Tumgik
rumiazhari · 4 months
Text
Lisan Tajam akibat Pilpres
Akhirnya, telah tiba masa dimana saya secara riil dihadapkan dengan orang yang lebih mengutamakan ego dan hasrat memenangkan perdebatan, daripada menahan diri dari lisan tajam demi menjaga keutuhan hubungan pertemanan.
Ironisnya, hal itu terjadi karena pilpres!
Saya tahu, politik adalah hal yang sering diimajinasikan sebagai hal dengan tiada hati dan malah cenderung berupa alat semata. Namun, di dalamnya terkandung keelokan bertutur dan manuver lisan yang tentunya terjaga!
Terlebih, jika aktivitas berpolitik tersebut dilakukan terhadap orang yang dikenalnya. Jika memang orang tersebut dikenal, patutlah diri untuk membedakan sikap daripada orang yang tidak dikenal.
Menyerang opini sebenarnya sah-sah saja, tapi tentu cara yang baik dalam memilih diksi bukan hal yang mustahil untuk diraih, bukan?
Malah, sepengetahuan saya, penyerangan secara agresif dan tak pandang bulu justru akan menjadi bumerang dalam masa kedepannya. Jika tidak dapat mengontrol lisan, jangan harap struktur-struktur sosial yang orang bangun susah payah dapat terjaga secara sustainable.
Seharusnya, dunia perpolitikan mengajarkan kita untuk dapat bermanuver dengan halus dan lembut. Tindakan politis kita sepatutnyalah dikesankan positif bagi lawan bicara kita, sehingga membuat ia terkagum atas sikap kita sebagai oposisinya.
Bukankah yang demikian itu dapat membuat lingkungan berkehidupan politis dengan sehat?
1 note · View note
rumiazhari · 1 year
Text
What It Means to be Human
For the past months, there have been a lot of advancements in Artificial Intelligence technology. I, for my self, am quite happy to bear such news. This is especially true, since at the moment AI has been arising, I was having a study for my Master’s degree. The LLM (Large Language Model) AI, such as ChatGPT, has helped me a lot by assisting me in scientific paper writing. So, there are no…
View On WordPress
7 notes · View notes
rumiazhari · 2 years
Text
Kecintaan Hamba Kepada Allah
Saya baru saja membaca buku tentang Cinta, yang di dalamnya terkandung pemikiran Imam al-Ghazali mengenai definisinya terhadap cinta seorang hamba dan Tuhannya. Secara sederhana, saya ringkas intisari buku tersebut sebagai berikut dengan pemahaman saya:
1. Cinta hanya ada pada kedua belah pihak yang saling memiliki kesamaan dan kemiripan zat dan/atau sifat. Oleh karenanya, syarat seseorang untuk menumbuhkan rasa cinta dan mendapatkan cinta dari pihak lain adalah dengan membangun kesamaan antar keduanya.
2. Cinta muncul salah satunya dari rasa untuk melengkapi ketidaksempurnaan dari dirinya, yang mana pelengkap kesempurnaan itu ada pada pihak lain. Dalam hal ini, seorang hamba mencintai Allah dikarenakan kesempurnaan Allah yang mampu melengkapi kekurangan hamba tersebut. Namun sebaliknya, hal demikian tidak berlaku bagi Allah terhadap hamba-Nya, sebab Allah telah sempurna dan tidak membutuhkan pelengkap kesempurnaan dari hamba-Nya.
3. Allah hanya mencintai diri-Nya sendiri, dan apa-apa yang berkaitan dengan-Nya. Ia tidak mencintai selain-Nya, sebab segala kemuliaan dan kesempuranaan hanya ada pada diri-Nya.
4. Atas sebab upaya seorang hamba untuk melengkapi kekurangannya dengan kesempurnaan Allah, maka hamba tersebut akan berusaha untuk menyamai sifat dan kemuliaan dirinya sebagaimana yang ada pada Allah. Hamba tersebut akan menyebar kebaikan dan kemuliaan, dikarenakan kebaikan dan kemuliaan adalah bagian dari sifat dan zat Allah.
5. Berdasarkan keserupaan sifat kebaikan dan kemuliaan antara hamba dan Allah tersebut, maka Allah pun mulai mencintai hamba tersebut, dikarenakan hamba dan Allah telah memiliki satu sifat yang saling mendekati: yakni sama-sama baik dan mulia (catatan: seorang hamba tidak mungkin sama derajatnya dengan Allah. Maka kebaikan dan kemuliaan hamba hanyalah ikhtiar untuk mendekati sifat yang dimiliki Allah saja, bukan penyamaan atau penandingan serupa).
6. Dari mekanisme inilah, kecintaan Allah ada pada hamba-Nya. Sekaligus, ini memberikan arti: kecintaan Allah hanya tumbuh pada hamba yang sifatnya serupa dengan-Nya. Cara untuk mendapatkan cinta-Nya, ialah dengan menyamakan sifat diri kita sebagaimana yang ada pada-Nya. Kita harus membangun kebaikan dan kemuliaan pada diri kita, sebab Allah hanya mencintai hamba yang memiliki sifat tersebut; dikarenakan Allah hanya mencintai diri-Nya dan sifat yang serupa pada diri-Nya sendiri.
2 notes · View notes
rumiazhari · 2 years
Text
Besok sudah menikah!
Tumblr media
Alhamdulillah ya Rabbana, sekaligus rasa syukur saya masih serta diliputi rasa tidak percaya!
Malam ini, sekitar 10 jam lagi, saya akan melaksanakan akad nikah inshaAllah. Saya agak bingung dan cukup heran: tapi ini nyata!
Malam sebelum akad ini, jujur saya malah tidak merasa gugup dan tidak jua berkeringat dingin. Entah kenapa, saya hanya biasa saja, dengan aktivitas scrolling online seperti tiap hari yang saya lalui.
Saya bukan dalam arti tidak menganggap hari esok ialah spesial, tapi entah, saya juga heran!
Pun demikian, saya juga senang atas sikap biasa saya ini. Setidaknya, saya bukan seperti orang-orang yang serba diliput khawatir dan ling-lung akibat dekat dengan hari akad.
Syukurnya, saya bukan orang yang membesar-besarkan perkara hingga pikiran saya dapat mengendalikan diri saya. Syukur, syukur!
Saya rasa, sikap biasa —yang disertai heran— ini, merupakan cara coping saya dalam menghadapi hari esok nanti. Mungkin, psikologi jiwa saya mengatakan: "Ah, kamu kan lelaki hebat, jadi inshaAllah tidak pantas kamu overthinking akibat hari esok nanti!"
0 notes
rumiazhari · 2 years
Text
Empat Tepi di balik Ruji
Aku tersadar, bahwa aku belum menjadi hamba yang baik. Aku belum bisa meluruskan jiwa dan ragaku sesuai syariat-Nya.
Namun, bukanlah ia berarti bahwa aku tak pantas untuk mendapat kebaikan.
Aku pun sadar, bahwa banyak kelalaian yang aku buat, amanah yang aku tinggal. Aku belum kuat meneguhkan hati untuk selalu bertanggungjawab atas segala perkara.
Namun, yang demikian itu pun juga tak menjadikanku kriminal dan patut sirna.
Aku merasa diriku yang ini, sekarang ini, bukan aku yang seharusnya. Aku tidak begini, aku dahulu tidak begini. Aku berubah, dan aku sangat tahu perubahanku.
Namun, aku pun belum menjadi orang yang hilang ruh, yang tak kuasa kembali seperti sedia kala. Aku tetap tak ditutup dari pintu perbaikan.
Aku yang aku tahu dan aku kenal, yang aku terus bersamanya dan aku-pun terus bersamaku, hanya itu yang aku miliki atas kehidupan ini.
Bila kehidupanku hanya dinilai dari aku yang sekarang, aku yang ini dan aku yang bukan dahulu, maka hal tersebut tidaklah memungkinkan.
Aku adalah yang dahulu, dan aku adalah yang sekarang. Aku juga pun akan menjadi aku di masa depan.
Oleh karena itu, kerusakan apapun yang terjadi pada aku yang saat ini ada pada masa sekarang, tidak menjamin akan buruk —atau baiknya, diriku kedepan.
Aku hanya bisa berusaha, lurus dan tetap di jalan-Nya.
1 note · View note
rumiazhari · 2 years
Text
Marriage and Personal Development: Is it Impossible to Merge Both?
Marriage and Personal Development: Is it Impossible to Merge Both?
There are some malicious opinions aligned to marriage, such as the impossibility of further academic study, difficulties to advance careers, or even helping parents in need. Those opinions become a reason for some people to avoid marriage at a young age and thus postpone marriage to at least around 30 years of age. Funnily enough, the same people who admit the mentioned reason is also the people…
View On WordPress
0 notes
rumiazhari · 2 years
Text
Ketika kita ingin belajar ilmu, celetuk pikir selalu berkata, "apakah ilmu tersebut dapat diterapkan?"
Atau, tatkala kita ingin mengejar rasa tahu kita lebih mendalam tentang suatu subjek, rasa hati kita berdengung, "apa bisa hal tersebut dijual sebagai bisnis?"
Menyedihkan memang.
Pikiran dan rasa kita telah diracuni oleh doktrin lingkungan yang tak henti-henti menghambat kemajuan kualitas kemanusiaan kita. Kita akhirnya hanya menjadi sarjana muda yang bergelar untuk mencari uang, seakan ilmu tidak ada gunanya bila tak membawa cuan.
Pendidikan selalu berujung pada pekerjaan dan pengaplikasian. Ilmu teoritis dan abstrak seperti matematika murni, kosmologi, dan fisika kuantum yang tak kasat mata hanya menjadi ilmu buangan tak berarti.
Padahal, kemajuan peradaban kita dimulai dari diskursus-diskursus keilmuan yang bukan ditujukan industri belaka. Peradaban kita yang kini ini dimulai dari imajinasi para ilmuwan terdahulu yang hanya merenung dan menulis, yang tidak akan menjadikan tuntutan mencari uang menjadi distraksi terhadapnya. Bahkan, mereka justru dibiayai dengan aktivitas intelektual tersebut.
Masalahnya, peradaban yang dihasilkan oleh para ilmuwan tersebut berubah fungsi menjadi ladang-ladang untung bagi pebisnis dan politisi, sehingga kemurnian niat atas ilmu tersebut hilang ditelan alam. Kini, kita dituntut berilmu demi memenuhi kemajuan bisnis belaka. Keahlian kita hanya sekadar cakap-cakap politik yang itu-itu saja.
Nahasnya, intelektualitas pun hanya menjadi nilai hambar di mata masyarakat kini. Keuntungan materi dan pengaruh politis, masih jauh lebih menarik daripada kemajuan umat manusia.
Ya, materi dan politik, yang sekian ribu tahun membuat manusia stagnan dengan teknologi yang rendah dan menyedihkan. Itulah, yang jauh lebih diinginkan oleh manusia kini.
0 notes
rumiazhari · 3 years
Text
Hak dan Keinginan Istri kelak
Alhamdulillah, pada hari ini, sudah tersisa 39 hari 10 jam lagi menuju pernikahan saya, inshaAllah. Sejujurnya, tidak banyak yang saya pikirkan. Saya tidak seperti orang yang kelabakan dengan pertanyaan-pertanyaan dramatis di benak saya pribadi. Pikiran saya tenang.
Hanya saja, beberapa hal yang muncul pada diri saya lebih pada perasaan senang saja. Bahagia. Saya rasa, dengan mengingat bahwa saya adalah orang yang gemar mengejawantahkan perasaan dalam bentuk aksiologis, kesenangan saya tersebut perlu saya tetapkan sebagai acuan dalam pernikahan saya kelak.
Saya terpikir tentang pasangan saya nanti, yang saya ingin membahagiakannya. Saya bukan lelaki yang gemar melarang perkembangan seseorang, maka saya akan persilakan pasangan saya kelak untuk belajar ilmu-ilmu di luar sana, melanjutkan studi hingga magister; atau bahkan doktoral, ataupun sekadar mempersilakannya untuk mengambil les pilot pesawat sebagaimana keinginannya.
Saya hanya mensyaratkan bahwa segala keinginan istriku kelak itu ialah ia harus selalu bersama dengan saya. Apapun yang terjadi. Sedemikian yang saya janjikan juga: saya juga akan tetap ingin membersamainya dalam segala pekerjaan dan rencana kedepannya. InshaAllah.
Selain itu, saya juga mensyaratkan bahwa keinginan tersebut tidak berlawanan dengan syariat Islam yang menjaga keharmonisan rumah tangga kelak. Contohnya? Yakni menghindari ikhtilath dan khalwat dengan lawan jenis. Ini merupakan yang sangat krusial sekali.
Sekaligus, sebenarnya ini juga menjadi teguran terhadap saya, supaya saya pun juga menerapkan aturan yang serupa. Saya harus mulai mengurangi aktivitas hobi atau pekerjaan yang "menuntut" (walaupun sebenarnya tidak ada juga yang menuntut) untuk dikelilingi oleh lawan jenis. Orang yang tahu rasanya tatkala pasangannya dibersamai oleh lawan jenis, tentulah pasti mengerti mengapa ia pun tidak ingin hal tersebut juga terjadi pada dirinya atau menyakiti pasangannya tersebut.
Lebih daripada itu, saya tidak bermaksud pula untuk membiarkan istriku kelak terkurung dalam rumah sebagaimana stereotip yang berkembang. Saya ingin mengajaknya bersama dengan aktivitas dan pekerjaan saya, kiranya dipersilakan. Saya hanya akan membatasi ruang gerak pasangan saya atas dasar fikih Islam: yang mana memang merekomendasikan perempuan untuk menetap di rumah, namun bukan berarti menjadi kurungan terhadapnya. Konsep "menetap" dan "terkurung" inilah yang harus diperjelas, dan yang demikianlah yang ingin aku terapkan kepada istriku nanti, inshaAllah.
'Alaa kulli haal, saya bersyukur kepada Allah yang telah mempersilakan diri saya untuk bisa menikah di usia muda 23 tahun ini. Usia yang muda, yang acapkali disebut usia menantang, saya yakin selama saya dan istri nanti tetap di jalan rumah tangga yang sesuai syariat Islam, Allah akan memudahkan perjalanan kami kelak. InshaAllah.
3 notes · View notes
rumiazhari · 3 years
Text
Menikah Karena Allah?
Salah satu problema yang akan dihadapi calon pengantin (bahkan juga untuk yang sudah menjadi pengantin) ialah masalah pelurusan niat mereka yang selalu saja dituntut bahwa pernikahan mereka harusnya ialah karena Allah. Namun saja, mereka tidak tahu bagaimana mewujudkan konsep tersebut: apa yang harus ditempuh supaya niatnya benar karena Allah? Padahal, sederhana saja, cukuplah kutipan dari Imam…
View On WordPress
3 notes · View notes
rumiazhari · 3 years
Text
Blood Sugar
Lately, I've been facing problem: my body now is fat.
As much as I can recall it, the cause of such condition is my eating habit back when I'm still a bachelor student in Yogyakarta, of which I very much love to drink sweetened ice coffee; like Good Day, ABC, etc. I drank it about 3-4 times a day for the past 4-5 years.
To calculate it, assuming each drink contain 30gr of sugar, it would mean that every day I consumed 90-100 gr of sugar. Whereas the daily limit of sugar intake should never be above 36gr/day. It's three times higher than the limit should be.
Right now, my belly is rounding up like a balloon. Accompanied by the lack of exercise, I'm truly messed up. At the present, my weight is (last I checked) 75. That's terrible. At my age and my body build, I should've just weighed about 60. That's the max. If it's getting more than that, then something isn't right.
Sure, like everyone says: I should take diet and do more exercise.
But, really, fulfilling such idealistic advice is quite hard. I'm quite addicted to coffee and everything that is built in sugar atmosphere. I just need a great effort to reduce my sugar based food, not mentioning that exercise is more challenging for me who didn't like physical activity very much.
0 notes
rumiazhari · 3 years
Text
Busy Bossy Bus
It was a very busy month for me on this September 2021. I've been working as an intern in Research & Development in Wastewater Treatment Distributor Company, while at the same time I also work as an illustrator/designer by freelancing through social media.
By the day I'm a researcher in R&D from 9 to 15, by the night I'm an artist from 18 to 24.
I think it needs to be taken over, because the busyness that I've been going through quite put me under pressure. Look, after I'm going home at 15, I have to open my laptop that was carried before to the office. I have to prepare the equipment for creating artwork at home, and I think it's not convenient for me to do so.
Thought about Life and Career
It's quite hard to decide whether I should continue my routine every day like this, because it's stressful. While on the contrary, I need the job in these digital artistic fields, because I'm currently in need of money.
But, it's not fair either to push myself for coins, if I weren't happy about it. I should bring balance to my activity. I don't need to take the job, as long as I've earned the money I necessarily need.
I'm not talking that I should quit creating an artwork. Having an artistic activity is an entertainment for me, and I should continue creating it to be so.
I don't have to make my artistic journey as an artist always to be a gold digger, because I don't intend it to be either.
I think I should stop, or at least take a rest a month or two from receiving commissions.
Yeah, I guess so.
0 notes
rumiazhari · 3 years
Text
Katanya, hati akan menemukan kedamaian saat kita mampu memaafkan. Menjadi pribadi yang anggun diatas ketulusan. Kembali pada rasa damai dalam keikhlasan.
Dan, nyatanya belajar memang sesulit itu.
-aksara.njoo
60 notes · View notes
rumiazhari · 3 years
Text
Bagi yang rajin mengikuti jejak karya-karya saya, seperti lukisan dan tulisan, barangkali sudah cukup mengenal 'corak warna' yang biasa tertoreh dari tiap tinta yang saya gunakan.
Saya nampak gemar menulis dengan aroma positif, meski dengan bungkusan menyindir terhadap realita. Satir-satir yang saya buat pun biasa memiliki pola: awalnya serba suram dan menunjukkan emosi gelap, namun di akhir tulisan mulai membangkitkan atmosfir tulisan hingga klimaksnya pada lini paragraf paling akhir.
Atau, dalam lukisan, saya biasa menggunakan warna hijau cerah, biru cerah, serta warna-warna yang semuanya cerah. Hanya beberapa saja yang saya buat dengan corak gelap dan sendu.
Ya, mungkin orang bisa mudah menyatakan: bahwa saya orang yang bahagia dan ceria dalam berkarya, serba bersemangat dan antusias. Mungkin, orang mudah berpikir, bahwa saya adalah idealis yang banyak minta; banyak rewel demi kebaikan.
Namun, .. rasanya anggapan itu kini bisa saya bantah. Bukan, saya tidak akan membantah dengan gamblang. Saya hanya merasa corak tersebut sejatinya bukan representasi dari diri saya pribadi.
Saya memakai warna cerah dalam lukisan, semata-mata untuk menggambarkan atmosfir yang dimiliki objek itu. Saya bukan melukiskan diri saya pribadi.
Saat menulis juga, saya tidak memaksudkan suasana positif itu untuk menunjukkan bahwa saya orang yang bersemangat. Malah, saya biasa menulis lebih soal menyesuaikan dengan topik bahasan saja. Jika bahasan Islam, saya tulis dengan semangat para muslim. Jika bahas pengetahuan, saya bahas dengan semangat para ilmuwan. Saya tidak menulis dengan jati diri saya pribadi.
Malah, saya kini makin bertanya-tanya: sebenarnya, corak apa yang biasa ada pada diri saya? Jati diri apa, yang harus saya kuak dari jiwa saya pribadi ini?
Saya biasa menuang tinta warna tentang jati diri orang lain. Tapi, saya rasa, saya jarang sekali —atau bahkan tidak pernah– menceritakan tentang diri saya pribadi yang sebenarnya.
2 notes · View notes
rumiazhari · 3 years
Text
Sajak Malam Para Hamster
Bia, Biu. Hamster kuning di hampar batuan
Lari, berlari, seakan bagai di hutan
Tampak rasa, yang mula berteman
lama-kelamaan, kian menghitam.
Adalah Bia, hamster jinak begitu lembut
harus hadapi sedih, kala pahit menyambut
Bia meratap, "mengapa Tuhan?"
sembari ingat, perih ucap Biu tersurat
"Apakah ratap ini kian dosaku?"
Bia menepis, bahwa itu tak logis
"Namun mengapa?"
Sebab Bia hanya hamster.
Ya, hamster
yang tak kuasa berucap
selain atas kuasa Sang Penentu Ucap.
Dan Biu?
Biu pun membiru
ia terpaksa harus beradu
Atas pakan yang diberi padu
Dan pakan? O, dia tidak tahu
betapa perihnya jeritan dari sang Biu
0 notes
rumiazhari · 3 years
Text
Taqwa yang kian menjadi Ilusi
Aku lihat diriku mulai runduk, melupa bahagia demi kesenangan yang buati diri suntuk.
Aku pula lihat teman sekitarku runtuh, menjatuh dari tinggi tak ingati diri telah luruh.
Aku kecewa dengan teman-temanku yang pergi, jauh nan hilang dari ufuk menjadi diri yang tuli.
Aku pun lelah dengan diriku ini, tak kuasa ikuti perintah sekadar untuk taati Ilahi.
Apa dunia telah sedemikian gusar, hingga berubah menjadi rubah gelap yang melupakan kehidupan dahulu?
Aku dan mereka sempat berbicara tentang al-Aqsha, tentang peradaban umat, tentang jati diri seorang muslim. Namun, kemana sekarang?
Aku dan mereka, dimana? Malah, ini tanya yang mengundang rundung. Kata berbulan-bulan hanya sia yang menguap. Nyatanya? Sekarang sama saja!
Aku dan mereka yang hilang, aku tak tahu mengapa aku dan mereka kini pergi dari keharusan yang lurus.
Atau, apa diriku saja yang tak terima dengan realita, bahwa Islam berdiri di atas ketidaksempurnaan aku dan mereka?
0 notes
rumiazhari · 3 years
Text
Setelah belajar sedikit ilmu tentang fikih, saya sedikit bisa menyimpulkan satu konklusi:
Fikih yang paling "rumit" adalah fikih tentang pernikahan
Mengapa? Sebab, tidak ada jawaban fikih secara mutlak yang dapat diberikan kepada setiap orang. Tidak ada solusi universal. Mulai dari pemilihan pihak yang ditaarufi hingga menyangkut perceraian, semakin bisa dipahami bahwa pertimbangan atas hal tersebut tidak sesederhana kaidah yang tertera di buku dan ucapan ulama.
Banyak faktor yang memengaruhi, misal, seperti faktor kesukaan. Faktor 'suka' pun ada rinciannya lagi: apakah rasa suka tersebut orientasinya pada pernikahan? Sebab, tidak semua rasa suka selalu diniatkan untuk pada pernikahan.
Kemudian, perkara faktor kufu. Serius, jika di luar sana ada yang bilang konsepsi kufu itu sebatas kesamaan strata agama atau sosial, itu tidak benar. Tidak valid.
Konsep kufu itu jauh lebih luas daripada sekadar strata agama ataupun sosial. Lebih-lebih strata agama, tidak bisa dikatakan bahwa kesamaan strata agama lantas membuat orang rela menikah. Bagaimanapun, manusia akan melihat dimensi yang lain; tidak hanya soal agama.
Perkara strata sosial, itu juga tidak bisa dibohongi: bahwa itu benar ada. Seseorang barangkali bisa mengelak, bahwa dirinya tidak memerdulikan faktor strata sosial. Tapi, jika dihadapkan kondisi yang mana ia ditawar oleh orang yang stratanya jauh lebih rendah atau terlalu tinggi, apakah ia rela?
Sebenarnya, ketika orang berkata "tidak memerdulikan strata sosial sang calon", sejatinya kondisi internal dirinya tidak mengatakan demikian. Ia masih melihat latar belakang sang calon, yang kiranya cocok untuk dilanjutkan menuju khitbah.
Faktor Psikologis itu jugapun ada!
Hal ini yang kadang tidak dianalisis secara mendalam: bahwa kesediaan orang untuk menikab atau menghindarinya, itu didasarkan pada realita psikologisnya. Orang yang secara impulsif berkeinginan menikah, patut diperhatikan: apa landasan menggebu-gebunya seperti itu? Sebaliknya pun, serupa untuk orang yang 'kabur-kaburan' dari tawaran menikah.
Maka, faktor psikologis ini juga perlu dijadikan bahan pertimbangan saat melanjutkan jenjang khitbah, lamaran, atau (naudzubillah) perceraian.
Belum lagi, bahas tentang faktor dinamika hidup. Ada kondisi yang kadangkala memaksa orang untuk menunda nikah, ataupun menyegerakan nikah. Ada yang sudah taaruf sejak dahulu, tapi karena kondisi, terpaksa belum bisa khitbah atau lamaran pada saat itu juga. Sebaliknya, pun juga serupa!
----
Yang bisa dicantum di tulisan ini hanya sebagian saja dari faktor yang ada. Sejatinya, lebih kompleks lagi. Ini yang ditulis baru perkara niatan menikah, belum bahas yang lebih banyak lagi di fikih pernikahan.
Hanya saja, pertimbangan semua ini bisa dikumpulkan menjadi satu simpul: bahwa semua faktor yang jamak dan saling bertalikan satu sama lain ini, baru bisa terjejal dalam pertimbangan kita saat otak kita sudah mulai dewasa.
Artinya, ya benar, tunggu otak kita dewasa, supaya kapabilitas otak kita untuk memproses semua hal tersebut dengan bijak.
0 notes
rumiazhari · 3 years
Text
Game Sia-sia, tapi Hiburan Lain Tidak: Aneh!
Tumblr media
Silakan sebut judul tulisan ini dapat merepresentasikan diri saya yang nampak kekanak-kanakan dan tidak dewasa. Tapi, saya betul menulis ini: rasanya aneh jika semua hal sia-sia dikatakan bermanfaat, sedangkan satu-satunya hal tak berguna hanya game semata.
Mengapa, misal seperti hiburan ke puncak dan ngobrol di warung malam, itu dikatakan hiburan yang baik? Mengapa juga, naik mobil menuju pantai dan melihat pemandangan alam itu disebut hiburan bermanfaat?
Sedangkan, kegiatan orang yang mengisi waktunya dengan menonton layar dan memencet-mencet tombol di keyboard, itu dikatakan tindakan manusia tidak beradab yang tidak mungkin membawa kebaikan pada masyarakat?
Mengapa, memeluk-meluk kucing dan minum teh sepanjang sore di pinggir jalan dikatakan tindakan mulia yang manusiawi, sedangkan kegiatan serupa di dunia virtual malah dipandang barbar?
Mengapa, kegiatan yang sejatinya sama-sama ‘menghabiskan waktu’ itu dijustifikasi dengan nilai yang berbeda? Mengapa, bermain sepeda dan melukis kanvas dinilai hiburan yang baik, sedangkan game dan hiburan digital dinilai hal yang begitu buruk?
Ini pertanyaan sederhana, tapi sekaligus mengelupas stigma positif dan negatif yang melekat pada otak kita. Bahwa sebenarnya, semua kegiatan hiburan itu pasti menghabiskan waktu. Tinggal sisanya, stereotipnya saja yang menjadi perkara!
1 note · View note