Tumgik
ruangarsip-blog · 7 years
Text
Membangun Surga di Gurun Pasir
Oleh M. T. Zen
*Mingguan Mahasiswa Indonesia, 12 Desember 1967
 “In the sweat of thy face shalt thou eat bread, till thou return unto the ground, for out of it was thou taken: for dust thou art, and unto dust shalt thou return”.
 “This is the Place!”
            Tepat pada tanggal 24 Juli, seratus dua puluh tahun yang lalu, suatu kafilah raksasa yang terdiri dari ratusan gerobak sapi di bawah pimpinan Brigham Young, seorang pemimpin dan organisator yang cerdik, memasuki daerah Utah dan berhadapan muka dengan lembah Salt Lake, suatu lembah berupa padang garam yang tandus dan amat menakutkan. Menatapi padang garam yang kering tanpa tanda peradaban maupun kehidupan manusia di bawah sinar matahari yang amat terik bagaikan di neraka, Bringham Young berkata kepada para pengikutnya: “This is the Place!”, maka perjalanan panjang ke Barat yang dimulai dari pantai Timur Amerika Serikat melalui “The Great Plains” dan Pegunungan Rocky berakhirlah sudah.
            Mereka adalah penganut agama Mormon yang secara serentak dan berkelompok meninggalkan daerah Timur karena pertikaian-pertikaian agama dan bertekad mencari tempat yang tenteram dan aman guna mendirikan suatu community Mormon dengan aturan-aturan mereka sendiri.
           Agama Mormon didirikan oleh Joseph Smith, seorang petani biasa yang mereka anggap sebagai nabi mereka. Di tahun 1820 dan di beberapa tahun berikutnya ia mengatakan telah memperoleh wahyu, sedangkan di tahun 1827 ia mengatakan bahwa bidadari Moroni menjelma kepadanya dan menyerahkan suatu buku berlembaran emas di mana diceritakan tentang pengungsian suatu keluarga dari kota Jerusalem di tahun 600 Masehi ke benua Amerika Utara dan menjadi nenek moyang dari beberapa suku Indian Amerika. Yang menuliskan kejadian tersebut adalah Mormon, ayah Moroni, makanya bible orang Mormon disebut The Book of Mormon, sedangkan para pengikutnya diberi julukan “Orang Mormon”. Joseph Smith sendiri menamakan gerakan baru tersebut “The Church of Jesus Christ of Latter Day Saints”.
           Karena pertikaian-pertikaian agama akhirnya orang-orang Mormon meninggalkan pantai Timur Amerika Serikat dan bergerak ke Barat untuk mencari tempat menetap yang baru. Mereka mulai mengungsi dari daerah New York di sekitar tahun 1831 sedangkan keberangkatan serentak besar-besaran dari Nauvoo, tempat kelahiran Joseph Smith mulai di tahun 1844, setelah terjadi pengeroyokan dan pembunuhan atas diri Smith pada tahun itu.
           Dalam perjalanan ke Barat tersebut, Bringham Young, pengganti Joseph Smith, membagi-bagi kafilah gerobak sapi (ox wagen) menjadi satuan-satuan terdiri dari seratus gerobak yang dibagi-bagi lagi menjadi satuan-satuan kecil dengan sepuluh gerobak.
           Young sendiri berangkat terlebih dahulu, mengepalai suatu kontingen sebesar seratus lima puluh orang. Mereka menentukan route-route yang ditempuh, memetakan tempat air dan tempat-tempat perkemahan. Kadang-kadang mereka berhenti di suatu daerah yang baik, mengerjakan tanah, memagar, membajak, dan menyemaikan bibit dan terus berangkat lagi. Rombongan kemudianlah yang harus memetik hasil panennya.
           Pada tanggal 24 Juli di tahun 1847 mereka berhadapan dengan lembah garam di Utah yang selama itu dihindari oleh orang-orang Indian maupun binatang.
           Berlainan sekali dengan dugaan kebanyakan orang semula, Young tidak berusaha mencari daerah subur, padahal daerah Barat Amerika Serikat terbentang dan terbuka luas bagi siapa saja yang sanggup menerima tantangan alam dan masih banyak lagi lembah-lembah subur untuk dijadikan pertanian.
           Pada taraf permulaan, masyarakat Mormon merupakan masyarakat pertanian. Justru karena itu pula Brigham Young memilih padang garam yang tandus yang hampir-hampir tidak mungkin untuk dikerjakan oleh siapapun juga. Young sengaja memilih daerah tersebut karena ia menyadari bahwa tidak akan ada orang lain yang bakal menghendaki daerahnya. Dengan demikian mereka dapat menghindari pertikaian-pertikaian dan perebutan-perebutan mengenai soal tanah.
           Orang pernah berkata bahwa suatu keyakinan tebal dapat membuat miracle atau menggerakkan pegunungan. Sampai di mana kebenaran ucapan itu sukar untuk dipersoalkan di sini. Yang nyata ialah bahwa orang-orang Mormon telah berhasil menciptakan suatu miracle di suatu padang tandus; menciptakan surga dari satu neraka.
           Dengan organisasi yang ketat lagi rapih disertai dengan disiplin baja dan perencanaan yang amat sistematis, orang-orang Mormon di bawah pimpinan Brigham Young segera mulai bekerja meletakkan asar sistem irigasi yang baik. Dengan ketabahan hati, koordinasi, semangat meluap-luap dan kerja keras dalam kondisi alam yang mudah menghancurkan manusia, setapak demi setapak tetapi amat sistematis, sebagaimana rakyat Belanda merebut tanah dari pelukan Zuider Zee, mulailah terwujud masyarakat pertanian sempurna. Dengan berangsur-angsur tetapi pasti, padang garam yang kejam itu mulai tersisihkan dan didesak ke pinggir. Bersamaan dengan itu sebaliknya, warna hijau serta kehidupan mulai berkembang dan air tawar yang jernih mulai mengalir melalui saluran-saluran irigasi mereka ke segenap pelosok lembah Salt Lake.
            Harus dibayangkan bahwa mereka hanya merupakan community kecil di tengah gurun tandus, dipisahkan oleh pegunungan Rocky dan the Great Plains kira-kira tiga ribu lima ratus kilometer dari dunia peradaban di sebelah Timur tanpa komunikasi apa-apa. Mereka hanya bekerja dengan alat pertanian primitif yang dapat dibawa secukupnya selama perjalanan mereka dari pantai Timur. Hanya dengan kerja keras dengan perencanaan disertai dedikasi yang melampaui batas-batas kemampuan manusia mereka berhasil untuk “survive”; bukan saja “survive” tetapi dapat pula berkembang dengan pesat dan sempurna.
            Dalam waktu relatif singkat Brigham Young mengorganisir misi-misi ke daerah California, Nevada, Arizona, New Mexico dan Colorado untuk mengembangkan masyarakat Mormon (lihat peta di Gb. 1).
Di tahun 1848 jumlah orang-orang mormon di Utah hanya sebesar 5.000 orang; di tahun 1953, kota Salt Lake sudah berpenduduk 12.000 sedangkan lembah Salt Lake telah mempunyai penetap sebanyak 30.000. Dan di tahun 1956 Salt Lake City, salah satu kota yang terindah dan termasuk salah satu “the best planned cities of the world”, telah berpenduduk 200.000 jiwa.
           Orang-orang Mormon tidak puas dengan hanya mendirikan masyarakat pertanian dan kota indah saja. Mereka juga mendirikan suatu gereja (tempat ibadah) yang disebut Mormon Temple, salah satu gereja yang terindah di dunia.
           Para pengunjung Amerika Serikat dari Indonesia sering pulang membawa cerita tentang tugu Washington, Menara Liberty, pencakar-pencakar langit di New York atau Chicago; kadang-kadang ada yang menceritakan dengan nonchallant dan sepintas lalu tentang Niagara atau Grand Canyon, tetapi tidak pernah bercerita tentang prestasi orang Mormon dan gereja yang mereka bangun di kota Salt Lake.
           Para pengunjung Salt Lake City, terutama mereka yang datang berkendaraan dari sebelah Barat amat bosan melihat padang tandus dan datar di kiri-kanan mereka selama berhari-hari.
Segera setelah memasuki kota Salt Lake, mereka menjadi terpesona akan keindahan kota tersebut yang dibangun dengan perencanaan baik. Tetapi mereka akan lebih terpesona lagi memandangi Gereja Mormon yang menjuang dengan langsing menyongsong langit terbuat dari batuan granit yang solid dan kokoh.
           Berlainan dengan kathedral-kathedral Notre Dame di Paris, Gereja Sancta Paulus di London maupun Gereja Sancta Petrus di Roma yang menimbulkan kesan agak somber dan suram, Gereja Mormon mengingatkan kita kepada Parthenon di atas bukit Acropolis di zaman kejayaan Athena-Yuniani.
           Di gereja Mormon tidak terdapat sesuatu yang sendu atau suram, tidak terdapat puluhan ribu ukiran detail yang membosankan seperti halnya dengan kebanyakan kathedral-kathedral dari zaman Gothiek.
           Gereja Mormon dibangun untuk menuai dan mereayu pandangan lelah dan guna mengobati hati yang sedang dirundung malang; ia memperlihatkan styl yang selalu segar dan brilliant lagi menggairahkan.
           Orang pernah mengatakan bahwa bangunan arsitektur yang indah identik dengan musik yang dibekukan. Menatapi Gereja Mormon kami teringat kepada Wolfgang Amadeus Mozart, kepada Don Juannya, Jupiter, Die Kleine Nacht Musik dan andante-andantenya yang lain.
           Ternayata orang Mormon bukan saja menginginkan sebuah gereja tetapi suatu monumen yang dapat tegak berdiri sepanjang masa. Lamasesudah Empire State Bulding di New York runtuh menjadi debu, lama sesudah menara Eifel di Paris berubah menjadi setumpuk besi tua yang berkarat dan lama setelah tulang-belulang orang Mormon di Salt Lake City tetap berdiri sebagai simbol kemenangan manusia atas alam, sebagai simbol dari semboyan yang mengatakan bahwa: Kepercayaan disertai kerja keras dapat mengubah gurun tandus menjadi surga yang hijau.
           Bagi kami sendiri yang mengunjungi gereja Mormon tersebut di tahun 1960 dengan back ground pendidikan geologi yang terutama menarik ialah bahan-bahan yang dipakai untuk membangun gereja tersebut. Dinding-dindingnya terdiri dari blok-blok batuan granit setebal 3 m yang memperlihatkan kristal-kristal felspar yang besar. Bagaikan tersengat oleh kalajengking pikiran kami segera menyadari dari fakta geologi bahwa daerah sekitarnya adalah padang garam yang tandus. Daerah terdekat dimana didapatkan batuan granit seperti itu tidak terletak satu-dua atau tiga km jauhnya melainkan antara empat-dan-lima puluh km dari sana.
           Kami teringat kepada Pyramida Cheops, menara Babylonia, Angkor Vat, tembok Peking dan Borobudur. Sewaktu para Fir’aun membangun pyramida-pyramida memang belum ada peralatan modern tetapi setidak-tidaknya ribuan, bahkan puluhan ribu manusia dikerahkan dalam semacam kerja paksa di bawah tekanan dan paksaan disertai pukulan cemeti, demikian juga Menara Babylonia atau Jalan Raya Birma yang dibangun oleh Jepang di masa Perang Pasifik.
           Di tahun 1853, sewaktu orang Mormon mulai mendirikan gerejanya tingkat peradaban di benua Eropa sudah tinggi. Di Versailles telah ada Hall of Mirrors, di Inggris orang telah dapat membanggakan Crystal Palace dan di St. Petersburg (Leningrad) telah berdiri Winter Palace di pinggir sungai Neva, tetapi di Utah rakyat Mormon dapat dikatakan bekerja dalam zaman batu dibandingkan dengan tingkat peradaban Eropa. Tidak ada kota maupun pedesaan, tidak ada jalan raya, tidak ada alat transport selain dari gerobak sapi, tidak ada peralatan selain dari peralatan untuk keperluan pertanian dan alat-alat rumah tangga. Yang mereka miliki hanya keyakinan, tetapi keyakinan yang amat tebal sekali dan secara berlimpah-limpah. Keyakinan seperti itulah kiranya yang menghasilkan Borobudur, Angkor Vat, dan temple orang maya di Peru.
            Batu-batu granit tadi digali dengan tangan dan otot yang telanjang, di-angkut dengan gerobak sapi dengan kecepatan jalan sapi melalui jalan yang belum dapat dinamakan jalan dan batu-batuan tadi disusun dengan tangan manusia hingga setinggi untuk menjangkai langit. Tidak ada paksaan, tidak ada tenaga budak belian maupun tenaga sewaan; semuanya dikerjakan atas dasar sukarela untuk mengabdi. Hanya keyakinanlah yang mendorong mereka mendirikan temple sedemikian megah dan indahnya.
           Di ruang Tabernacle (ruang bersembahyang) dari gereja tersebut yang dapat membuat beberapa ribu orang terdapat pipa-pipa orgel raksasa terbuat dari kayu-kayu besar dan bagus. Kayu itupun mereka ambil dari hutan yang jaraknya empat ratus lima puluh kilometer di daerah Selatan, diangkut dengan gerobak sapi dan dikerjakan denga alat-alat “home made” pula. Pembuatan orgel tersebut diawasi oleh seorang organist kebangsaan Australia bernama Joseph Ridges, salah seorang yang memeluk ajaran Mormon pada taraf-taraf awal perkembangan agama tersebut.
           Orgel di Tabernacle itu setiap hari mengeluarkan suara hangat, bulat serta dalam lagi mengharukan. Selain dari lagu pujian yang lazim diperdengarkan orang di gereja-gereja, di ruang Tabernacle itu kita dapat pula meinkmati Cantata dan musik polyphonik Johann Sebastian Bach; Misa Solemnis dan Grosz Fugue dari Beethoven; Requim dari Mozart, Messiah dari Handel dan nada-nada lincah dari Hayden. Kadang-kadang mereka juga memperdengarkan ciptaan Cezar Frank dan Mendelssohn.
           Paduan ke tiga unsur tadi, yaitu musik-musik Beethoven, Bach dan Mozart di Gereja terbuat dari granit sedemikian indah dan di tengah-tengah gurun tandus membuat seseorang menjadi terpesona dan menyadari batas-batas kemampuan manusia.
           Aldous Huxley dalam essainya “Faith, Taste and History” pernah menulis bahwa suatu keyakinan kuat ternyata dapat menghasilkan pekerjaan-pekerjaan besar. Di samping itu katanya, agama selalu menjadi “patron” dari kesenian akan tetapi sebaliknya ia belum merupakan jaminan untuk menghasilkan “good art”. Tetapi gereja Mormon dengan musik yang menggema di ruang Tabernaclenya merupakan paradoks dan kontradiksi dalam history.
           Huxley yang juga menulis tentang gereja Mormon tersebut mengatakan: “But this Temple looks like nothing on earth-looks like nothing on earth and yet contrives to be completely unoriginal, utterly and unifornly prosaic”.
           Apa yang dicapai oleh orang-orang Mormon di lembah Salt lake mau tidak mau mengingatkan kepada prestasi yang dicapai oleh orang Israel di pantai Timur Laut Mediterania. Terlepas dari persoalan politik apakah Israel sebagai negara syah atau tidak syah, atau terlepas dari persoalan apakah bangsa Israel adalah bangsa terkutuk; syah atau tidak, terkutuk atau tidak, yang nyata ialah bahwa dengan bekerja keras, organisasi yang baik, dedikasi dan perencanaan yang sempurna, mereka berhasil merubah gurun tandus menjadi suatu surga yang hijau. Dengan sistem irigasi yang terperinci dan metoda ilmiah dalam pertanian, gurun tandus yang kering ditutupi batu dapat disulap menjadi kebun jeruk dan kebun anggur yang banyak menghasilkan devisa.
           Dari prestasi orang-orang Mormon dan Israel beberapa pelajaran dapat diambil, di antaranya ialah kenyataan bahwa negara yang tandus tanpa sumber-sumber alam yang kaya dapat menjadi daerah yang subur jika dikerjakan dengan rajin dan diurus dengan baik; bahwa suatu gurun pasir dapat dijadikan surga.
           Hal yang sedemikian dapat pula disaksikan di negara Jepang dan negara Belanda. Kedua negara tersebut mempunyai wilayah yang kecil jika dibandingkan dengan kebanyakan negara terkemuka lain di dunia dan sumber alamnya pun tidak seberapa. Kendati pun demikian kedua negara tersebut termasuk ke dalam negara kaya yang dapat memberikan bantuan ekonomi kepada negara-negara sedang berkembang yang secara potensil lebih banyak mengandung sumber-sumber alam dengan luas wilayah jauh lebih besar. Sekalipun “kecil” ke dua negara tersebut adalah negara “besar”.
           Sebaliknya suatu negara yang subur hijau bagaikan surga dengan harta karun terpendam berlimpah-limpah, tetapi di mana rakyatnya malas, bertopang dagu, yang hanya mau mencari uang dengan cara tidak produktf, siang malam melamunkan dan mempidatokan “negara adil dan makmur, aman sentosa dengan kekayaan berlimpah-limpah”, akan segera berubah menjadi gurun pasir yang tandus. Sumber air dan pepohonan yang hijau akan hilang, tanah yang subur akan menjadi kering dan kurus, sedangkan rakyatnya akan berubah menjadi suatu rakyat terdiri dari para pengemis… kaya dengan surat hutang.
 Bandung, 12 Desember 1967
M. T. Zen
*Disajikan pertama kali di internet oleh @ Ruangarsip untuk tujuan pendidikan.
0 notes
ruangarsip-blog · 8 years
Text
Sutan Sjahrir, 16 Desember 1934
Tumblr media
Alangkah eratnya kita menggantungkan diri kita pada kehidupan! Kita merasa diri yakin bahwa kita bisa menilai diri kita dengan obyektif, bahwa kita tahu hubungan yang tepat antara kita dengan masyarakat dan kemanusiaan; Tetapi betapa banyak energi yang kita pergunakan untuk membuat citra pribadi kita yang kecil ini seindah mungkin di mata orang lain dan juga di mata kita sendiri.
Mengapa kita tidak tahan, kalau orang lain mempunyai pandangan yang kurang baik terhadap diri kita? Mengapa kita ribut-ribut kalau kita merasa bahwa kesalahan-kesalahan kita dianggap orang lebih berat daripada semestinya? Demi keadilankah atau demi diri kita sendirikah?
Kalau sekiranya yang kemudian itu bukan suatu naluri mempertahankan diri secara fisik materiil murni, maka sering yang demikian itu adalah suatu bentuk yang lebih halus dari naluri itu: yaitu hasrat menggantungkan diri pada hidup, naluri akan pengakuan terhadap kepribadian kita, rasa hormat pada diri sendiri. Semakin lemah kita merasa merasa diri kita, semakin kuat dorongan untuk minta diakui itu, semakin kuat pula kita berusaha memberlakukan kekuasaan kepribadian kita terhadap orang lain.
Lagipula, alangkah sukarnya bagi kita untuk berpisah dengan masa muda kita, dengan kebahagiaan pribadi kita! Seolah-olah seluruh dunia ikut terlibat di dalamnya: di dalam kehidupan dan kebahagiaan satu manusia kecil saja!
Tapi di lain pihak, adakah benar ukuran penilaian kita itu? Adakah benar untuk menentukan kadar manusia itu menurut ukuran meniadakan-diri sendiri seluruhnya, sesuai dengan ideal Kristus? Adakah benar mengambil manusia ideal itu sebagai pedoman untuk hidup kita dan untuk memanusiakan kemanusiaan; dan dalam hal ini mencirikan manusia lebih-lebih sebagai makhluk etis daripada sebagai makhluk-berakal, dan dalam pada itu menyebut “yang wajar atau alamiah” itu sebagai sifat yang rendah, unsur “kebinatangan” dalam manusia?”
Ataukah barangkali kita harus menganggap segala pemujaan ideal itu sebagai suatu khayalan belaka, dan harus kita lihat manusia itu sebagai binatang berakal, makhluk alam, yang meneruskan evolusinya in the struggle for life, dan dalam pada itu ingin mencapai suatu keadaan yang memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya –dalam bentuk kesenangan yang maksimal dan ketidaksenangan yang minimal- yaitu manusia yang materialistis dan hedonistis? Jadi kalau begitu manusia tanpa etika?
Ataukah manusia dengan etika yang dirasionalkan, etika-utilitas, bukan etika-absolut, melainkan etika yang relatif, historis, atau bahkan etika-kelas atau etika-golongan yang ditentukan secara sosiologis dan – pada instansi terakhir- secara biologis? Dan kemudian – seperti menurut pandangan sosialistis- menganggap ide kerja sama, kolektivisme, sebagai ide evolusi masyarakat yang sewajarnya, sehingga dengan demikian kerja sama dan solidaritas itu, merupakan etika-utilitas yang tepat, yang membawahi semua nilai etika yang lain.
Ataukah – seperti menurut pandangan liberal- kita harus menerima ide persaingan, motif egoistis-individualistis yang kreatif, dan ide “homo-homini lupus” sebagai wajar dan mutlak, dan dengan demikian menganggap kesejahteraan pribadi sebagai etika tertinggi?
Jadi apakah ini berarti bahwa kita harus memilih antara azas biologis tentang “mempertahankan jenis” dan azas tentang “mempertahankan diri pribadi” sebagai individu?
Dalam kenyataaanya seluruh masalah etika ini, bagi kita bisa dikembalikan pada pertanyaan yang kemudian ini. Sebab gantilah azas “solidaritas” dengan “humanitas (kemanusiaan),” “cinta pada sesama manusia,” atau taruhlah “cinta sesama menurut ajaran Kristen”; dan gantilah azas “kolektivitas” dengan “umat manusia”, maka terdapatlah keadaan dalam praktek.
Hanya bedanya ialah bahwa dengan etika-solidaritas itu, kita bersikap lebih lunak terhadap azas-kehidupan, bahkan pun terhadap azas mempertahankan-diri pribadi itu. Penghukuman mutlak oleh suatu etika-idealistis yang absolut, dalam azas solidaritas diganti dengan suatu penolakan rasional yang penuh pengertian terhadap egoisme-murni itu.
Suatu pedoman seperti azas solidaritas atau suatu etika humanitas, memang perlu bagi kita dalam kehidupan pribadi kita untuk bisa menguji diri kita dan laku-perbuatan kita. Tetapi kebanyakan di antara kita lebih dekat pada etika idealistis yang absolut –dengan azas peniadaan diri sendiri sebagai nilai yang tertinggi dan terjelas- daripada etika solidaritas yang lebih alamiah dan alamiah itu, dan yang justru didasarkan pada kehidupan yang alamiah, sehingga tak bisa bersikap menghukum secara tajam dan absolut terhadap azas mempertahankan diri pribadi yang normal itu.
Barangkali hal ini disebabkan karena etika-idealistis itu memberikan pegangan yang lebih gampang dan lebih kuat, sedangkan etika solidaritas tidak bisa juga menjawab pertanyaan yang mendesak, yaitu bagaimana menyesuaikan azas mempertahankan diri pribadi dengan azas mempertahankan jenis; bagaimana menyesuaikan kepribadian dengan kolektivitas. Atas pertanyaan itu memang tidak bisa diberikan jawaban umum dan mutlak, tapi tiap-tiap kasus harus diteliti sendiri dengan kongkret.
Mengambil manusia-ideal itu sebagai ukuran umum, memang lebih gampang, terutama bagi kita yang muda-muda, yang belum berpengalaman dan belum lagi matang. Apa yang belum diajarkan oleh pengalaman kepada kita, harus diberikan oleh ideal sebagian besar dari konflik-konflik jiwa kita, dari sinilah mulanya.
Aku masih ingat bagaimana seorang sahabatku, seorang Calvinist, sesudah setengah malam berdebat, akhirnya berkata: “Manusia itu memang makhluk yang berdosa.” Di sini kelihatan bagaimana idealisme dan pesimisme dengan cara yang logis sekali dipertautkan. Demikian pula semangat dalam injil. Yang ideal itu terutama dalam amanat Junus: “Tidak ada orang yang lebih cinta daripada orang yang memberikan jiwanya untuk sahabat-sahabatnya…” Tapi pesimisme pun ada di mana-mana, terutama dalam Perjanjian Lama, dimulai dengan kisah manusia pertama.
Apa yang disebut “manusia berdosa” itu sebenarnya gambaran manusia yang belum matang. Hanya merekalah yang sudah matang dan mengerti akan kehidupan oleh pengalaman, tidak lagi menyobek kehidupan itu dalam dua bahagian yang bertentangan satu dengan yang lain; tapi mereka itu melihat peralihan-peralihan, sambungan-sambungan, percampuran-percampuran dari kedua bahagian itu.
Kita masih harus belajar untuk menerima kehidupan pribadi kita seadanya, dan di mana perlu bersikap sabar, sehingga dengan demikian kita menghemat energi yang bisa kita pergunakan untuk tujuan-tujuan lain yang bisa dicapai.
Kita masih terlalu sering bertingkahlaku seperti manusia yang belum matang: Kita masih terlalu bergantung pada kebahagiaan yang langsung. Kita harus belajar berpisah dengan kebahagiaan untuk bisa mencapai yang lebih tinggi dan yang lebih jauh.
Kita harus berani mempertaruhkan kebahagiaan kita supaya bisa mendapatkan suatu kebahagiaan yang lebih tinggi dan lebih besar. Schiller pernah menulis (aku mengutip di luar kepala): “Und setzt Ihr nicht das Leben ein, nie wird Euch das Leben gewonmen sein” (Dan kalau kita tidak mempertaruhkan hidup kita, maka tak bisa kita menangkan hidup itu). Kita tidak boleh silau oleh yang dekat, kalau kita ingin sampai pada yang lebih tinggi dan lebih jauh.
Sjahrir
Penjara Cipinang
Minggu, 16 Desember 1934 *Diadopsi dari buku “Renungan Indonesia”, dala bahasa Belanda “ Indonesische Overpeinzingen“ **Soe Hok Gie pernah mengangkat kisah tragis Sutan Sjahrir dalam harian Mahasiswa Indonesia ***Ben Anderson salah seorang Indonesianis dari Cornell University menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa inggris dengan judul “Our struggle“ 
Sungguh disayangkan bangsanya sendiri tidak begitu peduli dan memberikan perhatian  atas gagasan dan buku-buku para pendiri bangsanya.
Diunggah untuk tujuan pendidikan @ruangarsip.tumblr.com
0 notes
ruangarsip-blog · 8 years
Text
Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri : Amir Syarifudin
* Oleh Abu Hanifah, arsip Majalah Prisma Juli 1977
Tumblr media
Rasanya tak perlu saya gambarkan terlalu banyak tentang Angkatan 28. Diketahui Sekarang, bahwa dalam STOVIA telah timbul beberapa organisasi pemuda daerah, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa dan sebagainya. Semula organisasi itu bercorak kedaerahan, tetapi lama kelamaan kontak antara mereka, juga dengan cabang-cabang mereka di seluruh nusantara mulai nampak, dan tahun 1926 ada usaha untuk rnenggabungkan organisasi-organisasi pemuda daerah itu. Tetapi rupanya waktunya belum tiba; masih ada kecurigaan dan daerah-daerah terhadap kemungkinan dominasi mereka yang berasal dan Jawa, mengingat jumlah mereka ini memang besar.
Saatnya baru menjadi matang pada tahun 1928, terutama karena pimpinan pusat organisasi-organisasi pemuda itu umumnya berada di Jakarta dan dikuasai oleh mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Perkumpulan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Untuk diketahui, waktu itu apa yang disebut “pelajar” sama artinya dengan mahasiswa sekarang. Mereka yang belajar di sekolah lanjutan seperti MULO, AMS, HBS, biasanya disebut “murid” dengan menambahkan nama sekoiah di belakangnya. Begitulah pada Kongres Pemuda  (1928) dilahirkan ikrar untuk bersatu. Lahirlah Sumpah Pemuda, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan pengakuan Merah Putih sebagai bendera Indonesia. Semua perkumpulan pemuda akan dibubarkan dan akan dilebur dalam suatu fusi. Organisasi Pemuda Indonesia yang semula menganggap dirinya sebagai wadah persatuan pemuda daerah, akhirnya mengalah juga dan ikut melebur dirinya dalam Indonesia Muda. Dengan demikian, mulai 1928 itu corak perjuangan pemuda berubah: dan corak kedaerahan menjadi corak kebangsaan. Sebenarnya yang dinamakan Angkatan 28 itu berasal dan tiga tempat:
Negeri Belanda (Perhimpunan Indonesia), Bandung (Studiclub) dan Jakarta (Perkumpulan Pelajar Pelajar Indonesia).
Tentu saja yang saya maksudkan adalah “inti” dan Angkatan 28. Dalam Perhimpunan Indonesia, kita kenal nama-nama Datuk Nazir Pamoentjak, Nazief, Hatta, Soekiman, Budiarto, Sartono, Soenario, Iskaq, Samsi, dan lain-lainnya. Yang berasal dan Bandung antara lain Sukarno dan Anwari. Sedang yang berasal dan Jakarta, yang jumlahnya lebih besar, adalah Mohamad Yamin, Amir Sjarifudin, Assaat, Wongsonegoro, Abbas, Suwirjo, Reksodiputro, Tamzil, dan banyak lagi.
Dalam hubungan ini saya akan membicara kan salah satu kelompok dalam Angkatan 28 itu, yakni kelompok Indonesis Clubgebouw (IC) di Kramat 106, yang sekarang disebut Gedung Sumpah Pemuda. Memang di sanalah Sumpah Pemuda itu pertama kalinya di ucapkan. Kelompok ini antara 1928 dan 1931 terdiri dan mahasiswa-mahasiswa senior berbagai Sekolah Tinggi dan STOVIA (tingkat 7 ke atas). Di gedung ini sering berkumpul juga mereka yang datang dari Bandung, seperti Bung Karno, atau mereka yang telah tamat belajar, seperti Sartono dan Soenario.
Kelompok Indonesis- Clubgebouw (IC) dalam Angkatan 1928
Kelompok IC, Angkatan ‘28, terdiri dan mereka yang tinggal di gedung Kramat 106, Mereka ini umumnya terdirl dan mahasiswa mahasiswa senior STOVIA dan pelbagai Sekolah Tinggi. Mereka termasuk yang bekerja keras dalam mensukseskan Kongres Pemuda kedua, yang menghasilkan Sumpah Pemuda, lagu Kebangsaan Indonesia Raya, bendera; Sang Merah Putih dan pengakuan nasional antara para pemuda bangsa.
Ketika saya diam di gedung itu, antara táhun 1928 sampai dengan 1931, penghuni IC diantaranya adalah Amir Sjarifudin, Mohamad Yamin, Assaat, Abas, Surjadi, Mangaraja Pintor, dan satu mahasiswa dan Sekolah Tinggi Kedokteran yang baru masuk. Sebenarnya IC itu hidup karena para penghuni membayar sekaligus, sewa rumah, air, listrik dan lain-lain. Tetapi kesempatan itu dipakai, juga buat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa lain, di mana mereka dapat rileks: membaca suratkabar, majalah, main billiard, main pingpong, dan catur atau bridge. Tempat rekreasi mereka di bagian depan umumnya selalu ramai. Bagian belakang dan pavilyun-pavilyun adalah tempat para penghuni tinggal, makan, beristirahat, dan lain-lain.
Sayang gedung Kramat 106 sekarang, yang telah diberi nama Gedung Sumpah Pemuda itu, dipugar kurang cermat. Justru, di mana ada kamar-.kamar penghuni-penghuni plus satu karnar arca, dibongkar dan sekarang kosong. Sedangkan dapur, kamar mandi dan kamar pelayan, malahan di pugar. Jadi buat penghuni lama seperti saya, gedung itu sekarang kurang menarik. Bekas kamar saya, kamar Amir Sjarifudin, kamar Assaat, kamar Abbas, dan kamar Arca dirubuhkan samasekali.
Kalau dilihat dan nama-nama penghuni itu, pembaca akan dengan sendirinya mengerti iklim semangat yang ada antara mereka pada waktu-waktu itu. Karena masing-masing memiliki cukup perasaan kritis terhadap apa-apa yang terjadi di Indonesia dan di dunia, serta terang mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan buat membicarakan, dan memperdebatkan soal-soal politik, kultur, masyarakat, kolonialisme Belanda, teori-teori politik yang pelik dan hal-hal hal sehari-hari. ini sering terjadi ketika habis makan malam pukul 8.
Perdebatan itu kadang-kadang begitu sengit dan bersemangat, sehingga menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa yang sedang bersantai di bagian depan. Biasanya mereka menarik kursi-kursi dan depan dan turut mendengarkan perdebatan. Seringkali perdebatan tanpa program itu dihari oleh pemimpin-pemimpin pemuda lain, seperti Wongsonegoro, Jusupadi, atau Zainudin (Stovia), dan banyak lagi. Sekali-sekali Bung Karno mampir dan turut serta, kalau ia kebetulan berada di Jakarta. Saya kira mungkin banyak lagi mereka yang turut membikin sejarah Indonesia hadir dan aktif berdebat di IC. Saya ketahui, bahwa di luar kelompok IC ini ada kelompok-kelompok lain. Banyak di antara mereka kemudian masuk partai politik, umumnya PNI. Ada juga yang masuk partai-partai lain. Yang penting adalah, perdebatan-perdebatan .itu ternyata benar-benar mengasah otak kami.
Ada satu ciri khas dalam berdebat, yang kmudian ternyata menjadi kebiasaan, yaitu sengitnya perdebatan, sekalipun dijalankan secara ilmiah. Sering karena tidak puas, esok harinya atau minggu itu juga kami mencari literatur ke Museum, buat memperkuat pendapat. Pernah berbulan-bulan kami mernperdebatkan revolusi Perancis. Masing-masing mempunyai jagonya. Amir Sjarifudin mengagurni Robenspierre, Mohamad Yamin menjagoi Marat, Assaat pengikut Danton, dan saya lebih mengagumi Mirabeau. Kebetulan semua jago jago revolusi Perancis itu memang ada counterpart-nya dalam revolusi Indonesia sendiri. Dan seperti revolusi Perancis, revolusi Indonesia juga menelan anak-anaknya sendiri.
Kami kaji sampai detail arti revolusi, rnulai dan revolusi Perancis sampai revolusi Amerika, terus ke revolusi Russia dan Cina. Juga gerakan nasional Gandhi dan kawan kawannya di India. Saya rasa pada akhir 1929, hampir semua revolusi di dunia telah kami bahas. Kadang-kadang dengan amat sengit. Anehnya, tidak pernah ada sifat pribadi di dalamnya. Kalau telah capek, pukul 1 malam, kami kumpulkan uang buat beli kopi plus sate atau sotong ke pasar Senen. Judul percakapan sudah berubah, lebih mendekati soal-soal yang biasanya dekat ke hati pemuda.
Kalau kebetulan waktu ujian, perdebatan tidak ada, dan masing-masing terus masuk kamar. Di gedung hanya terdengar mahasiswa-mahasiswa yang masih main billiard atau bridge. Kira-kira pukul 12 malam, mulai kembali bunyi-bunyian. Amir Sjarifudin melepaskan capek dengan menggesek biolanya, biasanya ciptaan Schubert atau satu serenata yang sentimentil. ini tanda bagi saya buat membalas: Sayapun mengambil biola dan membunyikan lagu yang sama.
Terdengar teriakan dan kamar Yamin, bahwa kami harus diam, sebab ia sedang sibuk bekerja. Ia sedang menterjemahkan karangan Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Balai Pustaka bulan itu juga. Malahan Amir Sjarifudin bertambah asyik menggesek biolanya, sehingga Yamin berteriak-teriak, dan kami bersama ketawa terbahak-bahak. Kemudian IC sunyi lagi.
Di sini mungkin pembaca dapat menerka watak dan semangat penghuni-penghuni IC. Sebenarnya belum nampak benar aliran apa kemudian yang akan kami anut. Tetapi, terang perasaan romantik ada pada kami Semua. Kami kagumi pejuang kemerdekaan bangsa-bangsa lain. Sejarah mereka dan buku-buku mereka kami “telan.” Kadang kadang ada kalimat-kalimat yang merangsang.
Hampir semua kagum terhadap Marx dan Engels. “Manifesto Komunis” amat dapat perhatian, terutama karena tujuannya memperbaiki kaum melarat, atau proletar. Kadang kala, kalau ada yang menanyakan, apa ada uang buat beli gado-gado, jawabnya: “Mana bisa, uang saya kan telah habis bulan ini Kan saya kaum proletar. Pergi saja kepada si A, ía kan kapitalis, sebab masih dapat beli rokok enak.”
Tetapi sebenarnya tiada satupun yang terlalu terpengaruh oleh ajaran komunis, sekalipun kadang-kadang kami perdebatkan Manifesto Komunis dan pengaruhnya pada dunia buruh. Kebetulan waktu itu, PKI baru dilarang, tetapi rasanya anggota-anggotanya masih berkeliaran, dan mungkin ada yang masuk partai lain. Yang sangat dicurigai polisi Belanda adalah bekas anggota Serikat Rakyat, yang merupakan organisasi-massa PKI. Mereka curiga, bahwa banyak bekas anggota organisasi itu masuk PNI. Tentu saja kami menganggap perlu mempelajari Manifesto, yang begitu berpengaruh di dunia. Sekurang-kurangnya secara ilmiah. Tetapi kami sendiri waktu itu berpendapat, bahwa kondisi dunia telah berbeda dari zaman Marx dan Engels. Tetapi kondisi ekonomi dan sosial di bagian terbesar dunia tidak banyak berubah, terutama di tanah jajahan kapitalis Barat. Buat kami yang penting adalah jalan apa yang harus ditempuh, supaya sukses melawan kaum penjajah.
Tidak terlalu mengherankan, kenapa kami amat banyak memperdebatkan komunisme, karena baru saja ada pemberontakan komunis dalam tahun 1926. Efeknya masih nampak di mana-mana. Tetapi, terutama yang lebih diperhatikan adalah tulisan-tulisan Marx dan Engels. Ingatlah, bahwa kami hidup dalam dunia kolonial, di mana masih berlaku:
Poenale Sanctie, rodi, di mana rakyat Indonesia diperlakukan sebagai budak. Kekayaan Belanda melimpah-Iimpah. Boleh dikatakan eksploitasi petani dan buruh kita oleh Belanda dan kaki tangan mereka—termasuk penggede Indonesia sendiri—dengan parasit-parasit bangsa asing (Cina, dan lain-lain) amat menyedihkan kami. Hal itu menerbitkan amarah dan perasaan kepahitan. Jadi, teori yang menjanjikan perubahan dan perbudakan, harus kami selami dan analisa. Yang penting adalah, apakah aliran itu baik buat rakyat Indonesia yang ingin merdeka.
Maka dibalik-baliklah buku yang menerangkan Manifesto Komunis dan Marx yang kemudian ditambah di sana-sini oleh Engels. Saya masih ingat benar perdebatan pendebatan waktu itu, yang sebenarnya hanya perdebatan teoritis dan ilmiyah. Banyak yang melihat komunisme seperti dilakukan Stalin dalam praktek sama sekali tidak menarik.
Makin dipelajari, makin nampak kontroversi dalam teori dan praktek. Mulai nampak pula oleh kami, bahwa teori-teori Stalin tak sesuai dengan Marxisme asli. Jauh juga kami menganalisa Stalinisme, yang dianggap lain dan Marxis-Leninisme. Bagi kami, mempelajari satu aliran tidak berarti pro-aliran itu. Rupanya sekarang agak lain di dalam masyarakat kita. Kadang-kadang kita hampir saja seperti burung unta. Asal tidak melihat musuh, cukuplah untuk menganggap musuh tidak ada.
Dalam perdebatan-perdebatan itu, mulai terang bagi kami, bahwa Marxisme memiliki :daya tarik besar pada mereka yang merasa terjepit, merasa dihina, merasa tidak mendapat keadilan, dan terang buat orang miskin. Satu persatu diperdebatkan bagian bagian Manifesto itu. Bagian historisnya, bagian ramalan, bagian moralnya, dan bagian revolusionernya.
Cukup menarik pada waktu itu adàlah satu bagian dan mukadimah Manifesto, yang menyatakan, bahwa “… Sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas, pergolakan antara yang memeras dan yang diperas, antara kelas yang memerintah dan di perintah . . .“ Menjadi perdebatan pula pendapat Marx, bahwa tidak boleh tidak akan ada peperangan antara kaum burjuis, yang akan menghancurkan mereka sendiri, Keganasan kaum kapital terhadap kaum buruh, dan melaratnya rakyat banyak juga mendapat perhatian penuh. Marx dan Engels rnengatakan, bahwa pengetahuan mereka tentang hal itu adalah dari laporan inspeksi-inspeksi dan pabrik-pabrik sendiri.
Jadi eksploitasi rakyat dikemukakan benar. amat kami rasakan, sebab pada waktu itu kebetulan ada perdebatan di da lam Volksraad tentang nasib kuli-kuli kontrak di perkebunan Sumatera Timur (Deli, Serdang, dan lain-lain). Harus disadari Sekali lagi, bahwa kami waktu itu menganggap kami ujung tombak perjuangan kemerdekaan Indonesia, apalagi setelah 28 Oktober 1928. Menjadi obsessi benar, bagaimana caranya Indonesia dapat merdeka, dengan jalan apa, dan bentuk apa hendaknya satu negara Indonesia.
Perdebatan-perdebatan itu kadang-kadang dihadiri oleh Sartono, Bung Karno, dan mereka yang telah tamat sekolah. Terang, banyak dari Manifesto itu yang tidak disetujui, misalnya: “meniadakan hak milik pribadi,” atau abolition of private poverty. Pendek kata, kami cukup memperdebatkan komunisme, dan sosialisme pada umumnya. Sosialisme juga mendapat tempat penting dalam perdebatan dan fikiran kami. Sampai-sampai buku Adam Smith dicari di Museum. Hampir semua menolak apa yang disebut classical liberalism, yang menciptakan kapitalisme dan imperialisme modern.
Debat besar sekali terjadi, tentang apakah ada kebenaran dalam ide bahwa kebenaran itu hanya bisa didapat dengan kompetisi bebas antara semua doktrin. Memang ide ini dapat dikatakan menjadi populer di negara-negara Barat. Tetapi bagaimana dengan negara-negara lemah, apalagi negara negara jajahan seperti Hindia Belanda. Ini juga sudah dirasakan oleh rakyat jelata di Eropa; dapat dibaca dalam Das Kapital. Nyatalah bahwa kami benar-benar memerlukan banyak waktu buat mernpelajari soal-soal yang bersangkutan dengan satu negara Indonesia yang akan merdeka. Tetapi rasanya tidak sia-sia. Ketika revolusi 1945 mulai, rasanya saya sendiri telah siap, sekurang-kurangnya secara teoritis, buat menghadapi soal-soal yang akan timbul dalam membentuk satu negara baru.
Sekali lagi saya tegaskan, bahwa sekalipun kami banyak mempersoalkan sosialisme dan komunisme, tidak berarti kami menjadi pengikut aliran-aliran ini pada waktu itu. Mungkin ada simpati, karena melihat keadaan tanah air pada waktu itu. Kolonialisme Belanda dengan tirani dan tindakan sewenang-wenang, diskrirninasi yang menyolok serta gap antara Vreemde Oosteriing (bangsa Cina, India, dan lain-lain) dengan Inlander, yang secara menyolok dibina Belanda, kemiskinan rakyat (istimewa di Jawa), dan banyak lagi yang menyakitkan hati. Hal itu semua memang merangsang radikalisme di kalangan pemimpin-pemimpin pemuda dan pemimpin nasionalis.
Segala aktivitas terutama terjadi sampai akhir Desember 1929, pada waktu mana pemimpin Partai Nasional Indonesia di geledah, dan juga pemimpin-pemimpin organisasi Pemuda Indonesia. Tetapi satu hal harus saya kemukakan di sini, yang mungkin kurang diketahui. Pada tanggal 19 Oktober 1929, ketika sedang ada perdebatan agak meriah antara kami, Bung Karno masuk.
Ia sekitar 1 jam turut mendengarkan, kemudian berdiri dan dengan semangat berbicara, lalu mengakhiri dengan:
“Sudahlah, tidak perlu lagi banyak teori. Man kita fikirkan, apa yang akan diperbuat. Bila kaum kapitalis perang lagi dan bunuh-membunuh satu sama lain, kita dapat menari di atas bangkai-bangkai mereka, dan berontak secara fisik. Sekarang, soalnya bagaimana mempersiapkan rakyat buat waktu itu. Itu lebih baik kita fikirkan mulai sekarang.”
Kami semua tercengang, tetapi persis inilah pendapat Manifesto Komunis. Sebab Manifesto Komunis berkeyakinan, bahwa kapitalis dunia akan runtuh, dan sebagai sebabnya adalah bertambahnya gap antara overproduksi dan konsumsi kurang. Memang, apa yang dikatakan Bung Karno membikin kami berfikir. Memang setelah itu kami banyak membicarakan cara-cara berevolusi dalam praktek di beberapa bagian dunia yang berbeda-beda keadaanya.
Tetapi mulai 1930, keadaan politik memburuk. Lagipun banyak antara kami telah disibukkan oleh pelajaran-pelajaran, sebab ujian penghabisan telah mulai mendekat. Saya sendiri mempersiapkan dalam ujian semi-arts. Tiba-tiba tanggal 3 September 1930, Bung Karno tertangkap, diadili dan dijatuhi hukuman 3 tahun. Pidato pembelaannya, “Indonesia klaagtaan (Indonesia menggugat)” amat mengesankan.
Secara pendek tadi saya gambarkan cukilan-cukilan pikiran, sikap, dan pendapat kelompok Angkatan 1928 IC, yang tidak banyak berbeda dengan mereka di luar kelompok ini. Sekaligus dapat sedikit banyak dilihat lingkungan, dimana Amir Sjarifudin berada waktu itu. Kami semua fanatik, tetapi rasanya Amir yang paling menonjol emosinya dalam perdebatan-perdebatan dan dalam mempertahankan pendapatnya. Tetapi kami semua sebenarnya dilanda obsessi patriot dan tiada fikiran sedikit juga kepada nasib sendiri. Mungkin agak congkak bunyinya, tetapi, kami merasa kami Sebagai ujung tombak perjuangan kebangsaan. Kaum tua waktu itu belum sejauh itu pikirannya. Dan secara jujur, kami anggap mereka koperator dengan Belanda dalam Volksraad dan sedikit sebagai penyeleweng-penyeleweng di parlemen Belanda.
Hidup pribadi kami, diluar lingkungan IC adalah sedikit berlainan. Semua, selain saya mempunyai famili atau kenalan-kenalan dan keluarga Indonesia. Umumnya mereka mengongkosi studinya sendiri. Kecuali Mohamad Yamin yang mendapat beasiswa dan beberapa lembaga, sedangkan saya mendapat beasiswa STOVIA. Waktu itu rasanya kami ada juga merasakan ke kosongan batin. Karena itulah, Yamin misalnya dekat sekali kepada Gerakan Theosofie, Amir mülai mendekat kepada Gereja Kristen, sekalipun ia seorang Muslim. Ada yang banyak bergaul ‘dengan pastur-pastur Katholik. Aneh, tidak pernah kami didekati oleh kaum ulama Islam. Saya sendiri, mulai 1926 masuk kursus filsafat, yang diberikan Sekali seminggu ‘di gedung Blavatsky.
Sebenarnya yang memberi kursus campuran guru-guru dan golongan Theosofle, diantaranya guru besar dan Sekolah Teknik Tinggi Bandung. Mula mulanya rasanya Amin juga turut, tetapi ia kemudian terlibat dalam terjemahan-terjemahan Tagore, dan sejarah purbakala. Jadi pada tahun 1929, saya sendirilah yang dapat diploma, sebagai: Scholar of Philosophy.
Semua ini karena mau mengisi kekosongan batin. Tetapi Yamin juga asyik membikin soneta dan sajak, Amir asyik main biola, saya sendiri menutup waktu-waktu kosong dengan olahraga dan musik (biola, gitar, tennis, silat dan sepak bola, plus dansa). Amir dan saya pada waktu malam sering naik andong berjam-jam dan bicara tentang segala hal yang dirasakan, mulai dan politik sampai ke gadis dan cinta. Amir Sjarifudin adalah seorang yang umumnya emosionil, dan ini ternyata juga dalam segala hal. Dalam bertukar pikiran, dalam cara ia bergembira atau kurang senang. Pada tahun 1929, saya selain pemimpin majalah Pemuda Indonesia, juga bertanggungjawab tentang isi majalah Indonesia Raya, majalah dan PPPI. Satu ketika dimuat tulisan Amir tentang perlawanan kaum Vlaming di Belgia terhadap raja Belanda. Judulnya Defiere Vlaamsche Leeuw. Artikel ditulis di bawah nama samaran dan memang isinya galak. Saya dipanggil Polisi Intel Belanda (PID), ditegur, karena artikel itu merendahkan bangsa Belanda.
Setelah diperiksa beberapa jam saya lolos juga. Memang kami tidak pernah memakai nama sendiri dalam satu artikel. Misalnya saya sering menulis, tetapi tak pernah di bawah nama saya sendiri. Kawan-kawan malahan menulis sajak-sajak cinta-kasih, tetapi di bawah nama samaran.
Berpotret pun kami jarang. Takut dikenali spion-spion PID.
Bahwa kami umumnya dapat dikatakan condong kepada sosialisme, itu rasanya terang. Dalam zaman revolusi 1945, Amir Sjarifudin dan Assaat adalah anggota Partai Sosialis. Abas anggota PNI yang terang coraknya sosialis. Saya sendiri waktu itu sayap kiri dan “Masjumi”, yang oleh George McTurner Kahin dicap sebagai religius-socialis. Yamin condong ke Partai Murba.
Tahun 1932 saya berangkat dari Jakarta, dan memulai karier dokter di Medan Deli pada maskapai Kebon Tanjong Morawa.
Saya tidak bersedia masuk pegawai negêri, dan karena itu melepaskan kontrak saya dengan Belanda. Berat juga hati saya ketika berpisah dengan Amir. Rasanya kami banyak persamaan dalam sifat, watak dan perasaan. Ia antarkan saya ke kapal yang akan berangkat. Kami saling merasa kehilangan sesuatu.
Baru tahun 1946 saya bertemu lagi dengan Amir Sjarifudin. Ketika sayâ balik dan Sumatera tahun 1939, buat mendapat titel arts di GHS, ia tidak di Jakarta. Kemudian saya berlayar sebagai Opsir Kesehatan Angkatan Laut Sekutu (tahun 1940-1941- 1942), terus menerus di medan perang, di Bombay, Singapura kemudian di Tanjung Priok sampai ditangkap tentera jepang akhir Maret 1942. Pada mulanya sekali-sekali kami masih ada hubungan surat menyurat. Tahun 1937 Arnir termasuk pimpinan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang sekalipun sosialistis dan nasionalistis tetapi menyokong Belanda, karena benci terhadap fascisme Eropa. Dalam bulan Mei 1939, terjadi satu federasi dan partai-partai yang berdasarkan nasionalisme, bernama Gapi (Gaboengan Politick Indonesia), dimana Amir juga tercantum sebagai salah seorang pemimpin. Anehnya, dalam Kongres Rakyat Indonesia, tahun 1939 Gapi menerima secara resmi 3 putusan, yang sebelumnya telah diikrarkan Angkatan 1928.
Putusan itu ialah mengakui Bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa, Sang Merah Putih sebagai Bendera Nasional, dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu Kebangsaan. Benar-benar satu hal yang mengherankan. Sebab itu berarti, kaum tua sampai tahun 1939 belum mengakui Sumpah Pemuda dan hasil-hasil Kongres Pemuda kedua. Rasanya, kalau tidak ada Amir Sjarifudin dan Mohamad Yamin, mungkin sekali pengakuan terhadap Sumpah Pemuda oleh partai-partai politik waktu itu belum juga terlaksana. Saya tak mengatakan, bahwa popularitas Sumpah Pemuda dan hasil-hasil Kongres Pemuda kedua tidak ada. Malahan sebaliknya. Sampai organisasi-organisasi non-politis telah mengakui hasil-hasil tahun 1928. Rupanya telah menjadi penyakit kaum tua untuk tidak lekas-lekas mengakui prestasi pemuda.
Apalagi kalau pemuda itu juga telah dewasa dan mem”buldozer” kebenaran yang telah ada dalam masyarakat sendiri.
Tetapi pada tahun 1939 itu juga Amir Sjarifudin ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda bersama beberapa pemimpin lain. Ada cerita yang tidak dapat dibuktikan sekarang, bahwa Amir Sjarifudin, di belakang layar dibela oleh Prof. Schepper, seorang guru besar yang amat taat kepada agama Kristen. Rupanya pada tahun 1935, Amir Sjarifudin telah masuk agama Kristen. Ada kabar waktu itu di koran-koran, yang tidak begitu dapat dicek, bahwa sebenarnya Amir Sjarifudin semula bersedia mendirikan satu partai politik kristen. Tetapi karena perhitungan politik, tidak jadi meneruskan maksudnya itu. Malahan seperti diketahui ia turut mendirikan Gerindo pada bulan April 1937. Ketika Amir Sjarifudin berada dalam tahanan Belanda tahun 1939, ia sering didatangi oleh Prof. Schepper, yang rupanya dapat meyakinkan pemerintah Belanda, bahwa Amir Sjarifudin lebih baik dipakai dalam pemerintahan. Setelah itu, rupanya Amir diberi kesempatan memilih, apakah dibuang ke Digul atau ke kerjasama dengan Belanda di Departemen Ekonomi.
Rasanya, kalau saya boleh berspekulasi (karena sedikit mengenal Amir Sjarifudin) ía memilih taktik kerjasama. Bila ia dibuang ke Digul, kesudahannya ia terang akan terasing akan pergerakan bangsanya. Padahal perang Dunia II telah berkobar, dan Jepang sedang bersiap-siap buat turut serta. Kalau Amir waktu itu masih Amir yang saya kenal, maka fascisme dan diktatorial-nazisme terang bukan idealnya. Jadi mungkin ia memilih yang “kurang jelek.” Rasanya begitu jalan pikirannya. Itu sebabnya, Belanda menyerah kepada Jepang, Amir Sjarifudin bersedia menerima uang sebesar 25 ribu gulden sebagai modal buat mendirikan satu partai bawah-tanah untuk sabotase terhadap Jepang. Dalam hal ini rasanya ia terpaksa bekerjasama dengan PKI illegal yang didirikan Muso di tahun 1939.
Harus diingat, bahwa Russia waktu itu berpihak pada Sekutu yang memerangi Fascisme dan Nazisme. Mungkin waktu itu ia telah didekati oleh PKI illegal, sebagai salah satu pemimpin Gerindo, yang memang menganut, radikal- sosialisme. Mungkin Belanda telah mencium hal itu dan lekas-lekas menangkap dia, tetapi mungkin juga Belanda tidak percaya, bahwa ía seorang komunis. Kalau tidak, ia tidak akan lepas dari tahanan Belanda, betapapun bësarnya pengaruh Professor Schepper.
Lagipun mungkin sekali Amir percaya ke pada janji-janji Van der Plas, bahwa setelah perang, Belanda akan memerdekakan Indo nesia menurut aturan Commonwealth ala Inggeris. Kesan ini saya dapati dan satu pembicaraan dengannya dalam tahun 1946, ketika saya singgah di Yogya. Ia waktu itu menjadi Menteri Pertahanan RI. Di zaman Jepang ia tertangkap dan sedianya akan di hukum mati, ‘ tetapi tertolong oleh usaha Bung Karno. Ia waktu itu bekerjasama dengan golongan Illegal PKI.
Saya bertemu dengannya setelah 14 tahun berpisah. Rasanya ia agak berubah. Lebih fanatik, lebih emosionil. Saya waktu itu datang ke Yogya buat membicarakan soal senjata bagi pasukan-pasukan kami di Jawa Barat, bagian daerah saya. Kami kekurangan peluru dan senapan otomatis. Ia nampaknya agak sedikit curiga. Lagipun saya waktu itu anggota pemimpin pusat Masjumi, ketua pertahanan daerah Bogor, serta Ketua Dewan Nasional daerah Bogor. Saya tidak mendapat senjata yang saya minta, karena di Yogyapun tidak berlebihan senjatanya. Tetapi saya berkesempatan buat bicara kembali secara terbuka dengan Amir, sekalipun kami berada dalam pangkuan partai yang berbeda. Ia menyatakan kekecewaannya, bahwa Belanda tidak menetapkan janji, yang katanya pernah dijanjikan oleh van der Plas. Ia sangat jengkel rupanya. Tetapi persahabatan kami tidak terlalu rusak, apalagi setelah bercerita-cerita tentang zaman IC.
Kedua-kalinya saya bertemu lagi dengan. Amir, ketika ada rapat-rapat KNIP di Malang. Sekali ini saya bertindak sebagai ketua fraksi Masjumi, yang sangat menentang persetujuan Linggarjati. Terjadi pertentangan keras dalam soal penanda-tanganan, karena Masjumi, kemudian juga PNI, menganggap pemerintah Sjahrir (termasuk Amir Sjarifudin) bersedia buat sementara menerima usul Belanda, supaya Republik Indonesia hanya terdiri defacto atas Sumatera dan Madura. Masjumi dan PNI tidak bersedia turut dalam pemungutan suara. Saya jadi juru bicara Masjumi, dan PNI diwakili Mr Ali Sastroamidjojo. Persetujuan Linggarjati diterima oleh KNIP serta disokong Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
Seminggu setelah itu saya bertemu lagi dengan Amir Sjarifudin. Ia meminta saya bersedia memimpin delegasi Indonesia ke Asian Relations Conference di New Delhi, India. Saya merasa heran, mengapa kabinet Sjahrir merasa perlu menyerahkan pimpinan delegasi Indonesia ke konferensi internasional yang begitu penting, kepada pihak yang menentang beleid kabinet yang berkuasa. Kemudian Presiden Sukarno dan PM Sjahrir dalam pembicaraan dengan saya meminta lagi dengan sangat supaya saya terima pengangkatan sebagai ketua Delegasi Indonesia itu, Kemudian saya mengerti strategi mereka. Dunia luar tidak boleh berpendapat, bahwa dalam Republik Indonesia ada konflik serius antara pemerintah dengan oposisi. Di sini jelas benar, pemerintah RI amat sangat berpendapat, bahwa satu oposisi parlementer adalah satu hal yang normal dalam demokrasi, dan tidak perlu rnerusak hubungan antara kelompok di luar dan di dalam pemerintahan. Demokrasi murni tidak selalu dapat terjadi selama hidup Republik Indonesia. Tetapi ada kemungkinan suasana psikologis yang menyebabkan mereka yang memerintah dan diperintah waktu itu dianggap sederajat mutu pikirannya dan tahu benar aturan-aturan permainan politik dalam demokrasi. Kebetulan, banyak di antara mereka adalah Angkatan 1928. Memang harmoni kerjasama antara oposisi dan pemerintah baru menghilang, ketika telah masuk angkatan angkatan lain seperti generasi Serikat Islam, PKI, dan lain-lain. Ini yang menyebabkan revolusi Indonesia hampir ambruk oleh perang saudara, seperti pada pemberontakan Madium tahun 1948.
Sebelum saya berangkat ke Asian Relations Conference di New Delhi, ada beberapa kali rapat antara saya—sebagai Ketua Delegasi—dengan Sjahrir dan Amir Sjarifudin. Tujuannya adalah supaya Indonesia dalam konferensi itu dapat memberi keterangan yang jelas tentang politik luar negerinya. Saya sendiri tidak puas dengan politik positive neutrality yang maksudnya waktu itu dalam mencari kawan dan menjauhkan lawan, Indonesia tidak mau campur dengan soal soal negara-negara lain, dan akan selalu bersikap netral. Saya berpendapat, bahwa Indonesia akan menghadapi wakil negara negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya, seperti India, Vietnam, Burma, dan negara-negara lain yang setengah jajahan di Asia. Mereka tentu mengharapkan satu sikap Indonesia yang positif, sekurang-kurangnya dalam soal-soal jajahan, penindasan ekonomi oleh kapitalis dunia, diskriminási ras oleh para penjajah dan lain-lain. Setelah beberapa hari berdebat, dimana turut juga Mr. Ali Sastroamidjojo dan beberapa pemimpin partai pemerintah, sampailah kami kepada konklusi, bahwa kita harus balik kepada mukadimah Undang Undang Dasar 1945.
Pendeknya, kesudahannya kami sampai kepada keputusan, bahwa politik luar negeri Indonesia, adalah bebas dalam memilih politik terhadap soal soal dalam negeri, dan aktif bersikap dalam batas-batas kekuatan kita. Semua itu harus berdasarkan kepentingan rakyat Indonesia Ada yang menyatakan waktu itu, seharusnya berdasarkan kepentingan nasional. Tetapi itu ditolak, karena kediktatoran Hitler dan Mussolini pun dinyatakan berdasar kepentingan nasional. Demikianlah lahir politik luar negeri kita seperti dianut sekarang: “politik bebas dan aktif.” 
Sungguhpun sejak 1947 sampai sekarang, sering politik itu dilaksanakan seperti menarik sehelai karet, kadang-kadang ditarik ke kiri, dan kemudian ditarik ke kanan, waktu itu belum jelas, kemana karet itu di tarik. Maka berangkatlah delegasi Indonesia yang saya pimpin itu, terdiri dari 37 anggota. Tetapi ketika saya pulang dan New Delhi akhir Maret 1947, keadaan politik di Indonesia telah keruh. Belanda nampak sangat agresif. Saya pulang dulu ke kota saya, Sukabumi. Sebelum saya dapat memberi laporan ke Yogya, Belanda telah memulai agressi pertamanya. Tanggal 20 Juli 1947, tentara Belanda menyerang Sukabumi, salah satu daerah yang diincar benar oleh Belanda, karena kaya dengan karet, kina, teh dan beras, Saya dengan jas putih berdarah karena sedang melakukan operasi terhadap seorang pasien di Rumah Sakit, ditangkap dan ditahan di sel penjara Sukabumi. Rekan saya, yang berbangsa Cina, dibiarkan terus bekerja. Kesudahannya, saya dibawa ke Jakarta dan ditahan di penjara Glodok, kemudian di kamp tahanan Tanggerang. 
Setelah ada cease-fire, tahun 1948, saya dan beberapa kawan dilepaskan ke daerah re publik via Salatiga. Di Magelang, Letkol Sarbini (sekarang Letjen) menampung kami dan diteruskan ke Yogya. Sukarno, Hatta, Sjahnir dan Amir, dengan agak terharu melihat saya yang kurus kering. Mereka rupanya mengira saya sudah mati.
Rupanya telah banyak yang terjadi selama saya dalam tahanan Belanda. Sjahrir sudah turun sebagai Perdana Menteri dan digantikan oleh Amir Sjarifudin. Ini terjadi tanggal 3 Juli 1947. Kemudian terjadi perundingan dengan Belanda yang terkenal sebagai perundingan “Renville.” PM Amir Sjarifudin dan kabinetnya menyetujui dan menandatangani persetujuan Renville, yang kemüdian ternyata lebih lagi menjepitkan posisi RI (17-19 Januari 1948). Ketika saya dan kawan-kawan sampai di Yogya pada awal 1948, Amir Sjarifudin telah meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri.
Presiden Sukarno membentuk satu kabinet presidentil, dibawah pimpinan Wakil Presiden Hatta. Memang Presiden Sukarno, selalu membentuk satu kabinet presidentil, dibawah pimpinan harian satu PM. Tetapi ia selalu hadir dalam sidang-sidang kabinet, dan sering memveto apa yang ia anggap satu hal prinsipiil yang harus dipertimbangkan lagi. Tetapi sehari-hari kabinet bertindak seakan-akan sifatnya parlementer, sekalipun tidak bertanggungjawab pada parlemen, tetapi pada presiden.
Kabinet presidentil ini dan semula ditentang keras oleh sayap kiri. Menurut persetujuan Renville, tentara RI harus dipindahkan dan satu garis yang dinamakan “van Mook line.” Karena itu kira-kira 35 ribu prajurit TNI, terutama Siliwangi dan Jawa Barat harus hijrah ke Jawa Tengah, yang masih masuk daerah Republik di Jawa. Ini terjadi 26 Februari 1948. Hijrah ini adalah soal pelik dan banyak juga barisan, terutama barisan rakyat tidak bersedia hijrah. Mereka terus menjalankan perang gerilya di daerah yang terrnasuk daerah yang dikuasai” tentera Belanda. Di antaranya beberapa pasukan Hizbullah di Jawa Barat.
Persetujuan Renville dipakai Belanda buat menjalankan politik cerai-berainya, terutama dengan menciptakan negara-negara boneka, seperti negara-negara Madura, Pasundan dan Jawa Timur. Di luar Jawa ada negara-negara Indonesia Timur, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Borneo Barat, anjar, Borneo Timur, dan Bangka. Negara-negara ciptaan Belanda ini memang tambah menyukarkan kedudukan Republik. Tetapi sebagian besar dari Sumatera masih setia kepada Republik Indonesia. 
Munculnya politik Partai Komunis Indonesia
Sampai tahun 1947, PKI, dan kawan-kawan boleh dikatakan lebih sering bergerak seperti kaum nasionalis, tetapi karena politik berunding kabinet-kabinet RI sering meleset , timbul pendapat, bahwa mereka harus lebih banyak memakai cara-cara kaum komunis. Dalam hal ini Stalinis. Pendapat ini terutama berkembang setelah ada kesan keras, bahwa PBB di bawah pengaruh Amerika Serikat kuat sekali membela Belanda,
PKI sebenarnya hanya mempunyai kira-kira 3 ribu anggota, tetapi menurut mereka, itu jumlah kadernya saja. Tetapi mereka dan para simpatisannya percaya, bahwa perjuangan jangka lama akan menguntungkan mereka. Sehingga mereka mulai memperkuat posisinya di dalam organisasi-organisasi seperti Partai Sosialis, organisasi Buruh Pesindo. Juga mereka mulai lebih  melihat kepada pimpinan Moskow. Waktu itu Moskow yang dikuasai Stalin, berpendapat bahwa kemerdekaan negeri-negeri yang dijajah tidak pernah diperoleh, sebelum Amerika Serikat dan sekutu tunduk kepada Sovyet Rusia. Lain daripada itu aliran komunis baru, yang ditekankan dan Moskow mengajarkan bahwa dunia ini terbagi dalam dua blok, yaitu blok kapitalis “agresif” dipimpin Amerika Serikat dan blok “demokratis” yang berada di bawah  pimpinan Sovyet Rusia. Maksud utama waktu itu adalah menghancurkan Marshall- plan Amerika di Eropa.
Kebetulan dalam bulan Februari 1948 di adakan satu Konferensi Pemuda Asia Teng gara di Calcuta dan dihadiri oleh wakil-wakil PKT di antaranya Soepeno. Di situ mereka diberitahu tentang taktik baru kaum komunis dunia dan juga detail pembagian dua blok kekuatan di dunia baru. Kembali di Indonesia, maka propaganda komunis dialirkan kepada sistem baru tadi. Dalam bulan-bulan sesudah itu pemuda-pemuda yang dilatih dalam konferensi Pemuda Komunis di Praha dan mereka yang menghadiri konferensi Buruh Internasional (juga di Praha) datang kembali ke tanah air.
PKI mengikuti aliran baru yang ditunjuk oleh konferensi-konferensi komunis di atas. Banyak di antara pemimpin lama kehilangan pengikut waktu itu.
Di dalam Partai Sosialis sendiri lama kelamaan timbul perpecahan antara mereka yang pro Sjahrir dan pro Amir Sjarifudin. Kepada Amir, Sjahrir menanyakan apakah ia lebih dulu nasionalis baru komunis atau sebaliknya. Sjahrir berpendapat, bahwa perang kelas tidak dapat diterapkan di Indonesia, sebab Indonesia belum memiliki kelas borjuis. Borjuis di Indonesia sebelumnya hanyalah orang-orang Belanda dan Cina. Sjahrir juga tidak bersedia berpihak kepada salah satu negara besar, Amerika atau Sovyet. Kèmbali Sjahrir kepada posisinya yang lama, yaitu positive neutrality. Buat Sjahrir itu masih Iebih aman dari “politik bebas dan aktif,” karena keadaan. Bagi Sjahrir waktu itu, yang penting Indonesia jangan terlibat dalam pertengkaran antara dua negara raksasa itu. Ia mengharap, dengan begitu Indonesia dapat berbuat lebih banyak buat perdamaian dunia. Tetapi nampäknya bagi saya, Sjahrir telah mencampur-adukkan “politik bebas dan aktif” dengan politik positive neutrality. Telah mulai “soal karet,” yang akan ditarik-tarik.
Perpecahan antara kelompok Sjahrir dan Amir terjadi ketika terbentuk Kabinet Presidentil Hatta. Amir dan kelompoknya, yaitu PKI, Partai Buruh dan Pesindo, menentang kabinet Hatta, sedangkan kelompok Sjahrir. menyokong. Tanggal 13 Februari 1948 terjadi perpecahan. Kelompok Amir membentuk Partai Sosialis baru, sedangkan Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia. Partai Sosialis baru itu dipimpin oleh Amir Sjarifudin, Tan Ling Djie dan Abdul Madjid, dan garisnya menentang kabinet Hatta, tetapi dalam rapat di Surakarta, 26 Februari 1948, sayap kiri Amir diubah menjadi Front Demokrasi Rakyat atau FDR.
Amir Sjarifudin menjadi ketua federasi baru ini, tetapi programnya tak berbeda dan Sayap Kiri, ketika kelompok Sjahrir masih bersamanya. Tetapi lama-kelamaan aliran FDR bertambah radikal. Anggota-anggotanya yang terkemuka menghendaki penghentian segala perundingan dengan Belanda, dan menganggap persetujuan Renville sebagai satu kesalahan besar. Malahan mengusulkan, supaya segala harta Belanda di Indonesia dinasionalisir. Ini sebenarnya hampir sama dengan program kelompok Tan Malaka, yang dari semula menuntut apa yang mulai dipropagandakan oleh FDR itu.
Posisi Amir Sjarifudin mulai sukar, sebab FDR mulai bergerak kepada aliran komunis yang lebih nyata. Tetapi sebaliknya ia memiliki kekuatan nyata. Ketika Amir masih menjadi menteri pertahanan, ia mengambil kesempatan itu buat membikin basis-basis kekuatan dalam angkatan bersenjata dan barisan buruh. Waktu itu ia menempatkan orang-orang nya pada posisi-posisi kunci dalam angkatan darat dan barisan buruh. Juga penyimpanan senjata-senjata cadangan hanya diketahui oleh orang-orangnya saja. Selain itu sebagai menteri pertahanan, ia sempat membentuk TNI-Masyarakat. Tetapi mereka yang terkena pengurangan jumlah dalam TNI itu, mulai melihat kepada FDR dan Amir Sjarifudin sebagai pimpinan. Tetapi rupanya inti dan simpatisan-simpatisan FDR dalam TNI tidak begitu terkena. Lagi pun ketika Kabinet Hatta memerintahkan barisan-barisan rakyat supaya membubarkan diri hal ini ditentang keras. Tidak boleh tidak dapat diperkirakan pada suatu waktu satu bentrokan antara barisan-banisan rakyat atau laskar-laskar dengan pasukan TNI yang masih patuh pada pemerintah dapat terjadi. Sementara itu FDR memulai taktik lain, yaitu menganjurkan pemogokan pemogokan. Ini ditentang keras oleh golongan komunis yang katanya berdasarkan nasionalisme di bawah pimpinan Tan Malaka. Mereka tergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR).
Sebenarnya program GRR tidak banyak bedanya dan FDR, tetapi mereka menyokong Hatta.
Tiba-tiba datang satu perubahan besar, yang membahayakan posisi ‘Amir Sjarifudin sebagai pemimpin top dan sayap kiri pro komunis. Rupanya Suripno, yang pernah menjadi sekretanis saya pada Asian Relations Conference di New Delhi, tidak langsung pulang, tetapi terus berangkat ke Eropa Timur, buat keperluan partai. Rupanya dia anggota PKI dan dicap Stalinis tulen. Di Praha ia dapat janji dari Duta Besar Sovyet, bahwa negaranya akan bersedia mengadakan satu consular treaty dengan RI. Tetapi ketika ia balik ke Indonesia Amir Sjarifudin sudah bukan PM lagi, sedangkan Hatta tidak bersedia menerima perjanjian apa-apa dengan Sovyet pada waktu itu.
Dengan sendirinya pemerintah Hatta bertambah curiga terhadap FDR. Memang rupanya ada maksud FDR, buat mengadakan coup dengan senjata. Mereka telah memiliki satu program yang terperinci buat itu. Pemerintah Hatta lama tidak mengetahui maksud-maksud FDR mi. Tiba-tiba Soeripno kembali ke Indonesia lewat Bukittinggi. Ia datang bersama Muso, jago lama PKI. Tanggal 11 Agustus 1948, Soeripno dan Muso sampai di Yogya. Seperti diketahui, Muso selain termasuk anggota pimpinan PKI yang berontak tahun 1926, juga pendiri dan apa yang dinamakan “PKI satu organisasi bawah tanah yang dibentuknya di tahun 1935. Sukses Muso segera nampak, sebab dengan entusias dan aklamasi ia diangkat menjadi Sekjen PKI menggantikan Sarjono.
Rasanya mulai sejak itu Amir Sjarifudin merasa posisinya terdesak sebagai pemimpin utama FDR. Bertambah lama bertambah jelas, bahwa FDR akan dikuasai kaum komunis. Maka datanglah pengakuan Amir Sjarifudin yang mengherankan kawan kawannya dan mengejutkan pemerintah. Amir berkata tanggat 29 Agustus 1948, bahwa ia sebenannya adalah seorang komunis, dan sejak tahun 1935, ketika berada di Surabaya, masuk “PKI Illegal” dari Muso.
Juga Setiadjit, Abdul Madjid dan Tan Ling Djie dari Sosialis mengakui, bahwa mereka memang telah lama menjadi komurlis. Setiadjit dan Abdul Madjid sejak tahun 1936 ketika mereka masih memimpin PI di negeri Be landa, sedangkan Tan Ling Djie adalah mahasiswa institute lenin dan anggota PKI illegal musso, jadi. Jadi kartu-kartupun mulai terbuka.
Telah diuraikan tadi, ada kabar dalam tahun 1936 (mungkin permulaan 1935), bahwa Amir Sjarifudin menjadi seorang Kristen. Ada juga kabar, bahwa dalam tahun itu ia bermaksud mendirikan partai politik Kristen, barangkali semacam Parkindo, tetapi tidak diteruskan karena iklim politik tidak menguntungkan. Kemudian ia masuk Gerindo, malahan menjadi salah satu pemimpin yang penting di bawah Mr. Sartono sebagai ketua. Dalam pimpinan Gerindo itu ada juga Wikana, yang kemudian memang juga tercatat sebagai seorang komunis. Tetapi Gerindo waktu itu menjalankan satu politik kooperasi, yang memperbolehkan anggotanya masuk Volksraad. Jadi kalau pengakuan Amir itu serius, maka ia telah menjadi komunis dalam tahun 1937, ketika Genindo didirikan.
Ada dua kemungkinan. Satu hal, ialah Amir turut dengan kurang kesadaran tentang tindakannya. Kedua, ia memang dapat diyakinkan sebagai komunis, tetapi dalam hidupnya sehari-hari tidak ada kesan sedikitpun. Malahan cara hidupnya lebih mirip cara hidup borjuis, juga ketika ia saya jumpai di Yogya di tahun 1948. Atau mungkin ía termasuk seorang aktor besar, yang dapat menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Tetapi ketika ia masih muda dan amat dapat bergaul dengan saya sampai tahun 1931, ia lebih mirip seorang Bohemien, artis, kadang-kadang seperti gypsie. Seseorang yang penuh emosi , sentimentil, lekas marah, tetapi lekas baik, suka ketawa, tetapi bila sedang main biola menyinarkan sedih atau gembira. Saya tidak mengatakan bahwa seorang komunis tidak bisa mempunyai sifat-sifat seperti diperilhatkan Amir. Tetapi sukar melihat Amir sebagai seorang Stalinis, yang ia akui dengan keyakinan itu.
Benar, seperti lazim pada seorang komunis, ía menjalankan self critic yang cukup hebat, tetapi ini pun bagi saya belum merupakan bukti. Memang pada 9 September 1948, ía mengumumkan kritik diri yang berbunyi kira-kira sebagai berikut:
“Sebagai komunis saya akui kesalahan saya, dan saya berjanji tidak akan membikin kesalahan lagi. Saya menerima 25 ribu gulden dari Belanda sebelum pendudukan Jepang, buat menjalankan gerakan-gerakan bawah tanah. Tetapi saya terima uang itu karena Comintern (Communist-internationa!e). mengusulkan supaya kita bekerjasama dengan kekuatan kolonial dalam satu front melawan Fasisme.” Ia seterusnya menjelaskan lagi, bahwa setelah perang dunia kedua berakhir, tidak ada alasan lagi buat bekerja sama dengan kaum kolonialis. Kaum komunis sekarang tidak memerlukan lagi kerjasama dengan kaum kapitalis.
Keterangannya itu diucapkannya di Yogyakarta dalam bulan September 1948. Saya waktu itu juga di Yogya. Anehnya, baru saja pada 8 September saya bertemu dengan Amir Sjarifudin. Ceritanya begini: Amir menelpon saya pagi hari, apakah saya dapat datang ke rumahnya, sebab anaknya sakit. Ia minta saya makan siang di rumahnya, sebab Zainab, isterinya akan memasak rendang dan gulai kambing. Saya menyatakan, bahwa penjaganya anak-anak Pesindo mungkin, akan menghalang-halangi, dan bagaimana pendapat masyarakat nanti.
Amir pentolan FDR, dan saya waktu itu boleh dikatakan jurubicara Masjumi dan anggota pimpinan pusat Masjumi. Tetapi ia menyatakan bahwa kita toh masih sahabat. Karena ingin melihatnya dan juga ingin tahu apa sebenarnya yang berada di belakang permintaannya itu, saya datang pukul 11 pagi. Saya juga ingin melihat anak—anak dan istinya yang telah lama tidak saya ketemui. Sampai di rumahnya rupanya dia sedang kedatangan tamu lain, Musso, yang baru diangkat menjadi sekjen PKI. Terang rupanya maksud Amir hendak mempermukan saya dengan Musso. Timbullah sedikit dialog antara Musso dengan saya tentang kemerdekaan Indonesia, dan corak pemerintahan yang baik. Timbul pertentangan ideologi, yang diadakan dalam suasana cukup ramah. Tetapi dan mula ternyata Musso adalah Stalinis keras, menurut faham saya.
Dialog kami yang tidak disertai Amir, berkisar dari Sosialisme ke Marxisme, ke Historis-Materialisme ke Manifesto Komunis, Leninisme, dan Stalinisme. Berhadapan dengan Musso, yang telah diindoktrinir ala Stalin itu berat juga. Terlalu panjang buat membicarakan dialog itu.
Jelas Stalinisme seperti dikemukakan oleh Musso, amat berbeda dan teori Lenin. Sekalipun (menurut Musso) Stalin setia kepada ajaran Lenin, tetapi nampak perbedaan dalam cara berfikirnya. Musso rupanya dengan sabar mencoba menjelaskan pada saya, bahwa tidak benar Stalinisme itu seperti banyak orang menyangka adalah staats-capitalisme. Ia caci Trosky, dan kemudian Bukharin. Yang sebenarnya dikerjakan Stalin, katanya adalah membina sosialisme. Dan banyak lagi.
Tetapi kita tersangkut kepada pendapat saya, bahwa komunisme, apa namanya Trotskyisme atau Leninisme atau Stalinisme adalah bertentangan dengan pendirian saya sebagai seorang Islam yang berkeyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya katakan juga bahwa saya seorang sosialis, tetapi sosialis religius. Musso tertawa keras. Ia menyatakan pendapat saya itu telah kuno, sebab termasuk utopis-sosialisme.
Kesudahannya setelah datang waktu makan, ia mengatakan, bahwa antara saya dan dia sebenarnya tidak banyak perbedaan. Kita bersama-sama bersedia mengabdi kepada rakyat, sedangkan kaum borjuis dan kapitalis mengisap rakyat. Saya jawab, “Tetapi dasar dan pengabdian itu berbeda. Saya menganggap pengabdian itu harus berdasarkan satu moral, dan moral itu bagi saya adalah keyakinan kepada adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.”
Saya heran mendengar jawabannya, “Percayalah Bung Abu, di Rusia kami sedang mempersiapkan satu kapal terbang yang akan memeriksa langit hijau. Nanti kita lihat apakah Tuhan itu ada atau tidak.” Baru dalam tahun 1956 saya mengerti, bahwa yang dimaksud Musso mungkin Sputnik-Sovyet, yang menggemparkan dunia itu.
Setelah makan siang Musso berangkat. Saya bertanya pada Amir mengapa ia biarkan saya berdebat dengan Musso. Ia senyum, dan berkata, “Abu, kamu saya kenal benar, tetapi saya belum kenal Musso. Tetapi saya sekarang tahu kapasitasnya.” Rupanya saya dibikin kelinci percobaan Oleh Amir Sjarifudin.
Dalam pembicaraan satu jam sebelum saya pergi dan rumahnya, saya mendapat kesan, bahwa ia agak nervous, dan kadang-kadang ketika sedang bicara, tampak ia memikir-mikir. Rupanya ia suka minum, wiski campur air. Juga Musso suka minum. Selama kami berbincang-bincang mereka berdua menghabiskan setengah botol wiski. Saya merasa curiga, tentang keadaan ketenangan jiwa Amir. Seakan-akan “equilibrium individu” mulai terganggu. Juga saya mendapat kesan, bahwa ia terus-menerus dalam ketegangan, tensi-tinggi, mungkin karena merasa senantiasa dalam tekanan. Tekanan itu kiranya adalah perasaan, bahwa dengan kedatangan Musso dan beralihnya aliran perjuangan kaum sosialis-radikal Indonesia yang menjurus kepada komunisme, terutama Stalinisme keras yang dibawa Musso dari Moskow dan pemimpin-pemimpin muda yang baru dapat latihan dan Praha, wibawa Amir akan berkurang. Esok harinya, 9 September 1948, Pimpinan Pusat Masjumi mendapat surat dan Sentral Komite PKI buat bekerjasama membentuk satu persatuan nasional. Tentu saja Ketua Masjumi Dr. Soekiman, bertanya kepada saya, apakah saya memberi janji-janji pada Musso dan Amir Sjarifudin. Saya berpendapat bahwa usul PKI itu hanya balon politik dan tidak perlu dianggap serius. Pimpinan Pusat Masjumi membalas, bahwa kerjasama politik antara PKI dan Masjumi tidak mungkin, karena berbeda aliran politik dari dâsar perjuangan buat memerdekakan tanah air. Rupanya PKI juga mengirim usul yang sama kepada PNI yang juga ditolak.
Sejak saat itu keadaan dalam negeri bertambah tegang. PKI mempercepat gerakan nya di mana-mana. Pimpinan PKI memulai sering mengadakan rapat umum. Musso, Amir Sjarifudin, Wikana dan lain-lain pemimpin turut serta berpidato anti kabinet Hatta. Mereka jalan di daerah-daerah Jawa Tengah dari ujung ke ujung, ke Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu dan banyak tempat lain lagi. Sedianya turnee pimpinan itu akan berlangsung sampai akhir September.
Tetapi, tiba-tiba pemimpin-pemimpin PKI muda tak sabar lagi. Barisan-barisan bersenjata pro-PKI dan Pesindo, dan pasukan Divisi 4 pro PKI, telah memulai pemberontakan bersenjata dan menduduki Madiun
Musso dan Amir Sjarifudin menghadapi satu fait-accompli dari mana tidak ada jalan balik lagi. Revolusi Komunis dimulai. Tetapi pemberontakan itu tidak terorganisir baik dan koordinasinya buruk, sekalipun ribuan anggota dan simpatisan komunis turut serta. Sebenarnya kericuhan besar-besaran telah terjadi di Solo, tetapi dapat dipadamkan oleh pasukan Siliwangi. Tanggal 4 September, batolyon-batalyon Siliwangi dapat menduduki kwartir-kwartir pasukan-pasukan pro PKI di Solo.
Tanggal 15 September 1948, Presiden Sukarno menyatakan daerah-daerah Solo dan lingkungan dibawah keadaan perang, dan ditunjuk Kol. Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer.
Militer pada hari itu Jenderal Soedirman mengirim 3 ribu orang dari Divisi Siliwangi ke Solo buat memperkuat kedudukan Republik dan sekaligus terus mengejar pasukan pro PKI.
Kemudian terjadi satu pertempuran yang sebenarnya menentukan nasib pemberontakan PKI.
Dalam pertermpuran ini terlibat kekuatan inti mereka yang terbaik.
Tetapi Madiun berada dalam tangan pasukan-pasukan pro PKI. Maka berkecamuklah perang saudara di Jawa Tengah yang berkesudahan dengan hancurnya tenaga-tenaga militer PKI.
Ribuan korban keganasan PKI di mana mana menjadi saksi. bahwa PKI memang tidak mengenal ampun bila lawan-lawannya tertangkap.
Musso dan Amir boleh dikatakan masuk perangkap gerakan revolusinva sendiri. Kuat kesan bahwa mereka belum siap melakukan pemberontakari bersenjata, tetapi terpaksa menyokong sikap pemimpin-pemimpin muda seperti Soemarsono dan Djokosujono.
Pasukan-pasukan pemerintah ternyata memiliki pimpinan yang lebih baik dari prajurit-prajurit yang Iebih berpengalaman. Lama-kelamaan nyata bagi Musso, bahwa rakyat banyak tidak berpihak kepada mereka, dan kekuatan mereka hanya ada di daerah-daerah Jawa Tengah saja. Maka berubahlah pidato-pidato mereka, yang mula-mula rnengumandangkan suatu “Republik Proletar Indonesia.”
Pidato penghabisan yang diucapkan oleh Amir Sjarifudin tanggal 23 September berbunyi sebagai berikut:
“Perjuangan yang kami adakan waktu ini hanya buat memberi koreksi kepada revolusi-revolusi kita. Jadi dasarnya tidak berubah sama sekali. Revolusi ini tidak berubah dari corak nasionalisnya, yang sebenarnya adalah revolusi merah-putih, dan lagu kebangsaan kami tetap Indonesia Raya”.
Waktu saya dengar pidato Amir Sjarifudin, yang berkali-kali diradiokan, saya benar benar menaruh kasihan pada kawan saya itu. Saya merasa dalam pidatonya itu terdengar suatu frustrasi. Suatu kebingungan dan suatu keputusasaan.
Mungkin, ya mungkin, di tengah-tengah kehancuran perjuangannya dan dalam malam sepi, ia ingat kembali cita-cita yang ia kandung ketika muda. Mungkin ia ingat kembali pada IC. Mana tahu. Pidato itu sama sekali bukan pidato seorang pemimpin komunis yang fanatik dan terdidik, sebab, komunis tulen sama fanatiknya dengan seorang beragama. Contoh-contoh cukup banyak kita lihat di kalangan Lenin, Mao, dan Marxis biasapun. Jadi, saya sejak itu tidak percaya, bahwa Amir Sjariifudin, yang selalu membawa Injil kecil dalam sakunya, adalah komunis. Mungkin ia seorang Radikal-Sosialis, atau Nasionalis-Revolusioner, atau Marxis tok. Tentang mentalitasnya, cara hidupnya, jalan fikirannya, jalan perjuangan politiknya, tidak cocok dengan predikat komunis dalam arti klasik. Terang buat saya ia seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah airnya. Rasanya ia mengharap terlalu banyak dari manusia-manusia di sekelilingnya.
Di samping itu ada satu segi menyolok dalam wataknya, ambisinya besar, karena ia amat percaya kepada kapasitasnya. Memang ia seorang yang brilian, tetapi nampaknya ia tidak stabil, dan tidak sabar. Juga kelemahannya terletak pada emosi yang sering menjadi pedoman yang salah bagi sikap dan perbuatannya.
Sebagai manusia, ia kawan yang baik, suami yang setia, bapak yang penyayang. Semua sifat-sifat borjuis, yang biasanya tidak terlalu diperkirakan ada pada komunis klasik. Apa lagi mau dikatakan tentang Amir Sjarifudin? Mungkin ia seorang Don Quichote, yang ke sana-sini mencari musuh cita-citanya, dan mencari kekasihnya yang berada dalam cengkeraman naga kapitalis. Kapitalis seperti yang ia kenal dalam zaman jajahan, biar berkulit putih, kuning atau sawo matang. Saya tahu benar, ia amat benci pada pamongpraja yang ia anggap sebenarnya parasit rakyat, penjilat terhadap penjajah, yang menurut dia memiliki Skiavengeist atau jiwa budak. Sebab itu buku yang paling ia sukai adalah Max Havelaar karya Multatuli. Kesalahan Musso dan Amir Sjarifudin adalah mengira rakyat benci pada pemerintahan Sukarno-Hatta. Mereka kira oposisi yang sekali-kali diperlihatkan berarti konfrontasi. Memang dalam kamus komunis, oposisi sama dengan konfrontasi, malahan kontra-revolusioner. Jadi menganggap PNI yang nasionalis dan Masjumi yang religius-sosialistis dapat dikonfrontir dengan Presiden Sukarno justru salah tafsir. Biar PNI dan Masjumi menentang persetujuan Linggarjati Sukarno-Hatta-Sjahrir, tetapi tiada niat buat berkonfrontasi sedikitpun
Inilah yang dinamakan “demokrasi” dalam praktek.
Amir Sjarifudin kesudahannya tenggelam bersama-sama pemberontakan komunis di Madiun. Tanggal 28 Oktober 1948, pasukan-pasukan tempur PKI hancur. Tiga hari kemudian, 31 Oktober, Musso tewas dalam pertempuran dengan pasukan Mobrig, yang dipimpin Jenderal Jasin. Sebelumnya, 29 Oktober, Djokosujono dan Maruto Darusman tertangkap, dan tanggal 31 Oktober itu, Amir Sjarifudin serta Soeripno ditangkap juga. Mereka dihukum mati. Revolusi memakan anaknya sendiri. *Abu Hanifah adalah jurubicara Masyumi, ia adalah sahabat Amir Syarifuddi sejak masih muda. Kemudian hari, Amir menjadi orang yang terlupakan oleh bangsanya. *** Diunggah oleh @Ruang Arsip untuk tujuan pendidikan.
1 note · View note
ruangarsip-blog · 8 years
Text
Integritas Seorang Intelektual [Mahasiswa Indonesia, 1 Maret 1969]
*Oleh M.T. Zen
“Men are fighting ever values, but not in a meaningless struggle; they do so in a living and meaningful history” Eric Weil
Di sekitar tahun 1939 Albert Einstein pernah berkata:  “janganlah sekali-kali engkau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu sekalipun negara memaksakan”.
Jauh sebelumnya, dalam kitab suci telah pula tercatatat bahwa pada ketika para Apostle, Sancta Petrus dan kawan-kawannya dituntut di hadapan para ketua ulama di ruang Sanhedrin, ketika kepada mereka ditanyakan: “Did not we straightly command you that ye should not teach in this name? and, behold, ye have filled Jerusalam with your doctrins and intend to bring this man’s blood upon us”. Maka Sancta Petrus dengan para Apostle lainnya berkata:  “We ought to obey God rather than men”
              Pada dasarnya ucapan Einstein dan ucapan Petrus mengandung arti dan makna sama. Oleh karena itu jiwa kedua ucapan itu kujadikan pegangan dan landasan dalam memberikan penilaian terhadap “Integritas seorang Intelektual”. Dalam hal ini aku tidak saja berbicara khusus sebagai seorang scientist melainkan juga “as a man of letters”, tetapi lebih penting lagi sebagai seorang manusia; seorang manusia dengan hati yang dapat tersayat dan terbakar mendengar jeritan bayi sedang menderita, di samping sebagai seorang manusia dengan hati melonjak-lonjak dalam menikmati keindahan orde alam semesta, baik irama pertumbuhan dan kehancuran benua dan samudra, maupun irama yang dihembuskan oleh symphony ke 9 Beethoven.
                Kita, manusia kini merupakan generasi yang menjadi saksi perubahan-perubahan besar datang silih berganti secara cepat dan generasi kita menyaksikan betapa manusia modern dapat dikatakan hampir-hampir telah berhasil menguasai alam sekitarnya serta menjadi pemilik alam itu pula. Hal tersebut dicapai manusia dengan science dan teknologi melalui suatu proses pendewasaan dengan evolusi yang panjang, penuh liku-liku dan pelik. Mau tidak mau, senang tidak senang, science merupakan tulang punggung dan menjiwai ekonomi, sosial maupun politik manusia modern. Secara sadar atau karena dipaksakan oleh keadaan, evolusi peradaban manusia di hari kemudian akan menuruti pola yang digariskan oleh konsep-konsep ilmu pengetahuan disertai kekuatan-kekuatan teknologi yang tumbuh darinya.
               Tidak kurang penting pula ialah bahwa science dan teknologi mempertinggi kecepatan berubah dari perubahan alam sekitar (environment) dan perubahan dari konsep-konsep yang dilahirkan semula. Orang sering terpesona akan penemuan-penemuan baru tetapi jarang merenungkan sedalam-dalamnya bahwa hingga pada saat Stephenson memamerkan lokomotifnya yang pertama kudalah merupakan alat gerak yang paling cepat. Sebaliknya dalam jangka waktu satu generasi manusia kini telah pindah dari zaman pesawat propeller ke zaman jet supersonik; dalam jangka waktu beberapa puluh tahun sejak roket-roket V-2 menghujani kota London, manusia sudah akan mendarat ke bulan pertengahan tahun 1969.
              Hal-hal sedemikian mau tidak mau menghancurkan atau setidak-tidaknya mengoyahkan sendi-sendi nilai yang ada. Kesukaran atau persoalan manusia modern timbul dari kenyataan bahwa kendatipun manusia telah berhasil menguasai alam, ia belum juga berhasil menguasai dirinya dengan sempurna. Ternyata jauh lebih mudah menguasai dan mengekang plutonium dan uranium dari pada mengekang nafsu manusia. Di sinilah letak persoalan sebenarnya.
               Dengan dipersenjatai science dan teknologi suatu sistem totaliter zaman modern dapat melakukan penindasan terhadap jutaan manusia lain secara mutlak. Dengan pertolongan ilmu pengetahuan yakni dengan alat perang ultra modern, mass media (radio & televisi), ilmu kedokteran dan disertai organisasi yang sempurna, sekelompok manusia dapat menguasai suatu negara bahkan benua, seperti halnya di Soviet Rusia, di RRC, di negara-negara blok komunis lainnya maupun di beberapa negara non komunis.
              Di samping itu dengan ataupun tanpa penindasan totaliter, di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, terdapat penderitaan karena kemiskinan yang sangat mengkhawatirkan. Menjelang tahun 2000 negara-negara yang sekarang telah kaya akan menjadi lebih makmur dan lebih kaya sedangkan negara-negara yang sekarang sudah miskin akan menjadi lebih miskin lagi.
               “For unto every one that hath shall be given, and he shall have abundance; but from him that hath not shall be taken away even that which he hath”
               Kiranya orang tidak perlu mencari-cari terlalu jauh untuk merasakan ramalan tersebut akan menjadi kenyataan.
              Menghadapi persoalan-persoalan seperti yang disebutkan di atas itu tadi peranan para cendekiawan menjadi amat penting; bukan saja amat penting; tetapi merupakan persoalan hidup atau mati, persoalan timbul atau tenggelamnya kita sebagai bangsa. Sebaliknya para cendekiawan hanya dapat memegang peranan selagi mereka masih memiliki integritas mereka sebagai cendekiawan.
Sekarang timbul pertanyaan di mana letak integritas seorang cendekiawan atau seorang intelektual?
              Diakui bahwa dalam banyak hal para cendekiawan tidak berdaya untuk secara aktif melakukan intervensi dalam konflik-konflik politik. Kendatipun demikian mereka dapat banyak membantu dalam menyebarluaskan idea-idea yang terang mengenai suatu keadaan disertai kemungkinan bagi langkah-langkah maupun tindakan-tindakan yang berguna.
              Para cendekiawan, baik yang tergabung dalam suatu perguruan tinggi, suatu organisasi professi atau perorangan harus bertindak sebagai hati nurani suatu bangsa, bahkan hati nurani seluruh dunia. Sebagai landasan ia hanya dapat berpegang pada hati nuraninya sendiri sebagaimana dikatakan oleh Einstein.
               Seorang manusia bermoral tidak mungkin mengidentifikasikan diri dengan negara. Setiap orang intelektual atau seorang manusia harus dapat membedakan “The law of duty from the law of the State”. Dalam menunaikan tugas panggilannya seorang intelektual sering berkonflik dengan negara. Apabila negara memintakan sesuatu dari padanya ia harus memberikan evaluasi itu sendiri dan ia dapat berpegang pada kata-kata Einstein: “Never do anything against your conscience, even if the state demands it”. Atau kalau perlu, selama belum ada yang lebih sempurna seseorang dapat berpegang pada Piagam Hak Azasi Manusia yang dirumuskan oleh PBB.
               Bagaimana para scientists? Pertanyaan ini sangat krusial karena science sendiri tidak mengenal nilai-nilai. “Science is value-free” sekalipun ia berlandaskan pada nilai-nilai tertentu, antara lain pada kebebasan “value judgements”, sedangkan kehidupan di arahkan oleh nilai-nilai (Eric Weil, 1967).
               Memang benar science tidak mengenal nilai. Science bersifat netral; ia tidak buruk dan tidak pula baik. Yang paling unik dari science ialah bahwa ia hanya concerned dengan fakta, dan hanya science lah yang berwenang (qualified ) untuk membedakan fakta dari non fakta. Tetapi justru karena science tidak mengenal values dan hanya concerned dengan fakta belaka, di sinilah letak kekuatan dan keampuhannya. Karena science berwenang memberikan informasi faktuil ia dapat dijadikan pegangan dalam “moral issues” . Informasi faktuil setiap kali dibutuhkan, tidak perduli sistem moralitas apa yang dipakai, baik sistem moral bersifat egoistik, alturistik, hedonistik maupun sistem ultilitarian.
Informasi faktuil dibutuhkan untuk menentukan:
Apakah objektif yang diharapkan dapat dicapai dalam kondisi dan situasi tertentu?
Jika ia dapat dicapai, alternatif apa yang terbuka dan bagaimana probabilitasnya?
Efek samping apa yang mungkin timbul jika objektif tadi dapat dicapai?
Apakah suatu kombinasi dari beberapa “proposed ends” dapat dicapai ataukah hasil yang satu secara mutlak menutup kemungkinan yang lain?
             Dengan memaparkan keadaan sejelas dan seobjektif mungkin seorang scientist dapat mempengaruhi masyarakat dan para decision makers. Di sinilah letak tugas dan tanggung jawab para scientists sebagai corps intelektual. Mereka jauh lebih mengerti bidang mereka dari orang lain.
            Betapa efektif tulisan-tulisan Linus Pauling mengenai daya hancur bom termonuklir dalam usahanya mencegah dunia terperosok dalam kancah perang nuklir yang mungkin akan memusnahkan seluruh peradaban manusia. Betapa besar pengaruh tokoh-tokoh seperti Robert Oppenheimer, Bertrand Russel dan Einstein? Kata-kata mereka jauh lebih besar impactnya dalam masyarakat karena mereka merajai dunia science yang dikatakan value-less.
Nama-nama yang disebut di atas berasal dari kalangan natural sciences. Hal sama juga berlaku bagi social scientists maupun para artist.
            Para artist dapat berbuat seperti Albert Camus dengan tulisan-tulisannya di abad modern, sebagai Multatuli dengan Max Havelaarnya, Henry Beecher Stowe dengan Uncle Toms Cabin, Eric maria Remarcue dengan In Westen Nicht Neus atau Bertha von Suttner dengan Die Waffen Niede, last but not least sebagaimana diperbuat Sjahrir di Indonesia.
              Munculnya sistem totaliter dalam abad modern, seorang manusia tidak lagi diperkenankan hidup netral sebagaimana dikatakan oleh Albert Camus: “The tyrannics of today are improved; they no longer admit of silence or neutrality. One has to take a stand, be either for or against. Well, in that case, I am against” (The Artist and his time, 1953).
               Memanglah, seorang intelektual harus senantiasa memperdengarkan suaranya, suara  hati nuraninya. Kalau tidak, “wie zwygt stemt toe”, atau dia bukan lagi seorang intelektual melainkan seorang tukang atau seorang alat belaka.
              Dalam menyuarakan hati nuraninya tanpa henti-henti; menulis, berbicara, menyebarkuaskan idea, bertahan dan memberikan perlawanan secara aktif maupun pasif demi untuk enlightenment umat manusia dan kemerdekaan, yaitu kemerdekaan dari penindasan, kelaparan ataupun ketakutan, serta untuk perdamaian dunia, terletak integritas seorang intelektual dalam wujud yang sebenarnya.
              Tetapi hal ini jauh lebih mudah ditulis maupun diucapkan daripada dilaksanakan. Semua bertolak pada keberanian. Tanpa keberanian seorang manusia tidak mungkin memiliki integritas.
              Menghadapi tirani setiap intelektual harus bersikap seperti Martin Luther dalam sidang Reischstag di Worms (1521) di mana ia berkata: “My conscience is captive to the word of God. I will not recant anything, for to go against conscience is neither honest nor safe. Here I stand, I can not do otherwise. God help me. Amen!”.
*Pof M.T. Zen adalah guru besar emeritus ITB, semasa muda adalah tokoh aktivis mahasiswa dan sarjana Indonesia.
Bersama Rahman Tolleng dkk turut serta membidani lahirnya buletin Mahasiswa Indonesia.
Pada tahun 2008, Kompas menganugerahi sebagai tokoh yang setia mendampingi masyarakat yang sedang kebingungan melalui tulisan-tulisannya.
M.T. Zen juga mendapat banyak penghargaan lain. ** Diunggah pertama kali ke internet oleh @Ruang Arsip untuk tujuan pendidikan.
0 notes
ruangarsip-blog · 8 years
Text
Scientiae 1974: PYTHAGORAS (582 – 507 B.C)
Tumblr media
Oleh K. Peranginangin, Majalah Scientiae No. 56 Juni 1974
           Nama orang-orang yang memelopori matematika hilang dalam kekaburan sejarah umat manusia. Tak ada catatan-catatan dari manusia gua tentang matematika. Ketika bahasa berkembang, demikian pula hitung menghitung, maka ilmu hitung (aritmatika) sederhanapun berkembang pula. Orang-orang menjumlahkan dua anak panah dengan tiga anak panah dan memperoleh lima anak panah.
Ribuan tahun berlalu. Ratusan generasi timbul tenggelam mengikuti proses waktu, sebelum bilangan yang diucapkan secara lisan berevolusi ke dalam bilangan tertulis.
           Pertama sistem notasi hanya terdiri dari gambar-gambar obyek yang dihitung –tiga bison digambar di dinding gua, empat anak panah dilukiskan pada dinding gua tersebut menandakan jumlah anak panah yang digunakannya. Bahkan orang Mesir Kuno yang pertamapun masih menggunakan gambar-gambar obyek untuk menunjukkan “how many”. Sistem bilangan yang diucapkan ataupun yang tertulis belumlah seabstrak yang sekarang, walaupun gambar-gambar merupakan langkah pertama kearah ini, karena gambar-gambar sendiri bukanlah obyek yang sesungguhnya, hanya merupakan simbol daripadanya. Tapi jumlah obyek yang dihitung masih diwakili oleh jumlah gambar yang digunakan. Jadi bilangan tidak terpisah dari obyek atau gambarnya yang dihitung. Bilangan bukanlah entitas terpisah.
           Dengan timbulnya kekayaan perseorangan, berupa binatang peliharaan, tanah ladng, jumlah padi gandum, matematika membuat langkah raksasa ke depan. Hak milik harus dipajaki, karenanya kepala suku atau raja harus mengetahui berapa banyak milik warganya, agar dapat menentukan pajak masing-masing warga.
Gambar-gambar dari obyek-obyek milik tiap warga adalah terlalu merepotkan untuk dihitung, karenanya sistem notasi bilangan berkembang. Mula-mula notasi bilangan itu berupa coretan-coretan garis atau titik-titik yang ditekankan (dicetakkan) pada tablet tanah liat. Sebagai ganti simbol-simbol yang berbeda untuk milik-miliknya; simbol tertentu untuk lebu, simbol lain lagi untuk senjatanya, simbol (notasi) yang sama digunakan bagi semua obyek dan diberi nama: satu, dua, tiga, empat, lima, dst. Bilangan sekarang mempunyai entitasnya sendiri dan sepenuhnya terpisah dari benda-benda (obyek-obyek) yang dihitung.
           Abstraksi bilangan ini adalah permulaan dari matematika, dengan mana orang dapat bermain dengan bilangan-bilangan atau simbol-simbol tanpa menghubungkan dengan obyek sesungguhnya. Aturan permainan berupa penjumlahan dan pengurangan dapat dituruti tanpa ikut menambahi atau mengurangi jumlah obyek-obyek.
           Namun sistem bilangan masih belum sempurna. Simbol yang digunakan masih mempunyai kelemahan-kelemahan, misalnya antara lain seperti terdapat dalam simbol bilangan Romawi.
Puluhan, ratusan, ribuan mempunyai simbol-simbol tersendiri. Orang masih meraba-raba jumlah yang diwakili deretan simbol-simbol yang digunakan, berhubung belum jelas nilai tempat (place value) dalam sistem penulisan bilangan tersebut. Hal ini berlanjut sampai zaman pertengahan. Berjam-jam waktu dibutuhkan untuk mengalikan dan membagi, pula hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli. Sebagai ilustrasi, bagilah MCCIX dengan LVI.
           Tapi sejarah tak dapat menunggu untuk terlebih dahulu sempurnanya sistem bilangan.
Matematika melangkah maju –walaupun sistem notasinya masih miskin- dengan prestasi yang lima ribu tahun kemudian masih merupakan salah satu keajaiban dunia.
           Keajaiban ini adalah pembangunan piramid-piramid besar di Mesir. Lebih dari pada peringatan bagi raja-raja yang meninggal dan dikubur didalamnya, piramid adalah monumen kemenangan matematika. Kesempurnaan piramid yang besar di Mesir ini, dengan sistem notasi bilangan yang belum sempurna, dengan alat-alat ukur yang masih kasar (tidak teliti), benar-benar mengagumkan.
           Mesir dipandang pertama menggunakan hukum-hukum dasar geometr (ilmu ukur). Walaupun suku Indian Mayan di belahan bumi Amerika ada menggunakan geometri seperti terlihat dari temple mereka, namun Mesirlah menunggalkan hasil penggunaan geometri yang mengagumkan.
           Orang Mesir terpaksa mempelajari sesuatu tentang geometri bukan karena rasa ingin tahu intelektuil, tapi karena alasan-asalan praktis. Tiap tahun sungai Nil banjir, menyapu tanda-tanda dan batas-batas tanah kepunyaan penduduk. Agar memulihkan kembali tanda-tanda dan batas-batas tanah, orang-orang Mesir, harus belajar mengukur tanah. Karenanya mereka berpaling ke geometri. Dalam bahasa Yunani Kuno dan Latin, “mengukur” adalah “metrein” dan “metria”, sedangkan “tanah” adalah “ge” dan “geo”.
           Dengan penanganan orang Mesir, geometri tak pernah memperoleh status sebagai ilmu. Ia tak lebih dari koleksi hukum-hukum (aturan-aturan) dan pengukuran-pengukuran kasar yang diperoleh dengan “trial and error”. Misalnya mereka memperoleh keliling lingkaran sebagai (4/3)^4 dari diameternya, kira-kira 2,1605 kali diameter.
           Bahwa Mesir tidak maju lebih jauh dalam matematika, tidak mengherankan. Mereka orang-orang religious dalam arti hidupnya terutama di-orientir pada kematian. Piramid dinikmati oleh raja setelah ia meninggal, bukan selagi masih hidup. Piramid adalah kuburankeluarga raja-raja. Tidak ada yang penting dalam kehidupan mereka yang sekarang, termasuk pula kiranya matematika. Karenanya belajar sebagai suatu usaha tak pernah tumbuh subur di Mesir Kuno.
           Sementara itu Babylonia, tanah subur antara sungai Tigris dan Euphrates, memberikan pula sumbangannya bagi matematika. Orang-orang Babylonia lebih berkepentingan denga kehidupan daripada dengan kematian, menggunakan geometri untuk memperbaiki kehidupannya. Raja Nebuchadnezzar menikmati Taman Tergantung Babylon (The Hanging garden of Babylon), suatu keajaiban dunia lama. Bangunan-bangunan Babylonia bukanlah tonggak-tonggak kuburan, tetapi istana-istana dan gedung-gedung pertemuan umum.
           Orang-orang Babylonia adalah petani-petani dan pedagang-pedagang yang untuk urusan finansil mereka membutuhkan pengembangan fasilitas komputasi dengan bilangan. Sejak 4000 B.C., para matematikawannya telah mencoba membuktikan teorema-teorema (dalil-dalil) geometri. Tetapi sedikitlah bahan-bahan peninggalan tentang bukti ini yang dapat dijadikan pegangan.
           Sampai disini pintu sejarah tertutup bagi Mesir dan Babylonia. Kedua peradaban mereka berangsur merosot dan hilang. Tetapi peradaban terbesar yang lain muncul yaitu Greek (Yunani Kuno). Zaman kejayaannya hanya tiga abad. Namun, tak pernah ada seperti tiga abad mereka dalam seluruh sejarah umat manusia selanjutnya. Dari beberapa kota Greak –sesungguhnya kota kecil dalam ukuran sekarang- muncul prestasi-prestasi intelektuil yang spektakuler, prestasi mana meletakkan dasar-dasar seni, ilmiah dan politik peradaban Barat.
             Di antara hal-hal lain, kekhususan Greek adalah matematika. Phythagoras adalah seorang di antaranya yang muncul dari pulau Samos, sekitar 582 B.C. matematika hampir menjadi disiplin (ilmu) ketika Pythagoras mempelajarinya. Dari Thales, seorang matematikus dan filsuf Greek, Pythagoras belajar matematika, terutama tentang “bilangan” sebagai batu bangunan dari matematika. Tapi bilangan yang diketahuinya hanyalah bilangan bulat positif dan pecahan. Bilangan “nol” tak dikenal dan walaupun menggunakan “pecahan”, pecahan tak dipandang sebagai bilangan.
           Dari Thales, Pythagoras juga belajar mengoperasikan bilangan –menambah, mengurang, mengalikan, membagi. Setelah banyakbelajar di Greek, ia pergi ke Mesir dan babylonia untuk mempelajari koleksi aturan-aturan (hukum-hukum) tentang geometri. Kemudian ia kembali ke Pulau Samos yang tengah dikuasai oleh tyrant Polycartes. Sebagian pulaunya dikuasai oleh Persia.
Merasa tak aman di Samos, ia pindah dan menetap di Crotonia koloni Greek di selatan Italia. Disini ia mendirikan sekolah yang anggotanya hanya laki-laki, walaupun ada beberapa siswa wanita non anggora. Konon seorang di antara wanita ini kemudian menjadi isterinya.
           Dasar filsafat Pythagoras adalah “bilangan”. Baginya bilangan mengatur alam semesta. Bilangan adalah pelukisan dasar dari segala sesuatu. Tanpa bilangan tak mungkin segala sesuatu yang ada jelas bagi setiap orang. “Bilangan menyatakan diri dalam semua perbuatan dan pemikiran manusia”, demikian dikatakan salah seorang pengikutnya.
           Pythagoras pun memberi arti bagi bilangan-bilangan, 1 simbol akal budi, 2 simbol pendapat, 4 simbol keadilan. Banyak lagi mistik-mistik yang dihubungkan dengan bilangan yang membekas sampai sekarang. Matematika biasanya dibagi kedaam empat bidang studi yaitu: teori bilangan (arithemetika), geometri, aljabar dan analisa. Sumbangan Pythagoras pada arithemetika dan geometri. Ia menemukan bilangan prima, yaitu bilangan yang hanya habis dibagi oleh 1 dan dirinya sendiri, bilangan sempurna, yaitu bilangan yang sama dengan jumlah pembagi-pembaginya, misalnya 6 (1+2+3=6).
Pula ditemukannya “amicable numbers”, yaitu pasangan bilangan yang masing-masing merupakan jumlah pembagi-pembagi yang lain, seperti 284 dan 220 (1+ 2 + 4 + 71 +142 = 220 dan 1+2+4+5+10+11+20+22+44+55+110 = 284).
             Berbeda dengan orang-orang Mesir maka dalam geometri Pythagoras menyadari perlunya membukikan teorema-teorema (dalil-dalil) yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran pokok (asumsi pokok). Ia memeriksa terlebih dahulu prinsip-prinsipnya sebelum membuktikan teorema yang didasarkan pada prinsip-prinsip itu. Dengan kata lain ia mengangkat matematika pada suatu tingkat ilmu.
           Membuktikan teorema, ia mulai terlebih dahulu dengan asumsi pokok yang tidak tergantung dari asumsi lain. Kemudian secara logis ia maju membuktikan teorema-teorema yang lebih rumit  dengan menggunakan hanya asumsi pokok dan teorema-teorema yang telah dibuktikan berdasarkan asumsi pokok tersebut. Dengan demikian Pythagoras embuat ilmu deduktif dari koreksi aturan-aturan yang telah ditemukan dengan observasi dan trial and error. Namun metodenya belumlah sepenuhnya sempurna
            Dengan metode ini ia tiba pada suatu teorema yang membawa namanya, yang menyatakan, “kuadrat hypotenusa dari segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat ke dua sisi-sisinya”.
            Orang-orang Greek tidak tertarik tentang mengukur panjang garis. Studi geometri bagi mereka adalah studi tentang berbagai bentuk: bujur sangkar, segitiga, lingkaran dlsb hubungan di antaranya dan bagian-bagiannya. Penekanan pada geometri ini menyebabkan orang-orang Greek tidak dapat maju dalam aljabar dan tidak dapat menyempurnakan sistem notasi bilangan. Mereka sedapat mungkin menangani bilangan-bilangan melalui geometri, misalnya untuk 2x2, mereka melukis bujur sangkar yang sisi-sisinya terdiri dari 2 unit. Mereka lebih menyukai metode geometris dimana bilangan dipandang sebagai bentuk. Dengan ini tidak hanya sistem notasi bilangannya, tapi juga lingkup bilangnnya tak berkembang.
           Bilangan nol dan bilangan negatif misalnya, tak mungkin dalam geometri Greek karena panjang garis tak mungkin nol atau negatif. Bahkan simbol bilangan nol pun tak ditemukan, karena tak berguna bagi mereka. Lingkup bilangan mereka hanyalah bilangan bulat positif riil. Jika mereka menemukan jenis bilangan lain, mereka mundur (tidak melanjutkan).
           Tapi akibat teorema Pythagoras mau tidak mau mereka sampai pada suatu bilangan yang tidak mereka kenal. Misalnya akar 2. Jika satuan ditentukan maka secara geometris akar 2 tertentu panjangnya, tapi tak dapat dinyatakan dalam lingkup bilangan-bilangan mereka. Bilangan iirasional ini erat berhubungan dengan ketakhinggaan, selalu merupakan persoalan dalam sejarah perkembangan matematika dan banyak matematikus bereaksi terhadapnya seperti juga Pythagoras.
            Pythagoras meninggal sekitar 507 B.C., konon tertimbun di dalam abu sekolahnya yang dibakar oleh orang-orang Crotonia yang mencurigainya sebagai seorang asing. Pendapat lain, ia sempat melarikan diri untuk kemudaian terbunuh di kota lain. Pythagoras meninggal, tetapi ajaran-ajarannya yang terpercaya tetap hidup untuk dijadikan dasar oleh matematikawan berikutnya dalam membangun dan mengembangkan matematika!
 Bacaan lebih lanjut Men and Numbers: Geometry
  *Diunggah pertama kali di internet oleh @ Ruangarsip untuk tujuan pendidikan.
0 notes
ruangarsip-blog · 8 years
Text
Pemuda Mesti Dinamis
Saudara-saudara sekalian. Tatkala Pak Sarino, anggota DPP-PNI, menghadap kepada saya untuk mengundang saya datang di resepsi Kongres PNI yang IX di Sala. Sala, bukan Solo; Ya, di kalangan pemuda-pemudi pun selalu masih: " ...Dari mana, Nak ?...”“...Dari Solo, Pak...”, beliaupun minta kepada saya untuk memberi ceramah kepada pemuda-pemudi Sala, mahasiswa-mahasiswa dan pemuda-pemudi lainnya.
Pada waktu itu dengan segera saya berkata: “Insya Allah, saya akan memberi ceramah.” Ini tadi, Pak Wakil Menteri Pertama Dr. Leimena, memesan kepada saya: “Nanti kalau Bung Karno mulai ceramah kepada pemuda-pemudi, ulangilah hal sedikit fobi, dan tekankan kepada mereka bahwa problem zaman sekarang ini ialah: progresif atau tidak progresif - dan siapa yang tidak cukup progresif -. progresif yaitu maju, progresif - siapa yang tidak progresif akan digiling, digilas oleh sejarah. -” Ini perkataan, ucapan-ucapan Pak Dr. Leimena beberapa detik yang lalu. Ucapan Pak Leimena itu tepat sekali. Memang siapa tidak cukup progresif di zaman sekarang ini akan digiling, digilas, ditindas habis-habisan oleh sejarah. Maka oleh karena itu saya minta kepada semua pemuda-pemudi supaya berpikir dengan semangat progresif. Namanya saja sudah progresif. Progresif itu mengandung arti bergerak ke muka. Kalau orang diam, itu tidak progresif. Anak-anak mengerti apa itu artinya perkataan progress ? Progress artinya kemajuan. Progresif artinya ialah menuju kepada kemajuan. Dus, bukan sikap diam, bukan sikap takut, tetapi sikap bergerak maju, sikap dinamis. Kalau saya bicara tentang hal dinamis, bergerak, bertindak, bersikap, apalagi jika saya berhadapan dengan pemuda-pemudi, saya ingat ucapan para mahasiswa kita kira-kira 35 tahun yang lalu. Ya, pada waktu itu sebagian mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Eropa, sedikit sekali jumlahnya, karena zaman kolonial memang tidak memberi kesempatan kepada pemuda-pemudi kita untuk mencari ilmu tinggi. Tiga puluh lima tahun yang lalu di Eropa ada sekelompok mahasiswa-mahasiswa Indonesia, dan mereka itu mengeluarkan satu majalah bulanan. Mengeluarkan pula satu risalah tahunan untuk memelihara semangat antara mereka, untuk membuat jelas dan jernih tujuan-tujuan yang harus ditempuh. Di dalam kitab tahunan mereka itu, 35 tahun yang lalu, waktu itu engkau belum lahir sebab yang hadir di sini masih teenagers. Ya, ada sedikit yang lebih dari teenagers mereka menulis begini, ini saya sitir juga pada waktu saya berhadapan dengan pemuda-pemudi kita di Tokyo beberapa bulan yang lalu, di dalam bahasa asing, bahasa Belanda waktu itu, jadi ini ucapan ditujukan kepada golongan pemuda dan pemudi daripada bangsa sendiri: “…Niet meer kunnen wij ons overgeven aan de belijdenis van een levens-philosofie die direct of indirect onze eigen ondergang is geweest. Het moderne leven eist beweging, activiteit; en wie dat niet eerbiedigt wordt verpletterd in het gedrang van mensen en volkeren die vechten om het bestaan …” Ini kalimat adalah kalimat yang berhikmat, “… Niet meer kunnen wij ons overgeven aan de belijdenis van een levens-philosofie die direct of indirect onze eigen ondergang is geweest. Het moderne leven eist beweging, activiteit; en wie dat niet eerbiedigt wordt verpletterd in het gedrang van mensen en volkeren die vechten om het bestaan …” Artinya, kita sekarang ini tidak boleh hidup dengan falsafah adhem, tentrem, ayem, “adhem tentrem kadya siniram banyu wayu sewindu lawase,” yang falsafah hidup demikian ini sebenarnya menjadi sebab kita tenggelam, kita hancur. Hidup modern menuntut supaya kita ini bergerak, aktif, sebab siapa yang tidak bergerak, tidak aktif, bangsa yang tidak bergerak, tidak aktif maju, akan hancur terhimpit dalam perjuangannya atau perbuatannya bangsa-bangsa atau rakyat-rakyat yang mencari hidup, “… en wie dat niet cerbiedgt wordt verpletterd in het gedrang der mensen en volkeren die vechten om het bestaan …” “Het moderne leven eist beweging, activiteit.” Hidup baru ini menuntut kita ini bergerak, beweging, menuntut kita ini aktif, aktif maju ke muka. Siapa yang tidak bergerak, siapa yang tidak aktif maju ke muka. Siapa yang tidak bergerak, siapa yang tidak aktif maju ke muka, hancur lebur, terhimpit dalam perebutan perjuangannya bangsa-bangsa yang mencari hidup. Ya, dunia sekarang menunjukkan, “het gedrang van mensen en volkeren die vechten om het bestaan.” Dunia sekarang laksana dunia yang terbelah dua, yang satu sama lain hendak bertempur, yang satu sama lain desak-mendesak dan bangsa Indonesia, jikalau tidak beweging, tidak ber-beweging, tidak menunjukkan activiteit, bangsa Indonesia akan hancur di dalam perjuangan perebutan ini, bangsa Indonesia akan laksana mentimun terhimpit oleh desakannya buah durian yang keras dan kuat. Akan mati terhimpit laksana cempe, anak kambing di dalam himpitan perebutan hidup dua gajah yang besar yang berjuang satu sama lain. Saya berkata ucapan ini adalah ucapan yang amat berhikmat dan terus terang saja, kalimat ini menghikmati Bung Karno pula. Pada waktu itu, Bung Karno itu, wah seperti kamu ini, jejaka Kakrasana yang baru turun dari pertapaan Argasonya. Ya, hidup saya sebagai mahasiswa itu boleh dikatakan sebagai pertapaan Argasonya. Saya, coba tanya Pak Surowiyono ini, temannya almarhum Tjokroaminoto. Saya ini sewaktu kecil-kecil, waktu muda-muda, hidup di dalam asuhannya almarhum Tjokroaminoto, hidup di dalam satu kamar, yang sederhana, sangat sederhana, tidur di amben. Ada lampu listrik, tetapi plenthong-nya itu mesti dibeli sendiri; tetapi tidak ada uang untuk beli plenthong, jadi plenthong – peer, oleh karena tidak mempunyai uang untuk membeli plenthong, aku beli lampu cempor. Ya, malam-malam saya belajar di dalam sinarnya lampur cempor ini, banyak membaca, banyak sekali membaca, sehingga pernah saya ceritakan di dalam pidato di luar negeri bahwa saya ini sebenarnya, ini menyimpang sebentar saya ini sebenarnya adalah citizen of the world artinya warga negara dunia, bukan warga negara Indonesia saja tetapi warga negara dunia, oleh karena saya telah berjumpa dengan pemimpin-pemimpin besar daripada semua bangsa. Aku berkata, aku pernah berjumpa dengan George Washington, pernah berjumpa dengan Jefferson yang menulis Declaration of Independence Amerika. Saya pernah berjumpa dengan Gladstone, saya pernah berjumpa dengan pemimpin-pemimpin revolusi Perancis dari Mirabeau sampai Danton, sampai Robbespierre, sampai Marat, sampai Theroigne de Mericourt, saya pernah berjumpa dengan Mazzini dari Italia dan Garibaldi, saya pernah berjumpa dengan Sun Yat Sen dari Tiongkok, saya pernah berjumpa dengan Stalin, dengan Lenin, dengan Plekhanov dari Rusia, saya pernah berjumpa dengan Mahatma Gandhi, dengan Jawaharlal Nehru, Muhammad Ali, Syaukat Ali; saya pernah berjumpa dengan Mustapha Kamil dari Mesir, saya pernah berjumpa dengan Dr. Jose Y. Mercado dari Filipina. Apa sebab ? Ini tadi, di pertapaan Argasonya, aku duduk sendiri, malam-malam dengan sinarnya lampu cempor aku membaca kitab sejarah, membawa riwayat-riwayat hidup, membaca tulisan-tulisan dan pidato-pidato daripada orang-orang besar yang saya sebut namanya itu tadi, sehingga saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin besar dari negara-negara, dari bangsa-bangsa di luar negeri itu, sehingga saya mengerti akan segenap cita-citanya, sehingga saya bisa, boleh dikatakan me-inleven in -menyatuduniakan diri saya ini dengan mereka itu, sehingga akhirnya saya kadang-kadang merasa diri saya ini bukan warga negara Indonesia, “but I am a citizen of the world,” warga negara dunia. Lha, antara apa yang aku baca ini tulisannya, pemuda-pemudanya, pemudi-pemudinya bangsa Indonesia sendiri, menghikmati benar kepada saya. Memang jikalau kita progresif, tidak maju, tidak beweging, tidak activiteit, kita akan hancur lebur di dalam himpitannya bangsa-bangsa yang sekarang merebut hidup, yang sekarang sudah nyata dunia ini laksana kancah perjuangan. Oleh karena itu, maka boodschap, amanat saya yang pertama kepada pemuda-pemudi ialah: dinamik, bercita-cita yang tinggi. Ya, meskipun saya harus seribu kali mengulangi bahwa engkau harus mencantumkan cita-citamu setinggi bintang di langit, jikalau tidak setinggi bintang di langit cita-citamu terlalu rendah. Saya ambil hal ini dari kitab Emerson, yang berkata, “Hangt Uw idealen aan de sterren, wanneer zij daar niet hangen dan hangen zij te laag” gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit, jikalau tidak setinggi bintang-bintang di langit, cita-citamu masih terlalu rendah. Meskipun engkau berkata bahwa cita-citamu setinggi Gunung Semeru, aku berkata masih terlalu rendah. Meskipun engkau berkata bahwa cita-citamu setinggi Gunung Kinibalu di Kalimantan, aku masih berkata: Cita-citamu masih terlalu rendah. Meskipun engkau berkata bahwa cita-citamu setinggi Gunung Himalaya di India, aku masih akan berkata bahwa cita-citamu masih terlalu rendah. Cita-citamu harus setinggi bintang di langit. Meskipun aku harus seribu kali mengulangi kalimat itu, saya tidak akan bosan-bosan sebab memang pemuda dan pemudi harus bercita-cita setinggi bintang di langit. Perkara tidak tercapainya cita-cita itu tergantung daripada kita sendiri. Dr. Ratulangie almarhum, coba, engkau pernah mendengar nama itu, salah seorang pemimpin kita; jikalau engkau ingin mengetahui benar-benar, namanya lengkap Dr. G.S.S.J. Ratulangie pernah menulis berikut: “… di Minahasa itu ada gunung, gunung tinggi, namanya Gunung Kelabat. Di lereng Gunung Kelabat ini ada satu tempat yang namanya Air Madidih.” Dr. G.S.S.J. Ratulangie berkata: “Onze gedachten gaan naar de top van de Kelabat, onze voeten brengen ons tot Air Madidih …” Kita bercita-cita sampai ke puncaknya Gunung Kelabat, tetapi ikhtiar kita, kita berjalan hanya sampai ke Air Madidih. Sama dengan kita bercita-citakan puncaknya Gunung Lawu, kaki kita membawa kita hanya sampai ke Tawangmangu. Lha, dus perkara kamu mencapai atau tidaknya cita-cita yang setinggi bintang di langit itu tergantung daripada usahamu sendiri, tetapi lebih dahulu cita-citamu harus setinggi bintang di langit. Nah, aku kembali kepada cerita yang mula-mula. Di pertapaan Argasonya, kamar gelap di rumahnya Haji Oemar Said Tjokroaminoto, aku mengembleng aku punya jiwa, pengetahuan dan lain-lain sebagainya. Nah, kemudian aku keluar dari pertapaan Argasonya ini, sebagai pemuda pejuang. Aku ceburkan diri di dalam gerakan nasional, menceburkan diri di dalamnya gerakannya pemuda, dan alhamdulillah, Tuhan terpuji, sekarang ini, ya Bung Karno ini, bolehlah dikatakan jadilah bibit manusia. Saudara-saudara, Pak Leimena tadi sudah berkata, “mbok pemuda-pemuda itu jangan mempunyai rasa takut,” karena itu Pak Leimena minta supaya saya mendalamkan, mengulangi lagi hal fobi. Kita ini, dan aku menyesal bahwa di kalangan pemuda juga ada yang menderita penyakit fobi. Fobi yaitu penyakit ketakutan. Kalau kita takut kepada barang sesuatu, yang normalnya, biasanya kita tidak takut kepadanya, kita ini dihinggapi oleh penyakit fobi. Tadi malam aku ceritakan tentang orang yang kena penyakit anjing gila, digigit anjing gila, ketularan penyakitnya anjing gila itu, -ya, Pak Dr. Saleh mengatakan bahwa penyakit anjing gila itu dinamakan penyakit rabies- Orang yang ketularan penyakit rabies, antara lain kena rasa takut kepada air. Dia kalau melihat air itu, takut, takut. Tadinya dia tidak takut kepada air, suka mandi, suka minum, suka nglangi, berenang, di dalam sungai, pergi ke Tirtonadi dan lain-lain tempat, tetapi kalau kena penyakit rabies itu di dalam bahasa asingnya hydro, hydro dinamica, hydro electro power, hydro itu air, maka penyakit takut kepada air ini dinamakan hydro phobia. Kita ini menderita juga penyakit, ada di antara kita itu yang menderita penyakit fobi: fobi komunis, takut kepada komunis. Jangan dekat dengan orang komunis. Takut ! Yaitu yang saya namakan Communisto phobi. Takut kepada perkataan kiri. Jangan dituduh kita itu kiri. Tadi malam saya terangkan dengan jelas bahwa orang Marhaenis tulen harus kiri: tidak boleh tidak. Ada yang berkata, Marhaenisme itu adalah satu paham tengah, PNI itu sebetulnya mesti partai tengah, tidak kanan, tidak kiri; PNI itu harus tengah, partai tengah. Marhaenisme itu adalah paham tengah. Saya berkata: “Itu adalah salah ! Marhaenisme adalah kiri.” Kita jangan takut kepada perkataan kiri. Jangan kita menderita penyakit kiri fobi. Jangan kita takut kepada perkataan Marxisme. Ada orang yang Marxisme fobi, Marxisto phobi, takut Marxisme. Bung Karno Marxist. Ya, saya terang-terangan ora tedheng aling-aling, aku iki Marxist. Ya, malah saya katakan berulang-ulang, Marhaenisme adalah Marxisme yang dijalankan, toegepst, di Indonesia. Marhaenisme is het in Indonesia toegepst marxisme, Marhaenisme adalah Marxisme yang di toepassen, dijalankan, diselenggarakan di Indonesia, di Indonesiakan. Lantas barangkali diantara pemuda-pemudi ada yang berkata: “Bung Karno itu mendirikan masjid di halaman Istana, dikasih nama Baiturrahim. Bung Karno itu kok sembahyang …Ya, kalau begitu Bung Karno itu beragama, Bung Karno itu percaya kepada Tuhan…” Ya, aku percaya kepada Tuhan, aku bersembahyang, aku mendirikan masjid Baiturrahim. “Lha kok Bung Karno Marxist. Marxist itu kan anti Tuhan ? Anti Agama.” Ini ajarannya profesor siapa ? Marxisme itu adalah satu cara berpikir, satu denkmethode. Cara mengupas, cara berjuang. Itu adalah marxisme. Dari perkataan Marx. Marxisme berfalsafah historisch materialism. Barangkali anak-anak mengetahui bahwa Marxisme itu dia punya dasar falsafah ialah historis materialisme. Tentu dikalangan lantas ada: “… Hmmm, nah kena Bung Karno ini, kena… Sebab Bung Karno sendiri bilang bahwa falsafah Marxisme ialah materialisme. Bung Karno berkata, historis materialisme. Materialisme, perbendaan. Dus tidak ada Tuhan. Tidak ada segala sesuatu yang tidak kelihatan oleh panca indera. Materialis tidak percaya kepada Tuhan oleh karena dia materialis. Segala itu materi, segala itu benda…” Saudara-saudara, dengarkan, falsafah Marxisme adalah historis materialisme, materialisme historis. Apa ada materialisme lain ? Ada ! Apa itu materialisme lain ? Materialisme lain itu ialah yang dinamakan philosophical materialism, filisofis materialisme, dalam bahasa Belandanya wijsgerig materialisme. Philosophical materialism yaitu materialisme yang filosofis itu memang berfalsafah bahwa tiada lain melainkan benda. Menurut ajaran philosophical materialism, filosofis materialisme atau wisjgerig materialisme yang pentolannya misalnya Feurbach, -di Jerman dulu ada seorang ahli falsafah namanya Feurbach.- Dia itu materialis tulen, dia adalah philosofich materialist, philosophical materialist-, dan menurut Feurbach ini tidak ada apa-apa melainkan materi; misalnya pikiran; pikiran kan tidak bisa dipegang. Kalau menurut Feurbach, pikiran itu apa ? Pikiran itu syncretie, jadi pengeluaran dari fosfor. Otak itu berisi fosfor. Fosfor ini bekerja, bekerja, keluar satu zat yang dinamakan pikiran, gedachte. Dus pikiran ini adalah pengeluaran dari materi, daripada benda yang bernama fosfor. Feurbach singkatkan dia punya perkataan gedachte is fosfor, pikiran itu adalah fosfor. Rasa itu adalah darah dari urat-urat; itulah rasa. Feurbach adalah seorang materialis tulen. Dia adalah philosofich materialist. Historisch materialist adalah lain. Feurbach adalah Philosophical materialist. Maka oleh karena historical materialism, historis materialisme, dasar daripada Marxisme itu berlainan, maka kamu orang jangan campur-campurkan antara dua itu. Lha itu, apa yang dinamakan historis materialisme, historical materialism ? Sebagai tadi kukatakan, materialisme adalah satu denkmethode. Satu cara berpikir. Dasar Marxisme adalah historis materialisme. Cara berpikir secara historisch materialist ialah bahwa segala kejadian-kejadian, segala alam pikiran di dalam suatu massa, segala rasa daripada bangsa, daripada manusia dalam sesuatu massa, itu adalah pencerminan daripada sociaal economische verhoudingen, daripada keadaan-keadaan sosial ekonomis. Supaya kita mengerti: lho, manusia ini, dulu pikirannya kok begini, kok lantas pindah ke pikiran yang begitu, kok lantas pindah lagi ke pikiran yang begitu. Ini oleh Marxisme diterangkan sebabnya berpikiran yang secara begitu ialah oleh karena keadaan dan perbandingan-perbandingan sosial ekonomis, dus materiil adalah begitu. Kalau keadaan sosial ekonomis materiilnya berubah, alam pikiran manusia juga berubah. Jikalau sosial ekonomis berubah menjadi hijau, alam pikirannya hijau. Jikalau materiilnya ini, berubah putih, sociaal economische verhoundingen-nya putih, alam pikirannya menjadi putih. Jikalau sosial ekonomis keadaannya ini menjadi merah, alam pikirannya menjadi merah. Jadi alam pikiran berubah menurut perubahan-perubahan di dalam sociaal economische constellatie di dalam sesuatu golongan manusia. Engels dan Marx mengingatkan di dalam dia punya kitab, bahwa - dalam bahasa Indonesianya saja - : “bukan alam pikiran manusialah yang membentuk sifat dia punya keadaan sosial-ekonomis, tetapi sebaliknya, dia punya keadaan sosial-ekonomislah yang membentuk dia punya alam pikiran.” Itu perkataan Friedrich Engels dan Karl Marx. Lha itulah Saudara-saudara, historis materialisme. Jadi tidak sama sekali itu mengganggu kepada kepercayaan kepada Tuhan. Saya pernah di dalam kongres PKI di Jakarta, menerangkan bahwa saya itu percaya mati-matian kepada Tuhan, tetapi juga bahwa saya ini Marxist. Na, janganlah kita dihinggapi oleh penyakit marxisto-phobi. Lha wong nggak Jawane Marxisme, wis, nggak mau, nggak mau sama Marxisme. Itu salah ! Apalagi mahasiswa, apalagi pemuda-pemudi. Selami, selami, pelajari seperti Pak Karno di dalam dia punya pertapaan Argasonya. Baca kitab-kitab kalau mau ngerti Marxisme. Jangan kok sekonyong-konyong diambil kitab tebal yang namanya Das Kapital, kitab Marx yang termasyur. Ya, tulisan Marx yang termasyur yaitu Das Kapital diambil, dibaca, ndleming, ndak ngerti. Sama saja dengan seorang santri yang belum apa-apa sudah membaca kitab Sifat Duapuluh. Ya banyak yang miring pikirannya ! Kalau mau mengerti Marxisme, baca dulu kitab-kitab kecil yang mengomentari Marxisme. Kitab-kitab kecil, tulisan komentator-komentator daripada Marxisme itu. Kitab-kitab kecil lebih dahulu yang ditulis oleh orang-orang yang bisa bicara secara gampang, secara mudah, secara sederhana. Lha kalau kita sudah membaca kitab-kitab kecil itu, masih lagi kita baca kitab-kitab yang lebih tebal, akhirnya baru bisa datang kepada sentralnya, kita membaca Das Kapital, kita membaca kitab Marx yang lain-lain, misalnya kitab Anti-Duehring yang ditulis oleh Friedrich Engels baik sekali. Kalau Saudara-saudara telah membaca kitab-kitab itu, nah, Saudara-saudara saya kira tidak lagi akan menderita penyakit Marxisto phobi. Pemuda tidak boleh menderita penyakit fobi. Tidak ! Pemuda harus berani apa saja. Mana yang baik buat tanah air, mana yang baik buat masyarakat, mana yang baik buat hidup, bercita-cita, ambil itu. Jangan belum-belum kok sudah memisahkan diri. Tidak ! Lha ini, pemuda-pemuda Eropa, yang mengatakan Het moderne leven eist beweging en activiteit, en wie dat niet eerbiedigt verpletterd in het gedrang van mensen en volkeren die vechten om het bestaan. Ini pemuda-pemuda adalah penganjur-penganjur daripada persatuan Indonesia. Pemuda-pemuda ini pun terdiri daripada bermacam-macam alam pikiran, misalnya pada waktu itu Pak Dr. Mohammad Hatta ada di dalamnya, Pak Ahmad Subarjo, yang sekarang menjadi Duta Besar di Swiss ada di dalamnya, ada Pak yang sekarang bernama Profesor Mr. Iwa Kusumasumatri, presiden daripada Universitas Padjajaran di Bandung. Pada waktu mengeluarkan kitab itu, Pak Iwa Kusumasumatri baru pulang dari Moskow. Padahal pada waktu itu Moskow masih hebat-hebatnya. Hebat-hebatnya menganjur-nganjurkan bolsyewisme, komunisme, komunisme. Pak Iwa Kusumasumatri tidak gentar; dia datang ke Moskow bersama-sama dengan Pak Ahmad Subarjo, dua pemuda di Moskow. Dua pemuda ini menyelami benar-benar apa yang dinamakan Marxisme, apa yang dinamakan sosial demokrasi, apa yang dinamakan komunisme. Mereka pulang dari Moskow, dua pemuda ini, bercampur gaul dengan pemuda-pemuda bangsa Indonesia yang lain; bersama-sama mereka itu lantas menggodok alam pikiran baru ini: Het moderne leven eist beweging en activiteit. Bersama-sama mereka menganjurkan persatuan Indonesia; bersama-sama mereka mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa merdeka jikalau rakyat Indonesia tidak bersatu. Kalau kita mau bersatu, lebih dahulu kita itu jangan fobi-fobian. Kalau kita mau bersatu, apalagi di dalam keadaan yang sekarang ini, yang bangsa Indonesia sudah nyata satu golongan besar Islam, satu golongan besar nasionalis, satu golongan besar komunis, kok kita lantas mau fobi-fobian. Wah, terpecah belah kita punya bangsa nanti, adik-adikku. Kita harus bersatu padu. Kita harus bisa mensintesekan ini, mensintesekan ini, mensintesekan alam pikiran yang sekarang hidup di dalam kalangan rakyat Indonesia ini, dari Sabang sampai Marauke baik daripada golongan agama Islam, ataukah Kristen, maupun daripada golongan nasionalis, maupun daripada golongan apapun kita persatukan, kita sintesekan. Hanya kalau kita bisa mensintesekan segenap tenaga revolusioner di Indonesia inilah, maka Indonesia bisa menjadi satu negara yang kuat dengan satu masyarakat yang adil dan makmur di dalamnya. Jikalau tidak demikian, kita makin tenggelam. Karena itu, kita lebih dulu harus jangan fobi-fobian. Ada fobi USDEK sekarang ini. Masya Allah, lha wong USDEK kok di fobi-fobi, sosialisme kok difobi. Iya, ada yang menuduh, Bung Karno ini sudah tidak Pancasila. Dulu Bung Karno itu Pancasila, Pancasila, Pancasila; sekarang Bung Karno kok sosialis, USDEK, sosialis, USDEK, Manifesto Politik, amanat penderitaan rakyat, USDEK, sosialis, amanat penderitaan rakyat. Ya, Bung Karno ini sudah nyeleweng! Saya tadi malam menjelaskan dengan tegas, dan dahulu di dalam pidato koperasi Jakarta pun sudah saya jelaskan dengan tegas, sosialisme adalah sebagian daripada Pancasila. Anak-anak mengetahui Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Jangan kira keadilan sosial itu lain daripada sosialisme. Tidak ! Keadilan sosial adalah sosialisme. Bapak selalu berkata: adil dan makmur, makmur dan adil. Adil tetapi makmur, makmur tetapi adil. Ada makmur yang tidak adil. Makmur, ya, makmur tetapi adil. Ada makmur yang tidak adil. Makmur, ya, makmur. Makmur tetapi, biar kanca mampus, biar kanca menderita papa sengsara. Itu makmur, tidak adil. Sebaliknya ada yang: adil, samarata samarasa, tetapi tidak makmur. Ya toh. Kalau semuanya kita itu baju compang-camping, Ibu Hartini compang-camping, Ibu Utomo compang-camping, Pak Saleh baju compang-camping, saya baju compang-camping, ini gaunnya yang merah compang-camping, Ibu Hartini compang-camping, Ibu Utomo compang-camping, Pak Nasution yang ganteng ini compang-camping, Semuanya compang-camping, compang-camping, semuanya dengan tikar atau goni; adil bukan ? Adil ! Samarata samarasa, tetapi tidak makmur. Dus, keadilan sosial yang dimaksud di dalam Pancasila itu adalah sosialisme. Maka oleh karena itu jangan menderita penyakit sosialisme fobi. Siapa yang setia kepada Pancasila, harus setia kepada sosialisme. Sosialisme yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia adalah sosialisme adil dan makmur. Memang, sosialisme sejati adalah adil dan makmur. Dan makmur tidak bisa begitu jatuh sendiri dari langit, kataku berulang-ulang. Kalau kita ingin menjadi satu bangsa yang makmur, dan adil, satu bangsa yang cukup sandang cukup pangan, cukup perumahan, cukup pengajaran dan pendidikan, cukup alat-alat perlalulintasan, alat-alat kebudayaan, cukup segala-galanya, satu bangsa yang betul-betul gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, jikalau kita memang benar ingin menjadi bangsa yang demikian, maka kita harus mengadakan kemakmuran yang adil dan kemakmuran ini, - yang seperti tadi saya katakan, - tidak begitu saja jatuh dari langit; tetapi karena usaha keras daripada bangsa kita yang saya berkata di dalam pidato-pidato yang lalu, untuk kita menyelenggarakan kemakmuran kita harus sekarang ini mengadakan investment of human skill, material investment, mental investment. Sebab kalau tidak, kita mengadakan investment yaitu persiapan-persiapan, persediaan daripada sekarang, kita tidak bisa membentuk satu masyarakat yang makmur, apalagi adil. Apakah ada cita-cita samarata samarasa yang sebenarnya tidak makmur ? Ada ! Tempo hari saya jelaskan disini, misalnya antara Mahatma Gandhi dan kita, ada perbedaan yang besar sekali. Kita menghormati Mahatma Gandhi sebagai pemimpin India, tetapi dia punya cita-cita sosial ekonomis kita tidak mau terima. Mahatma Gandhi itu begini: dia itu saking bencinya kepada kapitalisme, yang dia melihat dalam alat kapitalisme, yaitu mesin, kapal udara, lokomotif, ilmiah yang bertingkat tinggi, teknologi yang bertingkat tinggi dan sebagainya; Gandhi itu benci kepada obat-obatan yang modern, benci kepada ilmiah yang tinggi, benci kepada hal-hal yang adalah hasil daripada teknologi yang tinggi. Dia itu menghendaki bahwa orang India itu semuanya, ya, adil sedikit, asal semua orang mempunyai sebidang tanah kecil, masing-masing orang menanam kapas sendiri di bidang-bidang tanah kecil itu, masing-masing orang petik sendiri kapasnya dan pintal sendiri. Ingat dia punya lambang yaitu Jantera. Sudah pernah melihat bendera India ? Di tengahnya itu ada jantera, cakranya Kresna, tetapi juga kalau ditinjau dari sudut Gandhiisme, itu jantera. Pintal sendiri: kalau sudah pintal sendiri, tenun sendiri. Nah, kalau masyarakat India sudah begitu, tiap orang mempunyai tanah yang kecil, tanam sendiri dia punya makanan, bikin pakaian sendiri, tenun sendiri, kalau mau bepergian, tidak usah naik oto, atau naik kapal udara .... Gendheng, iki piye ? Numpak motor, numpak kapal udara.... tidak ! Jalan kaki atau naik gerobak ditarik kerbau, dia sudah senang. Kita tidak. Sosialisme kita lain daripada itu. Kita menghendaki satu masyarakat adil dan makmur, dan kemakmuran tidak bisa diselenggarakan dengan tenaga tangan saja. Jikalau kita ingin mempunyai masyarakat yang makmur, kita harus mempunyai industri, kita harus mempunyai pabrik-pabrik, kita harus mempunyai ilmiah yang tinggi. Kita harus mempunyai laboratorium yang lengkap sama sekali. Kita harus mempunyai pemuda dan pemudi yang berpikir modern, kita harus mempunyai manusia Indonesia yang bisa mengukir langit. Jikalau kita harus mempunyai bangsa Indonesia yang demikian, bangsa Indonesia yang bisa menyelenggarakan pabrik-pabrik industrialisme, bisa menjalankan penggarapan tanah secara modern, - tidak seperti sekarang ini, penggarapan tanah, macul, mbubuti satu persatu kalau matun, lantas nggelethak di bawah pohon lantas ura-ura, pangkur atau dhandhanggula....- Masya' Allah, bangsa Indonesia begini. Kita ubah sama sekali, bangsa Indonesia menjadi satu bangsa yang modern, tetapi pembagian daripada industrialisasi, hasil agraria yang tinggi, hasil daripada kimia, hasil daripada teknologi, hasil daripada pengetahuan dokter-dokter, hasil daripada pengetahuan yang bisa mengukir langit, untuk seluruh masyarakat. Adil. UUD’45 pasal 33, disitu ditulis bahwa perekonomian dijalankan berdasarkan kekeluargaan. Lha, kekeluargaan itu apa ? Yaitu sosialisme, Adil paramarta, adil tapi makmur, dan oleh karena itulah, oleh karena kita menghendaki satu masyarakat yang makmur, kita harus sekarang ini mengadakan investment of human skill, material investment. Human skill itu, ya, itu tadi; bisa mengukir langit. Saya berkata di dalam kongres koperasi tempo hari bahwa kita tidak bisa mengadakan satu masyarakat adil dan makmur, jikalau kita tidak mempunyai dokter-dokter cukup, insinyur-insinyur cukup, ahli-ahli kimia cukup, ahli-ahli pertanian cukup, dari cabang-cabang yang rendahan cukup. Pendek, mempunyai human skill. Kita kekurangan human skill, maka oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia sekuat-kuat tenaga dan ya, sekuat-kuatnya membangun sekolah-sekolah. Membangun universitas-universitas, membangun akademi-akademi, membangun sekolah-sekolah lanjutan, membuat pemuda-pemudi yang modern, membuat pemuda dan pemudi yang bisa berpikir secara modern, secara sosialis. Tidak lain tidak bukan itu adalah sebagian daripada usaha kita untuk investment of human skill. Jadi kewajibanmu sebagai pemuda ialah, nomer satu: membuat dirimu menjadi orang yang skillful sepenuh-penuhnya di lapanganmu masing-masing. Engkau ingin jadi dokter ? Baik, skill dokter harus engkau ambil sepenuh-penuhnya. Jangan dokter tempe. Dokter yang betul-betul dokter. Engkau ingin menjadi insinyur ? Ya, skillful yang se-skillful-skillful-nya. Jangan insinyur yang Cuma bikin gubuk dan jembatan kecil. Saya pernah di hadapan pemuda dan pemudi berkata: O, kalau umpamanya saya bisa menjadi insinyur thok, dan tidak seperti sekarang ini, disuruh gembar-gembor di hadapan rakyat, O, saya ini ingin membuat jalan kereta api, kataku, dari Kutaraja, terus ke selatan, sampai ke Panjang di Lampung, di bawah lautan Selat Sunda, tunnel, sampai ke Anyer di Banten. Kereta api terus sampai ke Banyuwangi, selulup di bawah Selat Bali, sampai di Gilimanuk, terus melintasi Pulau Bali, terus selulup di bawah Selat Sumbawa, terus melintas Lombok, Sumbawa dan seterusnya, terus sampai Kupang. Naik kereta api dari Kutaraja, dua hari kemudian sudah sampai di Kupang, bertemu dengan anak-anak kita di Kupang. Lha, ini, ini insinyur yang bercita-citakan setinggi bintang di langit. Human skill, tetapi di samping human skill kita harus mengadakan material investment, yaitu mempersiapkan segala materi, alat-alat untuk pembangunan. Saya selalu membikin contoh semen. Mana bisa membuat gedung ini kalau tidak ada semen. Mana bisa membuat pabrik kalau tidak ada semen. Mana bisa bikin jembatan kalau tidak ada semen; mana bisa membuat landasan kapal udara kalau tidak ada semen. Mana bisa membuat pelabuhan jikalau tidak ada semen. Maka oleh karena itu, material investment adalah perlu sekali. Maka oleh karena itu kita tempo hari membuka pabrik semen. Tetapi sekarang pun belum cukup, pabrik Gresik cuma memenuhi kebutuhan 35%. Dulu sebelum pabrik semen Gresik ada, kita mempunyai pabrik semen di Indarung, Sumatera Barat, memenuhi 25% dari kebutuhan kita. Ya, kita punya pabrik semen Cuma dua ini lho; satu di Padang, Indarung, satu di Gresik. Satu menghasilkan 25%, satu 35%; Cuma 60%, kurang 40%, dan 40% ini kita harus impor dari luar negeri. Kita harus mengadakan material investment yang berupa semen, sedapat mungkin, kalau uang kita sudah ada, kita harus membangunkan pabrik semen, pabrik semen, pabrik semen, pabrik semen. Masa, negeri Bulgaria, negeri kecil, saya kan baru darang dari Bulgaria, negeri kecil, penduduknya cuma 6 juta di Bulgaria, mereka itu mempunyai overproductie semen, membuat semen lebih banyak daripada kebutuhannya, sehingga pada waktu saya datang di sana, pemerintah Bulgaria, presidennya dan perdana menterinya menawarkan kepada saya: “.... Presiden Soekarno, kami bisa memberi semen kepada Indonesia, Indonesia mbok kasih kopi sama gula kepada kita....” Rakyat yang cuma 6 juta, yang dulunya rakyat Bulgaria rakyat yang paling miskin di seluruh Eropa ! Saya ingat pada waktu saya masih Kaakrasana, saya bikin pidato di Bandung. Saya ceritakan hal penderitaan rakyat di Indonesia, ya, pada waktu itu saya berkata, kalau di Eropa, penderitaan rakyat di Indonesia itu hampir-hampir sama dengan penderitaan rakyat Bulgaria. Saya bilang rakyat Bulgaria pada waktu itu memegang record kemiskinan. Record ! Lho, sekarang over produksi semen, Saudara-saudara, karena mereka punya usaha untuk mengadakan material investment itu hebat sekali. Demikian pula negara-negara lain. Saya ini sudah pernah njajah desa milang kori, ke luar negeri, hanya ada beberapa negara yang belum saya kunjungi dan insya Allah Subhana Wata’ala, saya minta persetujuan Pak Dr. Leimena, tahun muka saya mau insya Allah datang juga di negara-negara itu. Dia itu pegang uang antara lain Saudara-saudara. Sebagai wakil menteri pertama, tanggung jawab atas uang pul. Lha kalau diizinkan oleh Pak Dr. Leimena, nanti tahun muka saya ingin melawat ke negara-negara lain itu. Saya telah - kata orang Sunda - ngalanglang buwana. Menurut orang dari Jawa Barat Saudara-saudara, ngalanglang buwana saya sudah. Tiga perempat daripada muka bumi ini sudah saya jelajah dan saya melihat di negara-negara yang sosialis, di negara-negara yang berjalan di situ demokrasi terpimpin, material investment ini sangat sekali dikerjakan, sehingga mereka bisa mengadakan pembangunan tahap kemudian daripada itu, yang hebat sekali. Maka oleh karena itu pun kita bangga Indonesia harus mengadakan material investment. Tetapi material investment pun tidak bisa hanya tergantung daripada kekayaan alam kita saja. Jangan menebah dadan dan berkata: “Indonesia paling kaya” “Indonesia is the richest country in the world.” Mau apa ? Indonesia punya besi ? Punya. Punya timah ? Punya. Punya tin ? Punya. Punya minyak ? Punya. Punya karet ? Punya. Punya kayu ? Punya. Punya kambing ? Punya. Punya bebek ? Punya. Segala-galanya punya. Jangan menebah dada, sekedar punya, punya. Itu semuanya harus digali. Di luar negeri itu saya mempropagandakan Indonesia itu bukan main. Kalau saya sudah menggambarkan kekayaan Indonesia, timah, besi, minyak tanah, karet, dan lain-lain sebagainya itu, saya berkata kepada orang luar negeri, ya di Mesir, ya di Hongaria, ya di Rumania, ya di Bulgaria, ya di Uni Sovyet, ya di Brasilia, ya di Argentina, ya di Amerika Serikat, ya di Kanada, ya di mana-mana saya berkata: “Sekarang Indonesia ini sudah kaya bahan-bahannya; tetapi itu yang permukaan bumi kita saja.” “It is only what we have on the surface of Indonesia. What we scratched, - scratched, garuk from the surface of Indonesia,” kataku. Sekarang ini kekayaan kita yang mengagumkan dunia itu sekedar what we have scratched from the surface of our country. Belum kita mengetahui apa lagi Indonesia ini isinya, oleh karena kita memang belum selidiki sama sekali. Ini yang kita ketahui baru, ta, boleh dikatakan, baru yang kita tahu sekarang ini: on the surface. Surface itu kulit, kulit atas itu lho. Kita baru garuk kulit tanah air. Huh, ada timahnya, huh, ada minyaknya, huh ada tehnya, huh, ada gulanya, huh, ada tembakaunya, huh, kulitnya, tetapi apa yang terkandung in the womb, di dalam haribaan Ibu Pertiwi, kita belum tahu. Kita belum tahu apa yang terbenam di dalam tanah Indonesia ini. Maka oleh karena itu, saya berkata: kekayaan kita ini baru, what we have scratched from the surface of our country. Kita masih lebih kaya daripada ini, kita masih mempunyai emas lebih daripada sekarang. Mungkin kita masih mempunyai lebih daripada sekarang. Rakyat Uni Sovyet selalu berkata: Ural, Pegunungan Ural kaya sekali. Saya datang di kota Sverdlov; di sana itu ada museum geologi. Di dalam museum geologi ini ditunjukkan kepada saya dengan bangga: “Look here President Soekarno, rhis is what we have in the Ural.” Ya, ada bijih besi, ada bijih timah, ada batu-batu permata, batu yang hijau, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang bruin, ada yang sawo, ada yang seperti berlian, tetapi itu Cuma semi precious, Cuma setengah berlian. Dipameri di situ; saya Cuma: “Huh… itu belum, Kalimantan jauh lebih kaya daripada ini.” Kita lebih kaya Saudara-saudara, tetapi untuk menggali apa yang di atas kulit, untuk mengetahui apa yang masih terbenam di dalam haribaan Ibu Pertiwi, kita harus mempunyai human skill. Harus mempunyai ahli geologi, harus mempunyai ahli kimia, harus mempunyai ahli teknologi dan lain-lain sebagainya. Dus kita harus membuat banyak sekali pemuda-pemudi yang betul-betul mempunyai human skill yang setinggi-tingginya. Kecuali dari itu, kataku, kita harus mengadakan mental investment. Mentalitas kita ini harus kita ubah sama sekali, supaya kita benar-benar bisa berpikir secara modern seperti yang dikehendaki oleh pemuda-pemudi kita 35 tahun yang lalu di negeri Eropa, “Het moderne leven eist beweging, activiteit, en wie dat niet eerbidight wordt verpletterd in her gedrang van mensen volkeren die vechten om het bestaan.” Mentalitas kita harus menjadi mentalitas yang bewegen dan actief. Mentalitas kita harus mentalitas artikel 33 Undang-undang Dasar ’45. Mentalitas kita harus mentalitas USDEK, mentalitas kita harus mentalitas menyelenggarakan amanat penderitaan rakyat, mentalitas kita harus mentalitas pejuang, pembangun, pembina yang sehebat-hebatnya. Kalau pikiran ini, seperti tadi saya katakan - aduh, bangsa Indonesia ini, mentalitas yang dinamis masih kurang - Saudara-saudara. Masih kurang. Lha, wong masih senang manuk perkutut. Kalau sudah kerja sedikit, lantas nggelar klasa, metheti manuk perkutut, lantas: “mboke njaluk the nasthelgi.” “Njaluk the panas ya kenthel ya legi.” Itu mentalitas kita, Saudara-saudara; suka mat-matan kita itu. Lha kalau saya melihat rakyat di luar negeri, waduh negeri, waduh, dinamis-dinamisnya. Dia antara mahasiswa di luar negeri tidak ada salah pikiran, denkfout, seperti kita. Saya pernah di Jakarta mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa, “Hai, mahasiswa-mahasiswa, saya mau mengadakan permainan senam antara semua yang muda-muda, ya murid sekolah rakyat, ya sekolah menengah, ya sekolah tinggi, semuanya bersenam, sebagai yang saya lihat di Moskow, wah, hebat sekali !” Ada yang menjawab mahasiswa-mahasiswa ini: “Pak, itu bukan buat mahasiswa, Pak; itu baik buat sekolah rakyat.” Ini denkfout, salah pikiran, mengatakan bersenam hanya baik buat anak-anak kecil; padahal dilihat di luar negeri, lihat di Uni Sovyet, lihat di Bulgaria, lihat di Rumania, lihat di RRT, O, mahasiswa-mahasiswa malahan menjadi pemuka-pemuka senam yang hebat sekali, yang membuat pemuda-pemudi kita menjadi manusia-manusia yang mentalitasnya pun dinamis, sesuai dengan adagium: Mens sana in corpore sano, jiwa sehat di dalam tubuh yang sehat. Nah, saya minta kepada pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi Indonesia, meskipun sudah di universitas, jangan dihinggapi denkfout ini pula, jangan dihinggapi oleh semua denkfout. Denkfout itu salah pikiran sebagai juga yang sudah dicekcokkan oleh zaman dahulu kepada kita. Di Tiongkok ada satu kampanye hebat, memberantas ketakhyulan. Ya memang, ketakhyulan harus diberantas; tetapi ketakhyulan yang diberantas di Tiongkok itu bukan ketakhyulan mengenai dhemit, memedi, jin, peri perayangan saja. Juga ketakhyulan ekonomi, ketakhyulan geologi diberantas sama sekali. Kita masih menderita penyakit ketakhyulan geologi, ketakhyulan ekonomi, karena dicekoki oleh Belanda. Misalnya berkata: Indonesia tidak mempunyai bijih tembaga. Kita percaya bahwa Indonesia itu tidak mempunyai arang batu, arang batu yang kalorinya tinggi, seperti arang batu di Inggris, di Cardiff, yang dia punya kalori 7.900 atau 8.000. Indonesia tidak punya. Ada yang berkata Indonesia itu tidak mempunyai bijih emas kecuali sedikit di Sumatera Selatan. Kita percaya. Nah, ini menjadi ketakhyulan Saudara-saudara. Takhyul ekonomis, takhyul geologi kepada kita, bahwa Indonesia hanya mempunyai bijih emas di situ, tidak mempunyai bijih tembada. Diberantas RRT. Cara memberantasnya bagaimana ? Pemuda-pemuda, pemudi-pemudi diberi sedikit pengetahuan hal geologi. Bijih besi itu, rupanya begini. Bijih emas, begini rupanya. Bijih tembaga, begini. Pemuda-pemuda mengerti lantas tahu: O, bijih ini begini, bijih itu begitu, dan lain-lain sebagainya; disebarkan di seluruh tanah air RRT, disuruh pemuda-pemudi itu mencari, mencari. Dan hasilnya apa ? Ternyata bahwa diseluruh RRT ada bijih besi. Dahulu orang berkata bahwa besi ada bijih besi. Dahulu orang berkata bahwa besi di RRT hanya terdapat di situ, di situ bagian sedikit daripada RRT utara. Sekarang tidak. Di mana-mana ternyata ada bijih besi. Oleh karena pemuda dan pemudinya menyelidiki - explore, katanya Inggris - explore di mana-mana, sehingga di tiap-tiap propinsi di RRT sekarang ada tanur. Tanur yaitu pembakaran bijih besi ini untuk dijadikan besi. Nah, kita pun harus demikian. Berantas segala takhyul, bukan saja takhyul setan tetapi juga takhyul ekonomis dan geologis yang ada di dalam dada kita, tetapi agar supaya kita bisa memberantas takhyul itu, kita pertama harus mempunyai human skill. Kedua mentalitas kita harus investment yang sehebat-hebatnya; mental investment. Menjadi pemuda-pemudi yang dinamik, menjadi bangsa yang dinamik. Sebab kalau tidak demikian, kita tidak akan mengerti garisnya sejarah ini. Pak Leimena ini sudah takut saja; Wah, nanti Indonesia ini jikalau tidak progresif, verpletterd in het gedrang van mensen en volkeren die vecthen om het bestaan. Seluruh dunia sekarang ini mengejar kepada progresivitas. Di dalam pidato saya 17 Agustus yang lalu saya berkata: Jangan lupa, ¾ daripada kemanusiaan sekarang ini dalam revolusi. Revolusi yang progresif, revolusi mencari hidup baru, yang lebih layak daripada yang sudah, revolusi untuk mencari dignity of man, martabat manusia. Jangan manusia itu ada yang, manusia dikatakan superior, tinggi, yang lain itu manusia yang hanya baik diludahi saja. Seperti misalnya di Amerika Selatan. Disana itu rakyat yang berkulit hitam sama sekali tidak diberi kans untuk mengembangkan dignity of man. Sekarang ini ¾ daripada kemanusiaan di dunia yang sudah jumlahnya 2.600 juta, di dalam satu revolusi yang makin lama makin menjalar. Asia sudah. Afrika sekrang ini sebagai Saudara-saudara mengetahui, laksana kancah yang berapi-api. Tatkala saya membuat pidato di Tunisia, di muka parlemen Tunis, saya gambarkan pandangan rakyat Indonesia terhada kepada Afrika. Saya katakan, di dalam pandangan rakyat Indonesia, Afrika ini laksana burning fire, laksana satu api unggun yang menyala-nyala. Dan ucapan saya itu mengharukan segenap anggota parlemen Tunisia, sehingga mereka mencucurkan air mata, dan sesudah saya habisi pidato itu, dengan serentak mereka berdiri dan menyanyikan lagu nasionalnya. Demikian Saudara-saudara, Tunisia, Marokko, Aljazair, - Aljazair pun laksana satu burning fire, menjalankan satu revolusi - , bagian yang lain-lain dari Afrika, Guinea, Madagaskar, yang sekarang namanya Malagasi, daerah Kongo, - Kongo pun laksana burning fire - dan saya tahu tidak lama lagi Afrika Selatan pun akan menjadi satu burning fire untuk menggerakkan ini, dignity of man. Saya datang di negara Amerika Latin, saya datang di Brazilia itu setahun yang lebih dahulu daripada kedatangan saya, didatangi oleh Prins Bernard der Nederlanden. Saya mau datang di Brazilia; sudah, wah, jangan-jangan rakyat Brazilia itu Bernardminded, Dutch-minded. Ya, satu tahun sebelumnya Prins Bernard datang di Rio de Jeneiro. Apa ternyata, Saudara-saudara ? Saya datang di Brazilia, diterima oleh rakyat Brazilia sebagai hero, sebagai pahlawan, bukan saja pahlawan dari Indonesia, tetapi pahlawan daripada Afrika, daripada Amerika Latin pula. Di sana pun burning fire, Argentina, burning fire, Mexico, burning fire. Seluruh perikemanusiaan ini sebagian besar ¾ daripada seluruh kemanusiaan ini, sekarang di dalam revolusi sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam pidato 17 Agustus yang lalu. Benar sekali apa yang dikatakan pula oleh Mao Zedong. Mao Zedong berkata apa ? “Angin Timur sekarang ini mengatasi angin Barat.” Yang dimaksudkan oleh Mao Zedong dengan “angin Timur yang mengatasi angin Barat” yaitu ini: sekarang ini rakyat-rakyat Timur, rakyat-rakyat Asia, rakyat-rakyat Amerika Latin sudah bergerak mengatasi angin Barat yang datang dari dunia Barat. Lha ini, Saudara-saudara adalah revolusi progresif; dan Indonesia mau tidak mau, harus ikut di dalam arus gelombang banjir yang mahahebat ini, sebab jikalau Indoensia tidak ikut di dalam gelombang yang mahabesar ini, sebagai tadi dikatakan oleh Pak Dr. Leimena, Indonesia akan digiling oleh sejarah. Bangsa Indonesia menghendaki agar supaya kita semuanya progresif, apalagi pemuda dan pemudinya. Huh, Pemuda dan pemudi, janganlah menjadi pemuda dan pemudi tempe atau kintel. Tidak ! Saya selalu mengundang pemuda dan pemudi supaya kita ini betul-betul menjadi manusia harapan daripada bangsa. Saya berkata; dulu saya berada di dalam pertapaan Argasonya, mempelajari segala apa yang dicita-citakan bangsa-bangsa yang besar. Aku minta juga kepadamu supaya juga mencita-citakan sebagai yang diajarkan oleh pikiran-pikiran yang progresif. Mengertilah, mengertilah, hai anak-anakku sekalian, apa artinya UUD’45. Mengertilah, hai anak-anakku sekalian, apa sebab maka dekrit 5 Juli 1959 diterima dengan hebat oleh seluruh rakyat. Seandainya jiwa rakyat, rakyat jelata, - bukan jiwamu, tetapi engkau adalah sebagian daripada jiwa rakyat jelata itu, - jikalau rakyat Indonesia memang tidak hidup di dalam suasana UUD’45 itu, dalam suasana proklamasi, di dalam suasana segala cita-cita yang dicetuskan di dalam amanat penderitaan rakyat, rakyat Indonesia meskipun diadakan 10 Dekrit Presiden, rakyat Indonesia akan tetap adhem. Tetapi rakyat Indonesia menyambut Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan sehebat-hebatnya, demikian pula saya meminta kepadamu sekalian, kecuali mengerti UUD’45, mengerti segala konsekuensi daripada UUD’45 ini. Saya berkata di dlam kongres koperasi: UUD’45 pasal 33 jelas menghendaki sosialisme. Oleh karena itu USDEK, UUD’45nya itu sosialisme Indonesia, dus kataku, harus demokrasi terpimpin. Harus terpimpin. Sosialisme adalah diametral bertentangan dengan liberalisme, sosialisme adalah penyelenggaraan daripada satu cita-cita yang sudah jelas. Sosialisme adalah penyelenggaraan daripada satu blueprint yang membawa manusia di atas satu taraf hidup yang layak, di atas taraf dignity of man, di atas taraf yang di dalamnya tidak ada exploitation de l’homme par l’homme. Sosialisme adalah demikian. Oleh karena itu maka sosialisme hanya bisa diselenggarakan dengan demokrasi terpimpin. Maka oleh karena itu - tadi malam kuulangi - sosialisme hanya bisa diselenggarakan dengan pimpinan sosialisme. Sosialisme hanya bisa diselenggarakan dengan pemerintah yang corak besarnya sosialis. Sosialisme hanya bisa diselenggarakan oleh satu bangsa yang berpikir, beralam pikir, bercita-citakan sosialis, sosialisme tidak bisa diselenggarakan oleh satu bangsa yang masih berpikir liberal. Sosialisme adalah satu hal yang mengenai hidup segala manusia yang menyelenggarakan sosialisme itu. Jangan dikatakan bahwa sosialisme hanya satu hal daripada satu golongan manusia saja. Sebagaimana demokrasi sejati bukanlah sekedar tulisan-tulisan zwart op wit, hitam di atas putih di dalam kitab undang-undang, saya berulang-ulang mengatakan bahwa demokrasi adalah a way life, demokrasi adalah satu cara hidup yang menghikmati segenap masyarakat, satu cara hidup yang hendak menghikmati segenap warga negara. A way of life. Maka demikian pula sosialisme adalah a way of life pula. Maka oleh karena itu aku berkata: demokrasi kita sekarang ini harus demokrasi terpimpin. Menuju kepada sosialis ekonominya pun harus terpimpin. Dan oleh karena kita menghadapi sebagai mula-mula menjadi penjiwa dari proklamasi 17 Agustus’45, sebagai mula-mula menjadi penjiwa daripada Pancasila, maka kita harus kembali kepada kepribadian Indonesia sendiri. Oleh karena itu USDEK, Undang-undang Dasar’45, sosialisme Indonesia, dus demokrasi terpimpin, dus ekonomi terpimpin, dus kepribadian Indonesia. Aku bertanya kepadamu, “Entahlah, engkau sekalian apakah hidup di dalam alam pilkiran yang demikian itu ?” Kita sekarang ini mengadakan Depernas bekerja keras dan nanti tanggal 13 Agustus Depernas akan menyerahkan kepada saya, mereka punya blueprint yang pertama. Blueprint tahapan pembangunan pertama. Blueprint ini akan saya bawa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara; dan jikalau MPRS telah menerima blueprint ini, maka blueprint ini bukan lagi milik Depernas, bukan lagi miliknya Presiden, bukan lagi miliknya pemerintah, kabinet kerja, tetapi menjadi miliknya bangsa, menjadi National Plan, dan blueprint ini harus diselenggarakan oleh kita semua. Dan blueprint yang akan diserahkan tanggal 13 Agustus ini, adalah blueprint tahapan pertama yang sudah bercorak sosialis. Aku bertanya kepadamu, “Sudahkah engkau hidup di dalam alam yang demikian ini ? Tidakkah engkau keranjingan dengan alam yang demikian ini ?” Tatkala aku turun dari pertapaan Argasonya - kamar kecil yang gelap di rumah Tjokroaminoto, dengan balai-balainya tetapi dengan tumpukan bukunya yang tinggi sekali, lebih daripada buku-bukunya mahasiswa-mahasiswa yang lain, - tatkala aku turun dari Argosonya itu aku merasakan diriku seperti Cakrasana, sebagai tadi kukatakan, aku laksana hidup terhikmat, aku hidup laksana di dalam khayal, aku dihidupkanlah sama sekali oleh cita-cita yang membakar aku punya jiwa, aku laksana hidup diatas api batu bara cita-cita. Aku laksana tidak bisa tidur; karena itu aku laksana tidak bisa berjalan tenang; karena itu aku laksana tidak bisa makan; karena itu aku laksana tidak bisa minum; karena itu ya tidur, ya jaga, ya makan, ya minum, ya duduk, ya berdiri. Aku laksana kena obsessie daripada cita-cita yang telah kukumpulkan dari buku-buku, kitab-kitab di dalam pertapaan Argasonya itu. Itulah sebabnya, maka aku bisa menyemburkan aku punya diri dengan seluruh aku punya tenaga dan minat di gerakan nasional dan gerakan pemuda. Pada waktu itu aku berjumpa dengan pemimpin kita pula, Dr. Setiabudhi, yang dulu itu bernama E.F.E. Douwes Dekker. Apa kata Douwes Dekker kepadaku ? Dan apa yang dia tulis di dalam dia punya kitab yang bernama Indie ? Di dalam kitab Indie itu ia menulis: Men moet zich gehel geven; de hemel verwerpt het gasjacher met meer of minder. Artinya, orang harus memberikan jiwa, raganya, minatnya, semangatnya setumpuk-setumpuknya. De hemel, yaitu Tuhan, tidak senang kepada orang yang setengah-setengahan. Aku pada waktu itu demikian. Ik gaf mij geheel. Aku sama sekali memberikan jiwa ragaku, minatku, tenagaku semuanya, tumpah seratus persen kepada cita-cita ini. Aku bertanya kepadamu: Sudahkah engkau hidup di dalam suasana yang demikian itu ? Obsessie ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur jika engkau melihat bahwa sosialisme belum terlaksana ? Sudahkah engkau semuanya ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur jikalau engkau melihat bahwa di Sumatera, di Kalimantan jalan-jalan belum lengkap semuanya ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur jikalau engkau mengetahui di kepulauan kita Indonesia Timur kadang-kadang ada pulau yang dua bulan sekali baru kedatangan kapal Pelni ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur kalau engkau memikirkan bahwa Irian Barat masih dikuasai pihak Belanda ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur kalau engkau memikirkan bahwa Karel Doorman sekarang ini mengancam kepada kemerdekaan kita ? Sudahkah engkau tidak bisa tidur jikalau di kanan kirimu engkau masih melihat kere-kere ? Jikalau engkau tidak bisa tidur karena itu, tidak bisa hidup jenjem lagi karena itu, tidak bisa berjalan tanpa berpikir demikian, tidak bisa makan tanpa berpikir demikian, tidak bisa minum tanpa berpikir demikian, barulah engkau mempunyai hak untuk mengatakan dirimu patriot Indonesia. Patriot Indonesia adalah - kataku tempo hari - patriot komplet. Komplet dalam segala hal, ya patriot politik, ya patriot kultur, ya patriot ekonomi, ya patriot sosial, ya patriot di dalam keagamaan. Patriot di dalam segala hal. Hal ini sudah saya poesankan pada Hari Pemuda di Surabaya tempo hari; Jadilah patriot yang komplet, komplet, komplet, sekali lagi komplet ! Jikalau engkau telah menjadi patriot yang yang komplet, barulah segala cita-cita yang dipagurkan oleh rakyat Indonesia di dalam amanat penderitaan rakyat kepada kita, hidup di dalam dadamu, dan membuat engkau hidup laksana in een droom, laksana dalam mimpi, laksana engkau itu dipikul oleh sayapnya cita-cita. O, hebat sekali merasakan diri sebagai demikian. Aku pernah merasakan diriku laksana hidup terpikul oleh sayapnya cita-cita. Laksana aku di khayangan, aku dibawa oleh sayap cita-cita ini hingga aku mohon kepada Allah Subhanuwata’ala, agar supaya Allah Subhanuwata’ala memberi kekuatan kepadaku untuk menyumbangkan tenagaku ini kepada perjuangan, agar rakyat Indonesia di dalam waktu yang singkat menjadi benar-benar satu rakyat yang bernegara besar, panjang-punjung, panjang pocapane junjung kawibawane, dengan masyarakat adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentram karta raharja, yang bebek ayam rajakaya enjang medal ing pangonan, surup bali ing handhange dhewe-dhewe. Kalau kita semuanya hidup laksana terpikul di atas sayap yang demikian itu, biarlah kita boleh berkata: Hidup kita ini tidak tersia-sia ! Hidup kita ini tidak tersia-sia ! Tadi malam aku berkata, menjawab orang yang mengatakan bahwa revolusi Indonesia gagal, - ya ada yang mengatakan bahwa revolusi Indonesia gagal, oleh karena sudah 15 tahun revolusi kok masih begini, - aku jawab mereka: “Tidak ! Revolusi tidak gagal ! Revolusi tidak diukur dengan 15 atau 10 tahun. Revolusi diukur satuan puluhan tahun.” Revolusi Perancis yang tadi saya gambarkan dicetuskan oleh Mirabeau di dalam 1789, - Mirabeau di dalam tahun 1789, Mirabeau yang di dalam kaatsbaan bahwa ia tidak akan pergi daripada Kaatsbaan sebelum rakyat Perancis mendapat konstitusi, Undang-undang Dasar Konstitusional, - revolusi Perancis ini berjalan 80 tahun, Saudara-saudara. Revolusi sosialis yang mencetus sejak tahun 1917 sampai sekarang belum selesai. Demikian dikatakan oleh Khrushchov sendiri kepada saya bahwa revolusi Sovyet belum selesai. Kalau dihitung dari tahun 1917, sudah berapa tahun sampai sekarang ? Empat puluh tiga tahun. Padahal tahun 1917 itu sekedar pencetusan daripada revolusi itu. Sebelumnya itu revolusi-revolusi sudah berjalan persiapan-persiapannya, bahkan sudah pada akhir abad XIX, hitung semuanya berpuluh-puluh tahun. Revolusi Amerika Saudara-saudara, yang dicetuskan oleh Thomas Jefferson pada tahun 1776, apakah revolusi Amerika itu juga selesai dalam tahun 1786 ? Dalam 10 tahun ? Tidak ! Revolusi Amerika berjalan kurang lebih 60 tahun. Lha kok kita baru 15 tahun ber-revolusi, sudah ada manusia yang mengatakan bukan “revolusi Indonesia belum mencapai tujuannya”, tetapi dia berkata: Revolusi Indonesia gagal. Saya berkata: Revolusi Indonesia tidak gagal ! Benar, sesuatu revolusi menunjukkan air pasang, air surut, tetapi alirannya selalu berjalan terus. Revolusi Indonesia tidak akan mandek, revolusi Indonesia tidak akan gagal. Saya tadi malam berkata; saya hanya akan berkata bahwa revolusi Indonesia gagal, kalau kepada saya datanglah seorang ibu yang menuduh kepada saya: “Hai, Soekarno engkau pada tanggal 17 Agustus 1945 telah ikut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, engkau telah membakar apinya pemuda dan pemudi Indoensia di dalam proklamasi itu. Anakku mati gugur di dalam medan pertempuran. Engkau punya salah bahwa aku sekarang tidak beranak. Engkau punya salah bahwa pemuda dan pemudi melepaskan mereka punya jiwa di medan kehormatan itu.” Jikalau ada seorang ibu yang berkata demikian kepadaku, menuduh kepadaku bahwa anaknya gugur, anaknya hilang, suaminya mati, oleh karena menjalankan revolusi Indonesia, jikalau ada seorang ibu berkata demikian, aku akan berkata dengan menundukkan kepalaku: “Ya, aku merasa salah.” Tetapi syukur, alhamdulillah sampai sekarang, 15 tahun lamanya, tidak ada seorang ibu yang berkata demikian. Karena itu aku berkata: Revolusi Indonesia tidak gagal ! Dan sekarang revolusi Indonesia berjalan terus, terus ! Fase yang satu mengikuti fase yang lain. Fase physical revolution telah lalu, diikuti fase investment. Investment ini akan lalu, diikuti fase pembangunan semesta yang seluas-luasnya. Dan fase invesment, fase pembangunan semesta yang seluas-luasnya ini semuanya telah ada dasar-dasarnya yang jelas dan nyata: Undang-undang Dasar’45, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, kepribadian Indonesia. Maka oleh karena itu saya minta kepada seluruh pemuda-pemudi Indonesia supaya hidup di dalam alam USDEK ini. Sebagai tadi saya katakan, supaya USDEK ini menjadi satu obsessie, menjadi penghikmatan jiwa kepadamu, sehingga engkau bisa tidur nyenyak, makan nyenyak lagi, tanpa memikirkan realisasi daripada USDEK itu. Jikalau engkau sudah demikian, barulah engkau juga bernama patriot Indonesia yang sejati. Saudara-saudara, anak-anakku, sekian ceramahku. Moga-moga Tuhan memberi berkah kepada kamu sekalian. Terima Kasih. Merdeka! Ceramah kepada para pelajar di Surakarta, 11 Juli 1960.
0 notes
ruangarsip-blog · 8 years
Text
Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang
Oleh Soe Hok Gie
Tumblr media
BEBERAPA waktu yang lalu seorang teman berkata pada saya, “Saya kira benar. Menjadi menteri luar negeri Indonesia sekarang tidak menarik. Kerjanya cuma berusaha menunda bayar utang-utang lama. Atau cari utang-utang baru.” Dia seorang mahasiswa. Ada kejadian yang lain. Waktu itu saya bertanya pada teman saya, “Adam Malik pergi ke luar negeri lagi ya? Rupa-rupanya ada soal gawat yang perlu diselesaikan.” Teman saya ini seenaknya saja menjawab, “Apalagi kalau bukan menandatangani kredit baru.” Nama Adam Malik dapat kita ganti dengan nama Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Presiden Soeharto dan seterusnya, dan seterusnya.
Seolah-olah seluruh usaha diplomasi kita adalah diplomasi cari utang untuk kelangsungan hidup republik kita yang sudah 24 tahun usianya. Pastilah penilaian orang-orang seperti teman saya itu tidak tepat. Ada soal lain yang berbelit-belit dan menyulitkan. Tetapi kesan umum dari ‘masyarakat luas’ adalah seperti teman saya itu.
Ketika kita berjuang untuk kemerdekaan Indonesia beberapa puluh tahun yang lampau, kita menghadapi persoalan besar: “Jika sekiranya Indonesia telah merdeka bagaimanakah kita mengisi kemerdekaan itu? Bagaimanakah kita ‘membentuk’ dan mengarahkan nasional Indonesia di masa yang akan datang?” Jawaban dari pernyataan-pernyataan tadi mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia setelah penyerahan kedaulatan.
Setahu saya, di Indonesia tidak ada kelompok-kelompok politik (kecuali beberapa gerakan mistik yang kecil tentunya) yang ingin agar suasana seperti zaman Belanda diteruskan. Membiarkan 93 persen rakyat buta huruf. Menyerahkan soal-soal pengusahaan kekayaan alam Indonesia pada bangsa asing. Atau mempertahankan sistem sosial setengah feodal, setengah kolonial.
Rata-rata mereka ingin perubahan-perubahan besar. Mengadakan modernisasi di segala bidang (grup PSI/Sjahrir), menjebol dan membangun untuk msayarakat adil dan makmur (Soekarno dan kawan-kawannya), atau menciptakan masyarakat tak berkelas (PKI dan kawan-kawannya). Semuanya ini adalah pekerjaan raksasa. Bukan hanya sekedar kasak-kusuk anggota DPR-Istana Negara, dan beberapa puluh DPP partai-partai besar. Seluruh potensi sosial (atau mayoritas) harus diikutsertakan dan mereka secara aktif mendukung perubahan-perubahan besar yang dijalankan.
Dengan perkataan lain, diperlukan suatu mobilisasi sosial. Komunikasi antara penguasa dengan masyarakat luas. Dengan si Badu kuli di Semarang, dengan si Tini guru di Sumedang, dengan Sersan Siregar di Tapanuli, dengan Rumambi pengusaha di Minahasa atau A Pion agen Lotto Harian di Glodok. Agar mereka merasa, bahwa cita-cita besar yang dimiliki oleh lapisan atas pemerintah juga adalah cita-cita mereka. Dan mereka diinspirasikan untuk bekerja keras dan berkorban demi cita-cita besar itu. Tanpa partisipasi sosial dan mobilisasi sosial, cita-cita besar itu akan matikering.
Dalam sejarah Republik Indonesia, kita pernah berhasil mengadakan mobilisasi sosial. Pertama waktu kita harus mempertahankan kemerdekaan ini. Cita-cita kemerdekaan bukan saja cita-cita Presiden Soekarno-Hatta-Sjahrir dan Jenderal Soedirman. Tetapi juga menjadi cita-cita Pak Dalang, Pak Supir, dan Pak Guru. Dan kita telah melihat hasilnya.
Soekarno juga pernah mencoba membentuk pemerintah yang ‘menarik’. Ia mempunyai cita-cita agar Indonesia menjadi nation yang besar dan disegani di dunia. Ia merumuskan cita-cita revolusi Indonesia sebagai cita-cita untuk membentuk suatu masyarakat baru yang adil-makmur-sejahtera. Di mana tidak ada pertentangan-pertentangan sosial. Di mana kaum agama, komunis, dan nasionalis bekerja sama. Pertentangan-pertentangan yang ada disalurkan melalui kompetisi yang sehat (kompetisi Manipolis). Dengan gayanya yang hebat (karismatik), sampai batas-batas tertentu ia berhasil menimbulkan kegairahan di kalangan pemuda-pemuda Indonesia.
Keluar, ia mencoba menutup rasa rendah diri bangsa Indonesia dengan menekankan dan menjalankan politik mercusuar. Bahwa revolusi Indonesia lebih besar daripada revolusi Amerika dan Rusia. Bahwa kita bukan bangsa tempe. Dan sebagai bangsa yang telah menderita beratus-ratus tahun karena imperialisme, maka tugas revolusi Indonesia juga memerangi imperialisme dunia. Dari sinilah lahir ide “Ganyang Malaysia.”
Untuk mendapatkan dukungan dari kekuatan-kekuatan sosial masyarakat, Soekarno tidak hanya bicara dengan beberapa puluh orang di Jakarta. Ia berusaha dengan beberapa puluh orang di Jakarta. Ia berusaha untuk membangunkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada, dengan cara indoktrinasi. Kepada orang-orang Islam ia berkata bahwa ia adalah seorang pemuja Nabi Muhammad. Kepada kaum nasionalis, ia menyatakan bahwa ia adalah seorang ansionalis. Dan kepada komunis ia berkata: “Aku juga seorang Marxist.” Kita belum lupa panitia-panitia Pembentukan Jiwa Revolusi, Kursus kader Revolusi, Kursus Kader Nasakom. Kita juga masih ingat usaha-usahanya untuk membacakan semangat revolusi bangsa Indonesia.
Sayang sekali cita-cita besar Soekarno akhirnya hancur berantakan. Karena ia tidak bertitik tolak dari realitas-realitas yang ada. Bahkan, ia terkena penyakit megalomania dan aparat-aparatnya kacau-balau serta korup. Tetapi sampai tahun 1965, ia telah berhasil membangkitkan dan mengarahkan massa. Kita bisa banyak bicara tentang ‘ngawur’-nya, tetapi kita pun tidak bisa menyangkal bahwa ia berhasil mengadakan komunikasi massa.
Sampai tahun 1965, Soekarno dengan cita-citanya mengilhami pemuda-pemudi Indonesia, terutama di daerah-daerah jawa. Mereka merasa bahwa cita-citanya, masa depannya dan masa depan anak-anaknya tergantung daripada suksesnya cita-cita revolusi Indoensia (a la Soekarno). Saya menyadari ini kalau saya bermalam di desa-desa kecil waktu saya naik gunung atau ‘camping’ dan bicara dengan orang-orang biasa.
Pemerintah Soeharto bercita-cita agar masyarakat desa Indonesia (yang merupakan sebagian besar rakyat Indonesia) dapat menikmati hidup yang lebih layak. Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di pucuknya, daripada membuat dan memperbaiki 1000 km jalan raya. Jauh lebih muda membuat universitas di Kalimantan Tengah dari pada membangun 100 buah SD di desa-desa. Usaha-usaha Adam Malik dan kawan-kawan mencari kredit baru, menunda pembayaran utang-utang adalah bagian permulaan daripada usaha besar ini. Tetapi apakah pemuda-pemuda lulusan SMP di Wonosobo menyadari soal ini?
Soeharto tidak ingin jadi polisi dunia, memerangi imperialisme di manapun juga dengan mengorbankan segala-galanya. Demikian pula Soeharto tidak ingin menjadi macan kertas a la Soekarno. Dia meletakkan cita-cita lain dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Cita-citanya adalah pembangunan. Pembangunan memerlukan modal dan kesungguhan kerja. Semua orang tahu, kecuali koruptor-koruptor militer-sipil, rakyat Indonesia hidup dalam kekurangan. Programnya lebih besar dari program Soekarno.
Tetapi walaupun demikian, kita harus menyisihkan sebagian dari pendapatan nasional untuk investasi. Jadi diminta lagi pengorbanan. Sebenarnya, pemerintah Soeharto harus lebih berhasil dalam mengadakan mobilisasi sosial, agar program besarnya tercapai.
Dalam soal karisma, Soekarno jauh lebih berhasil dari Soeharto (beberapa kali saya berkata kepada teman-teman wanita, untuk tidak membanding-bandingkan teman-teman prianya di hadapan orangnya. Tetapi kadang juga perlu untuk menyadarkan kelemahan-kelemahannya.) Ini bukan salah siapa pun juga. Sebagian besar pembantu-pembantunya juga demikian. Kalau bicara formal, penuh dengan angka-angka membosankan (kadang-kadang bodoh lagi.) Pembawaan fisiknya juga lemes. Atau gemuk seperti peminum bir atau kurus kecil seperti pegawai negeri yang lesu.
Justru dalam rangka mobilisasi yang dapat bicara dengan segala lapisan masyarakat. Yang ke universitas, ke masyarakat desa, maupun ke kalangan tentara. Dalam hal inilah Pemerintah Soeharto belum berhasil. Yang bertugas menjalankan aparat ini adalah petugas-petugas birokrasi yang harus dipensiunkan.
Ambilllah contoh soal rule of law. Masyarakat Indonesia telah sangat haus terhadap tertib huku. Setiap hari kita dengar cerita-cerita tentang oknum militer yang menampar rakyat biasa, tentang ngebut anak-anak penggede, atau tentang penyeludupan yang dilindungi. Reaksi pertam muak. Lalu apatis. Jika Soeharto dan pemerintahannya berhasil menunjukkan, bahwa ada kesungguhan pemerintah dalam menegakkan rule of law, maka dukungan msayarakat akan bertambah terasa.
Kita telah mengetahui jumlah tahanan-tahanan perkaranya ditelantarkan aparat-aparat Kejaksaaan. Kita juga sudah bosan mendengar ucapan-ucapan ketua mahkamah agung, jaksa agung, Presiden Soeharto sendiri, dan menteri kehakiman tentang human rights dan rule of law. Usaha-usaha untuk membereskan rule of jungle ini sedang dijalankan pemerintah. Dibicarakan dalam rapat-rapat tertutup departemen atau komusi DPR-GR atau komisi-komisi gabungan. Tetapi masyarakat tidak tahu apa-apa.
Tidak ada tindakan-tindakan dalam bahasa rakyat yang bisa menjadi komunikasi antara cita-cta pemerintah dan harapan-harapan masyarakat. Misalnya gerakan bersama (namakanlah Bulan Tertib Hukum) yang cukup demonstratif dan mengerti rakyat. Membereskan berkas-berkas tahanan yang telah disekap bertahun-tahun dengan bantuan masyarakat (misalnya mahasiswa-mahasiswa senior FH atau bekas sarjana-sarjan hukum yang telah mengundurkan diri). Kemudian menyeret beberapa jaksa atau polisi-polisi yang korup ke muka pengadialan umum. Atau menindak anak-anak penggede yang ngebut dan membahayakan lalulintas. Dengan catatan bahwa semuanya harus tidak berkembang menjadi ‘peradilan rakyat’ a la RRC.
Tahun ini adalah tahun pertama Pembangunan Lima Tahun. Sampai saat ini kesan saya adalah bahwa rakyat Indonesia acuh tak acuh terhadap rencana besar ini. Hampir tak ada komunikasi yang dimengerti masyarakat umum dan pemerintah yang terlalu pragmatis sekarang. Hal ini pada akhirnya gagal menimbulkan gairah dan sokongan kerja rakyat. Saya kira sekarang adalah waktunya untuk melihat aspek-aspek non-ekonomis secara lebih serius dan kemudian memanfaatkannnya bagi cita-cita besar Soeharto dan kawan-kawannya.
Kompas, 16 Juli 1969 *Diunggah ulang pertama kali di internet oleh @ Ruangarsip untuk tujuan pendidikan.
11 Mei 2016
4 notes · View notes
ruangarsip-blog · 8 years
Text
Ketekunan yang Langka
Oleh Andi Hakim Nasution
SEORANG dosen kembali dari Tokyo membawa gelar Magister Sains Genetika Ikan. Ia melapor akan keberhasilannya itu. Yang ditanyakan rektornya ialahapa yang membuatnya terkesan dengan program pendidikan pascasarjana di Jepang. Maka ia pun menggeleng-gelengka n kepalanya. Katanya, seumur-umurnya baru pada ketika itu ia selama bangun hanya memikirkan dan berbicara tentang ikan atau tentang genetika atau tentang genetika ikan. Pagi hari ketika sarapan ia berbincang dengan kawan sekerjanya tentang perilaku ikan. Di dalam laboratorium ia diajak berdiskusi mengenai DNA oleh dosennya, dan sewaktu makan siang di sela-sela memotong-motong filet tongkol, ia berbincang tentang daerah penangkapan tongkol di daerah Kepulauan Aru. Malam harinya sewaktu tidur, ia bermimpi tentang ikan. Tidak diceritakannya apakah sebelum bermimpi mengenai ikan itu keesokan harinya ia menang undian berhadian (karena ada satu mitos jika mimpi mendapatkan ikan akan ketiban rejeki).
Kemudian lagi rektornya bertanya kepadanya peristiwa apa yang paling mengagetkan yang dihadapinya di kampus asalnya sewaktu ia kembali mengajar. Ternyata ia terkejut sekali ketika melihat warga kampus sewaktu sedang beristirahat tidak berbincang mengenai ilmu yang harus ditekuni-nya, melainkan mengenai upaya mengokohkan iman dan bagaimana caranya berperilaku sesuai dengan iman mereka masing-masing.
Tidak ada lagi yang mereka perbincangkan selain bagaimana caranya mendukung perjuangan umat yang seiman. Kalau pun ada bedah buku diantara sesama mahasiswa, maka pokok bahasan bedah buku itu menyangkut masalah yang ada di luar jangkauan, seperti misalnya di Palestina atau Bosnia. Masalah yang kalau hanya dibicarakan tidak ada selesai-selesainya.
Ini mengingatkan rektornya akan peristiwa seorang anggota tim olimpiade matematika internasional asal Denmark berbincang-bincang dengan anggota tim dari Norwegia tentang penyelesaian sebuah masalah matematika yang memerlukan pengetahuan tentang teori Galois. Percakap-an itu mereka lakukan ketika sedang berpesiar dengan kapal di Laut Bosporus. Apa yang dilakukan di Jepang dan Laut Bosporus itu adalah teladan tentang ketekunan yang diungkapkan ilmuwan biologi dan calon ilmuwan matematika ketika mereka sudah bertekad memilih bidang ilmu itu sebagai perhatian pokok dalam perjalanan hidup mereka. Hasilnya adalah bahwa mereka akhirnya mendalami benar bidang ilmu genetika atau matematika itu dan bukan hanya sekadar pengetahuan tipe-tipe sosial.
Beberapa waktu lalu biologiawan IPB mendapatkan penghargaan akademik dari suatu yayasan. Untuk itu ia diberi tunjangan penelitian kira-kira 40.000 dolar AS. Orang ini dikenal sangat menekuni bidang ilmunya. Demikian pula ada seorang dosen yang mendapat hadiah penelitian dalam bidang ilmu serangga dan lingkungan. Ia juga selalu tekun bekerja dalam bidang ilmunya sendiri. Sama halnya dengan dosen Fakultas Peternakan Unsoed yang di Australia menemukan cara penyimpanan mani beku sapi di dalam tabung sedotan yang terbuat dari plastik setelah usahanya berkali-kali gagal. Untuk itu ia menerima hadiah medali emas penelitian Yayasan Hewlett-Packard.
Ketekunan ketiganya itu tentu saja didampingi oleh kalayak akademik yang tinggi. Namun kalayak akademik yang tinggi saja belum cukup untuk membuahkan hasil penelitian yang cemerlang. Diperlukan kreativitas dan ketekunan melakukan tugas yang tinggi. Ketiga ciri ini yang seharusnya dimiliki oleh orang berbakat yang pekerjaannya adalah menciptakan pengetahuan baru dan atau memperbaiki manfaat  suatu pengetahuan.
Apakah di masyarakat akademik perguruan tinggi kita suasana ketekunan dan kesetiaan menangani tugas itu ada atau tidak ada, dapat dirangkum dari poster-poster yang ditempelkan di mana saja di dalam kampus yang dapat dilekati kertas. Sayang sekali, pengumuman yang memenuhi dinding kampus bukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan ilmu yang ditekuninya, melain-kan mengenai siraman rohani, bedah buku tentang solidaritas Palestina dan berbagai diskusi mengenai berbagai kebobrokan yang terjadi di tanah air.
Tidak ada gagasan-gagasan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang diperbicangkan. Tentu saja kita harus peduli mengenai pemeliharaan iman, solidaritas keimanan hingga aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kalau yang ditangani hanya itu saja, tidak perlu susah-susah belajar di perguruan tinggi, kecuali kalau kita hanya bermaksud mendapatkan gelar dan ijasah saja, bukan kemampuan dan keahliannya. Jika hanya itu yang kita inginkan, lebih baik mengikuti ujian persamaan B.Sc, M.Sc, Ph.D dan MBA di berbagai yayasan “gombal”.
Bagaimana lulusan perguruan tinggi di Indonesia dapat mengimbangi kemampuan akademik lulusan perguruan tinggi yang sudah mapan di negara maju kalau yang ditekuninya selama belajar di perguruan tinggi bukanlah bidang ilmunya sendiri. Apakah dengan “kematangan bermasyarakat” dengan berkonsentrasi penuh ke kegiatan ekstra kurikuler kita mampu menjadi ilmuwan bertaraf internasional?
Melalui media internet saya pernah diserang habis-habisan ketika yang menjadi pemenang medali perunggu pada olimpiade matematika tingkat Asia Pasifik dan olimpiade matematika internasional hanyalah siswa SMU yang bertapak di Jawa. Ketika itu saya dituduh mendiskriminasikan mereka yang berasal dari Luar Jawa. Hujatan itu memang pantas muncul di zaman reformasi seperti sekarang. Namun seharusnya penghujat yang notabene mahasiswa pascasarjana matematika itu mesti menggunakan nalarnya dan bukan pemikiran dengkulnya. Peraih medali perunggu itu ternyata adalah siswa-siswa yang dengan kecintaan menekuni matem-atika dan kebanyakan dari mereka berasal dari sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat (swasta), bukan dari sekolah yang diselenggarakan negara (negeri). Atau kalau ia berasal dari sekolah yang diselenggarakan negara, lingkungan keluarganya adalah lingkungan yang menghargai ketekunan kerja. Siapa mereka itu? Boleh ditebak sendiri, lingkungan keluarga yang mana yang dapat membedakan kapan harus menekuni pelajaran tentang keimanan dan ilmu naqliah dan kapan lagi harus tekun menuntut ilmu aqliah.
Karena itu, hendaknya semua orang yang sedang belajar apa saja, untuk tekun mempelajari apa yang seharusnya dipelajarinya agar mendapatkan kelayakan profesional di dalam bidang yang diminatinya. Jangan terjerumus ke zaman Firaun, ketika seleksi menjadi ahli bedah otak dilakukan dengan cara berendam semalam suntuk di Sungai Nil. Jangan juga terjerumus ke keadaan di Pakistan, ketika seorang Ph.D Fisika Nuklir lulusan MIT melamar menjadi tenaga akademik. Pertanyaan penguji bukan hal-hal yang pelik mengenai dentuman besar (big bang). Sederhana saja, namun cukup mengejutkan karena Doktor Fisika itu diminta melafalkan Doa Qunut. Jika ia tidak hafal doa Qunut, maka pastilah ia seorang Wahabi.
Mari kita renungkan, apa saja yang dapat kita perbaiki mengenai kehidupan akademik di kampus, baik oleh tenaga akademik, tenaga administrasi maupun mahasiswa. Jika mahasiswa berlaku seperti itu, seharusnya tenaga akademiknya merasa bersalah, karena hal itu pertanda bahwa tenaga akademik belum dapat membawakan suasana akademik ke dalam kampus, termasuk membawa mahasiswanya ke suasana ingin mengetahui.
Pernah seorang dewan penyantun suatu universitas besar di Jakartayang diselenggarakan masyarakat bertanya pada saya, universitas apa di Indonesia yang suasana akademiknya sudah menyamai suatu universitas penelitian. Jawab saya dengan tegas, belum ada. Dan ketika ia menanyakan alasannya, saya katakan bahwa di kampus saat  ini banyak mahasiswa termasuk juga mahasiswa pascasarjana serta dosen hanya menghadiri seminar karena harus menandatangani daftar hadir. Kalau kurang tandatangan di daftar hadir, ada kemungkinan ia tidak boleh ikut ujian atau kredit kenaikan pangkatnya tidak cukup. Kalau begitu halnya, di kampus kita orang hadir di seminar bukan karena ingin tahu lebih banyak, melainkan karena takut tidak lulusujian atau tidak naik pangkat.***
0 notes
ruangarsip-blog · 8 years
Text
Rasialisme Anti-Tionghoa dan Percobaan Menjawabnya
Oleh Pramoedya Ananta Toer 6 Oktober 1998, Jaringan Kerja Budaya Rasialisme anti-Tionghoa terbesar dan pertama kali terjadi pada 1740 jelas hasil permainan kekuasaan Kompeni alias VOC. Sumber-sumber otentik yang dipergunakan Jan Risconi dalam disertasinya Sja'ir Kompeni Welanda Berperang Dengan Tjina (1935) cukup jelas. Sayang dissertasi yang membahas syair berbahasa Melayu aksara Arab ini ditulis dalam bahasa Belanda sehingga untuk masa sekarangan ini agak sulit menjadi sumber rujukan. Kasus 1740 adalah rasialiane anti Tionghoa dari pihak Kompeni, dari pihak kekuasaan orang Barat/Belanda. Rasialisme anti-Tionghoa sepanjang tercatat oleh sejarah terjadi pertama kali di Solo, pusat kapital, produksi dan perdagangan batik. Padahal ko-eksistensi damai antara Pribumi dan Tionghoa berjalan mulus sepanjang sejarah. Pada masa ini kekuasaan kolonial sedang mengembangkan politik ethiknya yang dapat menerima terjadinya kebangkitan pada Pribumi. Dengan syarat memang: asal tidak bersifat politik. Jadi sejajar dengan politik massa mengambang OrBa. Seperti halnya pada peristiwa 1740 juga di sini tangan kekuasaan bermain di belakang layar. Ada kemenangan pada gerakan boikot oleh para pedagang Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan raksasa Barat di Surabaya. Pada pihak Pribumi ada kebangkitan dalam bentuk lahirnya Sarekat Islam yang dalam waktu sangat pendek telah menjadi gerakan massa yang meraksasa. Unsur-unsur ini telah dipaparkan dalam karya Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta 1985. Dari sedikit sumber dan juga langka disebutnya tentang adanya kegelisahan pada penduduk penetap bangsa Barat dan keturunannya terhadap kebangkitan massa Pribumi yang agamanya lain daripada yang mereka anut. Walau penduduk penetap bangsa Barat ini merupakan minoritas sangat kecil namuk bertulangpunggung kekuasaan, kekuasaan kolonial. Dan terjadilah kerusuhan rasial itu. Kerusuhan rasial anti-Tionghoa terjadi 4 tahun kemudian di Kudus, 1916. Walau pun kejadiannya jauh lebih besar, meliputi seluruh kota industri rokok ini, disertai pembunuhan di berbagai tempat, namun sebagai peristiwa sebenarnya hanya merupakan edisi kedua dari yang pertama. Beruntunglah bahwa Tan Boen Kim telah membukukan peristiwa ini dengan judul Peroesoehan di Koedoes, 1918. Namun masih ada yang patut disayangkan. Karya yang didasarkan pada pemberitaan pers ini tak sampai mengungkap latarbelakang peristiwa. Tentang ada-tidaknya tangan kekuasaan yang bermain, ia hanya menyesalkan sikap para pejabat setempat, bukan sebagai lembaga kekuasaan. Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10-1960. Mengagetkan, mengherankan, mengingat bangsa Indonesia yang mereka ini telah merumuskan aspirasi perjuangan nasionalnya dalam Pancasila. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, tak lain dari reaksi atas PP 10 tsb. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Kebetulan pada waktu itu saya "mengajar" di Fakultas Sastra Universitas Res Publika milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi dan bukan lagi milik Baperki. Dari para mahasiswa- mahasiswi, sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, saya menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRT, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat. Yang mengherankan tentang rasialisme anti-Tionghoa ialah: mengapa ini bisa terjadi dalam alam Indonesia Merdeka? Di samping Indonesia memiliki Pancasila bukankah pihak etnik Tionghoa juga punya saham dalam gerakan kemerdekaan nasional sampai pencarian input untuk panitya persiapan kemerdekaan menjelang akhir pendudukan Jepang. Bukankah sumbangannya pada revolusi juga ada, dan tidak semua etnik Tionghoa bergabung dengan Po Ang Tui yang berpihak pada Belanda, sebagaimana halnya tidak semua Pribumi berpihak pada Nica? Juga dalam alam Indonesia merdeka? Tentang ini dengan mudah siapa saja dapat mengikuti tulisan Siau Giok Tjhan Lima Jaman, Perwujudan Integrasi Wajar, Yayasan Teratai, Jakarta-Amsterdam Mei 1981. Dalam paparan lebih luas hubungan Pribumi-Tionghoa, sejak jaman migrasi, penyeberangan budaya Dongson atau perunggu sampai kurun 70-an abad ini, meliputi pembauran di seluruh Indonesia telah ditulis oleh Yoe-Sioe Liem dalam karyanya Die ethnische Minderheit der Uberseechinesen im Entwicklungsprozess Indonesiens (Verlag Breitenbach, Saarbrucken, Fort Lauderdale, 1980). Bukankah dalam momentum pembauran purba budaya Dongson Jawa memiliki tangga nada selindro, karena datangnya melalui wilayah kedatukan Cailendra? Belakangan ini semakin banyak diterbitkan paparan tentang etnis Tionghoa di Indonesia, nampaknya kurang mendapat perhatian. Kurun perjuangan nasional dan saham etnis Tionghoa di dalamnya telah ditulis oleh Siauw Giok Tjhan sebagai pelaku sejarah. Tokoh luarbiasa di samping Siauw adalah Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa-Indonesia, September 1932. Ia menggalang kerjasama dengan para tokoh puncak gerakan kemerdekaan nasional pada masanya. Malahan sebagai pribadi, biar pun bukan hartawan, ia selalu memberikan bantuan yang mereka perlukan. Ia sejak semula menjadi penganjur hapusnya diskriminasi rasial untuk mempermudah dipupuknya rasa senasib antara semua putera Indonesia, termasuk etnis Tionghoa. Partai ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa organisasi, dengan catatan bahwa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia pada waktu itu sinonim dengan bahasa pers Melayu-Tionghoa, sekali pun di antara para anggotanya lulusan perguruan tinggi Belanda. Nasib dua orang pejuang gerakan kemerdekaan ini, yang pada masa kegiatannya, dua jendral besar Indonesia justru menjadi serdadu Knil, nyaris sama. Mereka juga menjadi kurban OrBa, menjadi bagian dari jutaan orang Indonesia yang jadi kurban OrBa. Mereka menjadi tapol OrBa. Bebas sebagai tapol pada 1 Mei 1979, ia meninggalkan Indonesia bermukim di Belanda dan wafat di sana. Liem Koen Hian sebagai tapol OrBa mengalami kekecewaan berat, karena sebagai tapol sama sekali tidak mendapat perhatian, jangankan pertolongan, dari tokoh-tokoh puncak semasa gerakan kemerdekaan nasional yang pernah dibantunya. Bebas sebagai tapol OrBa ia langsung menanggalkan kewarganegaraannya sebagai orang Indonesia, dan sejak itu tak pernah terdengar lagi kabar-beritanya. Di atas ini adalah kartu anggota Partai Tionghoa Indonesia atas nama Kho Sien Hoo, cabang Magelang, dengan tandatangannya sendiri dan tandatangan Liem Koen Hian, tertanggal 5 Januari 1933. Bukan suatu kebetulan kartu anggota Kho Sien Hoo direproduksi di sini, karena sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia ia mulai bergabung dengan gerakan kemerdekaan nasional. Jadi hanya sebagai contoh di antara yang banyak yang kurang diketahui. Semasa revolusi ia menjadi komandan tertinggi Laskar Rakyat Magelang dan Kedu, bersama kesatuan BKR merampas senjata Nakamura Butai dan melawan Inggris-Ghurka dan Nica di Ambarawa pada awal revolusi. Ia mengubah namanya nenjadi Surjo Budihandoko tanpa melalui pengadilan. Dilahirkan pada 1905 ia wafat di Jakarta pada November 1969. Bintang-bintang pada dadanya adalah pengakuan resmi tentang jasa-jasanya pada tanahair dan bangsa. Bahwa yang dipampangkan di sini hanya Surjo Budihandoko bukan berarti hanya beliau yang berjasa pada tanahair dan bangsa Indonesia. Cukup banyak, diakui atau tidak jasa-jasanya. Makanya mengherankan bila terjadi kerusuhan rasial anti-Tionghoa. Celakanya justru yang terjadi pada penutup era OrBa, Mei 1998. Padahal justru semasa OrBa Pancasila diajarkan sejak dari SD sampai perguruan tinggi. Atau memang sudah diprogram jadi ajaran "Pancasila Bibir"? Mungkinkah Siauw Giok Tjhan dan Liem Koen Hian juga kecewa berat terhadap Pancasila "Bibir" ini sehingga yang pertama meninggalkan Indonesia dan yang kedua menanggaIkan kewarganegaraannya? Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan. Pada 1946 awal waktu saya naik keretapi Jakarta menuju ke basis militer di Cikampek. Di samping saya duduk seorang pemuda yang meminjami buku karya S. Soedjojono, pelukis nasional itu. Saya sudah lupa judulnya. Yang teringat dari bacaan itu hanya satu bagian kecil: tentang Mongoolse Vlek, tembong biru pada pantat atau bagian bawah lain dari bayi yang baru dilahirkan, satu isyarat bahwa si bayi punya darah Mongoloid atau darah Cina. Padahal bayi-bayi Indonesia yang berkulit sedikit lebih cerah dari coklat bertembong biru. Saya tidak tahu jawaban para anthropolog atau pun kedokteran tentang kebenarannya. Beberapa tahun kemudian seseorang mengatakan: sekiranya Hitler dalam, upayanya memurnikan darah Aria pada bangsa Jerman tahu tentang adanya Mongoolse Vlek alias tembong biru ini mungkin beberapa juta orang lagi akan dilikwidasi Nazi. Soalnya dalam abad 13 balatentara Kublai Khan bukan saja menyerang ke selatan sampai ke Singasari, ke timur sampai ke Jepang, juga ke barat sampai ke Eropa Tengah. Setelah Kublai Khan mendirikan pusat kerajaannya di Beijing bajak laut Cina mendirikan diaspora di Palembang. Beijing mengirimkan ekspedisi ke Palembang dan menangkap gembong bajak laut tsb. dan menghukum mati di Beijing, namun diaspora ini justru berkembang, bahkan menghasilkan seorang Jin Bun, yang kemudian menjadi raja Islam pertama di Demak. Percampuran darah dari koloni ini dengan penduduk membuahkan generasi dengan tubuh lebih tinggi dan kulit lebih cerah, menyebar sampai ke wilayah Lampung. Kalau benar tembong biru pada bayi pertanda ada darah Cina mengalir dalam tubuhnya apakah kerusuhan rasial 1998 masih tetap dapat dikatakan rasial? Ya atau tidak samasekali tidak penting. Setidak-tidaknya kerusuhan tsb. suatu kejahatan terhadap kemanusiaan, kebiadaban, siapa pun yang melakukannya dan siapa pun kurbannya. Akhirnya yang timbul hanya pertanyaan bagaimana mengakhiri kejahatan dan kebiadaban terhadap kemanusiaan ini? Saya hanya bisa menyarankan: giatkan penyebaran informasi yang menumbuhkan saling pengertian antara dua belah pihak. Antaranya menyebarluaskan karya Siauw Giok Tjhan dan lain-lain, dan terutama karya Siauw. Pramoedya Ananta Toer Jakarta, 6 Oktober 1998 *Tulisan ini diunggah sebagai upaya pencerahan semata, dalam hal ini terkait konteks seruan rasialisme yang mengemuka belakangan ini sehubungan konstelasi politik di Jakarta, tidak bermaksud komersil.
1 note · View note