dikatakan Hinata, ia akan melanjutkan studinya. Negara tujuan Hinata adalah Amerika. Ia sudah mempersiapkan semuanya dan hanya perlu berangkat. Karena hari keberangkatannya besok, Hinata mempersiapkan apa yang harus dibawa.
Sasuke ikut membantunya, tapi ia tidak bisa berangkat bersama istrinya. Visanya belum keluar. Karena ia baru bisa mengikuti perkuliahan di semester depan, Sasuke hanya bisa mendapatkan visa turis.
"Setelah visa keluar, aku akan mengunjungimu." Kata Sasuke, saat ia mengantar kepergian Hinata di bandara.
"Sebenarnya kamu tidak perlu mengikutiku."
"Apa kamu merasa terganggu?"
"Tidak. Aku hanya merasa kamu memaksakan perasaanmu padaku."
Sasuke tahu, Hinata mengira dia masih belum bisa melupakan Sakura. Namun Hinata tidak tahu isi hatinya yang sebenarnya.
Sejak melihat Sakura mati bersama sahabatnya, perasaan Sasuke pada gadis itu, sudah mati. Ya. Naruto adalah adik kelas, sekaligus sahabatnya saat SMA. Setelah berpisah saat kuliah, ia bertemu lagi dengan pria itu bersama dengan Sakura dalam kecelakaan mobil.
Awalnya Sasuke tidak ingin berprasangka buruk. Keduanya adalah orang-orang yang ia sayangi. Namun ia merasa curiga. Karena di hari itu, Sakura berbohong padanya. Kecurigaannya semakin membesar ketika membaca buku harian Sakura.
Tidak seperti dirinya yang hilang kontak dengan Naruto semasa kuliah. Sakura dan Naruto terus berhubungan, hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih di belakang Sasuke.
Maka dari itu Sasuke menerima pernikahan itu. Meski dalam hatinya masih kecewa dan menyesali perbuatan Sakura, ia ingin membuka lembaran baru. Sayangnya sikap Sasuke yang terlalu membuka diri pada Hinata, dianggap sebagai keterpaksaan.
Tersenyum pada Hinata, pria itu menepuk kepala gadis itu, dan mengelus lembut surainya.
"Apa kamu merasa terganggu jika aku ikut denganmu?"
"Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya."
"Kalau begitu katakan apa yang ada di pikiranmu."
Hinata terdiam sejenak, memikirkan ucapan Sasuke.
"Aku tidak ingin menjadi pelarianmu."
Sasuke tertegun. Mendengar perkataan Hinata baginya seperti mendengar kecemburuan gadis itu. Hinata tidak ingin menjadi pelarian Sasuke.
"Tepat saat aku setuju untuk menikah denganmu, artinya aku harus meninggalkan masa laluku. Aku masih belajar untuk melupakannya."
Terdiam sejenak, Hinata berkata. "Baiklah."
Baik Hinata maupun Sasuke, tidak ada yang beranjak lebih dulu. Orang-orang berlalu lalang melewati mereka. Sasuke masih menikmati wangi parfum Hinata yang membaur dengan udara sekitarnya. Tiba-tiba saja ia tidak bisa membayangkan kehidupannya tanpa gadis itu.
"Sepertinya aku harus segera pergi." Kata Hinata kemudian.
"Sebelum kamu pergi, aku ingin mengatakan sesuatu."
"Hn?"
Menatap mata bulan itu, Sasuke tersenyum pada Hinata.
"Kamu tetaplah pada posisimu. Kamu tidak perlu berinisiatif. Sampai akhirnya kamu mencintaiku, akulah yang akan terus mendekatimu. Akulah yang terus berinisiatif."
Cinta? Apakah Sasuke sudah mencintainya?
"Lalu bagaimana jika aku menemui laki-laki lain? Apa kamu akan mengikat kaki tanganku?"
"Kalau begitu, aku akan menjadi dinding untuk melindungimu. Akan kujauhkan semua laki-laki itu. Jika kamu mendekati mereka sepuluh meter, akan kubuat mereka menjauh seratus meter."
Perkataan Sasuke seperti menghangatkan hati Hinata yang beku. Ucapannya membuat Hinata ingin menangis. Namun ia tidak bisa.
Dalam pikirannya Hinata merasa iri dengan kekasih Sasuke. Gadis itu meninggalkan seorang pria yang sangat baik untuknya. Hinata tidak tahu ia haris merasa sedih atau bahagia.
Ia berharap memiliki Sasuke bukanlah sebuah kesalahan. Seperti ketika ia memiliki Naruto dulu.
.
"Sudahlah, Hinata. Semua sudah berlalu. Dia pria bejat yang lari dari pernikahanmu demi wanita lain. Kamu tidak perlu memaksakan perasaanmu lagi."
Perkataan Ino masih terngiang di pikiran Hinata. Begitu juga dengan perkataan Sasuke. Sudah jelas pria itu ingin meninggalkan masa lalunya dan berjalan ke depan.
Hinata hampir melakukan hal itu. Ia hampir melupakan Naruto. Namun setelah mendengar bahwa pria itu sudah meninggal, Hinata seperti berhenti di perjalanannya.
Ia tidak tahu, apakah harus merasa bahagia karena mengetahui mantan kekasihnya, yang sudah melukai hatinya, mati. Atau harus merasa sedih, karena meskipun sudah berpisah, ia masih merindukannya.
Dari perkataan Sasuke, sudah jelas laki-laki itu ingin melanjutkan hidupnya bersama Hinata. Dan walaupun Sasuke ingin hidup bersamanya, pria itu tidak terburu-buru. Ia sangat sabar pada Hinata, karena mengerti kondisinya.
"Kenapa dia seperti tahu perasaanku?" Gumam Hinata. Ia menyender dagu, melihat pemandangan gumpalan awan di bawah pesawat.
Naruto sudah meninggal, tanpa ia tahu. Tidak ada kesempatan lagi pria itu kembali padanya. Lagipula ia sudah menikah. Tidak ada halangan lagi baginya, untuk mencintai suaminya sepenuh hati.
Salah satu alasan ia masih bersikap tarik ulur pada Sasuke, karena masih mengharap Naruto. Namun Naruto sudah meninggal. Apa yang bisa Hinata harapkan lagi?
"Maafkan aku, Naruto-kun. Tidak ada alasan bagiku, mempertahankanmu."
.
TBC
7 notes View notes
shxndj 6 years
Text
A Place to Return #3
Tumblr media
youtube
RASANYA MENIKAH TANPA CINTA
Hinata dan Sasuke tidak saling mencintai. Mereka menikah tanpa perasaan yang seharusnya ada dalam pernikahan. Meski begitu, mereka tidak saling menolak. Mereka memutuskan untuk menerima dengan lapang dada dan menjalani kehidupan mereka bersama-sama.
Di malam pertama pernikahan, karena mereka masih terlalu canggung untuk memulainya, mereka memutuskan untuk tidak melakukan hubungan suami istri sampai keduanya setuju untuk melakukannya.
"Ini kamarku." Kata Hinata menunjuk kamarnya di lantai bawah, dekat dengan ruang tamu. "Ada empat kamar di rumah ini, kamu bebas memilih yang mana."
"Kalau kamu tidak masalah tidur denganku, aku ingin tidur di kamar ini. Bagaimana denganmu?" Tanya Sasuke.
Hinata terdiam. Pria itu ingin tidur di kamarnya, satu kamar dengannya. Hinata ingin menghindar, tapi ia merasa tidak sepantasnya terus menghindari suaminya. Ia takut menyinggung Sasuke jika ia pindah kamar.
"Baiklah."
Hinata tidak mengira, pernikahannya dengan Sasuke akan terasa berbeda dari yang ia bayangkan sebelumnya.
Dulu, ketika Hinata akan menikah dengan Naruto, gadis itu membayangkan banyak hal. Semuanya adalah hal yang indah-indah. Ia membayangkan dirinya dan Naruto ssaling mengasihi, mencintai, menikmati waktu mereka bersama-sama dengan perasaan kasih tak terhingga.
Sekarang, setelah menikah dengan Sasuke, Hinata merasakan hal lain. Ia seperti memiliki teman senasib seperjuangan. Sasuke, dengan masa lalu yang sama seperti Hinata, memperlakukannya seperti teman seperjuangan. Pria itu sangat baik kepadanya, juga sangat perhatian.
Sasuke tahu, Hinata belum bisa melupakan kekasihnya. Maka dari itu, ia berusaha sebisa mungkin membuat Hinata lupa. Ia selalu mengajak gadis itu pergi ke suatu tempat. Entah pantai, entah taman.
Hinata adalah anak rumahan. Ia pergi paling jauh dari rumahnya adalah Nagoya, rumah orang tua Temari. Namun berkat Sasuke, Hinata mengetahui banyak tempat yang menarik di Jepang. Sasuke menariknya keluar dari rumah dan melihat dunia luar.
Sebulan setelah menikah dengan Sasuke, sudah puluhan tempat mereka kunjungi bersama. Mereka tidak berencana untuk bulan madu. Namun waktu-waktu yang mereka lalui bersama seperti sedang berbulan madu.
Sepulang dari Hokkaido, tempat yang terakhir mereka kunjungi, Hinata bertanya pada Sasuke setelah makan malam. Pria itu sedang menonton televisi.
"Apa tidak masalah kalau nantinya kamu jatuh cinta padaku?"
Hinata tahu, dalam hati Sasuke masih tersimpan seorang gadis yang telah meninggal. Pria itu terkadang melamun menatap sebuah foto yang ia tidak tahu wujudnya. Ia sendiri juga masih menyimpan foto Naruto dalam dompetnya.
Sasuke mendengar pertanyaan Hinata, tersenyum tipis.
"Apa salah, jika aku jatuh cinta pada istriku sendiri?"
Hinata tertegun. Pertanyaan balasan Sasuke membuatnya hampir terlena.
"Kamu bertanya begitu membuatku terlihat hanya aku satu-satunya yang belum move on."
"Kalau begitu, move on-lah. Bukankah kau sendiri yang mengatakan masih banyak ikan di lautan?"
Hinata tahu, ia menjilat ludahnya sendiri. Ia mengatakan hal yang berlawanan dari apa yang ia lakukan. Ia menganggap Sasuke menyedihkan hanya karena tidak bisa melupakan kekasihnya. Padahal ia sendirilah yang menyedihkan.
"Apa kamu sudah melupakan kekasihmu?"
"Tidak, belum."
"Kalau begitu, kenapa kamu terkesan menikmati pernikahan ini?"
"Cepat atau lambat aku pasti akan menikah. Aku tidak bisa mengelaknya lagi walaupun aku tidak ingin. Lagipula, dia tidak akan hidup lagi, sekeras apapun aku memintanya pada Tuhan."
Hinata tertegun lagi. Ucapan Sasuke seperti menyadarkannya.
Sekeras apapun ia mengharap Naruto kembali, pria itu tidak akan kembali padanya.
.
Setiap ada kesempatan, Hinata dan ketiga sahabatnya berkumpul di salah satu rumah mereka, dan menghabiskan waktu bersama. Terkadang mereka memasak, memanggang daging, atau menonton film. Kali ini mereka akan berkumpul di rumah Hinata.
"Suamimu mana?" Tanya Ino ketika ia masuk ke rumah Hinata. Ia datang paling akhir. Dilihatnya Tenten dan Temari sudah berada di teras belakang, membuat barbeque di dekat kolam renang.
"Kerja." Jawab Hinata.
Gadis itu meninggalkan Ino, dan mendekati meja kerjanya. Masih banyak pekerjaannya yang tertumpuk karena mengurus pernikahan dan keliling Jepang. Ia akan menyelesaikannya sembari menunggu Tenten dan Temari selesai memanggang daging.
Melihat teman-temannya memiliki kesibukan sendiri, Ino memilih menyalakan televisi dan mencari film terbaru untuk mereka tonton bersama di netflix. Terkadang Ino bukannya memilih, ia justru memutar film yang membuatnya tertarik.
Cukup lama memanggang, Temari akhirnya memanggil Ino dan Hinata untuk datang dan menikmati barbeque. Ino segera meninggalkan televisi dan menghampiri kedua sahabatnya, sementara Hinata mendekati dapur, mengambil dua botol besar cola dari lemari es dan empat gelas plastik yang ditumpuk.
"Gimana rasanya menikah?" Tanya Ino. Pertanyaannya itu sebenarnya ditujukan untuk Hinata, tapi Temari yang menjawabnya.
"Kamu akan merasakannya sendiri kalau sudah menikah."
Bibir Ino melengkung sinis. Ia tidak tertarik dengan pernikahan Temari. Gadis itu menikahi pria yang sering bertengkar dengannya. Kisah cinta mereka yang aneh itu sudah lama sekali Ino dengar. Ia lebih tertarik dengan pernikahan Hinata. Gadis itu menikah dengan pria yang ia kenal dalam sebulan.
Hinata sepertinya mengerti maksud pertanyaan Ino.
"Tiap pernikahan, beda cerita, Ino." Jawab Hinata.
"Tentu saja yang dinikahi juga berbeda orang, Ino. Makanya beda cerita." Kali ini Tenten menimpali. Gadis itu masih sibuk membolak-balik daging di panggangan, sementara ketiga temannya mengambil porsi mereka masing-masing.
"Aku iri sekali dengan Hinata. Setelah menikah, ia berbulan madu dengan suaminya. Sementara aku? Mana ada bulan madu. Shikamaru kusuruh membeli kecap di mini market depan rumah saja tidak mau." Keluh Temari.
"Kami tidak berbulan madu."
"Liburan keliling Jepang apa bukan bulan madu, namanya?" Sindir Ino. Hinata selalu update Instagram selama ia dan Sasuke pergi berkeliling Jepang. Tentu saja teman-temannya tahu dan menganggap itu adalah acara bulan madu mereka.
Tenten kembali dari pemanggangan dengan membawa dua piring penuh daging bakar. Ia meletakkannya di meja dan duduk di samping Ino. Di halaman belakang Hinata, ada kolam renang dan meja piknik dengan dua bangku panjang. Meja itu sering ia dan ketiga sahabatnya gunakan untuk acara berkumpul.
Ketika Sasuke pulang dari kantor, ia melihat halaman belakang ramai. Ketika ia memasuki ruang tamu, dilihatnya Hinata tertawa bersama ketiga sahabatnya dari jendela besar ruang tamu yang menghadap langsung dengan halaman belakang. Sasuke keluar dari ruang tamu menuju halaman belakang.
"Ramai sekali." Ujarnya, seraya tersenyum pada ketiga sahabat Hinata.
Ino yang tawanya paling kencang dan mulutnya yang lebar, segera menutup mulutnya. Ia masih merasa canggung melihat suami Hinata. Ia tidak ingin mempermalukan diri sendiri di depan cowok tampan.
"Selamat sore, Uchiha-san." Sapa Tenten dan Temari.
"Selamat sore. Tidak perlu formal begitu. Panggil saja Sasuke."
"Kamu sudah makan siang?" Tanya Hinata.
"Sudah di kantor."
"Mau daging? Akan kusisakan untukmu, kalau kamu mau."
"Ya. Nanti kumakan." Sasuke lalu masuk ke kamar.
Sepeninggal Sasuke, Ino, dan Tenten saling bertatapan. Mereka kemudian menatap Hinata.
"Kenapa kalau aku melihat interaksi kalian, rasanya aneh sekali?" Tanya Ino.
"Apa yang aneh? Aku dan Shikamaru juga seperti itu." Temari menimpali.
"Yang kau nikahi ini pria pemalas, jutek, yang suka tidur, Temari." Ino menyindir dan Temari mendengus. Ia tidak ingin mengakui suaminya seperti yang dikatakan Ino. Namun memang benar adanya.
"Wajar saja kalau kau merasa seperti itu, Ino. Mereka menikah karena dijodohkan, lagipula sudah tiga bulan sejak..." Ucapan Tenten terhenti ketika Ino menepuk pahanya. Tiba-tiba saja gadis keturunan Chinese itu mengganti cara bicaranya. "Pokoknya semua ini perlu proses. Ada juga orang yang baru jatuh cinta setelah menikah."
"Benar... benar..." Ino menimpali. Ia ingin topik mereka segera jauh-jauh dari kekasih Hinata. "Oh, ya Hinata. Gimana rasanya?"
"Apanya?"
"Apalagi kalau bukan... ehem." Ino memberi isyarat. "Kalian pasti sering melakukannya selama bulan madu. Di Okinawa kalian melakukannya, di Hokkaido pun melakukannya. Sepertinya semua tempat di Jepang menjadi saksi cinta kalian."
"Belum."
"Apa? Belum semuanya? Jadi kalian benar-benar akan mengelilingi Jepang dan membuat anak di setiap tempat?"
Tenten memukul kepala Ino dengan sendok. Tapi gadis itu lebih menantikan jawaban Hinata dibanding rambutnya yang kotor karena bekas daging.
"Kami masih perlu waktu."
"Benar juga. Kamu langsung kembali bekerja. Sasuke-san juga pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sepertinya sebulan berbulan madu tidak cukup untuk kalian."
Hinata malas menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Ino. Pikiran gadis itu suka berjalan kemana-mana. Padahal Hinata dan Sasuke sama sekali belum melakukan hubungan suami istri.
"Kalau kamu, Temari?" Tanya Tenten. Ia hanya membuka percakapan biasa, tanpa ada niatan tertarik. Tenten tidak begitu tertarik dengan urusan rumah tangga sahabatnya, tidak seperti Ino.
"Jangan tanyakan dia. Mungkin Shikamaru tidur ditengah-tengah." Ino lalu mendapat sindiran tajam dari Temari.
"Sai, cepatlah pulang dan bawa pacarmu ini jauh-jauh." Keluh Tenten.
"Aku menantikan saat-saat kebersamaan kita menjadi sangat tenang dan tentram. Kenapa setiap kita berkumpul, rasanya ramai sekali?" Temari menambahkan.
"Kalian mengusirku? Awas, ya. Kalau aku dan Sai menikah di Jerman, kami tidak akan mengundang kalian!"
"Silahkan saja!"
.
Hinata mematikan layar komputernya setelah berjam-jam ia mengerjakan pekerjaannya. Ketika ia masuk ke kamar, dilihatnya Sasuke sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Pria itu sedang mengetik sesuatu di laptopnya.
"Belum tidur?" Tanya Hinata. Gadis itu naik ke atas ranjang dan duduk di sebelah suaminya. "Melakukan apa?"
"Sedikit pekerjaan."
Melihat layar laptop Sasuke yang menunjukkan kode-kode yang tidak dimengerti olehnya, Hinata baru sadar. Ia tidak tahu pekerjaan sebenarnya dari Sasuke. Setahunya, pria itu mendirikan perusahaan software, tapi Hinata tidak tahu software apa yang pria itu buat bersama teman-temannya.
"Apa yang kamu buat di perusahaanmu?"
"Sistem keamanan. Kami menggunakannya untuk mengamankan data-data pemerintah, akun pengguna, dan data penting lainnya."
Pantas saja Sasuke bisa membawanya berkeliling Jepang. Pria itu bisa melakukan pekerjaannya di mana saja, hanya bermodalkan laptop.
Hinata lalu teringat ketika teman-temannya datang berkunjung. Mereka berbicara seenaknya sendiri. Ia penasaran, apa yang dipikirkan Sasuke tentang teman-temannya.
"Maaf, temanku membuat keributan."
"Tidak masalah." Jawab Sasuke. Ia menutup laptopnya, dan meletakkannya di nakas ranjang sebelahnya. "Lagipula aku akan membawa teman-temanku kemari." Hinata menatap Sasuke. "Bukankah kukatakan aku ingin mengenalkan teman-temanku padamu?"
"Apa mereka teman-temanmu di kantor?"
"Ya. Mereka teman-teman kuliahku dulu. Kami bekerja sama membangun perusahaan."
Sasuke kemudian merebahkan dirinya di ranjang. Selimutnya hanya sampai dadanya saja. Hinata mengikutinya. Mereka memandang langit-langit kamar bersama-sama, mencoba untuk tidur.
Ini pertama kalinya mereka tidur di waktu yang sama. Biasanya Hinata tidur lebih dulu, atau Sasuke yang tidur lebih dulu. Rasanya aneh, mendapati mereka hanya berbaring saja, menunggu rasa kantuk datang. Hinata yang awalnya merasa mengantuk, tiba-tiba kantuk itu hilang seketika. Menggumpulkan kantuknya, ia pun merubah posisinya, memunggungi Sasuke.
"Hinata-san. Kamu belum tidur?" Tidak ada jawaban. Sasuke menoleh dan mendapati Hinata memunggunginya. "Selamat tidur." Ujarnya, sebelum ia mematikan lampu dan tidur.
.
Sasuke mengenalkan teman-temannya kepada Hinata beberapa hari kemudian. Mereka Gaara, Suigetsu, dan Deidara. Mereka teman terdekat Sasuke sejak kuliah.
"Akhirnya bertemu dengan saudara ipar juga." Ujar Suigetsu dengan seringai taringnya, menyapa Hinata.
Hinata mematung, seperti tidak tahu harus menanggapi Suigetsu. Teman-teman Sasuke beragam dan sangat unik. Seperti Deidara misalnya, yang bukannya menyapa Hinata, justru melihat hiasan ruang tamu Hinata. Atau Gaara, yang sudah berkeliling ruang tamu, dan kemudian berjalan menuju kolam renang di halaman belakang.
Belum mengatakan apapun kepada Suigetsu, Hinata melihat Deidara berlari menyusul Gaara dan menceburkan diri di kolam renang. Sesaat kemudian, Suigetsu menyusul kedua sahabatnya, meninggalkan Hinata yang tidak tahu harus berkata apa.
Ini pertama kalinya Hinata tidak bisa melakukan apapun di rumahnya sendiri. Banyak orang yang mengatakan ia terlalu dingin, meskipun sebenarnya dia sangat pemalu, dan saat ini ia tidak bisa mengeluarkan kemampuannya berbicara ketus di depan teman-teman Sasuke. Ketiga sahabat suaminya begitu nyentrik.
"Maafkan teman-temanku." Ujar Sasuke. Pria itu tersenyum tipis, merasa tidak enak hati.
"Aku akan siapkan kudapan."
Hinata keluar dari ruang tamu dengan nampan berisi camilan. Toples-toples kue kering diletakkannya. Ia masuk lagi untuk mengambil beberapa makanan kecil dan dua botol jus jeruk.
Ketika ia kembali, dilihatnya ketiga sahabat Sasuke, sudah bertelanjang dada, keluar dari kolam dan menyantap kue-kue kering dalam toples. Hinata terkejut hingga hampir menjatuhkan botol jusnya. Wajahnya juga memerah.
"Jangan repot-repot, Adik Ipar." Kata Deidara, seraya mencomot kue kering di dalam toples yang dipeluknya.
"Kau tidak sadar, sudah merepotkan istriku." Sindir Sasuke.
Suaranya terdengar dari belakang Hinata. Ketika gadis itu berbalik, dilihatnya tubuh basah Sasuke berjalan ke arahnya. Rambut pria itu yang sedikit jabrik di belakang, jatuh karena basah. Poninya tersibak, menunjukkan dahi tegasnya. Air menetes dari rambutnya, mengenai tubuh basah Sasuke yang atletis.
Pipi Hinata semakin memerah ketika ia melihat tubuh suaminya. Tiba-tiba saja matanya sudah berkunang-kunang dan kepalanya terasa pening. Ketika Sasuke semakin mendekatinya, Hinata sudah jatuh pingsan. Untung saja Sasuke segera menangkapnya.
Melihat wajah pucat Hinata, Sasuke memberi tatapan tajam pada ketiga sahabatnya.
"Ini semua karena kalian membuatnya repot!" Sasuke mengangkat tubuh Hinata, membawanya ke sofa di ruang tamu. Melihat Sasuke pergi, Suigetsu dan Gaara menatapnya tajam. Deidara membalas mereka, protes.
"Apa salahku?"
.
Hinata terbangun karena tawa kencang Deidara dan Suigetsu. Namun ia tidak bisa langsung bangun. Ia mengingat kejadian terakhir sebelum ia pingsan dan itu sangat memalukan. Ia merasa malu.
Hinata tidak segugup itu di depan laki-laki. Ketika ia bersama kawan-kawannya ke rumah orang tua Temari di Nagoya, Kiba, Shino, dan Shikamaru juga bermain di kolam renang rumah Temari. Hinata biasa saja melihat mereka. Namun entah mengapa, ia terkejut ketika melihat ketiga sahabat suaminya, dan semakin terkejut ketika melihat tubuh atas Sasuke.
Menutup wajahnya, Hinata merasa sangat malu. Anehnya hal itu tidak menghentikan otaknya untuk berpikiran kemana-mana. Salahkan Ino yang mengajarinya seperti ini.
Tiba-tiba saja ia teringat ketika pria itu memeluknya pertama kali. Tubuh kecilnya berada dalam dekapan tubuh kekar Sasuke. Pikiran Hinata semakin melayang ketika ia melihat dada bidang Sasuke yang telanjang dan basah. Bayangkan tubuh kekar itu berbaring di atasnya dan memeluknya.
Wajah Hinata semakin memerah. Menahan suaranya, ia meronta dalam hati, mengamuk pada diri sendiri yang begitu memalukan. Tubuhnya menggeliat, menghentak-hentak di sofa dalam posisi berbaring. Ia tidak sadar, dirinya diperhatikan oleh Sasuke dan ketiga sahabatnya, dari jendela.
Ruang tamu dan halaman belakang Hinata menempel, bersebelahan. Hanya dipisahkan oleh jendela besar setinggi dinding. Meja piknik di halaman belakang menempel dengan jendela tersebut. Sehingga orang-orang di halaman belakang bisa melihat apa yang terjadi di ruang tamu, begitu juga sebaliknya.
"Istrimu ternyata lucu sekali, ya." Komentar Suigetsu setelah melihat tingkah aneh Hinata. Ia melahap daging bakar yang sempat Hinata panggang sebelum mereka datang.
"Pantas saja Sasuke bahagia terus di kantor. Bahkan ketika Chojuro-san mengkritik pekerjaannya, dia tetap bahagia." Deidara menambahkan.
"Di mana kau menemukan istrimu, Sasuke?" Tanya Suigetsu.
"Dia dijodohkan orang tuanya. Kalian tidak tahu?" Jawab Gaara, seraya tangannya membolak-balik sashimi di pemanggang portabel.
"Benarkah?" Deidara terkejut. Sasuke tersenyum-senyum sendiri, mendengar obrolan teman-temannya.
"Kalau dijodohkan dengan perempuan secantik Hinata-san, aku juga mau. Sialnya, aku justru dijodohkan dengan perempuan ganas, sepupu adik kelas kita yang sudah meninggal." Kata Suigetsu.
"Adik kelas? Siapa?" Tanya Deidara. Senyum Sasuke seketika menghilang.
"Naruto Uzumaki." Jawab Suigetsu. Deidara dan Gaara saling berpandangan. Mereka lalu menginjak kaki Suigetsu dan membuat pria itu tersedak.
Sasuke diam saja, membiarkan teman-temannya bersikap sesuka hati mereka. Ia tahu, ketiga sahabatnya menjaga perasaannya. Namun berkat mereka juga, ia jadi teringat dengan pria itu.
Naruto Uzumaki. Pria yang ditemukan bersama kekasihnya Sakura dalam kecelakaan, tiga bulan lalu.
TBC
7 notes View notes
shxndj 6 years
Text
A Place to Return #2
Tumblr media
PERNIKAHAN PASANGAN YANG MENYEDIHKAN
"Bagaimana, menurutmu Hinata?"
Sama seperti sebelumnya, Hinata tidak berkata apapun. Ia tetap mengunci bibirnya bahkan sejak Fugaku, Mikoto, dan Sasuke menginjakkan kaki mereka ke rumah Hiashi. Pandangannya tetap sama seperti sebelumnya, menatap Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya sedetikpun.
"Hinata." Fugaku memanggil nama putrinya. Hinata lalu berbisik pada ayahnya. "Putriku ingin mendengar pendapat Sasuke dulu." Ujar Hiashi setelah mendengar bisikan putrinya.
Fugaku lalu beralih pada putra bungsunya. Sasuke sedari tadi pun sama seperti Hinata. Menatap gadis itu dengan ekspresi dinginnya. Selama pertemuan mereka saling bertatapan, menilai karakter masing-masing di dalam pikiran mereka. Mengabaikan percakapan Fugaku, Mikoto, dan Hiashi.
Setelah beberapa lama menilai Hinata dalam pikirannya, Sasuke memutuskan untuk mengalah. Ia tidak bisa terus menerus membiarkan dirinya berlarut-larut dalam kesedihan dan kemarahan atas meninggalnya Sakura.
"Aku setuju, Ayah." Jawab Sasuke. "Aku ingin menikah dengannya." Sasuke menjawabnya dengan mantap. Tatapan tegasnya pada Hinata seperti membuktikan tekadnya.
"Sasuke sudah setuju, bagaimana dengan Hinata?" Tanya Mikoto. Pandangan semua orang beralih pada Hinata. Gadis itu yang sedari tadi diam pada akhirnya tetap harus membuka mulutnya.
"Kalau Sasuke-san setuju, aku juga setuju."
Jawaban yang melegakan Fugaku dan Mikoto. Namun tidak dengan Sasuke. Pria itu sedikit tersinggung. Jawaban Hinata membuat Sasuke merasa gadis itu tidak peduli lagi pada pernikahan mereka.
Terlihat sekali hanya aku yang ingin menikahinya.
Sasuke tidak punya hak untuk menarik perkataannya lagi. Kedua orang tuanya menyukai Hinata. Kepribadian gadis itu sebaik latar belakang keluarganya yang merupakan keluarga akademisi. Meskipun kedua orang tuanya percaya saja dengan hal-hal baik dari Hinata, Sasuke tidak bisa sepenuhnya percaya. Bagi Sasuke, Hinata terlihat seperti gadis arogan yang menyedihkan.
.
"Bagaimana menurutmu tentang pernikahan ini?" Tanya Sasuke setelah ia mendapatkan kesempatan berbicara secara pribadi dengan Hinata. Meninggalkan orang tua mereka yang saling mengobrol, Sasuke dan Hinata duduk di teras halaman belakang rumah Hiashi, dengan pemandangan taman dan kolam ikan. Hinata dengan tehnya, duduk terdiam menatap kolam.
"Aku tidak masalah dengan hal itu. Bagaimana dengan Sasuke-san?"
"Bukan masalah juga bagiku."
"Maksudku, Sasuke-san baru saja kehilangan kekasih dan sekarang harus menikah dengan orang asing. Tidakkah kau merasa tidak nyaman?"
Sasuke tertegun. Baru saja ia menilai Hinata adalah gadis arogan. Namun dihadapannya, gadis itu justru berbicara seolah-olah ia mengerti perasaan Sasuke.
"Perasaanku bukan urusanmu." Jawab Sasuke. "Bukankah kau seharusnya memikirkan dirimu sendiri? Kekasihmu..." Sasuke memutus kalimatnya. Ia ragu harus melanjutkannya. Siapa yang ingin mengingat pernikahan yang gagal?
"Masih banyak ikan di lautan. Pria yang layak dicintai bukan hanya dirinya saja."
Sasuke sekali lagi tertegun. Ia tidak heran dengan kalimat yang diucapkan Hinata. Banyak sekali yang mengatakan hal itu padanya, untuk menyemangatinya. Aneh rasanya mendengar hal itu dari orang yang sama-sama patah hati.
Hinata melanjutkan kalimatnya. "Lagipula kita harus terus mencintai setelah patah hati, seperti halnya terus makan setelah sakit perut. Dengan begitu, kita bisa terus hidup."
Kalimat yang bagus. Sasuke yakin gadis itu hanya mencoba menghibur dirinya sendiri. Hanya saja, hati Sasuke merasa hangat.
"Bagaimana jika orang yang datang hari ini bukan aku? Apa kau tetap menikah dengannya?"
"Jika begitu, kau pasti melihatku hari ini dengan suamiku." Sasuke terlihat tak mengerti, Hinata kembali menjelaskan. "Seminggu setelah pernikahanku batal, Ayah terus mencarikanku calon suami hingga hari ketika aku menyetujuinya." Hinata menatap Sasuke, sedikit tersenyum.
Sasuke mengerti penjelasan Hinata. Gadis itu tertarik padanya, dari sekian banyaknya pria yang datang untuk melamarnya. Namun tentu saja, keberadaan Sasuke masih kalah dengan pria yang mengisi hati Hinata. Begitu juga dengan kondisi Sasuke sekarang. Di hatinya, masih tersisa sosok seorang gadis yang meninggal akibat kecelakaan.
Memang kita tidak boleh menilai buku dari sampulnya. Hanya mengobrol sebentar dengan Hinata, Sasuke bisa merasakan kehangatan gadis itu. Tidak mengherankan jika kedua orang tuanya sangat menyukai Hinata.
Dalam beberapa menit, keraguan Sasuke terhadap pernikahan mereka, berubah. Ia merasa yakin untuk melanjutkan hubungan tiba-tiba ini. Meraih tangan Hinata, Sasuke memanggil namanya.
"Hinata..." Gadis itu melihat tangannya digenggam, lalu menatap pria di sampingnya. "Ayo kita tinggalkan masa lalu. Aku tidak tahu bagaimana masa depan nantinya, tapi maukah kau melihatnya bersamaku?"
Menunduk, menatap tangannya sekali lagi, Hinata terdiam. Dari semua calon pendamping yang dibawa ayahnya, ini adalah pertama kalinya Hinata setuju. Mungkin Hinata sudah lelah melihat wajah-wajah pria yang datang ke rumahnya. Namun ia tidak menampik, latar belakang Sasuke membuatnya tertarik.
Terlahir dari keluarga akademis, seperti keluarganya, Sasuke dibesarkan di keluarga yang menjunjung tinggi norma dan moral. Pantaslah jika karakter pria itu tegas dan sopan, mengikuti lingkungan tempat ia dibesarkan. Pendidikannya pun cukup tinggi, dan pekerjaannya cukup baik. Pria itu mendirikan perusahaannya sendiri, membangun karirnya dari nol sekaligus membantu teman-temannya mendapatkan pekerjaan.
Sebenarnya dibanding latar belakang Sasuke, Hinata lebih tertarik pada masa lalu pria itu. Sama-sama memiliki kekasih yang pergi meninggalkan mereka, Hinata yakin Sasuke bisa mengerti perasaannya. Begitu juga dirinya, bisa mengerti pria itu.
Hinata tidak tahu apakah dia bisa mencintai Sasuke seperti ia mencintai kekasihnya. Namun pria ini adalah pria pertama yang membuatnya ingin terus melanjutkan hidupnya, setelah kekasihnya pergi.
Meletakkan sebelah tangannya di genggaman Sasuke, Hinata tersenyum padanya.
"Aku juga ingin melihatnya. Sejauh mana kita bisa melangkah bersama."
Lalu kepala Hinata tergerak, menyandarkan diri di bahu Sasuke.
聽. 聽
"Hinata, ada telepon."
Tenten yang duduk di sampingnya, membuka dasbor mobil Hinata. ia menemukan ponsel Hinata berdering. Si empunya sedang fokus menyetir, Tenten melihat nama yang tertera di layarnya.
"Siapa?" Tanya Hinata dengan pandangan masih fokus pada jalan. Jalanan begitu lenggang, ia mengemudikan mobil dengan cepat. Ia mengejar waktu agar sampai ke Nagoya tidak terlalu malam.
"Sasuke Uchiha."
Tangan Hinata tergerak mengambil earphone yang sudah terhubung ke ponselnya, lalu mengangkat panggilan itu sambil menyetir.
"Di mana?" Tanya Sasuke.
"Masih perjalanan ke Nagoya."
"Aku baru saja tiba di Kyoto."
Beberapa hari lalu Sasuke berkata akan ke Kyoto untuk perjalanan bisnis. Hinata juga mengatakan ia harus ke Nagoya di hari yang sama, dengan teman-temannya untuk menghadiri pernikahan salah satu teman. Mereka sepakat akan mengurus pernikahan setelah kesibukan ini. Lagipula keluarga mereka sudah saling akrab.
"Baiklah. Beberapa jam lagi aku sampai Nagoya."
"Kapan kamu punya waktu luang?" Hinata diam sejenak. Pikirannya bercabang, antara memikirkan kenapa Sasuke bertanya, dan berpikir waktu luang yang dimilikinya. "Ayo kita bertemu."
"Baiklah." Tanpa pikir panjang, Hinata setuju. "Akan kuhubungi lagi." Kata Hinata lagi sebelum ia mematikan panggilan.
Tenten melihat Hinata, dengan pandangan curiga. Setelah pernikahan sahabatnya itu batal, Tenten tidak pernah melihat Hinata menjalin hubungan dengan pria lain. Apalagi nama pria yang ia lihat di layar ponsel gadis itu terdengar asing.
"Siapa itu?" Tanya Tenten. Matanya terpicing, mencurigai kalimat yang akan dilontarkan Hinata. Seakan-akan Hinata akan berbicara bohong.
"Calon suamiku."
"WHAT?"
Ino dikursi penumpang, terlonjak kaget mendengarnya. Hinata ikut terkejut karena teriakan Ino.
"Bukannya kamu tidur?" Tanya Tenten.
"Iya, tadi, dan terbangun setelah mendengar BE-RI-TA BE-SAR!" Tenten melihat Ino, tidak suka. Gadis pirang itu memang selalu berlebihan. "Jadi, Naruto sudah menghilang dari pikiranmu?" Tanya Ino dan langsung dipelototi Tenten.
"Mau bagaimana lagi? Calon suamiku terlalu menggoda untuk dilewatkan."
Tenten tahu, Hinata hanya bercanda, tapi Ino menganggapnya serius.
"Benarkah? Apakah seseksi Adam Levine?" Ino dan kegemarannya. Tenten memelototinya lagi dan gadis itu tertawa meringis. "Tenang saja. Aku tidak akan membawa kabur pengantinmu, Hinata."
Tenten kehabisan kesabaran. Ia memukul kepala Ino, dan gadis itu mengerang kesakitan sembari mengumpati Tenten.
"Jangan dengarkan dia. Pawang yang menjaga mulutnya sedang berada di luar negri." Tenten membicarakan Sai, kekasih Ino yang sedang belajar di Jerman. "Sudah merencanakan tanggal pernikahan?"
"Mungkin bulan depan."
"Cepat sekali. Kapan kalian bertemu?"
"Minggu lalu."
Tenten terkejut, begitu juga Ino.
"Hinata, kamu tidak ingin menundanya dulu? Hanya sebulan kalian saling mengenal. Ini pernikahan, lho." Untuk pertama kalinya, Ino menggunakan mulutnya dengan benar.
"Aku tahu. Keluarga juga sepakat untuk tidak menunda. Lagipula..." Hinata terdiam sejenak.
"Apa?" Tanya Ino.
Entah mengapa aku tidak ingin menundanya terlalu lama.
Hinata mengabaikan pertanyaan Ino. Ia kembali fokus pada kemudinya.
聽. 聽
Hinata berjanji mengenalkan Sasuke kepada ketiga sahabatnya. Ia meminta calon suaminya itu datang ke hotel tempat pesta pernikahan Temari diadakan. Sasuke tahu, maka dari itu ia tidak mengganti baju formal yang ia gunakan.
Di pertengahan acara, Sasuke datang memasuki balarium. Ia langsung bisa menemukan Hinata ditengah-tengah banyak orang.
Kedatangan Sasuke membuat hampir seluruh tamu memperhatikannya. Terutama kaum hawa. Hanya dengan jas sederhana, pria itu terlihat sangat tampan. Begitu juga cara berjalannya yang tenang dan terlihat gentle. Ia menghampiri Hinata dan tersenyum padanya.
Ino dan Tenten, melongo, melihat seorang pria tampan, tiba-tiba mendekati Hinata. Seingat mereka, pria setampan itu tidak terlihat diantara tamu-tamu lainnya. Namun pria ini tiba-tiba muncul. Kedua gadis itu beriringan memperhatikan Sasuke dan Hinata.
"Dia Sasuke Uchiha, calon suamiku." Kata Hinata, menjawab rasa penasaran kedua sahabatnya.
Ino yakin, setengah jiwanya melayang. Ditinggal kabur dari pernikahan, Hinata mendapatkan pria yang sejuta kali jauh lebih baik daripada mantan kekasihnya. Sekilas ia berpikir untuk meminta Sai kabur dari pernikahan mereka nanti, agar ia bisa mendapatkan calon suami setampan Sasuke.
Tenten masih bersikap lebih normal. Ia tersenyum pada Sasuke dan menjabat tangan pria itu, memperkenalkan dirinya. Ino segera mencubit pinggangnya dan berbisik.
"Tenten! Bagaimana bisa kau bersikap tenang? Pria ini bukan manusia!"
"Diam, dan jangan mempermalukan Hinata, Ino. Kau sedang berhadapan dengan calon suami sahabatmu." Balas Tenten. Ia lalu mengabaikan Ino dan berbicara pada Sasuke. "Nanti ikutlah dengan kami mengunjungi Temari."
"Hn."
"Kamu sudah makan?" Tanya Hinata. "Ada banyak makanan di sana." Hinata menunjuk ke arah meja kudapan panjang, dengan seorang chef menyajikan piring-piring tersebut di meja. Ia meninggalkan kedua sahabatnya dengan tatapan penuh keheranan dari keduanya.
"Si bejat itu tidak bisa dibandingkan dengan pria itu." Tenten berbicara setelah melihat kepergian Hinata dan Sasuke.
"Benar sekali. Kalau pria itu masih hidup, pasti dia menyesal sudah mencampakkan Hinata. Gadis itu semakin cantik. Calon suaminya pun seperti dewa." Pujian Ino terlalu berlebihan. Tenten menatapnya, merasa janggal.
"Memangnya kau pernah melihat dewa?"
"Tidak pernah. Sekali lihat saja aku tahu, pasti calon suami Hinata selalu sempurna di semua hal. Termasuk... ehem."
Tenten memukul kepala Ino. Gadis ini tidak pernah bisa mengontrol mulutnya sendirian.
Mengelus kepalanya sendiri, Ino mengamati Hinata dan Sasuke dari kejauhan. Gadis itu tidak seperti seluruh gadis yang memperhatikan Sasuke dengan tatapan memburu. Gadis itu terkesan biasa saja, seperti tidak terpengaruh wajah tampan Sasuke.
"Aku heran, kenapa Hinata bisa begitu biasa saja di depan Sasuke?"
聽. 聽
"Kamu yakin, hanya mengundang segini?" Tanya Sasuke setelah pria itu melihat daftar tamu yang ingin Hinata undang. Di kertas yang dibawa Sasuke, hanya tertera nama saudara-saudara Hinata, dan tiga perempuan, dan empat laki-laki. Sedikit sekali untuk jumlah tamu pernikahan.
"Aku tidak punya banyak teman."
Hinata terlalu jujur.
Sasuke tidak mempermasalahkannya. Ia akan membawa kertas itu ke wedding organizer untuk segera dicetak dalam undangan.
Memasukkan kertas berisi daftar undangan itu ke dalam jaketnya, Sasuke berkata. "Tidak masalah. Kalau kamu mau, kamu bisa berkenalan dengan teman-temanku nanti."
Hinata tertegun sejenak. Sasuke seperti tahu, ia sulit bersosialisasi dengan banyak orang. Ia memang pendiam, tertutup, teman-temannya hanya sedikit. Ia hanya punya Ino, Tenten, dan Temari sepanjang hidupnya. Empat laki-laki yang lain adalah kenalan terdekat Hinata. Ia pun mengenal mereka karena beberapa diantaranya menjadi pasangan Ino dan Temari.
Hinata tidak pernah ingin mengenal banyak orang sebelumnya. Namun ajakan dari Sasuke membuatnya tergerak untuk bersosialisasi lebih banyak. Melihat karakter Sasuke yang tenang, Hinata penasaran, seperti apa teman-teman pria itu.
"Sasuke-san. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."
"Hn?" Sasuke lalu duduk di sebelah Hinata.
"Apa kamu punya rencana masa depan?"
Pertanyaan yang cukup aneh. Namun Sasuke menganggapnya sebagai proses awal Hinata tertarik padanya.
"Untuk sekarang tidak ada."
"Apa yang akan kamu rencanakan setelah kita menikah nanti?"
"Entahlah. Aku belum tahu. Apa kamu sudah memutuskan rencana setelah menikah?"
Hinata terdiam sejenak sebelum menjawab. "Sebenarnya pernikahan ini sangat mendadak. Sebelum memutuskan menikah, aku ingin melanjutkan kuliahku ke luar negri tahun depan. Aku sudah mempersiapkan semuanya, dan hanya perlu berangkat saja. Bagaimana menurutmu?"
Sasuke cukup terkejut mendengar penjelasan Hinata. Namun ia senang, gadis itu mau berdiskusi dengannya untuk masalah ini. Itu artinya, meskipun mereka menikah tanpa cinta, Hinata tetap membuka diri untuknya.
"Tidak masalah bagiku. Kalau kamu mau, aku bisa menemanimu. Kemanapun kamu pergi, aku akan ikut denganmu."
Hinata tertegun lagi. Semakin mengenal Sasuke, ia mendapati sesuatu yang baru dari pria itu, yang tidak pernah ia temui dari pria lain. Bahkan Naruto, mantan kekasihnya.
"Ada yang ingin kudiskusikan lagi denganmu." Kata Hinata. Sebelum Sasuke bertanya, Hinata menambahkan. "Tapi tidak di sini."
聽. 聽
Dengan mobilnya, Hinata membawa Sasuke ke sebuah rumah dua lantai bergaya modern di pinggir kota Tokyo. Rumah itu terlihat sederhana sekaligus elegan. Memasuki rumah tersebut, Hinata membawanya ke sebuah ruang tamu luas dan langit-langit yang tinggi. Dari luar rumah itu terlihat sempit, tapi begitu masuk ke dalamnya, terasa sangat luas. Di sebelah ruang tamu, terdapat kolam renang.
"Ini rumahku." Kata Hinata. "Aku ingin tinggal di sini setelah menikah."
Akhirnya Sasuke tahu, rumah inilah yang dimaksud Hiashi saat kedua orang tuanya mengobrol bersama. Rumah yang Hinata bangun dengan kekasihnya dulu, untuk pernikahan mereka.
"Sebenarnya aku ingin membicarakan masalah rumah denganmu." Kata Sasuke kemudian. Ia duduk di sofa empuk berwarna abu, yang menghadap sebuah televisi berlayar lebar. "Aku berniat membelikanmu sebuah rumah untuk pernikahan kita nanti. Aku sudah meninjau lokasinya dan sangat cocok untukmu. Tempatnya tenang, dan jauh dari keramaian kota. Kamu bisa mengerjakan desainmu di sana." Hinata terlihat kebingungan. Sasuke tersenyum, dan melanjutkan perkataannya lagi. "Tapi kalau kamu suka tempat ini, tidak masalah. Aku bisa membatalkannya."
Hinata tidak mengira, Sasuke akan memikirkan dirinya, ketika membeli rumah untuk pernikahan mereka. Ia ingin sekali menghargai pemberian pria itu. Namun... rumah ini terasa sangat sayang untuk ditinggalkan.
Sasuke tahu, Hinata masih tidak bisa melupakan kekasihnya. Walaupun gadis itu mengatakan banyak hal yang berlawanan, untuk menunjukkan bahwa gadis itu sudah melupakan mantan kekasihnya. Hinata hanya menghibur dirinya sendiri.
"Bagaimana jika aku membeli rumah ini, atas namamu?"
"Apa?" Hinata terkejut. "Untuk apa?"
"Anggap saja aku membelikan rumah ini untuk pernikahan kita. Aku membeli rumah ini, tapi kepemilikannya tetap atas namamu."
"Tidak perlu. Kalau kamu merasa keberatan karena harus tinggal di rumah istri, jangan merasa seperti itu." Hinata justru memikirkan hal lain, meski bukan itu yang dimaksud pria itu.
"Kalau begitu, akan kukirimkan uang yang senilai untuk membeli rumah ini, untukmu. Kamu bebas melakukan apapun dengan uang itu." Sasuke bersikeras.
"Tidak perlu, Sasuke-san." Hinata terus menolak.
"Kalau begitu, uang itu akan kujadikan mahar pernikahan kita."
Hinata tidak bisa menolak lagi. Sasuke berdiri, mendekatinya. Pria itu membawa Hinata dalam pelukannya.
"Aku tahu ini sulit bagimu. Kita akan mencobanya pelan-pelan. Bagaimana?"
Sasuke tidak seperti yang didengar Hinata dari Mikoto. Ibunda Sasuke menceritakan bagaimana putra bungsunya itu terpuruk ketika mendengar kematian kekasihnya. Sesaat Hinata mengira Sasuke sama menyedihkannya dengannya. Namun pria itu tampaknya move on dengan cepat. Pria itu membuka diri kepada Hinata selebar-lebarnya. Sementara ia, terkadang membuka pintu, terkadang menutupnya.
Hinata merasa bodoh, dengan pikirannya sendiri saat melihat Sasuke pertama kalinya. Saat itu, dalam hatinya ia menghujat bagaimana bodohnya pria itu, terpuruk pada satu gadis. Tanpa Hinata sadari, ia justru membicarakan dirinya sendiri.
Mereka berdua setuju untuk menikah. Sasuke membuka diri selebar yang ia bisa. Sementara Hinata justru bersikap seakan ragu dengan keputusannya.
Benar juga. Aku sudah bertekad untuk menikah. Naruto sudah tidak ada. Siapalagi yang kutunggu?
Membalas pelukan Sasuke, Hinata membenamkan kepalanya ke dada bidang Sasuke.
"Tolong bantu aku melupakannya."
Mengelus surai lembut Hinata, Sasuke tersenyum. "Tentu."
TBC
6 notes View notes
shxndj 6 years
Text
A Place to Return #1
Tumblr media
Hinata Hyuga
Namanya Sasuke Uchiha. Dia adalah pria yang dikenalkan Om Fugaku dan Tante Mikoto kepada Ayah. Pria lajang berusia 30 tahun yang tidak bisa melupakan kekasihnya yang sudah meninggal.
Sungguh pria yang menyedihkan. Lihat saja wajah tanpa senyum yang selalu ia tunjukkan. Masih banyak ikan di lautan, masih banyak daging di daratan. Harusnya ia makan lebih banyak, jika berhenti makan, ia akan mati kelaparan.
Bukankah itu tujuan dari cinta? Jika seseorang berhenti mencintai, tidak ada artinya dia hidup. Seperti diriku, yang sekarang menunggu waktu kematianku. Aku benci kenapa umurku rasanya panjang sekali untuk menua dan mati.
Aku juga benci kenyataan bahwa pria Uchiha itu mirip sekali denganku. Dia menyedihkan, sama sepertiku.
Kenapa orang yang menikahiku harus seorang pria yang menyedihkan?
Sasuke Uchiha
Gadis itu bernama Hinata Hyuga. Seorang gadis berusia 24 tahun yang hampir menikah tapi gagal. Kekasihnya melarikan diri dari pernikahan dan meninggal dalam kecelakaan. Semenjak itu ia selalu tinggal di rumah yang ia bangun bersama pria itu untuk pernikahan mereka. Walaupun pada akhirnya pernikahan itu batal.
Apa ia seorang masochist? Bagaimana bisa ia menyiksa diri dengan tetap tinggal di rumah itu?
Kenapa juga gadis ini menunjukkan seolah-olah hanya dia saja yang paling tersakiti di dunia ini karena ditinggal kekasih? Lihat saja wajah sendu yang selalu ia tunjukkan selama pertemuan. Pantas saja kekasihnya melarikan diri dari pernikahan.
Apakah ini artinya kami pasangan patah hati? Kenapa aku harus menikahi seorang gadis yang sama menyedihkannya denganku?
6 notes View notes