Tumgik
seattleitee · 19 days
Text
There’s just something about this Ramadan that made me incredibly emotional. Never before in my life had i ever felt sad or brokenhearted that Ramadan is over. Over the years, Ramadan was just a routine, a ritual i had to go through as a Muslim.
But this Ramadan, somehow every bit of it felt very special. So personal, heavy yet light, fulfilling.
Came across a random post on instagram that said,
“I am leaving soon, take care of your iman” - Ramadan
And i bawled. Boy the way i bawled like a baby.
So i thank Allah for whatever this is I’m feeling. Grateful that i get to experience this type of Ramadan, and hopeful that the next ones are going to be even more beautiful & fulfilling.
0 notes
seattleitee · 5 months
Text
I’m raising a kid who doesn’t need other’s approval or validation for her to be happy. I’ve seen many that are STRUGGLING to impress people that they don’t even like.
It’s a sad and tiring life.
2 notes · View notes
seattleitee · 11 months
Text
Chef kiss is when you don’t gotta explain why you did what you did, and let others experience it firsthand instead. Well, now yall know :)
7 notes · View notes
seattleitee · 2 years
Text
Lahir dan besar di Bandung sampai lulus SMA, dulu saya merasa dasar agama Islam saya cukup kuat untuk menghadang budaya barat. Maka dengan mantap, saya pun menerima tawaran Ayah untuk berkuliah di Amerika.
“Sarah si Anak Alim,” panggil teman-teman, karena saya memiliki banyak teman, aktif bersosialisasi di kegiatan mahasiswa, namun tidak pernah ikut-ikutan clubbing, pergi ke rave, mabuk-mabukan, merokok, memakai ganja, atau sebagainya. Dan saya sangat bangga akan hal itu. Namun ternyata yang namanya iman ketika tidak dikasih makan, lama-lama redup sendiri. Itulah yang saya rasakan di satu tahun terakhir masa kuliah saya.
Di titik itu, saya merasa ada di tengah-tengah. Nakal tidak, tapi jadi orang Islam yang baik dan benar juga tidak. Dari luar mungkin saya terlihat ceria dan aktif, namun seringkali saya termenung sendirian. Mengapa hati saya merasa kosong dan kebal? Hidup rasanya hampa dan tawar. Orangtua? Alhamdulillah keduanya masih ada dan sehat. Rumah, sekolah, teman, mobil, kerja sambilan, semuanya cukup berkualitas. Lalu mengapa saya tidak dapat nikmat-Nya? Shalat dan baca Quran pun rasanya tidak ada isinya. Ada yang salah pada diri saya, namun saya tidak tahu apa, dan bagaimana cara menanganinya. Untuk waktu yang cukup lama, hati saya rasanya tidak nyaman dan karuan.
Seakan tahu apa yang anaknya butuhkan, suatu malam Mama menelepon saya. Saat itu beliau sedang ada di Bandung. Ditengah-tengah percakapan, beliau bertanya, “Sarah mau nggak, kalau Mama masukkan ke pesantren di Bandung? Satu bulan aja kok. Mama rasa kamu perlu, deh. Kamu di Amrik gak dapet lingkungan Islami, soalnya.”
Reaksi saya saat itu: SEBULAN? Buset, lama amat! Apalagi, ternyata para santriawan dan santriwati tidak diperbolehkan memakai handphone selama sebulan. Mulut rasanya ingin bilang, “Mama bayar Sarah seratus ribu dollar juga Sarah gak akan mau kalau gak boleh pegang HP selama sebulan!” Tapi entah kenapa, tanpa pikir panjang, saya malah menjawab, “Mau, Ma.”
Singkat cerita, selama Pesantren saya mendapat banyak momen yang memang mencerahkan hati dan kalbu. Mampu menangis selagi shalat berjamaah di mesjid atau shalat sendiri di malam hari memang tidak ada harganya. Dengan perlahan, kekosongan di hati saya mulai terisi.
Masuklah kami ke pelajaran fiqih dan membahas tentang kerudung. Tentu saja, para Ustadz dan Ustadzah banyak mendorong santriwati untuk terus memakai kerudung bahkan nanti ketika program ini selesai. Saya lalu berfikir, kalau saya memilih untuk memakai kerudung, saya pasti akan kehilangan banyak teman. Belum lagi, saya merasa saya akan sulit mencari pekerjaan karena selain saya baru lulus kuliah, Muslim adalah grup minoritas di Amerika Serikat. Bagaimana perihal jodoh? Kalau saya pakai kerudung, saya akan lebih sulit lagi mencari jodoh. Terakhir, bagaimana dengan ancaman-ancaman para Islamophobia yang semakin hari semakin marak? Saya tidak akan pernah merasa aman untuk memakai kerudung di luar rumah.
Maka malam itu juga saya putuskan: “Tidak. Saya tidak mau pakai kerudung. Pakai baju panjang tertutup saja sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Kan, toh, kata Allah kita boleh melakukan apapun demi keselamatan diri kita sendiri. Ya, kan?” Hati merasa ragu, tetapi pikiran saya mantap atas keputusan saya. Saya berfikir, saya hanya tinggal harus meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
Beberapa hari pun berlalu. Pada satu kelas Fiqih berikutnya, pak Ustadz dan para santriwati diberi waktu untuk bertanya dan berdiskusi. Kami berdiskusi santai tentang banyak hal. Dari tentang apa saja yang boleh dipakai untuk membersihkan diri setelah buang air kecil dan besar, sampai akhirnya kami membahas tentang kerudung lagi. Saya pun mendapati diri mengacungkan tangan dan bertanya,
“Pak, kalau misalnya kita hidup di lingkungan dimana Islam diperlakukan sebagai terror—dimana orang berkerudung bisa ditembak atau ditusuk begitu saja tanpa alasan, apakah kita masih tetap harus pakai kerudung? Kan kalau sudah begitu tidak aman lagi.”
Pak Ustadz terdiam sebentar, lalu bertanya kepada saya, “Siapa yang menyuruh kamu menutup aurat dan memakai kerudung?”
Saya sempat bingung atas pertanyaannya. “Eh, siapa…ya. Allah, kan?” jawab saya ragu.
Beliau lalu mengangguk mantap dan berkata, “Kalau begitu, cukuplah Allah sebagai Penjamin.”
Jawaban yang sangat sederhana itu terasa ringan namun juga sangat berbobot. Namun saat itu, jawaban dari pak Ustadz masih belum cukup untuk merubah keputusan saya, bahwa saya harus memprioritaskan keselamatan saya sendiri!
Hari terakhir di Pesantren, saya dijemput Mama, dan kakak perempuan. Saya peluk Mama dalam-dalam, dan meminta maaf dengan khusyuk atas semua kesalahan yang pernah saya lakukan, berterima kasih untuk semua yang Mama dan Papa telah berikan untuk saya. Saya juga berterima kasih sedalam-dalamnya karena beliau sudah menawarkan saya untuk mengikuti program pesantren ini.
Satu hal aneh pun terjadi. Di perjalanan pulang ke rumah, saya melirik ke arah kaca spion, dan mendapati diri saya yang masih memakai kerudung. Lalu dengan ringannya saya bilang kepada Mama, “Mom. Aku mau terus pake kerudung, ah.” Mama dan kakak langsung mengucap syukur. Aku bisa merasakan kesenangan Mama dari senyumnya yang sangat lebar.
Yang saya sebut aneh adalah, bahwa tidak ada keraguan sedikitpun di hati untuk memakai kerudung meski saya tidak punya kerudung satupun, dan tidak punya banyak baju panjang. Saya juga tidak lagi merasa takut oleh konsekuensi-konsekuensi yang mungkin harus saya hadapi nanti. Pokoknya saat itu yang saya yakini adalah, saya mau lanjut pakai kerudung. Titik. Kalau Allah mau saya pakai kerudung, saya pakai. Dan alasan itu cukup bagi saya. Kedepannya gimana, kita hadapi satu persatu nanti.
Program pesantren selesai Oktober 2017. Saya kembali ke Washington, Amerika, Desember 2017. Prasangka yang dahulu saya takuti ternyata tidak ada satu pun yang terjadi. Maksudnya setelah memakai kerudung, memang banyak perubahan dihidup saya. Namun, hidup tidak berubah menjadi lebih buruk, melainkan menjadi jauh lebih baik.
Misalnya, ada beberapa teman yang jadi segan, sehingga enggan bertegur sapa dengan saya lagi—entah apa alasannya. Hilang teman? Tidak. Menurut saya, justru saya jadi tahu mana yang benar-benar teman dan mana yang bukan.
Contoh lainnya, dihari pertama saya kembali bekerja sambilan dan memakai kerudung, atasan dan teman-teman kerja saya menyambut saya dengan ceria dan hangat. Ada yang memuji, dan ada pula yang bertanya, “Apakah dengan memakai kerudung artinya kamu sudah menikah?” atau, “Apakah kamu masih mempunyai rambut?” Pertanyaan-pertanyaan polos yang tentunya saya jawab dengan senang hati.
Tidak hanya itu, tiga bulan kemudian saya mendapat pekerjaan full-time kantoran di perusahaan yang baik dan mendapat atasan yang sangat baik juga. Beliau masih menjadi teman dekat saya sampai sekarang meski saya sudah tidak lagi bekerja disana.
Namun menurut saya dari itu semua, salah satu hadiah terbaik dari Allah adalah, ketika Dia mempertemukan saya dengan suami saya tiga bulan setelah saya mendapat pekerjaan baru tersebut.
Hadist yang berbunyi, “Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya satu hasta” adalah benar dan saya alami sendiri. Mungkin saya beruntung, tapi kalaupun saya tidak mendapatkan itu semua, paling tidak saya merasa sangat bersukur karena Allah sudah membalikkan hati saya agar dapat merasa dan mampu bersyukur lagi kepada-Nya sehingga akhirnya saya dapat lagi menikmati Nikmat-Nya.
Allah Maha Baik.
Allah Maha Baik.
Allah Maha Baik.
(Tulisan pendek untuk lomba IMSA 2022)
7 notes · View notes
seattleitee · 3 years
Text
If he hurts you a million times, then he’s not the one to blame. He’s shown you his truest colors so many times. He’s been very honest with you of who he is really is for a very long time.
The fact that you keep deluding yourself that he will change and/or fight for you, the fact that you choose to keep believing his words over his actions, the fact that you keep tricking your mind that you love him, when you really love the imaginary guy that is in your head, the fact that you keep discounting what your guts and body tell you, they speak volume of who YOU truly are.
So you can no longer blame him. You should blame yourself. Yes. You.
Not because you're not good enough, not because you must've done things to make him do this to you, but because you don't stand up for yourself. And because you're refusing to see the reality. And because you keep allowing this to happen to yourself.
So, leave. Now. Before he gets the chance to say all those sweet words, empty promises, and lies that could make you forget and forgive him for the millionth times. You don’t need to say or explain anything to him. Just take that first step of leap of faith.
Your life can't be worse than this. You're lovable, precious, deserve to be happy, and worth all the good things in the world. If anyone makes you feel otherwise, it's not love.
Leave. When you feel like you want to give him another chance, just one last chance, reread the first paragraph. And reread it. And again. Read until it truly sinks in.
It's not going to be easy. And you will be sad, oh your heart will be in so much pain for a little while, but this won't last forever.
I promise, there's so much good in the world waiting for you to discover. Everything can only get better from here.
Hang in there, friend.
19 notes · View notes
seattleitee · 3 years
Text
Moments I can’t erase from my memory (1):
I was walking around New York that night with my husband, Ash, after having dinner at a pretty fancy restaurant to celebrate our mini honeymoon. We were casually talking and laughing when we passed by a black old man sitting down on a rusty chair, on the inside part of the sidewalk, wearing his white apron, eating poptarts. His eyes were empty, staring at nothing. His apron was wet. I thought he must’ve been a dishwasher at the restaurant.
And there i was, hit so hard by guilt. I don’t even know why i felt guilty. I knew I didn’t have to feel guilty.
But i just was. And I can’t erase that image from my head.
3 notes · View notes
seattleitee · 3 years
Text
Mau rant agak panjang boleh ya?
Kemarin, iseng-iseng ngomen di suatu post Instagram. Post-nya tentang aturan PPKM gitu, dan ada komen-komen yang bilang,
“Maaf Pak, tapi saya masih mau beribadah ke mesjid. Insya Allah SWT melindungi umatNya yang beriman dan bertakwa”
Dan banyak komen-komen yang mendukung komen ini seperti,
“Setuju, sieun mah ku gusti Alloh. Lain ka manusia/pemerintah. Kalau sudah harus mati…ya itu kehendak Allah??”
Karena ada keluarga saya yang rajin ke mesjid meninggal dunia karena terpapar covid di mesjid (dan 2 anggota keluarganya ikut positif), saya jadi tergretak untuk ikut ngomen,
“Allah ada dimana-mana. Allah ngerti kalau kamu gak ke mesjid demi saling menjaga. Rasul juga yg bilang kalau ada penyakit lebih baik diam, ‘Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Jangan bandel ya. Diem dirumah.”
Lalu seperti yang saya duga, diseranglah saya LOL. Ada yang bilang,
“Jika seandainya ini bohong, maka saya akan tuntut anda di pengadilan Allah swt karena turut serta melarang orang Muslim untuk beribadah secara berjamaah di rumah ibadah”
Lalu saya bilang, “Silahkan. Ibadah bisa dimana saja, dari rumah pun bisa. Kalau gak ada bahaya/pandemi saya juga gak akan meningatkan untuk tidak pergi ke mesjid. Tapi untuk saat ini, liat sikon sekitar anda. Jalan2 ke RS kalau perlu? Dan mungkin anda bisa pakai otak dan nurani anda sendiri untuk cari tau mana yang salah dan benar. Jangan cuma dengerin apa kata orang asing.”
Lalu ya banyaklah komen lain merembet ke dari “ya pokoknya saya akan tuntut anda di akhirat kalau sekiranya ini semua bohong” sampai ke “anda sendiri jalan-jalan” :—)
Fyuh. Greget. Tapi memang susah, untuk bikin orang paham bahwa usaha dan doa itu dua kaki yang gak bisa berhasil kalau cuma dilakuin salah satunya.
Washington adalah salah satu state yang pertama kali terpapar covid. Tingkat kematian melejit dalam seminggu pertama dan terus meningkat sehingga semua tempat langsung di lock down. Iya, SEMUA tempat di Seattle ditutup, BAHKAN gereja dan mesjid-mesjid sekalipun. Satu tahun semua orang bersabar. Bener-bener gak ada kerumunan (kecuali pas protes BLM dan tentu saja angka COVID langsung melejit lagi saat itu). Banyak sekali orang hilang pekerjaan, gak bisa bayar rent, produktifitas dan ekonomi plummeted, dsb. Satu tahun lockdown, dan mayoritas masyarakatnya yang nurut peraturan dan percaya vaksin, ternyata efektif. Maret 2021 saya fully vaccinated, Juni sudah gak perlu pakai masker di outdoor, Juli sudah gak ada restrictions apapun. No mask needed, no social distancing needed. Semua balik ke masa-masa normal.
Makannya urat saya naik pas ada yang bilang, “lah ente sendiri jalan-jalan ke tempat wisata” 😫 ya kalau masyarakatnya bandel kayak ente mau kapan selesainya, mas? Mas nya gak tau juga kita pun disini sudah bersabar, berusaha, nurut, dan berdoa. Kalau banyak gak nurut kayak mas-nya dan nganggep semua hal hoax…mau sampai kapan Indo balik lg ke normal?
Okelah kalau mas nya keluar untuk cari makan, atau untuk kerja yang memang gak bisa WFH. Ini mah udah jelas Allah permudah bisa beribadah dari mana saja, masih bikin aturan sendiri :(
Greget.
Saya mah cuma mau kasih tau satu cerita ya. Saya punya orangtua yang sudah berumur. Ibu saya diabet, dan punya riwayat asma. Bapak saya sehat tapi beliau sudah berumur. Keduanya rentan banget kalau kena COVID dan saat itu belum di vaksin. Tapi keluarga kami termasuk yang sangat apik dan nurut banget sama semua prokes (sampai paket/belanjaan dicuci atau disemprot). Lalu, di tahun baru 2021, saya sekali-kalinya beraniin diri mengundang 2 teman terdekat saya untuk BBQan dirumah bersama keluarga saya dirumah Ibu saya. Semuanya baik-baik saja, sampai Jan 2 2021, teman saya yang kemarin tahun baruan dirumah SMS saya dan bilang, “Sar. Aku positif covid. Please kalian semua test covid secepatnya.” Mimpi buruk? Bukan mimpi buruk lagi tapi panic attack, stres, anxiety, GUILTY, semuanya nyerang saya begitu saya baca SMS itu. My parents! My fragile, old parents! Ya Allah. Kalau sampe mereka kenapa-kenapa, I really don’t think I can live carrying this guilt. Saya sampe berdoa mati-matian sama Allah agar saya aja yang kena, orangtua saya jangan sampai kena. Orangtua saya kaget begitu saya kasih tau, tapi mereka gak pernah sekalipun nyalahin saya. Mereka pergi test COVID 2x jeda seminggu, alhamdulillah mereka tested negative. Kami semua juga tested negative. Mungkin karena teman saya itu juga baru banget terpapar, jadi belum masuk fase menularkan si virus.
But, bro. I’m just telling you, NOTHING and i meant NOTHING is worth hurting/killing your loved ones. Iya. Killing. Karena dalam case ini, tipis banget kemungkinan kena dan tidaknya. Kalau Allah berkehendak lain, mudah untuk Dia ambil orang tua saya karena kelalaian saya sendiri yang “percaya” sama teman/kerabat saya sendiri.
Jadi…sebelum terlambat, please stay home. Kalian mungkin gak peduli sama kesehatan kalian sendiri, tapi you don’t want to kill anyone. Especially being responsible for your loved ones’ death? You won’t be able to live with that.
Hhhh, udah segitu aja rant nya. Makasih yang udah mau baca. Please stay home and be safe guys. There’s an end to this, insha Allah. Sabar dulu yuk!
14 notes · View notes
seattleitee · 3 years
Text
Tawwakul isn't always standing at that open door and hoping for the best. Sometimes tawwakul looks like closing that door, getting yourself out of a toxic relationship, rejecting that job offer, refusing prioritizing others at the expense of your mental health. Sometimes its merely breaking generational toxicity so your future generations don't have to suffer. Sometimes tawwakul simply means withdrawing and trusting where He will place you.
705 notes · View notes
seattleitee · 3 years
Text
Orang egois, gak akan bisa jatuh cinta unconditionally.
Di dunia ini, gak ada orang yang gak egois. Seorang ibu pun, pasti punya keegoisannya sendiri terhadap anaknya.
Jadi, mungkin the so-called unconditional love itu mustahil dicapai manusia.
Dan memang hanya bisa dimiliki-Nya.
1 note · View note
seattleitee · 4 years
Text
Tulisan : Teman yang Baik
Saya memiliki definisi tersendiri tentang apa itu teman yang baik atau bisa jadi dikatakan sebagai sahabat. Bagi saya, mereka bukanlah orang yang selalu ada dan berada disekitar saya. Kemana-mana pergi bersama, melakukan banyak aktiivitas bersama. Mereka adalah orang-orang yang membuat saya tidak bergantung. Ada atau tidak adanya mereka tidak akan menjadi sebuah masalah yang besar. Namun, mereka selalu ada ketika saya memerlukan sesuatu terutama teman diskusi. Dan diskusi (curhat) yang tidak hanya diberikan kata sabar, semangat, dan pukpukpuk. Tapi, benar-benar diskusi yang sangat efisien. Tidak melebar kemana-mana. Meskipun telah terputus komunikasi beberapa lama, mereka akan selalu hadir disaat saya benar-benar membutuhkan cara berpikir dan sudut pandang yang lain atas masalah saya. Dalam beberapa waktu yang lalu, ketika saya ngobrol via dunia maya dengan adik kelas saya yang di UGM. Saya menyampaikan sesuatu, bahwa kita harus belajar hidup sendiri. Tidak bergantung kepada siapapun kecuali kepada Tuhan. Sahabat/teman dekat yang baik adalah orang-orang yang membuat kita tidak merasa bergantung kepada mereka, sedikit-sedikit ke mereka, jika tidak ada mereka, kita tidak bisa hidup, terpuruk saat menghadapi masalah, dan apapun alasannya. Mereka yang baik adalah yang mampu membangun kemandirian kita, kita bisa hidup dengan atau tanpa mereka. Dan kita bisa menghadapi masalah sehari-hari tanpa sedikit-sedikit curhat. Mereka membangun kemandirian kita agar kita sadar bahwa dalam lingkaran ini, masing-masing kita tidak akan selalu ada. Kelak, pada beberapa tahun yang akan datang. Sahabat atau teman baik kita akan memiliki keluarga, pekerjaan, anak-anak, dan banyak hal lain yang akan menjadi prioritas mereka. Kita sendiri pun akan seperti itu. Ketergantungan itu memang suatu hal yang kurang baik, bahkan ke sahabat/teman baik sekalipun. Kita harus sadar bahwa akan datang masa dimana kita akan kesulitan bertemu bahkan berdiskusi dengan sahabat-sahabat karib kita itu. Dan jika tidak disadari dari sekarang, kita bisa kehilangan kekuatan dimasa yang akan datang. Keberadaan teman baik dan sahabat memang membuat kita menjadi kuat. Karena kita tahu bahwa ada orang-orang dibelakang kita yang mendukung dan bisa menjadi tempat pulang. Jika semua itu diambil, maka akan kemana kita? Maka bangunlah kekuatan dan rumah itu sendiri. Teman yang baik akan selalu berusaha membuatmu menjadi mandiri, bisa mengambil keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas keputusan itu. Bagi saya sendiri, itu adalah sebuah bentuk kepercayaan seorang, bahwa kita bisa mengatasi masalah kita dan kita bisa bertanggung jawab atasnya. Saya belajar hidup sendiri, ketika seluruh orang-orang dekat dalam hidup saya ini mungkin pada suatu ketika akan diambil semuanya. Bahkan termasuk orang tua saya sendiri. Saya terus belajar untuk memperluas ilmu dan pemahaman, bahwa hidup ini hanya bisa bergantung pada satu Dzat. Dan segala hal yang akan terjadi menjadi tanggung jawab sendiri ketika dihadapan-Nya. Saya bersyukur memiliki lingkaran pertemanan yang paham akan hal ini, meski tidak ada komunikasi bahkan dalam setengah tahun sekalipun. Mereka ada dalam ketiadaannya. Ketika saya kehabisan cara dan sudut pandang, maka kepada mereka saya datang dan berdiskusi. Saya merasa mungkin Tuhan akan menyampaikan jalan keluarnya melalui orang lain. Dan orang lain itu pastilah orang yang tepat.
Temanggung, 12 Oktober 2013
265 notes · View notes
seattleitee · 4 years
Text
Yesterday during hiking, i saw this one teenage girl. She’s probably 15. She walked past me with her friend. Her hair was long. Her face was pretty, but not really, according to what people nowadays would call the beauty standard.
I was sitting down waiting for Ash to jump from the small cliff into the lake when i saw her up there about to jump too. She was hesitant to jump. She looked around and then smiled at me when she realized i was looking at her. The thing is, her smile was so genuine that I couldn’t help myself but to smile back at her, genuinely too. “You can do it!” I yelled at her. She waved at me saying thanks. And so she jumped.
On our way back down, the same girl and her friend walked past us and again, she gave us that warm friendly smile. My body couldn’t resist to smile back. “Have a good day!” She said. “You too!” I told her.
It was yesterday that i met her. And only for a couple minutes. But her smile and energy lingered in me. I’m not gay, if you’re wondering. I’m just amazed by how genuineness of a smile can affect me this much.
Now i want to smile because i want to smile. Not because i want to be liked or i want the other person to smile back at me. I think that’s what she did. And i know it’s not an easy thing to do.
Tumblr media
10 notes · View notes
seattleitee · 4 years
Text
Dulu tahun 2015 kalau ada yang nanya tujuan hidup saya apa, saya akan bilang “I want to be happy.” Because, who doesn’t? But then the more I grow up, the more I realize that happiness isn’t supposed to be the goal. 
Kalau saya memilih untuk berfikir bahwa hidup itu barulah benar hanya ketika saya happy, maka saya mendiskon what life can give me when I am not happy. Padahal, kata Ayah saya, semua ini bagian dari ayat-ayatNya. Ketika saya gagal, that’s life. Ketika saya patah hati, that’s life. Ketika saya kecewa, that’s also part of life. Atau bahkan ketika kamu sudan berusaha mati-matian dan berdoa mati-matian, namun kamu tetap gagal, that’s also part of life.
Apapun yang kamu rasakan dihidupmu saat ini, detik ini-- baik itu sedih/pahit/manis/asem/gurih/giung, jangan langsung lompat ke masa depan, menghiraukan perasaanmu, dan sibuk mencari jalan keluar menuju si kebahagiaan ini. Semua itu saripati kehidupanmu. Take and accept the unhappy times just like the happy times. Live it first. Own it. Experience it with your soul. Karena hidup ini, sama sekali bukan hanya tentang merasa bahagia. Bumi ini bukan surga.
Jadi nowadays, kalau ada yang nanya apa tujuan hidup saya? Saya jawab, “to experience life as it is, and to the fullest.” Bahkan, saya sisipkan kalimat ini didalam vows saya untuk suami ketika kami menikah civil kemarin. Saya bilang, “I know it won’t be all sunshine and rainbows--but I don’t want it to be. I want to experience all the peaks and valleys that life has to offer with you.”
14 notes · View notes
seattleitee · 5 years
Text
Sebenar-benarnya pertanyaan “Kamu kapan nikah?” adalah sah jika dijawab dengan, “Kamu kapan mati?”
Jodoh dan kematian adalah rahasia Tuhan, teman.
44 notes · View notes
seattleitee · 6 years
Text
Officially welcoming myself to the jungle. Have fun out there, Sarah!
2nd & Cherry St,
30 January 2018.
9 notes · View notes
seattleitee · 6 years
Text
Here is one simple reason on why you should not care about what others think of you:
Because just like you, everyone is busy thinking about what others think of themselves.
10 notes · View notes
seattleitee · 6 years
Text
Morning Thought
Tadi pagi saya lihat kakak perempuan saya dengan panik memarahi dan merebut gunting berwarna pink yang sedang dipegang anak perempuannya yang berumur 2 tahun. Lalu dengan spontan saya berpikir, 
     “Ah...mungkin ketika Allah murka saat hambanya tidak mengikuti kehendaknya, Dia sebenarnya khawatir hambanya terluka saking sayangnya Dia sama hamba-hambanya.”
Isn’t it cute when you think it that way? That He is worried.
Namun juga saya langsung sadar bahwa saya telah mengecilkan Allah menjadi seperti manusia. Murka-Nya pasti tidak sama dengan murka hambanya. Namun satu yang pasti, murka-Nya pun salah satu bentuk rahmat-Nya. Karena rahmat-Nya mendahului murka-Nya.
122217
6 notes · View notes
seattleitee · 7 years
Note
sejak kemarin saya baca-baca tumblr anda dan di hari kedua ini saya jatuh cinta. tetap menulis ya!
Shouldn’t thank you for loving my writing, but let me thank you for encouraging me. Your words mean the world to me :)
2 notes · View notes